(Karya Dipajang di Perpustakaan) RASIONALITAS DAN PENTINGNYA PERENCANAAN DALAM MENGANTISIPASI MUNCULNYA KOTA SATELIT.

RASIONALITAS DAN DAN PENTINGNYA PERENCANAAN DALAM
MENGANTISIPASI MUNCULNYA KOTA SATELIT

Oleh GPB Suka Arjawa
(Staf Pengajar Prodi Sosiologi, FISIP, Universitas Udayana)

Pendahuluan
Perkembangan masyarakat pada saat ini tidak bisa dihindari memunculkan fenomena
yang disebut dengan perubahan sosial. Pembaruan teknologi, pesatnya transportasi menyebabkan
pola hidup masyarakat berubah. Salah satu akibat dari pesatnya transportasi itu adalah arus
perpindahan penduduk

menuju wilayah perkotaan. Dibangunnya pusat-pusat industri yang

berdekatan dengan kota dan investasi yang ditanam kebanyakan di kota, membuat arus
perpindahan itu tidak bisa dihindarkan.
Maka perubahan sosial yang nampak sebagai akibat dari fenomena ini adalah semakin
banyaknya penduduk di kota, semakin meningkatnya jumlah hunian, dan juga yang tidak bisa
dihindari adalah munculnya gejala semakin banyaknya kejahatan di perkotaan. Masalah
pertumbuhan penduduk ini, secara rasional sudah pasti akan membuat kebutuhan tempat tinggal
yang semakin banyak. Munculnya kompleks perumahan itu mau tidak mau akan menambah

kesesakan kota. Kesesakan kota, kekhawatiran akan semakin baanyaknya muncul kejahatan di
perkotaan, jelas menimbulkan suasana yang tidak nyaman bagi masyarakat. Pertimbanganpertimbangan inilah yang kemudian membuat banyaknya muncul kota baru yang berdekatan
dengan kota ”inti”, yakni kota yang ada sebelumnya.
Dalam konteks pertumbuhan penduduk, Mountjoy mengutarakan bahwa pertumbuhan itu
mengalami beberapa pentahapan. Salah satunya, dimana saat angka kematian menurun tajam
dan angka kelahiran tetap tinggi (Mountjoy, 1983: 35). Meskipun perkembangan kota di
Indonesia lebih disebabkan oleh migrasi penduduk. Tetapi pertimbangan angka kelahiran tinggi
ini tetap mesti dipertimbangkan.
Perluasan wilayah dan munculnya pemukiman-pemukiman baru yang berdekatan dengan
kota, menjadi sesuatu yang tidak terhindarkan. Bagi penduduk desa yang padat, kurangnya
pekerjaan membuat mereka beramai-ramia pindah ke kota karena kesempatan kerja lebih luas
(Mountjoy, 1983: 54). Pada satu sisi, perluasan ini akan memberikan ruangan yang lebih luas

kepada masyarakat untuk melaksanakan aktivitasnya, yang dengan demikian diharapkan mampu
memberikan suasana yang lebih nyaman untuk tempat tinggal. Berkurangnya kesesakan di kota
”inti”

juga menguntungkan bagi pemerintah

mengendalikan dan mengontrol


kota karena mempunyai kemampuan untuk

masyarakat, dengan harapan dapat menurunkan tingkat

kejahatan. Akan tetapi, pada sisi lain, pilihan tempat untuk mendirikan pemukiman-pemukiman
baru itu sering kali tidak terkontrol. Kompetisi pengembang untuk membangun pemukiman baru,
sering kali mengabaikan perencanaan-perencanaan perluasan kota. Akibatnya, kota satelit yang
diharapkan muncul sebagai upaya untuk memecahkan persoalan kemanusiaan di kota
sebelumnya, justru menjadi masalah baru. Pemukiman yang tidak tertata, meluasnya kejahatan
dan bahkan konflik kepemilohan lahan serta konflik sosial antara pendatang dengan penduduk
asli, kerap muncul pada tataran perluasan kota satelit demikian.
Dalam pandangan Firman (1997), kota-kota yang ada di Indonesia sudah tidak bisa
dikatakan hanya mempunyai persoalan yang diakibatkan oleh penduduk internal saja, dalam arti
menerima migrasi dari penduduk yang ada di Indonesia atau yang berdekatan dengan daerah
yang berdekatan dengan kota tersebut, akan tetapi juga menyangkut migran dari jenis lainnya.
Adanya diregulasi-diregulasi pada bidang tata aturan, kesepakatan perjanjian antar negara,
memungkinkan bahwa migran tersebut berasal dari negara-negara lain yang akan menjadi
penghuni kota tersebut. Blok perdagangan antar negara akan mempengaruhi perkembangan kotakota di Indonesia karena orang asing akan bisa bekerja di Indonesia.
Dengan konteks perkembangan seperti yang diutarakan diatas, tulisan ini mencoba

melihat fungsi dan keuntungan dari munculnya kota satelit (secara umum di Indonesia), serta
mencoba melihat makna perencanaan-perencanaan sosial terhadap diperlukannya eksistensi
kota satelit tersebut.

Fenomena Kota Satelit
Perluasan kota (wilayah perkotaan) di Indonesia sudah menjadi gejala yang dianggap
biasa. Dalam dua dasawarsa terakhir, kita lihat perkembangan kota Jakarta berkembang ke arah
Bekasi, Depok, dan Tangerang. Sebutan Jabodetabek dari Jabotabek membuktikan bahwa
perkembangan kota Jakarta tidak bisa dilepaskan
merupakan wilayah luar dari Jakarta.

dengan daerah-daerah yang sebelumnya

Bogor, Tangerang, Bekasi (Botabek) dan Depok adalah

wilayah yang berada di luar Jakarta. Akan tetapi kini wilayah-wilayah tersebut coba dikait-

kaitkan kedekatannya dengan Jakarta. Wilayah-wilayah inilah yang kemudian disebut dengan
kota satelit.
Sebutan kota satelit sebenarnya mengambil istilah tata surya, yang mengidentikkan

planet di tata surya dengan satelit yang mengitarinya, seperti bumi dengan bulan.

Dalam

bayangan manusia di bumi, bulan di masa depan akan bisa dipakai sebagai tempat hunian
alternatif sebagai akibat sesaknya penduduk di bumi. Bulan kemudian dipandang sebagai
wilayah hunian yang akan mampu menopang kehidupan di bumi. Kota satelit, dengan demikian,
juga dipersepsikan seperti itu, yakni kota baru atau wilayah baru yang mampu menjadi pilihan
sebagai penopang kehidupan kota inti yang sebelumnya memang telah ada. Bekasi sebagai
daerah yang ada di pinggir Jakartam, diharapkan menjadi penopang Jakarta yang sudah sesak.
Akan tetapi, seperti layaknya satelit-satelit yang mengitari planet di tata surya, kota satelit
juga diidentikkan seperti itu. Munculnya satelit dalam tata surya, dalaam sejarah
pembentukannya, disebabkan oleh pecahan yang memang berasal dari planet yang kemudian
oleh proses universal, bergerak mengelilingi planet dalam jarak dan waktu yang tetap. Secara
logika, munculnya istilah kota satelit juga sesuai dengan komposisi planet di tata surya itu. Kota
satelit adalah kota-kota yang ada di sekeliling kota inti. Di sini jumlah kota satelit bisa tunggal
atau bisa juga lebih dari satu, seperti halnya apa yang ada dalam tata surya.
Kota, dalam pandangan Romo Manguwijaya merupakan satu bangunan, tempat untuk
perlindungan diri, serta tempat untuk memenuhi kebutuhan pokok. Dengan demikian, kota
sesungguhnya adalah sebuah rumah dan lingkungan untuk memenuhi segala keperluan pokok.

Dalam bahasa pertanian, mungkin bisa dikatakan rumah dengan kebun. Dari pengertian ini,
boleh dikatakan

bahwa kota mempunyai fungsi yang lebih besar dari kota karena fungsi

pemenuhan kebutuhan hidup manusia lebih besar. Jika di desa sarana hiburan mungkin tidak ada,
maka kota menyediakan sarana ini untuk melengkapi fungsi hiburan bagi masyarakat. Kota juga
mampu menyediakan kelengkapan pilihan-pilihan hidup dibandingkan dengan desa. Kota satelit,
meskipun ia hanya mempunyai fungsi sebagai penunjang dari kota ”inti”, akan tetapi mampu
memberikan fasilitas yang lebih lengkap dengan desa. Ia mempunyai ciri yang sama dengan
kota inti.
Perkembangan seperti ini jelas tidak hanya terjadi di Jakarta saja. Wilayah-wilayah lain
juga menjadi mengamai fenomena seperti ini. Sidoarjo, Gresik, Krian menjadi :kota satelit bagi
Surabaya misalnya. Di masa lalu,

kota yang

berada di pinggir Surabaya ini masih bisa

dikatakan alami, tidak terkena pengaruh kepadatan penduduk. Akan tetapi kini, daerah-daerah

itu telah diserbu oleh berbagai pertumbuhan kompleks perumahan yang sama dengan Surabaya.
Karena perkembangan Surabaya sudah tidak mungkin lagi diperluas menuju timur dan utara
(karena berbatsan dengan pantai), maka perkembangan itu mengarah ke Barat dan Selatan. Jadi,
Krian, Gresik dan Sidoarjo menjadi pilihan untuk menjadi ”penampungan” bagi kepadatan
penduduk di Surabaya. Kota-kota yang sebelumnya kecil itu, kini berkembang lebih besar dan
itulah yang kini disebut sebagai kota satelit.
Di Bali, Tabanan dan Gianyar menjadi kota Satelit bagi Denpasar. Dan Nusa Dua bisa
dikatakan sebagai kota Baru yang diciptakan menjadi kota satelit. Daerah Dalung dan Sempidi
yang berada di pinggiran kota Denpasar, kini sudah mulai menjadi daerah yang mirip dengan
kota. Ciri utamanya adalah hunian yang semakin padat. Perkembangan kepadatan penduduk
yang ada di Denpasar sudah tidak bisa dikatakan terkendai lagi, yang membuat meluasnya
wilayah-wilayah kota itu menuju berbagai arah, sampai kemudian melewati perbatasan kota
madya. Kabupaten Badung sebenarnya bisa dikatakan sebagai

kabupaten penyangga yang

”menerima” luberan dari penduduk yang ada di kota Denpasar.
Munculnya kota satelit tidak hanya bisa dilihat dari upaya penopangan kota inti. Dilihat
dari fakta di lapangan, pembentukan kota satelit disebabkan oleh beberapa hal. Yang pertama,
muncul sebagai konsekuensi dari perkembangan kota kecil yang sudah ada sebagai akibat

luberan kota inti yang lokasinya berdekatan. Kedua memang direncanakan dan dibentuk sendiri
karena pertimbangan lokasinya yang strategis. Nusa Dua misalnya merupakan kota bentukan
yang karena kedekatannya dengan Denpasar, Bandara dan upaya memajukan wilayah ini secara
ekonomis.
Pengertian pertama merupakan sebuah kosekuensi dari adanya

keberadaan kota.

Prasarana dan sarana yang ada di kota ”kecil” ini memungkinkan untuk mengembangkan kota
itu lebih mudah dibanding dengan membentuk kota yang baru. Jalan yang sudah ada membuat
pengangkutan materi untuk membangun sarana baru lebih mudah. Bahan-bahan untuk sarana
juga lebih mudah mengangkutnya dan lahan-lahan yang tersedia membuat pembangunan lebih
cepat terjadi. Inilah yang membuat kota-kota kecil yang lokasinya berdekatan dengan kota besar
sangat cepat berkembang. Kota seperti ini berkembang sesuai dengan kontur dan alur kota
sebelumnya. Kompleks-kompleks pertokoan akan berkembang sesuai dengan toko yang ada
sebelumnya dan perumahan berkembang dengan kompleks perumahan sebelumnya. Dari sisi

infrastruktur yang ada, perkembangan kota seperti ini akan

diikuti dengan perkembangan


struktur-struktur yang ada. Jalan yang sebelumnuya sempit, akan diperlebar dan diperbaruai
sehingga memungkinkan diakses oleh kebutuhan yang lebih banyak. Jalan yang sebelumnya
hanya bisa dilewati oleh mobil kendaraan beroda empat misalnya, kini dapat dilewati oleh
kendaraan yang mempunyai roda lebih dari empat. Gedung olahraga yang sebelumnya
sederhana, akan diperbarui sehingga mampu lebih banyak pengunjung dan mempunyai fasilitas
lebih lengkap. Misalnya memuat dua lapangan bulutangkis dari yang sebelumnya

hanya

memakai lapangan tunggal.
Kebanyakan

perkembangan kota yang berdekatan dengan kota inti itu, pada

perkembangan lebih lanjut akan menyatu dengan kota inti (induk). Ini disebabkan karena
pembangunan juga terjadi pada daerah penghubung dua kota tersebut. Di kota-kota besar
seperti di Surabaya, menyambungnya kota kecil dengan kota inti itu disebabkan oleh peta
pembangunan sebelumnya. Kompleks perindustrian yang merupakan salah satu ciri dari kota,
dibuat di pinggiran dari kota asal. Wilayah industri inilah pada akhirnya menjadi ”batu loncatan”

untuk menyambung kota inti dengan kota yang berdekatan. Seperti yang sudah menjadi pakem
dalam perkembangan sosial, industri pasti

mempunyai banyak karyawan dan buruh. Para

karyawan inilah yang mempunyai kontyribusi besar untuk mengundang munculnya perumahan.
Misalnya, dengan merangsang tumbuhnya tempat-tempat kost, rumah tinggal atau perumahan.
Pada akhirnya kompleks ini akan menjadi perumahan yang permanen. Fenomena inilah yang
terjadi pada perkembangan kota Sidoarjo yang kini seolah menyambung dengan Surabaya.
Sedangkan pada perkembangan kedua, yaitu pembuatan kota baru, mempunyai ciri yang
berbeda. Dari sisi berdirinya, konsep kota seperti ini lebih tertata. Artinya pusat pemerintahan,
pusat perekonomian dan pusat kebudayaan dibuat secara terencana. Akan tetapi, biasanya kotakota seperti ini mempunyai ciri ekslusif. Hanya dibuat untuk pekentingan orang-orang yang
mempunyai modal besar dan dibuat oleh perusahan yang mempunyai modal besar. Pembuatan
kota baru, diperlukan untuk menampung kepadatan kota yang sudah ada dengan berbagai
permasalahan yang ada di kota induk.
Ada juga model ketiga, yaitu campuran. Di kota yang baru, dibuat lagi kota baru dengan
penataan yang baru juga. Kota lama dibiarkan seperti apa adanya atau diperbarui tata mukanya.
Akan tetapi dibentuk kota-kota yang baru. Denpasar adalah contoh dari hal seperti ini. Jalan
Gajah Mada, merupakan sentral dari kota ini sejak dekade enampuluhan. Ini merupakan


pengembangan dari Peken Payuk (Pasar Badung) sebagai daerah aktivitas perekonomian sejak
jaman kerajaan. Pemikiman berada di

sekitar pasar ini. Sedangkan wilayah-wilayah di

Sepanjang Jalan Hayam Wuruk dan Surapati, adalah wilayah perkantoran pemerintah. Kompleks
perhotelan berada di dekat Tainsiat. Akan tetapi, sekarang kompleks tersebut sudah bergeser ke
wilayah Renon dan Pekambingan dengan adanya pusat perdagangan dan pemukiman. Wilayah
Renon diperuntukkan

bagi

kantor-kantor pemerintahan, terutama

pada tingkat provinsi.

Pengembangan ini dimulai pada awal dekade delapanpuluhan. Wilayah ini pada akhirnya juga
diikuti dengan berkembangnya kompleks-kompleks perumahan elit, yang dihuni oleh mereka
yang berada pada tataran golongan menengah ke atas. Berdekatan dengan kompleks perkantoran
ini juga didirikan pusat perekonomian.


Rasionalisasi Perluasan Kota
Rasional merupakan tindakan, langkah atau juga kebijakan yang mempertimbangkan
berbagai hal

untuk mendapatkan hasil

maksimal. Colemann mengatakan bahwa tindakan

rasional itu mengacu kepada tujuan dan tindakan yang dilakukan dengan nilai atau pilihan
(Ritzer dan Goodman, 2007:394)

Tindakan, langkah atau kebijakan ini dilakukan untuk

mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi. Dengan demikian, tumbuh atau munculnya kota
baru, merupakan suatu langkah yang diperlukan untuk mengatasi persoalan kesesakan hidup di
kota induk. Rasionalitas dalam pembangunan kota baru tersebut
kemampuan-kemampuan kognitif yang

jelas mempergunakan

semestinya dimiliki oleh berbagai ahli yang ada.

Pertimbangan, diskusi, mencari perbandingan dengan kota-kota lain yang sudah berpengalaman
sangat dipentingkan dalam hal ini. Kota-kota yang sebelumnya telah menerapkan perluasan kota,
mempunyai pengalaman menarik, baik positif maupun negatif. Inilah yang dipentingkan untk
dipelajari sehingga kota yang baru dibangun menjadi lebih baik dibandingkan dengan apa yang
dilakukan di daerah lain.
Mendapatkan manfaat maksimal bagi terbentuknya kota satelit (baru), tidak diartikan
sebagai mendapatkan keuntungan ekonomi, tetapi lebih pada mendapatkan keuntungan sosial.
Keuntungan ekonomis terkait dengan untung rugi dalam perhtungan uang. Memandang manfaat
maksimal hanya semata-mata dari keuntungan material keuangan, akan membahayakan karena
akan membuat pemerasan terhadap penghuni baru. Dalam arti, harga-harga ”penjualan” terhadap
berbagai sarana di kota baru akan mengutamakan keuntungan, sehingga akan menjadi mahal.

Pertimbangan ini tidaklah menjadi tujuan dari dibentuknya kota baru. Sedangkan keuntungan
sosial yang dimaksudkan adalah bahwa kota tersebut benar-benar mampu memberikan manfaat
kepada masyarakat banyak. Mereka tidak terbebani oleh harga yang dipatok untuk memeiliki
lahan di kota satelit, pemukimannya juga mementingkan kenyamanan tempat tinggal. Siapa yang
bertempat tinggal akan

merasa nyaman, tidakk mendapatkan ancaman baik dari kejahatan

maupun bencana alam (banjir, gempa dan sebagainya). Keuntungan sosial adalah tujuan dari
pembentukan dai pemukiman baru (kota baru).
Beberapa pertimbangan yang harus dilakukan

untuk mendirikan kota baru (satelit)

adalah jalur angkutan, adaptasi terhadap lingkungan baru, memelihara keseimbangan alam serta
penghijauan. Dalam hal angkutan misalnya, kota satelit harus mampu dihubungkan dengan kota
induk dengan jalur lalu lintas yang lancar. Pilihan bisa dilakukan dengan kereta komuter,
kendaraan omprengan, bus angkutan, bus sekolah atau bus kantor. Adaptasi terhadap lingkungan
baru, bisa berarti memberikan peluang bagi percampurannya budaya baru dengan budaya yang
ada di sekitar sebelumnya. Karena itu harus ada jembatan budaya dan sosial yang mampu
memberikan hubungan antara penghuni baru dengan penghuni lain. Misalnya pembuatan arena
kesenian, pembentukan organisasi yang melibatkan berbagai

pihak, sarana olahraga, dan

berbagai ruang publik yang memungkinkan berbagai komunitas yang sebelumnya tidak pernah
mengenal itu saling kontak. Ini untuk menghindari adanya konflik-konflik sosial di daerah kota
baru dengan masyarakat sekitar. Memelihara keseimbangan alam atau kehijauan tentu juga
merupakan kewajiban besar bagi para pengembang yang ikut membentuk kota baru. Ini artinya
harus ada wilayah-wilayah tertentu yang tidak boleh dijamah dan didtetapkan fungsinya seperti
semula agar tidak mengganggu kelestarian lingkungan. Misalnya, kompleks persawahan yang
secara tradisionil memang mempunyai predikat menghasilkan padi terbaik, tidak boleh menjadi
korban akibat pembentukan kota baru. Kota baru juga mesti mempunyai lingkungan hijau yang
bisa mempertahankan keseimbangan alam.
Untuk mendapatkan hasil rasional tersebut, maka pembuatan kota satelit mau tidak mau
harus melakukan perencanaan matang dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan.
Para pemangku kepentingan ini, tidak saja para pendatang atau generasi baru yang akan
menghuni kota tersebut, juga pengembang sebagai pihak yang akan melakukan pembangunan,
pemerintah dan masyarakat setempat. Pihak yang terakhir ini menjadi penting karena merekalah
yang akan mendapatkan dampak dari berbagai kota satelit yang baru tumbuh tersebut.

Perencanaan jelas memerlukan berbagai ahli yang terkait. Berkumpul dan berdiskusinya para
ahli tersebut akan membuat kota yang dibangun lebih representatif.

Pentingnya Perencanaan Perluasan Kota
Perencanaan adalah tindakan yang mempertimbangkaan berbagai aspek dalam mencapai
tujuan. Tindakan merupakan aspek yang paling kecil dari sebuah perencanaan. Karena itu sebuah
kebijakan, baik yang bersifat politik, sosial, kebudayaan, ekonomi maupun pembangunan lainnya
merupakan aspek makro dari sebuah tindakan. Perencanaan baik ekonomi maupun pembangunan
adalah gagasan tentang bagaimana mempengaruhi, mengarahkan, dan mengendalikan agar
tujuan yang dikehendaki tercapai (Hidayat, 1996: 16). Membuat kota yang baru merupakan
tindakan yang tidak saja mengandung aspek politik, juga sosial, pembangunan, dan tentu saja
ekonomi. Secara politik, perluasan kota diperlukan untuk lebih memberikan perlindungan kepada
rakyat oleh pemerintah. Perlindungan misalnya bisa untuk menghindari kejahatan, menghindari
banjir, menghindari kesesakan penduduk dan sebagainya. Pada tingkat pemerintah, memerlukan
pertimbangan keputusan dari pihak yang terkait, seperti misalnya Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah. Aspek sosial diperlukan karena menyangkut sentuhan kepada kelompok manusia
dalam hal penghuni kota tersebut di kemudian hari. Mungkin juga melakukan penggusuranpenggusuran kepada warga yang menempati lokasi dii tempat yang baru. Semuanya memerlukan
pertimbangan hubungan sosial, seperti interaksi, pola persahabatan, transportasi dan sebagainya.
Membuat kota baru mesti juga mempertimbangkan aspek kebudayaan karena menyangkut cara
hidup, norma dan kebiasaan dari masyarakat yang akan menjadi penghuni kota baru tersebut.
Pembuatan kota baru jelas tidak boleh memutus secara radikal pola-pola kebiasaan yang ada di
masyarakat. Misalnya, tetap diciptakan sebuah areal baru untuk menampung berbagai kebiasaan
masyarakat yang sifatnya positif. Tentu juga tempat untuk mengungkapkan pola ekspresi, baik
untuk komunikasi sosial maupun ekspresi yang bersifat estetika. Sudah tentu pula aspek
pembiayaan secara finansial sangat diperlukan dalam membangun kota yang baru.
Sebuah perencanaan, jelas tidak akan bisa dilakukan secara cepat dan segera. Kehatihatian dan berbagai pertimbangan harus dilakukan untuk membuat kota baru. Ini diperlukan
karena disamping menyangku aspek sosial, ekonomi, budaya, sosial dan politik itu, perencanaan
juga melihat segala kemungkinan di masa depan. Perencanaan sosial terhadap pembangunan
sebuah kota baru (kota satelit), mesti mempertimbangkan bagaimana kemungkinan kondisi masa

depan dari wilayah yang akan digunakan sebagai kota satelit tersebut. Pengaruh dari geografis,
kontur tanah, iklim, kerawanan sosial, harus dipertimbangkan untuk menghindari kerugian yang
lebih banyak. Pembangunan dalam berbagai bentuknya meruakan sebuah investasi. Dengan cara
pandang seperti itu, maka kerugian ekonomi dan kerugian sosialnya bisa diminimalkan sampai
batas yang paling minim.
Di masa Orde Baru, persoalan pembangunan kota ini erat kaitannya dengan masalah
lingkungan hidup, dimana telah diatur dalam Garis-garis Besar Haluan Negara yang
mencantumkan bahwa hakekat pembanguna itu adanya keselaran hubungan antara manusia
dengan Tuhan, dengan manusia dan dengan lingkungan (Wiradisuria, 1992, 113).
Maka, untuk mendapatkan hal-hal seperti itu, maka perencanaan melibatkan berbagai
unsur. Dalam melakukan perencanaan pembangunan kota baru atau kota satelit, unsur sosial
haruslah menjadi pertimbangan utama pembangunannya. Perencanaan yang berbasis sosial ini
maksudnya adalah bahwa pembangunan itu harus mengutamakan kepentingan rakyat banyak,
bukan pada individu, bukan juga pada kepentingan ekonomi semata. Membangun kota adalah
membangun pemukiman bagi masyarakat. Karena itu haruslah kebutuhan masyarakat ini yang
dipertinbangkan. Membelokkan hal ini pada kepentingan individu, akan membuat kekacauan.
Kepentingan individu lebih banyak mengedepankan persoalan-persoalan subyektifitas yang
sesuai dengan nilai-nilai yang ada di dalamnya sendiri. Subyektivitas itu tidak akan selaras
dengan kepentingan kelompok atau kepentingan masyarakat. Karena itu, pertimbangan dalam
perencanaan yang dilakukan untuk pembuatan kota baru adalah melihat kepada kepentingan
orang banyak, lingkungan dan kemampuan masyarakat.
Kepentingan sosial itu, secara internal menyangkut kepada pihak-pihak yang akan
menggunakan kota tersebut. Disini harus dilihat kemampuan ekonomi masyarakat yang akan
menggunakan, tingkat intelektualnya, kebudayaannya, jumlah anggota keluarga, aktivitas sosial,
ekonomi dan seterusnya. Tetapi, pertimbangan sosial juga harus dilakukan secara eksternal.
Pertimbangan ini harus melihat keberadaan dari masyarakat yang ada di sekitar kompleks kota
yang akan dibangun tersebut. Pejabat dan pemerintah yang akan membuat kota baru harus
melihat segenap unsur sosial yang melekat pada masyarakat yang ada di lokasi baru. Dalam
banyak kasus, pembangunan kota baru akan membuat masyarakat yang ada di wilayah tersebut
tergusur. Disini harus dipikirkan bagaimana metode pemindahan masyarakat setempat agar tidak
merugikan mereka. Misalnya, harus dipikirkan tentang masalah ganti rugi tanah, penempatan

lokasi dan seterusnya. Harus juga melakukan pendekatan-pendekatan kepada masyarakat yang
akan menjadi korban dari munculnya kota baru tersebut.
Pertimbangan politik juga tidak boleh dilupakan. Pembuatan kota baru jelas merupakan
sebuah keputusan politik dengan berbagai pertimbangan yang dilakukan. Disini pasti
memerlukan pertimbangan-pertimbangan anggota parlemen untuk memperluas kota atau
membangun kota baru. Dengan begitu, kesepakatan yang dicapai haruslah merupakan keputusan
yang sudah dilakukan dengan berbagai kekuatan politik yang ada. Kekeliruan dalam membuat
hal ini akan mampu

mengacaukan rencana tersebut karena amat mungkin

mendapatkan

gangguan kelak. Artinya setelah pekerjaan pembangunan dilaksanakan, muncul suara-suara
politik yang ingin membatalkan. Jika ini terjadi maka segala biaya yang sudah dikeluarkan
menjadi sia-sia. Perencanaan menjadi tidak sistematis yang membuat keseluruhan rencana bisa
tidak mendapatkan hasil yang baik.
Pertimbangan unsur politik ini penting terutama di jaman reformasi sekarang. Kerah
reformasi memungkinkan berbagai pendapat akan muncul ke permukaan. Pendapat ini akan
memancing pro kontra. Hal itu akan bisa mengganggu pembangunan kota baru. Jadi dalam hal
masa pembangunannya, pertimbangan yang bersifat politis ini sangat dipentingkan. Karena itu
pertimbangan politis yang selanjutnya membuat keputusan hukum, akan mampu memberikan
kelancaran pembangunan yang dilakukan di kota yang baru. Sebuah keputusan akan menjadi
legitimasi

bagi kelanjutan pembangunannya, mampu membela diri dari pihak-pihak yang

berupaya mengganggu.
Pembangunan sebuah kota baru, dengan demikian memerlukan banyak ragam perencana.
Mereka itu adalah para ahli dari berbagai unsur di masyarakat.
Ahli teknik diperlukan untuk merancang bagaimana bentuk kota baru. Ahli ini teknik ini
tentu saja beragam, mulai dari teknik lingkungan, planologi, arsitektur, sampai dengan teknik
sipil. Mereka, para ahli itu, memberikan sumbangan dan seterusnya bertanggung jawab untuk
memberikan bagaimana bentuk kota yang akan dibangunan. Ahli lingkungan merupakan pihak
yang harus dilibatkan di jaman sekarang karena mereka akan mampu memberikan berbagai
pertimbangan terkait dengan pemeliharaan lingkungan sekitar. Kerusakan lingkungan menjadi
persoalan kritis akhir-akhir ini, yang dijadikan sebagai pintu masuk untuk melakukan kritik dan
bahkan menggagalkan proses pembangunan. Karena itu, diperlukan keterlibatan ahli lingkungan

secara lebih mendalam demi menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, khusus tentang
lingkungan, di masa mendatang.
Ahli sosial diperlukan untuk memberikan pertimbangan tentang kemungkinan perubahan
sosial yang terjadi sebagai akibat dari pembangunan kota tersebut. Sosiolog akan membantu
memetakan persoalan sosial yang mungkin timbul sebagai akibat dari perluasan kota dan
memberikan pertimbangan untuk mengurangi berbagai masalah yang muncul tersebut.
Perubahan sosial pasti akan timbul sebagai akibat dari munculnya kota baru. Salah satunya
adalah ketersisihan dari penduduk asli (yang terlebih dahulu tinggal) di daerah itu. Persoalan ini
bisa didiskusikan dengan ahli sosial yang mengangani masalah-masalah konflik. Keterasingan
dari penduduk asli merupakan salah satu akibat dari adanya perluasan kota. Dana keterasingan
ini akan memberikan akibat yang cukup berbahaya apabila hal itu menimbulkan konflik.
Ahli budaya diperlukan untuk melihat

berbagai alternatif dari pencampuran antar

berbagai unsur di wilayah baru. Munculnya wilayah perkotaan jelas akan memunculkan adanya
berbagai komunitas yang berasal dari kelompok masyarakat yang berbeda. Perbedaan yang tidak
dikelola dengan baik akan meemberikan masa kritis, dalam bentuk berbagai perbedaan pendapat
(konflik). Karena itu diperlukan sebuah areal baru untuk pertemuan-petrtemuan diantara mereka
untuk mendapatkan satu hal yang baru. Salah satu misalnya adalah menghasilkan sebuah
kebudayaan baru, kebiasaan baru yang merupakan hasil sintesa dari dua komunitas tersebut.
Ahli budaya memerlukan diskusi dengan ahli sosial (sosiolog) untuk menemukan cara-cara
menyelesaikan persoalan berbagai komunitas dengan ciri yang berbeda tersebut.
Berbagai ahli lain diperlukan dalam membuat perencanaan dalam memperluas wilayah
kota. Pertemuan berbagai ahli itu berguna agar kota yang baru dibangun tersebut benar-benar
mempunyai maanfaat dan mampu menghindari kepadatan di kota induk atau kota inti sehingga
ketertiban masyarakat bisa terjamin.

Perluasan Kota di Bali
Sejak dekade delapanpuluhan, sudah mulai kelihatan pengembangan kota-kota di Bali,
terutama bagian selatan. Fenomena ini tidak bisa dilepaskan dari begitu pesatnya perkembangan
industri pariwisata di Bali. Pengembangan terlihat di kota Denpasar, Gianyar dan Tabanan.
Tiga wilayah inilah paling kelihatan perkembangannya. Bukan berarti kota-kota lain tidak
berkembang. Pusat perdagangan dan pariwisata yang memusat di Denpasar, Tabanan dan

Gianyar

membuat perkembangan

tiga kota ini sangat pesar. Denpasar kemudian berubah

menjadi pemerintahan kota (kotamadya)

dan Badung ”terpisah” menjadi kabupaten.

Perkembangan ini seolah menjadi logis karena pertumbuhan penduduk di kota Denpasar sangat
padat. Malah dalam lima tahun terakhir ini, sudah mulai terlihat adanya massa apung. Menurut
Evers, massa apung adalah pekerja musiman yang secara geografis mampu bergerak lintas
batas, dengan pekerjaan tidak tetap, tidak mempunyai pemukiman tetap dengan pendidikan yang
rendah (Evers, 1995: 75).
Dilihat dari perluasannya, hanya Nusa Dua yang bisa dikatakan sebagai perluasan kota
satelit. Ini disebabkan karena sarana hiburan dan tempat tinggal bermunculan di tempat ini
setelah proyek pengembangan pariwisata di Bali mulai dikonsepkan pada dekade
delapanpuluhan. Akan tetapi, sebagian pusat hiburan masih tetap belum mampu dipenuhi oleh
kota ini. Masih banyak masyarakat yang datang ke Denpasar untuk mencari hiburan.
Fenomena yang terjadi di Bali, lebih banyak pada perluasan kota. Inilah yang justru
bahaya. Tabanan misalnya, ciri-ciri keramaiannya meluas ke segala arah dengan berbagai
perumahan yang ada. Kota Denpasar seolah menyambung dengan Tabanan karena wilayahwilayah desa yang ada di sebelah timur dan barat, telah mendapat pengaruh kota. Pertokoan dan
pemukiman semakin padat.Titik bahayanya terlihat pada semakin jauhnya tata pola hidup
masyarakat desa tergerus oleh budaya kota. Budaya konsumtif masyarakat di desa sebagian besar
dipengaruhi oleh banyaknya pusat perdagangan kecil yang ada di daerah yang sebelumnya
bernuasa desa.
Hal lain yang tidak nyambung dalam konteks perkembangan kota ini adalah tidak adanya
angkutan yang menghubungkan antara kota dan desa yang sedang berkembang itu. Di Denpasar
tidak ada kereta komuter, sarana mikrolet yang langsung ke desa juga tidak ada. Bus-bus
pegawai dan bus sekolah tidak mampu beroperasi sampai ke desa. Fenomena ini membuat
masalah besar dalam bidang transformasi, yaitu kemacetan dijalan karena semua anggota
masyarakat mempunyai aalt transformasi pribadi.
Kasus

yang terjadi di Desa Pakraman Penyalin, Kecamatan Kerambitan misalnyaa

memberikan catatan betapa penguni asli daerah itu tidak mampu berbuat banyak
mengantisipasi munculnya perluasan pemukiman.

dalam

Desa Pakraman ini memang bukan kota

satelit, akan tetapi keasrian dari wilayah tersebut sudah sangat tidak bisa dipertahankan lagi
karena serbuan investor dari wilayah lain.

Desa pakraman ini pada awalnya hanya teridiri dari dua kelompok keluarga yang hingga
sekarang telah mendiami wilayah itu sebanyak tujuh generasi. Sampai dekade pertengahan
delapanpuluhan, wilayah ini masih mampu mempertahankan diri dari serbuan perumahan.
Sawah-sawah masih bisa ditanami dan pinggiran jalan raya masih dihiasi dengan berbagai
pohon-pohonan. Akan tetapi, begitu masuk dekade sembilan puluhan, perubahan semakin nyata
terjadi. Investor berdatangan karena lokasi Desa Pakraman Penyalin sangat strategis apabila
dilihat dari faktor-faktor ekonomi. Wialayah itu merupakan desa yang dibelah oleh jalan raya
Denpasar-Gilimanuk, jalan raya poros yang menghubungkan lalu lintas Jawa-Bali. Penyalin juga
menjadi pintu masuk bagi sebagian besar desa-desa di Kecamatan Kerambitan dan pintu masuk
bagi Kecamatan Penebel. Potensi ini dilirik oleh para investor.
Karena kota Tabanan yang jaraknya hanya 2,5 kilometer sudah mulai sesak dengan
berbagai bangunan, maka Desa Pakraman Penyalin, setelah enclav Pesiapan, menjadi pilihan.
Penduduk Penyalin tidak bisa berbuat banyak karena sebagian besar pemilik lahan di desa ini
adalah orang-orang dari desa sekitar yang kebetulan dari sisi penghasilan ekonomi, boleh
dikatakan kurang. Pertanian sebagai mata pencaharian pokok dari masyarakat sekitar ini tidak
berkembang, membuat tanah kepemilikannya di Desa Pakraman Penyalin dijual. Inilah yang
mendorong munculnya berbagai perumahan baru di desa tersebut, dimana bangunan-bangunan
ini menghancurkan tata ruangan dan keasrian yang sebelumnya pernah ada di Penyalin.
Perencanaan sama sekali tidak ada karena kepentingan utama yang dipakai pertaimbangan
adalah ekonomi dan kebutuhan hidup keluarga.
Ini menjadi contoh bagaimana tidak adanya perencanaan membuat tata wilayah menjadi
kacau dan kesesakan hidup justru menjalar ke wilayah Penyalin. Keributan sering terjadi dan
kenyamanan wilayah menjadi jauh berkurang.
Hal

yang sama juga terjadi di Pesiapan, wilayah yang masih berada dalam Desa

Pakraman Dauhpale. Wilayah ini berjarak sekitar 2 kilometer dari kota Tabanan. Pada dekade
tujuhpuluhan wilayah ini masih lapang, dikitari dengan persawahan yang luas. Akan tetapi,
dibukanya terminal di wilayah

ini mendorong tumbuhnya pemukiman baru. Pertamina

membuka lahan untuk tempat tinggal, termasuk penginapan. Akan tetapi, dua dasawarsa terakhir
perkembangan kota Tabanan semakin pesat. Karena kepadatannya meningkat, perkembangan ke
arah barat tidak terhindarkan. Pesiapan adalah wilayah yang paling dekat dengan kota Tabanan
sebelum Desa Pakraman Penyalin.

Penutup
Perluasan wilayah kota di Indonesia telah menjadi trend dalam satu dasawarsa terakhir.
Ini disebabkan karena bertambahnya penduduk kota secara cepat. Dengan demikian, dilihat dari
sudut ini perkembangan meluasnya kota merupakan peristiwa yang logis karena sebagai
konsekuensi dari kepadatan penduduk itu. Perluasan kota harus dilakukan dengan perencanan
matang yang melibatkan berbagai pihak, terutama rakyat yang ada di wilayah tersebut. Perluasan
wilayah kota ini seyogyanya memberikan perlindungan dan keakraban dengan penduduk wilayah
sekitar dan mampu mempertahankan lingkungan, guna menghindari konflik sosial. Perluasan
kota-kota di Bali mempunyai pengaruh terhadap konflik, terutama perbatasan antara satu desa
dengan desa lain.
Pada masa sekarang, pertimbangan-pertimbangan tentang akulturasi antara beberapa
budaya, harus mendapatkan prioritas. Ini untuk mengnatisipasi konflik akibat perbedaan budaya.
Realitas sosial di Indonesia adalah bahwa keindonesiaan itu dibentuk oleh perbedaan suku
(budaya). Karena itu diperlukan adanya nilai baru yang merupakan campuran dari beberapa
budaya itu. Kota merupakan pusat interaksi berbagai suku yang ada. Maka setiap pembentukan
kota baru harus mempunyai media untuk mempertemukan ini.
Di Bali, gejala yang paling nampak adalah ”merembesnya” kota ke wilayah
perkampungan sekitar. Akan tetapi kelemahannya, tidak ada angkutan memadai yang mampu
menjadi jembatan antara kota dengan desa. Inilah yang membuat kemacetan itu meluber dari
kota sampai ke desa-desa sekitar ketika jam-jam sibuk karena kendaraan pribadi keluar secara
berbarengan.
Logisnya perluasan kota sebagai akibat dari cepatnya pertambahan penduduk urban,
menjadi tidak rasional karena tidak adanya pertimbangan-pertimbangan yang memadai dalam
pembentukan kota baru atau dampak dari perluasan kota. Penduduk ”asli” kurang maksimal
diajak berdialog sehingga menimbulkan berbagai masalah sosial. Ke depan, hal-hal inilah yang
harus lebih dilihat untuk mengantisipasi perkembangan munculnya kota baru (satelit).

Saran-saran
1). Di setiap kota di Bali, baik kota inti maupun kota ”baru” (satelit) harus dilengkapi
dengan prasarana yang memungkinkan bertemuanya berbagai komunitas. Tujuannya untuk

menghasilkan semacam budaya baru milik bersama. Ini disebabkan karena sebagai daerah tujuan
pariwisata, Bali dibanjiri oleh berbegai suku yang ada di Indonesia.
2). Pembentukan kota baru di Bali, seperti Nusa Dua, Dalung dan sebagainya harus
memberikan perhatian kepada penduduk-penduduk asli (yang terlebih dahulu berada), agar tidak
merasa terasingkan. Sebagai sebuah korporasi, para pengembang bertangung jawab untuk
memelihara perhatian terhadap penduduk asli ini.
3). Karena wilayah Bali tidak terlalu luas, maka perkembangan terhadap kota satelit ini
harus dikontrol agar jumlah penduduk pulau Bali bisa dikontrol dengan baik. Kegagalan
mengontrol jumlah penduduk mengakibatkan kejahatan meningkat, konflik sosial merebak.

*****
Daftar Pustaka
Evers, Hans-Dieter, 1995, ”Produksi Subsistensi dan ’Massa Apung’ Jakarta”, dalam
Kemiskinan di Perkotaan, Suparlan, Pasurdi (Peny.), Jakarta, Yayasan Obor
Indonesia.
Firman, Tommy, 1997, ”Seratus juta Penduduk Perkotaan di Indonesia: Urbanisasi dan
Perkembangan Kota dalam Dekade Mendatang”, dalam Mencari Paradigma
Baru Pembangunan Indonesia , Jakarta, CSIS.
Mountjoy, Alan B., 1983, Industrialisasi dan Negara-Negara Dunia Ketiga, Jakarta, Bina
Aksana.
Ritzer, George, Goodman, Douglas J., 1997: Teori Sosiologi Modern, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group.
Hidayat, Tirta, 1996, ”Model Perencanaan Pembangunan Nasional Masa Depan”, dalam
Prisma , Edisi Khusus, 1971-1996.
Wiradisuria, Rachmat, 1992, ”Pemukiman dan Lingkungan Hidup”, dalam Sejumlah
Masalah Pemukiman Kota , Budihardjo, Eko, Bandung, Penerbit Alumni.
Catatan: Semua ulasan tentang wilayah Nusa Dua, Jimbaran, Tabanan, Penyalin, Dauh Pale
merupakan pengamatan langsung dari penulis antara tahun 2009-2011.