BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - A. Cucu Samsuri Umar BAB I

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kabupaten Tegal merupakan suatu daerah yang memiliki perjalanan

  sejarah yang panjang, sehingga menciptakan suatu kebudayaan yang hingga kini harus tetap terjaga dan terpelihara keasliannya. Simbol sebagai kota yang bersejarah bukanlah sekadar ucapan semata, melainkan terbukti dengan keberadaan warisan cagar budaya yang menunjukkan jati diri Kabupaten Tegal.

  Pengenalan sejarah merupakan kenyataan manusiawi yang dapat ditelusuri sejak perkembangan manusia yang paling dini, sejauh masa itu meninggalkan jejak-jejaknya dalam suatu perwujudan tertentu. Dari goresan berupa tulisan atau lukisan sampai dengan jejak berupa dokumen dan monumen adalah merupakan bukti nyata manusia pada suatu masa (Abu Su’ud, 2003: 133).

  Kenyataan masa lampau dapat dilihat dari benda-benda atau koleksi benda-benda yang masih tersimpan sampai saat ini. Keberadaannya membawa makna nyata terutama untuk menyingkap setiap peristiwa pada masa lampau sekaligus sebagai ukuran untuk melihat ketinggian martabat suatu bangsa.

  Slawi berupaya keras mematut diri, memosisikan sebagai Ibukota Kabupaten yang representatif. Sejumlah fasilitas umum dan publik yang perlu dimiliki sebuah Ibukota Kabupaten telah ada di Slawi. Sebut saja terminal, pasar, masjid agung, alun-alun, kantor kabupaten, hingga penjara. Namun pemenuhan kebutuhan kota saja tidak cukup. Karena hingga kini Slawi belum secara utuh menjadi identitas dan pusat kebudayaan Kabupaten Tegal.

  Telah 24 tahun Tegal memiliki ibukota sendiri. Periode dua dekade bukan waktu yang singkat. Namun pencapaian yang telah diperoleh juga belum cukup memuaskan, bayang-bayang Kxvota Tegal secara sederhana lahir karena kesamaan nama daerah. Kondisi yang relatif sama juga dialami kabupaten dan kota yang memiliki pertautan historis sehingga memiliki nama yang sama. Sebut saja Kabupaten dan kota Pekalongan, Semarang, Magelang, Bandung atau Tangerang. Kota Kajen, Ungaran, Mungkid, Soreang, dan Tigaraksa mengalami problem yang kurang lebih sama dengan Slawi. Problem serupa dalam konteks sedikit berbeda terjadi pada ibukota kabupaten yang memiliki reputasi melebihi Kabupatennya. Purwodadi sebagai ibukota Grobogan, Purwokerto sebagai pusat pemerintahan Banyumas dapat dijadikan contoh kasus ini. Dalam kasus ini ibukota kabupaten justru menjadi identitas kabupaten secara keseluruhan. Secara sederhana, cara efektif untuk membangun identitas Slawi dan Kabupaten Tegal adalah dengan mengubah nama daerah (Hestiyanto, 2008).

  Dengan nama yang berbeda dengan Kota Tegal, Kabupaten dapat membangun identitas seiring dengan perubahan nama daerah yang dipilih.

  Namun mengubah nama daerah bukan persoalan sederhana. Nama daerah di dalamnya telah melekat identitas, harga diri dan perjalanan sejarah yang panjang. Walaupun bukan berarti tidak ada daerah yang mengubah namanya. Seperti Ujungpandang menjadi Makassar, Irian Jaya menjadi Papua, Aceh menjadi Nanggroe Aceh Darussalam, atau Muangthai menjadi Tahiland dan Campa menjadi Kamboja. Brebes dan Pemalang meski pernah berada dalam kekuasaan Tegal ketika menjadi karesidenan telah menjadi kota mandiri salah satunya karena perbedaan nama dengan Tegal. Sehingga Brebes dan Pemalang dapat dengan mudah menyesuaikan diri ketika kemudian statusnya secara definisi setara dengan daerah induk (Hestiyanto, 2008).

  Di Kabupaten Tegal telah banyak dikenal oleh masyarakat luas dari berbagai aspek, baik budaya, ekonomi, maupun sosial, maka salah satu media yang mendorong untuk lebih memperkenalkan kabupaten Tegal adalah aspek sejarah dan budaya. Terdapat banyak tempat wisata sejarah di Kabupaten Tegal yang bisa dikunjungi. Baik wisata spiritual, petualangan, wisata alam dan lain sebagainya. Di antaranya Monumen GBN Slawi, Monumen GBN Lebaksiu, Monumen Ranjau Kalibakung, Jembatan Merah, Museum Situs Semedo, dan Museum Sekolah Slawi (Brosur, Pesona wisata Kabupaten Tegal).

  Salah satu objek wisata yang menjadi unggulan di Kabupaten Tegal adalah Museum Sekolah Slawi. Museum Sekolah Slawi ini merupakan satu- satunya museum yang memberikan gambaran tentang perkembangan kegiatan belajar mengajar di Indonesia khususnya Jawa Tengah mulai dari pengajaran yang sifatnya informal di perguruan-perguruan tradisional maupun pesantren- pesantren sampai pengajaran yang sifatnya formal yaitu di sekolah-sekolah mulai dari zaman Jepang sampai sekarang. Sehingga koleksi museum ini kebanyakan adalah ijazah-ijazah, STTB, dan lain-lain dari masa ke masa.

  Museum ini terletak di sebelah selatan bundaran Procot yang membuat posisinya mudah ditemui. Selain itu juga berada di Jl. A. Yani Slawi yang merupakan salah satu jalan utama di Kabupaten Tegal (Efendi, http://www.disparbud.tegalkab.go.id/id/component/content/article/64/14- museum-sekolah-slawi.html, diakses 4 september 2014).

  Museum ini merupakan satu-satunya museum sekolah yang ada di Jawa Tengah sehingga keberadaan museum Sekolah Slawi menjadi salah satu kebanggaan pemerintah daerah Kabupaten Tegal karena museum ini dinaungi oleh pemerintah Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tegal. Dalam menjalankan aktivitasnya, museum sekolah Slawi mengutamakan dan mementingkan penampilan koleksi yang dimilikinya, setiap koleksi merupakan

  bagian integral dari kebudayaan dan sumber ilmiah (Wuninggar, wawancara 20 November 2014). Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa museum Sekolah Slawi merupakan satu-satunya museum di Kabupaten Tegal yang memiliki koleksi-koleksi yang berpotensi untuk dijadikan sebagai sumber belajar siswa di Kabupaten Tegal. Melihat fakta tersebut maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul Museum Sekolah Slawi Di Kabupaten

  

Tegal (1972-2014). Alasan peneliti memilih judul tersebut karena masih

  banyak masyarakat yang belum tahu keberadaan museum tersebut dan pembatasan tahun pada judul tersebut di dasarkan pada mulai dibangunnya gedung museum.

B. Rumusan Masalah

  Setelah melihat latar belakang yang ada dan agar dalam penelitian ini tidak terjadi kerancuan, maka peneliti dapat membatasi dan merumuskan permasalahan yang akan diangkat dalam penelitian ini.

  1. Deskripsi sosial budaya Kelurahan Procot.

  2. Latar belakang berdirinya Museum Sekolah Slawi.

  3. Koleksi yang terdapat pada Museum Sekolah Slawi.

  4. Fungsi Museum Sekolah Slawi sebagai sarana pembelajaran sejarah.

  C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui Deskripsi sosial budaya Kelurahan Procot.

  2. Latar belakang berdirinya Museum Sekolah Slawi.

  3. Koleksi yang terdapat pada Museum Sekolah Slawi.

  4. Fungsi Museum Sekolah Slawi sebagai sarana pembelajaran sejarah.

  D. Manfaat Penelitian

  Manfaat penelitian dibagi menjadi dua, sebagai berikut:

  1. Manfaat Teoritis Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat: pertama, kegunaan yang bersifat ilmiah adalah untuk memperkaya ilmu pengetahuan mengenai benda-benda bersejarah, khususnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan mengenai benda-benda bersejarah di Kabupaten Tegal. Kedua, diharapkan dapat memberikan sumbangan ilmu pengetahuan mengenai peninggalan- peninggalan benda bersejarah

  2. Manfaat Praktis Manfaat praktis yang dapat diambil antara lain: pertama, bagi para mahasiswa, dosen, pelajar, dan peneliti, penelitian ini dapat dijadikan wacana yang dapat meramaikan perbincangan metodologis museum- museum yang ada di Indonesia. Kedua, diharapkan penelitian ini memiliki kelayakan untuk dijadikan pertimbangan bagi penelitian lain yang akan mengkaji objek penelitian yang sama dengan metode dan pendekatan yang bebeda.

E. Tinjauan Pustaka

  Penelitian ini bukanlah penelitian pertama yang dilakukan, melainkan sudah ada penelitian sejenis yang sudah pernah ada. Penelitian tersebut berbeda dalam konteks regional ataupun dalam konteks isi dengan penelitian yang hendak dilakukan. Penelitian ini merujuk pada beberapa tinjaun pustaka yang peneliti gunakan, tinjauan pustaka tersebut terdiri dari beberapa penelitian sejenis yang sudah ada sebelumnya.

  Salah satu skripsi yang digunakan peneliti yaitu skripsi yang berjudul

  

Museum Sangiran: Historisitas dan Relevansinya sebagai Sumber

Pembelajaran Sejarah karya Sigit Dwiyantoro FKIP Universitas Jember 2012.

  Museum Sangiran terletak di Desa Krikilan, Kecamatan Kalijambe, Kabupaten Sragen. Penelitan ini lebih khusus membahas koleksi-koleksi Museum Sangiran yang mempunyai relevansi dengan materi yang terdapat pada kurikulum di sekolah. Yaitu pada materi siswa SMP kelas VII dan SMA kelas X semester gasal yang membahas keragaman bentuk muka bumi, proses pembentukan, dan dampaknya terhadap kehidupan, kehidupan pada masa pra- aksara di Indonesia, tradisi sejarah dalam masyarakat Indonesia masa pra aksara dan masa aksara karena koleksi yang terdapat di museum Sangiran dominan mengenai kehidupan masa pra aksara dan masa aksara.

  Skripsi yang berjudul Fungsi Museum Blambangan Kabupaten

  

Banyuwangi sebagai Sumber Pembelajaran Sejarah karya Julia Lestari FKIP

  Universitas Jember 2012. Museum Blambangan merupakan museum yang menyimpan koleksi benda-benda peninggalan sejarah yang bertempat di Dinas Kebudayaan dan Pariwisata di Jalan A.Yani No.78 Banyuwangi. Dari jenis koleksi yang ada di museum, ada beberapa koleksi yang dapat di jadikan sumber pembelajaran sejarah, dari koleksi benda-benda tersebut dapat diklasifikasikan pada zaman Neolitikum dan Hindhu-Budha. Perwujudan dari pemanfaatan museum Blambangan dapat dilakukan dengan metode pembelajaran sejarah di luar kelas dengan model living story yaitu pengenalan lingkungan melalui metode widya wisata dimana kegiatan pembelajaran dilakukan diluar kelas.

  Skripsi yang berjudul Peranan Museum Soesilo Soedarman Terhadap

  Pendidikan Karakter (2008-2014), karya Era Mega FKIP Universitas

  Muhammadiyah Purwokerto 2014. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan gambaran mengenai latar belakang pendirian museum, peranan museum Sosilo Soedarman terhadap pendidikan karakter dan hambatan apa yang dihadapi oleh pengelola dan bagaimana cara mengatasinya. Museum Soesilo Soedarman merupakan museum kebanggaan masyarakat Cilacap, khususnya desa Gentarsari Kecamatan Kroya Kabupaten Cilacap karena merupakan salah satu tempat melestarikan aset-aset yang dimiliki bapak Soesilo Soedarman dari beliau kecil hingga beliau wafat, sekaligus sebagai sarana pendidikan bagi para generasi penerus. Museum Soesilo Soedarman sangat cocok dikunjungi wisatawan terutama bagi para pelajar karena memiliki banyak koleksi sejarah yang dapat menambah pengetahuan bagi pelajar.

  Skripsi yang berjudul Perkembangan Monumen Jenderal Soedirman

  

dan Fungsinya sebagai Sarana Pembelajaran Nilai-Nilai Sejarah Perjuangan

Bangsa di Desa Bantarbarang, Kecamatan Rembang, Kabupaten Purbalingga,

  FKIP Universitas Muhammadiyah Purwokerto 2013. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bagaimana sejarah monumen Jenderal Soedirman, dan fungsinya sebagai sarana pembelajaran nilai-nilai sejarah perjuangan bangsa. Hasil dari penelitian yaitu perkembangan dan fungsi monumen. Monumen Jenderal Soedirman mengalami beberapa kali pemugaran dan penambahan koleksi benda-benda serta penambahan bangunan. Yaitu tahun 1990 penambahan patung Pramuka Soedirman yang langsung di resmikan oleh Presiden Soeharto, kemudian selanjutnya monuemen di pugar tahun 2004, 2007 dan 2008. Monumen mempunyai berbagai macam fungsi yaitu fungsi

  edukatif,inspiratif dan rekreatif serta fungsi untuk menanamkan nilia-nilai keteladanan.

  Setelah melihat beberapa penelitian yang relevan diatas sebenarnya tidak banyak perbedaan, hanya saja terletak pada tempat dan waktu penelitian.

  Semuanya menggunakan metode penelitian sejarah seperti penelitian yang dilakukan peneliti yang membahas latar belakang berdirinya museum dan fungsi museum. Letak perbedaanya yaitu terfokus pada isi penelitian dan daerah yang digunakan, penelitian ini membahas mengenai latar belakang berdirinya museum, koleksi-koleksi yang terdapat pada museum, dan cara mendapatkan koleksi-koleksi tersebut untuk dijadikan daftar koleksi museum sekaligus fungsi museum Sekolah Slawi. Penelitian ini juga membahas kehidupan sosial budaya yang ada di wilayah sekitar lokasi penelitian.

F. Landasan Teori dan Pendekatan Penelitian

  1. Landasan Teori Dalam bukunya Priyadi yang mengutip bukunya Kuntowijoyo yang menjelaskan teori sejarah pada hakikatnya adalah teori pengetahuan yang sederajat dengan epistemologi dalam filsafat. Teori pengetahuan mempunyai fungsi yang mendasari penelitian sejarah dengan objeknya, yaitu manusia dalam ruang dan waktu (Priyadi, 2013: 44).

  Fungsi teori dalam disiplin sejarah seperti juga terdapat dalam disiplin ilmu-ilmu yang lain, yaitu untuk mengidentifikasi masalah yang hendak diteliti, disamping untuk menyusun kategori-kategori serta mengorganisasi hipotesis-hipotesis. Melalui tahap ini berbagai macam interpretasi data dapat diuji, dan memperlihatkan ukuran-ukuran atau kriteria yang dijadikan dasar untuk membuktikan sesuatu (Sukardi, 2013: 86). Dengan demikian, teori memang tidak dapat memberikan jawaban kepada penulis, akan tetapi teori dapat membekali penulis dengan pertanyaan-pertanyaan yang dapat diajukan terhadap fenomena atau gejala yang hendak diteliti.

  Penelitian ini menggunakan teori museum, museum yaitu salah satu bentuk lembaga untuk koleksi karya dan prestasi masyarakat di masa lampau.

  Tentu saja museum tidak harus dalam bentuk bangunan yang menyimpan karua dan prestasi masyarakat di masa lampau tetapi juga berbentuk suatu situs lingkungan fisik tertentu. Keberadaan museum akan menjadi lebih berarti jika dikaitkan dengan pendidikan sejarah karena museum memberikan fasilitas belajar sejarah yang sangat menguntungkan dan merupakan bagian sumber belajar sejarah yang nyata. Museum bukanlah semata-mata suatu alat untuk mencegah bahaya kemiskinan kebudayaan suatu bangsa saja tetapi adalah suatu lembaga untuk memajukan peradaban bangsa (Munandar dkk, 2011:10).

  Menurut Internasional Countil of Museum atau Organisasi Permuseuman Internasional ICOM, museum itu adalah suatu lembaga yang permanen, yang melayani kepentingan masyarakat dan kemajuannya, terbuka untuk untuk umum, tidak bertujuan mencari keuntungan, yang, mengumpulkan, memelihara, meneliti, memamerkan dan mengkomunikasikan benda-benda pembuktian material manusia dan lingkungannya, untuk tujuan- tujuan studi, pendidikan rekreasi (Sutaarga, 1991: 3). Maka sudah jelas dikemukakan bahwa koleksi museum terbuka untuk umum.

  Kata museum berasal dari bahasa yunani kuno yaitu museion yang merupakan sebuah bangunan tempat suci untuk memuja Sembilan dewi seni dan ilmu pengetahuan. Salah satu dari Sembilan dewi itu adalah Mouse yang lahir dari Mahadewa Zous dengan isterinya, dewa dan dewi tersebut bersemayam di pegunungan Olympus. Museion selain tempat suci juga merupakan tempat untuk berkumpul para cendekiawan yang mempelajari serta menyelidiki berbagai ilmu pengetahuan, juga sebagai tempat pemujaan dewa dewi (Vibariani, 2007: 3).

  Museum dibuka untuk masyarakat umum, ada yang dikenakan biaya dan ada juga yang membebaskan biaya bagi para pengunjung yang akan masuk. Tetapi museum tidak dijalankan untuk mencari keuntungan, berbeda dengan galeri yang menyediakan berbagai objek atau benda koleksi yang bisa dijual kepada pengunjung. Ada museum yang dikelola oleh pribadi atau keluarga dan ada juga mesum yang dikelola oleh pemerintah.

  Pendirian sebuah museum dapat memberikan banyak manfaat yaitu museum sebagai tempat memelihara warisan budaya, tempat untuk membina dan melatih generasi muda, artinya mereka mampu menguasai seni kebudayaan bangsanya kemudian mengkreasikan dalam bentuk yang baru dan melestarikan budaya yang telah ada. Museum merupakan cerminan kebudayaan setempat di dalam lingkungan nasional dan membuat manusia penuh kesadaran dalam kebudayaan. Dan yang terakhir museum bermanfaat sebagai tempat pusat pendidikan masyarakat dan sebagai alat penunjang pelajaran (Kusumo, 1990: 25-29).

  Museum mempunyai fungsi untuk mengembangkan kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan dan pembelajaran masyarakat. Museum ini penting sebagai sarana penanaman nilai-nilai dan pengembangan budaya serta meningkatkan rasa kebanggaan nasional dan jati diri bangsa. Museum harus dapat mendukung proses pendidikan, khususnya di bidang pendidikan sejarah dan kepurbakalaan Indonesia. Dengan adanya museum, siswa dapat melihat langsung potensi dan arti penting sumber daya budaya, serta upaya dan proses pelestariannya. Sesuai dengan tujuan dan fungsi museum sebagai sarana pendidikan, maka museum dapat di manfaatkan sebagai tempat belajar bagi siswa sekolah dari berbagai tingkatan.

  Dari keterangan tersebut diatas nyatalah bahwa museum bukan hanya sebagai tempat penampungan koleksi barang-barang antik melainkan berfungsi sebagai pusat dokumentasi dan penelitian ilmiah, pusat penyaluran ilmu untuk umum, pusat penikmatan karya seni, pusat perkenalan kebudayaan antar daerah dan antar bangsa, sebagai objek wisata, media pembinaan pendidikan kesenian dan ilmu pengetahuan, suaka alam dan suaka budaya, cermin sejarah manusia baik alam maupun kebudayaan serta sebagai sarana untuk bertakwa kepada Tuhan (Vibariani, 2007: 6).

  2. Pendekatan Selain teori yang digunakan dalam sebuah penelitian. Penelitian tersebut hendaknya memiliki sebuah pendekatan yang relevan untuk mempermudah peneliti dalam melakukan penelitianya. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan arkeologi. Pendekatan arkeologi digunakan untuk menekankan dalam memberikan bahan penting terhadap ilmu purbakala yang berkaitan dengan bekas atau warisan masa lalu berupa artefak. Warisan itu dapat berupa bangunan dan monumen yang masih terdapat diatas permukaan tanah, bekas yang tersimpan dalam tanah yang dikeluarkan dengan penggalian maupun penggalian tinggalan arkeologis yang tersimpan dibawah laut (Hamid, 2011: 26). Adanya pendekatan arkeologi diharapkan penelitian yang dilakukan akan lebih baik karena penelitian yang dilakukan peneliti erat kaitannya dengan warisan masa lalu yang tersimpan dalam museum.

G. Metode Penelitian

  Metode penelitian merupakan cara utama yang dipakai untuk mencapai tujuan, mengisi serangkaian hipotesis dengan alat-alat tertentu. Metode penelitian yang penulis gunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah metode penelitian sejarah. Metode sejarah adalah suatu cara seseorang sejarawan mendekati objek penelitiannya dengan langkah-langkah yang terstruktur sehingga akan mempermudah dalam pemerolehan data. Adapaun langkah- langkah tersebut adalah sebagai berikiut:

  1. Heuristik Data sejarah itu harus dicari dan juga ditemukan. Itulah maksud dari heuristik. Data sejarah tidak selalu tersedia dengan mudah sehingga untuk memperolehnya harus bekerja keras mencari data lapangan. Heuristik yaitu suatu kegiatan pencarian sumber-sumber yang dibutuhkan dalam proses pembuatan skripsi (Priyadi, 2013: 112). Menurut sifatnya sumber sejarah dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer sebagai kesaksian dari saksi dengan mata kepala sendiri atau saksi dengan panca indera yang lain, atau dengan alat mekanis. Sumber primer merupakan saksi pandangan mata atas peristiwa yang terjadi. Sebagai laporan pandangan mata maka sumber primer harus dihasilkan oleh pelaku atau orang sezaman dengan peristiwa yang dikisahkan (Gottschalk, 1975: 28).

  Sumber primer dalam penelitian ini memanfaatkan semua literatur yang berkaitan dengan Museum Sekolah Slawi dan wawancara dengan pelaku sejarah, yaitu Pak Atmorejo petugas kebersihan sekaligus penjaga Museum Sekolah Slawi, Kepala museum Ibu Wuninggar, Kasi Sejarah Kepurbakalaan Bapak Jamroni dan narasumber lain yang masih ada kaitannya dengan museum Sekolah Slawi ini.

  Sedangkan Sumber sekunder adalah orang yang mengetahui kejadian tersebut tapi bukan pelaku atau saksi sejarah. Sumber sekunder tersebut merupakan salah satu tumpuan sejarawan untuk memperoleh pengetahuan tentang latar belakang untuk menggali dokumen yang sejaman (Gottschalk, 1975: 29).

  Menurut bahannya, sumber dibagi menjadi dua kategori, yaitu sumber tertulis (document) dan sumber tidak tertulis (artifact). Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data di perpustakaan UMP, perpustakaan Museum Sekolah Slawi, Perpustakaan daerah Kabupaten Tegal dan tempat-tempat lainnya yang menyediakan data yang terkait dengan penelitian ini.

  2. Kritik Setelah data dokumen, manuskrip (naskah-naskah lama), artefak, foklor, dan sejarah lisan diperoleh dan dikumpulkan, peneliti harus melakukan langkah kritik dan verifikasi sebelum digunakan. Verifikasi berusaha menilai apakah data itu asli atau selanjutnya bisa dipercaya. Di sini ada dua hal yang dituntut, yaitu otensitas (keaslian sumber) melalui krtik eksternal dan kredibilitas (tingkat kebenaran informasi) dengan cara krirtik internal.

  Keontetikan melihat dari sisi luar data, kekredibilitasan mengkritisi hal-hal berkaitan dengan isi data (Priyadi, 2013: 118).

  3. Interpretasi Sebelum pada tahap historiografi, terlebih dahulu fakta sejarah digabung-gabungkan berdasarkan subjek kajian. Dalam kaitan itu, tema pokok kajian merupakan kaidah yang dijadikan sebagai kriteria dalam menggabungkan data sejarah. Data yang tidak berkaitan dipisahkan agar tidak mengganggu peneliti dalam merekonstruksi peristiwa sejarah (Hamid, 2011: 49-50).

  Penulisan sejarah diperlukan dua komponen, yaitu fakta sejarah dan interpretasi. Fakta sejarah cenderung akan diam dan menyembunyikannya adalah sejarawan melalui interpretasi. Fakta yang tidak di interpretasikan bukanlah sejarah (Priyadi, 2013: 121).

  4. Historiografi Langkah terakhir untuk puncak metode sejarah yaitu penulisan sejarah atau sering disebut historiografi. Historiografi merupakan puncak dari segala- galanya dari metode penelitian sejarah, sejarawan pada fase ini mencoba menangkap dan memahami sejarah sebagaimana kisah, artinya sejarah dipandang sebagai kisah, yaitu kisah yang ditulis oleh sejarawan, maupun penulis, sehingga karyanya itu disebut sejarah sebagaimana dikisahkan (Priyadi, 2013: 122). Pada langkah ini peneliti menuliskan hasil yang didapat dari penelitianya, hasil tersebut adalah hasil penelitian yang berdasarkan fakta- fakta yang ada di lapangan.

H. Sistematika Penulisan

  Penyusunan yang dilakukan dalam sebuah penelitian secara ilmiah harus sesuai sistematis penulisan yang telah ditentukan. Tujuan dari sistematika penyusunan ini supaya penelitian yang dilakukan dan hasil yang diperoleh dapat lebih sistematis dan terinci secara baik. Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini peneliti membagi ke dalam beberapa bagian.

  Bab satu pendahuluan, dalam bab ini berisi gambaran secara singkat mengapa peneliti mengambil tema penelitianya. Bab ini terdiri dari latar belakang masalah yang berisi latar belakang atau alasan mengapa peneliti mengambil penelitian ini, rumusan masalah yang berisi mengenai poin-poin apa saja yang akan diteliti oleh peneliti, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjaun pustaka yang berisi mengenai kepustakaan yang pernah diteliti oleh orang atau kelompok mengenai penelitian yang akan diteliti, metode penelitian yang berisi metode atau cara peneliti dalam melakukan penelitian, landasan teori dan pendekatan yang berisi dasar atau pondasi teori yang digunakan untuk mendukung keabsahan penelitian serta pendekatan apa yang cocok untuk penelitian, sistematika penulisan yang berisi bagian-bagian yang akan diteliti.

  Bab dua deskripsi sosial budaya Kabupaten Tegal, pada bab ini peneliti membahas kondisi sosial budaya wilayah penelitian yaitu tradisi teh poci, bahasa tegalan, wayang kulit, batik tradisional dan sosial ekonomi kelurahan Procot.

  Bab tiga berisi berdirinya Museum Sekolah Slawi, bab ini peneliti akan membahas mengenai sejarah berdirinya museum Sekolah Slawi dari awal berdirinya sampai kendala saat dan sesudah dibangunya museum dan loleksi yang tersimpan pada museum Sekolah Slawi.

  Bab empat berisi fungsi museum sebagai sarana pembelajaran sejarah ditinjau dari fungsi museum sebagai tempat pelestarian benda-benda bersejarah, Museum Sekolah Slawi sebagai salah satu sarana pendidikan, dan hubungannya dengan kepariwisataan Kabupaten Tegal.

  Bab lima berisi simpulan dan saran sekaligus penutup skripsi.