BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL 2.1 Perbedaan antara asylum sekkers, internally displaced persons, dan - PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK BERSENJATA MENURUT HUKUM PEN

BAB II PERLINDUNGAN TERHADAP PENGUNGSI AKIBAT KONFLIK YANG TERJADI DI SURIAH MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

2.1 Perbedaan antara asylum sekkers, internally displaced persons, dan refugees.

  Terdapat beberapa perbedaan di dalam memberikan definisi mengenai

  asylum seekers, internally displaced persons, dan refugees. Di dalam menjelaskan

  definisi ketiga kelompok tersebut harus berdasarkan pada konvensi atau perjanjian internasional. Hal ini penting karena cara penanganan antara asylum seekers,

  internally displaced persons dan refugees sangat berbeda. Oleh karena itu penulis

  akan menjelaskan karakteristik dari asylum seekers, internally displaced persons dan refugees tersebut.

2.1.1 Asylum Seekers

  Di dalam hukum internasional tidak terdapat ketentuan khusus yang mengatur mengenai pengertian yang dapat dijadikan pedoman umum dalam menjabarkan pengertian pencari suaka, oleh karena itu terdapat perbedaan pandangan mengenai pencari suaka.

  Menurut Sumaryo Suryokusumo, “Suaka (asylum) diartikan sebagai perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada pengungsi politik atau

  14 aktivis politik yang berasal dari negara lain dan negara itu mengizinkan untuk

  34 masuk ke wilayahnya atas permintaannya.

  ” Menurut Iris Teichmann,

  “Asylum literally means safe haven. After World War II, asylum became a legal immigration status in developed countries. This status is given to people who have fled their home and country because of

  35 persecution.”

  Di dalam bukunya, J.G Starke menyebutkan bahwa terdapat 2 elemen yang dapat diuraikan untuk memberikan konsep asylum di dalam hukum internasional,

  36

  yaitu:

  a. Suaka sebagai diberikannya tempat perlindungan (shelter), yang fungsinya lebih dari tempat pengungsian yang bersifat sementara b. Suaka sebagai suatu tingkat perlindungan aktif dari pihak penguasa wilayah tempat suaka

  37 Lebih lanjut, J.G Starke membedakan suaka menjadi 2 macam, yakni suaka

  teritorial dan suaka ektra-teritorial. Suaka teritorial adalah sebuah perlindungan wilayah yang diberikan oleh suatu negara di wilayah kedaulatan teritorial negara tersebut. Di dalam suaka teritorial, negara pemberi suaka mempunyai kekuasaan 34 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik dan Konsuler: Jilid I, Tatanusa, Jakarta, h. 187. 35 36 Iris Teichmann, Immigration & Asylum, Watts, London, 2002, p. 8.

  J.G.Starke, Pengantar Hukum Internasional 2: Edisi Kesepuluh, Cet. VII, (terjemahan Bambang Iriana Djajaatmadja), Sinar Grafika, Jakarta, 2008, h. 475. 37 Ibid. penuh dalam menerapkan kedaulatan negaranya sebagai implikasi atas pemberian suaka yang terdapat di dalam yuridksi negaranya. Suaka ekstra-teritorial adalah perlindungan yang diberikan oleh suatu negara di luar yuridiksi wilayah negaranya. Suaka ekstra-teritorial biasanya diberikan suatu negara dalam bentuk pembebasan yuridiksi hukum dari negara teritorial terhadap gedung-gedung konsuler, tempat-tempat yang berkaitan dengan urusan kedutaan, tempat bermarkas suatu organisasi internasional, kapal-kapal perang dan kapal yang

  38

  membawa bantuan kemanusiaan. Menurut J.G Starke, pemberian suaka ekstra- teritorial merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum internasional:

  pemberian suaka demikian (ekstra-teritorial) bahkan lebih tampak dilarang oleh

  hukum internasional jika akibat-akibatnya dapat membebaskan pelarian dari

  39

  penerapan aturan hukum dan administrasi peradilan oleh negara teritorial .”

  Beberapa pengertian mengenai suaka yang diberikan oleh beberapa ahli hukum diatas, setidaknya dapat dijadikan suatu parameter untuk

  40

  mengelompokkan beberapa karakteristik dari pencari suaka, yaitu:

  1. Mengajukan permohonan suaka kepada pihak-pihak atau negara lain

  38 39 JG Starke, Op. Cit., h. 479.

  Di dalam bukunya J.G. Starke menyebutkan 3 hal luar biasa yang dapat dijadikan alasan diberikannya suaka di gedung perwakilan asing, yaitu: (i)Suaka dapat diberikan, untuk jangka waktu sementara, kepada orang perseorangan yang memang secara fisik dalam bahaya karena adanya kekerasan masal atau dalam hal seorang buronan yang dalam bahaya karena melakukan kegiatan politik terhadap negara setempat; (ii)Suaka juga dapat diberikan dimana di negara itu terdapat kebiasaan yang sudah lama diakui dan mengikat; (iii)Suaka dapat diberikan juga jika terdapat perjanjian khusus antara negara dimana penerima suaka berasal dan negara dimana terdapat perwakilannya. 40 JG Starke, Loc. Cit.

  2. Seseorang atau sekelompok orang yang mencari tempat perlindungan yang aman karena dilatarbelakangi oleh ketakutan terhadap adanya persekusi.

  Pencari suaka mencari perlindungan atau tempat aman di luar teritorial kedaulatan wilayah negara asal pencari suaka dengan cara mengajukan permohonan suaka yang ditujukan kepada pihak atau negara lain. Dengan kata lain, pengajuan permohonan dari pencari suaka yang ditujukan kepada pihak atau negara lain tersebut memberi pengertian bahwa negara asal dari pencari suaka tidak mau atau tidak mampu memberikan perlindungan terhadap pencari suaka, sehingga pencari suaka tidak memilih untuk mencari perlindungan di negara asalnya dan lebih memilih mencari perlindungan ke pihak atau negara lain. Penyebab utama pencari suaka untuk mencari suaka adalah karena terdapat hal-hal dan alasan ketakutan yang kuat terhadap adanya suatu bentuk persekusi, sehingga alasan ketakutan tersebut dapat dijadikan pertimbangan bagi negara pemberi suaka dalam pemberian suaka. Menurut Sulaiman Hamid, terdapat alasan-alasan yang dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan pemberian perlindungan oleh negara kepada pemohon suaka, yakni

  “alasan perikemanusiaan, agama, diskriminasi ras,

  41

  politik, dan sebagainya. Alasan-alasan tersebut merupakan alasan yang telah ” diatur di dalam beberapa konvesi dan deklarasi di dalam hukum internasional.

  Dalam hukum internasional, terdapat ketentuan mengenai hak bagi setiap orang untuk mencari dan mendapatkan suaka, yang diatur di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mengatur 41 Sulaiman Hamid, Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 2002, h. 46. bahwa merupakan hak dasar setiap orang untuk meninggalkan dan kembali ke negara asalnya. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menjamin hak setiap orang untuk mencari dan jika diberikan, untuk menikmati perlindungan dari

  42

  negara lain atas alasan ketakutan akan terjadinya persekusi. Pengaturan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut mempunyai arti bahwa tidak ada satu pihak manapun yang dapat mencegah hak setiap orang untuk meninggalkan negara asalnya sendiri dan mencari suaka perlindungan di negara lain. Hak untuk mencari suaka merupakan hak dasar bagi setiap orang dan dijamin oleh hukum internasional. Pengaturan di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia tersebut adalah deklarasi yang diakui secara internasional dan berlaku secara universal.

  Ketentuan di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia hanya mengatur hak bagi setiap orang untuk mencari suaka dan menikmatinya. Merupakan hak dari negara penerima suaka untuk menentukan diterima atau tidak diterimanya permohonan

  43

  suaka tersebut. Menurut Iman Prihandono: pemberian suaka merupakan kewenangan yang mutlak dari dari sebuah negara, maka Negara pemberi suaka (state-granting asylum) mempunyai kewenangan mutlak pula untuk mengevaluasi atau menilai sendiri alasan- alasan yang dijadikan dasar pemberian suaka, tanpa harus membuka atau menyampaikan alasan tersebut kepada pihak manapun, termasuk kepada negara asal (origin state) dari pencari suaka. Sehingga di dalam pemberian suaka, negara lain tidak dapat mengintervensi 42 43 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia Pasal 13 dan Pasal 14.

  Iman Prihandono, Jurnal Hukum Yuridika: Pemberian Suaka oleh Negara: Kasus Pemberian Suaka oleh Pemerintah Australia kepada 42 WNI Asal Papua , Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Vol. 21 No. 1 Januari 2006. negara penerima suaka di dalam menentukan pemberian suaka tersebut. Pada keadaan tertentu, pemberian suaka dari negara pemberi suaka dinilai merupakan tindakan intervensi terhadap kedaulatan negara lain sehingga dapat merusak hubungan antar negara, tetapi tindakan pemberian suaka tersebut harus dianggap tindakan yang bersahabat. Pada dasarnya tindakan pemberian suaka bukan merupakan tindakan yang dapat diklasifikasikan sebagai tindakan yang melanggar norma-norma bernegara, sebagaimana yang telah diatur di dalam Declaration on

  Territorial Asylum tahun 1967, yakni Recognizing that the grant of asylum by a

  State to persons entitled to invoke article 14 of the Universal Declaration of Human Rights is a peaceful and humanitarian act and that, as such, it cannot be

  44 rega Ketentuan tersebut mengatur bahwa rded as unfriendly by any other State.”

  tindakan pemberian suaka oleh negara penerima suaka harus dianggap sebagai tindakan yang berlandaskan atas rasa kemanusiaan dan perwujudan nilai-nilai hak asasi manusia. Keputusan dari suatu negara terkait pemberian suaka harus dihormati oleh negara lain termasuk negara asal pencari suaka, karena selain merupakan kedaulatan negara di dalam memberikan suaka, juga dianggap merupakan perwujudan sikap menjunjung tinggi tujuan dan prinsip di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa karena pemberian suaka menimbulkan tanggungjawab kepada negara pemberi suaka untuk menjamin bahwa penerima suaka tidak melakukan tindakan atau kejahatan yang bertentangan dengan tujuan dan prinsip yang terkandung di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, sebagaimana di atur di dalam Declaration on Territorial Asylum: 44

  “States granting Declaration on Territorial Asylum.

  asylum shall not permit persons who have received asylum to engage in activities

  45 contrary to the purposes and principles of the United Nations. Ketentuan di

  dalam Declaration on Territorial Asylum, menjamin hak bagi setiap orang untuk mencari suaka dan menikmatinya. Setiap orang yang meninggalkan negaranya dengan maksud untuk mencari suaka ke negara lain, jika negara tersebut memberikan suaka perlindungan kepadanya, maka pencari suaka tersebut mendapatkan hak untuk menikmati pemberian suaka tersebut.

  Negara yang di yuridiksi wilayahnya terdapat pencari suaka tidak boleh menolak atau mengembalikan pencari suaka ke negara asalnya. Di dalam Pasal 3

46 Declaration on Territorial Asylum disebutkan bahwa tidak seorang yang dapat

  diusir, dikembalikan ke negara asal atau ditolak keberadaannya ketika telah memasuki wilayah dimana seseorang tersebut mencari suaka atau perlindungan.

  Selain karena alasan keamanan wilayah suatu negara, ketentuan di atas mewajibkan bagi setiap negara untuk menerima pencari suaka, dan sebaliknya negara penerima suaka tidak boleh mengembalikan pencari suaka ke wilayah yang berpotensi menjadikan pencari suaka sebagai objek tindakan kekerasan dan penyiksaan setiap orang yang mencari suaka ke negaranya. Dengan adanya

  Declaration on Territorial Asylum yang telah menyetujui suatu resolusi mengenai 45 46 Article 4 Declaration on Territorial Asylum Article 3 Declaration on Territorial Asylum: (i) No person referred to in article 1, paragraph 1, shall be subjected to measures such as rejection at the frontier or, if he has already entered the territory in which he seeks asylum, expulsion or compulsory return to any State where he may be subjected to persecution, (ii)Exception may be made to the foregoing principle only for overriding reasons of national security or in order to safeguard the population, as in the case of a mass influx of persons, (iii)Should a State decide in any case that exception to the principle stated in paragraph 1 of this article would be justified, it shall consider the possibility of granting to the person concerned, under such conditions as it may deem appropriate, an opportunity, whether by way of provisional asylum or otherwise, of going to another State. pengaturan pemberian suaka, menurut Sumaryo Suryokusumo dalam praktiknya

  47

  negara-negara haruslah mempertimbangkan hal-hal berikut: i. Jika seseorang meminta suaka, permintaan seharusnya tidak ditolak atau jika ia memasuki wilayah negara itu, ia tidak perlu diusir tetapi jika suatu kelompok orang-orang dalam jumlah besar meminta suaka, hal itu dapat ditolak atas dasar keamanan nasional dari rakyatnya. ii. Jika suatu negara merasa sukar untuk memberikan suaka, haruslah memperhatikan langkah-langkah yang layak demi rasa persatuan internasional melalui perantara dari negara-negara tertentu atau Perserikatan Bangsa Bangsa. iii. Jika suatu negara memberikan suaka kepada kaum pelarian atau buronan, negara-negara lainnya haruslah menghormatinya.

2.1.2 Internally Displaced Persons

  48 Menurut Walter Kälin dan Jorg Künzli, internally displaced persons

  adalah sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan tempat tinggal atau tempat mereka biasanya melakukan aktifitas ke tempat aman yang masih berada di dalam wilayah negara mereka. Secara yuridis pengaturan penanganan internally

  displaced persons harus mengikuti ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam

  hukum nasional negara dari internally displaced persons tersebut dan negara yang

  49

  bertanggungjawab atasnya , dengan kata lain internally displaced persons berada di bawah kedaulatan negara. Walaupun penanganan internally displaced persons mengikuti hukum nasional suatu negara, Perserikatan Bangsa Bangsa 47 48 Sumaryo Suryokusumo, Op. Cit., h.193.

  Walter Kälin dan Jorg Künzli, The Law of International Human Right Protection, Oxford University Press, 2009, h. 487. 49 Di dalam bukunya, Wagiman menganggap bahwa pen yebutan istilah‟ tanggung jawab negara‟ di dalam hukum internasional cakupannya sangat luas. Prinsipnya dalam perkembangan hukum internasional dewasa ini, tanggung jawab timbul tidak hanya dikarenakan terdapatnya kerugian material. Terlanggarnya hak asasi manusia dapat menimbulkan tanggung jawab negara. menganggap internally displaced persons merupakan pihak yang membutuhkan jaminan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Perserikatan Bangsa Bangsa telah mengeluarkan Guiding Principles on Internal Displacement.

  Menurut Heru Susetyo, prinsip-prinsip di dalam pengaturan mengenai

  internally displaced persons berpijak pada instrumen hukum humaniter dan

  hukum hak asasi manusia internasional: Prinsip ini dibentuk berdasarkan instrumen international humanitarian

  law (hukum humaniter internasional dan instrumen international human rights law (hukum hak asasi manusia internasional sebagai suatu

  pedoman internasional untuk pemerintah maupun lembaga-lembaga internasional yang bergerak di bidang bantuan, perlindungan dan

  50

  pelayanan bagi pengungsi internal”

  Guiding Principles on Internal Displacement memang bukan merupakan

  ketentuan di dalam hukum internasional yang bersifat mengikat dan memaksa (legally binding), tetapi prinsip-prinsip yang terdapat di dalamnya menunjukkan bentuk penghormatan terhadap nilai-nilai hak asasi manusia internasional.

  “Guiding principles tersebut merupakan sebuah bentuk aturan dasar tentang bagaimana seharusnya negara yang bersangkutan dengan terjadinya konflik bersenjata yang menyebabkan internal displacement, dapat menerapkan dan 51 memberikan perlindungan yang seharusnya terhadap mereka.”

  Di dalam Guiding Principles, diatur mengenai pengertian yang menjadi

  52

  pedoman dalam menentukan kriteria dari internally displaced persons, yakni: 50 Heru Susetyo, Jurnal Hukum Indonesia: Kebijakan Penanganan Internally Displaced

  Persons (IDP‟s) di Indonesia dan Dunia Internasional, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 2 No. 1 Oktober 2004. 51 Rensy Triana Putri B, Nurdin, Ikaningtyas, Urgensi Perlindungan Hukum Internally Displaced Person (Idp) Pada Saat Konflik Bersenjata Di Nigeria Pada Tahun 2009 Berdasarkan Perspektif Hukum Internasional , Fakultas Hukum Universitas Brawijaya Malang, h. 15. 52 Guidling Principles

  For the purposes of these principles, internally displaced persons are persons or groups of persons who have been forced or obliged to flee or to leave their homes or places of habitual residence, in particular as a result of or in order to avoid the effects of armed conflict, situations of generalized violence, violations of human rights or natural or human- made disasters, and who have not crossed an internationally recognized State border.

  Dari beberapa pengertian diatas dapat diketahui bahwa terdapat beberapa

  53

  karakteristik dari internally displaced persons yaitu:

  a. Sekelompok orang yang terpaksa meninggalkan atau pergi dari tempat tinggalnya atau tempat sekelompok orang tersebut biasa beraktifitas dan menjalani kehidupannya, untuk mencari perlindungan ke tempat yang aman. Sekelompok orang tersebut melakukan perpindahan tempat karena disebabkan oleh beberapa alasan. Alasan tersebut dapat berupa alasan yang disebabkan oleh alam (natural disaster), contohnya: bencana alam, maupun keadaan yang ditimbulkan karena perbuatan manusia (human

  made disaster ), contohnya: konflik bersenjata, pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

  b. Sekelompok orang tersebut mencari tempat perlindungan dengan tetap berada di dalam yuridiksi wilayah negara asalnya. Sebagaimana disebutkan diatas bahwa tempat perlindungan yang dicari atau dituju oleh

  internally displaced persons adalah tempat yang secara geografis terletak

  di wilayah negara dan secara yuridis tunduk terhadap yuridiksi hukum 53 Ibid.

  54

  negara tempat internally displaced persons tersebut tinggal. Dalam hal tindakan perlindungan, maka yang berlaku adalah hukum nasional negara tersebut. internally displaced persons membutuhkan penanganan yang berbeda, karena kondisi mereka yang jauh dari tempat tinggal, keadaan psikis yang terguncang, rentan terhadap perlakuan yang sewenang- wenang, sehingga negara asal internally displaced persons merupakan pihak pertama yang mempunyai tanggung jawab di dalam melindungi hak-

  55 hak dari internally displaced persons tersebut.

2.1.3 Refugees

  Konsepsi yang mengatur mengenai pengertian pengungsi bukanlah konsep yang terdapat dalam hukum kebiasaan internasional, sehingga seringkali di dalam mengartikan kata pengungsi lebih banyak mengacu pada suatu perjanjian 54 Menurut Heru Susetyo, prinsip-prinsip penanganan pengungsi internal (The Guiding

  Principles on International Displacement) memiliiki prinsip umum yang memberi penegasan akan hak-hak dasar pengungsi internal dan tanggungjawab dari pemerintah terhadap pengungsian interna, yaitu:

  1. Para pengungsi internal harus menikmati hak-hak dan kemerdekaan yang sama di bawah perlindungan hukum nasional maupun internasional sebagaimana yang didapatkan warga negara lain di negaranya, diskriminasi karena statusnya sebagai pengungsi internal adalah dilarang. Prinsip-prinsip ini tidak mempunyai dampak legal apapun terhadap pertanggungjawaban individual atas tindaka pidana di mata hukum internasional, khususnya yang berhubungan dengan kejahatan genosida, kejahatan-kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan-kejahatan perang.

2. Prinsip-prinsip ini wajib ditaati oleh semua pihak yang berwenang, kelompok-kelompok dan orang-orang, lepas dari status hukum mereka, dan diterapkan tanpa diskriminasi yang merugikan.

  Penaatan tehadap prinsip-prinsip ini tidak boleh mempengaruhi status hukum pihak-pihak berwenang, kelompok-kelompok, atau orang-orang manapun yang terlibat.

  3. Pihak-pihak berwenang di tingkat nasional-lah yang pertama-tama memiliki kewajiban dan tanggungjawab untuk menyediakan perlindungan dan bantuan kemanusiaan kepada para pengungsi internal dalam wilayah hukum mereka 55 Principle 9 of Guiding Principles on Internal Displacement: “States are under a particular obligation to protect against the displacement of indigenous peoples, minorities, peasants, pastoralists and other groups with a special dependency on and attachment to their lands.”

  56

  internasional. Sebagaimana diketahui bahwa sebuah perjanjian internasional dibuat untuk melindungi kepentingan pihak-pihak di dalam perjanjian internasional tersebut, sehingga definisi pengungsi akan selalu sejalan dengan tujuan politis dari perjanjian internasional tersebut. S. Prakash Sinha memberikan pengertian sebagai berikut:

  The International political refugee may defined as a person who is forced leave or stay out of his state of nationality or habitual residence for political reasons arising from events occurring between that state and its citizens which make his stay there impossible or intolerable, and who has taken refugee in another state without having acquired a new

  57 nationality

  Namun, banyaknya peristiwa-peristiwa di dalam suatu negara yang seringkali berujung pada terjadinya perpindahan sekelompok orang ke negara lain secara terus menerus dan tidak kunjung berhenti, berakibat pada adanya masalah baru yang membuat negara lain terkena dampak dari perpindahan tersebut, seperti halnya pengungsi. Persoalan pengungsi adalah masalah kemanusiaan yang dapat terjadi di wilayah negara manapun. Seperti halnya dengan permasalahan- permasalahan kemanusiaan di lingkup internasional yang lain, pada dasarnya 56 Menurut Sri Setianingsih Suwardi, definisi secara umum, meliputi elemen-elemen

  sebagai berikut:

  a. Alasannya haruslah didasarkan pada alasan politik

  b. Permasalahan politik yang timbul adalah permasalahan antara negara dan warga negaranya

c. Ada keadaan yang mengharuskan dia meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya.

  d. Kemungkinan meninggalkan negaranya atau tempat tinggalnya secara sukarela atau tidak secara sukarela e. Kembali ke negaranya atau ke tempat tinggalnya tidak mungkin dilakukan atau tidak ditoleran disebabkan karena sangat berbahaya untuk dirinya atau miliknya f. Ia harus meminta status sebagai pengungsi di lain negara

  g. Ia tidak mendapatkan kewarganegaraan baru 57 Sri Setianingsih Suwardi, Jurnal Hukum Indonesia: Aspek Hukum Masalah Pengungsi Internasional , Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Vol. 2 No. 1 Oktober 2004, diikutip dari S. Prakash Sinha, Asylum and Internationa Law, (The Hague, Matinus Nijhoff), h. 95.

  masyarakat internasional memberi perhatian penuh dan sangat peduli terhadap permasalahan pengungsi tersebut. Pengungsi merupakan pihak yang membutuhkan perlindungan terhadap keselamatan mereka. Beberapa negara yang melihat dari sudut pandang kemanusiaan, merasa perlu memberikan tempat berlindung sementara untuk mereka, namun beberapa negara juga menolak untuk menampung mereka karena beberapa alasan keamanan negara ataupun kedaulatan negara, perbedaan sudut penanganan permasalahan pengungsi tersebut mendorong urgensi pembentukan suatu ketentuan bersifat mengikat sebagai bentuk kesadaran masyarakat internasional terhadap urgensi permasalahan pengungsi. Pada tahun 1951, diadakanlah konferensi di jenewa yang membicarakan masalah status hukum dari masalah pengungsi yang didasarkan pada Resolusi Majelis Umum No. 429 (V) pada tanggal 14 Desember 1950. Konferensi yang diadakan pada tanggal 28 Juli 1951 tersebut telah menghasilkan “Convention Relating on Status

  of Refugees

  ”. Dibuatnya konvensi tersebut adalah wujud komitmen negara-negara dalam menjunjung tinggi nilai-nilai kemsnusiaan, khususnya mengenai permasalahan pengungsi.

  Di dalam hukum pengungsi internasional, pengertian dari pengungsi mempunyai pengaturan tersendiri di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 dan Protokol mengenai Status Pengungsi tahun 1967. Menurut Pasal 1 huruf (A) angka (2) dari Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951, pengertian dari pengungsi adalah setiap orang yang disebabkan oleh suatu kecemasan yang beralasan terhadap adanya tindakan kekerasan atau persekusi, dan persekusi tersebut dilatarbelakangi oleh alasan-alasan sentimen atas ras, agama, kebangsaan, keanggotaan pada kelompok sosial tertentu atau opini politik, berada di luar negara kewarganegaraannya dan tidak dapat atau tidak mau memanfaatkan perlindungan negaranya, atau setiap orang yang tidak mempunyai kewarganegaraan dan berada di luar negara tempat orang tersebut biasanya bertempat tinggal, sebagai akibat dari adanya kecemasan tersebut, tidak dapat atau

  

58

tidak mau kembali ke negara tersebut.

  Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa elemen-elemen yang dapat dijadikan parameter dalam mendefinisikan pengungsi, yakni: a. Setiap orang yang pergi meninggalkan negara kewarganegaraanya atau negara asal tempat orang tersebut biasanya bertempat tinggal untuk mencari tempat perlindungan yang aman ke negara lain, karena adanya kecemasan yang sangat beralasan terhadap tindakan persekusi

  59

  terhadapnya. Di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 dijabarkan bahwa kecemasan yang beralasan terhadap kekerasan atau persekusi, antara lain karena alasan-alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan atas kelompok sosial tertentu, dan opini politik, sehingga ketakutan yang dirasakan oleh sekelompok orang tersebut merupakan ketakutan yang berdasar dan dapat ditelusuri kebenarannya. Relevansi antara situasi dan kondisi di suatu negara dengan latar belakang dari sekelompok orang tersebut untuk berpindah tempat akan ditelaah dan diuji kebenarannya oleh suatu badan yang kompeten, dalam hal ini adalah 58 59 Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

Pasal 1 Huruf B Angka 2 Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

  United Nation High Commissioner for Refugees .

  b. Sekelompok orang yang mencari tempat perlindungan aman ke wilayah negara lain. Pengungsi mencari perlindungan dengan melintasi batas negaranya ke batas negara lain karena negara asal pengungsi tidak dapat

  60

  atau tidak mau memberi perlindungan kepada pengungsi. Pengungsi terpaksa meninggalkan negara asal mereka, karena negara asal mereka tidak menjamin penuh keselamatan pengungsi. Jika negara asal pengungsi mampu menjamin dan memberikan perlindungan, maka pengungsi tidak akan mencari tempat perlidnungan ke wilayah negara lain atau ke negara tujuan pengungsi. Negara tujuan sementara pengungsi mempunyai pengaturan dan yuridiksi di teritorial negara tersebut sebagai wujud bentuk kedaulatan negara, sehingga tidak jarang sering terjadi konflik kepentingan antara pengungsi dan otoritas perbatasan negara tujuan sementara pengungsi. Untuk mengantisipasi hal tersebut dibuatlah Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951 yang menjadi pedoman yang mengatur penanganan perihal pengungsi.

2.1.3.1 Pengaturan Klausula mengenai Pengungsi

  Terdapat 3 macam bentuk klasula mengenai pengungsi, antara lain:

1. Klausula Inclusion

  Merupakan klausula yang menyatakan bahwa prosedur penentuan status pengungsi harus menyesuaikan dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat di 60 Ibid. dalam pasal 1A paragraf (1) dan (2), yang merupakan parameter dalam menentukan kriteria orang yang berhak mendapatkan status pengungsi.

2. Klausula Cessation

  Merupakan Klausula yang mengatur jenis-jenis pencabutan status pengungsi sebagai akibat dari beberapa hal yang telah ditentukan di dalam Pasal 1C paragraf (1) sampai paragraf (6) Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951, antara lain: a.

   Voluntary Reaguisation of Nationality

  Terdapat pergantian rezim di dalam kategori ini, yang mengharuskan adanya pergantian rezim penguasa negera asal yang mencabut kewarganegaraan dari pengungsi dan digantikan oleh rezim penguasa yang baru. Dicabutnya status pengungsi seseorang, karena pengungsi secara sukarela memperoleh kewarganegaraannya kembali dengan menyetujui kewarganegaraan kembali yang ditawarkan oleh rezim penguasa yang baru kepada pengungsi.

  b.

   Voluntary resumption

  Dicabutnya status pengungsi seseorang, karena seseorang tersebut secara dengan keinginannya sendiri memanfaatkan status kewarganegaan dari negara asalnya dan belum terjadi pergantian rezim penguasa di negara asalanya tersebut.

  c.

   Acquisastion of new nationality

  Dicabutnya status pengungsi karena pengungsi telah mendapatkan dan menikmati kewarganegaaran baru yang diberikan oleh negara yang ingin menerima pengungsi.

  d.

   Voluntary Re-establishment

  Dicabutnya status pengungsi karena pengungsi dan pihak UNHCR bersepakat untuk kembali ke negara asal yang ditinggalkannya karena alasan-alasan kecemasan akan persekusi.

  e.

   National whose reasons for becoming refugees have ceased to exit

  Seseorang yang karena tidak termasuk ke dalam kategori pengungsi menurut Konvensi dan tetap menolak memanfaatkan kewarganegaraan negara asal yang ditinggalkan.

  f.

   Statekess person whose reasons for becoming refugees have ceased to exit

  Dicabutnya status pengungsi atas seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan, tetapi tetap dapat melakukan aktifitas di dalam wilayah suatu negara. Hingga kemudian terdapat situasi yang mengharuskan seseorang tersebut untuk melakukan perpindahan tempat bersama warga negara dari negara tempat seseorang yang tanpa kewarganegaraan tersebut melakukan aktifitas. Jika status pengungsi dari seseorang yang tidak mempunyai kewarganegaraan tersebut dicabut, maka ia dapat kembali ke negara di mana sebelumnya dia biasa melakukan aktifitas.

3. Klausula Exclusion

  Pencabutan status pengungsi jika dapat dibuktikan bahwa penerima status pengungsi terlibat di dalam tindak pidana perang, tindak pidana terhadap kemanusiaan, tindakan-tindakan non-politis yang serius maupun tindakan- tindakan yang bertentangan dengan tujuan, prinsip dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Pengaturan mengenai klausula ini terdapat di dalam Pasal 1D, IE, 1F Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951.

2.1.3.2 Prinsip Perlindungan Pengungsi

  Pemberian status pengungsi berimplikasi pada harus dilakukannya prinsip- prinsip perlindungan terhadap pengungsi yang telah diatur di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951. Konvensi tersebut mengatur prinsip dasar yang harus diterapkan di dalam penanganan pengungsi.

  Non-Refoulement Principle adalah prinsip yang melarang negara peserta

  konvensi untuk mengembalikan atau menempatkan pengungsi ke dalam keadaan yang mengancam keselamatan dan kebebasan pengungsi. Di dalam Konvensi mengenai Status Pengungsi tahun 1951, ketentuan mengenai prinsip non-

  refoulement tersebut terdapat di dalam Pasal 33 mengandung hal yang sangat

  

61

  penting. Menurut Pasal 42 angka (1) Konvensi tahun 1951 yang mengecualikan 61 Article 42(Reservations) :1. At the time of signature, ratification or accession, any

  State may make reservations to articles of the Convention other than to articles 1, 3, 4, 16 (1), 33, 36-46 inclusive.

  Pasal 33 dari tindakan reservasi. Negara yang tidak menjadi pihak dalam Konvensi pengungsi juga mempunyai kewajiban secara moral untuk menerapkan prinsip non-refoulement. Dengan demikian prinsip larangan atas pengusiran di dalam Pasal 33 merupakan suatu kewajiban non-derogable yang didasarkan atas pertimbangan kemanusiaan.

  Komite Eksekutif UNHCR bahkan telah menetapkan bahwa prinsip non-

  refoulement merupakan kemajuan peremptory norm dalam hukum

  internasional. Peremptory norm atau disebut dengan jus cogens merupakan suatu prinsip dasar hukum internasional yang diterima oleh negara-negara sebagai suatu norma umum yang tidak dapat diabaikan

  62 .

  pelaksanaannya Prinsip non-refoulement merupakan prinsip yang dibuat untuk kepentingan bersama tanpa memandang apakah negara sudah menjadi pihak dalam Konvensi 1951 atau belum, dan tanpa memperhatikan apakah orang tersebut sudah diberikan status sebagai pengungsi atau tidak. Prinsip non-refoulement telah dianggap sebagai hukum kebiasaan internasional, yang mempunyai arti bahwa seluruh negara, baik yang telah menjadi negara pihak maupun bukan di dalam konvensi-konvensi pengungsi atau hak asasi manusia yang melarang tindakan pengusiran, berkewajiban untuk tidak mengembalikan atau mengekstradisi seseorang ke negara asal atau tempat yang dapat mengancam kebebasan dan keselamatan orang tersebut.

  Prinsip non-diskriminasi adalah prinsip yang melarang negara yang telah menjadi pihak di dalam Konvensi 1951 untuk memperlakukan pengungsi tanpa diskriminasi. Prinsip non-diskriminasi terdapat di dalam Pasal 3 Konvensi 1951. 62 Wagiman, Hukum Pengungsi Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 120. Prinsip non-diskriminasi memberikan tanggungjawab kepada negara pihak untuk sepenuhnya menjalankan ketentuan di dalam Konvensi 1951. Tujuan prinsip non- diskriminasi adalah melindungi kepentingan dan hak-hak dari setiap orang yang telah diberikan status sebagai pengungsi. Hal tersebut menunjukkan komitmen negara yang telah menjadi pihak untuk bertindak berdasarkan rasa kemanusiaan dan bukan karena atas dasar kepentingan politik.

2.1.4 Analisa perbedaan asylum seekers, internally displaced persons dan

  refugees

  Telah dijelaskan diatas bahwa terdapat perbedaan antara internally

  displaced persons , asylum seekers, dan refugees. Perbedaan tersebut dapat

  meliputi batas wilayah dan yuridiksi hukum suatu negara.Perbedaan internally

  displaced persons terhadap refugees dan asylum seekers dapat dibedakan dari

  wilayah atau tempat internally displaced persons tersebut akan mencari tempat perlindungan yang aman. Refugees dan asylum seekers mencari perlindungan dari negara asalnya ke tempat yang merupakan wilayah kedaulatan negara lain, namun

  internally displaced persons hanya mencari perlindungan ke tempat yang secara

  yuridis masih di dalam wilayah kedaulatan negara asalnya, sehingga pengaturan mengenai perlindungan internally displaced persons harus berdasarkan pada hukum nasional negara asal. Perbedaan antara asylum seekers dan refugees terletak pada legalisasi status dari asylum seekers dan refugees. Pengaturan terkait penentuan status asylum seekers yang bersifat internasional tidak ada. Hak untuk menentukan status asylum seekers hanya didasarkan atas penilaian subjektif negara pemberi suaka. Penentuan status terhadap refugees terdapat pengaturan tersendiri di dalam hukum pengungsi. Hukum pengungsi mempunyai pedoman khusus bagi pengungsi di dalam Konvensi 1951 dan Konvensi 1967 yang memuat beberapa prosedur resmi dalam menentukan apakah seseorang tersebut berhak untuk diberikan status pengungsi atau tidak. Pemberian status bagi refugees juga melibatkan suatu badan khusus yang berwenang untuk menentukan pemberian status tersebut.

2.2 Hak Asasi Manusia

  Setiap manusia mempunyai hak-hak dasar yang melekat pada manusia sejak manusia itu lahir ke dunia. Hak dasar yang seringkali disebut dengan hak asasi manusia merupakan hak yang tidak dapat dikurangi atau dihilangkan keberadaannya. Perkembangan hak asasi manusia ditandai dengan dibentuknya

  63 beberapa piagam-piagam yang memuat mengenai hak asasi manusia.

  Dimulai pada tahun 1215 di Inggris dengan Magna Charta (Perjanjian Agung) di Inggris pada tahun 15 Juni 1215. Isi perjanjian agung adalah pembatasan tindakan raja untuk tidak melakukan pelanggaran terhadap hak milik dan kebebasan pribadi rakyat. Kedua, Bill of Rights pada tahun 1628. Isi perjanjian ini adalah penegasan tentang pembatasan kekuasaan raja dan dihilangkannya hak raja untuk tidak memenjarakan, menyiksa dan menghukum tanpa dasar hukum. Ketiga, deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat pada 6 juli 1776. Deklarasi ini memuat penegasan bahwa setiap orang dilahirkan dalam persamaan dan kebebasan dengan hak hidup dan mengejar kebahagiaan. Keempat, 63 Walter Kälin dan Jorg Künzli, Op. Cit., h. 7.

  Declaration des droits de‟l homme et du citoyen (deklarasi hak-hak manusia dan

  warga negara) di perancis pada tanggal 4 agustus 1786. Deklarasi ini memuat 5 hak-hak asasi manusia: pemilikan harta, kebebasan, persamaan, keamanan dan perlawanan terhadap penindasan.

  Hak asasi manusia merupakan topik pembahasan yang sangat penting karena pelanggaran terhadap hak asasi manusia seringkali menjadi penyebab suatu peristiwa sejarah besar dan berakhir dengan adanya revolusi politik, sosial, perubahan hukum perundang-undang, lahirnya deklarasi dan perjanjian yang bersifat regional maupun internasional. Oleh karena itu, hak asasi manusia dianggap sebagai instrumen kemanusiaan yang harus diatur secara internasional.

2.2.1 Instrumen Pengaturan Hak Asasi Manusia

  Di dalam hukum internasional terdapat beberapa instrumen internasional yang pengaturannya berpijak pada dasar-dasar pertimbangan perlindungan hak asasi manusia. Beberapa diantaranya adalah Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.

2.2.1.1 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa

  Lahirnya Perserikatan Bangsa Bangsa mengubah pandangan masyarakat internasional khususnya terkait dengan hubungan antar negara. Salah satu objek kajian yang dirasa penting terhadap perkembangan hubungan antar negara adalah hak asasi manusia. Hak asasi manusia mulai mendapat perhatian khusus pada saat dibentuknya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa oleh Perserikatan Bangsa Bangsa. Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa lahir karena adanya kekhawatiran negara-negara di dunia atas terabaikannya nilai-nilai hak asasi manusia akibat adanya perang.

  Pembukaan Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa mengatur mengenai dasar alasan yang menjadi faktor pendorong dibuatnya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa:

  “to reafirm faith in fundamental human rights, in the dignity and worth of the human person, in the equal rights of men and women and of nations large

  64 and small Ketentuan tersebut memberi arti bahwa hak asasi manusia adalah

  ” hak yang mendasar, tidak dapat dikurangi pelaksanaannya. Pelaksanaan hak asasi manusia harus menganut prinsip non-diskriminasi dengan tidak membedakan ras,

  65 jenis kelamin dan agama.

  “The UN Charter, for one, does not mention protection of human rights,

  but rather their promotion . Promotion over protection was chosen carefuly at the time because international measures for the protection of human rights would

  66

have been considered an inadmisible interference with national souvereignity

  ” Pada awalnya Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa hanya dibuat untuk tujuan mempromosikan konsep hak asasi manusia, tetapi pada akhirnya konsep mengenai hak asasi manusia merupakan konsep yang secara perlahan dapat diterima oleh negara-negara di dunia. Hal tersebut dibuktikan dengan dibuatnya 64 65 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. 66 Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa Pasal 55.

  Walter Kälin dan Jorg Künzli, Op. Cit., h. 27. instrumen-instrumen internasional yang mengatur mengenai hak asasi manusia yang merujuk pada Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa. Konsep mengenai hak asasi manusia yang terdapat di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan bentuk kesadaran dari negara-negara di dunia bahwa perdamaian dan hubungan antar negara dapat diwujudkan dengan penghormatan terhadap nilai- nilai hak asasi manusia. Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa merupakan ketentuan yang menjadi pedoman atas perlindungan hak asasi manusia. “Konvensi-konvensi internasional tentang hak asasi manusia selalu berpedoman pada ketentuan di dalam Piagam Perserikatan Bangsa Bangsa sebagai salah satu

  67

  dasar pertimbangan dalam pembuatannya.”

2.2.1.2 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

  Perkembangan hak asasi manusia sendiri mulai berkembang secara signifikan setelah banyak negara-negara yang menyatakan kemerdekaan negaranya sebagai salah satu faktor pendorong lahirnya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi ini memuat pokok-pokok tentang kebebasan, persamaan, kepemilikan harta, perkawinan, pendidikan, pekerjaan, kebebasan beragama. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia merupakan deklarasi pertama yang disahkan Perserikatan Bangsa Bangsa yang telah diakui secara internasional.

  Deklarasi tersebut disahkan sebagai resolusi yang mengatur instrumen dasar hak asasi manusia oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa pada tanggal 10 Desember tahun 1948. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dibangun 67 Romsan et al., Pengantar Hukum Pengungsi Internasional: Hukum Internasional dan Prinsip-Prinsio Perlindungan Internasional. Sanic Offset, Jakarta, 2003, h. 117. berdasarkan ide bahwa HAM didasarkan atas martabat yang melekat pada diri setiap orang dan tidak dapat dihilangkan. Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa mengadopsi Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai satu standar

  68

  umum bagi keberhasilan untuk semua bangsa dan negara. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia mempunyai pengaruh yang signifikan baik secara langsung maupun tidak langsung pada hukum yang mengatur hak-hak asasi manusia secara umum. Beberapa prinsip-prinsip hak asasi manusia yang ada di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia:

  a. Prinsip pengakuan terhadap martabat dasar, hak-hak yang sama sebagai dasar dari kemerdekaan, keadilan dan perdamaian dunia. Karakteristik Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dapat dibagi menjadi 3:

  • Hak asasi manusia bersifat universal. Setiap orang terikat pada hak asasi manusia. Sifat universal merujuk pada nilai-nilai moral dan etika khusus yang diakui dan dijunjung oleh masyarakat internasional. Di dalam Mukadimah Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dicantumkan bahwa hak setiap orang untuk mendapatkan kemerdekaan, keadilan dan

  69 perdamaian.

  • Hak asasi manusia tidak dapat dipisah-pisah. Hal ini merujuk pada kepentingan yang setara dari tiap-tiap hak asasi manusia, apakah itu sipil,
  • 68 International Law Making, Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, Jurnal Hukum

      Internasional Volume 4 Nomor 1 Okt 2006, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 2008, h. 133. 69 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia

      politik, ekonomi, sosial ataupun budaya.