BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah - Dede Setiawan BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Tujuan pembangunan kesehatan menuju Indonesia sehat 2025 adalah

  meningkatnya kesadaran, kemauan dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar peningkatan derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya dapat terwujud, melalui terciptanya masyarakat, bangsa dan negara Indonesia yang ditandai oleh penduduknya yang hidup dengan perilaku dan dalam lingkungan sehat, memiliki kemampuan untuk menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu secara adil dan merata serta memiliki derajat kesehatan yang setinggi-tingginya di seluruh wilayah Republik Indonesia (Depkes RI, 2010).

  Secara nasional prevalensi gizi buruk dan gizi kurang pada tahun 2010 adalah 17,9% yang terdiri dari 4,9% gizi buruk dan 13,0 gizi kurang. Bila dibandingkan dengan pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs) tahun 2015 yaitu 15,5%, maka prevalensi gizi kurang secara nasional harus diturunkan minimal sebesar 2,4% dalam periode 2011 sampai 2015 (Depkes RI, 2011).

  Dalam rangka mengatasi masalah gizi, pemerintah melaksanakan program perbaikan gizi keluarga (PGK). Usaha perbaikan gizi keluarga bertujuan untuk menerapkan sistem kewaspadaan pangan dan gizi dengan harapan terwujudnya keluarga mandiri sadar gizi. Upaya peningkatan, pencegahan dan penanggulangan masalah gizi tersebut dapat ditempatkan sebagai bagian ujung tombak paradigma sehat untuk mencapai Indonesia sehat 2025 (Bappenas, 2010).

  Balita atau anak dibawah umur lima tahun adalah anak usia kurang dari lima tahun sehingga bayi dalam usia satu tahun termasuk dalam golongan ini.

  Namun, karena faal (kerja alat tubuh semestinya) bayi dibawah usia satu tahun berbeda dengan anak usia diatas satu tahun, banyak ilmuwan yang membedakannya. Utamanya, makanan bayi berbentuk cair, yaitu air susu ibu (ASI), sedangkan umumnya anak usia lebih dari satu tahun mulai menerima makanan padat seperti orang dewasa (Proverawati, 2009).

  Masa balita terutama dibawah usia dua tahun merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Masa ini tidak terulang sehingga di sebut window of

  

opportunity untuk menciptakan anak sehat dan cerdas. Intervensi kesehatan

  dan gizi harus diberikan secara optimal pada periode ini untuk menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak (Almatsier, 2009).

  Adisasmito (2007) menyatakan bahwa kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita merupakan kelompok yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat, masa itu merupakan masa peralihan antara saat mulai disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa.

  Pada usia balita, kecukupan gizi anak sangat tergantung kepada ibu atau pengasuhnya. Anak balita merupakan kelompok yang menunjukan pertumbuhan badan yang pesat, sehingga memerlukan zat gizi yang tinggi setiap kilogram berat badannya. Pada masa bayi dan balita, orang tua harus selalu memperhatikan kualitas dan kuantitas makanan yang dikonsumsi anak dengan membiasakan pola makan yang seimbang dan teratur setiap hari, sesuai dengan tingkat kecukupannya (Sediaoetama, 2008).

  Kurangnya pengetahuan gizi pada orang tua khususnya ibu, merupakan salah satu faktor penyebab kekurangan gizi pada balita. Di pedesaan makanan banyak dipengaruhi oleh keadaan sosial ekonomi dan kebudayaan. Terdapat pantangan makan pada balita misalnya anak tidak diberikan ikan karena bisa mendapatkan cacingan, kacang-kacangan tidak diberikan karena dapat menyebabkan sakit perut dan kembung (Baliwati, 2004).

  Dampak kekurangan gizi pada balita dapat menyebabkan gangguan pertumbuhan, gangguan produksi tenaga, pertahanan tubuh yang menurun, perkembangan otak dan mental yang terganggu (Almatsier, 2009). Selain itu, malnutrisi merupakan masalah gizi yang sering dijumpai di negara- negara berkembang. Peningkatan kemampuan health workers dalam melaksanakan konseling dan komunikasi mampu meningkatkan status gizi balita usia 6- 24 bulan di Brazil dan dapat diterapkan di negara berkembang lainnya (Zaman dalam Giri et.al, 2013).

  Hermina dan Afriansyah (2010) menambahkan bahwa beberapa penelitian masalah gizi pada bayi dan anak disebabkan kebiasaan pemberian ASI dan MP-ASI yang tidak tepat (segi kuantitas dan kualitas). Selain itu, para ibu kurang menyadari bahwa sejak bayi berusia 6 bulan sudah memerlukan MP-ASI dalam jumlah dan mutu yang baik.

  Maseko dan Owaga dalam Sakti et.al (2013) menyatakan bahwa pada usia 6 bulan, selain ASI bayi mulai bisa diberi makanan pendamping ASI, karena pada usia itu bayi sudah mempunyai refleks mengunyah dengan pencernaan yang lebih kuat. Dalam pemberian makanan bayi perlu diperhatikan ketepatan waktu pemberian, frekuensi, jenis, jumlah bahan makanan, dan cara pembuatannya. Adanya kebiasaan pemberian makanan bayi yang tidak tepat, antara lain : pemberian makanan yang terlalu dini atau terlambat, makanan yang diberikan tidak cukup dan frekuensi yang kurang.

  Deba (2007) juga menambahkan makanan pendamping ASI (MP-ASI) dan status gizi balita memunculkan masalah pada aspek hubungan sebab akibat dimana pemberian MP-ASI yang kurang tepat menyebabkan status gizi kurang/status gizi buruk.

  Berdasarkan hasil RISKESDAS (Riset Kesehatan Dasar) tahun 2010, didapatkan data bahwa cakupan pemberian ASI eksklusif hanya 15,3% dan persentase ibu di Indonesia yang memberikan ASI kurang dari satu jam hanya sebesar 29,3% serta hampir sebagian besar ibu memberikan ASI setelah satu sampai enam jam setelah melahirkan sebanyak 40,7%.

  Berdasarkan data profil kesehatan Kabupaten Banyumas, pada tahun 2012 dilaporkan adanya kasus gizi kurang sebanyak 12.047 kasus dan gizi buruk 228 kasus. Hal tersebut menunjukan adanya peningkatan kasus, karena pada tahun 2011 dilaporkan kasus gizi kurang hanya sebanyak 8.533 kasus dan gizi buruk 128 kasus. Sementara itu, cakupan pemberian ASI eksklusif hanya sekitar 35,2% dan cakupan pemberian makanan pendamping ASI sudah mencapai 100%.

  Berdasarkan hasil studi pendahuluan melalui wawancara yang dilakukan terhadap 20 ibu yang mempunyai balita di desa Kembaran. Didapatkan hanya 13 (65%) ibu yang memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya dan 7 (35%) ibu yang tidak memberikan ASI secara eksklusif karena pada usia 4 - 6 bulan ibu sudah memberikan MP-ASI berupa pisang dan pepaya yang dikerok/dihaluskan serta nasi lembek (nasi tim). Hal tersebut menunjukan bahwa kurangnya pengetahuan ibu dan ketepatan waktu dalam pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI. Seharusnya bayi yg berusia < 6 bulan cukup hanya diberi ASI eksklusif dan setelah bayi berusia > 6 bulan baru diperbolehkan diberi MP-ASI. Selain itu, data yang didapatkan dari Polindes Kembaran pada bulan November 2013 yaitu adanya 14 (2,2%) balita yang menunjukan status gizi kurang dari total 638 balita.

  Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik mengetahui lebih jauh tentang hubungan antara pengetahuan ibu, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita di desa Kembaran untuk diteliti lebih lanjut.

B. Rumusan Masalah

  Pada usia balita, kecukupan gizi anak sangat tergantung kepada ibu atau pengasuhnya. Kurangnya pengetahuan gizi pada orang tua khususnya ibu, merupakan salah satu faktor penyebab kekurangan gizi pada balita. Selain itu, masalah gizi pada balita juga dapat disebabkan oleh kebiasaan pemberian ASI dan makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang tidak tepat baik segi kuantitas maupun kualitas.

  Mengingat pentingnya masalah tersebut maka peneliti ingin melakukan penelitian dan merumuskan masalah “Apakah ada hubungan pengetahuan ibu, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas? “ C.

   Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana hubungan pengetahuan ibu, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

2. Tujuan Khusus a.

  Untuk mengetahui karakteristik ibu meliputi usia, pendidikan, dan status pekerjaan serta karakteristik balita meliputi usia dan jenis kelamin di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

  b.

  Untuk mengetahui pengetahuan ibu mengenai gizi, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI terhadap balita serta status gizi balita di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

  c.

  Untuk mengetahui hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi balita di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

  d.

  Untuk mengetahui hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

  e.

  Untuk mengetahui hubungan antara waktu pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi balita di Desa Kembaran Kecamatan Kembaran Kabupaten Banyumas.

D. Manfaat Penelitian 1.

  Bagi Peneliti Menambah ilmu pengetahuan dan wawasan nyata tentang pengetahuan ibu, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI serta status gizi balita.

  2. Bagi Institusi Pendidikan Keperawatan Penelitian ini diharapkan akan memberikan ilmu pengetahuan pada bidang keperawatan komunitas dan keperawatan anak terutama tentang hubungan antara pengetahuan ibu, pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian makanan pendamping ASI dengan status gizi pada balita.

  3. Bagi Instansi Terkait Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai masukan bagi

  Puskesmas dalam meningkatkan mutu pelayanan terutama dalam upaya peningkatan status gizi balita.

  4. Bagi Responden Dengan adanya penelitian ini, hasilnya dapat digunakan sebagai motivasi ibu balita supaya selalu memperhatikan ketepatan waktu pemberian ASI ekslusif dan makanan pendamping ASI serta status gizi balitanya.

  5. Bagi Peneliti Selanjutnya Dapat memberikan dasar dan acuan penelitian berikutnya terutama mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi balita.

E. Penelitian Terkait

  Penelitian yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut:

1. Penelitian yang dilakukan oleh Munthofiah (2008) dengan judul

  “Hubungan antara pengetahuan, sikap dan perilaku ibu dengan status gizi anak balita”. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross sectional, jenis penelitian analitik observasional dan menggunakan teknik

  Exhaustive Sampling . Populasi dalam penelitian ini adalah Ibu dan balita

  yang berada di 6 Kecamatan wilayah di Kabupaten Sragen dengan sampel sebanyak 150 responden. Pengumpulan data dilakukan menggunakan kuesioner dan pengukuran status gizi balita menggunakan indikator BB/U. Hasil penelitian melalui uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,000 pada variabel pengetahuan ibu, hal ini menunjukkan bahwa ada hubungan antara pengetahuan ibu dengan status gizi anak balita.

  Persamaan dengan penelitian ini adalah ada salah satu kesamaan dalam variabel penelitiannya yaitu pengetahuan ibu, metode penelitian yang digunakan cross sectional, pengumpulan data menggunakan

  kuesioner, pengukuran status gizi balita menggunakan indikator BB/U dan menggunakan uji statistik Chi Square.

  Sedangkan Perbedaan dengan penelitian ini adalah ada perbedaan pada variabel bebas yaitu pemberian ASI eksklusif dan waktu pemberian

  makanan pendamping ASI , jenis penelitian deskriptif korelasional, teknik sampling menggunakan simple random sampling dan tempat penelitiannya juga berbeda.

  2. Hubungan Penelitian yang dilakukan oleh Giri et.al (2011) dengan judul “

  

pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di kampung

Kajanan Buleleng ”. Penelitian ini menggunakan pendekatan Cross

sectional, jenis penelitian deskriptif korelasional dan menggunakan teknik

simple random sampling . Populasi dalam penelitian ini adalah Ibu dan

  balita yang berusia 6-24 bulan di kampung Kajanan Buleleng dengan sampel sebanyak 78 responden. Pengumpulan data dilakukan menggunakan wawancara, kuesioner dan KMS balita. Hasil penelitian melalui uji Chi

  Square didapatkan nilai p = 0,017, hal ini menunjukkan bahwa ada

  hubungan antara pemberian ASI eksklusif dengan status gizi balita usia 6-24 bulan di kampung Kajanan Buleleng.

  Persamaan dengan penelitian ini adalah ada salah satu kesamaan dalam variabel penelitiannya yaitu pemberian ASI eksklusif, metode penelitian yang digunakan cross sectional, jenis penelitian deskriptif

  korelasional, teknik sampling menggunakan simple random sampling,

  pengumpulan data menggunakan kuesioner, sampel balita usia 6-24 bulan dan menggunakan uji statistik Chi Square.

  Sedangkan Perbedaan dengan penelitian ini adalah ada perbedaan pada variabel bebas yaitu waktu pemberian makanan pendamping ASI dan

  pengetahuan ibu dan tempat penelitiannya juga berbeda.

3. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Syatriani (2010) dengan judul

  “Faktor-faktor yang berhubungan dengan status gizi bayi di Kelurahan Bira Kota Makassar”. Penelitian ini menggunakan pendekatan cross

  sectional, jenis penelitian analitik korelasional dan menggunakan teknik systematic random sampling . Populasi dalam penelitian ini adalah balita

  yang berusia 6-12 bulan di Kelurahan Bira Kota Makassar dengan sampel sebanyak 128 responden. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dan pengukuran antropometri. Hasil penelitian melalui uji Chi Square didapatkan nilai p = 0,000 pada variabel pemberian ASI eksklusif dan

  p = 0,000 pada variabel pemberian MP-ASI. Hal ini menunjukkan bahwa

  ada hubungan antara pemberian ASI eksklusif dan MP-ASI dengan status . gizi bayi di kelurahan Bira kota Makassar

  Persamaan dengan penelitian ini adalah ada salah satu kesamaan dalam variabel penelitiannya yaitu pemberian ASI eksklusif, metode penelitian yang digunakan cros sectional dan menggunakan uji statistik Chi Square.

  Sedangkan Perbedaan dengan penelitian ini adalah ada perbedaan pada variabel bebas yaitu waktu pemberian makanan pendamping ASI dan

  

pengetahuan ibu , jenis penelitian deskriptif korelasional, teknik sampling

  menggunakan simple random sampling, pengumpulan data menggunakan

  kuesioner dan KMS balita, sampel balita usia 6-24 bulan dan tempat penelitiannya juga berbeda.