PENDAHULUAN Hubungan Agama Dan Budaya Lokal (Kajian Sekaten di Masjid Agung Surakarta).

(1)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keragaman budaya, tradisi dan agama adalah suatu keniscayaan hidup, sebab setiap orang atau komunitas pasti mempunyai perbedaan sekaligus persamaan. Di sisi lain pluralitas budaya, tradisi dan agama merupakan kekayaan tersendiri bagi bangsa Indonesia. Namun jika kondisi seperti itu tidak dipahami dengan sikap toleran dan saling menghormati, maka pluralitas budaya, agama atau tradisi cenderung akan

memunculkan konflik bahkan kekerasan (violence).

Oleh karena itu memahami pluralitas secara dewasa dan arif merupakan keharusan dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara. Jika tidak, perbedaan budaya, tradisi atau kultur seringkali menyebabkan ketegangan dan konflik sosial. Kenyataan di lapangan menyebutkan bahwa perbedaan budaya atau tradisi dalam suatu komunitas masyarakat tidak selamanya dapat berjalan damai.

Penulis mempunyai asumsi bahwa konflik yang muncul akibat perbedaan budaya salah satunya disebabkan oleh sikap fanatisme sempit

serta kurangnya sikap tasamuh (toleran) di kalangan umat. Fanatisme dan

intoleransi hanya akan memyebabkan terjadinya desintegrasi bangsa dan konflik di masyarakat.

Tidak berlebihan jika pluralitas tradisi dan budaya diasumsikan dalam masyarakat ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi ia merupakan


(2)

2

kekayaan masyarakat Indonesia, namun di sisi lain ia dapat menjadi faktor pemicu konflik horisontal.

Persoalanya adalah bagaimana menjembatani perbedaan tradisi dan budaya tersebut. Mampukah Islam sebagai agama yang diklaim “ rahmatan lil alamin dan sholihun li kulli zaman wa makan” menjadi

mediator bagi perbedaan-perbedaan budaya tersebut. 1 Bagaimana

menampilkan Islam yang bersifat akomodatif sekaligus reformatif dan tidak hanya bersifat purikatif terhadap budaya-budaya atau tradisi-tradisi yang plural tersebut.

Kenyataan di atas, menunjukkan masih ada rasa khawatir terhadap hubungan antara agama dan kebudayaan. Kekhawatiran ini sesungguhnya dapat dijawab secara sederhana, karena bila diruntut ke belakang kekhawatiran itu bersumber dari ketakutan teologis mengenai relasi antara yang sakral dan profan. Secara eksistensial, bila ketuhanan (agama) difahami dan dihayati sebagai tujuan akhir yang kemudian, menghasilkan apa yang disebut aktualisasi, maka aktualisasi kesadaran akan Tuhan(Allah SWT) dalam perilaku menjadi tidak mengenal dualisme antara yang suci dan duniawi. Dengan demikian, agama sebagai yang sakral mejadi substansi atau inti kebudayaan. Kebudayan merupakan perwujudan konfigurasi semangat Agama.

Manifestasi agama dalam berbagai bentuk budaya lokal di Indonesia dapat dilihat dalam keragaman budaya nasional. Kita akan

1

M. Jandra, Islam dalam konteks Budaya da Tradisi Plural, dalam buku Agama dan Pluralitas Budaya lokal, editor Zakiyyudin Baidhay dan Mutohharun Jina UMS Press 2022. hlm 1-3


(3)

3

mendapatkan sebuah ekspresi dan pola budaya yang berbeda-beda sesuai dengan kebaikan dan keburukan yang dimiliki oleh masing-masing masyarakat. Dengan kata lain, agama selalu dihadapkan dengan dialektika budaya setempat. Yang penting adalah bagaimana yang universal berada dalam wilayah dialog yang mutual dengan budaya-budaya lokal yang bersifat partikular.

Perubahan dan dinamika budaya mengharuskan

masyarakat/pemeluk agama untuk membuka kesadaran kolektif bahwa penyesuaian struktural dan kultural pemahaman agama adalah suatu keharusan. Hal ini tidak berarti menempatkan agama untuk kemudian diletakkan pada posisi subordinat dalam hubungannya dengan dinamika

perkembangan sosial budaya, bahkan politik dan ekonomi,2 melainkan

antara pemahaman agama dan budaya mestinya dilihat sebagai suatu proses hubungan dialektika, dinamis, akomodatif dan proaktif.

Salah satu ciri utama kebudayaan Jawa adalah kelenturan dalam proses dialog dengan seluruh kebudayaan yang datang dari luar dirinya. Dalam setiap proses dialog, kebudayaan jawa senantiasa dapat

menemukan kembali jati dirinya. Yang terjadi adalah akulturasi dan

pergumulan, yang kemudian menghasilkan sosok budaya baru. Proses dialog inilah yang disebut dengan transformasi perubahan bentuk dan

watak masyarakat.3

2

Ibid,hlm.4

3

Bahtiar efe di. Masyarakat Agama dan tantangan Globalisasi; mempertimbangkan konsep depri atisasi Aga a” dalam jural ulumul Qur’a o /VII. 997, hlm.43


(4)

4

Islam sebagai agama, tidak hanya mengenal tradisi atau normativitas tapi ia juga mempunyai manivestasi keragaman dalam kehidupan yang sangat plural. Oleh karena itu, meskipun muslim di

Indonesia mengakui sumber universal yang sama yaitu Al-Qur’an dan As

-Sunnah, tapi interpretasi atas ajaran dan praktek-praktek keagamaan sangat

beragam. 4 Sebagai agama dengan seperangkat nilainya telah

mempengaruhi pula budaya dan tradisi masyarakat pemeluknya. Namun demikian aspek sosial budaya dari masyarakat setempat tidak serta merta terkikis.

Islam pertama kali di turunkan di Arab, jika ia masuk ke daerah

lain maka akan terjadi penyesuaian, tarik – menarik atau pergumulan.

Sesungguhnya di manapun Islam melakukan pergumulan dengan budaya lokal pada situasi dan kondisi tertentu, akan ada proses adaptasi dari nilai-nilai universalitasnya. Sifat inilah yang menjadikan Islam sebagai agama bisa diterima dengan mudah oleh masyarakat. Islam tidak serta merta mengkikis habis ide-ide pra Islam, budaya dan tradisi yang ada. Hal ini

berlaku juga bagi penduduk Indonesia.5 Ini merupakan ciri khas ajaran

Islam, yakni bersifat akomodatif sekaligus reformatif terhadap budaya-budaya maupun tradisi yang ada tanpa mengabaikan kemurnian Islam itu

sendiri. Aspek urf (tradisi/budaya) menjadi salah satu pertimbangan dalam

menetapkan hukum.

4

Zakiyudiddin Baidhawy, Islam dan Budaya Lokal, dalam profetika (Jurnal Study Islam, vol.2, juli 2002.PMSI UMS

5

Lihat “i uh, Interaksi Islam dalam Budaya Jawa , Muha adiyah Dala kritik ( “urakarta, Muhammadiyah universitiy Press,200), hlm. 149


(5)

5

Al Qur’an sendiri menyatakan bahwa tradisi orang-orang terdahulu seringkali menjadi pijakan bagi orang-orang atau generasi berikutnya. Hal

ini sebagaimana tercantum dalam surat As-syu’ara’ ayat 137:

نيلواا قلخ اا اذه نا (agama kami) ini tidak lain hanyalah adat kebiasaan orang dahulu. 6

Ayat tersebut tampaknya di satu sisi memberikan isyarat pentingnya tradisi, namun di sisi lain kita tidak boleh terjebak pada sikap tradisionalisme. Sebab tradisionalisme cenderung membuat masyarakat terkukung di bawah bayang-bayang tradisi yang statis. Padahal Islam jelas sangat menghargai kedinamisan, termasuk dalam tradisi. Artinya, tradisi yang ada tidak boleh dibiarkan statis, harus mampu berkembang sesuai dengan tuntutan perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan perubahan paradigma yang ditawarkan oleh Muhammad Syahrur, pemikir kotemporer

Islam dari Syiria, bahwa dalam memahami Islam termasuk

tradisi-tradisinya kita harus dinamis. Tradisi jangan dijadikan berhala pemikiran, melainkan tetap dikembangkan dan dimekarkan sesuai dengan perubahan

ruang dan waktu.7

Di Masjid Agung Surakarta, tampak ada usaha penyatuan budaya Jawa dengan Islam, hal ini dapat kita lihat adanya wujud simbol-simbol. Dalam simbol wujud nyata itulah sesunguhnya wujud kaidah Islam berada dan inilah yang bisa ditangkap. Simbol tersebut misalnya dalam bentuk arsitektur bangunan masjid beserta seperangkatnya, kalau difahami secara

6

Departemen Agama, Al-Qur’a da Terjemahan, Penerbit Kudus,1987

7

Muhamad Syahrur, al-kitab wa al-Qur’a ;Qiroa’ah Muasshirah, Damaskus; al-Ahal Li


(6)

6

mendalam tampaknya mempunyai makna dan maksud tertentu. Selanjutnya ada upacara tradisi sekaten dan kegiatan keagamaan lain yang memadukan antara Islam dan budaya lokal.

Seiring dengan kemajuan zaman dan tehnologi ketegangan dan perdebatan terulang dan semakin memuncak karena telah terjadi pergeseran dalam memahami budaya. Pemahaman tersebut adalah Pertama, pergeseran dalam memberikan makna dan perilaku budaya jawa. Kedua, pergeseran dalam mengaplikasikan laku budaya jawa. Pergeseran ini kadangkala menimbulkan interpretasi yang tidak sama dengan maksud yang sesungguhnya. Misalnya upacara tradisi sekaten cenderung dipahami dari sisi luarnya, padahal tentunya kegiatan tersebut tidak harus dipahami secara harfiah karena dimungkinkan terkandung maksud dan tujuan yang lebih bersifat filosofis. Pergeseran arti dan makna ini menurut KRHT

Mangun Hadi Nagoro8 kadangkala mengkaburkan pemahaman sinkritisme

dalam perilaku budaya Jawa karena yang sering diartikan sebagai penonjolan wujud dari kaidah-kaidah Islamnya.

Berhubung sebagian masyarakat memandang dari wujud nyata, maka bermunculan perilaku yang dari sudut pandang Islam dianggap tidak benar bahkan telah mentradisi dalam pikiran sebagian besar masyarakat. Misalnya pensucian benda-benda pusaka, acara labuhan serta acara simbolik penyucian atau buang sial. Fokus kesucian bukan terletak pada benda-benda pusakanya tetapi pada makna pensuciannya sebagai

8

KHRT Mangun Hadi Nagoro. Abdi ndalem Keraton Surakarta dan sekaligus juga Pengurus Masjid Agung Surakarta bid. Dakwah & Budaya. Wawancara 12 Juli 2012 pk.16.30


(7)

7

perlambang bahwa manusia sebagai makhluk yang penuh noda harus

setiap detik mawas diri dan ingat bahwa dirinya harus disucikan.9

Demikian pula dengan acara menyebar udik-udik lebih bermakna

sebagai kewajiban mengeluarkan sebagian rezeki yang dimiliki oleh raja sebagai penguasa, yang dalam konsep Islam dapat diartikan dengan sedekah. Dengan demikian, aktifitas-aktifitas tersebut mengandung pengertian simbolik yang memberikan kesadaran kepada penguasa/raja dan rakyat untuk selalu ingat kepada Tuhan Semesta Alam.

Petunjuk kearah kebaikan inilah secara keseluruhan terdapat dalam tata cara kehidupan di masyarakat Jawa, oleh karena itu budaya Jawa mempunyai aspek multidimensi, sehingga budaya Jawa dapat diterima dan berada pada posisi fleksibel, bisa diterima di mana saja pada situasi dan kondisi yang ada.

Makna atau simbol yang diperlihatkan oleh budaya jawa kadangkala cukup sulit dicerna sehingga banyak anggapan bahwa kultur jawa tidak tegas dan cenderung menyembunyikan apa yang sesungguhnya. Cara-cara tidak langsung yang ditunjukkan oleh kultur jawa dalam menangkap makna Islam adalah untuk menjaga harmonisasi sosial yang kadangkala dianggap sebagai inti perilaku sosial budaya jawa.

Cara yang dilakukan oleh budaya Jawa tampaknya merupakan usaha menghindari pertentangan dan ketegangan, yakni dengan cara menggabungkan dan menyatukan unsur-unsur yang ada melalui

9

KRT H Tafsir Anom, abdi Dalem Keraton Surakarta & Pengurus Masjid Agung Surakarta Bid. I adah Syari’ah, a a ara 9 Agustus , pk. . i


(8)

8

simbol/lambang yang mudah dipahami, sehingga tercipta ketertiban dan kedamaian dalam masyarakat. Hal ini sesuai dengan ajaran Islam, di mana salah satu misi utama Islam adalah kedamaian dan keselamatan, dan juga

adanya keselarasan sebagaimana konsep Islam yang rahmatanlil ‘alamiin,

kedamain seluruh alam. Islam juga dipahami oleh umat Islam sebagai agama yang universal.

Terjadinya pergumulan antara Islam dan budaya setempat juga dipengaruhi oleh sifat dasar manusia yang tidak hanya makhluk relegius tetapi juga makhluk sosial/budaya, artinya kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku masyarakatnya, karena kebudayaan juga mengajarkan bagaimana seseorang memandang dunianya, lingkungan serta masyarakatnya. Dalam kebuduayaan juga terdapat seperangkat nilai-nilai yang menjadi landasan pokok dalam menentukan sikap untuk dunia luarnya, bahkan untuk mendasari langkah yang hendak dilakukannya sehubungan dengan pola hidup dan tata cara kemasyarakatannya.

Kebudayaan diartikan sebagai manifestasi kehidupan setiap orang dan setiap kelompok orang sehingga dinamis sifatnya. Hal ini berarti meletakkan kebudayaan sebagai proses, yaitu upaya masyarakat untuk

menjawab tantangan yang dihadapkan kepadanya.10

Dari uraian di atas, fenomena sosial masyarakat secara keseluruhan dapat dilihat pada sisi normativitas dan historitasnya yang melingkupi sehingga menjadi kebudayaan, karena nilai kebudayaan juga sebuah

10

Musya Asy’ary, Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam al-Qur’a , yogyakarta; Lembaga Study Filsafat Islam, 1991. hlm 96


(9)

9

sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk simbolis yang berupa kata,

benda, laku, dan lainnya mempunyai kaitan dengan konsep-konsep epistemologis dalam pengetahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologis ini tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan seluruh perilaku sosial.

Demikian pula kehidupan meterial yang berupa peralatan, benda-benda dan lainnya tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya dan masih harus ditambahkan ke dalam hubungan ini, sejarah dan ekologi sebuah masyarakat yang keduanya mempunyai peranan besar dalam pembentukan budaya. Oleh karena itu, sistem budaya sebenarnya penuh dengan kompleksitas yang tidak mudah dipahami secara sekilas sehingga dalam kompleksitas itu peneliti mencoba mengidentifikasi mekanisme apa yang mengintegrasikan berbagai gejala budaya ke dalam sebuah sistem yang koheren. Sebuah sistem budaya tidak pernah berhenti, ia juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dalam maupun dorongan luar. Oleh karena itu perlu kesadaran ilmiah terhadap warisan budaya atau tradisi. Sikap semacam ini merupakan sikap anti tradisionalisme. Sikap tradisionalisme hanya akan melahirkan kebekuan dan kebakuan tradisi itu sendiri, bahkan cenderung mengarah pada mitologi, sehingga menyebabkan kemandekan dalam berfikir, berbudaya dan berperdaban.


(10)

10

Islam sebagai agama yang sempurna, rahmat bagi seluruh alam, kebenaran dan kebaikan tertinggi yang memberikan jalan dan petunjuk kepada umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tentu mempunyai sikap dalam dinamika budaya umat manusia. Dinamika budaya yang dikehendaki Islam adalah dinamika yang positif, yaitu bermanfaat, tanpa menimbulkan malapetaka dan aniaya bagi manusia.

Berbagai realitas tersebut di atas, mendasari penulis untuk mengetahui dan mendalami lebih jauh apa sebenarnya yang terjadi pada upacara tradisi sekaten di Masjid Agung Surakarta, supaya bisa memberikan pencerahana kepada masyarakat, khususnya umat Islam tentang budaya yang terjadi pada upacara sekaten tersebut, adakah keterkaitan budaya tersebut dengan ajaran Islam atau malah bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

B. Identifikasi Masalah

Ketika suatu agama berada di suatu tempat dan berkembang, tidak terlepas dari tarik menarik antar budaya setempat dengan ajaran agama yang bersangkutan. Hal ini jelas dapat ditemui di Karaton Surakarta. Bahwa sebelum Islam datang di Indonesia, masyarakat Indonesia telah

mempunyai berbagai kepercayaan, dan kepercayaan itu bersifat animisme

dan dinamisme. Sejak sebelum Islam, terutama di Jawa ada pemerintahan dengan baik yang berdasar Hindu dan Budha.


(11)

11

Interaksi sosial budaya dan agama akan timbul beberapa

kemungkinan. Pertama, adalah mengikuti agama yang bersangkutan dan

membuang kepercayaan lama. Kedua, menolak mentah-mentah agama

yang datang dan tetap pada kepercayaan pada aslinya. Ketiga, menerima

tetapi dilakukan akomodasif mencari makna yang cocok kemudian disatukan, maka terjadinya pergumulan dimungkinkan. Dari sikap inilah terjadi penyesuaian yang luwes dari berbagai adat dan kepercayaan.

Pada masyarakat Jawa terdapat suatu filsafat kehidupan, bahwa

rasa bersatu, kasih sayang dan kebersamaan/guyub akan menimbulkan rasa

nyaman, enak, damai dan tenteram. Hal ini juga dalam kehidupan beragama, meskipun kepercayaan lama masih dipakai dan dianut, tetapi juga mau menerima agama yang baru. Ini tergambar dalam kehidupan beragama dalam masyarakat Jawa maupun di kalangan Keraton.

C. Ruang Lingkup

Penelitian tentang hubungan agama dan budaya lokal, khususnya tentang upacara tradisi sekaten ini dilaksanakan di Masjid Agung Surakarta. Penelitian ini difokuskan pada pengungkapan tentang fenomena dari proses pembauran antara Islam dengan adat jawa khususnya pada acara Sekaten yang dilaksanakan di Masjid Agung Surakarta. Kegiatan tersebut menimbulkan perilaku dilematis, di mana perilaku keagamaanya masih bersifat mendua. Satu sisi begitu kuat memegang teguh adat Jawa, tetapi pada sisi yang lain mengakui dan meyakini agama Islam.


(12)

12

Lebih khusus lagi penelitian ini mencoba mengungkapadakah unsur-unsur Islam dan bagaimana masyarakat memaknai sekaten, apakah sekaten ada hubungannya dengan ajaran Islam dan untuk memperjelas hubungan antara sekaten dengan agama Islam.

D. Rumusan Masalah

Berangkat dari persoalan sebagaiman dipaparkan di atas, peneliti mengidentifikasi permasalahan dengan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola hubungan sekaten dengan Islam?

2. Apakah ada unsur-unsur Islam dalam budaya Sekaten

3. Bagaimana pandangan Islam dengan budaya Sekaten?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui secara lengkap gambaran pelaksanaan kegiatan Sekaten

di Masjid Agung Surakarta.

2. Mengetahui unsur-unsur Islam dalam upacara tradisi sekaten.


(13)

13

F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik yang bersifat teori maupun yang bersifat praktis bagi pembaca, antara lain:

1. Sebagai dasar empirik, baik untuk kepentingan ilmiah maupun untuk

kepentingan praktis

2. Sebagai bahan informasi tertulis untuk materi budaya Islam, pada

perguruan Tinggi khususnya yang meyangkut perkembangan Islam dengan budaya jawa

3. Sebagai bahan penelitian lanjutan tentang hubungan Islam dan budaya

lokal khususnya di Surakarta

4. Memberikan pemahaman tentang sekaten dan unsur0unsur yang

melingkupinya.

5. Memperkaya khasanah keilmuan dalam disiplin pemikiran Islam di

Indonesia, sekaligus memberikan kontribusi bagi pengembangan studi Islam, khususnya kaitannya dengan kajian budaya, sebagaimana telah mulai dikembangakan di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.

G. Sitematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagi berikut:

Bab I. Pendahuluan : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Ruang Lingkup, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.


(14)

14

Bab II. Kajian Pustaka: Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Konstruksi

Penelitian, Pengertian Akluturasi, Pengertian

Budaya/Kebudayaan, Pengertian Adat, Istiadat, Kebiasaan, Hubungan Agama dan Kebudayaan, dan Pengertian

Kebudayaan dalam Al-Qur’an.

Bab III. Metodologi Penelitian: Metode Penelitian, Sifat dan Pendekatan, Latar Setting Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Observasi, Wawancara, Dokumentasi, Pemeriksaan Keabsahan Data, dan Tehnik Analisa Data dan Kesimpulan. Bab IV. Hasil Penelitian: Diskriptif Masjid Agung Surakarta; Sejarah

Masjid Agung Surakarta, Bangunan Masjid Agung Surakarta, Komponen-komponen Masjid Agung Surakarta, Pengertian Masjid, Aktualisasi, Peran dan Fungsi Masjid Agung.

Upacara Tradisi Sekaten, Pengertian dan Sejarah Sekaten, Prosesi ritual Sekaten, Pandangan Masyarakat Tentang Sekaten, Usur-unsur Islam dalam Sekaten, Hubungan Sekaten dengan Islam, Pandangan Islam Tentang Sekaten, Efektifitas Dakwah menggunakan Simbol.

Bab V. Kesimpulan dan Saran-Saran. A. Kesimpulan

B. Implikasi C. Saran


(1)

9

sistem yang mempunyai koherensi. Bentuk simbolis yang berupa kata, benda, laku, dan lainnya mempunyai kaitan dengan konsep-konsep epistemologis dalam pengetahuan masyarakat. Sistem simbol dan epistemologis ini tidak terpisahkan dari sistem sosial yang berupa stratifikasi, gaya hidup, sosialisasi, agama, mobilitas sosial dan seluruh perilaku sosial.

Demikian pula kehidupan meterial yang berupa peralatan, benda-benda dan lainnya tidak dapat dilepaskan dari seluruh konfigurasi budaya dan masih harus ditambahkan ke dalam hubungan ini, sejarah dan ekologi sebuah masyarakat yang keduanya mempunyai peranan besar dalam pembentukan budaya. Oleh karena itu, sistem budaya sebenarnya penuh dengan kompleksitas yang tidak mudah dipahami secara sekilas sehingga dalam kompleksitas itu peneliti mencoba mengidentifikasi mekanisme apa yang mengintegrasikan berbagai gejala budaya ke dalam sebuah sistem yang koheren. Sebuah sistem budaya tidak pernah berhenti, ia juga mengalami perubahan dan perkembangan, baik karena dorongan-dorongan dalam maupun dorongan luar. Oleh karena itu perlu kesadaran ilmiah terhadap warisan budaya atau tradisi. Sikap semacam ini merupakan sikap anti tradisionalisme. Sikap tradisionalisme hanya akan melahirkan kebekuan dan kebakuan tradisi itu sendiri, bahkan cenderung mengarah pada mitologi, sehingga menyebabkan kemandekan dalam berfikir, berbudaya dan berperdaban.


(2)

10

Islam sebagai agama yang sempurna, rahmat bagi seluruh alam, kebenaran dan kebaikan tertinggi yang memberikan jalan dan petunjuk kepada umat manusia untuk memperoleh kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat, tentu mempunyai sikap dalam dinamika budaya umat manusia. Dinamika budaya yang dikehendaki Islam adalah dinamika yang positif, yaitu bermanfaat, tanpa menimbulkan malapetaka dan aniaya bagi manusia.

Berbagai realitas tersebut di atas, mendasari penulis untuk mengetahui dan mendalami lebih jauh apa sebenarnya yang terjadi pada upacara tradisi sekaten di Masjid Agung Surakarta, supaya bisa memberikan pencerahana kepada masyarakat, khususnya umat Islam tentang budaya yang terjadi pada upacara sekaten tersebut, adakah keterkaitan budaya tersebut dengan ajaran Islam atau malah bertentangan dengan ajaran dan nilai-nilai Islam.

B. Identifikasi Masalah

Ketika suatu agama berada di suatu tempat dan berkembang, tidak terlepas dari tarik menarik antar budaya setempat dengan ajaran agama yang bersangkutan. Hal ini jelas dapat ditemui di Karaton Surakarta. Bahwa sebelum Islam datang di Indonesia, masyarakat Indonesia telah mempunyai berbagai kepercayaan, dan kepercayaan itu bersifat animisme dan dinamisme. Sejak sebelum Islam, terutama di Jawa ada pemerintahan dengan baik yang berdasar Hindu dan Budha.


(3)

11

Interaksi sosial budaya dan agama akan timbul beberapa kemungkinan. Pertama, adalah mengikuti agama yang bersangkutan dan membuang kepercayaan lama. Kedua, menolak mentah-mentah agama yang datang dan tetap pada kepercayaan pada aslinya. Ketiga, menerima tetapi dilakukan akomodasif mencari makna yang cocok kemudian disatukan, maka terjadinya pergumulan dimungkinkan. Dari sikap inilah terjadi penyesuaian yang luwes dari berbagai adat dan kepercayaan.

Pada masyarakat Jawa terdapat suatu filsafat kehidupan, bahwa rasa bersatu, kasih sayang dan kebersamaan/guyub akan menimbulkan rasa nyaman, enak, damai dan tenteram. Hal ini juga dalam kehidupan beragama, meskipun kepercayaan lama masih dipakai dan dianut, tetapi juga mau menerima agama yang baru. Ini tergambar dalam kehidupan beragama dalam masyarakat Jawa maupun di kalangan Keraton.

C. Ruang Lingkup

Penelitian tentang hubungan agama dan budaya lokal, khususnya tentang upacara tradisi sekaten ini dilaksanakan di Masjid Agung Surakarta. Penelitian ini difokuskan pada pengungkapan tentang fenomena dari proses pembauran antara Islam dengan adat jawa khususnya pada acara Sekaten yang dilaksanakan di Masjid Agung Surakarta. Kegiatan tersebut menimbulkan perilaku dilematis, di mana perilaku keagamaanya masih bersifat mendua. Satu sisi begitu kuat memegang teguh adat Jawa, tetapi pada sisi yang lain mengakui dan meyakini agama Islam.


(4)

12

Lebih khusus lagi penelitian ini mencoba mengungkapadakah unsur-unsur Islam dan bagaimana masyarakat memaknai sekaten, apakah sekaten ada hubungannya dengan ajaran Islam dan untuk memperjelas hubungan antara sekaten dengan agama Islam.

D. Rumusan Masalah

Berangkat dari persoalan sebagaiman dipaparkan di atas, peneliti mengidentifikasi permasalahan dengan mengajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Bagaimana pola hubungan sekaten dengan Islam? 2. Apakah ada unsur-unsur Islam dalam budaya Sekaten 3. Bagaimana pandangan Islam dengan budaya Sekaten?

E. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui secara lengkap gambaran pelaksanaan kegiatan Sekaten di Masjid Agung Surakarta.

2. Mengetahui unsur-unsur Islam dalam upacara tradisi sekaten. 3. Mengetahui hubungan antara budaya sekaten dengan ajaran Islam.


(5)

13 F. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat berguna baik yang bersifat teori maupun yang bersifat praktis bagi pembaca, antara lain:

1. Sebagai dasar empirik, baik untuk kepentingan ilmiah maupun untuk kepentingan praktis

2. Sebagai bahan informasi tertulis untuk materi budaya Islam, pada perguruan Tinggi khususnya yang meyangkut perkembangan Islam dengan budaya jawa

3. Sebagai bahan penelitian lanjutan tentang hubungan Islam dan budaya lokal khususnya di Surakarta

4. Memberikan pemahaman tentang sekaten dan unsur0unsur yang melingkupinya.

5. Memperkaya khasanah keilmuan dalam disiplin pemikiran Islam di Indonesia, sekaligus memberikan kontribusi bagi pengembangan studi Islam, khususnya kaitannya dengan kajian budaya, sebagaimana telah mulai dikembangakan di Perguruan Tinggi Islam di Indonesia.

G. Sitematika Penulisan

Adapun sistematika dalam penelitian ini adalah sebagi berikut:

Bab I. Pendahuluan : Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah, Ruang Lingkup, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Penulisan.


(6)

14

Bab II. Kajian Pustaka: Kajian Pustaka, Kerangka Teori, Konstruksi Penelitian, Pengertian Akluturasi, Pengertian Budaya/Kebudayaan, Pengertian Adat, Istiadat, Kebiasaan, Hubungan Agama dan Kebudayaan, dan Pengertian Kebudayaan dalam Al-Qur’an.

Bab III. Metodologi Penelitian: Metode Penelitian, Sifat dan Pendekatan, Latar Setting Penelitian, Metode Pengumpulan Data, Observasi, Wawancara, Dokumentasi, Pemeriksaan Keabsahan Data, dan Tehnik Analisa Data dan Kesimpulan. Bab IV. Hasil Penelitian: Diskriptif Masjid Agung Surakarta; Sejarah

Masjid Agung Surakarta, Bangunan Masjid Agung Surakarta, Komponen-komponen Masjid Agung Surakarta, Pengertian Masjid, Aktualisasi, Peran dan Fungsi Masjid Agung.

Upacara Tradisi Sekaten, Pengertian dan Sejarah Sekaten, Prosesi ritual Sekaten, Pandangan Masyarakat Tentang Sekaten, Usur-unsur Islam dalam Sekaten, Hubungan Sekaten dengan Islam, Pandangan Islam Tentang Sekaten, Efektifitas Dakwah menggunakan Simbol.

Bab V. Kesimpulan dan Saran-Saran. A. Kesimpulan

B. Implikasi C. Saran