BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual - GITHA FARIDA BAB II

BAB II KAJIAN TEORETIK A. Deskripsi Konseptual Deskripsi konseptual merupakan bagian dari laporan penelitian yang

  berisi berbagai konsep teori yang relevan dengan tema penelitian. Isi dari deskripsi konseptual merupakan kajian berbagai teori yang relevan dengan varibel penelitian baik variabel bebas maupun varibel terikat. Pada penelitian ini deskripsi konseptual meliputi hakikat menganalisis butir kebahasaan, hakikat menganalisis teks eksposisi, dan hakikat metode Problem Based

  Learning. Berikut diuraikan masing-masing deskripsi konseptual dalam penelitian ini.

1. Hakikat Metode Problem Based Learning

1.1 Pengertian Problem Based Learning (PBL)

  Problem Based Learning

  (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapat pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta memiliki kecakapan berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan dalam karir dan kehidupan sehari-hari (Amir, 2009).

  12 Rumusan dari Dutch (1994), Problem Based Learning (PBL) merupakan metode instruksional yang menantang siswa agar “belajar dan belajar”, bekerja sama dengan kelompok untuk mencari solusi masalah yang nyata. Masalah ini digunakan untuk mengaitkan rasa keingintahuan serta kemampuan analisis siswa dan inisiatif atas materi pelajaran. Problem Based Learning (PBL) mempersiapkan siswa untuk berpikir kritis dan analitis, dan untuk mencari serta menggunakan sumber pembelajaran yang sesuai.

  Problem Based Learning (PBL) mempunyai perbedaan penting

  dengan pembelajaran penemuan. Pada pembelajaran penemuan didasarkan pertanyaan-pertanyaan berdasarkan disiplin ilmu dan penyelidikan siswa berlangsung di bawah bimbingan guru terbatas dalam ruang lingkup kelas, sedangkan Problem Based Learning (PBL) dimulai dengan masalah kehidupan nyata yang bermakna dimana siswa mempunyai kesempatan dalam memlilih dan melakukan penyelidikan apapun baik di dalam maupun di luar sekolah sejauh itu diperlukan untuk memecahkan masalah.

  Problem Based Learning (PBL) merupakan pendekatan yang

  efektif untuk pengajaran proses berpikir tingka tinggi, pembelajaran ini membantu siswa untuk memproses informasi yang sudah jadi dalam benaknya dan menyusun pengetahuan mereka sendiri tentang dunia sosial dan sekitarnya. Dengan Problem Based Learning (PBL) siswa dilatih menyusun sendiri pengetahuannya, mengembangkan keterampilan memecahkan masalah. Selain itu, dengan pemberian masalah autentik, siswa dapat membentuk makna dari bahan pelajaran melalui proses belajar dan menyimpannya dalam ingatan sehingga sewaktu-waktu dapat digunakan lagi.

  Jadi Problem Based Learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu strategi pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

  Problem Based Learning (PBL) adalah suatu model

  pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah (Kamdi, 2007: 77).

  PBL atau pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran.

  Masalah yang dijadikan sebagai fokus pembelajaran dapat diselesaikan siswa melalui kerja kelompok sehingga dapat memberi pengalaman-pengalaman belajar yang beragam pada siswa seperti kerjasama dan interaksi dalam kelompok, di samping pengalaman belajar yang berhubungan dengan pemecahan masalah seperti membuat hipotesis, merancang percobaan, melakukan penyelidikan, mengumpulkan data, menginterpretasikan data, membuat kesimpulan, mempresentasikan, berdiskusi, dan membuat laporan. Keadaan tersebut menunjukkan bahwa model PBL dapat memberikan pengalaman yang kaya pada siswa. Dengan kata lain, penggunaan PBL dapat meningkatkan pemahaman siswa tentang apa yang mereka pelajari sehingga diharapkan mereka dapat menerapkannya dalam kondisi nyata pada kehidupan sehari-hari.

1.2 Ciri-ciri Problem Based Learning (PBL)

  Menurut Arends berbagai pengembangan pengajaran Problem (PBL) telah memberikan model pengajaran itu

  Based Learning

  memiliki karakteristik sebagai berikut:

  1.2.1 Pengajuan pertanyaan atau masalah Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan pengajaran disekitar pertanyaan dan masalah yang dua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna untuk siswa.

  1.2.2 Berfokus pada keterkaitan antar disiplin Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu- ilmu sosial), masalah-masalah yang diselidiki telah dipilih benar- benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa meninjau masalah itu dari banyak mata pelajaran.

  1.2.3 Penyelidikan autentik Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukann penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah nyata.

  1.2.4 Menghasilkan produk dan memamerkannya Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam karya nyata. Produk tersebut bisa berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer. Dalam pembelajaran kalor, produk yang dihasilkan adalah berupa laporan.

  1.2.5 Kolaborasi dan kerja sama Pembelajaran bersdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil.

  Problem Based Learning (PBL) memiliki beberapa ciri-ciri, yaitu:

  1) Pengajuan pertanyaan atau masalah Pembelajaran berdasarkan masalah mengorganisasikan kegiatan disekitar pertanyaan dan masalah yang kedua-duanya secara sosial penting dan secara pribadi bermakna bagi siswa. Mereka mengajukan situasi kehidupan nyata secara autentik, menghindari jawaban sederhana, dan memungkinkan adanya berbagai macam solusi untuk situasi itu.

  2) Berfokus pada keterkaitan antara disiplin ilmu Masalah yang akan diselidiki dalam PBL telah dipilih benar-benar nyata agar nantinya siswa dalam memecahkan dapat dipandang dari beberapa disiplin ilmu walaupun nantinya pembelajaran tersebut berpusat pada pelajaran tertentu.

  3) Penyelidikan autentik Pada strategi PBL siswa mencari sendiripemecahan masalah mulai dari mendefinisikan masalah, membuat hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melakukan eksperimen (jika diperlukan), membuat referensi serta kesimpulan.

  4) Menghasilkan karya dan memamerkannya Hasil karya dalam penerapan PBL dapat berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer. Hasil karya ini merupakan bentuk karya nyata dan peragaan dari penyelesaian masalah yang telah mereka temukan.

  5) Dikerjakan secara bersama-sama antara siswa dalam kelompok kecil Siswa bekerja sama dengan kelompok yang telah ditentukan guru untuk bersama-sama memecahkan permasalahan yang dihadapi sehingga akan lebih memungkinkan siswa dalam mengembangkan ketrampilan berfikirnya sangat ditekankan dalam strategi PBL.

  Model pembelajaran berbasis masalah adalah pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah sebagai langkah awal untuk mendapatkan pengetahuan baru. Seperti yang diungkapkan oleh Suyatno (2009 : 58) bahwa: ”Model pembelajaran berdasarkan masalah adalah proses pembelajaran yang titik awal pembelajaran dimulai berdasarkan masalah dalam kehidupan nyata siswa dirangsang untuk mempelajari masalah berdasarkan pengetahuan dan pengalaman telah mereka miliki sebelumnya (prior knowledge) untuk membentuk pengetahuan dan pengalaman baru”.

  Sedangkan menurut Arends (dalam Trianto 2007 : 68) menyatakan bahwa: ”Model pembelajaran berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran di mana siswa mengerjakan permasalahan yang autentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan berpikir tingkat lebih tinggi, mengembangkan kemandirian dan percaya diri”.

  Model pembelajaran berdasarkan masalah juga mengacu pada model pembelajaran yang lain seperti yang diungkapkan oleh diungkapkan oleh Trianto (2007 : 68) : ”Model pembelajaran berdasarkan masalah) mengacu pada Pembelajaran Proyek (Project

  Based Learning ), Pendidikan Berdasarkan Pengalaman (Experience

Based Education ), Belajar Autentik (Autentic Learning), Pembelajaran

  Bermakna (Anchored Instruction )”.

  Berbagai pengembang menyatakan bahwa ciri utama model pembelajaran berdasarkan masalah ini dalam Trianto (2007 : 68) adalah: 1) Pengajuan pertanyaan atau masalah.

  Guru memunculkan pertanyaan yang nyata di lingkungan siswa serta dapat diselidiki oleh siswa kepada masalah yang autentik ini dapat berupa cerita, penyajian fenomena tertentu, atau mendemontrasikan suatu kejadian yang mengundang munculnya permasalahan atau pertanyaan. 2) Berfokus pada keterkaitan antar disiplin.

  Meskipun pembelajaran berdasarkan masalah mungkin berpusat pada mata pelajaran tertentu (IPA, matematika, ilmu-ilmu sosial) masalah yang dipilih benar-benar nyata agar dalam pemecahannya, siswa dapat meninjau dari berbagi mata pelajaran yang lain. 3) Penyelidikan autentik.

  Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan siswa melakukan penyelidikan autentik untuk mencari penyelesaian nyata terhadap masalah yang disajikan. Metode penyelidikan ini bergantung pada masalah yang sedang dipelajari.

  4) Menghasilkan produk atau karya.

  Pembelajaran berdasarkan masalah menuntut siswa untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya dan peragaan yang menjelaskan atau mewakili bentuk penyelesaian masalah yang mereka temukan. Produk itu dapat juga berupa laporan, model fisik, video maupun program komputer 5) Kolaborasi.

  Pembelajaran berdasarkan masalah dicirikan oleh siswa yang bekerja sama satu dengan yang lainnya, paling sering secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Bekerjasama untuk terlibat dan saling bertukar pendapat dalam melakukan penyelidikan sehingga dapat menyelesaikan permasalahan yang disajikan.

1.3 Langkah-Langkah Problem Based Learning

  Pada Model pembelajaran berdasarkan masalah terdapat lima tahap utama yang dimulai dengan memperkenalkan siswa tehadap masalah yang diakhiri dengan tahap penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahapan tersebut disajikan dalam bentuk tabel (dalam Nurhadi, 2004:111)

Tabel 1.1 Sintaks Model pembelajaran berdasarkan masalah Fase Indikator Aktifitas / Kegiatan Guru

  1 Orientasi siswa kepada Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, masalah menjelaskan logistikyang diperlukan, pengajuan masalah, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilihnya.

  2 Mengorganisasikan Guru membantu siswa mendefenisikan siswa untuk belajar dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut.

  3 Membimbing Guru mendorong siswa untuk penyelidikan individual mengumpulkan informasi yang sesuai, maupun kelompok melaksanakan eksperimen, untuk mendapat penjelasan pemecahan masalah.

  4 Mengembangkan dan Guru membantu siswa dalam menyajikan hasil karya merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, model dan membantu mereka untuk berbagai tugas dengan kelompoknya.

  5 Menganalisa dan Guru membantu siswa melakukan mengevaluasi proses refleksi atau evaluasi terhadap pemecahan masalah penyelidikan mereka dalam proses- proses yang mereka gunakan.

  Arends (2004) menyatakan bahwa ada tiga hasil belajar (outcomes) yang diperoleh pebelajar yang diajar dengan PBL yaitu: (1) inkuiri dan ketrampilan melakukan pemecahan masalah, (2) belajar model peraturan orang dewasa (adult role behaviors), dan (3) ketrampilan belajar mandiri (skills for independent learning). Pebelajar yang melakukan inkuiri dalam pempelajaran akan menggunakan ketrampilan berpikir tingkat tinggi (higher-order thinking skill) dimana mereka akan melakukan operasi mental seperti induksi, deduksi, klasifikasi, dan reasoning. Karakteristik lingkungan belajar model pembelajaran PBL adalah: keterbukaan, keterlibatan peserta didik secara aktif, dan atmosfir kebebasan intelektual.

  Pembelajaran Berbasis Masalah cukup tepat untuk merealisasikan tujuan-tujuan pendidikan fisika (Tobin, 1986; AAAS, 1993). Sekarang ini, pendidik banyak menerapkan pendekatan pembelajaran berbasis masalah dalam pendidikan fisika (Lazear, 1991; Treagust & Peterson, 1998; Gallagher et al., 1999; Slavin, 1999;

  Yuzhi

  Greenwald, 2000; , 2003; Şenocak, 2005; Wilson, 2005; Kilic,

  2006). Fakta bahwa pendidikan fisika didasarkan pada keduanya, praktek dan interpretasi, yakni sangat berhubungan dengan kehidupan nyata, dan pembelajaran berbasis masalah memfasilitasi hubungan keduanya. Dalam PBL, fokus pembelajaran ada pada masalah yang dipilih sehingga pebelajar tidak saja mempelajari konsep-konsep yang berhubungan dengan masalah tetapi juga metode ilmiah untuk memecahkan masalah tersebut. Pembelajar tidak saja harus memahami konsep yang relevan dengan masalah yang menjadi pusat perhatian tetapi juga memperoleh pengalaman belajar yang berhubungan dengan ketrampilan menerapkan metode ilmiah dalam pemecahan masalah dan menumbuhkan pola berpikir kritis.

  PBL dimulai dengan suatu masalah yang memicu ketidaksetimbangan kognitif pada diri pebelajar. Keadaan ini dapat mendorong rasa ingin tahu sehingga memunculkan bermacam-macam pertanyaan disekitar masalah.. Bila pertanyaan-pertanyaan tersebut telah muncul dalam diri pebelajar maka motivasi intrinsik mereka untuk belajar akan tumbuh.

  Pada kondisi tersebut diperlukan peran guru sebagai fasilitator

  tentang

  untuk mengarahkan pebelajar pengetahuan apa yang diperlukan untuk memecahkan masalah, apa yang harus dilakukan, atau bagaimana melakukannya dan seterusnya. Penerapan PBL dalam pembelajaran dapat mendorong pebelajar mempunyai inisiatif untuk belajar secara mandiri.

  Pengalaman ini sangat diperlukan dalam kehidupan sehari-hari dimana berkembangnya pola pikir dan pola kerja seseorang bergantung pada bagaimana dia membelajarkan dirinya. Lebih lanjut. PBL juga bertujuan untuk membantu pebelajar belajar secara mandiri.

  Pembelajaran PBL dapat diterapkan bila didukung lingkungan belajar yang konstruktivistik.

  Arends (2004) mengemukakan ada 5 fase (tahap) yang perlu dilakukan untuk mengimplementasikan PBL. Fase-fase tersebut merujuk pada tahap-tahapan praktis yang dilakukan dalam kegiatan pembelajaran dengan PBL sebagaimana disajikan pada Tabel 3.

  Model pembelajaran PBL secara skematik dapat dideskripsikan pada Gambar 3. Model pembelajaran PBL mempunyai nama lain sebagai: Project-Based Teaching; Authentic Learning dan Anchored

  Instruction (Arends, 2001: 348). Landasan teoretik model

  pembelajaran CL adalah: teori Dewey tentang kelas berorientasi masalah; konstruktivisme Piaget dan Vygotsky; serta belajar penemuan menurut Bruner. Efek pembelajaran model PBL adalah pencapaian kompetensi berupa keterampilan inkuiri dan pemecahan masalah, perilaku berperan orang dewasa, dan keterampilan belajar mandiri (independen).

Gambar 1.1 Model Pembelajaran PBL

  Fase 1: Mengorientasikan siswa/mahasiswa pada masalah Pembelajaran dimulai dengan menjelaskan tujuan pembelajaran dan aktivitas-aktivitas yang akan dilakukan. Dalam penggunaan PBL, tahapan ini sangat penting dimana guru/dosen harus menjelaskan dengan rinci apa yang harus dilakukan oleh pebelajar dan juga oleh dosen. Disamping proses yang akan berlangsung, sangat penting juga dijelaskan bagaimana guru/dosen akan mengevaluasi proses pembelajaran. Hal ini sangat penting untuk memberikan motivasi agar siswa dapat terlibat dalam pembelajaran yang akan dilakukan.

  Fase 2: Mengorganisasikan pebelajar untuk belajar Disamping mengembangkan ketrampilan memecahkan masalah, pembelajaran PBL juga mendorong siswa/mahasiswa belajar berkolaborasi. Pemecahan suatu masalah sangat membutuhkan kerjasama antar anggota. Guru/dosen dapat memulai kegiatan pembelajaran dengan membentuk kelompok-kelompok siswa dimana masing-masing kelompok akan memilih dan memecahkan masalah yang berbeda.

  Prinsip-prinsip pengelompokan siswa dalam pembelajaran kooperatif dapat digunakan dalam konteks ini seperti: kelompok harus heterogen, pentingnya interaksi antar anggota, komunikasi yang efektif, adanya tutor sebaya, dan sebagainya. Guru/dosen sangat penting memonitor dan mengevaluasi kerja masing-masing kelompok untuk menjaga kinerja dan dinamika kelompok selama pembelajaran.

  Setelah pebelajar diorientasikan pada suatu masalah dan telah membentuk kelompok belajar, selanjutnya guru/dosen dan pebelajar menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas-tugas penyelidikan, dan jadwal.

  Tantangan utama bagi guru/dosen pada tahap ini adalah mengupayakan agar semua pebelajar aktif terlibat dalam sejumlah kegiatan penyelidikan dan hasil-hasil penyelidikan ini dapat menghasilkan penyelesaian terhadap permasalahan tersebut.

  Fase 3: Membimbing penyelidikan individu dan kelompok Inti dari PBL adalah penyelidikan. Mungkin saja setiap situasi permasalahan memerlukan teknik penyelidikan yang berbeda, namun pada umumnya tentu melibatkan karakter yang identik, yakni pengumpulan data dan eksperimen, berhipotesis dan penjelasan, dan memberikan pemecahan. Pengumpulan data dan eksperimentasi merupakan aspek yang sangat penting. Pada tahap ini, guru/dosen harus mendorong pebelajar untuk mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen (mental maupun aktual) sampai mereka betul-betul memahami dimensi situasi permasalahan.

  Tujuannya adalah agar pebelajar mengumpulkan cukup informasi untuk menciptakan dan membangun ide mereka sendiri.

  Pada fase ini seharusnya lebih dari sekedar membaca tentang masalah- masalah dalam buku-buku. Guru/dosen membantu pebelajar untuk mengumpulkan informasi sebanyak-banyaknya dari berbagai sumber, dan guru/dosen seharusnya mengajukan pertanyaan pada pebelajar untuk berifikir tentang massalah dan ragam informasi yang dibutuhkan untuk sampai pada pemecahan masalah yang dapat dipertahankan.

  Setelah pebelajar mengumpulkan cukup data dan memberikan permasalahan tentang fenomena yang mereka selidiki, selanjutnya mereka mulai menawarkan penjelasan dalam bentuk hipotesis, penjelesan, dan pemecahan. Selama pengajaran pada fase ini, guru/dosen mendorong pebelajar untuk menyampikan semua ide- idenya dan menerima secara penuh ide tersebut. Guru/dosen juga harus mengajukan pertanyaan yang membuat mahasiswa berfikir tentang kelayakan hipotesis dan solusi yang mereka buat serta tentang kualitas informasi yang dikumpulkan.

  Fase 4: Mengembangkan dan menyajikan hasil karya Tahap penyelidikan diikuti dengan menciptakan hasil karya dan memamerkannya. Hendaknya hasil karya lebih dari sekedar laporan tertulis, melainkan dapat berupa suatu videotape (yang menunjukkan situasi masalah dan pemecahan yang diusulkan), model (perwujudan secara fisik dari situasi masalah dan pemecahannya), program komputer, dan sajian multimedia. Tentunya kecanggihan hasil karya sangat dipengaruhi tingkat berfikir pebelajar. Selanjutnya adalah memamerkan hasil karya pebelajar dan guru/dosen berperan sebagai organisator pameran.

  Fase 5: Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Fase ini merupakan tahap akhir dalam PBL. Fase ini dimaksudkan untuk membantu pebelajar menganalisis dan mengevaluasi proses mereka sendiri dan keterampilan penyelidikan dan intelektual yang mereka gunakan. Selama fase ini guru/dosen meminta pebelajar untuk merekonstruksi pemikiran dan aktivitas yang telah dilakukan selama proses kegiatan belajarnya.

  Kapan mereka pertama kali memperoleh pemahaman yang jelas tentang situasi masalah? Kapan mereka yakin dalam pemecahan tertentu? Mengapa mereka dapat menerima penjelasan lebih siap dibanding yang lain? Mengapa mereka menolak beberapa penjelasan? Mengapa mereka mengadopsi pemecahan akhir dari mereka? Apakah mereka berubah pikiran tentang situasi masalah ketika penyelidikan berlangsung? Apa penyebab perubahan itu? Apakah mereka akan melakukan secara berbeda di waktu yang akan datang?

  Problem Based Learning (PBL) akan dapat dijalankan bila pengajar siap dengan segala perangkat yang diperlukan. Pemelajar pun harus harus sudah memahami prosesnya, dan telah membentuk kelompok-kelompok kecil. Umumnya, setiap kelompok menjalankan proses yang dikenal dengan proses tujuh langkah:

1) Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas

  Memastikan setiap anggota memahami berbagai istilah dan konsep yang ada dalam masalah. Langkah pertama ini dapat dikatakan tahap yang membuat setiap peserta berangkat dari cara memandang yang sama atas istilah-istilah atau konsep yang ada dalam masalah.

  2) Merumuskan masalah

  Fenomena yang ada dalam masalah menuntut penjelasan hubungan-hubungan apa yang terjadi di antara fenomena itu.

  3) Menganalisis masalah

  Anggota mengeluarkan pengetahuan terkait apa yang sudah dimiliki anggota tentang masalah. Terjadi diskusi yang membahas informasi faktual (yang tercantum pada masalah), dan juga informasi yang ada dalam pikiran anggota. Brainstorming (curah gagasan) dilakukan dalam tahap ini.

  4) Menata gagasan secara sistematis dan menganalisis

  Bagian yang sudah dianalisis dilihat keterkaitannya satu sama lain kemudian dikelompokkan; mana yang paling menunjang, mana yang bertentangan, dan sebagainya. Analisis adalah upaya memilahmemilah sesuatu menjadi bagian-bagian yang membentuknya.

  5) Memformulasikan tujuan pembelajaran

  Kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok sudah tahu pengetahuan mana yang masih kurang, dan mana yang masih belum jelas. Tujuan pembelajaran akan dikaitkan dengan analisis masalah yang dibuat

  6) Mencari informasi tambahan dari sumber lain

  Saat ini kelompok sudah tahu informasi apa yang tidak dimiliki, dan sudah punya tujuan pembelajaran. Kini saatnya mereka harus mencari informasi tambahan itu, dan menemukan kemana hendak dicarinya.

7) Mensistesis

  Mensintesis (menggabungkan) dan menguji informasi baru dan membuat laporan.

1.4 Keunggulan dan Kelemahan Problem Based Learning 1) Keunggulan Model Problem Based Learning (PBL)

  Keunggulan PBL memiliki ragam namun, pada intinya PBL membentuk agar peserta didik mengembangkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah. Keunggulan PBL menurut Thobroni dan Arif (2011, hlm.349) yaitu:

  a) mengembangkan peserta didik berfikir kritis;

  b) peserta didik aktif dalam pembelajaran;

  c) belajar menganalisis suatu masalah; dan d) mendidik percaya pada diri sendiri.

  Kemendikbud dalam Abidin (2013, hlm. 160) memaparkan beberapa keunggulan PBL yaitu: Dengan PBL akan terjadi pembelajaran bermakna. Peserta didik yang belajar memecahkan masalah akan menerapkan pengetahuan yang dimiliki atau berusaha mengetahui pengetahuan yang diperlukan. Dalam situasi PBL peserta didik mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan secara simultan dan mengaplikasikannya dalam konteks yang relevan. PBL dapat meningkatkan kemampuan berfikir kritis, motivasi internal untuk belajar, dan dapat mengembangkan hubungan interpersonal dalam bekerja kelompok.

  Sanjaya (2008, hlm.220-221) mendeskripsikan bahwa keunggulan dari PBL sebagai berikut: a) PBL merupakan teknik yang bagus untuk lebih memahami pelajaran; b) PBL dapat menantang kemampuan peserta didik serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi peserta didik;

  c) Meningkatkan aktivitas pembelajaran peserta didik;

  d) Membantu peserta didik bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata; e) Membantu peserta didik mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggungjawab dalam pembelajaran yang dilakukannya; f) Memperlihatkan kepada peserta didik setiap mata pelajaran pada dasarnya merupakan cara berfikir, dan sesuatu yang harus dimengerti oleh peserta didik;

  g) Menyenangkan dan disukai peserta didik;

  h) Mengembangkan kemampuan peserta didik untuk berfikir kritis dan menyesuaikan mereka dengan perkembangan pengetahuan yang baru; dan i) Memberikan kepada peserta didik untuk mengaplikasikan pengetahuan yang dimilikinya dalam dunia nyata.

  PBL memiliki keunggulan yang banyak dalam pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Berdasarkan ungkapan sebelumnya mengenai keunggulan-keunggunalan PBL dapat ditarik kesimpulannya bahwa : a) PBL membangun pemikiran kontruktif;

  b) Memiliki karakteristik kontekstual dengan kehidupan nyata peserta didik; c) Meningkatkan minat dan motivasi dalam pembelajaran;

  d) Materi pelajaran dapat terliputi dengan baik, dan

  e) Membekali peserta didik mampu memecahkan masalah dalam kehidupan nyata.

2) Kelemahan Problem Based Learning

  Dibalik keunggulan tentunya akan ada kelemahan. PBL selain memiliki keunggulan yang banyak, namun satu sisi PBL memiliki kelemahan. Menurut Sanjaya (2008, hlm.221) mengungkapkan kelemahan PBL yaitu sebagai berikut: a) Manakala peserta didik tidak memiliki minat atau tidak memiliki kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka enggan untuk mencoba;

  b) Keberhasilan PBL memerlukan waktu untuk persiapan; dan c) Tahap pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.

  Sedangkan menurut Thobroni dan Arif (2011 : 350) mengungkakan bahwa kelemahan PBL yaitu: a) memerlukan waktu yang banyak;

  b) tidak bisa digunakan dikelas-kelas rendah; dan c) tidak semua peserta didik terampil bertanya.

  Berdasarkan ungkapan dari Sanjaya, Thobroni dan Arif dapat disimpulkan bahwa PBL memiliki kelemahan terutama dalam masalah waktu yang lama dalam hal persiapan, perlunya motivasi kuat dari peserta didik untuk mempelajari masalah yang ada dalam materi pembelajaran, dan tidak semua materi dalam pelajaran geografi dapat menggunakan model ini.

1.5 Tahapan dalam menerapan Problem Based Learning

  Berikut ini beberapa tips yang dapat diperhatikan dan dilakukan guru dalam implementasi model PBL (model problem based

  learning ), antara lain: 1)

  

Pusat Pembelajaran adalah Pada Siswa (Student Centered)

  Guru harus selalu ingat posisinya. Guru adalah fasilitator yang bertugas mensupport kegiatan pemecahan masalah yang dilakukan siswa. Guru bukanlah pemberi solusi dari permasalahan tersebut. Jadi, apapun yang dilakukan di kelas oleh guru, semata- mata adalah untuk tujuan membantu pembelajaran atau proses belajar siswa. Ketika pusat pembelajaran di kelas adalah siswa, maka akan terlihat bahwa segala aktivitas belajar jelas-jelas nampak pada siswa.

2) Arahkan Pertanyaan-Pertanyaan

  Pada saat proses pembelajaran di kelas di mana guru menerapkan model problem based learning, maka guru harus mengarahkan siswa melalui pertanyaan-pertanyaan, bukan penjelasan. Pertanyaan-pertanyaan dari guru, ataupun pertanyaan- pertanyaan dari siswa akan mengarahkan kegiatan pembelajaran siswa untuk menemukan informasi baru. Pertanyaan-pertanyaan siswa tidak dijawab oleh guru, tetapi akan diarahkan sedemikian rupa sehingga siswa berusaha mencari tahu tentang jawaban pertanyaan itu, yang akan bernilai penting apabila jawaban- jawaban atas pertanyaan itu nantinya akan membantu mereka menemukan solusi untuk masalah yang disajikan. Melalui pertanyaan-pertanyaan inilah siswa akan dimotivasi untuk mempelajari pengetahuan baru.

  3)

Fasilitasi Siswa Melakukan Penyelidikan untuk Menyelesaikan

Masalah

  Ketika siswa atau kelompok siswa dihadapkan pada suatu masalah, mereka akan membutuhkan penyelidikan untuk menyelesaikannya. Penyelidikan ini dimaksudkan untuk mengumpulkan informasi yang mereka perlukan. Pada saat inilah mereka sebenarnya sedang membangun pengetahuannya. Mereka dapat menelusuri beragam bahan bacaan yang telah disediakan melalui fasilitasi guru. Mereka dapat melakukan percobaan- percobaan dan merancangnya sendiri sesuai dengan tujuan mereka. Guru harus memfasilitasi keberlangsungan kegiatan penting dalam model problem based learning ini.

  4) Berikan Otonomi pada Siswa

  Ketika kelompok siswa atau siswa telah mampu berinisiatif untuk melakukan penyelidikan, mempelajari sesuatu yang mereka rasa akan dibutuhkan untuk penyelesaian masalah, maka guru harus memberikan otonomi kepada siswa. Guru memberikan kebebasan cara-cara apa yang akan siswa tempuh untuk memecahkan masalah, tetapi tentu tetap dengan pengarahan agar penyelesaian masalah yang dilakukan akan lebih efektif. Memberikan otonomi kepada siswa diharapkan akan menumbuhkan motivasi intrinsik di dalam diri mereka untuk belajar berdasarkan kebutuhan mereka. Ini akan membentuk siswa menjadi pmebelajar yang mandiri.

  5) Masalah Berasal dari Dunia Nyata

  Ketika guru menghadirkan masalah untuk dipecahkan oleh siswa dalam model PBL, maka masalah itu haruslah datang dari

  

real worls situation alias dari dunia nyata.ini penting agar apa-apa yang akan dipelajari siswa dalam model pembelajaran problem based learning ini bermanfaat bagi kehidupan mereka baik saat ini maupun nanti ketika mereka terjun ke masyarakat. Prinsip belajar dalam model problem based learning tidak hanya ditujukan untuk menjawab soal-soal tes semata, tetapi yang jauh lebih penting mereka belajar menghadapi dunia nyata dengan melatihkan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan dalam pemecahan masalah (problem solving).

2. Hakikat Menulis

2.1 Konsep Menulis

  Sebelum menulis, seorang penulis harus memahami konsep dasar menulis dengan baik. Konsep dasar menulis terkait definisi menulis, tujuan menulis, ragam tulisan, tahapan menulis, dan problem menulis harus dikuasai. Selanjutnya, penulis dapat menuangkan gagasan dan perasaaannya melalui tulisan.

  Menulis adalah aktivitas seluruh otak yang menggunakan belahan otak kanan (emosional) dan belahan otak kiri (logika).

  Aktivitas otak kanan untuk keterampilan menulis meliputi perencanaan, outline, tata bahasa, penyuntingan, penulisan kembali, penelitian dan tanda baca, sedangkan aktivitas otak kiri yaitu semangat, spontanitas, emosi, warna, imajinasi, gairah, ada unsur baru, dan kegembiraan. Aktivitas dalam penulisan otak kiri dan otak kanan harus bekerjasama, berikut gambar pemanfaatan kedua belahan otak kiri dan otak kanan dalam menulis (DePorter, 2000:179).

  Menulis merupakan suatu keterampilan berbahasa yang aktif, produktif, kompleks, dan terpadu yang berupa pengungkapan dan yang diwujudkan secara tertulis. Menulis juga merupakan keterampilan yang menuntut penulis untuk menguasai berbagai unsur di luar kebahasaan itu sendiri yang akan menjadi isi dalam suatu tulisan (Nurgiyantoro, 2001:271).

  Untuk memantapkan pemahaman Anda tentang definisi menulis, carilah referensi lain baik dari media cetak maupun elektronik! Dengan referensi lain, Anda diharapkan dapat semakin memahami definisi menulis dari berbagai sudut pandang.

2.2 Manfaat Menulis

  Menulis memang memiliki kelebihan khusus. Widodo & Chasanah (1993) menyatakan bahwa permasalahan yang rumit dapat dipaparkan secara jelas dan sistematis melalui tulisan. Angka, tabel, grafik, dan skema dapat dipaparkan dengan mudah melalui tulisan. Tulisan juga lebih mudah digandakan melalui bantuan teknologi produksi. Karya-karya tulis memiliki daya bukti yang lebih kuat.

  Selain itu, tulisan memiliki sifat permanen karena dapat disimpan dan lebih mudah diteliti karena dapat diamati secara perlahan dan berulang-ulang.

  Percy (dalam Nuruddin, 2011:20-27) menyatakan enam manfaat menulis, yaitu (a) sarana untuk mengungkapkan diri, (b) sarana untuk pemahaman, (c) membantu mengembangkan kepuasan pribadi, kebanggaan, perasaan harga diri, (d) meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap lingkungan, (e) keterlibatan secara bersemangat dan bukannya penerimaan yang pasrah, dan (f) mengembangkan suatu pemahaman tentang sesuatu dan kemampuan menggunakan bahasa.

  Komaidi (2011, 9-10) memberikan enam manfaat menulis. Keenam manfaat tersebut adalah (a) menimbulkan rasa ingin tahu dan melatih kepekaan dalam melihat realitas kehidupan, (b) mendorong kita untuk mencari referensi lain, misalnya buku, majalah, koran, jurnal, dan sejenisnya, (c) terlatih untuk menyusun pemikiran dan argumen secara runtut, sistematis, dan logis, (d) mengurangi tingkat ketegangan dan stres, (e) mendapatkan kepuasan batin terlebih jika tulisan bermanfaat bagi orang lain melalui media massa, dan (e) mendapatkan popularitas di kalangan publik.

  Lebih lanjut, dijelaskan Nuruddin (2011:11) bahwa menulis dapat membuat perasaan dan kesehatan yang lebih baik. Mengacu pada pendapat Dr. Pennebaker bahwa menulis tentang pikiran dan perasaan terdalam tentang trauma yang dialami menghasilkan suasana hati yang lebih baik, pandangan positif, dan kesehatan yang lebih baik. Sementara itu, mengacu pada pendapat Fatimah Merisi bahwa menulis dapat mengencangkan kulit di wajah dan membuat awet muda.

2.3 Tujuan Menulis

  Setiap penulis memiliki tujuan dalam menuangkan pikiran/gagasan dan perasaannya melalui bahasa tulis, baik untuk diri sendiri dan orang lain. Contoh tujuan menulis untuk diri sendiri antara lain agar tidak lupa, agar rapi, untuk menyusun rencana, dan untuk menata gagasan/pikiran. Bentuk tulisan tersebut dapat dituangkan dalam buku harian, catatan perkuliahan, catatan rapat, catatan khusus, dan sebagainya.

  Contoh tujuan menulis untuk orang lain antara lain untuk menyampaikan pesan, berita, informasi kepada pembaca, untuk memengaruhi pandangan pembaca, sebagai dokumen autentik, dan sebagainya. Umumnya, terdapat dua kondisi penulis terkait tujuan menulis. Ada penulis yang dengan sangat sadar terhadap dampak positif dan negatif terhadap apa yang ditulis.

  Namun, ada juga penulis yang tidak menyadarinya kedua dampak tersebut. Seorang penulis profesional memiliki kesadaran tinggi terhadap tujuan kegiatan penulis. Seorang penulis amatir terkadang hanya sekadar menuangkan gagasannya ke dalam wujud tulisan hanya untuk kepuasan dan tidak menyadari dampak pisitif dan negatif dari apa yang sudah ditulisnya.

2.4 Proses Menulis

  Menulis merupakan kegiatan yang membutuhkan proses untuk menghasilkan tulisan. Dalam proses tersebut, menulis terdiri atas tahapan-tahapan kegiatan yang harus dilalui hingga menghasilkan tulisan. Berikut ini pendapat para ahli tentang proses menulis.

  2.4.1 Graves 1975 (dalam Tompkins, 1994:8) menggambarkan proses menulis dalam tahapan (a) pra-menulis, (b) saat menulis, dan (c) pasca menulis.

  2.4.2 Tompkins (1994:7) menguraikan tahap-tahap proses menulis terdiri atas (a) pramenulis, (b) pengonsepan, (c) revisi, (d) penyuntingan, dan (e) pemajangan.

  2.4.3 DePorter (2000:195) mengemukakan proses menulis terdiri (a) persiapan, (b) draf kasar, (c) berbagi, (d) memperbaiki, (e) penyuntingan, (f) penulisan kembali, dan (g) evaluasi. Dapat pula ditambahkan, bahwa kegiatan menulis terdiri atas tahapan-tahapan yang sangat bergantung pada jenis tulisan. Secara umum, tahapan menulis terdiri atas (a) perencanaan, (b) pembuatan draf kasar, dan (c) penyuntingan. Secara khusus, tahapan menulis sangat bergantung pada apa yang ditulis, misal tahapan menulis opini terdiri atas (a) penggalian ide, (b) pendaftaran ide, (c) pengurutan ide, (d) penyusunan draf tulisan, (e) perbaikan tulisan, (f) pengkajian tulisan kembali, (g) pengulangan proses butir (e) dan (f) jika diperlukan, dan (h) publikasi tulisan. Tahapan dalam proses kegiatan menulis ini dijelaskan lanjut pada bagian berikutnya.

2.5 Ciri Kemampuan Menulis

  Sebagai salah satu keterampilan/ kemahiran berbahasa selain membaca, menyimak, dan berbicara, menulis harus dikuasai oleh pengguna bahasa. Kapan seseorang dapat dikatakan terampil/mahir dalam menulis? Mosley (dalam Widodo & Chasanah, 1993) menyatakan seseorang dapat dikatakan memiliki kemampuan tulis tampak empat ciri berikut ini.

  2.5.1 Dapat mengungkapkan informasi sarana bahasa melalui bentuk karangan sebagai proses kognisi (reproduksi, organisasi/reorganisasi, cipta/kreasi).

  2.5.2 Dapat mengungkapkan informasi bahasa melalui bentuk karangan yang mengandung maksud/tujuan (latihan, emosional, informasi/referensial, persuasi, hiburan, dsb.).

  2.5.3 Dapat mengunggapkan informasi dengan menggunakan bahasa dalam bentuk karangan sesuai pembaca atau untuk diri sendiri

  2.5.4 Dapat mengungkapkan informasi dengan menggunakan bahasa dalam bentuk karangan berupa wacana: dokumentatif, konstatif (naratif, deskriptif, keterangan), dan eksploratif (interpretatif, eksposisi, argumentasi).

2.6 Teori Menulis

  Teori menulis yang berkembang saat ini adalah menulis model proses. Dengan model ini menulis dilakukan dengan tahapan-tahapan:

  2.6.1 Pra menulis (prewriting): siswa memilih topik, siswa mengumpulkan dan menyesuaikan ide-ide, siswa mengidentifikasi pembacanya, siswa mengidentifikasi tujuan menulis, siswa memilih bentuk yang sesuai berdasarkan pembaca dan tujuan menulis.

  2.6.2 Pengedrafan (drafting): siswa menulis draf kasar, siswa siswa menulis pokok-pokok yang menarik pembaca, siswa lebih menekankan isi dari pada mekanik. Dengan aktivitas pengarang merangkaikan gagasan dalam sebuah tulisan tanpa memperhatikan kerapihan atau mekanik.

  2.6.3 Merevisi (revising): siswa membagi tulisannya kepada kelompok, siswa mendiskusikan tulisannya kepada temannya, siswa membuat perbaikan sesuai komentar teman dan gurunya, siswa membuat perubahan substantif dan bukan sekadar perubahan minor antara draf pertama dan kedua. Setelah mendapat saran-saran dari orang lain, pengarang dapat membuat beberapa perubahan dan perubahan itu dapat melibatkan orang lain.

  2.6.4 Mengedit (editing): siswa mebaca ulang tulisannya, siswa membantu baca ulang tulisan temannya, siswa mengidentifikasi kesalahan mekanisme dan membetulkannya.

  2.6.5 Mempublikasikan (publishing): siswa mempublikasikan tulisannya dalam bentuk yang sesuai, siswa membagi tulisanya yang sudah selesai kepada teman sekelasnya.

2.7 Jenis Tulisan

  Ragam tulisan dapat didasarkan pada isi tulisan, isi tulisan mempengaruhi jenis informasi, pengorganisasian dan tata sajian tulisan. Berdasarkan ragam tersebut tata tulisan dibedakan menjadi empat : deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi (Syafi‟ie,1990: 151).

  Sedangkan menurut Keraf (1989: 6) ragam tulisan didasarkan pada tujuan umum, berdasarkan hal tersebut menulis dapat dibedakan menjadi lima: Deskripsi, eksposisi, argumentasi, narasi, persuasi.

  2.7.1 Deskripsi (Pemerian) Kata deskripsi berasal dari bahasa latin describere yang berarti menggambarkan atau memerikan sesuatu hal. Dari segi istilah, deskripsi adalah suatu bentuk karangan yang melukiskan sesuatu sesuai dengan keadaan yang sebenarnya sehingga pembaca dapat mencitrai (melihat, mendengar, mencium dan merasakan) apa yang dilukiskan itu sesuai dengan citra penulisannya.

  2.7.2 Eksposisi (Paparan) Eksposisi berasal dari kata exposition yang berarti membuka. Dapat pula diartikan sebagai tulisan yang bertujuan untuk memberitahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu.

  2.7.3 Argumentasi (Bahasan) Yang dimaksud dengan tulisan argumentasi adalah karangan yang terdiri atas paparan alasan dan penyintesisan pendapat untuk membangun suatu kesimpulan. Karangan ini ditulis dengan maksud untuk memberikan alasan, memperkuat atau menolak sesuatu pendapat, pendirian, gagasan.

  2.7.4 Narasi (Kisahan) Narasi atau naratif adalah tulisan berbentuk karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa atau kejadian menurut urutan terjadinya (kronologis). Dengan maksud memberi makna kepada sebuah atau rentetan kejadian sehingga pembaca dapat memetik hikmah dari cerita itu.

  2.7.5 Persuasi (Ajakan) Tulisan yang bermaksud mempengaruhi orang lain dalam persuasi, selain logika perasaan juga memegang peranan penting.

3. Hakikat Teks Eksposisi

3.1 Pengertian Teks Eksposisi

  Teks eksposisi merupakan karangan yang berisi pemaparan tentang suatu konsep, ide, gagasan, dengan tujuan menguraikan, mengupas, menerangkan sesuatu yang akan menambah pengetahuan atau wawasan terhadap pembaca.

  Teks eksposisi merupakan salah satu jenis teks yang dipelajari siswa berdasarkan kurikulum 2013. Eksposisi (exposition: bahasa Inggris) berasal dari bahasa Latin yang berarti membuka atau memulai.

  Keraf (1983: 3) mengemukakan “Eksposisi atau pemaparan adalah salah satu bentuk tulisan atau retorika yang berusaha untuk menerangkan dan menguraikan suatu pokok pikiran, yang dapat memperluas pandangan atau pengetahuan seseorang yang membaca uraian tersebut.”Senada dengan pendapat Keraf sebelumnya, Keraf (1999: 7) mengemukakan bahwa eksposisi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menguraikan suatu objek sehingga memperluas pandangan atau pengetahuan pembaca.

  Kosasih (2012: 17) menyatakan, “Eksposisi adalah paragraf yang memaparkan sejumlah pengetahuan atau informasi.” Lebih jauh lagi menurut Jauhari

  (2013: 58) menjelaskan, “Eksposisi berarti sebuah karangan yang bertujuan memberitahukan, menerangkan, mengupas, dan menguraikan sesuatu.” Nursisto (2000: 41) menjelaskan, “Eksposisi (paparan) adalah karangan yang menerangkan atau menjelaskan pokok pikiran yang dapat memperluas wawasan atau pengetahuan pembaca.”

  Senada dengan yang diungkapkan Nursisto dalam Wiyanto (2014: 66) menjelaskan bahwa paragraf eksposisi bertujuan memaparkan, menjelaskan, menyampaikan informasi, mengajarkan dan menerangkan sesuatu tanpa disertai ajakan atau desakan agar pembaca menerima atau mengikutinya. Paragraf eksposisi biasa digunakan untuk menyajikan pengetahuan atau ilmu, definisi, pengertian, langkah-langkah suatu kegiatan, metode, cara, dan proses terjadinya sesuatu.

  Berdasarkan beberapa pendapat pakar di atas, penulis menyimpulkan bahwa eksposisi merupakan teks yang berbentuk paragraf-paragraf hasil pemikiran seseorang yang disajikan kedalam bentuk tulis. Tujuan eksposisi untuk memberi tahu, mengupas, menguraikan, atau menerangkan sesuatu bahkan mengajarkan sehingga memperluas pandangan dan pengetahuan seseorang yang membacanya, namun tidak mempengaruhi atau mengajak pembaca untuk mengikutinya.

3.2 Ciri-ciri Teks Eksposisi

  Karangan ini berisi uraian atau penjelasan tentang suatu topik dengan tujuan memberi informasi atau pengetahuan tambahan bagi pembaca. Untuk memperjelas uraian, dapat dilengkapi dengan grafik, gambar atau statistik. Tidak jarang eksposisi berisi uraian tentang langkah/ cara/ proses kerja. Eksposisi demikian lazim disebut paparan proses.

  Keraf (1999: 20) menjelaskan ciri-ciri eksposisi sebagai berikut. 1) Eksposisi berusaha untuk menjelaskan atau menerangkan suatu pokok permasalahan, tanpa usaha memengaruhi pembaca.

  2) Dalam eksposisi penulis menyerahkan keputusan kepada pembaca, untuk menerima atau tidak menerima apa yang dikatakan oleh penulis. 3) Dalam eksposisi penulis tidak bermaksud mengundang reaksi, ia sama sekali tidak bermaksud memengaruhi sikap dan pendapat pembaca. 4) Cara penyajian dalam eksposisi lebih condong ke gaya informatif.

  Gaya ini hanya berusaha (menguraikan objek atau informasi sejelas-jelasnya).

  5) Gaya yang digunakan dalam penyajian eksposisi adalah bahasa berita tanpa rasa subjektif dan emosional.

  6) Dalam eksposisi fakta-fakta dipakai hanya sebagai alat konkretisasi (perwujudan) yaitu membuat rumusan, kaidah, atau simpulan yang dikemukakan menjadi lebih konkret.