Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)

(1)

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi di Pengadilan Negeri Medan)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

PRANTO PIRHOT SITUMORANG NIM : 110200323

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

ANALISIS YURIDIS PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

(Studi di Pengadilan Negeri Medan) SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas Dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum OLEH :

PRANTO PIRHOT SITUMORANG NIM : 110200323

DEPARTEMEN HUKUM PIDANA

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Pidana

Dr. M. Hamdan, S.H., M.Hum NIP. 195703261986011001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Ediwarman, S.H., M.Hum Nurmalawaty, S.H., M.Hum NIP. 195405251981031003 NIP. 196209071988112001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis Panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmadNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak

Pidana Perdagangan Orang (Studi di Pengadilan Negeri Medan)” yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum (Strata-1) pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Dalam menyelesaikan skripsi ini, Penulis banyak mendapat bantuan, dukungan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati Penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H, M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H, MH, DFM., selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

4. Bapak Dr. OK Saidin, S.H, M.Hum., selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

5. Bapak Dr. M. Hamdan, S.H, M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara, Medan

6. Ibu Liza Erwina, S.H, M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumater Utara, Medan


(4)

7. Ibu Rafiqoh Lubis, S.H, M.Hum., selaku dosen Penasehat Akademik atas bimbingan dan motivasinya selama penulis kuliah di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

8. Bapak Prof. Dr. Ediwarman, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan dan koreksi dalam penulisan skripsi ini

9. Ibu Nurmalawaty, S.H, M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II juga telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan koreksi sehingga penulisan skripsi ini menjadi sempurna

10. Seluruh Dosen dan Seluruh Pegawai Tata Usaha dan Administrasi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

11. Yang Teristimewa dan Terkasih kedua Orang tua saya, Ayahanda St. B. Situmorang dan Ibunda O. Sihombing yang setiap waktu dan Sepanjang masa memberikan motivasi dan mendoakan Penulis agar dapat mencapai cita-cita yang setinggi-tingginya.

12. Kepada Kakak Saya, Sulastri Situmorang dan Suaminya E. Limbong, Prima Lestari Situmorang S.Pd, dan Adik saya Dean very Situmorang. Beserta Keponakan saya (bere) Junita Evelyn Limbong dan Samuel Limbong yang senantiasa memberikan dorongan semangat untuk menyelesaikan skripsi ini 13. Kepada sahabat saya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara :

Yuristia Eka Erwanda, Nurul Basiroh, Arnold Sihombing, Jekson Pakpahan, Sabrina Amanda, Rizky Novia, Samitha Andimas Putri, Charlene Fortuna, Aan Febrianto, Reza Siregar, Rahmad Kharisman Nasution, Kardopa


(5)

Nababan, Hans Sutera Nadapdap, Deddy Siagian, Sandro Pandiangan, Ervin Barus, Boby Acen Simangunsong dan seluruh teman-teman di grup H Fakultas Hukum Angkatan 2011. Terimakasih telah menjadi kawan yang terbaik selama saya kuliah dan Teman yang saling mendukung dalam hal proses perkuliahan selama di Fakultas Hukum Sumatera Utara, Terkhusus kepada sahabat saya yang tergabung dalam Tolping Samosir Touring : Dedy Syahputra Lubis, Kayaruddin Hasibuan, Jhonny Hutabarat, Andana Zwary Limbeng, Hengky Simanjuntak, dan Hendriawan yang senantiasa mendukung, menghibur serta membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Semoga dilain waktu kita masih bisa melanjutkan acara Touring untuk menikmati keindahan alam Sumatera Utara.

14. Kepada teman Kelompok Kecil saya “Pro deo et patria” : Arnold Sihombing, Jekson Pakpahan, Hans Sutera Nadapdap, Kardopa Nababan, serta kakak kelompok kak Juliana Hutasoit S.H, kelompok yang selalu tumbuh bersama dan terima kasih buat Kebersamaan dan pertemanan yang berlandaskan kasih dari Tuhan. Mudah-mudahan di lain waktu kita masih bisa bersekutu dan sharing untuk menguatkan iman kepercayaan kita.

15. Kepada teman saya sesama Alumni SMA N.1 Sidikalang Tahun 2010 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan : Febri Andista Hasibuan, Roulinta Sinaga, dan Deddy Siagian, Hans Sutera Nadapdap sukses buat kita kedepannya.

16. Kepada Rekan-rekan di Ikatan Mahasiswa/I Siempat Nempu Hilir - Medan (IMSHi-Medan) Terkhusus Kepada BPH 2013-2015 : Rinaldi Simamora,


(6)

Ivan Sitorus, Sades Sitorus, Harlina Sitohang, terimakasih telah menjadi partner dalam bertukar pikiran sehingga program yang kita susun bisa tercapai dan Organisasi kita bisa kembali eksis. Kepada adik-adik BPH baru : Halasson Sianturi, Dean Situmorang, Novelia Silaen, Erni Simbolon, Leonardo Butar-butar, Supinno Nababan, Gunawan Situmorang, Roni Nadeak dan anggota yang yang tidak bisa saya sebutkan satu per satu namanya untuk tetap semangat menjalankan program yang telah disusun sehingga IMSHi-Medan ini bermanfaat untuk kemajuan daerah kelahiran kita. 17. Kepada rekan-rekan seperjuangan Stambuk 2011 dan seluruh rekan-rekan

lainnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan

Mudah-mudahan skripsi ini dapat memberikan kontribusi kepada berbagai pihak, namun Penulis juga menyadari ketidaksempurnaannya. Oleh sebab itu diharapkan kritik yang membangun untuk kesempurnaan penelitian selanjutnya.

Medan, September 2015 Penulis,


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ...i

DAFTAR ISI ...v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ...1

A. LATAR BELAKANG ...1

B. PERUMUSAN MASALAH ...10

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENULISAN ...10

D. KEASLIAN PENULISAN ...12

E. TINJAUAN KEPUSTAKAAN ...12

1. Pengaturan Hukum Terhadap Perlindungan Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ...12

2. Faktor-faktor Penyebab terjadinya Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam Prespektif Kriminologi...19

3. Kebijakan Hukum Pidana dalam Memberikan Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai Korban Perdagangan Orang ...27

F. METODE PENELITIAN ...34

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP PERLINDUNGAN ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ...37

A. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ...37

B. Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak ...54


(8)

C. Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Perlindungan Saksi dan Korban ...58

D. Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia ...66

E. Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Utara Nomor 6 Tahun 2004 Tentang Pencegahan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Sumatera Utara ...67

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG ...70

A. Faktor Intern ...71

1. Faktor Individual ...71

2. Faktor Ekonomi ...72

3. Faktor Keluarga ...74

4. Faktor Pendidikan ...76

B. Faktor Ekstern ...77

1. Faktor Sosial Budaya ...77

2. Faktor Ketidakadaan setaraan Gender ...81

3. Faktor Menikah Muda ...82

4. Faktor Lemahnya Penegakan Hukum ...83

5. Faktor Masyarakat ...89

6. Faktor Kebudayaan ...89 BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MEMBERIKAN

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG


(9)

DALAM PUTUSAN NOMOR : 1033 / Pid. B / 2013 / PN.Mdn

...91

A. Kebijakan hukum pidana dalam memberikan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang . ...91

1. Upaya Penal ...94

2. Upaya Non Penal...98

B. Analisis Kasus Terhadap Putusan Nomor : 1033 / Pid.B / 2013 / PN.Mdn... 101

1. Posis Kasus ... 101

2. Pertimbangan Hukum ... 117

3. Putusan... 119

4. Analisis Hukum terhadap putusan ... 120

BAB V PENUTUP... 131

A. Kesimpulan ... 131

B. Saran ... 133


(10)

ABSTRAKSI

Pranto Pirhot Situmorang * Prof. Dr. Ediwarman S.H., M.Hum **

Nurmalawaty, S.H., M.Hum ***

Perdagangan manusia (trafficking) merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia dan sangat bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan serta nilai keadilan, apalagi yang diperdagangkan itu adalah anak dibawah umur. Walaupun telah banyak ketentuan peraturan perundang-undangan yang menjadi landasan berpijak untuk memberikan perlindungan terhadap anak, namun faktanya saat ini anak-anak cenderung menjadi objek oleh oknum-oknum tertentu untuk di perdagangkan. Adapun permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini adalah : pertama, bagaimana pengaturan hukum terhadap perlindungan anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang. Kedua, bagaimana factor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Ketiga, bagaimana kebijakan hukum pidana dalam memberikan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang dalam putusan nomor : 1033 / Pid.B / 2013 / PN.Mdn. jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif yaitu jenis penelitian yang mengacu kepada norma-norma dan asas-asas hukum yang terdapat dalam peraturan peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Sifat penelitian adalah deskriptif analisis yaitu dengan menggambarkan pelaksanaan berdasarkan putusan pengadilan secara analisis terhadap norma-norma dan asas-asas yang terdapat dalam undang-undang. Hasil penelitian dalam putusan nomor 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn, bahwa majelis hakim dalam memutus perkara pidana ini sudah sesuai dengan undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Akan tetapi majelis hakim tidak menguraikan dengan jelas peran dan tanggung jawab para terdakwa apakah sebagai orang yang melakukan tindak pidana atau menyuruh melakukan tindak pidana. Sudah selayaknya semua elemen masyarakat dan Negara melindungi tumbuh kembang anak dan menjamin hak-hak anak terpenuhi. Diharapkan perlunya peran serta orang tua dalam mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang terhadap anak yaitu dengan melakukan pengawasan terhadap anak-anak mereka.

Kata Kunci : Perlindungan, Anak, Korban, Tindak Pidana Perdagangan Orang

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

**) Dosen/Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara ***) Dosen/Staff Pengajar Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Sumatera Utara


(11)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa yang perlu dilindungi harga diri dan martabatnya. Setiap keluarga pasti menginginkan kelahiran dari seorang anak untuk melengkapi kebahagiannya. Setiap orang harus menjamin hak hidup seorang anak, hak untuk tumbuh berkembang sesuai dengan fitrah dan kodratnya. Tiap-tiap individu ini harus menghormati hak asasi dari setiap manusia lainnya termasuk anak.

Anak merupakan harapan bangsa dan apabila sudah sampai saatnya akan menggantikan generasi tua dan melanjutkan roda kehidupan negara, dengan demikian, anak perlu dibina dengan baik agar semua tidak salah dalam hidupnya kelak. Anak wajib dilindungi agar mereka tidak menjadi korban tindakan siapa saja (individu atau kelompok, organisasi swasta ataupun pemerintah) baik secara lansung maupun tidak langsung. Setiap komponen bangsa, baik pemerintah maupun non pemerintah memiliki kewajiban untuk secara serius memberi perhatian terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Komponen-komponen yang harus melakukan pembinaan terhadap anak adalah orangtua, keluarga, masyarakat, dan pemerintah 1.

Dalam Pasal 34 UUD 1945 mengamanatkan bahwa kewajiban negara untuk memelihara fakir miskin dan anak terlantar. Dalam perubahan kedua tahun 2000 (amandemen) UUD 1945 Pasal 28B ayat 2 menyatakan bahwa “setiap anak

1

Maidin Gultom, Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan (Bandung : PT. Refika Aditama, 2012), Halaman 69


(12)

berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskrminasi”. Dan perlindungan terhadap anak diwujudkan dalam UU No.23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014

Dalam Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan bahwa Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartipsipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar. Baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.

Dari pengertian korban yang disebutkan diatas, tidak hanya sebatas pengertian saja, tetapi ada juga ciri yang melekat pada pengertian korban. Ciri yang dimaksud adalah bahwa korban mengalami penderitaan (suffering) dan ketidak adilan (injustice). Luas sempitnya pengertian korban kejahatan berkaitan erat dengan sifat kejahatan itu sendiri.

Seiring perkembangan zaman dan perkembangan teknologi, telah terjadi eksploitasi terhadap anak yang mengarah ke tindak pidana perdangan orang dengan berbagai faktor. Jika di telusuri lebih dalam banyak sekali faktor


(13)

terjadinya tindak pidana perdagangan orang. Para pelaku tindak pidana perdagangan anak menggunakan berbagai macam modus operandi untuk melancarkan aksinya untuk memperdayai korbannya yang masih anak-anak. Anak yang seharusnya menjadi penerus bangsa dan memiliki masa depan yang cerah telah menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.

Di zaman globalisasi sekarang ini, telah banyak terjadi berbagai macam kejahatan yang mengancam kehidupan manusia, tidak terkecuali dengan kejahatan mengenai perdagangan orang. Perdagangan orang telah menyebar ke semua negara yang ada di dunia ini, termasuk juga di Indonesia.

Perdagangan perempuan dan anak telah lama terjadi dimuka bumi ini dan merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia. Ini merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia 2. Masalah keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukkan bahwa kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila, sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, masalah perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat sangat penting sebagai perwujudan dari Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab serta Sila Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Menurut laporan Global tentang tentang perdangan manusia tahun 2014 yang diluncurkan oleh Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) di

2


(14)

Wina, anak perempuan merupakan 2 dari 3 korban perdagangan orang. Dan bersama-sama dengan perempuan, mereka merupakan 70 persen dari korban perdagangan orang di dunia yang secara khusus menjadi target dan dipaksa menjadi budak modern.3 Situasi ini sangat buruk bagi anak perempuan dan perempuan pada umumnya.

Permasalahan perdagangan anak dan perempuan memang merupakan masalah yang sangat kompleks yang tidak lepas dari faktor-faktor ekonomi, sosial, budaya, dan politik yang berkaitan erat. Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling rentan menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Apalagi, hingga saat ini posisi perempuan masih termarjinalisasi, tersubordinasi yang secara langsung dan tidak langsung akan mempengaruhi kondisi perempuan.4

Kekerasan sering terjadi terhadap anak dan perempuan rawan. Disebut rawan adalah karena kedudukan anak dan perempuan yang kurang menguntungkan. Anak dan perempuan rawan (children and women at risk)

merupakan anak dan perempuan anak dan perempuan yang mempunyai resiko besar mengalami gangguan gangguan atau masalah dalam perkembangannya, baik secara psikologis (mental), sosial maupun fisik. Anak dan perempuan rawan dipengaruhi oleh kondisi internal maupun kondisi eksternalnya, diantaranya ialah anak dan perempuan yang “economically disadvantaged” (anak dan perempuan

3

Laporan mengenai perdagangan manusia yang dikeluarkan oleh kantor Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC), 24 Agustus 2014,

http:/www.unic-jakarta.org/2014/11/25/perdagangan anak meningkat menurut laporan pbb terbaru.html diakses terakhir pada tanggal 29 Juli 2015

4

Chairul Bariah Mozasa, Aturan-aturan Hukum Trafiking (perdagangan perempuan dan anak), (Medan : USU press, 2005) Halaman 2


(15)

dari keluarga miskin); culturally disadvantaged (anak dan perempuan dari daerah terpencil); cacat, yang berasal dari broken home (keluarga retak)5.

Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain, misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa perbudakan itu. Pada kasus perdagangan manusia, posisi perempuan dan anak-anak benar-benar tidak berdaya dan lemah, baik secara fisik maupun mental, bahkan terkesan pasrah pada saat diperlakukaan tidak semestinya.

Industri seks sebagai salah satu pengguna perdagangan manusia, selain menimbulkan human social and economic cost yang tinggi, juga menyebarkan penyakit kelamin dan HIV/AIDS. Bagi anak yang dilacurkan, terampaslah peluang mereka untuk memperoleh pendidikan dan untuk mencapai potensi pengembangan sepenuhnya, yang berarti merusak sumber daya manusia yang vital untuk pembangunan bangsa. Namun demikian, tidak dapat disangkal pula bahwa praktik legal trafficking dalam berbagai bentuk menandai telah terjadinya pergeseran-pergeseran relatif dalam bidang hukum kontemporer.6

Indonesia merupakan negara sumber utama perdagangan seks dan pekerja paksa bagi perempuan, anak-anak, dan laki-laki dan dalam tingkatan yang jauh lebih rendah menjadi negara tujuan perdagangan manusia, dengan daerah-daerah yang signifikan adalah jawa, Kalimantan Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan

5

Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman 15

6

Alfitra, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP,(Jakarta : penebar swadaya grup, 2014) Halaman 106


(16)

Sumatera Selatan.7 Perdagangan manusia didalam negeri merupakan masalah yang signifikan di Indonesia, anak Perempuan dan Perempuan dieksploitasi sebagai pekerja rumah tangga dan eksploitasi seksual komersial. Banyak korban pada awalnya direkrut dengan ditawari pekerjaan di restoran, pabrik atau sebagai pekerja rumah tangga sebelum dipakasa masuk ke dalam dunia prostitusi.

Dewasa ini, seks telah menjelma dalam berbagai bentuk, baik yang dilakukan secara langsung dengan persetubuhan (normal) dan yang dilakukan melalui berbagai media elektronik, walaupun hingga saat ini jasa pelayanan seks yang diatur dalam peraturan pemerintah dan ditawarkan di lokalisasi atau kompleks-kompleks pelacuran masih dapat diperoleh, pelayanan seks komersil diluar lokalisasi tetap marak biasanya secara sembunyi-sembunyi seperti perumahan, hotel, SPA, bar, restoran, diskotik, salon kecantikan, tempat khusus, dan sebagainya yang menyediakan teman pendamping atau teman kencan.8

Banyak faktor yang mendorong anak perempuan terlibat dalam trafficking yang salah satunya adalah faktor materialisme yang konsumtif yang menjerat hidup anak baru gede (ABG) sehingga mendorong mereka memasuki dunia pelacuran secara dini. ABG ini sangat rentan terhadap bujukan dan rayuan para calo untuk masuk dalam perdagangan orang.9

Sebagai negara hukum, konstitusi kita menjamin warganya sama kedudukannya dimuka hukum. Sebagaimana Pasal 27 ayat 1 UUD 1945

7

Laporan Perdagangan Manusia yang dikeluarkan oleh Kantor Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri AS, Tahun 2014,

http://indonesia.jakarta.usembassy.gov/laporanpolitik/perdagangan-manusia.html, diakses pada tangal 31 Juli 2015

8

Maidin Gultom, Op. Cit, Halaman: 30

9


(17)

memberikan jaminan tersebut bahwa “ setiap warga negara sama kedudukannya dalam hukum dan pemerintah serta wajib menjunjung hukum dan pemerintah tersebut tanpa terkecuali”. Makna dari bunyi Pasal tersebut adalah bahwa setiap warga negara mempunyai hak dibela (acces to legal counsel), sama diperlakukan dimuka hukum (equality before the la w) dan keadilan untuk semua (justice for all).

Bekerjanya peradilan pidana baik dalam lembaga dan pranata hukumnya lebih diorientasikan pada pelaku kejahatan (offender oriented). Eksistensi korban tersubordinasi dan tereliminasi sebagai risk secondary victimizations dalam bekerjanya peradilan pidana.10 Dapat dipahami bahwa sistem peradilan pidana memiliki publiknya sendiri yang selalu terikat dengan konteks sosial masyarakat dimana sistem peradilan pidana itu dijalankan. Kerentanan sistem peradilan pidana dalam menerjemahkan fungsinya yang berafiliasi dengan kepentingan dapat dipahami dari karakter sistem peradilan pidana itu.

Sehubungan dengan upaya perlindungan korban melalui peradilan pidana selama ini banyak ditelantarkan. Masalah kejahatan senantiasa difokuskan pada apa yang dapat dilakukan terhadap penjahat dan kurang dipertanyakan apa yang dapat dilakukan terhadap korban. Setiap orang menganggap bahwa jalan terbaik untuk menolong korban adalah dengan menangkap si penjahat, seakan-akan penjahat merupakan satu-satunya sumber kesulitan korban.11

Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian kebenaran materiil, yaitu sebagai saksi. Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya

10

C.maya Indah S, Perlindungan Korban dalam Perspektif Viktimologi dan Kriminologi, ( Jakarta : Kharisma Putra Utama, 2014), Halaman 97

11


(18)

korban perdagangan anak tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak dari korban, misalnya korban diperiksa tanpa didampingi penasehat hukum sehingga banyak dari mereka yang tidak dipenuhi hak-haknya sebagai korban. Hal itu dikarenakan anak-anak korban perdagangan orang tidak mengerti akan proses hukum yang berjalan. Sementara itu, pada tahap penjatuhan putusan hakim, korban dikecewakan dengan keputusan pidana karena putusan yang dijatuhkan pada pelaku relatif ringan, tidak sebanding dengan penderitaan yang harus ditanggung oleh korban.12

Dalam penanganan perkara pidana khususnya tindak pidana perdagangan orang, kepentingan korban sudah saatnya untuk diberikan perhatian khusus, selain sebagai saksi yang mengetahui terjadinya tindak pidana juga karena kedudukan korban sebagai subjek hukum yang memiliki kedudukan sederajat di depan hukum (equality before the la w) yang menjamin keadilan bagi semua orang

(justtice before all). Perhatiaan kepada korban dalam penanganan perkara pidana hendaknya dilakukan atas dasar belas kasihan dan hormat atas martabat korban

(compassion and respect for their dignity)13.

Dalam kerangka perlindungan hak asasi manusia, pada hakikatnya, perlindungan terhadap perempuan dan anak merupakan salah satu perwujudan hak untuk hidup, hak untuk bebas dari perhambaan atau perbudakan. Hak asasi ini bersifat langgeng dan universal, artinya berlaku untuk setiap orang tanpa membeda-bedakan asal-usul, jenis kelamin, agama, serta usia sehingga, setiap negara berkewajiban untuk menegakkannya tanpa terkecuali.

12

Dikdik Arief Mansur dan ElisatrisGultom, urgensi perlindungan korban kejahatan. (Jakarta. PT.Raja Grafindo Persada, 2007) , Halaman 30

13


(19)

Bertitik tolak dari pemikiran diatas, maka perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang harus dijadikan sebagai bagian dalam upaya penegakan hukum pidana sebagai bagian dari kebijakan sosial yang merupakan usaha bersama untuk meningkatkan kesejahteraan yang mengakomodasi hak-hak korban tindak pidana perdagangan orang. Sudah sewajarnya bahwa kepentingan korban diperhatikan. Oleh karena itu, masalah utama atau objek hukum pidana, pertanggungjawaban, dan pidana, juga harus meliputi permasalahan korban.

Perlindungan korban dalam peradilan pidana terkait dengan perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, sebagai bagian dari kebijakan perlindungan masyarakat dan kebijakan kesejahteraan sebagai bagian dari kebijakan sosial. Keterpadauan antara kebijakan kriminal dan kebijakan sosial berkonsekuensi pada perlunya perhatian terhadap korban. Pengakomodasian hak-hak asasi korban melalui perlindungan hukum terhadapnya merupakan bagian integral pula dari keseluruhan kebijakan kriminal

Menyadari betapa pentingnya Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang demi terwujudnya keadilan dan pemenuhan hak asasi korban tindak pidana perdangan orang, maka penulis bermaksud menelaah tentang Analisis Yuridis Perlindungan Hukum Terhadap

Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang ( Studi di Pengadilan Negeri Medan)


(20)

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang dibahas dalam skripsi ini adalah :

1. Bagaimana Pengaturan Hukum Positip dalam hal Perlindungan Hukum terhadap anak korban tindak pidana perdagangn orang ?

2. Bagaimana faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang di Indonesia ?

3. Bagaimana Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisaan

1. Tujuan Penulisan

Dalam penulisan ini, ada beberapa hal menjadi tujuan dalam rangka pencapaian atas pengkajian permasalahan yang ada dalam skripsi ini, adapun tujuannya adalah sebagai berikut :

a. Untuk menganalisis bagaimana pengaturan hukum positip yang mengatur Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang di Indonesia

b. Untuk menganalisis faktor-faktor apa yang menjadi pemicu ataupun pendorong terjadinya perdagangan anak yang semakin hari semakin meningkat jumlah kasusnya serta untuk mengetahui bentuk upaya-upaya yang kiranya dapat dilakukan oleh berbagai pihak untuk mencegah kejahatan perdagangan anak yang merugikan masyarakat secara umum.


(21)

c. Untuk menganalisis kebijakan hukum pidana dalam memberikan Perlindungan hukum terhadap Anak sebagai Korban dalam Tindak Pidana Perdagangan Orang

2. Manfaat Penulisan

Penulisan skripsi ini juga memberikan manfaat secara teoritis dan praktis, yaitu sebagai berikut :

a. Secara Teoritis

Penulisaan ini diharapkan memberi manfaat untuk ilmu pengetahuan dan menambah literatur dan referensi mengenai Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang, juga diharapkan memberikan sumbangsih terhadap kalangan civitas akademika, serta para ilmuwan lainnya.

b. Secara Praktis

Penulisan ini diharapkan dapat bermanfaat untuk aparat penegak hukum dan pemerintah sehingga dapat memperhatikan hak-hak Anak yang menjadi korban tindak pidana perdagangan orang dalam proses peradilan pidana dan juga masalah bantuan hukum kepada korban yang tidak mampu dan buta hukum. Selain itu juga bermanfaat untuk masyarakat agar dapat memahami tentang kejahatan perdagangan anak sehingga nantinya dapat melakukan tindakan pencegahan timbulnya tindak pidana perdagangan anak yang melibatkan orang-orang disekitarnya. Dengan demikian turwujud perlindungan yang optimal terhadap anak.


(22)

D. Keaslian Penulisan

Tulisan yang berjudul : ”ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN)”, yang diangkat menjadi judul skripsi ini adalah karya asli penulis tanpa adanya suatu proses penjiplakan atas karya tulis manapun. Tulisan dengan judul : ” ANALISIS YURIDIS TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (STUDI DI PENGADILAN NEGERI MEDAN)” belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya bukti uji bersih dari pihak fakultas hukum USU. Jikalau pun ada judul penulisan yang hampir sama dengan judul penulisan skripsi ini, namun isi dan pembahasan dalam penulisan skripsi ini pasti berbeda dan juga merupakan penulisan yang ditulis melalui proses dan upaya pemikiran sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Pengaturan Hukum Positip dalam hal pemberian advokasi terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.

Negara kesatuan Republik Indonesia menjamin kesejahteraan tiap-tiap warga negaranya termasuk perlindungan terhadap hak anak yang merupakan hak sasi manusia, dan anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya, ini adalah bagian dari pembukaan UU Nomor 23 Tahun 2003 Tentang Perlindungan anak sebagaimana telah diubah dalam undang-undang Nomor 35 Tahun 2014.


(23)

Pembentukan undang-undang ini didasarkan atas pertimbangan bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis, dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

Dalam perkembangan kebijaksanaan yang telah diambilnya, pemerintah telah menyadari arah kebijakan yang mengutamakan kepentingan anak. Sepanjang periode tahun 1997 ini, sejumlah langkah konkret yang berarti bagi perlindung anak telah dilahirkan secara maju dan mendasar. Pada permulaan tahun 1997, telah di undangkan Undang-undang Pengadilan Anak yaitu Undang-undang Nomor 3 tahun 1997.

Sebagai tindak pidana, perdagangan orang telah diatur dalam KUHP yang memuat ketentuan mengenai larangan memperniagakan perempuan dan anak laki-laki belum dewasa sebagaimana diatur dalam Pasal 297 KUHP, serta larangan memperniagakan budak belian sebagaimana diatur dalam Pasal 324 KUHP dan mengkualifikasikan tindakan-tindakan tersebut sebagaimana kejahatan. Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi sejak disahkannya Undagng-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Sebelum undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang berbunyi : “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam


(24)

dengan pidana penjara paling lama 6 tahun”.14

Hanya Pasal ini yang khusus menyebutkan perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap perdagangan orang.

Kemajuan teknologi informasi, komunikasi dan transportasi yang mengakselerasi terjadinya globalisasi juga dimanfaatkan oleh pelaku kejahatan untuk menyabelubungi perbudakan dan penghambatan itu kedalam bentuknya yang baru yaitu perdagangan orang yang beroperasi secara tertutup dan bergerak diluar hukum. Perbudakan dan penghambaan modern dalam bentuk perdagangan orang semakin banyak dalam wujud yang terselubung dan ilegal; membujuk, merayu, menipu, ,mengancam, menculik, menggunakan kekerasan verbal dan fisik atau memanfaatkan proses kerentanan kepada kelompok rentan atau beresiko untuk direkrut dan dibawa baik antar daerah didalam negeri atau keluar negeri, untuk dipindah tangankan dan diperjualbelikan guna dipekerjakan di luar kemauannya. Seperti pekerja seks atau eksploitasi seksual termasuk phaedophilia, buruh migran legal maupun ilegal, adopsi anak, penjual organ tubuh, pengantin pesanan serta bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

Terangkatnya isu perdagangan orang pada awalnya hanya difokuskan pada perdagangan perempuan walaupun pada kenyataanya yang menjadi korban perdagangan orang bukan hanya perempuan tetapi juga laki-laki dan anak. Pelaku perdagangan orang dengan cepat berkembang menjadi sindikat lintas batas negara dengan sangat halus menjerat korban, tetapi dengan sangat kejam

14

R. Soesilo, kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) (Serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal), Politea, Bogor tahun 1996


(25)

mengeksploitasinya dengan berbagai cara, sehingga korban menjadi tidak berdaya untk membebaskan diri.15

KUHP dan Peraturan perundang-undangan lainnya tersebut tidak merumuskan pengertian perdagangan orang yang tegas dan lengkap secara hukum. Disamping itu, juga memberikan hukuman yang ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang dialami korban akibat perdagangn orang tersebut. Oleh karena itu, lahirlah Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ntuk mencegah dan menanggulangu tindak pidana perdagangan orang dan melindungi korban perdagangan orang. Undang-undang ini mengatur berbagai ketentuan yang dapat mengantisipasi dan menjaring semua jenis tindak pidana perdagangn orang, mulai dari proses dan cara, sampai kepada tujuan, dalam semua bentuk eksploitasi yang mungkin terjadi dalam perdagangan orang, baik yang dilakukan antar wilayah yang dalam negeri maupun antar negara dan baik dilakukan perorangan, kelompok maupun korporasi. Undang-undang ini juga mengatur perlindungan saksi dan korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum untuk memberikan perlindungan terhadap korban dan / atau saksi. 16

Selain itu, undang-undang ini memberikan perhatian terhadap penderitaan korban akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak restitusi yang harus diberikan pelaku tindak pidana perdagangan orang sebagai ganti kerugian bagi korban dan mengatur hak korban atas rehabilitasi medis, psikologis dan sosial, pemulangan serta intergrasi yang wajib dilakukan oleh negara, khususnya

15

Farhan, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia (Jakarta. Sinar Grafika, 2010) Halaman 86

16


(26)

bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik, psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang. Undan-undang ini juga mengatur ketentuan tentang pencegahan dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang sebagai tanggung jawab pemerintah, pemerintah daerah, masyrakat dan keluarga. Juga mengatur pembentukan gugus tugas untuk mewujudkan langkah-langkah yang terpadu dalam pelaksanaan pencegahan dan penanganan perdagangan orang

Dalam era kemerdekaan terlebih di era reformasi yang sangat menghargai Hak Asasi Manusia, masalah perbudakan atau penghambaan tidak ditolerir lebih jauh keberadaannya. Secara hukum Bangsa Indonesia menyatakan bahwa perbudakaan atau penghambaan merupakan kejahatan terhadap kemerdakaan orang atau kebebasan pribadi. Hal ini terdapat dalam Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia sedangkan ayat (2) menyebutkan bahwa perbudakan dan perhambaan, perdagangan budak, perdagangan wanita dan segala bentuk perbuatan berupa apapun yang tujuannya serupa, dilarang.

Menurut undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM bahwa perdagangan orang merupakan salah satu pelanggaran HAM termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan adalah satu perbudakan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematis yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan langsung terhadap penduduk sipil.17

17


(27)

Unsur-unsur tindak pidana dalam Pasal diatas adalah serangan yang meluas atau sistematis, yang diketahuinya, ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil. Kejahatan perdagangan orang memenuhi ketiga unsur tersebut. Perdagangan manusia dilakukan oleh organisasi kejahatan yang diorganisir secara sistematis dan profesional dan dilakukan dengan sengaja serta merupakan rangkaian perbuatan yang dilakukan terhadap penduduk sipil sebagai lanjutan kebijakan yang berhubungan dengan organisasi yang melakukan kejahatan perdagangan orang.

Berdasarkan Pasal 9 tersebut diatas disebutkan bahwa salah satu jenis kejahatan manusia berupa perbudakan. Dalam penjelasan undang-undang tersebut dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan perbudakan dalam ketentuan ini termasuk perdagangan manusia khususnya perdagangan wanita dan anak.

Ketentuan hukum dalam Undang-undangNomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM adalah menunjukkan kemajuan ketentuan pidana dengan mengikuti perkembangan kejahatan dan pelanggaran HAM dalam masyarakat.

Adapun Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak Pasal 83 menyebutkan :

”Setiap anak yang diperdagangkan, menjual atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan paling singkat 3 tahun dan denda paling banyak 300 juta dan paling sedikit 60 juta rupiah”

Pasal ini melarang memperdagangkan, menjual, dan menculik anak untuk diri sendiri atau untuk dijual. Undang-undang ini cukup dapat mengakomodasi perlindungan hukum terhadap anak dari kejahatan perdagangan manusia, tetapi


(28)

sama dengan KUHP, Undang-undang ini tidak cukup memerinci apa yang dimaksud dengan perdagangan anak dan untuk kepentingan apa anak itu diperjualbelikan. Undang-undangn ini menerapkan sanksi yang lebih berat dibandingkan dengan KUHP. Jika dalam KUHP ancaman hukumannya 0-6 Tahun penjara, sedangkan undang-undang perlindungan anak mengancam pelaku kejahatan perdagangan anak dengan 3-15 tahun penjara dan denda antara 60 – 300 juta rupiah.

Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan penanggulangan perdagangan orang selain yang ditentukan dalam KUHP diantaranya juga sebagaimana ditentukan dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindangan Anak yang mengatur perlindungan untuk perdagangan anak.

Dalam undang-undang perdagangan orang terdapat kemajuan karena ancaman pidana bagi pelaku perdagangan orang menganut minimal pidana hingga maksimal pidana, serta korban juag berhak mendapat kompensasi (dari negara) dan restitusi serta ganti rugi dari pelaku. Undang-undang ini juga memberikan peluang adanya usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi korban, sakasi maupun pelapor. Disamping itu, dikenal juga pemberatan hukuman pada kasus perdagangan orang sebagaimana dikenal dalam hukum pidana Indonesia. Hal lain adalah peran serta masyrakat untuk membantu mencegah terjadinya korban tindak pidana perdagangan orang dan diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan adanya tindak pidana perdagangan orang.


(29)

Untuk kerja sama internasional diatur juga dalam Undang-undangn Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemeberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dalam bentuk perjanjian bantuan hukum timbal balik dalam pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya. Hal ini karena sifat dari tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara, tetapi juga antar negara. Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang merupakan perwujudan dari komitmen bangsa Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB Tahun 2000 yang telah ditanda tangani pemerintah Indonesia tentang mencegah, menumpas tindak pidana perdagangan orang khususnya perempuan dan anak (Protokol Palermo) dan menghukum pelakunya.

2. Faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang dalam perspektif Kriminologi

Sudah sejak lama orang mengkaji dan mengadakan penyelidikan untuk mengetahui latar belakang yang menyebabkan terjadinya suatu kejahatan. Dan untuk untuk itu pula sudah banyak para ahli-ahli masyarakat mengemukakan teori-teori tentang sebab-sebab kejahatan ini dan sekaligus mencoba menguraikan pendapat untuk mengurai kejahatan. Makin komplek suatu masyarakat makin sukar bagi kita dan makin banyak kegagalan yang akan kita temukan. Bertambah banyak undang-undang dan sanksi adalah undang-undang dan sanksi-sanksi adalah makin banyak pula kejahatan

Berbicara mengenai kejahatan, maka harus dibedakan terlebih dahulu mengenai kejahatan dalam arti yuridis (perbuatan yang termasuk tindak pidana)


(30)

dan kejahatan dalam arti sosiologis (perbuatan yang patut dipidana). Perbuatan yang termasuk tidnak pidana adalah perbuatan dalam arti melanggar undang-undang dan perbuatan yang patut dipidana adalah perbuatan yang melanggar norma atau kesusilaan yang ada dimasyarakat tetapi tidak diatur dalam perundang-undangan.18

Dalam mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan, dikenal adanya beberapa teori yang dapat dipergunakan untuk menganalisis permasalahan-permasalahan yang berkaitan dengan kejahatan. Teori-teori tersebut digolongkan kedalam penggolongan teori-teori kriminologi yang positip dan penggolongan teori-teori yang berkiblat pada mazhab kritis. Penggolongan teori tersebut terdiri dari :

a. Mazhab Antropologi 19

Usaha untuk mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri biologis dipelopori oleh ahli-ahli frenologi, seperti GALL (1758-1828) Spurzheim (1776-1832), yang mencoba mencari hubungan antara bentuk tengkorak kepala dengan tingkah laku. Mereka mendasarkan pada pendapat Aristoteles yang menyatakan bahwa otak merupakan organ dari akal.

Cesare Lombroso (1835-1909) seorang dokter ahli kedokteran kehakiman merupakan tokoh yang penting dalam mencari sebab-sebab kejahatan dari ciri-ciri fisik (biologis) penjahat dalam bukunya L’uomo Delinquente (1876). Pokok-pokok ajaran Lombroso adalah:

18

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan (Yogyakarta : Graha Ilmu, 2010 ) Halaman 86

19


(31)

1. Menurut Lombroso, penjahat adalah orang yang mempunyai bakat jahat 2. Bakat jahat tersebut diperoleh karena kelahiran, yaitu diwariskan dari nenek

moyang (borne criminal).

3. Bakat jahat tersebut dapat dilihat dari ciri-ciri biologis tertentu, seperti muka yang tidak simetris, bibir tebal, hidung pesek, dan lain-lain

4. Bakat jahat tersebut tidak diubah, artinya bakat jahat tersebut tidak dapat dipengaruhi

Lamboroso juga menggolongkan para penjahat dalam beberapa golongan seperti :20

1. Antroplogi Penjahat : Penjahat umumnya dipandang dari segi antroplogi merupakan suatu jenis manusia tersendiri (genus home delinguenes), seperti halnya dengan negro. Mereka dilahiran demikian (ildelinguente nato) mereka tidak mempunyai predis posisi untuk kejahatan, tetapi suatau prodistinasi, dan tidak ada pengaruh lingkungan yang dapat merubahnya. Sifat batin sejak lahir dapat dikenal dari adanya stigma-stigma lahir, suatu tipe penjahat yang dapat dikenal.

2. Hypothese atavisme : Persoalannya ialah bagaimana caranya menerangkan terjadinya mahkluk yang abnormal itu (penjahat sejak lahir). Lambroso dalam memecahkan soal tersebut, memajukan hypothase yang sangat cerdik, diterima bahwa orang masih sederhana peradapannya sifatnya adalah amoral, kemudian dengan berjalannya waktu dapat memperoleh sifat asusila (moral), maka orang penjahat merupakan suatu gejala atavistis, artinya ia dengan

20

H.M Ridwan dan Ediwarman, Asas-asas Kriminologi (Medan, USU Press, 1994) Halaman 65-66


(32)

sekonyong-konyong dapat kembali menerima sifat-sifat yang sudah tidak dimiliki nenek moyangnya yang lebih jauh (yang dinamakan pewarisan sifat secara jauh kembali).

3. Hypothese Pathology : Berpendapat bahwa penjahat adalah seseorang penderita epilepsi

4. Type penjahat : ciri-ciri yang dikemukakan oleh Lambroso terlihat pada penjaha, sedemikian sifatnya, sehingga dapat dikatakan tipe penjahat. Para penjahat dipandang dari segi antroplogi mempunyai tanda-tanda tertentu, umpamanya sis tengkoraknya (pencuri) kurang lebih dibandingkan dengan orang lain, dan terdapat kelainan-kelainan pada tengkoraknya. Dalam tengkoraknya terdapat keganjilan yang seakan-akan mengingatkan kepada otak-otak hewan, biar pun tidak dapat ditunjukkan adanya kelainan-kelainan penjahat khusus. Roman mukanya juga laindari pada orang biasa, tulang rahang lebar, muka menceng, tulang dahi melengkung ke belakang.

b. Mazhab Perancis atau Mazhab Lingkungan

Mazhab ini timbul terutama sebagai penentang mazhab (ajaran) Lambroso. Pemuka-pemukanya adalah para dokter yang mengemukakan arti penting dari pada milieu sebagai penerbit dari macam-macam penyakit infeksi dan etiologi dari pada penyakit-penyakit infeksi. Para dokter ini terutama telah lebih menonjolkan teori milleu dengan menyangkal kebenaran ajaran tentang kriminalitas sejak lahir. Walaupun mereka adalah dokter dan bukan ahli-ahali sosiologi, namun mereka mempunyai pengertian yang tepat mengenai


(33)

sebab-sebab sosial dari pada kriminalitas. Pemuka-pemukanya adalah Lacassagne (dokter), Manouvrier (anthropolog) dan G. Tarde (yuridis dan sosiolog). Menurut Tarde, kriminalitas bukan gejala antroplogis, melainkan karena gejala sosial, seperti juga lain-lain gejala sosial yang dipengaruhi oleh imitasi.21

Menurut mazhab lingkungan ekonomi yang mulai berpengaruh pada abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 mengangap bahwa keadaan ekonomi yang menyebabkan timbulnya perbuatan jahat. Menurut F. Turati, ia menyatakan tidak hanya kekurangan dan kesengsaraan saja yang dapat menimbulkan kejahatan, tetapi juga didorong oleh nafsu ingin memiliki yang berhubungan erat dengan sistem ekonomi pada waktu sekarang yang mendorong kejahatan ekonomi. Menurut N. Collajani, menunjukkan bahwa timbulnya kejahatan ekonomi dengan gejala patologis sosial yang berasal dari kejahatan politik mempunyai hubugan dengan keadaan kritis. Ia menekankan bahwa antara sistem ekonomi dan faktor-faktor umum dalam kejahatan hak milik mendorong untuk mementingkan diri sendiri yang mendekatkan pada kejahatan.22

c. Mazhab Bio-Sosiologi

Ferri memberikan suatu rumus tentang timbulnya tiap-tiap kejahatan adalah resultan dari keadaan individu, fisik dan sosial. Pada suatu waktu unsur individu yang paling penting, keadaan sosial memberi bentuk kejahatan, tetapi ini bakatnya berasal dari bakatya yang anti sosial (organis dan psikis). Diantara

21

Purnianti, Moh. Kemal Darmawan, Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, (Bandung : PT.Citra Aditya Bakti, 1994), Halaman 40-41

22

W.A Bonger, Pengantar Tentang Kriminologi, (Jakarta, PT.Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982), Halaman 95


(34)

semua penganut dari Lambroso, Ferri yang paling berjasa dalam menyebarkan ajarannya. Sebagai seorang ahli ilmu pengetahuan, ia sudah mengetahui bahwa ajaran Lambroso dalam bentuk aslinya tidak dapat dipertahankan. Dengan tidak mengubah intinya, Ferri mengubah bentuknya, sehingga tidak lagi begitu berat sebelah, dengan mengakui pengaruh lingkungan.

Dari uraian diatas aliran bio-sosiologi ini bersintetis kepada aliran antroplogi yaitu keadaan lingkungan yang menjadi sebab kejahatan, dan ini berasal dari Ferri. Rumusnya berbunyi ; “tiap kejahatan adalah hasil dari unsur -unsur yang terdapat dalam individu yaitu seperti -unsur--unsur yang diterangan oleh Lambroso”.23

d. Mazhab Spritualis

Mazhab ini mencari sebab-musabab kejahatan dalam ketidak adanya kepercayaan agama. Pendapat ini dibuatnya atas dasar penemuan, bahwa makin banyak orang yang tidak pergi ke gereja, makin bertambah kejahatan. Jadi terdapat hubungan kausal antara kedua hal tersebut.24

Diantara aliran-aliran kriminologi yang mempunyai kedudukan sendiri, adalah aliran yang dulu mencari sebab terpenting dari kejahatan dalam tidak beragamanya seseorang. Menurut Kampe aliran ini mengalami bermacam-macam perubahan dan kehalusan, oleh karena itu mungkin pada waktu sekarang lebih tepat jika dinamakan aliran neo spiritualis, mempunyai kecenderungan

23

H.M. Ridwan dan Ediwarman, Op. Cit, Halaman 67

24


(35)

mementingkan unsur kerohanian dalam mencegah terjadinya kejahatan-kejahatan.25

e. Mazhab Mr. Paul Moedikno Moeliono

Menurut mazhab ini membagi kepada 5 (lima) golongan antara lain ialah : 1. Golongan salahmu sendiri (SS)

Aliran ini berpendapat bahwa kejahatan timbul disebabkan kemauan bebas individu (free of the will). Kejahatan disebabkan oleh kemauan maka perlu hukuman untuk jangan lagi berbuat jahat.

2. Golongan Tiada yang salah (TOS)

Aliran ini mengemukakan sebab-sebab kejahatan itu disebabkan Hereditas Biologis, kultur lingkungan, bakat ditambah lingkungan, perasaan keagamaan. Jadi kejahatan itu ekspresi dari pressi faktor biologis kulturil, Bio-sosiologis, spritualis.

3. Golongan salah Lingkungan

Aliran ini menyatakan timbulnya kejahatan disebabkan oleh faktor lingkungan.

4. Golongan Kombinasi

Aliran kombinasi ini menyatakan bahwa struktur personal individu terdapat 3 bagian :

a. Das Es = Id

25


(36)

Das Es berisi nafsu hewani yang jika meminta harus direalisir, dan sepenuhnya berada dalam alam tak sadar. Dalam lapisan ini nafsu bersifat konstruktif dan ada bersifat destruktif.

b. Das Ich = Ego

Das Ich terletak dalam kesadaran dan merupakan inti, berfungsi menyelaraskan tuntutan Das Es sesuai dengan norma kehidupan. Lapisan ini menyeleksi keinginan Das Es.

c. Uber Ich = Super Ego

Uber Ich merupakan instansi yang tertinggi dalam mengatur tindakan manusia serta bernilai moral. Norma yang mempengaruhi ego membekas dalam super ego. Super ego mengontrol ego dan memberi celaan dan pujian terhadap tindakan Ego. Orang beriman bila super ego membatasi nafsu dan mengarahkan ke hal yang normatif tinggi, sehinga terbentuknya “iman” ini terlebih dahulu ada pertentangan antara Das ich dan Das Es 5. Golongan Dialog

Golongan ini menyatakan manusia adalah dialog maka dia adalah pusat hubungan. Karena manusia berdialog dengan lingkungan, maka dia dipengaruhi lingkungan. Mempengaruh lingkungan maksudnya memberi struktur pada lingkungan sedangkan dipengaruhi lingkungan maksudnya manusia yang dipengaruhi oleh keadaan lingkungan.26

26


(37)

3. Kebijakan Hukum Pidana dalam memberikan Perlindungan Hukum Terhadap Anak Sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan secara memadai tidak saja merupakan isu nasional, tetapi juga internasional, karena itu hal ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Oleh karena itu, masalah ini perlu memperoleh perhatian yang serius. Pentingnya perlindungan korban kejahatan memperoleh perhatian yang serius, dapat dilihat dalam Delcaration of Basic Principles of Justice for Victims of Crime and Abuse of Power oleh Perserikatan Bangsa-bangsa sebagai hasil dari The Seventh United Nation Conggres on the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders yang berlangsung di Milan Italia pada September 1985. 27

Dalam satu rekomendasinya disebutkan :

Offenders or third pa rties resposible for their behaviour should, where appropriated, make fair restitution to victims, their families or dependants. Such restitution should include the return of property or payment for the harm or loss suffered, reimbursement of expenses incurred as a result of the victimization, the provision of services and retoration of rights.

Sepanjang menyangkut korban kejahatan dalam deklarasi PBB tersebut telah menganjurkan agar paling sedikit diperhatikan 4 (empat) hal sebagai berikut: a. Jalan masuk untuk memperoleh keadilan dan diperlakukan secara adil (access

to justice and fair treatment);

b. Pembayaran ganti rugi (restitution) oleh pelaku tindak pidana kepada korban, keluarganya atau orang lain yang kehidupannya dirumuskan dalam bentuk sanksi pidana dalam perundang-undangan yang berlaku;

27


(38)

c. Apabila terpidana tidak mampu, negara diharapkan membayar santunan

(compensation) finansial kepada korban, keluarganya atau mereka yang menjadi tanggungan korban;

d. Bantuan materiil, medis, psikologis dan sosial kepada korban, baik melalui negara, sukarelawan, masyarakat (assistance).28

Dalam deklarasi tersebut, bentuk perlindungan yang diberikan mengalami perluasan tidak hanya ditujukan pada korban kejahatan (victims of crime), tetapi juga korban akibat penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power).

Keadilan dan hak asasi manusia dalam kaitannya dengan penegakan hukum pidana memang bukan merupakan pekerjaan yang sederhana untuk direalisasikan. Banyak peristiwa dalam kehidupan masyarakat menunjukkan kedua hal tersebut kurang memperoleh perhatian yang serius dari pemerintah, padahal sangat jelas dalam Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia, perikemanusiaan dan perikeadilan mendapat tempat yang sangat penting sebagai perwujudan dari sila kemanusian yang adil dan beradab serta sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Selama ini perlindungan hukum terhadap korban kejahatan kurang diperhatikan dalam penegakan hukum.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, ada dua model Perlindungan Hukum, yaitu sebagai berikut : 29

a. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model)

Model ini diperancis disebut partie civile model (civil action sistem). Model ini menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam

28

Ibid, Halaman 178

29

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana ( Bandung : Alumni. 1992), hal aman 79-80


(39)

proses peradilan pidana seperti membantu jaksa, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar kepentingan-kepentingannya.

Keuntungan model ini adalah model ini dianggap dapat memenuhi perasaan untuk membalas si korban maupun masyarakat. Selain itu, keterlibatan korban seperti ini memungkinkan korban untuk memperoleh kembali rasa percaya diri dan harga diri dan meningkatkan arus informasi yang berkualitas kepada hakim sebab biasanya arus informasi ini didominasi terdakwa yang melalui kuasa hukumnya yang dapat menekan korban sebagai saksi korban dalam persidangan.

Model ini juga memiliki kelemahan, bahwa model ini dapat menimbulkan konflik antara kepentingan umum dan kepentingan pribadi. Partisipasi korban dalam administrasi peradilan pidana dapat menempatkan kepentingan umum dibawah kepentingan pribadi, padahal sistem peradilan pidana harus berlandaskan pada kepentingan umum. Kerugian lain adalah ada kemungkinan hak-hak yang diberikan pada korban dapat menimbulkan beban mental bagi yang bersangkutan dan membuka peluang untuk menjadikannya sebagai sasaran tindakan-tindakan yang bersifat menekan dari pelaku tindak pidana.

Secara psikologis, praktis dan finansial kadang-kadang dianggap juga tidak menguntungkan. Kegelisahan, depresi, dan sikap masa bodoh korban


(40)

tidak memungkinkan baginya berbuat secara wajar, dan berpendidikan rendah. Jadwal persidangan yang ketat dan berkali-kali akan mengganggunya baik secara praktis maupun finansial dan dapat juga dikatakan bahwa suasana peradilan yang bebas yang dilandasi asas praduga tak bersalah dapat terganggu oleh pendapat korban tentang pemidanaan yang akan dijatuhkan dan hal ini didasarkan atas pemikiran yang emosional dalam rangka pembalasan.

b. Model pelayanan (the services model)

Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi, restitusi, dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan tertekan akibat kejahatan, sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang dapat digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk melayani dalm kerangka para penegak hukum.

Keuntungan model ini adalah model ini dapat digunakan sebagai sarana pengembalian kondisi korban yang dinamakan integrity of the sistem of institutionalized trust, dalam kerangka perspektif komunal. Korban akan merasa dijamin kembali kepentingannya dalam suasana tertib sosial yang adil. Suasana tertib, terkendali dan saling mempercayai dapat diciptakan kembali. Model ini dapat menghemat biaya sebab dengan bantuan pedoman yang baku, peradilan pidana dapat mempertimbangkan kerugian-kerugian yang diderita korban dalam rangka menentukan kompensasi bagi korban.


(41)

Kelemahan model ini antara lain, kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada polisi, jaksa dan pengadilan untuk selalu melakukan tindakan-tindakan tertentu kepada korban, dianggap akan membebani penegak hukum karena semua didasarkan atas sarana dan prasarana yang sama. Efisiensi dianggap juga akan terganggu, sebab pekerjaan yang bersifat profesional tidak mungkin digabungkan dengan urusan-urusan yang dianggap dapat mengganggu efisiensi. Dengan adanya kelemahan-kelemahan tersebut, maka perlindungan hukum di Indonesia yang berkaitan dengan korban kejahatan perdagangan orang haruslah berimbang antara kepentingan pelaku masyarakat, negara, dan kepentingan umum. Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.30 Perlindungan anak dapat juga diartikan sebagai segala upaya yang ditujukan untuk mencegah, rehabilitasi dan memberdayakan anak yang mengalami tindak perlakuan salah, eksploitasi dan penelantaran, agar dapat menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang secara wajar, baik fisik, mental maupun sosialnya. Perlindungan anak adalah suatu usaha melindungi anak agar dapat melaksanakan hak dan kewajibannya.31

Dasar pelaksanaan Perlindungan Anak adalah :

30

Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Anak

31


(42)

a. Dasar Filosofis, Pancasila dasar kegiatan dalam berbagai bidang

kehidupan keluarga, bermasyarakat, bernegara, dan berbangsa, dan dasar filosofis pelaksana perlindungan anak

b. Dasar Etis, Pelaksanaan perlindungan anak harus sesuai dengan etika

profesi yang berkaitan, untuk mencegah perilaku menyimpang dalam pelaksanan kewenangan, dan kekuatan dalam pelaksanaan Perlindungan Anak

c. Dasar Yuridis, Pelaksanaan perlindungan anak harus didasarkan pada

UUD 1945 dan berbagai peraturan Perundang-undangan lainnya yang berlaku. Penerapan dasar yuridis ini harus secara integratif, yaitu penerapan terpadu menyangkut peraturan perundang-undangan dari berbagai bidang hukum yang berkaitan.32

Prinsip-prinsip Perlindungan Anak adalah :

a. Anak tidak dapat berjuang sendiri; Salah satu prinsip yang digunakan

dalam perlidungan anak adalah anak itu modal utama kelangsungan hidup manusia, bangsa dan keluarga, untuk itu hak-haknya harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi sendiri hak-haknya, banyak pihak yang memperngaruhi kehidupannya. Negara dan masyarakat berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

b. Kepentingan terbaik anak (the best interest of the child); agar

perlindungan anak dapat diselenggarakan dengan baik, dianut prinsip yang menyatakan bahwa kepentingan terbaik anak harus dipandang sebagai of

32


(43)

paramount importence (memperoleh prioritas tertinggi) dalam setiap keputusan yang menyangkut anak. Tanpa prinsip ini perjuangan untuk melindungi anak akan mengalami banyak batu sandungan. Prinsip the best interest of the child digunakan karena dalam banyak hal anak “korban”,

disebabkan ketidaktahuan anak, karena usia perkembangannya. Jika prinsip ini diabaikan, maka masyarakat menciptakan monster-monster yang lebih buruk di kemudian hari.

c. Ancaman daur kehidupan (life-circle approach); Perlindungan anak mengacu pada pemahaman bahwa perlindungn anak harus dimulai sejak dini dan terus menerus. Perlindungan hak-hak anak yang mendasar bagi pradewasa juga diperlukan agar generasi penerus tetap bermutu. Orang tua yang terdidik mementingkan sekolah anak-anak mereka. Orang tua yang sehat jasmani dan rohaninya, selalu menjaga tingkah laku kebutuhan, baik fisik maupun emosional anak-anak mereka.

d. Lintas Sektoral; Nasib anak tergantung dari berbagai faktor lain yang

mikro maupun makro, yang langsung maupun tidak langsung. Kemiskinan, perencanaan kota dan segala penggusuran, sistem pendidikan yang menekankan hafalan dan bahan-bahan yang tidak relevan, komunitas yang penuh dengan ketidakadilan, dan sebagainya, tidak dapat ditangani oleh sektor terlebih keluarga atau anak itu sendiri. Perlindungan terhadap anak adalah perjuangan yang membutuhkan sumbangan semua orang di semua tingkatan.33

33


(44)

F. Metodologi Penelitian

1. Spesifikasi Penelitian

Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini metode yuridis Normatif yaitu penelitian yang dilakukan degan cara meneliti bahan pustaka (data sekunder) atau penelitian hukum perpustakaan. Pada penelitian normatif data sekunder sebagai sumber/bahan informasi dapat merupakan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tirtier. Pelaksanaan penelitian normatif secara garis besar ditujukan kepada :34

a. Penelitian Terhadap Asas-asas Hukum b. Penelitian terhadap sistematika hukum c. Penelitian terhadap sinkronisasi hukum d. Penelitian terhadap sejarah hukum

e. Penelitian Terhadap Perbandingan hukum

Dalam hal ini penulis menggunakan penelitian yuridis normatif untuk meneliti bahan pustaka yang berhubungan dengan permasalahan skripsi ini dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positip), putusan pengadilan, serta literature yang berkaitan dengan permasalahan dalam skripsi.

2. Metode Pendekatan

Metode Pendekatan yang digunakan adalah metode pendekatan sosiologis, yang dimulai dari berlakunya Undang-undang yang mengatur Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang dan pengaruh berlakunya

34

Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum.Panduan Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi (Medan. PT.Sofmedia, 2015), Halaman 25


(45)

peraturan perundang-undangan tersebut terhadap kehidupan masyarakat serta faktor non hukum terhadap berlakunya ketentuan hukum positif.

3. Lokasi Penelitian, Populasi dan Sampel

Lokasi penelitian penulis dalam menyusun skripsi ini adalah Pengadilan Negeri Medan.

4. Alat Pengumpul Data

Pada umumnya para peneliti mempergunakan alat pengumpul data berupa:35

a. Studi kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) b. Wawancara (Interview)

c. Daftar pertanyaan (Kuesioner angket) d. Pengamatan (Observasi)

Alat pengumpul data dalam penelitian ini berupa Studi Kepustakaan/studi dokumen (Documentary Study) yaitu dengan melakukan penelitian terhadap data sekunder yang meliputi: Peraturan-peraturan nasional yang berhubungan dengan tulisan ini, Yurisprudensi yaitu putusan pengadilan Negeri Medan No.1033/Pid.B/2013/PN.Mdn, serta penelitian terhadap Bahan Hukum Sekunder, yang meliputi karya penelitian, karya dari kalangan hukum lainnya, dan hasil penelitian. dan bahan-bahan penunjang yang mencakup bahan-bahan yang memberi petunjuk-petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia dan sebagainya.

35


(46)

5. Prosedur Pengambilan dan Pengumpulan Data

Prosedur pengambilan dan pengumpulan data diperoleh dengan cara melakukan studi kepustakaan (libra ry research) dengan tujuan mencari konsep-konsep, teori-teori, pendapat-pendapat atau penemuan-penemuan yang relevan dengan pokok permasalahan melalui peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang.

6. Analisis data

Analisi data dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan menganalisis melalui data lalu diorganisasikan dalam pendapat atau tanggapan dan data-data sekunder yang diperoleh dari pustaka kemudian dianalisis sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Untuk lebih jelas dan terarahnya penulisan skripsi ini, maka akan dibahas dalam bentuk sistematika, yaitu sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Merupakan bab pendahuluan yang mengemukakan tentang latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan pustaka, metodologi penelitian, dan sistematika penulisan.


(47)

BAB II PENGATURAN HUKUM POSITIP TERHADAP PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Merupakan bab kedua yang membahas pengaturan hukum positip Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang dari UU Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tinak Pidana Perdagangan Orang, UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, UU Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 13 tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban serta Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 2008, Perda Nomor 6 Tahun 2004 tentang Pencegahan dan Pengahapusan Tindak Pidana Perdagangan Perempuan dan Anak di Sumatera Utara

BAB III FAKTOR PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

Merupakan bab yang membahas mengenai Faktor Penyebab terjadinya Tindak Pidana Perdagangan orang yaitu faktor Intern yang meliputi faktor Individual, faktor Ekonomi, faktor Pendidikan dan faktor menikah muda. Serta faktor ekstern yaitu faktor lingkungan, faktor lemahnya penegakan hukum dan faktor konflik sosial perang.

BAB IV KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM MEMBERIKAN


(48)

KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PUTUSAN NOMOR : 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn

Merupakan bab yang berisi upaya perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang yang meliputi upaya penal dan upaya non penal dan analisis kasus terhadap putusan nomor : 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn meliputi Posisi kasus, pertimbangan hukum, putusan hakim dan analisis hukum

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN :

Bab terakhir ini berisi kesimpulan mengenai bab-bab yang telah dibahas sebelumnya dan pemberian saran-saran dari penulis yang berkaitan dengan masalah yang dibahas


(49)

BAB II

Pengaturan Hukum Mengenai Perlindungan Anak sebagai Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang

A. UU Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pengaturan hukum mengenai larangan terhadap perdagangan orang telah seumur dengan pembentukan KUHP itu sendiri. Pasal 297 KUHP yang dikhususkan mengatur perdagangan perempuan dan anak laki-laki dibawah umur yang menunjukkan bahwa pada masa penjajahan pun perdagangan perempuan dan anak sudah diklasifikasikan sebagai suatu kejahatan atau dianggap sebagai tidakan tidak manusiawi dan layak mendapatkan sanksi pidana.36

Sebelum undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang disahkan, digunakan KUHP Pasal 297 yang berbunyi : “Perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. Hanya Pasal ini yang secara khusus menyebut perdagangan orang walaupun hal itu masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang.37

Perdagangan orang dalam KUHP sudah merupakan perbuatan pidana dan diatur secara eksplisit dalam Pasal 297, tetapi tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang perdagangan orang. Pasal 297 yang berbunyi perdagangan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 tahun. Hanya Pasal ini yang secara khusus menyebutkan perdagangan

36

Alfitra, Modus Operandi pidana khusus di luar KUHP,(Jakarta : penebar swadaya grup, 2014) , Halaman 108

37


(50)

orang walaupun masih sangat tidak lengkap dan belum mengakomodasi perlindungan hukum terhadap perdagangan orang. Pemberian sanksi dalam Pasal 297 KUHP tersebut tergolong sangat ringan dan tidak memberikan sanksi yang tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban kejahatan perdagangan manusia.38

Namun, seiring dengan kemajuan teknologi, informasi, dan transportasi mengakselerasi globalisasi tindak pidana perdagangan manusia khususnya perempuan dan anak telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan, baik terorganisasi maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan tidak hanya melibatkan perorangan, tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang menyalagunakan wewenang kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antar wilayah dalam negeri, tetapi juga antarnegara.

Pasal 297 KUHP tidak cukup untuk mencakup berbagai macam bentuk kejahatan yang terdapat dalam modus perdagangn orang. Seperti perdagangan orang melalui jeratan utang. Selain itu, Pasal ini tidak mencantumkan masalah-masalah penyekapan atau standarisasi kondisi pekerjaan. Jika ukuran hukum tidak jelas, aparat penegak hukum akan sulit membedakan antara penampungan dan penyekapan.39

Jika dibandingkan rumusan perdagangan orang dalam KUHP tentang tindak pidana perdagangan orang, maka dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pengertian

38

Alfitra, Op.cit Halaman 109

39


(51)

Tindak Pidana Perdagangan Orang sudah lebih rinci atau mencakup ruang lingkup tindak pidana perdagangan orang dari rumusan KUHP. Dalam Pasal 1 angka 1 menyatakan bahwa Perdagangan orang adalah sebagai berikut.

“Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam negara maupun antar negara, untuk tujuan mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”

Dalam undang-undang Nomor 21 tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, eksploitasi dijelaskan dalam Pasal 1 angka 7 yang menyebutkan bahwa :

Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh, atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.”

Unsur tujuan untuk mengeksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi ini tidak relevan lagi atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam defenisi di atas digunakan. Dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang ditegaskan dalam Pasal 1 angka 7, dengan menyebutkan bahwa “Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban ...” Ditegaskannya persetujuan korban adalah sebagai hal yang tidak relevan atau tidak berarti lagi, jika disebutkan dalam peraturan tentang perdagangan orang karena dapat melemahkan niat untuk menghukum pelaku perdagangan orang.


(52)

Sering terjadi dalam kasus bahwa argumentasi pelaku selalu menggunakan alasan bahwa korban telah setuju atau adanya persetujuan dari korban atau korban mau dan sepakat untuk ikut. Oleh karena itu, dipertegas lagi dalam Pasal 26 undang – undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang bahwa persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan tindak pidana perdagangan orang. Unsur tujuan ini juga menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan orang merupakan tindak pidana formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana yang sudah dirumuskan dan tidak harus menimbulkan akibat.40

Penyalahgunaan kekuasaan dimaksud adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankan secara tidak sesuai dengan ketentuan peraturan.41 Pengertian pemanfatan posisi kerentanan tidak dijelaskan dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan tindak Pidana Perdagangan Orang. Adapun pengertian penjertaan utang dijelaskan dalam Pasal 1 angka 15 bahwa :

“Penjeratan utang adalah perbuatan menempatkan orang dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.”

Cara melakukan tindak pidana perdagangan orang dalam undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan unsur dari tindak pidana perdagangan orang, yaitu dengan kekerasan atau

40

Ibid, Halaman 26

41Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tidak Pidana Perdagangan Orang


(53)

ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi kerentanan atau penjeratan utang. Jadi, rumusan dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang yang digunakan sebagai jalan atau cara melakukan tindak pidana perdagangan orang, yaitu ancaman kekerasan dan kekerasan yang sudah dijelaskan dalam Bab 1, sedangkan cara penculikan, penyekapan, penipuan, tidak dijelaskan dalam Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan orang, tetapi ditemukan dalam Pasal-Pasal dalam KUHP dan Pasal-Pasal yang dikualifikasikan mengatur tindak pidana perdagangan orang.

Sehubungan dengan pandangan Utrech bahwa peristiwa pidana mempunyai unsur-unsur adalah suatu kelakukan yang bertentangan dengan (melawan) hukum, suatu kelakuan yang diadakan karena pelanggar bersalah dan suatu kelakuan yang dapat di hukum,42 maka dalam tindak pidana perdagangan orang terdapat perbuatan yang bertentangan melawan hukum adalah melakukan perbuatan merekrut, mengirim, dan penyerahterimaan dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, penipuan, penculikan, penyekapan, penyalahgunaan kekuasaan, pemanfaatan posisi rentan atau penjeratan utang. Unsur kesalahan dalam rumusan tindak pidana perdagangan orang adanya kesalahan digambarkan secara eksplisit dalam rumusan untuk tujuan eksploitasi orang tersebut yang berarti ada maksud untuk mengeksploitasi atau berakibat tereksploitasi orang tersebut.

42


(54)

Pelaku tindak pidana perdagangan orang dapat digolongan menjadi 4 (empat) golongan, sebagai berikut43

1. Orang Perseorangan, yaitu :

a. Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 2).

b. Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau eksploitasi di negara lain (Pasal 3)

c. Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 4)

d. Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu dengan maksud untuk dieksploitasi (Pasal 5), dan setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam negeri atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi (Pasal 6)

43


(55)

e. Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan tindak pidana perdagangan orang dan tindak pidana itu tidak terjadi (Pasal 9), dan setiap orang yang melakukan tindak pidana perdagangan orang (Pasal 10)

f. Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang

g. Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana perdagangan orang dengan melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi atau mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang.

2. Kelompok

Yaitu kumpulan dua orang atau lebih yang bekerja sama melakukan perbuatan pidana perdagangan orang. Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok terorganisir, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam kelompok yang terorganisir tersebut dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah sepertiga (Pasal 16).

Dalam rumusan unsur Pasal 16 Undang-undang Tindak Pidana Perdagangan orang menunjukkan bahwa peran atau kapasitas masing-masing pembantu pelaku dalam keikutsertaannya adalah melakukan tindak pidana


(1)

pengamatan sesuai dengan aktivitas permasalahannya. Tanpa mempelajari sebab-sebab terjadinya kejahatan sangat sulit untuk dimengerti alasan kejahatan itu terjadi apalagi untuk menentukan tindakan yang tepat dalam menghadapi pelaku kejahatan. Begitu juga dengan banyaknya faktor-faktor penyebab terjadinya tindak pidana perdagangan orang yang melibatkan anak-anak yaitu Faktor Intern yang meliputi : faktor Individual, Faktor Ekonomi, faktor keluarga dan Faktor Pendidikan serta Faktor Ekstern yaitu : faktor sosial budaya, faktor ketidak setaraan gender, faktor menikah muda, faktor penegakan hukum, faktor masyarakat dan faktor budaya.

3. Korban kejahatan pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, tetapi tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang kepada pelaku kejahatan. Perlindungan Hukum terhadap anak sebagai korban tindak pidana perdagangan orang dalam putusan nomor : 1033/Pid.B/2013/PN.Mdn, Bahwa Majelis Hakim dalam memutus perkara pidana ini, sudah memutus pelaku kejahatan sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang nomor 21 tahun 2007 tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang. Akan tetapi majelis hakim tidak menguraikan dengan jelas peran dan tanggung jawab para terdakwa apakah sebagai orang yang melakukan tindak pidana atau menyuruh melakukan tindak pidana.


(2)

B. Saran

Adapun saran dari penulis adalah :

1. Perlunya peran serta orang tua dalam mencegah terjadinya tindak perdagangan orang terhadap anak yaitu dengan melakukan pengawasan terhadap anak mereka. Hal ini sangat penting karena jika orang tua melakukan pengawasan maka peluang terjadinya tindak pidana perdagangan orang akan sangat kecil. Dan orang tua juga harus menanamkan kepada anak nilai-nilai spritual yaitu nilai-nilai agama yang dianutnya. Bahwa melakukan hubungan seksual sebelum menikah adalah perbuatan yang dilarang Tuhan.

2. Sebaiknya seluruh Pemerintah daerah baik tingkat Provinsi, Kabupaten dam Kota di Indonesia membuat Peraturan Daerah (Perda) tentang penanganan tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan nilai-nilai budaya yang ada didalam masyarakat sekitarnya, sehingga korban dapat terlindungi. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat selaku Pembuat Undan-undang terus mengikuti perkembangan yang ada dalam masyarakat mengenai perdagangan orang baik itu hl-hal yang belum terjangkau oleh undang-undang yang saat ini berlaku dengan melakukan perubahan-perubahan terhadap undang-undang yang ada.

3. Mengingat Modus perdagangan orang yang semakin berkembang, sebaiknya Pemerintah bekerja sama dengan Pihak sekolah dan Guru untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang ini terutama terhadap anak sekolah yang merupakan target sindikat


(3)

perdagangan orang. Hal itu sangat perlu mengingat anak-anak adalah indivudi yang mudah terpengaruh dengan bujuk rayu dari para pelaku perdagangan orang. Pencegahan dapat dilakukan dengan menarik isu perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual dari ranah privat ke ranah umum. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan bimbingan konseling, workshop atau penyuluhan kepada para siswa tentang modus operandi perdagangan orang dan bahaya yang mengintai para korban perdagangan orang dengan tujuan eksploitasi seksual yaitu penyebaran penyakit menular.


(4)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku-buku

Alfitra, Modus Operandi pidana khusus diluar KUHP, Jakarta : Penebar Swadaya Grup, 2014

Arief, Barda Nawawi Beberapa aspek kebijakan penegakan dan pengembangan hukum pidana, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2005

---Bunga Rampai Kebijakan hukum pidana (perkembangan penyusunan konsep KUHP baru), Jakarta : Sinar Grafika, 2008

Bonger W.A, Pengantar Tentang Kriminologi, Jakarta : PT.Pembangunan Ghalia Indonesia, 1982

Ediwarman, Monograf Metodologi Penelitian Hukum, Medan : PT. Sofmedia, 2015

Farhana, Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 2010

Mansur, Dikdik M. Arief dan Gultom, Elisatris, Urgensi Perlindungan Korba n Kejahatan antara Norma dan Realita, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007

Gultom Maidin, Perlindungan hukum terhadap anak dan perempuan, Bandung : PT.Refika Aditama, 2012

Hendrojono, Kriminologi Pengaruh perubahan masyarakat dan hukum, Surabaya : Srikandi, 2005


(5)

Maya Indah, Perlindungan Korban dalam prespektif Victimology dan Kriminologi, Jakarta : Kahrisma Putra Utama, 2014

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1992

---Teori-teori dan kebijakan hukum pidana, Bandung : Alumni, 1995

Darmawan, Moh. Kemal, dan Purnianti, Mazhab dan Penggolongan Teori Dalam Kriminologi, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1994

Mozasa, Chairul Bariah, Aturan-aturan hukum trafficking (perdagangan perempuan dan anak), Medan : USU Press, 2005

Nuraeny Henny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Jakarta : Sinar Grafika : 2011

R. Sugandhi, Kitab undang-undang hukum pidana dengan penyelesaiannya, Surabaya : Usaha Nasional, 1980

R. Soesilo, Kitab Undang-undang hukum pidana (KUHP) (serta komentar-komentarnya lengkap Pasal demi Pasal), Bogor : Politeia, 1996

Soekamto Soerjono, Faktor-faktor yang mempengaruhi Penegakan hukum, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004

Syamsuddin Aziz, Tindak Pidana Khusus, Jakarta : Sinar Grafika : 2012

Yulia Rena, Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, Yogyaka rta : Graha Ilmu, 2010


(6)

B. Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Undang-undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban

Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Peraturan Daerah (Perda) Sumatera Utara Nomor 6 tahun 2004 Tentang Pencegahan Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak Sumatera utara

C. Internet

www.okezone.com www.kompasiana.com http://www.unic-jakarta.org