REKONSTRUKSI PENGATURAN CONFIDENTIAL PRINCIPLE BAGI KOMUNIKASI PADA MEDIASI SENGKETA PERDATA DI INDONESIA STUDI PERBANDINGAN DENGAN PRAKTEK DI AMERIKA SERIKAT.

Kode/Bidang Ilmu: 569/Hukum

LAPORAN KEMAJUAN
HIBAH PENELITIAN DOSEN MUDA

REKONSTRUKSI PENGATURAN CONFIDENTIAL PRINCIPLE BAGI
KOMUNIKASI PADA MEDIASI SENGKETA PERDATA DI INDONESIA: STUDI
PERBANDINGAN DENGAN PRAKTEK DI AMERIKA SERIKAT

TIM PENELITI
Ketua:
I

GUSTI

NGURAH

PARIKESIT

WIDIATEDJA,


SH.,M.Hum.,LLM.

(0021038108)
Anggota:
1. I MADE DEDY PRIYANTO,S.H.,MKn. (0011048401)
2. ANAK AGUNG SRI UTARI,S.H.,MH (0017027702)
3. I GUSTI AGUNG AYU DIKE WIDHIYAASTUTI,S.H.,M.H
4. COK. ISTRI DIAH WIDYANTARI PRADNYA DEWI,S.H.,M.H

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS UDAYANA

AGUSTUS 2015
1

2

DAFTAR ISI


HALAMAN SAMPUL
HALAMAN PENGESAHAN
DAFTAR ISI
RINGKASAN
JUDUL PENELITIAN
BAB I. PENDAHULUAN
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
BAB III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
BAB IV. METODE PENELITIAN
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
BAB VI. RENCANA TAHAPAN SELANJUTNYA
BAB VII. KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA

3

RINGKASAN
Mediasi telah semakin popular digunakan sebagai alternatif penyelesaian sengketa di
Indonesia. Kendatipun demikian, efektivitasnya dalam menyelesaikan perkara perdata belum
berjalan maksimal. Salah satu titik pangkal ketidakefektifan adalah ketidakjelasan ataupun

kekaburan pengaturan mengenai prinsip kerahasiaan (confidential principle) bagi komunikasi
yang terjadi selama proses mediasi berlangsung. Aturan hukum saat ini hanya menjelaskan
bahwa mediasi dilangsungkan berdasarkan pada asas tertutup dan mediator berkewajiban
menjaga kerahasiaan, baik dalam bentuk perkataan maupun catatan, yang terungkap dalam
proses mediasi. Dengan kata lain, masih terdapat ketidakjelasan dalam perumusan
confidential principle khususnya dalam mengkualifikasi komunikasi yang terjadi pada proses
mediasi sebagai confidential.
Di Amerika Serikat, mediasi telah menjadi alternatif penyelesaian sengketa perdata
yang efektif. Salah satu faktor keberhasilan pelaksanaan mediasi adalah pengaturan
confidential principle yang tegas dan terperinci bagi setiap komunikasi yang terjadi selama
proses mediasi. The Uniform Mediation Act (“UMA”) di Amerika Serikat pada prinsipnya
mengatur bahwa segala bentuk komunikasi yang terjadi dan berhubungan dengan
pelaksanaan mediasi adalah tunduk pada confidential principle. Dengan demikian, proses
komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa (privilege) dengan tidak dapat menjadi
barang bukti dan seluruh pihak yang terlibat dalam pelaksanaan mediasi tidak dapat dijadikan
saksi pada persidangan berikutnya.
Dengan menggunakan metode penelitian normatif dengan pendekatan peraturan
(statue approach), pendekatan perbandingan, dan pendekatan konseptual, penelitian ini
bertujuan untuk menganalisis pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang
terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia. Selanjutnya, dengan melihat dan

membandingkan praktek pemberian confidential principle di Amerika Serikat, penelitian ini
juga berupaya merekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang
terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.

4

JUDUL PENELITIAN
REKONSTRUKSI

PENGATURAN

CONFIDENTIAL

PRINCIPLE

BAGI

KOMUNIKASI PADA MEDIASI SENGKETA PERDATA DI INDONESIA: STUDI
PERBANDINGAN DENGAN PRAKTEK DI AMERIKA SERIKAT
I.

1.1

PENDAHULUAN
Latar Belakang
Mediasi telah mendapatkan tempat tersendiri sebagai bagian dari alternatif

penyelesaian sengketa permasalahan perdata di Indonesia baik ditinjau dari perspektif
sosiologis, filosofis, dan yuridis. Secara sosiologis, mediasi merupakan jawaban atas
ketidakpuasan masyarakat Indonesia atas proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan
yang sangat panjang dan membutuhkan biaya besar.1 Realitas ini tentu melihat sejumlah
aturan formal prosedural yang harus dijalankan. Tidak hanya itu, proses upaya hukum yang
berjenjang, dan putusan yang terkadang tidak dapat tereksekusi dengan tepat, manambah
derita masyarakat pencari keadilan.2
Secara filosofis, proses penyelesaian sengketa melalui pengadilan menghasilkan suatu
putusan yang bersifat win lose solution. Pendikotomian pihak menang-kalah, salah-benar, dan
puas-tidak puas dapat menimbulkan permasalahan baru bagi para pihak. Sementara itu,
mediasi bertujuan menghasilkan kesepakatan win-win solution yang dapat diterima para
pihak dengan bantuan mediator sebagai pihak ketiga yang netral3 yang tidak memiliki
kewenangan dalam mengambil putusan terhadap sengketa yang terjadi.4 Mediasi merupakan
proses yang forward looking dan bukan backward looking. Lovenheim menyebutkan:”The

goal is not truth finding or law imposing, but problem solving.”5

Secara yuridis, eksistensi mediasi telah diakui dalam sejumlah peraturan nasional.
Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian sengketa menyebutkan mediasi sebagai

proses

kelanjutan dari gagalnya

negosiasi yang dilakukan oleh para pihak.6 Sementara itu, dalam Peraturan Mahkamah
Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan menyebutkan bahwa

1

2

3
4


5
6

Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:PT. Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2003), hlm. 4
Anggreany Arief, Mediasi Sebagai Alternative Penyelesaian Perkara Perdata, Al-Risalah ,Vol. 12 No. 2
Nopember (2012), hlm.305
Rachmadi Usman, op.cit.,hlm, 2-3.
Muslih MZ. Mediasi: Suatu Pengantar Teori dan Praktek, (Semarang: Walisongo Mediation Centre,
2007)hlm 45.
Peter Lovenheim, How to Mediate Your Dispute , (Berkeley:Nolo-Press,1996),hlm.46
Pasal 6 Ayat 3 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
sengketa.

5

seluruh sengketa perdata yang berada di pengadilan pertama, wajib menggunakan mediasi
terlebih dahulu. Apabila para pihak tidak menempuh proses mediasi, mengakibatkan putusan
batal demi hukum.7 Di samping itu, disebutkan pula bahwa PERMA ini selain dipergunakan
dalam lingkungan peradilan umum dapat juga diterapkan untuk lingkungan badan peradilan

lainnya.8 Terintegrasinya mediasi dalam proses acara pengadilan adalah untuk memfasilitasi
dan membantu para pihak bersengketa demi terwujudnya peradilan yang sederhana, cepat
dan biaya ringan melalui perundingan menuju perdamaian yang disepakati oleh kedua belah
pihak.9
Kendatipun menunjukkan eksistensi yang semakin kuat di masyarakat, efektivitas
mediasi dalam menyelesaikan perkara perdata belum berjalan maksimal. Data Mahkamah
Agung mengungkapkan bahwa dari banyaknya perkara yang mencoba mediasi sebagai
alternatif penyelesaian sengketa, hanya empat persen yang berujung pada perjanjian
perdamaian.10 Indikasi lainnya dapat dilihat dalam kasus perceraian yang terjadi di
Pengadilan Agama Karangayar Jawa Tengah. Pada tahun 2011,

Jumlah perkara yang

dimediasi adalah 429, namun hanya 3 yang berakhir melalui perjanjian perdamaian.11
Jika ditelusuri lebih jauh, salah satu titik pangkal ketidakefektifan proses mediasi
adalah ketidakjelasan ataupun kekaburan pengaturan mengenai prinsip kerahasiaan
(confidential principle) bagi komunikasi yang terjadi selama proses mediasi berlangsung.

PERMA No. 1 Tahun 2008 hanya menjelaskan bahwa mediasi dilangsungkan berdasarkan
pada asas tertutup kecuali para pihak menyatakan lain.12 Dalam Pedoman Perilaku Mediator

yang dikeluarkan Mahkamah Agung, mediator berkewajiban menjaga

kerahasiaan, baik

dalam bentuk perkataan maupun catatan, yang terungkap dalam proses mediasi.13
Dengan kata lain, masih terdapat ketidakjelasan dalam perumusan confidential
principle. Pada prinsipnya belum terdapat pengaturan mengenai sejauh mana setiap

komunikasi yang terjadi pada proses mediasi dikategorikan sebagai confidential? Kemudian
apabila terdapat suatu komunikasi yang tidak berkaitan dengan sengketa perdata yang
7

Pasal 2 Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
Ibid, Pasal 16
9
I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi dalam Sistem Peradilan Perdata Indonesia Dalam Rangka
Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan Biaya Tingan. (Jakarta:Prestasi Pustaka,
2012), hlm.112.
10
Kesuksesan

Mediasi
di
Indonesia
Masih
Rendah
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52394a64d6cd3/kesuksesan-mediasi-di-indonesia-masih-rendah
Rabu, 18 September 2013, diakses pada 24 Januari 2015.
11
Artha
Suhangga,
dkk.
FAktor-faktor
Penghambat
Keberhasilan
Mediasi
Perceraian,
http://jurnal.hukum.uns.ac.id/index.php/parental/article/viewFile/427/400 diakses pada 19 Januari 2015.
12
Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan
13

Pasal 4 Pedoman Perilaku Mediator Mahkamah Agung Republik Indonesia
8

6

sedang dimediasi, apakah confidential principle tetap diberlakukan? Lalu apakah confidential
principle hanya diberlakukan kepada mediator dan tidak berlaku bagi para pihak, baik

penggugat ataupun tergugat?
Di Amerika Serikat, mediasi telah menjadi alternatif penyelesaian sengketa perdata
yang efektif.14 Sebagai contoh dari tahun 2005 hingga 2008 di Negara Bagian Georgia,
terdapat 523 proses mediasi yang berujung pada perjanjian perdamaian dari total 763
sengketa perdata yang ditangani.15 Salah satu factor keberhasilan pelaksanaan mediasi adalah
pengaturan confidential principle yang tegas dan terperinci bagi setiap komunikasi yang
terjadi selama proses mediasi.16
The Uniform Mediation Act (“UMA”) yang menjadi dasar hukum pelaksanaan

mediasi di Amerika Serikat pada prinsipnya mengatur bahwa segala bentuk komunikasi yang
terjadi dan berhubungan dengan pelaksanaan mediasi adalah tunduk pada confidential
principle.

17

Dengan demikian, proses komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa

(privilege) dengan tidak dapat menjadi barang bukti dan seluruh pihak yang terlibat dalam

pelaksanaan mediasi tidak dapat dijadikan saksi pada persidangan berikutnya serta tidak
dapat dikenakan tindakan hukum atas komunikasi yang mereka lakukan selama proses
mediasi terjadi.18
Mengenai jenis dan jangkauan komunikasi yang mendapatkan perlindungan
confidential principle, secara lebih jelas UMA menyebutkan “mediation communications
cover a statement, whether oral or in a record or verbal or nonverbal, that occurs during
mediation or is made for purposes of considering, conducting, participating in, initiating,
continuing, or reconvening a mediation or retaining a mediator.”19

Pengaturan confidential principle yang jelas, tegas, dan detail bagi setiap proses
komunikasi dalam mediasi tentu akan meningkatkan peluang terjadinya perdamaian.20
Dengan confidential principle, para pihak dapat menolak untuk memberikan informasi
mengenai segala komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi. Disamping itu, para pihak
juga tidak dapat dijadikan sebagai saksi terkait komunikasi yang mereka sampaikan selama
Alan Kirtley, the Mediation Privilege’s Transition from Theory to Implementation: Designing a Mediation
Privilege Standard to Protect Mediation Participants, the Process and the Public Interest , Journal of
Dispute Resolution No. 1994 (1995), hlm.1
15
Naman L. J. Wood, Can Judges Increase Mediation Settlement Rates? of “Coase” They Can, Ohio State
Journal on Dispute Resolution Vol. 26 (2011), hlm.688
16
Lawrence R. Freedman & Michael L. Prigoff, Confidentiality in Mediation: The Need for Protection, Ohio
State Journal on Dispute Resolution Vol.2 (1986), hlm.38
17
Uniform Mediaction Act § 7.07.010 (1).
18
Ibid § 7.07.030 (1).
19
Ibid § 7.07.010 (2).
20
John W. Strong ed. McCORMICK ON EVIDENCE, (St.Paul:Thomson/West,1999) § 298
14

7

proses mediasi.21 Dengan demikian, keistimewaan ini tentu akan membuat proses
berkomunikasi semakin efektif. Para pihak dapat menyampaikan informasi dan keterangan
sejujur-jujurnya tanpa perasaan cemas dan khawatir bahwa mereka akan dimintakan
pertanggungjawaban secara hukum.22 Proses ini tentu membantu keberadaan mediator
terutama apabila terdapat isu-isu sensitive selama proses komunikasi dalam mediasi
berlangsung.23
Berdasarkan sejumlah pemaparan di atas, maka penelitian ini mengambil judul
“Rekonstruksi Pengaturan Confidential

Principle

Bagi Komunikasi Pada Mediasi

Sengketa Perdata di Indonesia: Studi Perbandingan Dengan Praktek di Amerika
Serikat.” Pada langkah pertama, penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis
sejumlah peraturan nasional yang mengatur tentang confidential principle khususnya dalam
hal komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata. Selanjutnya, penelitian ini
berupaya merekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi
pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia setelah melakukan perbandingan dengan
praktek yang terdapat di Amerika Serikat.
1.2 Permasalahan
Dalam penelitian ini, terdapat dua permasalahan pokok yaitu:
1. Bagaimanakah Pengaturan Confidential Principle Bagi Komunikasi Yang Terjadi
Pada Proses Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia
2. Bagaimanakah rekonstruksi pengaturan Confidential

Principle

Bagi Komunikasi

Yang Terjadi Pada Proses Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia dengan merujuk
pada praktek di Amerika Serikat?

II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Mediasi dan Keutamaan Confidential Principle
Dalam mendefiniskan proses mediasi, terdapat beberapa pendapat yang berupaya
menjelaskan proses yang sesungguhnya bersifat informal ini. Mediasi dapat diartikan sebagai
suatu proses negosiasi dalam memecahkan masalah dengan melibatkan kehadiran pihak

21
22

23

Mark B. Simons, Simons California Evidence Manual, (Westgroup,2013 ) § 6:36
Jay M. Zitter, J.D.Construction and Application of State Mediation Privilege , American Law Review 6th
Vol. 32 (2008), hlm.285
Ellen E. Deason ,P r edicta ble Media tion Confidentia lity in the U.S. F eder a l System, Ohio State
Journal On Dispute Resolution, Vol. 17 No.239 (2002), hlm 244

8

ketiga yang tidak memihak dan netral.24 Pihak ketiga ini kemudian disebut sebagai
“mediator”. Mediator bukanlah pengambil keputusan (decision maker) melainkan hanya
berfungsi untuk membantu para pihak dalam menemukan solusi demi tercapainya
perdamaian diantara para pihak yang bersengketa. Karena itu, integritas, pengalaman, dan
kompetensi mediator sangat menentukan keberhasilan mengefektifkan proses mediasi.
Secara etimologi, istilah mediasi berasal dari bahasa Latin, mediare atau berada di
tengah. Tentu ini melihat peran mediator yang harus menengahi dan menyelesaikan sengketa
antara para pihak. Selain itu, „Berada di tengah‟ juga memiliki arti bahwa mediator haruslah
netral dan tidak memihak dalam menyelesaikan sengketa. Mediator harus menjalankan
prinsip persamaan, non-diskriminasi, dan keadilan dalam menjaga kepentingan para pihak
sehingga menumbuhkan kepercayaan (trust) dari para pihak yang bersengketa.25
John W. Head mengartikan mediasi sebagai prosedur penengahan di mana seseorang
berperan layaknya “kendaraan” untuk berkomunikasi antar para pihak, sehingga perbedaan
pandangan dapat dipahami hingga terjadi perdamaian. Kendatipun demikian, tanggung
jawab utama tercapainya perdamaian tetap berada di tangan para pihak sendiri.26 Di sejumlah
praktek mediasi, mediator bahkan berbicara secara rahasia dengan masing-masing pihak
untuk menggali lebih dalam informasi-informasi yang dapat meningkatkan peluang
terjadinya perdamaian.27
Dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan menyebutkan mediasi sebagai cara Penyelesaian sengketa melalui proses
perundingan untuk memperoleh kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator.
Terkait prinsip-prinsip dasar dalam proses mediasi yang harus dipahami secara utuh
oleh mediator, 28 Ruth Carlton menyebutkan lima prinsip dasar mediasi yang dikenal dengan
lima dasar filsafat mediasi. Kelima prinsip tersebut meliputi; prinsip kerahasiaan
(confidentiality), prinsip sukarela (volunteer) prinsip pemberdayaan (empowerment), prinsip

netralitas (neutrality), dan prinsip solusi yang unik (a unique solution).29
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa confidential principle merupakan prinsip
pertama yang harus dijalankan dalam proses mediasi. Prinsip ini dapat diartikan bahwa
24

Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum Nasional,
(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009), hlm. 2.
25
Ibid, hlm. 2.
26
Jonh W. Head, Pengantar Umum Hukum Ekonomi , (Jakarta:ELIPS, 1997), hlm 42.
27
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama, 2006), hlm. 120.
28
John Michael Hoynes, Cretchen L. Haynes dan Larry Sun Fang, Mediation: Positive Conflict Management,
(New York: SUNY Press, 2004), hm. 16. Sebagaimana dikutif oleh Syahrizal, Abbas...Op.Cit. hlm 28.
29
Ibid.

9

proses mediasi adalah proses yang bersifat tertutup bagi umum kecuali para pihak
menginginkannya berbeda. Dengan demikian, hanya para pihak atau kuasa hukumnya dan
mediator saja yang boleh menghadiri sesi-sesi mediasi, sedangkan pihak lain tidak boleh
menghadiri sesi mediasi kecuali atas izin para pihak.
2.2 Teori Perlindungan Hukum Dalam Menganalisis Tujuan Rekonstruksi Pengaturan
Confidential Principle Bagi Komunikasi Pada Mediasi
Perlindungan hukum menurut Hadjon meliputi dua macam perlindungan hukum bagi
rakyat meliputi:30
1. Perlindungan Hukum Preventif : dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk
mengajukan keberatan atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah
mendapat bentuk yang definitif
2. Perlindungan Hukum Represif; dimana lebih ditujukan dalam penyelesian
sengketa.
Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia adalah prinsip pengakuan dan
perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan
prinsip Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila. Adapun elemen dan ciri-ciri Negara
Hukum Pancasila ialah:31
1. Keserasian hubungan antara pemerintah dengan rakyat berdasarkan asas
kerukunan.
2. Hubungan fungsional yang proporsional antara kekuasaan-kekuasaan negara
3. Prinsip penyelesian sengketa secara musyawarah dan peradilan merupakan sarana
terakhir.
4. Keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Berdasarkan elemen-elemen tersebut, perlindungan hukum bagi rakyat terhadap
pemerintah diarahkan kepada:32
1. Usaha-usaha untuk mencegah terjadinya sengketa atau sedapat mungkin
mengurangi terjadinya sengketa, dalam hubungan ini sarana perlindungan hukum
preventif patut diutamakan daripada sarana perlindungan represif.

30

M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, (Surabaya:Bina Ilmu, Surabaya, 1988)
hlm.1
31
Ibid, hlm.90
32
Ibid

10

2. Usaha-usaha untuk menyelesaikan sengketa antara pemerintah dan rakyat dengan
cara musyawarah.
3. Penyelesaian sengketa melalui peradilan merupakan jalan terakhir, peradilan
hendaklah merupakan ultimum remedium dan peradilan bukan forum konfrontasi
sehingga peradilan harus mencerminkan suasana damai dan tentram terutama
melalui hubungan acaranya.
Terkait dengan adanya rekonstruksi pengaturan confidential principle bagi
komunikasi yang terjadi pada mediasi adalah untuk memberikan perlindungan hokum yang
lebih jelas dan tegas bagi para pihak yang terlibat dalam proses mediasi. Secara preventif,
rekonstruksi pengaturan bertujuan untuk mengantisipasi dan mencegah timbulnya sengketasengketa baru diantara para pihak yang sedang mengusahakan perdamaian dalam proses
mediasi.

Sementara itu secara represif, dengan ketegasan dan kejelasan definisi, ruang

lingkup, dan hubungan diantara para pihak yang terlibat dalam mediasi, akan memudahkan
proses penyelesaian sengketa diantara para pihak terlebih apabila proses mediasi gagal
menyelesaikan sengketa perdata diantara mereka.
III. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
3.1 Tujuan
Pada langkah pertama, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan
menganalisis pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses
mediasi sengketa perdata di Indonesia. Kedua, penelitian ini bertujuan merumuskan
rekonstruksi pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses
mediasi sengketa perdata di Indonesia dengan merujuk pada praktek di Amerika Serikat.
3.2 Manfaat
Terdapat beberapa manfaat yang dapat diberikan dalam penelitian ini. Bagi
masyarakat, penelitian ini akan memberikan pengetahuan dan informasi yang berharga terkait
pengaturan Confidential

Principle

bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi

sengketa perdata di Indonesia Selain itu, mereka pun akan dapat membandingkan
bagaimanakah Confidential

Principle diatur dalam Pemerintah Federal Amerika Serikat.

Bagi pemerintah, penelitian ini akan bermanfaat dalam membantu pemerintah dalam
merumuskan rekonstruksi pengaturan Confidential Principle bagi komunikasi yang terjadi
pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia dengan merujuk pada praktek di Amerika
Serikat.

11

IV. METODE PENELITIAN
4.1. Jenis Penelitian dan Metode Pendekatan
Secara umum penelitian yang diambil disini adalah penelitian hukum normatif
(normative legal research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji peraturan-

perundang-undangan yang berlaku atau diterapkan terhadap suatu permasalahan hukum
tertentu. Soerjono Soekanto mengidentikkan penelitian hukum normatif tersebut sebagai
penelitian hukum kepustakaan, yang mencakup penelitian terhadap asas- asas hukum,
sistematik hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi vertikal dan horizontal, perbandingan
hukum, serta sejarah hukum.33 Sementara itu,

Peter Mahmud Marzuki merumuskan

penelitian hukum sebagai suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip
hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.34
Penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis tata hukum positif untuk
memahami ius constitutum yang dalam konteks ini adalah konstruksi pengaturan confidential
principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.
Tidak hanya itu, penelitian ini juga merupakan penelitian dalam asas-asas hukum untuk
menemukan ius constituendum yang dalam penelitian ini akan merekomendasikan adanya
rekonstruksi pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses
mediasi sengketa perdata di Indonesia setelah membandingkannya dengan praktek yang
terjadi di Amerika Serikat.
Terkait dengan metode pendekatan, Peter Mahmud Marzuki menguraikan
pendekatan-pendekatan yang digunakan di dalam penelitian hukum meliputi:35
a. Pendekatan undang-undang (statute approach) dilakukan dengan menelaah semua
undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang
ditangani.
b. Pendekatan kasus dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus
yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah menjadi putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan yang tetap.
c. Pendekatan historis dilakukan dengan menelaah latar belakang apa yang dipelajari
dan perkembangan pengaturan mengenai isu yang dihadapi.

33

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2007), hlm.12.
34
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, (Jakarta : Kencana, 2008). hlm. 29
35
Ibid, hlm.93.

12

d. Pendekatan komparatif pendekatan ini dilakukan dengan membandingkan undangundang suatu negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain
mengenai hal yang sama.
e. Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
yang berkembang di dalam ilmu hukum.
Penelitian ini akan menggunakan beberapa metode pendekatan. Pertama pendekatan
undang-undang dimana penelitian ini akan mengidentifikasi dan menganalisis pengaturan
confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di

Indonesia. Proses ini melibatkan beberapa instrumen hukum nasional yang tertuang dalam
beberapa Undang-undang dan Peraturan Mahkamah Agung.
Selanjutnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan kasus mengingat penelitian
ini akan menggunakan beberapa yurisprudensi dari Mahkamah Agung Amerika Serikat yang
telah memiliki kekuatan hukum mengikat, khususnya dalam memaparkan definisi, ruang
lingkup, pelepasan, dan pengecualian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi
pada proses mediasi sengketa perdata.
Kemudian, penelitian ini menggunakan pendekatan komparatif karena dalam
memformulasikan pengaturan confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada
proses mediasi sengketa perdata di Indonesia, mengacu kepada pengaturan confidential
principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Amerika
Serikat. Amerika Serikat dipilih sebagai obyek perbandingan mengingat negara tersebut
merupakan tempat kelahiran dari proses mediasi di seluruh dunia. Selain itu, terdapat
beberapa yurisprudensi pengadilan Amerika Serikat yang telah berkekuatan hukum tetap
yang mengatur secara tegas dan detail terkait

pemberian confidential principle bagi

komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata.
Pada akhirnya, penelitian ini juga menggunakan pendekatan konseptual karena
menganalisis konsep-konsep dan doktrin-doktrin tentang perlindungan hukum sebagai dasar
tujuan pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi
sengketa perdata di Indonesia.
4.2. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Data yang diperoleh dan diolah dalam penelitian hukum normatif adalah jenis data
sekunder yang dalam penelitian ini dijadikan bahan utama.36 Data ini diperoleh dari sumber
kepustakaan. Macam data hukum dalam penelitian ini antara lain:

36

Soejono dan H. Abdurahman, op.cit., h.57

13

a. Bahan Hukum Primer: yaitu bahan hukum yang mengikat dan terdiri dari norma
atau kaedah dasar, peraturan dasar, peraturan-peraturan perundang-undangan
yang mengatur tentang confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada
proses mediasi sengketa perdata meliputi:
1. The Uniform Mediation Act
2. Revised Code of Washington
3. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of
Enumclaw v. Cornhusker.

4. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Prof'l
Recreation Org., Inc. v. Nat'l U.
5. Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam kasus Western &
Clay, LLC v. Landmark Am. Ins.Co.
6. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Penyelesaian sengketa.

Arbitrase dan Alternatif

7. Peraturan Mahkamah Agung Nomor. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi
di Pengadilan
8. Pedoman Perilaku Mediator Mahkamah Agung Republik Indonesia
b. Bahan

hukum

sekunder:

yaitu

bahan-bahan

hukum yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang ada sehingga dapat dilakukan
analisis dan pemahaman yang lebih mendalam, yang terdiri atas: 37
1. Penjelasan dari konvensi internasional dan peraturan perundang-undangan
yang digunakan sebagai bahan hukum primer;
2. Buku-buku literatur atau bacaan yang menjelaskan tentang confidential
principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata.

3. Hasil-hasil penelitian khususnya terkait confidential principle bagi komunikasi
yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata
4. Pendapat ahli yang berkompeten dengan penelitian penulis;
5. Artikel atau tulisan dari para ahli;
6. Sarana elektronika (westlaw, bloomberg law dan lexisnexis) yang sangat
membantu proses pencarian bahan hukum primer dan sekunder.

37

S. Soekanto dan Sri Mamudji, op.cit., hlm.23

14

c. Bahan hukum

tersier:

bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan

tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder yang terdapat dalam
penelitian yaitu: 38
1. Kamus Bahasa Indonesia
2. Kamus Hukum
3. Kamus Ilmiah Populer

4.3. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum yang dilakukan adalah dengan cara menggali
kerangka normatif menggunakan buku-buku yang membahas tentang confidential principle
bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.
a. Bahan Hukum Primer didapat dengan cara:
Mempelajari ketentuan-ketentuan hukum terkait pengaturan confidential principle
bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata
b. Bahan Hukum Sekunder didapat dengan cara:
1. Mengutip penjelasan dari peraturan perundang-undangan yang berkaitan
2. Menelusuri pendapat para ahli hukum dan para ahli yang berkompeten dalam
penelitian penulis yang ada di buku-buku pustaka.
3. Melakukan akses di internet atau tulisan artikel yang berkaitan.
4.4. Metode Analisis Bahan Hukum
Berbagai informasi dan bahan yang diperoleh

kemudian akan dianalisis dengan

menggunakan metode analisis isi (content analysis).39 Metode ini menguraikan materi
peristiwa hukum atau produk hukum secara rinci guna memudahkan interpretasi dalam
pembahasan. Terdapat dua content analysis method, yaitu:40
1. Tinjauan Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan
mengungkapkan segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan
menitiberatkan pada penggunaan data sekunder yakni produk hukum.
2. Analisis Yuridis, yaitu suatu bentuk analisis dari berbagai aspek dan
mengungkapkan segi positif dan negatif suatu produk hukum dengan

38

Ibid, hlm.56
Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era Hukum No.6
Tahun 2002.hlm. 27
40
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1 (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2004),
hlm. 52

39

15

menitiberatkan pada penggunaan data primer yang bersumber dari para intelektual
dan lapisan masyarakat bawah serta data sekunder.
Penelitian ini lebih menitikberatkan pada tinjauan yuridis dengan mengungkapkan sisi
negatif dalam suatu peraturan seperti potensi kekaburan norma dan konflik norma dalam
pemberian confidential principle bagi komunikasi yang terjadi pada proses mediasi sengketa
perdata di Indonesia. Di samping itu, penelitian ini juga menggunakan teori-teori tentang
perlindungan hukum dalam melihat tujuan pemberian confidential principle bagi komunikasi
yang terjadi pada proses mediasi sengketa perdata di Indonesia.
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Pengaturan Confidential Principle dalam Mediasi Sengketa Perdata di Indonesia
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa merupakan instrument hukum pertama yang secara tersirat mengakui keberadaan
mediasi sebagai alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Undang-undang ini
berupaya mendorong pihak-pihak yang bersengketa agar menunjukkan itikad baik, karena
tanpa itikad baik apa pun yang diputuskan di luar pengadilan tidak akan dapat dilaksanakan.
Undang-undang ini menyebutkan alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga
penyelesaian sengketa atau perbedaan pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak,
yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi
atau penilaian ahli. Secara implisit pengertian mediasi ini tertuang dalam Pasal 6 ayat (3)
yang menyebutkan bahwa atas kesepakatan tertulis para pihak, sengketa atau beda pendapat
diselesaikan melalui bantuan seorang atau lebih penasehat ahli maupun melalui seorang atau
lebih mediator.41
Dalam Peraturan Mahkamah Agung RI No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi
Disebutkan bahwa Mediasi merupakan instrumen efektif untuk mengatasi penumpukan
perkara di pengadilan, dan sekaligus memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam
menyelesaikan sengketa, di samping proses pengadilan yang bersifat memutus (adjudikatif).
Ketentuan ini mewajibkan para hakim mengikuti prosedur penyelesaian sengketa melalui
mediasi. Apabila hakim tidak menerapkan prosedur mediasi, maka putusan hakim tersebut
batal demi hukum.42
Ruang lingkup sengketa yang dapat dimediasi adalah semua sengketa perdata yang
diajukan ke pengadilan tingkat pertama, kecuali perkara yang diselesaikan melalui prosedur
pengadilan niaga, pengadilan hubungan industrial, keberatan atas putusan Badan
41
42

Pasal 6 Ayat 3Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa
Pasal 2 ayat (3) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan.

16

Penyelesaian Sengketa Konsumen dan keberatan atas putusan Komisi Pengawas Persaingan
Usaha.43
Idealnya, mediasi di lingkungan pengadilan harus dilakukan oleh mediator yang
berasal dari luar pengadilan. Akan tetapi, dengan jumlah mediator yang terbatas dan tidak
semua pengadilan tingkat pertama mempunyai mediator, maka hakim diperkenankan untuk
menjadi mediator. Persyaratannya, hakim yang berperan sebagai mediator bukanlah hakim
yang sedang menangani perkara yang akan dimediasikan, tetapi hakim-hakim lainnya di
pengadilan tersebut. Sedangkan mediator nonhakim dapat berpraktik di pengadilan bila
memiliki

sertifikat

mediator

yang

diperoleh

setelah

mengikuti

diselenggarakan oleh lembaga yang mendapat akreditasi Mahkamah Agung.

pelatihan

yang

44

Dari sisi jangka waktu, mediasi dapat berlangsung selama 40 (empat puluh hari)
sejak mediator dipilih oleh para pihak atau ditunjuk oleh ketua majelis hakim. Atas dasar
kesepakatan para pihak, masa proses mediasi dapat diperpanjang selama 14 (empat belas)
hari sejak berakhirnya masa 40 (empat puluh hari) tadi. Selama proses mediasi berlangsung ,
mediator menjalankan perannya untuk menyiapkan jadwal pertemuan mediasi, mendorong
para pihak secara langsung untuk ikut serta dalam proses mediasi dan bila dianggap perlu
dapat melakukan kaukus.45
Mediator berkewajiban menyatakan proses mediasi menemui kegagalan atau
mencapai kesepakatan kepada ketua majelis hakim. Mediasi dinyatakan gagal jika salah satu
pihak atau para pihak atau kuasa hukumnya telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi yang telah disepakati atau telah dua kali berturut-turut tidak menghadiri
pertemuan mediasi tanpa alasan setelah dipanggil secara patut.46
Jika para pihak mencapai kesepakatan perdamaian, mediator wajib merumuskan
secara tertulis kesepakatan yang dicapai dan ditandatangani oleh para pihak serta mediator.
Bila para pihak tidak mencapai kesepakatan dengan masa 40 (empat puluh hari) sejak para
pihak memilih mediator, maka mediator wajib menyampaikan secara tertulis bahwa proses
mediasi telah gagal dan memberitahukan kegagalan mediasi kepada hakim. Setelah menerima
pemberitahuan tersebut, maka hakim dapat melanjutkan pemeriksaan perkara sesuai dengan
ketentuan hukum acara yang berlaku.47

43

Ibid, Pasal 4
Ibid, Pasal 5
45
Ibid, Pasal 13
46
Ibid, Pasal 14
47
Ibid, Pasal 17

44

17

Terkait dengan confidential principle, PERMA ini hanya menyebutkan bahwa proses
mediasi pada asasnya tertutup kecuali para pihak menghendaki lain”.48 Selanjutnya, catatancatatan mediator wajib dimusnahkan setelah proses mediasi berakhir.49 Tidak kalah
pentingnya bahwa mediator tidak boleh diminta menjadi saksi dalam proses persidangan
perkara yang bersangkutan”.50 Dalam Pedoman Perilaku Mediator yang dikeluarkan oleh
Mahkamah Agung disebutkan bahwa mediator wajib menjaga kerahasiaan informasi, baik
dalam bentuk perkataan dan pengakuan yang terungkap dalam proses mediasi;51
5.2 Pengaturan Confidential Principle bagi Komunikasi yang terjadi Pada Mediasi di
Amerika Serikat
5.2.1 Definisi dan Ruang Lingkup Komunikasi yang Terkualifikasi dalam Confidential
Principle
The UMA mendefinisikan mediasi sebagai proses dimana mediator sebagai pihak ketiga
memfasilitasi komunikasi dan negosiasi diantara para pihak untuk membantu mereka dalam
meraih perdamaian secara sukarela.52

Terkait dengan ruang lingkup komunikasi dalam

mediasi, the UMA menjelaskan bahwa:
“Mediation communications cover a statement, whether oral or in a record or verbal or
nonverbal, that occurs during mediation or is made for purposes of considering, conducting,
participating in, initiating, continuing, or reconvening a mediation or retaining a

mediator.”53
Selanjutnya, the UMA menjelaskan bahwa proses komunikasi yang terjadi dalam mediasi
terkualifikasi sebagai confidential sehingga mendapatkan hak istimewa (privilege). Dengan
demikian, isi komunikasi tersebut tidak dapat diajukan sebagai bukti dalam persidangan
berikutnya kecuali para pihak melepaskan hak istimewa tersebut atau komunikasi tersebut
masuk dalam kategori yang bisa dikecualikan (exceptions).54 Melalui hak keistimewaan ini,
para pihak yang terlibat dalam proses mediasi meliputi: penggugat, tergugat, mediator, dan
pihak-pihak yang ikut terlibat didalamnya dapat menolak untuk membuka dan dapat

48

Ibid,Pasal 6
Ibid, Pasal 19 (1)
50
Ibid, Pasal 19 (3)
51
Pasal 4 Pedoman Perilaku Mediator
52
Revised Code of Washington . (ARCW) § 7.07.010 (1).
53
Ibid § 7.07.010 (2).
54
Ibid. § 7.07.030 (1).
49

18

mencegah pihak manapun yang ingin membuka isi komunikasi yang terjadi dalam proses
mediasi tersebut sebagai bagian dari confidential principle.55
The UMA juga menjelaskan ruang lingkup dari apa yang dimaksud sebagai proses
mediasi. Selengkapnya the UMA menyebutkan:
“Mediation proceeding defines as a judicial, administrative, arbitral, or other
adjudicative process, including related prehearing and posthearing motions, conferences and

discovery; or a legislative hearing as well as similar process.”56
Dengan demikian, setiap komunikasi yang terjadi ataupun bahan-bahan yang diajukan,
atau berhubungan dengan ruang lingkup proses mediasi baik yang diajukan para pihak
(ataupun yang mewakili) ke mediator ataupun sebaliknya, mendapatkan hak istimewa dan
tidak dapat diungkapkan isinya alias confidential dalam setiap proses persidangan.57

5.2.2. Pelepasan dan Pengecualian dari Confidential Principle bagi Komunikasi pada
Proses Mediasi

The UMA menyatakan bahwa hak istimewa dapat dilepaskan apabila seluruh pihak yang
terlibat dalam proses mediasi dengan pernyataan tegas (expressly) melepaskan hak istimewa
tersebut.58 Selanjutnya, seseorang yang secara sengaja melakukan tindakan kriminal dalam
proses mediasi tidak mendapatkan hak istimewa.59 Artinya, apabila komunikasi yang terjadi
dalam proses mediasi mengandung unsur-unsur tindakan criminal, maka komunikasi tersebut
dapat menjadi bukti untuk menghukum pelaku yang melakukan atau mencoba melakukan
tindakan criminal dalam proses mediasi karena komunikasi tersebut tidak lagi terkualifikasi
dalam confidential principle.
Terkait dengan pengecualian-pengecualian dari hak istimewa, the UMA mengatur hal-hal
yang dapat terkualifikasi dalam pengecualian meliputi: adanya perjanjian diantara para pihak,
ketentuan hukum mengharuskan hak istimewa itu dicabut, adanya ancaman baik yang bersifat
fisik dan psikis terhadap pihak yang terlibat dalam mediasi, terkait dengan proses
penyelidikan dan penyidikan terhadap kesalahan professional dari mediator, dan terkait
55

Ibid. § 7.07.030 (2).
Ibid. § 7.07.010 (7).
57
Scott Horenstein, Washington Practice Family and Community Property Law Vol. 22 (2013 ed.). §5.60.070
58
Revised. Code of Washington, op.cit., § 7.07.040 (1).
59
Ibid. § 7.07.040 (3).

56

19

pembuktian terhadap penelantaran anak.60 Tidak hanya itu, the UMA juga menyatakan bahwa
hakim dapat menyatakan proses komunikasi tidak terkualifikasi sebagai confidential apabila
kepentingan untuk membuka isi komunikasi
merahasiakan komunikasi tersebut.

jauh lebih besar dari kepentingan untuk

61

5.2.3 Yurisprudensi Pengadilan Amerika Serikat terkait Pemberian Confidential
Principle bagi Proses Komunikasi dalam Mediasi

Pada prinsipnya, proses komunikasi yang terjadi dalam mediasi mendapatkan hak
istimewa sebagai komunikasi yang confidential jika komunikasi tersebut berlangsung dalam
proses mediasi, atau berhubungan dan/atau mendukung proses mediasi tersebut. Kendatipun
demikian, hakim-hakim di pengadilan di Amerika Serikat terkadang menolak memberikan
hak istimewa karena komunikasi tersebut tidak berlangsung pada saat mediasi ataupun tidak
memiliki hubungan atau relevansi dengan proses mediasi.62
Di 2008, Pengadilan Negara Bagian Washington menolak memberikan hak istimewa
bagi komunikasi yang terjadi dalam mediasi karena isi dari komunikasi tersebut bukanlah isu
hukum yang dibicarakan dalam sengketa perdata para pihak dan berada di luar ruang lingkup
komunikasi dalam mediasi.63 Akan tetapi, di 2009, pengadilan memberikan hak istimewa
bagi komunikasi yang terjadi saat berlangsungnya mediasi terlebih lagi karena para pihak
sama sekali tidak melepaskan hak istimewa tersebut.64 Menariknya, dalam kasus yang terjadi
di 2010, pengadilan secara parsial memberikan hak istimewa bagi komunikasi. Pengadilan
melindungi pernyataan para pihak dan juga komunikasi antara penggugat dan kuasa hukum
tetapi tidak memberikan hak istimewa bagi komunikasi yang terkait isi perjanjian perdamaian
dalam mediasi.65
Dalam kasus Mut. of Enumclaw v. Cornhusker Cas. Ins. Co Pengadilan Federal
Washington menolak hak istimewa untuk melindungi komunikasi yang terjadi dalam proses
mediasi mengenai bukti dugaan itikad buruk perusahaan asuransi selama proses mediasi. Hal
ini karena pengadilan tidak melindungi komunikasi selain yang benar-benar berhubungan

60

Ibid § 7.07.050 (1).
Ibid. § 7.07.050 (2).
62
Ibid § 7.07.010 (2).
63
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of Enumclaw v. Cornhusker
(E.D.Wash. Sept. 16, 2008). (Selanjutnya disebut”Enumclaw”)
64
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam KasusProf'l Recreation Org., Inc. v. Nat'l U
(W.D.Wash. Sept. 4, 2009). (selanjutnya disebut “Pro Sport”)
65
Western & Clay, LLC v. Landmark Am. Ins. Co., (W.D. Wash.,May.10, 2010). (Selanjutnya disebut
“Western and Clay”)

61

20

dengan isu utama dalam sengketa yang dalam konteks ini adalah masalah ganti rugi atas
cedera penggugat.66
Dalam hal ini, Enumclaw, sebagai penggugat, mengajukan gugatan kepada Cornhusker
yang dianggap melanggar kontrak untuk mengganti kerugian Clarks (klien Enumclaw)
dengan tidak menggunakan itikad baik dan transaksi yang adil untuk Clarks.
tergugat, Cornhusker meminta hakim

67

Sebagai

untuk melindungi komunikasi yang terjadi pada

mediasi sehingga pengadilan tidak perlu mengungkapkan isi komunikasi tersebut dalam
tahapan persidangan perdata yang dijalani.68 Hal ini karena komunikasi pada mediasi adalah
isu dominan dalam sengketa ini termasuk bukti dugaan itikad buruk perilaku perusahaan
asuransi. Akibatnya, komunikasi tersebut mendapatkan hak istimewa sebagai komunikasi
yang confidential yang tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti.
Dalam persidangan, Hakim tidak puas dengan pernyataan dari tergugat. Hal ini karena
the UMA tidak melindungi komunikasi selain komunikasi yang terkait dengan isu hukum
utama dalam sengketa yang mendasari. Hakim menyatakan bahwa isu utama sengketa yang
harus diselesaikan dalam mediasi hanya masalah ganti rugi atas cedera penggugat dan bukan
masalah asuransi.

69

Selain itu, mediasi

tidak dimaksudkan untuk menyelesaikan

permasalahan asuransi. 70 Akibatnya, penggugat tidak boleh dilarang untuk mengungkapkan
isi komunikasi dalam mediasi yang terkait dengan isu perlindungan ansuransi.71 Dari
pendapat hakim ini, ia mungkin akan melindungi komunikasi mediasi jika komunikasi
asuransi adalah isu utama yang harus diselesaikan.
Dalam kasus selanjutnya, Pengadilan Washington memberikan hak istimewa untuk
melindungi komunikasi yang terjadi pada saat mediasi sebagai komunikasi yang confidential.
Hal ini karena komunikasi yang memuat dasar klaim penggugat yang ditutupi oleh tergugat
benar-benar terjadi pada saat mediasi dan menjadi isu utama dari sengketa tersebut. Di
samping itu, dan tidak ada pelepasan hak istimewa yang tegas yang dilakukan oleh para
pihak.72

66

Enumclaw, loc.cit
Ibid.
68
Ibid.
69
Ibid.
70
Ibid.
71
Ibid.
72
Pro Sport, loc.cit
67

21

Dalam hal ini, penggugat, PRO Sport dan Mark Dedomenico, menggugat National
Union

karena menolak melakukan pembayaran asuransi kebakaran kepada mereka.

73

Tergugat menegaskan bahwa penggugat harus mengungkapkan isi komunikasi dalam mediasi
untuk menjelaskan dasar gugatan.74 Sebaliknya, penggugat berpendapat bahwa komunikasi
yang terjadi mendapatkan hak istimewa menurut hukum Washington dan tidak tunduk pada
tahapan persidangan berikutnya.75 Meskipun hakim setuju dengan tergugat bahwa penggugat
dapat selalu dipaksa untuk mengungkapkan komunikasi yang terjadi pada mediasi untuk
menjelaskan dasar gugatan mereka, hakim menyatakan bahwa tergugat tidak melepaskan hak
istimewanya. Karenanya, pengadilan tidak dapat menolak hak istimewa dari Pro Sport. 76
Dalam keputusan terbaru, Pengadilan

Washington setuju

untuk memberikan hak

istimewa sebagai confidential bagi komunikasi yang terjadi pada mediasi dalam sengketa
asuransi proyek konstruksi kondominium di Seattle. Di satu sisi, pengadilan setuju bahwa
proses korespondensi antara penggugat dan penasehat hukumnya merupakan komunikasi
yang confidential. Hal ini karena proses korespondensi yang dilakukan dipersiapkan dalam
rangka proses mediasi. Di sisi lain, pengadilan tidak memberikan hak istimewa sebagai
informasi yang confidential bagi perjanjian perdamaian karena penggugat tidak menjadi
subyek dari perjanjian tersebut. 77
Dalam kasus ini, proses litigasi terdahulu antara kelompok penggugat (Western & Clay,
LLC.) telah diselesaikan melalui mediasi. Selanjutnya, dalam proses litigasi ini, pihak-pihak

yang terlibat melakukan proses pertukaran dokumen.78 Melalui pertukaran ini, Landmark
American Insurance

sebagai tergugat, menemukan secara tidak sengaja dokumen yang

berhubungan dengan mediasi sebelumnya.79 Oleh karena itu, tergugat

meminta

pengungkapan isi komunikasi dalam mediasi tersebut yang meliputi: (1) pernyataan mediasi
yang disiapkan oleh penggugat; (2) surat dari pengacara salah satu penggugat tentang jadwal
mediasi sebelumnya; dan (3) perjanjian perdamaian yang ditandatangani oleh semua
penggugat.80 Tergugat berpendapat bahwa semua isi komunikasi ini tidak confidential karena
tidak berkaitan dengan proses mediasi saat ini.81
73

Ibid.
Ibid.
75
Ibid.
76
Ibid.
77
Western & Clay, loc.cit.
78
Ibid.
79
Ibid.
80
Ibid.
81
Ibid.
74

22

Meskipun hakim menyatakan bahwa isi perjanjian perdamaian sebagai isi komunikasi
yang tidak confidential, hakim menolak untuk mengklasifikasikan pernyataan mediasi dan
komunikasi antara penggugat dan penasehat hukum sebagai komunikasi yang confidential.
Hal ini karena hakim beralasan bahwa dokumen-dokumen tersebut dipersiapkan dalam
rangka

mediasi. Mengenai komunikasi diantara penggugat dan penasehat hukum, hakim

memutuskan bahwa proses korespondensi yang melibatkan penggugat dan penasehat
hukumnya adalah suatu bentuk komunikasi yang dilakukan dan berhubungan dengan proses
mediasi. Dengan demikian, komunikasi ini terkualifikasi sebagai komunikasi yang
confidential.82

Dari tiga kasus yang telah diputuskan, pengadilan di negara bagian Washington akan
mengkualifikasikan proses komunikasi yang terjadi dalam proses mediasi sebagai komnikasi
yang confidential apabila komunikasi tersebut termasuk dalam ruang lingkup definisi mediasi
dan komunikasi mediasi. Tidak kalah pentingnya, hakim secara teliti akan memeriksa apakah
terdapat suatu pelepasan hak istimewa bagi komunikasi atau komunikasi yang dilakukan
termasuk dalam komunikasi yang dapat dikecualikan sebagai komunikasi yang confidential.
5.3 Rekonstruksi pengaturan Confidential

Principle Pada Proses Mediasi Sengketa

Perdata di Indonesia

DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
Abdulkadir Muhammad, Hukum dan Penelitian Hukum, Cet.1.,Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 2004.
Gatot Soemartono, Arbitrase dan Mediasi di Indonesia, (Jakarta:Gramedia Pustaka Utama,
2006)

82

Ibid.

23

I Made Sukadana, Mediasi Peradilan: Mediasi dalam Sistem Peradilan Perdata
Indonesia Dalam Rangka Mewujudkan Proses Peradilan yang Sederhana, Cepat dan
Biaya Tingan. (Jakarta:Prestasi Pustaka, 2012)
Lovenheim, Peter. How to Mediate Your Dispute, (Berkeley:Nolo-Press,1996)
Munir Fuady, Dinamika Teori Hukum, Bogor: Ghalia Indonesia, 2010.
M. Philippus Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia, Surabaya:Bina Ilmu,
Surabaya, 1988.
Muslih MZ. Mediasi: Suatu Pengantar Teori dan Praktek, (Semarang: Walisongo
Mediation Centre, 2007)
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cet.2, Jakarta : Kencana, 2008
Rahmadi Usman, Pilihan Penyelesaian Sengketa di Luar Pengadilan (Bandung:PT. Citra
Aditya Bakti, Bandung, 2003)
Simons,MARK B, Simons California Evidence Manual, (Westgroup,2013 )
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan
Singkat, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007.
S. Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,
Jakarta :Raja Grafindo Persada,2003.
Syahrizal Abbas, Mediasi dalam Persfektif Hukum Syariah, Hukum Adat, dan Hukum
Nasional, (Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2009)
W. Strong, John. ed. McCORMICK ON EVIDENCE, (St.Paul:Thomson/West,1999)
W. Head, John, Pengantar Umum Hukum Ekonomi , (Jakarta:ELIPS, 1997)
Jurnal-jurnal
Anggreany Arief, Mediasi Sebagai Alternative Penyelesaian Perkara Perdata, Al-Risalah,
Vol. 12 No. 2 Nopember (2012)
Deason , Ellen E.P r edicta ble Media tion Confidentia lity in the U.S. F eder a l System,
Ohio State Journal On Dispute Resolution, Vol. 17 No.239 (2002)
Friedman Lawrence R. & Michael L. Prigoff, Confidentiality in Mediation: The Need for
Protection, Ohio State Journal on Dispute Resolution Vol.2 (1986),
Horenstein,Scott Washington Practice Family and Community Property Law (2013 ed.).
Kirtley, Alan, the Mediation Privilege’s Transition from Theory to Implementation:
Designing a Mediation Privilege Standard to Protect Mediation Participants, the Process
and the Public Interest, Journal of Dispute Resolution No. 1994 (1995)
24

Naman L. J. Wood, Can Judges Increase Mediation Settlement Rates? of “Coase” They Can,
Ohio State Journal on Dispute Resolution Vol. 26 (2011)
Valerina JL Kriekhoff, Analisis Kontent Dalam Penelitian Hukum : Suatu Telaah Awal, Era
Hukum No.6 Tahun 2002.hlm. 27
Zitter, J.D., Jay,M.Construction and Application of State Mediation Privilege, American
Law Review 6th Vol. 32 (2008)
Peraturan hukum dan Yurisprudensi Pengadilan Amerika Serikat
The Uniform Mediation Act
Revised Code of Washington
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam Kasus Mutual of Enumclaw v.
Cornhusker (E.D.Wash. Sept. 16, 2008). (Selanjutnya disebut”Enumclaw”)
Yurisprudensi Pengadilan Negara Bagian Washington dalam KasusProf'l Recreation Org.,
Inc.