Peranan Bahan Organik Segar Dalam Memperbaiki Sifat Fisika Ultisol Yang Ditanami Jagung Pada Tiga Kelas Lereng: Efek Sisa Pada Musim Tanam Ke II.

1
Bidang Ilmu Tanah

Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

2
Bidang Ilmu Tanah

Disamping masalah lahan dengan unsur hara yang tidak berimbang, petani juga
merasa berat membeli pupuk sintetik yang harganya semakin mahal. Oleh karena itu,
penggunaan pupuk sintetik harus dikurangi tanpa menurunkan produksi. Sehubungan dengan
hal itu, Hakim et al., (2009, 2010, 2011, dan 2012) mencoba mengatasinya dengan
menggunakan pupuk organik titonia plus (POTP), yaitu pupuk organik yang dibuat dengan
bahan baku titonia (Tithonia diversifolia), plus jerami padi dan/atau pupuk kandang, kapur,
pupuk P dan mikroorganisme. Dasar penggunaan POTP adalah karena titonia mengandung
unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) yang relatif tinggi. Hakim (2002), serta Hakim
dan Agustian (2003) melaporkan bahwa rata-rata kandungan hara titonia yang terdapat di Sumatera
Barat cukup tinggi, yaitu 3,16 % N, 0,38 % P, dan 3,45 % K. Selain hara N, P,dan K, titonia juga
mempunyai kadar hara 0,59 % Ca, dan 0,27 % Mg. Akan tetapi, kadar hara mikro dalam titonia belum
dilaporkan, sehingga perlu diteliti.


Hakim et al., (2010 dan 2011) melaporkan bahwa penggunaan POTP pada sawah
intensifikasi dengan metode SRI mampu mengurangi penggunaan pupuk sintetik N dan K
hingga 50%, dengan hasil sedikit lebih tinggi daripada 100% pupuk sintetik. Pemanfaatan
POTP demgan metode SRI tersebut dapat menghasilkan gabah sebesar 4,6 - 5,0 ton ha-1 di
Air Pacah, kota Padang, sebanyak 3,6 – 4,6 ton ha-1di Jawi-jawi, kabupaten Solok, dan
sebanyak 6,8 – 7,0 ton ha-1di Rambatan, kabupaten Tanah Datar. Akan tetapi, mereka
menyatakan bahwa hasil padi yang diperoleh pada sawah intensifikasi tersebut belum seperti
yang diharapkan (sekitar 8 ton/ha).
Rendahnya hasil padi SRI di daerah tersebut menurut Hakim et al., (2011)
mungkin
disebabkan karena kekurangan unsur mikro, karena terdapatnya bercak kuning kecoklatan
(brownzing) pada daun. Tampaknya POTP belum mampu memberikan unsur mikro yang cukup bagi
tanaman untuk berproduksi optimal. Akan tetapi, unsur mikro apa yang kurang diantara unsur mikro
esensial (Fe, Zn, Cu, B, Mn, Cl dan Mo) juga belum diketahui

Kajian mendasar tentang kebutuhan unsur hara mikro bagi tanaman padi pada sawah
intensifikasi yang diberi POTP perlu dikaji secara mendasar. Pada tahap pertama diteliti 4
jenis unsur hara mikro (Fe, Zn, Cu, dan Mn). Penelitian ini bertujuan untuk menentukan
jenis unsur hara mikro yang diperlukan untuk meningkatkan hasil padi pada sawah
intensifikasi yang diberi POTP serta untuk mengurangi pemakaian pupuk buatan dengan

mengkombinasikan antara pupuk mikro dengan POTP-A
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini berupa penelitian pot di rumah kawat Fak. Pertanian Unand Limau
Manis Padang pada tahun 2013. Analisis tanah dan tanaman dilaksanakan di laboratorium
Ilmu Tanah Faperta, laboratorium P3IN (Pusat Penelitian Pemanfaatan IPTEK Nuklir), dan
laboratorium Teknik Lingkungan Fak. Teknik Universitas Andalas Padang. Bahan yang
digunakan yaitu tanah sawah, Urea, SP36, KCl dan Kiserit, benih padi varietas IR– 42, serta
bahan kimia untuk analisis tanah dan tanaman. Rancangan penelitian yang digunakan adalah
Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan (A = POTP A + Fe; B = POTP A +
Mn; C = POTP A + Cu; D = POTP A + Zn; E = POTP A; F = 100 % pupuk buatan) dan 3
ulangan. Pupuk POTP A yang digunakan dibuat dari 2 ton titonia + 5 ton jerami (Hakim et
al., 2010, 2011) kemudian ditambah 50% pupuk sintetik N dan K. Benih padi varietas IR 42 disemaikan 10 hari sebelum tanam. Setelah dua minggu inkubasi POTP, 2 batang bibit
yang telah berumur 10 hari ditanamkan ke dalam pot. Setengah dosis pemberian pupuk N
pada saat tanam yaitu 0,5 g Urea/pot. Sisa pupuk N diberikan setelah tanaman berumur 3
minggu dan pupuk mikro diberikan melalui daun sebanyak dua kali (4 MST dan 6 MST).
Kebutuhan pupuk mikro yang digunakan pada tanaman padi yaitu 2,5 kg/ha FeSO4, 4,61
kg/ha MnSO4, 6,6 kg/ha CuSO4, dan 2,2 kg/ha ZnSO4 (berdasarkan rekomendasi IRRI).
Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

3

Bidang Ilmu Tanah
Parameter yang diamati yaitu tinggi tanaman, jumlah anakan total, anakan produktif, bobot
kering jerami, dan bobot kering gabah, serta analisis tanah awal (pH, N, P, K, Ca, Mg, Fe,
Mn, Cu, Zn,) dalam tanah. Data yang diperoleh dianalisis sidik ragamnya lalu diuji lanjut
dengan uji BNJ (Beda Jujur Nyata) pada taraf 5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Analisis Tanah Awal
Analisis tanah dilakukan pada awal sebelum diberi perlakuan ditampilkan pada Tabel 1.
Dari Tabel 1 terlihat bahwa kandungan N dan Ca tanah sawah yang digunakan termasuk yang
sangat rendah diantara unsur hara makro yang dianalisis (N, P, K, Ca, dan Mg). Demikian
juga dengan kandungan hara mikro (Fe, Mn, Cu, dan Zn) termasuk sangat rendah.
Sedangkan unsur hara Mn dan Zn yang terendah diantara unsur hara mikro (Fe, Mn, Zn, dan
Cu) tersebut.
Rendahnya kandungan hara tanah sawah intensifikasi ini disebabkan oleh proses
pemupukan yang tidak seimbang antara unsur hara makro dan mikro. Sistem intensifikasi
untuk meningkatkan padi sawah umumnya hanya menambahkan pupuk sintetik N, P, dan K.
Sehingga cadangan hara mikro tanah menipis dengan waktu. Hal ini diperparah dengan
hamper tidak adanya pengembalian bahan organic sebagai sumber hara makro dan mikro ke
lahan sawah setelah petani mengadopsi system intensifikasi tersebut.
Di samping itu, kandungan hara N dan Ca tanah sawah intensifikasi yang rendah ini

disebabkan oleh proses pencucian yang intensif di daerah tropis basah yang mempunyai suhu
dan curah hujan yang tinggi. Unsur hara N bersifat sangat mobil dan mudah berubah bentuk
sehingga cepat hilang, disamping unsur tersebut diserap tanaman selama pertumbuhannya.
Analisis Tanaman Padi
Berdasarkan percobaan di rumah kaca, maka diperoleh data agronomi tanaman. Data
tinggi tanaman selama 3 kali pengamatan, data anakan total dan produktif, data bobot kering
jerami, dan data bobot kering gabah ditampilkan dalam bentuk grafik (Gambar 1, 2, 3, dan 4,
berturut-turut).
Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman padi hanya diukur pada minggu ke 4, 6 dan 8 setelah tanam, seperti
ditampilkan pada Gambar 1. Dari Gambar 1 terlihat bahwa tidak ada perbedaan yang nyata
antara satu perlakuan dengan yang lain terhadap pertumbuhan tinggi tanaman. Hal ini
mungkin disebabkan oleh karena perlakuan yang berupa pemberian unsur mikro, unsur yang
dibutuhkan tanaman dalam jumlah sedikit, sehingga pengaruhnya belum terlihat. Sedangkan
pertumbuhan vegetatif (seperti tinggi tanaman) sangat dipegaruhi oleh unsur nitrogen dalam
tanah. Pada penelitian ini, kandungan N yang ditambahkan untuk semua perlakuan adalah
sama baik dalam bentuk POTP (perlakuan A-E) maupun pupuk sintetik (perlakuan F). Jadi,
pengaruhnya tidak kelihatan pada tinggi tanaman. Akan tetapi, ada kecendrungan perlakuan
C (POTP A + unsur mikro Cu) mendominasi tinggi tanaman setiap kali pengamatan. Hal ini
mengindikasikan bahwa unsur Cu (tembaga) merupakan unsur hara mikro yang kurang

ketersediaannya, sehingga pertumbuhan tinggi tanaman padi agak respon dengan pemberian
unsur Cu ke dalam tanah.
Jumlah Anakan Total dan Anakan Produktif
Jumlah anakan total dan anakan produktif tanaman padi yang diberi POTP dan unsur
mikro ditampilkan pada Gambar 2. Dari Gambar 2 terlihat bahwa ada perbedaan antara
jumlah anakan total dan anakan produktif. Berdasarkan perhitungan, sekitar 11.7- 23.5%
Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

4
Bidang Ilmu Tanah
anakan tanaman padi tergolong tidak produktif. Jumlah anakan total dan produktif tertinggi
diperoleh dari perlakuan POTP dengan penambahan unsur mikro Mn (B), kemudian diikuti
oleh perlakuan POTP + Fe (A), dan POTP + Cu ( C ). Sedangkan jumlah anakan total dan
produktif terendah diperoleh dari perlakuan tanpa POTP dan tanpa unsur mikro (F), yang
hanya diberi pupuk sintetik 100% rekomendasi. Penambahan POTP meningkatkan anakan
produktif rata-rata 13% disbanding pemberian pupuk sintetik 100% rekomendasi.
Tingginya jumlah anakan total dan anakan produktif tanaman padi yang diberi
kombinasi POTP dan unsur mikro (Fe, Mn, Cu, dan Zn) dibanding yang diberi POTP saja
atau pupuk sintetik saja mengindikasikan bahwa lahan sawah intensifikasi memang
kekurangan unsur mikro. Seperti ditampilkan pada Tabel 1, bahwa unsur hara mikro tanah

sawah tersebut memang termasuk ke dalam kriteria sangat rendah. Sedangkan unsur mikro
adalah unsur hara yang wajib ada bagi pertumbuhan tanaman, walaupun kebutuhannya dalam
jumlah sedikit. Seperti yang dilaporkan Zayed et al (2011) bahwa penambahan unsur mikro
(Fe, Zn, Mn) meningkatkan pertumbuhan padi pada musim panas di Mesir.
Bobot Kering Jerami Padi
Bobot kering jerami padi setelah panen ditampilkan pada Gambar 3. Berat jerami
kering padi setelah panen nyata dipengaruhi oleh pemberian pupuk organik titonia plus A
dibanding dengan tanpa pemberian POTP-A atau perlakuan F yang tanaman padi hanya
disuplai dengan pupuk buatan saja (100% pupuk buatan). Pemberian POTP meningkatkan
bobot kering jerami sebanyak 17% dibanding pemberian pupuk buatan saja. Sedangkan
pemberian POTP + unsur mikro meningkatkan bobot kering jerami rata-rata 13% disbanding
pemberian POTP saja tanpa unsure mikro, dengan peningkatan tertinggi (19%) diperoleh
pada pemberian unsure mikro Mn (Perlakuan B).
Hal ini sangat mungkin disebabkan karena pemberian pupuk yang tidak berimbang.
Pupuk buatan biasanya hanya mengandung unsur makro, sehingga tanaman akan kekurangan
unsur hara mikro. Sedangkan POTP-A yang berasal dari bahan organik dengan kandungan
unsur yang lengkap, jadi kebutuhan tanaman lebih tercukupi dibanding tanaman yang diberi
100% pupuk buatan. Akan tetapi, kadar unsur hara mikro yang ada dalam masih lebih
rendah dari kebutuhan tanaman, sehingga tanaman respon terhadap pemberian unsure mikro
tersebut. Hal yang senada juga dilaporkan oleh Zayed et al. (2011) bahwa pemberian unsur

mikro Zn, Mn, dan Fe mampu meningkatkan tinggi tanaman dan berat bahan kering
tanaman.
Bobot Kering Gabah
Bobot kering gabah ditampilkan pada Gambar 4. Gambar 4 memperlihatkan bobot
kering gabah padi yang diperlakukan dengan POTP-A dan unsur hara mikro. Secara umum,
pemberian POTP pada tanaman padi nyata meningkatkan (18%) bobot gabah kering tanaman
padi di dalam pot, dibanding dengan tanaman padi yang hanya diberi pupuk buatan (100%
pupuk buatan = perlakuan F). Kaya (2013) melaporkan bahwa pemberian kompos jerami
yang dikombinasikan dengan pupuk buatan NPK mampu meningkatkan hasil padi. Pupuk
POTP-A adalah salah satu pupuk organik mempunyai komposisi hara yang lebih lengkap dari
unsur hara dari pupuk buatan.
Selanjutnya, applikasi POTP-A dan unsur mikro menambah peningkatan hasil padi
dengan rata-rata 6% bobot kering gabah dibanding tanaman yang hanya diberi POTP-A saja,
dengan peningkatan tertinggi (17%) diperoleh dari perlakuan yang diberi POTP-A + Mn
(Perlakuan B). Hal ini disebabkan karena unsur mikro Mn berfungsi sebagai katalisator
beberapa proses reduksi-oksidasi serta activator beberapa enzyme Hanafiah (2005). Oleh
sebab itu, Imtiaz et al. (2011) menyarankan pentingnya pemberian unsur hara mikro pada
tanaman untuk mencapai target pertumbuhan tanaman yang optimal.
Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014


5
Bidang Ilmu Tanah
Diantara perlakuan pemberian unsur mikro dengan POTP-A, tanaman yang diberi
POTP-A dan dikombinasikan dengan unsur Mn (perlakuan B) dan Zn (perlakuan D)
memberikan hasil gabah kering tertinggi. Hal ini didukung oleh bobot jerami kering tanaman
padi. Jadi, tanaman yang tinggi (perlakuan C = POTP-A + Cu) tidak menjamin bobot kering
jerami ataupun bobot kering gabah juga tinggi. Liew et al (2010) melaporkan terjadi
peningkatan hasil padi sampai 27% dengan penambahan unsur hara mikro (Cu, Zn, Mn) di
samping unsur hara makro (K, Ca) pada lahan sawah intensifikasi. Pada daerah salin,
pemakaian unsure hara mikro (Fe, Mn, dan Zn) melalui daun juga mampu meningkatkan
hasil padi.
Hubungan antara Jerami dengan Gabah Kering
Hubungan antara bobot jerami kering dengan bobot gabah kering padi yang diberi
POTP-A dan dikombinasikan dengan unsur mikro, ditampilkan pada Gambar 5. Dari
Gambar 5 terlihat bahwa tidak terdapat hubungan antara bobot jerami dan bobot gabah
kering, walaupun ada kecendrungan hubungan yang positif dan linear. Hal ini mungkin
disebabkan karena tidak sebandingnya antara tinggi tanaman dengan jumlah anakan total, dan
antara jumlah anakan total dengan anakan produktif (Gambar 1 dan 2).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh dari pemberian POTP-A dengan unsur

mikro pada tanaman padi di rumah kaca, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Secara umum pertumbuhan dan hasil tanaman padi meningkat dengan pemberian POTP-A
dibanding yang dipupuk hanya dengan pupuk buatan saja, serta pada tanaman yang diberi POTPA + unsur mikro (Fe, Mn, Cu, Zn) dibanding tanaman yang diberi POTP-A saja.
2. Bobot kering jerami dan gabah tertinggi diperoleh dari tanaman padi yang diberi POTP-A + unsur
hara Mn ( untuk bobot kering jerami) dan Mn serta Zn (untuk bobot kering gabah)
3. Pemberian POTP-A dapat mengurangi 50% kebutuhan N, P, dan K tanaman padi dengan hasil
yang lebih tinggi

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka disarankan pemberian POTP-A dikombinasikan
dengan unsur hara Mn, dan Zn untuk mendapatkan produksi yang optimal.
SANWACANA
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih pada DIPA Fakultas Pertanian
sebagai sumber dana serta pada Bori Heria Fadli yang telah membantu mengumpulkan data
selama penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
BPS. 2012. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi Indonesia 2007-2011. bps.co.id.
Doberman A & Fairhust TH. 2000. Rice: Nutrient Disorders and Nutrient Management. Int’l Rice
Res. Inst. 192 pages
Hakim N. 2002. Kemungkinan penggunaan Tithonia diversifolia sebagai sumber bahan organik dan
unsur hara. Jurnal Andalas, Bidang Pertanian. Tahun 2002.No.38 halaman 80-89. Lembaga

Penelitian Unand.Padang.
Hakim N & Agustian. 2003. Gulma Tithonia dan pemanfaatannya sebagai sumber bahan organik dan
unsur hara untuk tanaman hortikultura. Laporan Penelitian Tahun I Hibah Bersaing XI/I.
Proyek Peningkatan Penelitian Perguruan Tinggi DP3M Ditjen Dikti. Lembaga Penelitian
Unand. Padang.
Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

6
Bidang Ilmu Tanah

Hakim N, Agustian, & Mala Y. 2009. Pembuatan danpemanfaatan pupuk organik Tithonia plus dalam
penerapan metode SRI pada sawah bukaan baru.Laporan Hasil Penelitian KKP3T Tahun I.
LP Unand dan Balitbangtan Deptan.Padang. 46 hal.
Hakim N, Rozen N, & Mala Y. 2010. Uji multi lokasi pemanfaatan pupuk organik Tithonia plus
untuk mengurangi aplikasi pupuk sintetik dalam meningkatkan hasil padi dengan metode SRI.
Laporan Hasil Penelitian Hibah Stranas Tahun I. DP2M Dikti dan LP Unand Padang.46 hal
Hakim N, Rozen N, & Mala Y. 2011. Uji Multi Lokasi Pemanfaatan Pupuk Organik Tithonia plus
Untuk Mengurangi Aplikasi Pupuk sintetik Dalam Meningkatkan hasil padi dengan Metode
SRI. Laporan Hasil Penelitian Hibah Stranas Tahun II. DP2M Dikti dan LP Unand, Padang.47
hal

Hakim N, Agustian, & Mala Y. 2012. Application of organic Tithonia plus to control iron toxicity
and to reduce commercial fertilizer application on new paddy field. Journal of Tropical Soil
Vol 17.No2. :135-142.
Hanafiah KA. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Rajagrafindo Persada. Jakarta.
Saragih SE. 2008. Pertanian Organik Solusi Hidup Harmoni dan Berkelanjutan. Penebar Swadaya.
Jakarta. 156 hal.
Sofyan A, Nurjaya, & Kasno A. 2010. Status Hara Tanah Sawah untuk Rekomendasi Pemupukan.
http//balittanah.litbang.deptan.go.id. 32 hal.

Kaya E. 2013. Pengaruh Kompos Jerami dan Pupuk NPK Terhadap N-Tersedia Tanah,
SerapanN, Pertumbuhan, dan Hasil Padi Sawah (Oryza sativa L.).
Prosiding FMIPA
Universitas Pattimura 2013 –page 41-47. ISBN: 978-602-97522-0-5
Imtiaz M, Rashid A, Khan P, Memon MY, & Aslam M. 2010. The Role of Micronutrients
in
Crop Production and Human Health. Pak. J. Bot., 42(4): 2565-2578.
Liew YA, Syed Omar SR, Husni MHA, Zainal Abidin MAk & Abdullah NAP. 2010.
Effects of
Micronutrient Fertilizers on the Production of MR 219 Rice (Oryza sativa L.).
Malaysian J. Soil. Sci. Vol. 14:71-82
Zayed BA, Salem AKM & El Sharkawy HM. 2011. Effect of Different Micronutrient
Treatments
on Rice (Oriza sativa L.) Growth and Yield under Saline Soil Conditions. World J.
Agric. Sci. 7 (2): 179-184. ISSN 1817-3047

Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

7
Bidang Ilmu Tanah
Tabel 1. Beberapa sifat kimia tanah awal
Parameter
pH
N
P-tersedia
K
Ca
Mg
Na
Fe
Mn
Zn
Cu

Unit
%
ppm
me/100 g
me/100 g
me/100 g
me/100 g
ppm
ppm
ppm
ppm

Nilai
6,18
0,3
15,86
0,45
0,75
1,69
1,02
3,98
1,57
1,82
2,89

Kriteria
Agak Masam*
Sedang*
Sedang*
Sedang*
Sangat Rendah*
Sedang*
Sangat tinggi*
Defisiensi**
Defisiensi**
Defisiensi**
Defisiensi**

*) Team Teknis Tanah dan Air Fatemeta IPB (dalam Situmorang, C. R., 2013)
**) Doberman and Fairhust (IRRI, 2000)

Gambar 1. Tinggi tanaman padi pada umur 4, 6, dan 8 minggu setelah tanam

Gambar 2. Jumlah anakan total dan anakan produktif tanaman padi

Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

8
Bidang Ilmu Tanah

Gambar 3. Bobot kering jerami padi

Gambar 4. Bobot kering gabah padi

Gambar 5. Hubungan antara bobot kering jerami dan bobot kering gabah

Yulnafatmawita-Article-BKS-Unila-2014

Peranan Bahan Organik Segar Dalam Memperbaiki Sifat Fisika Ultisol
Yang Ditanami Jagung Pada Tiga Kelas Lereng:
Efek Sisa Pada Musim Tanam Ke II
Yulnafatmawita1), Asmar, Gusnidar dan Amrizal Saidi
Laboratorium Fisika Tanah Fakultas Pertanian Unand Padang
1)
yulna_fatmawita@yahoo.com
Abstrak
Penelitian tentang applikasi bahan organik (BO) segar pada Ultisol yang ditanami jagung
ditujukan untuk mempelajari kemampuan pupuk hijau dalam memperbaiki sifat fisika
tanah.
Penelitian dilakukan di Kebun Percobaan Universitas Andalas Limau Manis
Padang. Tiga jenis BO segar diapplikasikan yaitu Chromolaena odorata, Gliricidia
sepium, and Tithonia diversifolia sebanyak 20 ton bahan kering (BK)/ha di musim tanam
(MT) I pada tiga kelas lereng (3%, 15%, dan 25%). Parameter yang dianalisis yaitu
tekstur, kandungan BO, stabilitas aggregate (SA), bobot volume (BV), total ruang pori
(TRP) dan produksi jagung. Data diuji keragamannya dengan uji F pada taraf 5%, lalu
dilanjutkan dengan Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf nyata 5%, jika terdapat perbedaan
dari uji keragamannya. Berdasarkan hasil analisis diperoleh data bahwa masih ada efek
sisa BO segar yang diapplikasikan sampai MT II pada Ultisol yang ditanami jagung di
setiap kelerengan. Sifat fisika tanah etelah panen jagung masih lebih baik dari tanah awal
atau sebelum diolah pertama kalinya. Tithonia memberikan efek sisa terbaik bagi SA
tanah pada setiap lereng. Demikian juga dengan kandungan BO dan BV tanah pada lereng
3% dan 12%, sedangkan pada lereng 25% yang terbaik diperoleh dari plot Gamal. Bobot
jagung basah tertinggi juga diperoleh dari plot diberi tithonia tetapi dari lereng 12%.
Keywords: Ultisol, bahan organik segar, lereng, sifat fisika tanah
PENDAHULUAN
Bahan organik sebagai bahan amelioran tanah sangat penting disamping bagi
kesuburan kimia dan biologi tanah, terutama dalam kesuburan fisika tanah. Tanah dengan
kondisi yang baik akan mampu menyediakan perharaan dan media pertumbuhan yang baik
bagi tanaman. Yulnafatmawita (2006) dan Yulnafatmawita et al. (2008, 2010, 2013a)
melaporkan bahwa peningkatan bahan organik tanah dapat meningkatkan stabilitas
aggregat dan menurunkan BV tanah. Tanah dengan BV yang rendah bersifat gembur,
sehingga akar tanaman bisa berkembang dan menyerap hara yang ada di dalam tanah.
Selanjutnya, aggregat yang stabil sangat penting bagi tanah untuk mempertahankan
kelestariannya dalam berproduksi, khususnya di daerah tropis basah dan berlereng seperti
di Limau Manis, yang didominasi oleh Ultisols.
Ultisols merupakan lahan marginal yang bereaksi masam, miskin hara (Hakim et al,
2008) serta tinggi kejenuhan aluminium (Al) (Hakim et al, 2008; Yulnafatmawita dan
Adrinal, 2014) yang berupa racun bagi tanaman. Di samping sifat kimia yang jelek,
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014

Ultisol Limau Manis juga mempunyai sifat kimia yang kurang menguntungkan, seperti
kandungan liat yang tinggi dan BO yang rendah (Yulnafatmawita, et al., 2008) sehingga
tanah ini rentan terhadap degradasi karena laju infiltrasi yang rendah dan aggregat yang
tidak stabil. Apalagi pada daerah yang berlereng seperti di Limau Manis Padang, tanah
dengan kondisi fisik yang demikian akan sangat mudah tereosi. Yulnafatmawita et al.
(2013b) melaporkan bahwa jumlah tanah terserosi di Ultisol Limau Manis yang ditanami
jagung meningkat dengan peningkatan kelas lereng. Akan tetapi, Ultisol sudah mulai
digarap dewasa ini untuk lahan pertanian karena alih fungsi lahan yang cukup tinggi dari
lahan pertanian yang subur menjadi lahan non-pertanian, dan potensinya karena mencapai
45,8 juta ha di Indonesia (Subagyo, et al., 2004).
Yulnafatmawita et al. (2010) telah mencoba mengaplikasikan bahan organik segar
untuk memperbaiki sifat fisika Ultisol yang ditanami jagung di lapangan. Hasil yang
diperoleh cukup membanggakan, yaitu terjadi peningkatan kandungan BO, indeks
stabilitas aggregat, serta produksi tanaman jagung pada MT I.
Selanjutnya
Yulnafatmawita et al. (2013a) melaporkankan bahwa dengan penambahan pupuk hijau
yang diinkubasikan dengan Ultisol di rumah kaca mampu meningkatkan stabilitas aggregat
tanah untuk setiap ukuran BO yang diaplikasikan. Stabilitas aggregat tanah berbanding
lurus dengan kandungan BO tanah (Yulnafatmawita, et al., 2013, 2014) tanah. Akan
tetapi, belum diketahui berapa lama bahan organik bisa bertahan pada Ultisol untuk bisa
memperbaiki sifat fisika tanah di daerah tropis basah. Penelitian ini bertujuan untuk
melihat berapa lama BO segar yang ditambahkan ke dalam tanah bisa bertahan dalam
memperbaiki sifat fisika tanah.
BAHAN DAN METODA
Penelitian ini merupakan penelitian lanjutan baik lapangan maupun di
laboratorium.
Tiga jenis BO segar yang diapplikasikan pada awal MT I yaitu
Chromolaena odorata, Gliricidia sepium, dan Tithonia diversifolia.
Bahan setelah
dipotong-potong diinkubasi kan selama 1 bulan didalam tanah pada ke dalaman 0-20 cm.
Tanah dipertahankan lembab selama inkubasi BO dan diberi kapur untuk
mengurangi kejenuhan Al (Hakim et al., 2008). Benih jagung varitas BISI-2 ditugal
setelah akhir masa inkubasi dengan jarak 20 x 80 cm. Untuk pertumbuhannya, jagung
diberi pupuk buatan dan sebelumnya semua lahan dikapuri untuk mengeliminasi pengaruh
jelek Al.
Sampel tanah diambil setelah panen pada kedalaman 0-20 cm setiap plot.
Parameter sifat fisika tanah yang dianalisis antara lain BV dan TRP (metoda gravimetri),
BO (metoda oksidasi basah, Walkley and Black), dan Persen aggregasi dan SA tanah
(metoda ayakan basah dan kering), permeabilitas dengan metoda ‘constant head’
berdasarkan hukum Darcy.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Deskripsi Daerah Penelitian
Plot percobaan berada di Nagari Limau Manis Kecamatan Pauh Kota Padang
Sumbar, yang rata-rata menerima curah hujan tahunan yang tinggi (>5000 mm). Posisi
geografis daerah penelitian yaitu 100o 27' 46.5" BT dan 00o 54’28.2" LS dengan elevasi
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014

276 m dpl. Fisiografi daerah penelitian menurut Imbang et al, (1994) berupa kipas
kolluvium yang terletak di kaki Gunung Gadut (topografi bergelombang sampai berbukit)
dengan bahan induk tanah tuff pumice yang bersifat masam.
Petani yang menggarap daerah ini umumnya punya tingkat pendidikaan yang
rendah, tanpa memahami kaidah konservasi dalam memanfaatkan lahan, sehingga
berbahaya bagi kestabilan lahan dan lingkungannya. Saat ini daerah Limau Manis sudah
mulai tererosi yang berakibat menurunnya produktifitas lahan serta pencemaran dan
bencana bagi daerah alirannya, terutama bagi penduduk kota Padang. Hal ini terbukti
dengan perubahan debit sungai dan warna air sungai (Batang Kuranji) yang melewati
daerah Limau Manis ini.
Sifat Fisika Tanah Awal
Kondisi fisik tanah yang peka terhadap degradasi ini dilaporkan oleh
Yulnafatmawita et al. (2010) seperti ditampilkan pada Tabel 1. Ultisol Limau Manis ini
tergolong tanah bertekstur liat dengan fraksi halus > 70%, kandungan BO rendah.
Kandungan BO yang rendah pada setiap kelas lereng sedangkan produksi BO
cukup tinggi mengindikasikan bahwa tingginya tingkat pelapukan BO. Suhu dan curah
hujan yang tinggi (> 5000 mm/tahun berdasarkan Yulnafatmawita et al, 2010) telah
membuat tanaman bias hidup sepanjang tahun sehingga produksi BO segar cukup tinggi
pertahunnya di banding daerah sedang atau dingin. Di sisi lain, suhu dan kelembaban
tanah yang tinggi juga menyebabkan tingginya tingkat pelapukan BO.
Bahan organic tanah berperan sebagai bahan ameliorant tanah, terutama bagi sifat
fisika tanah seperti membentuk dan memantapkan aggregate tanah. Oleh sebab itu,
kandungan BO tanah yang rendah di setiap kelas lereng menyebabkan aggregatnya tidak
stabil. Ketidak-stabilan aggregate tanah juga disebabkan oleh tingginya kandungan liat.
Liat dengan kandungan BO yang rendah sangat mudah terdispersi jika dibasahi.
Tabel 1. Sifat fisika tanah awal Ultisol Limau Manis
No
1

2
3
4
5

Sifat fisika Tanah
Distribusi ukuran partikel
- pasir (%)r
- debu (%)
- liat (%)
Kelas Tekstur
BV (gcm-1)
TRP (%)
BO (%)
Indeks Stabilitas Aggregat

3% (0-8%)*
11.28
11.39
77.73
Liat
1.02
61.67
3.02
39.93

(S)
(S)
(R)
(TS)

% Lereng
15%**
11.30
10.45
76.81
Liat
1,03 (S)
61,02 (S)
3.61 (R)
40.55 (TS)

25%(15-30%)*
17.39
11.19
71.42
Liat
0.96
63.83
3.72
41.70

(S)
(S)
(R)
(TS)

Sumber *): Yulnafatmawita et al (2010). **) Yulnafatmawita et al (2008). Keterangan: S
= sedang, R = rendah, TS = tidak stabil, AC = agak cepat
Selanjutnya, tingkat kepadatan tanah yang diindikasikan oleh BV dan TRP
termasuk sedang, tetapi tidak poros, karena pori didominasi oleh berukuran mikro. Hal ini
sesuai dengan yang dilaporkan oleh Yulnafatmawita et al. (2014) bahwa pori makro (pori
aerase) Ultisol Limau Manis < 5% karena kandungan liat yang tinggi dan BO yang rendah.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014

Tanah dengan pori makro yang rendah dan aggregate yang tidak stabil akan
mempunyai laju infiltrasi yang rendah. Kondisi topografi yang bergelombang sampai
berbukit dikombinasikan dengan curah hujan yang tinggi dan infiltrasi yang rendah
menyebabkan Ultisal Limau Manis sangat peka terhadap bahaya erosi. Seperti yang
dilaporkan Yulnafatmawita et al. (2013b) bahwa jumlah tanah tererosi dan kehilangan hara
dari Ultisol yang ditanami jagung melebihi dari nilai yang ditoleransikan.
Sifat Fisika Tanah Setelah Musim Tanam II
Secara umum, tidak terlihat perbedaan yang nyata sifat fisika tanah (BV, TRP,
kandungan BO, stabilitas aggregat tanah) pada setiap kelerengan antara yang diberi dengan
yang tidak diberi BO segar atau kontrol (Tabel 2). Akan tetapi, kondisi fisika tanah ini
masih lebih baik dibanding tanah awal (Tabel 1).
Perbedaan sifat fisika tanah yang tidak nyata antara yang diberi dan control (tanpa
diberi BO) pada MT II ini mungkin disebabkan oleh kondisi tanah yang sama-sama diolah
yang menyebabkan tanah menjadi lebih gembur atau BV lebih rendah dan TRP lebih tinggi
dari tanah aslinya. Selanjutnya,dengan pertumbuhan tanaman, akar tanaman, dalam hal ini
jagung, mampu menggemburkan tanah dan menyumbangkan BO seperti asam-asam
organic dari exudat akarnya semasa pertumbuhannya, atau sisa akar maupun daun dan
batang jagung pada MT I yang sengaja diletakkan diantara baris tanaman.
Bahan organik dikenal sebagai bahan amelioran yang mampu memperbaiki bukan
saja sifat kimia dan biologi tanah, tetapi yang terpenting adalah sifat fisika tanahnya,seperti
BV, TRP,dan permeabilitas,dan stabilitas aggregate tanahnya.
Dengan demikian,
pertumbuhan tanaman membuat sifat fisika Ultisol setelah MT II menjadi lebih baik dan
mendekati sifat fisika tanah yang diberi BO segar.
Kandungan BO tanah cendrung meningkat, BV menurun, permeabilitas tanah
meningkat dengan pemberian BO segar ke dalam tanah dibanding kontrol pada MT II.
Peningkatan tertinggi (16%) diperoleh dari plot yang diberi BO segar Gliricidia sepium.
Hal ini disebabkan oleh tingkat pelapukan yang berbeda dari gliricidia dengan BO lainnya.
Tingkat pelapukan Gliricidia yang mempunyai daun yang lebih tebal dan kaku disbanding
Tithonia dan Chromolaena, melapuk lebih lambat. Kalau pada MT I, kandungan BO tanah
tinggi diperoleh dari plot Tiothonia (Yulnafatmawita et al., 2010), maka pada MT II ini
diperoleh dari plot Gliricidia.
Berdasarkan analisis data pada Tabel 2 maka didapat bahwa kandungan BO tanah
dan sifat fisika tanah lainnya pada MT II dari plot semua jenis BO segar tidak memberikan
perbedaan yang signifikan dengan plot kontrol. Hal ini disebabkan oleh sumbangan BO
oleh baik sisa tanaman saat pengolahan tanah maupun akibat exudat akar saat pertumbuhan
tanaman
Kecuraman lereng secara umum tidak menurunkan sifat fisika tanah yang ditanami
jagung setelah MT II. Hal ini disebabkan oleh tidak nyatanya perbedaan antara kandungan
BO daari lereng 3% dan lereng 12 dan 25%. Sedangkan BO seperti yang disampaikan oleh
Yulnafatmawita et al. (2010, 2013a) mampu membentuk dan memantapkan aggregate
tanah. Aggregat yang terbentuk akan mendistribusikan pori secara proporsional antara pori
mikro dan makro.
Produksi Jagung
Produksi jagung yang dalam penelitian ini hanya diukur biomasa dan hasil tongkol
berbiji dapat dilihat pada Tabel 2. Walaupun sifat fisika tanah antara plot yang diberi BO
berbeda tidak nyata dengan plot control, akan tetapi, plot yang diapplikasikan
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014

Tabel 2. Sifat Fisika tanah dan produksi jagung pada Ultisol Limau Manis yang diaplikasikan 20 T/Ha BO segar setelah tanam jagung (Zea
mays) setelah MT II
Slope

BO Segar

3%

Tanpa
Gliricidia
Chromolaena
Tithonia

BO (Std)
%
5.29 (±0.12)
4.46 (±0.32)
5.29 (±0.11)
5.09 (±0.51)

12%

Tanpa
Gliricidia
Chromolaena
Tithonia

5.32
5.98
5.68
6.83

(±0.56)

Tanpa
Gliricidia
Chromolaena
Tithonia

5.24
7.97
5.65
5.16

(±0.67)

25%

Keterangan:

(±0.11)
(±0.27)
(±0.12)

(±0.78)
(±0.21)
(±0.58)

Aggregasi
(Aggr>2.8 mm)
(Std)
56.81 (±3.89)
57.89 (±3.71)
57.78 (±1.87)
59.11 (±2.12)

BV
(g/cm3)
0.89
0.91
0.87
0.86

TRP
(%)
66.28
65.76
67.24
67.38

Perme.
(cm/jam)
98.15
94.01
103.21
89.29

0.96
0.95
0.95
0.96

63.87
64.27
64.07
63.78

13.43
17.97
29.15
33.34

58.95
58.69
58.13
58.74

(±0.99)

0.90
0.80
0.86
0.83

65.85
69.89
67.54
68.81

49.91
89.65
56.98
71.10

58.31
28.37
58.12
40.07

(±2.08)

(±0.40)
(±0.72)
(±0.93)

(±4.10)
(±0.96)
(±3.50)

Stab Aggr
(Std)
49.70 (±3.9)
49.80 (±7.3)
57.31 (±6.9)
50.26 (±7.3)
60.1
60.6
64.6
63.9

(±10.5)

64.7
47.6
55.8
49.4

(±9.6)

(±6.8)
(±5.6)
(±6.8)

(±7.3)
(±7.4)
(±8.9)

Biomasa (Std)
(t/ha)
0.85 (±0.13)
1.63 (±0.32)
2.27 (±0.49)
2.20 (±0.80)
2.25
1.25
1.49
3.14

(±0.36)

1.65
2.17
2.86
4.64

(±0.37)

(±0.19)
(±0.16)
(±0.37)

(±0.49)
(±0.18)
(±0.90)

Tongkol (Std)
(t/ha)
0.37 (±0.10)
0.77 (±0.35)
1.67 (±0.39)
1.82 (±0.41)
1.38
2.04
1.30
2.22

(±0.25)

1.41
1.98
2.77
5.29

(±0.15)

Angka pada lajur yang diikuti oleh huruf kecil (a, b, c) yang sama berbeda nyata menurut BNJ pada taraf 5%
BOs = bahan organik segar, C = Cepat, S = Sedang, SC = Sangat Cepat

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi
Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di Padang 8-10 September 2014

(±0.08)
(0±.24)
(±0.70)

(±0.75)
(±0.23)
(±1.24)

tithonia memberikan produksi yang berbeda sangat nyata dengan kontrol dan plot BO
lainnya. Hasil biomasa dari plot yang diberi Tithonia mencapai 2.1 kali dan hasil biji
mencapai hampir 3 (2.95) kali dibanding kontrol. Kemudian diikuti oleh plot yang diberi
Chromolaena.
Tingginya produksi dari plot yang diberi BO diperkirakan akibat
bertambahnya unsure hara dari hasil pelapukan BO segar tersebut, sedangkan plot control
hanya dari pupuk sintetis dan kapur. Sesuai dengan laporan Hakim et al. (2008) bahwa
tithonia termasuk gulma yang bias tumbuh dimana-mana dan mengandung hara yang cukup
tinggi.
Kalau dilihat dari lerengnya, biomasa dan hasil jagung paling tinggi diperoleh dari
lereng 25% yaitu 1.6 dan 2.5 kali secara berturut-turut di banding lereng 3%. Sedangkan
pada lereng 12% diperoleh peningkatan biomasa dan hasil sebanyak 17% dan 50% secara
berturut-turut.
Peningkatan produksi dengan peningkatan lereng pada penelitian ini
menyalahi kondisi yang umumnya berlaku.
Tingginya hasil yang diperoleh pada lereng yang paling curam (25%) mungkin
disebabkan karena banyaknya bahan subur di permukaan tanah yang hanyut dari lereng
diatasnya. Hal ini disebabkan karena posisi lereng yang agak datar (3%) terletak pada bagian
atas, sehingga lereng 3% kehilangan banyak bahan humus di permukaannya. Hal ini
didukung oleh data kandungan BO dan TRP tanah yang lebih tinggi, dan BV yang lebih
rendah (Tabel 1) pada lereng 25% dibanding lereng 3%. Akan tetapi, stabilitas aggrgat
paling tinggi diperoleh pada lereng 12%, yaitu sekitar 20% lebih tinggi dibanding plot 3%
atau 15% disbanding plot 25%.

71
70
69
68
67
66
65
64
63

Produksi Biomas (t ha-1)

Total Ruang Pori (%)

Hubungan Antara Sifat Fisika Tanah dan Produksi Jagung
Pada Gambar 1a terlihat adanya hubungan yang erat antara nilai BV dan TRP tanah
(R2 = 0.99) Ultisol Limau Manis, yaitu 99% nilai TRP ditentukan oleh nilai BV. Hal ini
disebabkan karena rendahnya kandungan BO tanah yang juga mempengaruhi nilai BV dan
TRP tanah.
Selanjutnya, pada Gambar 1b terlihat ada kecendrungan peningkatan biomasa
tanaman jagung pada Ultisol dengan peningkatan kandungan BO tanah. Peran BO dalam
meningkatkan atau memperbaiki sifat fisika tanah serta sumbangan haranya hanya sekitar
16% mempengaruhi biomasa tanaman setelah penanaman jagung pada MT II.
a

y = -37,483x + 99,79
R² = 0,9981

4,0

b

3,0
2,0
1,0

y = 0,3711x - 0,1787
R² = 0,1635

0,0
0,7

0,8

0,9

BV Tanah (g cm-3)

1,0

4

5

6

7

8

Kandungan BO tanah (%)

Gambar 1. Hubungan antara (1) BV dan total ruang pori tanah, (2) kandungan BO tanah dan biomasa
jagung yang ditanam di Ultisol pada 3 kelas lereng setelah MT II

KESIMPULAN DAN SARAN

-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014

Pemberian BO segar pada tiga kelas lereng di Ultisol Limau Manis untuk pertanaman
jagung pada MT II dapat disimpulkan bahwa masih ada efek sisa BO segar bagi sifat fisika
tanah dan produksi jagung. Walaupun sifat fisika tidak terlalu berbeda dengan tanpa diberi
BO, tetapi masih lebih bagus dari tanah awal. Dari jenis BO segar yang ditambahkan, plot
yang diberi Tithonia diversifolia memberikan biomasa dan hasil yang paling tinggi, lalu
diikuti oleh plot Chromolaena odorata dan Gliriciidia sepium. Dari tiga kelas lereng,
produksi (biomasa dan hasil) jagung tertinggi diperoleh dari lereng 25%.
Aknowledgement: Terima kasih kepada DP2M Dikti sebaga sumber dana (dalam Hibah Bersaing),
dan kepada saudara Imran Agus atas bantuannya dalam mengoleksi data di lapangan dan di
laboratorium.

DAFTAR PUSTAKA
Hakim, N., Agustian, and Hermansah. 2008. Pemanfaatan agen hayati dalambudidaya dan
pemanfaatan titonia sebagai pupuk alternatif dan pengendali erosi pada Ultisol. Laporan Penelitian
Hibah Program Pascasarjana Tahun II. DP2M Ditjen Dikti dan Program Pascasarjanan. Unand
Padang
Imbang, I.N. R., Rasyidin, A., Maira L., dan Adrinal. 1994. Klasifikasi tanah Kebun Percobaan
Fakultas Pertanian Universitas Andalas di Limau Manis Kotamadya Padang. Lembaga Penelitian
Universitas Andalas Padang. 51 hal.
Subagyo, H., Suharta, N., and Siswanto, A.B. 2004. Agricultural soils in Indonesia. In:
A.Adimihardja, L.I. Amien, F. Agus, and D. Djaenuddin (eds). Land Resources and Its Management
in Indonesia. P3T and Agroklimat. Deptan. pp 21-65 (in Indonesian)
Yulnafatmawita and Adrinal. 2014. Physical characteristics of Ultisols and the impact on soil loss
during soybean (Glycine max merr) cultivation in a wet tropical area. Agrivita J.A.S., vol. 36(1): 5764. ISSN : 0126-0537
Yulnafatmawita, Adrinal, and Febrian Anggriani. 2013a. Fresh organic matter application to
improve aggregate stability of Ultisols under wet tropical region. J Trop Soils, Vol. 18 (1): 33-44.
ISSN 0852-257X
Yulnafatmawita, Gusnidar, and A. Saidi. 2010. Role of organic matter in situ for aggregate stability
improvement of Ultisol in West Sumatra and chili (Capsicum annum) production. Proceeding ISFAS
(Int’l Seminar on Food and Agric. Sci.) 17-18 Feb. 2010, Bukit Tinggi, Indonesia.
Yulnafatmawita, S. F. Nasution, and Adrinal. 2013b. Short term dynamics of soil erosion and
nutrient loss during corn growth in Ultisols Limau Manis Padang. Proceeding ESAFS, 18-21 October
in Bogor, Indonesia.
Yulnafatmawita. 2006. Hubungan Antara Status C-Organik dan Stabilitas Aggregat Tanah Kebub
Percobaan Limau Manis Padang Pada Beberapa Penggunaan Lahan. J. Solum Vol. III (2): 42-49
Yulnafatmawita, Adrinal, dan Anita Febriandy Daulay. 2008. Pengaruh pemberian beberapa jenis
bahan organic terhadap stabilitas aggregate tanah Ultisol Limau Manis. J. Solum Vol. V(1): 7-13
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------Disampaikan pada Seminar Nasional Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Pertanian se Indonesia (FKPTPI), di
Padang 8-10 September 2014