PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING).

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

KOMANG AGUNG CRI BRAHMANDA
NIM. 1103005255

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN
ORANG (HUMAN TRAFFICKING)

Skripsi ini di buat untuk memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana

KOMANG AGUNG CRI BRAHMANDA
NIM. 1103005255

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
ii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa,
karena berkat anugerahnya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul
“PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN PERDAGANGAN
ORANG (HUMAN TRAFFICKING)”
Skripsi ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi kewajiban terakhir
mahasiswa dalam menyelesaikan perkuliahan pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana sehingga dapat dinyatakan selesai menempuh program Sarjana (S1) serta
memperoleh gelar Sarjana Hukum.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna karena
terbatasnya kemampuan dan pengalaman penulis, baik teori maupun praktek.
Penulis berharap semoga skripsi ini memenuhi kriteria salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Udayana.
Dalam menyusun skripsi ini, penulis mendapatkan arahan dan dukungan

dari berbagai pihak baik secara materiil maupun inmateriil. Penulis mengucapkan
terimakasih sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH., MH., Dekan Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
2. Bapak I Ketut Sudiarta, SH., MH., Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
3. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, SH., MH., Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Suardana, SH., MH., Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
5. Bapak Dr. Ida Bagus Surya Dharma Jaya, SH., MH, Ketua Bagian Hukum
Pidana, Fakultas Hukum Universitas Udayana..
6. Prof. Dr. I Ketut Rai Setiabudi, SH., MS., Dosen Pembimbing I dalam
penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan,
saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.

iv

7. Bapak Dr. Gde Made Swardhana, SH., MH, Dosen Pembimbing II dalam

penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan arahan, bimbingan, dukungan,
saran dan petunjuk yang sangat bermanfaat bagi penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
8. Bapak Ida Bagus Putra Admaja, SH., MH., selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis yang senantiasa mengarahkan dan membimbing penulis
selama duduk di bangku perkuliahan.
9. Orang tua (I Putu Tuny Caka Bawa Landra dan Ni Made Ayu Ariani Inggas),
Kakak (I Gede Anom Ananta Yudha), dan (I Nengah Cri Dharma
Nickylananda) serta keluarga besar penulis yang selalu mendoakan,
memberikan dorongan, tuntunan, bimbingan kepada penulis yang tak ternilai
harganya.
10. Bapak dan Ibu Dosen di lingkungan Fakultas Hukum Universitas Udayana
yang telah sangat berjasa memberikan ilmu pengetahuan selama penulis duduk
di bangku perkuliahan.
11. Bapak/Ibu Staff Tata Usaha, Perpustakaan, Laboratorium Hukum, dan
Bapak/Ibu pegawai Fakultas Hukum Universitas Udayana, yang telah
memberikan pelayanan dan mendukung selama perkuliahan dan penyusunun
skripsi ini.
12. Sahabat-sahabat penulis (Kak Doron, Mas Rochman, Ko Hendra) yang sudah
memberikan motivasi kepada penulis untuk masa depan dan seluruh temanteman seperjuangan seangkatan 2011 yang telah memberikan pengalaman

berkesan selama perkuliahan dan memberikan semangat kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata, dengan kerendahan hati penulis menghargai dan menerima
kritikan dan saran demi kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat
bermanfaat, baik sebagai bahan bacaan maupun pengetahuan bagi yang
memerlukan.

Denpasar, 13 Januari 2016
Penulis

v

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...................................................................................

i

DAFTAR ISI ..................................................................................................


iv

BAB I PENDAHULUAN .............................................................................

1

1.1 Latar Belakang Masalah .........................................................

1

1.2 Rumusan Masalah ..................................................................

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah.........................................................

6

1.4 Tujuan Penulisan ....................................................................


6

1.4.1 Tujuan Umum ..............................................................

6

1.4.2 Tujuan Khusus .............................................................

7

1.5 Manfaat Penulisan ..................................................................

7

1.5.1 Manfaat Teoritis ...........................................................

7

1.5.2 Manfaat Praktis ............................................................


7

1.6 Landasan Teoritis ...................................................................

8

1.7 Metode Penelitian ...................................................................

16

1.7.1 Jenis Penelitian.............................................................

16

1.7.2 Jenis Pendekatan ..........................................................

17

1.7.3 Sumber Bahan Hukum .................................................


14

1.7.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ...........................

16

1.7.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ....................................

16

BAB II

TINJAUAN
UMUM
TENTANGPERLINDUNGAN
HUKUM DAN KORBAN PERDAGANGAN ORANG
(HUMAN TRAFFICKING)

2.1.1. Pengertian Perdagangan Orang (Human Trafficking) ............ 23
2.1.2. Aspek-Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana

Perdagangan Orang (Human Trafficking) ..............................
2.1.3 Kebijakan Hukum Pidana dalam Pencegahan Tindak
Pidana Perdagangan Orang (Human Trafficking) ..................

26

29

2.1.4 Perlindungan Saksi dan Korban Tindak Pidana
Perdagangan Orang ................................................................

33

BAB III PENGATURAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP
KORBAN
PERDAGANGAN
ORANG
(HUMAN
TRAFFICKING) ..........................................................................


38

3.1 Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang

38

3.2 Pengaturan Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Perdagangan Orang (Human Trafficking) ..............................

41

BAB IV PENEGAKAN
HUKUM
TERHADAP
KORBAN
PERDAGANGAN ORANG (HUMAN TRAFFICKING)
4.1 Upaya Penanggulangan Perlindungan Korban Perdagangan
Orang (HumanTrafficking) .....................................................

48


4.2 Penegakan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang
(Human Trafficking) Di Masa Mendatang .............................

53

BAB V PENUTUP
5.1 Kesimpulan .............................................................................

56

5.1 Saran .......................................................................................

58

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK
PELAKSANAAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN
PERDAGANGAN ORANG (Human Trafficking)

Perdagangan manusia (Human Trafficking) didefinisikan sebagai semua
tindakan yang melibatkan pemindahan, penyelundupan atau menjual manusia baik
di dalam negeri maupun antar negara melalui mekanisme paksaan, ancaman,
penculikan, penipuan dan memperdaya atau menempatkan seseorang dalam
situasi sebagai tenaga kerja paksa seperti protitusi paksa, perbudakan dalam kerja
domestik, belitan utang atau praktek-praktek perbudakan lainnya. Artikel ini
secara khusus membahas tentang pengaturan perlindungan hokum terhadap
korban perdagangan orang (human trafficking) dan perlindungan terhadap korban
perdagangan orang (human trafficking) di masa mendatang. Adapun yang menjadi
penulisan proposal ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan
perlindungan hokum terhadap korban perdagangan orang (human
trafficking).Sedangkan manfaatnya adalah untuk memberikan sumbangan
pemikiran dan memberi informasi mengenai perlindungan hokum terhadap
perdagangan orang (human trafficking).
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis
penelitian hokum normatif. Karena penelitian ini adalah berupa data sekunder
yang berupa bahan hokum baik bahan hukum primer maupun hokum sekunder.
Jenis pendekatan yang digunakan dalam skripsi ini adalah pendekatan perundangundangan pendekatan konsep. Analisis terhadap bahan-bahan hukum yang telah
diperoleh dilakukan dengan cara deskriptif, analisis, dan argumentatif.
Kesimpulan yang dapat di tarik, 1) pengaturan perlindungan hokum
terhadap korban perdagangan orang diatur dalam Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang mengatur mengenai
bentuk-bentuk perbuatan yang harus dihukum kepada pelaku maupun korporasi,
tetapi terhadap beberapa ketentuan dalam perjanjian internasional. 2) pencegahan
Tindak Pidana Perdagangan Orang dapat dilakukan melalui pengembangan norma
hukum dan penegakan hukum. Pada tataran ini dapat dilakukan dengan
menegakkan hukum Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 melalui kerjasama
dan persamaan persepsi aparat penegak hukum, sosialisasi Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Dan juga bantuan hukum serta pendampingan bagi korban, dari segi sosial,
kesehatan, dan psikologi.
Kata kunci: perlindungan hukum, korban perdagangan orang

ABSTRACT
HUMAN TRAFFICKING VICTIMS LEGAL PROTECTION
(Human Trafficking)

The definition of human trafficking as an act which involve the removal,
smuggling or human trafficking both domestically or between state through a
coercion, threats, kidnapping, fraud and deceive or put someone in a forced labor
circumstances such as a forced prostitution, domestic slavery labor, entanglement
debt or any kind of labor practice. This article especially discuss about the
regulation of human trafficking legal protection and its future regulation. This
research aims to knowing and analyze the regulation of human trafficking victims
legal protection. Then, the advantage is to give an information concerning about
human trafficking victims legal protection.

This research applied normative legal research method, because this
research using secondary legal materials. The statute approach were applied in
this research and also the analyzed of legal materials that has been obtained is
done by descriptive, analyze and argumentative method.

The conclusion drawn for each man issues as follows: 1) the regulation of
human trafficking victims legal protection which is regulate in Act Number 21 of
the year 2007 concerning Human Trafficking Criminal Action, its regulate about
the kind of action that have to punish to the person who commits crime of the
corporation, yet towards to some of international agreement, 2) the prevention of
Human Trafficking Criminal Action can be done by the enforcement of Act
Number 21 of the year 2007 through the corporation and common perception of
law enforcement officers then it needs the socialization of that act and also giving
the legal aid and an assistance to the victims from socially, health and psychology
aspects.

Keywords: Legal protection, Human Trafficking Victims

1

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Isu perdagangan orang sebenarnya bukanlah yang baru bagi masyarakat
Internasional maupun Indonesia khususnya. Fenomena ini telah ada sejak zaman
imperialisme dan kolonialisme. Perdagangan orang ini telah dikenal sejak abad
ke-4 dan berkembang terus sampai abad ke-18, saat ini perkembangan
perdagangan orang beralih pada kondisi rentan dan atau tersubodinasi. Hal ini
dikarenakan perempuan dan anak-anak mudah dibujuk dan dibohongi dengan
iming-iming yang menggiurkan. Tindak pidana perdagangan orang terjadi akhirakhir ini menunjukan tandensi meningkat namun penanganan terhadap kasus
tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik.
Perdagangan orang dapat diklasifikasikan sebagai salah satu bentuk
perlakuan terburuk dari tindak kekerasan yang dialami orang terutama terhadap
perempuan dan anak-anak. Perdagangan orang benar-benar suatu pelanggaran
HAM karena korban diabaikan hak dasar sebagai manusia. Seperti hak untuk
bebas bergerak, hak atas standar hidup layak termasuk cukup sandang, pangan dan
papan serta hak atas tingkat hidup atas tingkat hidup untuk kesehatan dan
kesejahteraan diri.1
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (selanjutnya disebut UUD NRI 1945) menjelaskan bahwa setiap orang
sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak asasi sesuai dengan
kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh Undang-Undang. UUD
NRI 1945 juga mengatur menangani hak asasi manusia tersebutdan diatur dalam
Pasal 28A sampai dengan Pasal 28J.2
Selain didalam UUD NRI 1945, pengaturan hak asasi manusia juga diatur
didalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1

Made Sweda, 2013, Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Dan Anak-Anak
Sebagai Korban Dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang Di Hubungkan Dengan KonvensiKonvensi Intenasional, (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Jayabaya Jakarta, h.1.
2
Ibid,h.2.

1

2

(selajutnya disebut UU HAM). Dalam Pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa hak asasi
manusia sebagai mahluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerahnya
yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum,
pemerintah dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia.
Perdagangan orang untuk tenaga kerja (Trafficking in persons for labor)
merupakan masalah yang sangat besar. “Trafficking in persons for labor may not
attract as much publicity as trafficking in persons for sex, but it is a huge
problem…” Data Perdagangan orang di Indonesia sejak 1993-2003 menunjukkan
bahwa perdagangan orang dengan modus menjanjikan pekerjaan banyak terjadi
dan ini dialami oleh kalangan perempuan dan anak-anak.3 Dampak yang dialami
para korban perdagangan orang beragam, umumnya masuk dalam jurang
prostitusi (PSK), eksploitasi tenaga kerja dan sebagainya. Sedangkan dari sisi
pelaku umumnya dilakukan oleh agen penyalur tenaga kerja dengan modus janji
memberi pekerjaan dan dilakukan baik secara pasif (dengan iklan lowongan
pekerjaan) maupun dengan aktif (langsung ke rumah-rumah penduduk) merekrut
mereka yang memang mengharapkan pekerjaan.
Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini
digunakan secara resmi di dalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sebutan Perdagangan
Orang sebagai " the form of modern day slavery". Sebutan tersebut sangat tepat
karena sesungguhnya hal ini adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman
modern ini, dan juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang
melanggar harkat dan martabat manusia.
Sejak diundangkannya Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan Undang-Undang No. 35
Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak telah memberikam harapan baru dalam
rangka penanganan kasus perdagangan orang yang semakin marak dan sudah
Agusmidah, “Tenaga Kerja Indonesia, Perdagangan Manusia (Human Trafficking)
Dan Upaya Penanggulangannya (Sudut Pandang Hukum Ketenagakerjaan)”, Disertasi Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3

3

merupakan kejahatan yang serius dan juga pengingkaran terhadap HAM. Bahkan
saat ini, Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention Against
Transnational Organized Crime (UNCATOC) dengan Undang-undang Nomor 5
Tahun 2009, tanggal 1 Januari 2009. Dengan telah diratifikasinya Konvensi PBB
tersebut, berarti Indonesia telah benar-benar merupakan bagian dari upaya
penanggulangan tindak pidana perdagangan orang secara global.
Meskipun telah diatur dalam UU Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, tindak pidana ini masih terus terjadi. Hal ini menunjukan
adanya pelanggaran norma hukum yang menimbulkan korban. Adapun korban
yang dimaksud dalam tindak pidana perdagangan orang tersebut ialah seorang
yang mengalami beban dan tekanan psikologis, seperti rasa jengkel, takut yang
berkepanjangan, trauma, atau bahkan gangguan kejiwaan akibat penderitaan yang
ia alami. Hal ini diatur dalam Pasal 1 angka (3) UU Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan orang.
Menanggulangi perdagangan orang melalui produk hukum berupa undangundang, pada dasarnya merupakan salah satu wujud dari kebijakan akan
penanggulangan kejahatan atau bagian dari politik/kebijakan kriminal 4. Khusus di
Provinsi Bali terdapat aturan mengenai penanggulangan korban yang termuat
dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang Pencegahan
dan Penanganan Korban Perdagangan Orang selanjutnya disebut PERDA Bali
tentang Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang. Penelitian ini
sangat penting dilakukan karena pulau Bali dikenal sebagai daerah pariwisata
yang rentan terhadap kejahatan termasuk tindak pidana perdagangan orang,
dengan demikian perlu adanya pengaturan mengenai perlindungan hukum bagi
korban perdagangan orang yang bertujuan untuk melindungi masyarakat Bali dari
tindak pidana perdagangan orang.
Penanggulangan tindak pidana perdagangan orang, membutuhkan waktu
yang cukup lama mengingat perdagangan orang merupakan kejahatan yang
teroganisir yaitu kejahatan yang dilakukan secara berkelompok dan anggotanya
4

Henry Nuraency, 2011, Tindak Pidana Perdagangan Orang (Kebijakan Hukum Pidana dan
Pencegahannya), Sinar Grafika. h.5

4

mendapat pembagian tugas yang sistematis serta memiliki tujuan tertentu. Norma
yang digunakan dalam penelitian ini adalah konflik norma yang penulis kaji,
berdasarkan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014

tentangPerubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Konflik antar norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam
ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan
Orang dan Pasal 83 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang masih tetap berlaku ketentuannya dimana
beberapa ketentuan pasalnya telah dirubah dalam ketentuan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Berdasarkan Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 3
berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negaraRepublik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik
Indonesia atau dieksploitasi di negaralain dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,Pasal 83 menyatakan: “Setiap
orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).

(dua ratus empat puluh juta rupiah). Penjelasan Pasal 9 dalam penjelasan
pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.
Ketentuan pasal peraturan perundang-undangan lainnya yang menunjukan
adanya konflik norma dengan Pasal diatas adalah Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam substansi Pasal 83 dinyatakan
bahwa :

5

Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk
diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15
(lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah). Penjelasan pasal 83 dalam
penjelasan pasal demi pasalnya adalah cukup jelas.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal diatas terlihat adanya konflik norma
dalam hal penerapan penjatuhan sanksi pidana dalam hal terjadinya kejahatan
human trafficking. Pasal 9 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Perdagangan Orang menyatakan bahwa sanksi pidana yang diberikan dalam
tindak pidana perdagangan orang adalah dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun sedangkan Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dalam substansi Pasal 83
dinyatakan bahwa Setiap orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik
anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun Ketentuan undangundang yang mana yang akan digunakan dalam hal penerapan sanksi pidana
dalam kejahatan human trafficking.
Bertitik tolak dari permasalahan dalam latar belakang diatas maka penulis
merasa terdorong untuk meneliti dan berusaha menuangkannya dalam bentuk
skripsi dengan judul penelitian “Perlindungan Hukum Terhadap Korban
Perdagangan Orang (Human Trafficking).”

1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka rumusan masalah
dalampenelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pengaturan perlindungan hukum terhadap korban perdagangan
orang (human trafficking)?
2. Bagaimanakah sebaiknya perlindungan terhadap korban perdagangan orang
(human trafficking) dimasa mendatang?

6

1.3 Ruang Lingkup Masalah
Dalam setiap penulisan karya ilmiah perlu ditegaskan mengenai ruang
lingkup masalah yang akan diuraikan sehingga jelas batasannya, karena tanpa
adanya ruang lingkup yang jelas maka masalah tersebut sulit untuk dikaji. Oleh
karena itu didalam penulisan skripsi ini batasan masalahnya ialah terkait dengan
perkembangan tindak pidana perdagangan orang.

1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Adapun yang menjadi tujuan umum dari penulisan proposal ini adalah:
1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah
secara tertulis.
2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi khususnya pada
bidang penelitian Ilmiah yang dilakukan oleh mahasiswa.
3. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perdagangn
orang (human trafficking).
1.4.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui dan menganalisis pengaturan perlindungan hukum
terhadap korban perdagangan orang (human trafficking).
2. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap korban perdagangan
orang dimasa mendatang.

1.4

Manfaat Penelitian
Penelitian

ini

diharapkan

dapat

memberikan

masukan

dalam

studihukumpidana, serta menambah wawasan tentang perlindungan hukum
terhadap korban perdagangan orang (Human Trafficking).
1.4.1 Manfaat Teoritis
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan
memberi informasi mengenai perlindungan hukum terhadap perdagangan orang
(Human Trafficking).

7

1.4.2

Manfaat Praktis.
Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam

ranah praktik bagi praktisi hukum, akademisi, dan mahasiswa mengenai
perlindungan hukum terhadap perdagangan orang (Human Trafficking).

1.5

Landasan Teoritis
Pada umumnya setiap penelitian yang baik selalu menggunakan teori.

Menurut Fred Kerlinger dalam The Liang Gie, sebuah teori adalah seperangkat
pengertian (konsep), defenisi, dan proposisi yang saling berkaitan yang
menyajikan sebuah pandangan sistematik antara variabel-variabel dengan tujuan
menerangkan dan mramalkan fenomena-fenomena itu. 5 Cooper dan Schindler,
mengemukakan bahwa, teori adalah seperangkat konsep, definisi dan proposisi
yang tersusun secara sistematis sehingga dapat digunakan untuk menjelaskan dan
meramalkan fenomena.6Adapun teori teori ysng dipergunakan dalam penelitian ini
yaknni teroi perlindungan hukum dan teori pemidanaan
1.5.1. Teori Perlindungan Hukum
Teori perlindungan hukum merupakan salah satu teori yang sangat penting
untuk dikaji, karena fokus kajianya adalah memberikan perlindungan hukum ini
berasal dari bahsa Inggris, yaitu legal protection theory, sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan theorie der rechtliche schutz.7
Terkait dengan perlindungan hukum, Philipis M. Hadjon menyatakan sarana
perlindungan hukum ada dua, yaitu : sarana perlindungan hukum preventif dan
sarana perlindungan hukum respresif di Indonesia ditangani oleh badan-badan :
Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Instansi Pemerintah yang
merupakan lembaga banding administrasi dan badan-badan khusus. 8 Dalam
kongres PBB pada Tahun 1985 di Milan tentang The Prevention of Crime and
moment of Offenders, dikemukakan : hak-hak korban seyognyanya di lihat sebagai

Gie, Liang, The, 2004, „‟Pengantar Filsafat Ilmu, „‟Liberty, Yogyakarta, hal. 145
Sugiyono, 2005, Memahami Penelitian Kualitatif‟‟‟, Alfabeta, Bandung, hal. 41.
7
Dr. H. Salim HS, S.H., M.S dan Kebudyaan, 1989,
8
Philipus M. Hadjon, 1987 Perlindungan Hukum bagi Rakyat, , Bina Ilmu, Surabaya. H.10.
5

6

8

bagian integral dari keseluruhan sistem peradilan pidana 9 Ini berarti, antara
filosofis manusia selalu mencari perlindungan dari ketidak seimbangan yang
dijumpainya baik yang menyangkut hak-haknya maupun melalui aturan-aturan
sehingga tercapai kehidupan selaras bagi kehidupan. Hukum, menurut Isran,
dalam hal ini hukum pidana, merupakan salah satu upaya untuk menyeimbangkan
hal-hal tersebut10

1.5.2. Teori Pemidanaan
Teori-teori pemidanaan berkembang mengikuti dinamika kehidupan
masyarakat sebagai reaksi dari timbul dan berkembangnya kejahatan itu sendiri
yang senantiasa mewarnai kehidupan sosial masyarakat dari masa ke masa. Dalam
dunia ilmu hukum pidana itu sendiri, berkembang beberapa teori tentang tujuan
pemidanaan, yaitu teori absolut (retributif), teori relatif (deterrence/utilitarian),
teori penggabungan (integratif), teori treatment dan teori perlindungan sosial
(social defence). Teori-teori pemidanaan mempertimbangkan berbagai aspek
sasaran yang hendak dicapai didalam penjatuhan pidana.11
Teori absolut (teori retributif), memandang bahwa pemidanaan merupakan
pembalasan atas kesalahan yang telah dilakukan, jadi berorientasi pada perbuatan
dan terletak pada kejahatan itu sendiri. Pemidanaan diberikan karena si pelaku
harus menerima sanksi itu demi kesalahannya. Menurut teori ini, dasar hukuman
harus dicari dari kejahatan itu sendiri, karena kejahatan itu telah menimbulkan
penderitaan bagi orang lain, sebagai imbalannya (vergelding) si pelaku harus
diberi penderitaan.12
Setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar
menawar. Seseorang mendapat pidana oleh karena melakukan kejahatan. Tidak
dilihat akibat-akibat apapun yang timbul dengan dijatuhkannya pidana, tidak

9

Banda Nawawi Arief, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum
Pidana,
PT Citra Aditya Bakti, Bandung. h.53
10
Koespamono Isran, 1995, Korban Kejahatan Perbankan, Cetakan Kedua, Bayumedia Publishing,
Malang,h. 81.
11
Dwidja Priyanto, 2009, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara Di Indonesia, PT. Rafika
Aditama,Bandung,h. 22.
12
Leden Marpaung,2009, Asas-Teori-Praktek Hukum Pidana,Sinar Grafika, Jakarta, h. 105.

9

peduli apakah masyarakat mungkin akan dirugikan. Pembalasan sebagai alasan
untuk memidana suatu kejahatan.13 Penjatuhan pidana pada dasarnya penderitaan
pada penjahat dibenarkan karena penjahat telah membuat penderitaan bagi orang
lain. Menurut Hegel bahwa, pidana merupakan keharusan logis sebagai
konsekuensi dari adanya kejahatan.
Menurut Leonard, teori relatif pemidanaan bertujuan mencegah dan
mengurangi kejahatan. Pidana harus dimaksudkan untuk mengubah tingkah laku
penjahat dan orang lain yang berpotensi atau cenderung melakukan kejahatan.
Tujuan pidana adalah tertib masyarakat, dan untuk menegakan tata tertib
masyarakat itu diperlukan pidana.
Pidana bukanlah sekedar untuk melakukan pembalasan atau pengimbalan
kepada orang yang telah melakukan suatu tindak pidana, tetapi mempunyai
tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Pembalasan itu sendiri tidak mempunyai
nilai, tetapi hanya sebagai sarana untuk melindungi kepentingan masyarakat.
Dasar pembenaran pidana terletak pada tujuannya adalah untuk mengurangi
frekuensi kejahatan. Pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan,
melainkan supaya orang jangan melakukan kejahatan. Sehingga teori ini sering
juga disebut teori tujuan (utilitarian theory).14
Adapun ciri pokok atau karakteristik teori relatif (utilitarian), yaitu :
1. Tujuan pidana adalah pencegahan (prevention) ;
2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai
tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan masyarakat ;
3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada si
pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk
adanya pidana ;
4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan
kejahatan ;
5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif), pidana dapat mengandung unsur
pencelaan, tetapi unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak
13
14

Dwidja Priyanto, Op. Cit, h 24.
Dwidja Priyanto, Op. Cit, h 26.

10

membantu

pencegahan

kejahatan

untuk

kepentingan

kesejahteraan

masyarakat.
Teori gabungan (integratif) mendasarkan pidana pada asas pembalasan dan
asas tertib pertahanan tata tertib masyarakat, dengan kata lain dua alasan itu
menjadi dasar dari penjatuhan pidana. Pada dasarnya teori gabungan adalah
gabungan teori absolut dan teori relatif. Gabungan kedua teori itu mengajarkan
bahwa penjatuhan hukuman adalah untuk mempertahankan tata tertib hukum
dalam masyarakat dan memperbaiki pribadi si penjahat.
Teori gabungan ini dapat dibedakan menjadi dua golongan besar, yaitu :15
1. Teori gabungan yang mengutamakan pembalasan, tetapi pembalasan itu tidak
boleh melampaui batas dari apa yang pelu dan cukup untuk dapatnya
dipertahankannya tata tertib masyarakat;
2. Teori gabungan yang mengutamakan perlindungan tata tertib masyarakat,
tetapi penderitaan atas dijatuhinya pidana tidak boleh lebih berat daripada
perbuatan yang dilakukan terpidana.
Teori treatment, mengemukakan bahwa pemidanaan sangat pantas diarahkan
kepada pelaku kejahatan, bukan kepada perbuatannya. Teori ini memiliki
keistimewaan dari segi proses re-sosialisasi pelaku sehingga diharapkan mampu
memulihkan kualitas sosial dan moral masyarakat agar dapat berintegrasi lagi ke
dalam masyarakat. Menurut Albert Camus, pelaku kejahatan tetap human
offender, namun demikian sebagai manusia, seorang pelaku kejahatan tetap bebas
pula mempelajari nilai-nilai baru dan adaptasi baru. Oleh karena itu, pengenaan
sanksi harus mendidik pula, dalam hal ini seorang pelaku kejahatan membutuhkan
sanksi yang bersifat treatment.
Treatment sebagai tujuan pemidanaan dikemukakan oleh aliran positif.
Aliran ini beralaskan paham determinasi yang menyatakan bahwa orang tidak
mempunyai kehendak bebas dalam melakukan suatu perbuatan karena
dipengaruhi

oleh

watak

pribadinya,

faktor-faktor

lingkungan

maupun

kemasyarakatannya. Dengan demikian kejahatan merupakan manifestasi dari
keadaan jiwa seorang yang abnormal. Oleh karena itu si pelaku kejahatan tidak
15

Leden Marpaung, Op. Cit, h 107.

11

dapat dipersalahkan atas perbuatannya dan tidak dapat dikenakan pidana,
melainkan harus diberikan perawatan (treatment) untuk rekonsialisasi pelaku.
Teori perlindungan sosial(social defence) merupakan perkembangan lebih
lanjut dari aliran modern dengan tokoh terkenalnya Filippo Gramatica, tujuan
utama dari teori ini adalah mengintegrasikan individu ke dalam tertib sosial dan
bukan

pemidanaan

terhadap

perbuatannya.

Hukum

perlindungan

sosial

mensyaratkan penghapusan pertanggungjawaban pidana (kesalahan) digantikan
tempatnya oleh pandangan tentang perbuatan anti sosial, yaitu adanya seperangkat
peraturan-peraturan yang tidak hanya sesuai dengan kebutuhan untuk kehidupan
bersama tapi sesuai dengan aspirasi-aspirasi masyarakat pada umumnya.16
Berdasarkan teori-teori pemidanaan yang dikemukakan diatas, dapat
diketahui bahwa tujuan pemidanaan itu sendiri merumuskan perpaduan antara
kebijakan penal dan non-penal dalam hal untuk menanggulangi kejahatan.
Disinilah peran negara melindungi masyarakat dengan menegakan hukum. Aparat
penegak hukum diharapkan dapat menanggulangi kejahatan melalui wadah Sistem
Peradilan Pidana (Criminal Justice System).

1.5.3 Konsep Korban
Sebelum membahas tentang Viktimologi maka perlu kiranya memahami
korban itu sendiri. Untuk memberikan pengertian tentang korban tidak mudah,
seperti dikemukakan Kindren, bahwa untuk sampai pada pemberian definisi yang
tepat mengenai korban, maka harus memenuhi kriteria benar-benar sebagai
korban. Sebab hal ini akan membawa konotasi crime without victim (Kejahatan
tanpa korban). Dengan demikian perlu adanya identifikasi serta verivikasi kriteria
korban secara jelas.
Konsep “korban” telah terdapat sejak jaman Hebrew kuno. Pengertian
aslinya berasal dari ide „pengorbanan‟ atau „pengkambinghitaman‟ mengeksekusi
atau membuang orang atau binatang guna memuaskan dewa-dewi atau penguasa
bumi.

16

Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, Jakarta: PT Grafika. h.22

12

Korban diterjemahkan oleh Barda Nawawi Arief sebagai berikut, bahwa
korban ialah orang, baik secara individu maupun kolektif, yang menderita
kerugian akibat perbuatan (tidak berbuat) yang melanggar hukum pidana yang
berlaku di suatu negara., termasuk peraturan-peraturan yang melarang
penyalahgunaan kekuasaan. Selaian itu korban termasuk juga orang-orang yang
menjadi korban dari perbuatan-perbuatan (tidak berbuat) yang walaupun belum
merupakan pelanggaran terhadap hukum pidana nasional yang berlaku, tetapi
sudah merupakan pelanggaran terhadap norma-norma hak asasi manusia yang
diakui secara internasional.
Selanjutnya dikemukakan bahwa seseorang dapat dipertimbangkan sebagai
korban tanpa melihat apakah pelaku kejahatan itu sudah diketahui ditahan,
dituntut atau dipidana dan tanpa memandang hubungan keluarga antara pelaku
dan korban. Istilah korban juga dapat mencakup keluarga dekat atau orang-orang
yang menjadi tanggungan korban dan juga orang-orang yang menderita
tanggungan korban dan juga orang-orang yang menderita kerugian karena
berusaha mencegah terjadinya korban.
Korban tidak hanya selalu orang perorang tetapi juga merupakan suatu
kelompok, korporasi, badan hukum dan organisasi walaupun dalam kenyatannya
yang mengalami dan merusaknya adalah para oknum atau anggota kelompok itu
sendiri. Untuk itu pihak yang menderita perlu mendapat kompensasi (penyetaraan
hak), rehabilitasi (pemulihan hak) dan restitusi (pengembalian hak) dari
penderitaannya.17
Sehubungan dengan ini, maka ingin dikemukakan pemikiran, pandangan
yang berkaitan dengan viktimologi (sebagai landasan untuk melayani para
korban). Berhubung terbatasnya kesempatan pengolahan dan pembahasan
permasalahan, maka pada kali ini hanya akan disinggung beberapa hal sebagai
berikut:
1. Korban pemerkosaan.
2. Aspek sosial/budaya perkosaan.
S. Maronie, 2012 “Viktimologi”, http://www.zriefmaronie.blogspot.com, diakses
tanggal 16 Juni 2015
17

13

3. Kemungkinan ganti kerugian (aspek sosial yuridis).
Viktimologi sebagai suatu studi atau pengetahuan ilmiah yang
mempelajari penimbulan korban sebagai suatu permasalahan manusia yang
merupakan satu kenyataan social, mendorong orang memahami permasalahan
pelayanan terhadap para korban (ini berlaku juga terhadap para pelaku yang
menjadi korban tindakan tertentu). Menurut proporsi yang sebenarnya secara
dimensional.Dengan demikian permasalahan akan dikaji dan ditanggulangi secara
meluas terpadu (makro integral), interdisipliner, intersektoral, dan antar
departemen dalam hal mengatasinya. Tindakan-tindakan ini dapat dihindari oleh
karena rumitnya, peliknya permasalahan korban perdagangan orang.

1.6 Metode Penelitian
Metodologi mempunyai beberapa pengertian, yaitu:
a. Logika dari penelitan ilmiah,
b. Studi terhadap prosedur dan teknik penelitian, dan
c. Suatu system dari prosedur dan teknik penelitian.
Berdasarkan hal ini, dapat dikatakan bahwa metode penelitian merupakan
suatu sarana pokok dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta
seni. Oleh karena itu, penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran
secara sistematis, metodelogis, dan konsisten. 18
1.6.1 Jenis Penelitian
Bahan

yang

dipergunakan

guna

penyusunan

dan

pembahasan

permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Penelitian
Hukum
hukum.

Normatif
19

yakni

beranjak

dari

adanya

konflik

antar

norma

Konflik antar norma hukum dalam penelitian ini terdapat didalam

ketentuan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan
Orang dan Pasal 83 Undang-Undang Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak yang masih tetap berlaku ketentuannya dimana
beberapa ketentuan pasalnya telah dirubah dalam ketentuan Undang-Undang
18

19

H.Zainudin Ali, 2013, Metode Penulisan Bahan Hukum, Jakarta, Sinar Grafika, h. 17.
Jhony Ibrahim, 2005, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif” Surabaya, hal. 284

14

Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.Berdasarkan Undang-undang Nomor 21
Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 3
berbunyi: Setiap orang yang memasukan orang ke wilayah negaraRepublik
Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik
Indonesia atau dieksploitasi di negaralain dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda
paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp.600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Sedangkan Undang-Undang
Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak,Pasal 83 menyatakan: “Setiap
orang yang memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri
atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas)
tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam
puluh juta rupiah).
Sehingga terdapat kelemahan dalam hal substansi hukum terkait
penjatuhan pidana denda dalam kejahatan perdagangan orang (human traficking).
Dalam penjatuhan sanksi terjadi tumpang tindih dalam hal penerapan sanksi
denda yang terhadap di dalam Undang-Undang No.21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orangatau tunduk pada ketentuan
Undang-Undang No.35 Tahun 2014 tentang Perubahan dengan Undang-Undang
No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Dalam Sanksi denda hukum
dipidana dikenal prinsip yang menguntungkan bagi tersangka/terdakwa di
Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Perdagangan
Orang Human Trafficking pada pasal 3dalam sanksi dendapaling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). (dua ratus empat puluh juta rupiah)”,
Sedangkan di Undang-Undang 35 Tahun 2014 pasal 83 sanksi denda paling
banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp
60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).Sehingga perlu ada kejelasan dalam hal
penjatuhan sanksi denda tersebut.

15

Undang-undang nomor 21 tahun 2007 dengan Tujuanya adalah untuk
mengadakan identifikasi terhadap pengertian pokok/dasar tersebut mempunyai arti
tertentu dalam kehidupan hukum20hak dan kewajiban peristiwa hukum, hubungan
hukum dan obyek hukum Pengkajian mengenai sebab masing-masing masalah
perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang yang dilakukan dengan
undang-undang termasuk ke dalam penelitian hukum normative, karena penelitian
hukum tersebut dilakukan dengan cara

meneliti bahan pustaka atau data

sekunder.

1.6.2 Jenis Pendekatan
Jenis penelitian dalam penulisan ini adalah penelitian normatif. Penelitian
normatif pada penelitian secara umum, termasuk pula didalamnya penelitian ilmu
hukum, bertujuan menggambarkan secara tepat sifat-sifat suatu individu, keadaan,
gejala atau kelompok tertentu, atau untuk menentukan penyebaran suatu gejala,
atau untuk menentukan ada tidaknya hubungan antara suatu gejala dengan gejala
lain dalam masyarakat. Adapun jenis pendekatan yang digunakan adalah
penedekatan perundang-undangan (The Statute Approach)dan pendekatan konsep
hukum. Dalam penelitian ini teori-teori, ketentuan peraturan, norma-norma
hukum, karya tulis yang dimuat baik dalam literatur maupun jurnal, doktrin, serta
laporanpenelitian terdahulu sudah ada dan bahkan jumlahnya cukup memadai.

1.6.3 Sumber Bahan Hukum
1. Bahan hukum primer berupa peraturan Perundang-undangan yaitu:
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
c. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana;
d. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

20

Ibid, h.26

16

f. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana perlindungan anak. dan
g. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Pencegahan dan Penanganan Korban Perdagangan Orang.
2. Bahan hukum sekunder berupa buku-buku hukum, jurnal-jurnal hukum dan
hasil karya ilmiah para sarjana yang berkaitan dengan penanggulangan tindak
pidana perdagangan orang.
3. Bahan hukum tersier berupa kamus hukum Indonesia, kamus bahasa
Indonesia, kamus bahasa Inggris, kamus bahasa Belanda dan encyclopedia.

1.6.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian
ini adalah dengan menggunakan metode bola salju (snowball method).21Adapun
metode yang dimaksud dengan metode bola salju adalah menggelinding terus
menerus sampai menemukan titik jenuh, dan hal ini mengacu kepada peraturan
perundang-undangan dan buku-buku hukum dalam daftar pustaka. Pengumpulan
bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier di
inventarisasi dan diklasifikasi secara sistematis sesuai dengan permasalahan yang
dibahas dalam penelitian ini. Dengan pengklasifikasian diharapkan dapat
memudahkan melakukan analisis terhadap permasalahan yang menjadi obyek
penelitian dengan mengelaborasikan antara bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder serta bahan hukum tersier yang dianalisis dan disusun secara
sistematis.

1.6.5 Tehnik Analisis Bahan Hukum
Teknik analisis bahan hukum dalam penelitian ini menggunakan teknik
deskripsi, tehnik evaluasi dan Asas Preferensi. Teknik deskripsi adalah teknik
dasar analisis yang tidak dapat dihindari penggunaanya. Deksripsi berarti uraian

21

I Made Wahyu Chandra Satriana, 2013, Kebijakan Formulasi Keadilan Restoratif Dalam Sistem
Peradilan Pidana, (tesis) Program Studi Magister (S2) Ilmu Hukum Universitas Udayana,
Denpasar.

17

apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau
non hukum.22
Asas Preferensi adalah asas yang digunakan untuk mengidentifikasi aturan
hukum dalam hal terjadi konflik norma hukum (antinomi hukum). Dalam
menghadapi konflik antar norma hukum, maka berlakulah asas-asas penyelesaian
konflik (asas preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundangundangan yang lebih tinggi akan melumpuhkan peraturan perundangundangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan
melumpuhkan peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang
khususlah yang harus didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru
mengalahkan atau melumpuhkan peraturan yang lama.23

Di samping itu ada langkah praktis untuk menyelesaikan konflik tersebut
antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi, pembatalan (invalidation),
dan pemulihan (remedy).
Teknik evaluasi adalah penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau
tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah, oleh peneliti terhadap suatu
pandangan, proposisi, pernyataan rumusan norma, keputusan baik yang tertera
dalam bahan primer maupun dalam bahan sekunder.
Isu perdagangan orang atau trafficking khususnya perempuan dan anak
beberapa bulan terakhir cukup mendapat soroton diberbagai media masa. Media
masa tidak hanya sekedar menyoroti kasus-kasus tersebut saja, akan tetapi juga
lika-liku tindakan penyelamatan yang dilakukan aparat penegak hukum terhadap
korban serta bagaimana upaya pemerintah dalam mengatasi permasalahan
tersebut. Kasus-kasus perdagangan orang yang cukup mendapat sorotan media
22

I Dewa Gede Atmadja, 2009, Pengantar Penalaran dan Argumentasi Hukum (Legal
Reasoning And Legal Argumentation) An Introdutcion, Penerbit Bali Aga, hal.42-43
23
Philipus M. Hadjon & Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum, Cetakan Keempat, Gadjah
Mada University Press, Yogyakarta, 2009, halaman 31.

18

beberapa waktu yang lalu misalnya kasus yang terjadi di Malaysia kasus lima
gadis Bali terlantar di Malaysia yang diduga merupakan sindikat perdagangan
orang.

24

Upaya lainnya adalah upaya penyelamatan terhadap dua orang

perempuan korban perdagangan perempuan yang dibebaskan oleh reporter SCTV
dari Tekongnya di Malaysia.
Trafficking in person atau perdangan orang mungkin bagi banyak kalangan
merupakan hal yang sudah sering atau biasa untuk di dengar oleh karena itu
tingkat terjadinya kasus trafficking yang tidak dipungkiri sering terjadi baik
Indonesia maupun negara-negara yang sedang berkembang lainya. Sebagaimana
yang ketahui bahwa Traficking terhadap orang adalah suatu bentuk praktek
kejahatan kejam yang melanggar martabat manusia, serta merupakan pelanggaran
terhadap hak asasi manusia paling konkrit yang sering memangsa mereka yang
lemah secara:
a. Ekonomi yaitu memiliki kemampuan ekonomi yang lemah atau kurang
mampu, sehingga mudah diiming – imingi dengan janji tuk mendapatkan
pekerjaan.
b. Sosial yaitu yang memiliki kedudukan sosial atau status yang rendah di
masyarakat, sehingga ada keinginan dari masyarakat tersebut untuk
menaikan status sosial mereka dengan cara menerima tawaran bekerja di
luar negeri akan tetapi malah dimanfaatkan, sehingga menjadi korban dari
sindikat perdagangan orang.
c. Politik yaitu lemahnya perlindungan yang diberikan oleh Indonesia
terhadap warga negaranya yang menjadi korban perdagangan orang,
sehingga mereka tidak bisa dilindungi secara maksimal.
d. Kultural yaitu secara kebiasaan yang berkembang di masyarakat bahwa
tidak mau teliti atau bertanya secara detail mengenai jenis pekerjaan yang
ditawarkan sehingga mereka menerima saja jika di suruh tanda tangan
perjanjian kerja.
e. Biologis yaitu secara naluri seseorang tentu ingin mempunyai keturunan,
dengan cara kawin, sebelum kawin tentunya memerlukan biaya, untuk
24

http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberita&kid=33&id=39484

19

memenuhi biaya tersebut akhirnya mereka menerima resiko untuk bekerja
di luar negeri.25
Banyak kalangan menyebut trafficking terhadap manusia, yang saat ini
digunakan secara resmi didalam Undang-undang No. 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang jo (juncto) Undang-Undang
No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan sebutan Perdagangan
Orang sebagai " the form of modern day slavery". Sebutan tersebut sangat tepat
karena sesungguhnya ia adalah bentuk dari perbudakan manusia di zaman modern
ini. Dia juga merupakan salah satu bentuk perlakuan kejam terburuk yang
melanggar harkat dan martabat manusia.
Masalah lain yang sering timbul dari perdagangan orang khususnya bayi
adalah akibat dari pergaulan bebas antar remaja yang semakin marak di Indonesia
tidak

berkeprimanusiaan.

Dari

hal

ini

dapat

diketahui

pula

bahwa

traffickingadalah merupakan industri yang sangat menguntungkan. Dari industri
seks saja menghasilkan US $ 1,2 -3,3 Milyar per tahun untuk di Indonesia saja.
Pada konteks nasional, persoalan trafficking manusia di Indonesia sudah
sampai pada taraf sangat memprihatinkan. Fenomena trafficking manusia dapat
diasumsikan bagaikan "fenomena gunung es di samudera yang luas yaitu jumlah
korban yang terdeteksi atau terungkap dan tertangani baru merupakan puncak
gunung es yang tampak dipermukaan samudera luas.
Trafficking manusia juga dikenal diseluruh dunia sebagai satu-satunya
tindakan atau perbuatan pidana yang telah secara signifikan menjerumuskan
jutaan korban ke dalam perbudakan dan memungkinkan jaringan kejahatan
terorganisir

untuk

mengalihkan

dana

yang

besar

ke

berbagai

upaya

mengoperasikan kejahatan terkait lainnya, seperti perdagangan narkotika,
pencucian uang dan lain sebagainya yang dapat berpotensi melumpuhkan sendisendi perekonomian negara dan sistem penegak hukum. Hal ini juga yang
menyebabkan tindak pidana perdagangan orang ini masuk ke dalam kejahatan
lintas negara.
Ida Bagus Ketut Weda, 2013, “Trafiking Dalam Perspektif Hukum Internasional Dan
Pencegahannya”, Majalah Kertha Patrika, h.36.

25

20

Trafficking merupakan kejahatan yang terorganisir yang dilakukan dengan
berbagai prosedur oleh beberapa orang yang mempunyai tugas masing-masing
seperti perekrutan, penyekapan, pengiriman serta penerimaan seperti yang
dikatakan oleh Donald Cressey. 26 Semua prosedur ini banyak terjadi melewati
batas nasional negara yang menyangkut kepentingan banyak negara yang menjadi
pusat perhatian. Oleh karena itu pula maka banyak pula dilakukan konvensikonvensi internasional guna membahas bagaimana cara pencegahan dan
penanggulan terjadinya kasus trafficking ini karena juga disadari trafficking
sebagai tindak pidana sumber dana kejahatan lainnya yang juga berimbas pada
kepentingan negara-negara pula.
Trafficking berasal dari bahasa Inggris yang mempunyai arti "illegal trade"
atau perdagangan illegal.27 Kita memang sudah sering mendengar kata trafficking
yang dimana masyarakat secara luas mengetahui yang dimaksud disini ialah
perdagangan manusia. Dan oleh karena itu maka perlulah diketahui lebih lagi apa
yang dimaksud dengan perdagangan manusia atau trafficking tersebut.
Dalam kamus Webster's College Dictionary dikatakan sebagai berikut yaitu:
Trafficking, to carry on traffic, especially illegal (in a commodity). Jadi,
mengangkut dalam sua