BAB II SEJARAH ‘AISYIYAH DI TINGGARJAYA A. Berdirinya ‘Aisyiyah di Tinggarjaya - TRI MULYANI BAB II

BAB II SEJARAH ‘AISYIYAH DI TINGGARJAYA A. Berdirinya ‘Aisyiyah di Tinggarjaya Masyarakat Muslim Purwokerto dan Kabupaten Banyumas pertama

  kali mengenal Muhammadiyah adalah ketika Kyai Haji Ahmad Dahlan memberikan pengajian akbar di Masjid Agung Baitussalam, sebelah barat alun-alun Purwokerto pada pada tahun 1920, dan pengajian ini cukup banyak dihadiri oleh kaum Muslimin di sekitar Purwokerto. Menjelang Pengajian berakhir Kyai Dahlan mengajak kepada hadirin supaya mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Purwokerto. Berdirinya Persyarikatan Muhammadiyah Cabang Purwokerto secara yuridis formal ialah pada tanggal 15 November 1922. Sekalipun secara de facto kepengurusan Muhammadiyah cabang Purwokerto sudah dibentuk tahun 1921. Peresmian cabang Muhammadiyah Purwokerto menandai awal lahirnya Muhammadiyah di bumi Banyumas (Suwarno dan Asep, 2013: 24-42).

  Muhammadiyah cabang Purwokerto dapat membangun langgar (surau) untuk pengajian, pendirian langgar juga dilakukan di desa-desa.

  Pengajian kian hari kian semarak para pemuda muslim dari daerah Pasir menghadiri pengajian-pengajian di Purwokerto. Tokoh-tokoh Islam tersebut adalah K. Sobari dari Ajibarang, K. Zuhdi dan Abdul Hadi dari Patikraja, K. Dalail dari Wangon, K. Achmad Hudori dari Tinggarjaya (Jatilawang). Kehadiran mereka membuat cabang-cabang Muhammadiyah didirikan di berbagai tempat, di daerah asal para tokoh muslim tersebut (Suwarno dan Asep, 2013: 43).

  K. Ahmad Hudori sering mengikuti pengajian-pengajian yang dilaksanakan oleh Muhammadiyah di Purwokerto. Usaha yang dilakukan oleh K. Ahmad Hudori untuk dapat mengikuti pengajian di Purwokerto tidaklah mudah, karena beliau harus berjalan kaki dari desa Tinggarjaya menuju kecamatan Jatilawang, pada waktu itu belum ada kendaraan umum. Jarak dari Tinggarjaya ke Jatilawang kurang lebih 3 km, dari Pasar Jatilawang beliau menggunakan delman untuk sampai ke Stasiun Kroya, dari Kroya ke Purwokerto menggunakan kereta.

  Beliau mempunyai niat untuk mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Tinggarjaya setelah mengikuti pengajian Muhammadiyah di Purwokerto. Beliau lahir dan besar di Tinggarjaya.

  Tanpa membutuhkan waktu lama untuk berpikir, akhirnya K. Ahmad Hudori mendirikan persyarikatan Muhammadiyah di Tinggarjaya.

  Persyarikatan Muhammadiyah tersebut diberi nama Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tinggarjaya (sekarang sudah berganti nama menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jatilawang). PCM Jatilawang pertama berdiri diketuai oleh K. Ahmad Hudori.

  Beliaulah yang merintis berdirinya Pusat Kesejahteraan Umat (PKU). PKU merupakan salah satu amal usaha PCM pada saat awal berdiri . Panti asuhan bertempat dirumah beliau sendiri, karena belum ada gedung khusus. Panti asuhan tersebut menghimpun anak yatim, dana yang digunakan untuk PKU berasal dari para relawan. Anak yatim diajarkan mengaji dan belajar nonformal. Pelajaran yang diterima tidak seperti belajar disekolah karena anak-anak diarahkan langsung untuk praktek, seperti diajarkan cara bekerja disawah. Hal tersebut bertujuan untuk menanamkan sikap pekerja keras. Dari waktu ke waktu perkembangan PKU semakin meningkat sehingga k. Ahmad Hudori dibantu oleh Abu Amar, keduanya menyadari perlunya sosok ibu bagi anak yatim untuk mengurus segala kebutuhan mereka sehari-hari.

  Panti Asuhan menampung banyak anak yatim, sehingga dana yang dibutuhkan juga semakin banyak. PCM menyadari perlunya penambahan dana sehingga PCM meminta bantuan ibu-ibu untuk menjadi tukang masak, mencari dana, dan memenuhi kebutuhan panti asuhan yang biasa diurus oleh ibu-ibu, sehingga perkumpulan ibu-ibu itu diberi nama Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya (sekarang sudah berganti nama menjadi Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang) pada tahun 1935. Nama tersebut sesuai dengan nama organisasi perempuan Muhammadiyah yang dipelopori oleh Nyai Ahmad Dahlan. Tujuan awal berdirinya PCA Jatilawang ialah untuk membantu PCM Jatilawang mengelola PKU. Kegiatan yang dilakukan PCA pada awal berdiri juga di bawah pengawasan Muhammadiyah. Setelah akta pendirian dari Pimpinan Pusat „Aisyiyah keluar, yaitu berdirinya „Aisyiyah pada tanggal 1935, maka „Aisyiyah berhak membuat ataupun melaksanakan kegiatan sendiri, tidak mengelola amal usaha PCM saja.

  Tokoh yang sangat berperan penting pada awal berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya adalah K. Ahmad Hudori dan Abu Amar. Kedua tokoh tersebut tidak tamat dari sekolah formal tetapi mempunyai jiwa berbagi yang cukup tinggi, rajin bersedekah dan sangat mementingkan menolong orang yang membutuhkan pertolongan baik materi maupun non- materi. Jiwa berbagi tersebutlah yang kemudian membuat keduanya menyisihkan sebagian harta untuk PKU.

  „Aisyiyah merupakan organisasi perempuan, tentu saja digerakan dan dijalankan oleh perempuan. Tokoh perempuan yang aktif dalam memperjuangkan PCA Jatilawang pada awal berdiri yaitu 21 April 1935 ialah Rasih, beliau merupakan ketua pertama PCA Jatilawang. Beliau menggunakan waktu luangnya untuk berjuang di PCA Jatilawang. Merintis dari awal ketika hanya mempunyai sedikit anggota dan kemudian mengalami perkembangan dengan bertambahnya anggota dari hari ke hari.

  Pada awal berdirinya organisasi tersebut tidak mempunyai landasan ataupun acuan berorganisasi yang benar. Organisasi tersebut hanya berjalan dengan asal jalan yaitu dengan mengadakan kegiatan- kegiatan yang bermanfaat. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan adalah menghimpun anak-anak yatim dan mengadakan sunatan masal. Tempat untuk menghimpun anak yatim berada di rumah K. Ahmad Hudori, karena pada saat itu belum ada tempat khusus menghimpun anak yatim. Makanan untuk anak yatim berasal dari ibu- ibu anggota „Aisyiyah, seperti beras, sayuran, dan makanan pokok lain yang dibutuhkan anak-anak yatim (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

  Anak yatim yang dihimpun di rumah K. Ahmad Hudori tidak hanya untuk berkumpul dan diberi makan saja. Anak-anak yatim tersebut mempunyai kegiatan yang bermanfaat, yaitu mengaji dan bekerja. Pekerjaan yang dilakukan anak-anak yatim yaitu membantu pekerjaan orang tua di Panti, seperti membantu berjualan gula, pergi ke sawah untuk membantu menuai padi ataupun mencangkul. Mereka tidak hanya sekedar bekerja tetapi bekerja sambil belajar, karena dengan mengikuti setiap pekerjaan yang dilakukan maka mereka belajar untuk disiplin dan rajin. Mereka tidak belajar secara formal tetapi non-formal, karena mereka terjun langsung kelapangan dan kehidupan sosial, tidak seperti dalam sekolah formal yang memperoleh pelajaran demi pelajaran untuk bekal dalam kehidupan sosial. Pekerjaan yang diberikan kepada anak-anak yatim tanpa adanya pemaksaan, karena mereka mempunyai jadwal kegiatan didalam panti (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

Kegiatan „Aisyiyah selain menghimpun anak yatim yaitu mengadakan sunatan masal, kegiatan tersebut sangat bermanfaat bagi

  masyarakat kurang mampu yang belum bisa mengkhitankan anaknya yang sudah seharusnya disunat. Kegiatan tersebut ditanggapi dengan antusias oleh para warga Tinggarjaya, karena sangat membantu memberi jalan keluar bagi warga Tinggarjaya yang kesulitan ekonomi dan tidak bisa membawa anaknya pergi ke mantri untuk disunat.

  Landasan idiil yaitu Perasaan nikmat beragama yang akan membawa masyarakat sejahtera, Cara menuju masyarakat sejahtera diatur dalam peraturan yang bernama agama Islam yang memimpin kepada tujuan kebahagiaan dan akhirat, tiap manusia khususnya muslim wajib menciptakan masyarakat sejahtera, Untuk mengefisiensikan kerja individu dalam melaksanakan masyarakat sejahtera, perlu dibentuk alat yang berupa organisasi. Organisasi ini bernama „Aisyiyah, Motif geraknya kesadaran beragama dan berorganisasi ( PP

  „Aisyiyah,tt: 15). Landasan Idiil tersebut sangat menggambarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan pada proses awal berdirinya „Aisyiyah di Tinggarjaya, kegiatan yang mementingkan kesejahteraan masya rakat, tidak semata hanya untuk kepentingan pribadi. Manusia merupakan makhluk Allah yang diberi kedudukan tinggi diantara makhluk-makhluk lainnya dan ia diciptakan dengan satu tujuan tertentu. Oleh karena itu, manusia harus menyesuaikan hidup sesuai dengan maksud dan tujuan Allah menciptakan manusia. Yaitu dengan cara menjalankan hidup berdasarkan Tauhid (PP „Aisyiyah,tt: 16).

  Rasih berusaha menghidupkan „Aisyiyah dengan seluruh kemampuan yang beliau miliki, bantuan secara materi dan non materi selalu diutamakan untuk „Aisyiyah, beliau mempunyai cita-cita yang mulia yaitu memajukan „Aisyiyah sebagai wadah organisasi bagi masyarakat Tinggarjaya, tenaga dan pikiran beliau curahkan untuk „Aisyiyah. „Aisyiyah memang pada awalnya masih mendapatkan bantuan ataupun membantu kegiatan yang dilaksanakan Muhammadiyah, karena pada saat itu memang berdirinya PCA Jatilawang didasari karena PCM membutuhkan kaum perempuan untuk membantu menjalankan PKU.

  Abu Amar merupakan sosok orang tua di panti asuhan, beliau menanamkan jiwa organisasi kepada anak-anaknya di panti sejak dini, karena beliau mempunyai pemikiran yang cukup panjang untuk masa depan Muhammadiyah dan „Aisyiyah. Sejak kecil anak-anak sudah diperkenalkan mengikuti kegiatan-kegiatan Muhammadiyah, seperti pengajian, bakti sosial dan rapat-rapat. Abu Amar dan Rasih selalu berdampingan dalam mengembangkan organisasi, Abu Amar di Muhammadiyah dan Rasih di „Aisyiyah. Mereka selalu melibatkan generasi muda untuk mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif dan dapat menjadi bekal dimasa depan, karena generasi muda merupakan penerus perjuangan dimasa yang akan datang, terutama ingin memajukan wanita Tinggarjaya menjadi wanita yang mempunyai banyak keahlian (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

  Selain K. Ahmad Hudori dan Abu Amar, Badrudin juga merupakan orang yang sangat berjasa dalam Muhammadiyah. Beliau bukanlah ketua, istilah sekarang berkedudukan di Majelis sosial, beliau mengurusi PKU, menghimpun anak yatim dan mengadakan sunatan masal.

  Kegiatan tersebut me njadi kegiatan awal yang dilakukan „Aisyiyah. Semua biaya ditanggung oleh beliau. Beliau buta huruf karena tidak pernah sekolah, tetapi rajin beribadah dan bersedekah. Beliau pandai berceramah, isi dalam ceramahnya tersebut sangat berbobot karena antara perkataan dan perbuatan sesuai. Beliau memberi makan anak-anak yatim yang bekerja di sawah beliau. Setelah bekerja di sawah, anak yatim mengaji untuk bekal dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

  Usaha yang dilakukan oleh K. Ahmad Hudori sama seperti pemikiran KH. Ahmad Dahlan ketika mendirikan Muhammadiyah dan „Aisyiyah yaitu ingin mengajak dan memimpin umat Islam Indonesia kembali kepada ajaran Islam yang murni, yang bersumber kepada Al- qur‟an dan Al-hadis. Dalam menggerakan kaum muslimah Indonesia, „Aisyiyah sejalan dengan ide yang dirintis oleh R.A. Kartini, Pahlawan yang taat kepada agama Islam, yaitu untuk memajukan wanita Indonesia, untuk itulah KH. Ahmad Dahlan bermaksud memajukan wanita Islam Indonesia dalam segala bidang sesuai dengan fungsi dan kedudukan wanita m enurut Islam (PP „Aisyiyah,tt: 21). Dalam mencapai cita-cita yang diinginkan KH. Ahmad Dahlan, beliau tidak sendiri karena didampingi oleh istrinya yaitu Siti Walidah yang akrab dengan nama Nyai Ahmad Dahlan. Usaha membina generasi muda telah dipersiapkan oleh KH. Ahmad Dahlan dan Siti Walidah, melalui pendidikan asrama yang ada dirumahnya, para generasi muda telah diberi pendidikan dan bekal yang cukup tinggi, terutama bekal hidup mereka dihari kemudian. Nyai Ahmad Dahlan menyadari bahwa pendidikan adalah saka guru guna menopang beban berat yang harus disangganya. Jika pendidikan itu berhasil dengan baik, maka orang tua boleh optimis dalam memenuhi kewajibannya. Oleh karena itulah pendidikan pondok yang dibinanya merupakan jalan yang dapat diharapkan membina umat menjadi orang yang teguh imannya (PP „Aisyiyah,tt: 22).

  Perjuangan yang dirintis oleh KH. Ahmad Dahlan juga dilakukan oleh K. Ahmad Hudori, Abu Amar dan Rasih, sama-sama merintis dengan diawali mengumpulkan anak-anak untuk di didik dengan baik, bedanya adalah KH. Ahmad Dahlan menampung anak-anak tersebut didalam sebuah asrama, sedangkan K. Ahmad Hudori dirumah beliau sendiri. Hal tersebut m enjadi titik awal lahirnya „Aisyiyah di Tinggarjaya.

B. Berdirinya Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Jatilawang di Tinggarjaya

  Awal mula „Aisyiyah muncul di Tinggarjaya berjalan dengan seadanya tanpa adanya pedoman dalam berorganisasi, prinsip pertama „Aisyiyah pada waktu itu adalah asal jalan yang terpenting organisasi itu hidup dan mempunyai anggota, dengan mengadakan acara yang positif.

  Tinggarjaya merupakan salah satu desa di Kecamatan Jatilawang Kabupaten Banyumas. Pada umumnya kedudukan cabang berada ditingkat kecamatan, tetapi hal yang unik yaitu cabang berada ditingkat desa, yaitu desa Tinggarjaya.

  Pimpinan Cabang „Aisyiyah berada didesa Tinggarjaya karena pada saat itu di Tinggarjaya terdapat dua belas Rukun Warga (RW) dan masing-masing Rukun Warga (RW) mendirikan pimpinan ranting „Aisyiyah, sehingga memenuhi syarat untuk mendirikan sebuah cabang, syarat menjadi cabang adalah mempunyai lima ranting. Pada saat itu di Tinggarjaya mempunyai lebih dari lima ranting sehingga berdirilah Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya.

  Pada awal berdiri terdapat sepuluh ranting di Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya, yaitu Pimpinan ranting Wlahar Timur, Lebak, Wlahar, Kompas, Darussalam, Kompleks MI (Madrasah Ibtidaiyah), Cumplung, Kutawinangun, Kedungwringin dan Tunjung. Ke sepuluh ranting tersebut di bawah Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya, dimana segala kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh ranting-ranting harus seizin dan sepengetahuan dari Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya. Antusias Ibu-ibu sangat besar di setiap ranting, setiap kegiatan yang dilakukan merupakan kegiatan yang positif yang bertujuan untuk kepentingan dan kesejahteraan warga Tinggarjaya.

  Pada awal mula berdiri dan menerima Surat Keputusan (SK) pengakuan organisasi, ternyata tidak diketahui siapa ketuanya, karena didalam SK tidak tercantum nama ketua pada saat SK itu dikeluarkan. Potensi „Aisyiyah di Tinggarjaya memang sangatlah kuat, kerjasama yang terjalin antar anggota, antar ranting sangatlah baik, tidak ada persaingan diantara anggota maupun antar ranting. Anggota ranting maupun anggota cabang tidak mengharapkan imbalan dari setiap kegiatan yang dilakukan, seperti yang sudah dijelaskan diatas bahwa kegiatan „Aisyiyah yang sangat menonjol adalah menghimpun anak yatim, dimana segala keperluan yang dibutuhkan oleh mereka ditanggung oleh ibu- ibu „Aisyiyah. Makanan pokok sehari-hari ibu- ibu „Aisyiyah yang menyiapkan (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

  Berawal dari perkumpulan ibu-ibu yang mempunyai niat berbuat kebaikan untuk banyak orang. Perkumpulan yang belum mempunyai landasan ataupun prinsip dalam berorganisasi. Prinsip mereka hanya berorganisasi yang penting jalan dengan adanya kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Hal tersebut sama terjadi pada awal mula berdi rinya „Aisyiyah di Kauman. Kauman adalah nama sebuah kampung kota madya Yogyakarta yang mempunyai ciri-ciri khusus. Ciri khusus ini tampak dalam masyarakatnya, pergerakan, dan perubahan-perubahan yang terjadi didalamnya. Masyarakat Kauman merupakan masyarakat yang anggotanya mempunyai pertalian darah. Masyarakat yang demikian ini terjadi dari keluarga-keluarga. Antar keluarga itu kemudian terjadi pertalian darah. Hubungan pertalian darah antar keluarga yang terkumpul pada suatu tempat tertentu, kemudian membentuk masyarakat yang mempunyai karakteristik tersendiri (Adaby Darban, 2011:1).

  Karakteristik yang dimiliki oleh kampung Kauman hampir sama dimiliki oleh desa Tinggarjaya, masyarakat Tinggarjaya khususnya anggota Muhammadiyah dan organisasi otonomnya mempunyai pertalian darah. Kepemimpinan memang turun temurun karena sejak kecil anak- anak sudah dibekali ilmu organisasi dengan baik. Orang tua membawa anak-anaknya ketiaka mengikuti acara ataupun pengajian. Tujuannya yaitu agar anak-anaknya mempunyai bekal organisasi ketika sudah besar nanti. Tokoh-tokh yang sangat berjasa dalam berdirinya Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya adalah K. Ahmad Hudori, Abu Amar dan Badruddin. Badruddin mengajak istrinya untuk sama-sama berjuang di Muhammadiyah. Istri Badruddin menjadi ketua kedua Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

  Keberadaan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya memang sangatlah berarti bagi warga Tinggarjaya, karena banyaknya perubahan yang terjadi ketika „Aisyiyah masuk ke Tinggarjaya. Masyarakat menilai bahwa „Aisyiyah bukanlah organisasi yang hanya mempunyai acara kumpul-kumpul tanpa arah dan tujuan. Tetapi banyak kegiatan yang dilaksanakan untuk kesejahteraan warga Tinggarjaya. Setiap kegiatan yang dilaksanakan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya selalu disambut positif oleh warga. Berawal dari kean ggotaan „Aisyiyah yang hanya keluarga-keluarga dekat menjadi lebih meluas, banyak masyarakat yang berminat menjadi anggota cabang maupun anggota ranting.

  Pada awal dilaksanakan kegiatan-kegiatan tentu saja banyak hambatan yang dilalui. Tempat untuk menampung anak-anak yatim yang belum mempunyai tempat khusus seperti panti asuhan, sehingga perlunya tempat khusus untuk menampung anak yatim agar kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dapat diikuti dengan nyaman oleh anak-anak yatim. Hambatan yang dilalui tidak hanya itu, tetapi kurangnya pengetahuan tentang berorganisasi yang benar diantara anggota. Misalkan organisasi yang baik adalah organisasi yang mempunyai tujuan. Prinsip organisasi tidak hanya asal jalan seperti awal mula berdirinya pada saat pertama kali „Aisyiyah masuk ke Tinggarjaya. Seiring dengan berjalannya waktu, pengetahuan tentang organisasi bertambah sehingga administrasi di Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya semakin baik (wawancara Siti Khuszaemah, 11 Desember 2016).

  Keanggotaan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya pada awal mula berdiri belum sempurna, kurangnya minat untuk berorganisasi dari para perempuan di Tinggarjaya. Setiap kegiatan yang dilaksanakan memang mendapat tanggapan baik dari masyarakat tetapi untuk bergabung sebagai anggota masih sangat kurang kesadarannya. Ajakan untuk berorganisasi tetap selalu dilakukan oleh Rasih, beliau merupakan ketua „Aisyiyah pertama. Usaha yang dilakukan adalah dengan mengadakan pengajian rutin setiap minggu, latihan hadroh dan paduan suara. Minat untuk berorganisasi dari kaum perempuan di Tinggarjaya memang tidak merata, ada yang sangat antusias dan ada yang tidak tertarik sama sekali.

  Namun, hal tersebut tidak menjadi masalah bagi Rasih, semangat yang besar selalu beliau tunjukan untuk kemajuan „Aisyiyah. Kunjungan ke beberapa ranting juga dilakukan oleh beliau. Tujuan kegiatan tersebut untuk silaturahmi agar hubungan antara Pimpinan Cabang dan ranting selalu terjaga dengan baik (wawancara Sidan Hadi Danu Martopo, 7 Maret 2017).

  Perjuangan untuk memajukan „Aisyiyah yang dilakukan Rasih nampaknya terinspirasi dengan yang dilakukan oleh Nyai Ahmad Dahlan pada awal mula berdirinya di kampung Kauman Yogyakarta, seiring dengan perkembangan „Aisyiyah mulai bergerak keluar kampung Kauman, sifatnya yang lokal karena menggunakan bahasa Jawa. Nyai Ahmad Dahlan bersama- sama pengurus „Aisyiyah lainnya ,mengadakan tabligh ke kota-kota besar, mendatangi orang-orang yang berpangkat. Nyai

Ahmad Dahlan juga mendatangi cabang- cabang „Aisyiyah di Boyolali

  Purwokerto, Pasuruan, Malang, Kepanjen, Ponorogo, Madiun, dan sebagainya. Tujuan kedatangan Nyai Ahmad Dahlan ke kota-kota itu adalah untuk menambah kesadaran dan dorongan keIslaman warga yang didatangi serta meninggalkan kesan, contoh, dan teladan yang baik.

  Pembinaan umat dan generasi muda itu bukanlah di kota-kota besar saja, tetapi mengadakan kunjungan ke desa-desa juga mendapat perhatian beliau. Nyai Ahmad Dahlan pernah ke Batur yang harus melalui gunung Dieng dengan mengendarai kuda, yaitu pada tahun 1927. Dalam melaksanakan panggilan jiwanya itu Nyai Ahmad Dahlan tidak merasa takut dan lhawatir terhadap apapun, rasa bahagia dan gembira dan tambah mantap hati pengurus „Aisyiyah ditempat-tempat tersebut mendapat kunjungan dari Nyai

  Ahmad Dahlan (PP „Aisyiyah,tt: 24-25). Perjuangan Nyai Ahmad Dahlan memang perlu dicontoh oleh wanita-wanita Indonesia. Hal tersebut juga dicontoh oleh Rasih, setelah melakukan kunjungan ke ranting-ranting, Rasa gembira juga dirasakan oleh para anggota ranting- ranting di Pimpinan cabang „Aisyiyah

  Tinggarjaya, karena mereka merasa sangat dihargai keberadaannya oleh pimpinan cabang, tidak hanya kunjungan saja tetapi setiap kegiatan yang dilakukan oleh pimpinan ranting juga selalu didatangi. Dukungan yang sangat kuat dari pimpinan cabang juga mempengaruhi perkembangan ranting-rantingnya.

C. Perkembangan Pimpinan Cabang ‘Aisyiyah Jatilawang

  „Aisyiyah berdiri pada tahun 1335H/tahun 1917 M kemudian tumbuh dengan cepat . Warga „Aisyiyah terdiri dari gadis-gadis remaja, di samping ibu-ibu muda yang sudah berumah tangga. Perkembangan

  „Aisyiyah tidak hanya di Yogyakarta tetapi juga di beberapa tempat di pulau Jawa bahkan di luar pulau Jawa. Dimana-mana „Aisyiyah tumbuh bagaikan cendawan dimusim hujan. Pertumbuhan yang demikian cepat ini tidak terlepas dari kerja keras pengurusnya/pimpinannya yang tanpa pamrih kecuali hanya mengharap ridla Allah SWT dan menyakini atau menganggapnya bahwa itu merupakan pekerjaan yang mulia.

  „Aisyiyah berdiri di Tingarjaya pada 17 Muharram 1354H/21 April 1935

  . Pada awal berdirinya bernama Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya, tetapi karena kedudukan pimpinan cabang seharusnya di kecamatan, maka d iganti menjadi Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang. Proses pergantian nama tidak semudah yang dibayangkan karena mengalami masalah. Masalah tersebut muncul ketika Muhammadiyah mengalami pembaharuan dari nama Tinggarjajaya ke Jatilawang, kemudian „Aisyiyah mengikuti pergantian nama tersebut, tetapi SK yang keluar nama Tinggarjaya tetap atau tidak berganti nama menjadi Jatilawang. Hal itu terjadi karena sesuai dengan arsip yang ada di Pimpinan Pusat „Aisyiyah. Alasan lain yang melatarbelakangi tidak berubahnya nama Tinggarjaya menjadi Jatilawang yaitu banyaknya pimpinan ranting yang berdiri di Tinggarjaya dan banyaknya orang yang memilih untuk menjadi anggota Muhammadiyah yang tergabung didalam organisasi otonomnya.

  SK dari Pimpinan Pusat „Aisyiyah bernama Pimpinan Cabang „Aisyiyah Tinggarjaya, tetapi sampai saat ini bernama Pimpinan cabang „Aisyiyah Jatilawang karena mengikuti pembaharuan yang dilakukan Muhammadiyah. Pada awalnya bernama Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tinggarjaya menjadi Pimpinan Cabang Muhammadiyah Jatilawang, sehingga semua organisasi otonomnya mengikuti pembaharuan tersebut. Seiring dengan berjalannya waktu Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang mengalami penambahan ranting. Semula hanya sepuluh ranting bertambah menjadi 12 ranting, yaitu Pimpinan ranting Wlahar Timur, Lebak, Wlahar Barat, Kompas, Darussalam, Madrasah, Cumplung, Kutawinangun, Kedungwringin, Tunjung, Adisara, dan Tinggarwangi.

  Ranting-ranting tersebut di bawah naungan Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang. Sesuai dengan Anggaran Dasar „Aisyiyah bahwa Pimpinan Ranting bertugas untuk mempimpin organisasi didalam rantingnya dan melaksanakan kebijakan pimpinan di atasnya. Pimpinan Cabang juga bertugas memimpin organisasi di dalam cabangnya dan melaksanakan kebijakan Pimpinan diatasnya. Susunan Pimpinan organisasi terdiri atas Pimpinan Pusat, Pimpinan Wilayah, Pimpinan Daerah, Pimpinan Cabang, dan Pimpinan Ranting. Pimpinan Organisasi tersebut saling berhubungan dan mempunyai tanggungjawab masing- masing dalam kedudukannya.

  Sejak awal berdirinya „Aisyiyah diketuai oleh Rasih. Beliau menjadi ketua „Aisyiyah pertama kali terhitung dari awal berdirinya „Aisyiyah yaitu pada tanggal 21 April 1935. Periode ketika Rasih menjabat sebagai ketua PCA Jatilawang tidak diketahui karena pada saat itu belum ada sistem periode. Pergantian ketua akan dilaksanakan ketika sudah menemukan pengganti yang mampu dan pantas untuk menjadi ketua (wawancara Siti Khuszaemah, 5 Maret 2017).

  Orang yang mampu menggantikan posisi Rasih ialah Sutini. Beliau mempunyai semangat berorganisasi yang sangat tinggi, selalu mengikuti kegiatan yang dilaksanakan oleh PCA Jatilawang dengan baik dan tanpa mengeluh. Beliau juga merupakan sosok perempuan yang hebat, karena mampu menggantikan Rasih sebagai ketua PCA Jatilawang. Rasih merupakan tokoh yang ulet dan rajin sehingga bisa diperkirakan beliau menjadi ketua PCA Jatilawang cukup lama. Sutini mempunyai kemampuan yang baik sehingga pantas untuk menggantikan Rasih. Sutini berhasil menghimpun banyak anggota PCA Jatilawang, sehingga perkembangannya cukup baik. Kegiatan yang dilakukan juga semakin bertambah.

  Ketua selanjutnya ialah Suliah, beliau juga diperkirakan memimpin „Aisyiyah lebih dari 10 tahun. Kemudian digantikan oleh Suliah, beliau juga diperkirakan menjadi ketua selama 10 tahun. Selanjutnya beliau digantikan oleh Marsinah. Beliau juga diperkirakan memimpin PCA Jatilawang cukup lama. Ketua PCA Jatilawang selanjutnya ialah

  Ma‟rifah, pada masa kepemimpinan beliau mulai adanya sistem periode, sehingga jabatan ketua mulai dibatasi dengan periode kepemimpinan yaitu satu periode ialah lima tahun. Kepemimpinan yang sangat panjang, karena pada waktu itu belum ada kader yang siap dan mampu menjadi ketua menggantikan Ma

  ‟rifah sehingga beliau menjabat sampai ada kader yang siap dan mampu untuk memimpin „Aisyiyah.

  Orang yang mampu dan memenuhi syarat untuk menjadi ketua PCA Jatilawang menggantikan Ma

  ‟rifah ialah Hj. Thoifah, beliau menjabat sebagai ketua selama dua periode, yaitu pada tahun 1990-2000.

  Pada saat menjabat sebagai ketua PCA Jatilawang beliau juga menjabat sebagai Kepala Sekolah SMP Muhammadiyah Jatilawang. Sehingga beliau mempunyai peran ganda, hal yang tidak bisa dilakukan oleh semua orang. Siti Isroiyah, S.Ag. merupakan ketua PCA Jatilawang setelah Hj. Thoifah. Beliau menjabat sebagai ketua selama dua periode, yaitu pada tahun 2000- 2010. Beliau pada waktu menjabat merupakan guru agama SD. Beliau merupakan istri dari Suwondo, seorang aktivis Muhammadiyah yang sampai saat ini masih aktif dalam berorganisasi.

  Periode kepemimpinan ketua PCA Jatilawang memang rata-rata dua periode karena ketika akan menjadi ketua tidak mudah. Hal tersebut dikemukakan oleh Ketua Pi mpinan Cabang „Aisyiyah saat ini yaitu Siti Khuszaemah, A.Ma. Beliau merupakan ketua terpilih menggantikan Siti Isroiyah. Sebelum menjadi ketua PCA Jatilawang beliau menjabat sebagai ketua Nasyiatul „Aisyiyah selama dua periode, kemampuan organisasi terus beliau asah dengan menjadi sekretaris di PCA Jatilawang, kemudian naik jabatan menjadi wakil ketua dan selanjutnya menjadi Ketua PCA Jatilawang tahun 2010-2015 kemudian dipercaya kembali untuk menjabat sebagai ketua pada periode tahun 2015-2020. Kemampuan berorganisasi beliau memang sudah cukup banyak sehingga dipercaya oleh ibu-ibu anggota Pimpinan Cabang „Aisyiyah untuk menjabat terus menerus sampai akhir hayat, tetapi beliau menolak karena harus sesuai dengan aturan yang dikeluarkan oleh Pimpinan Pusat „Aisyiyah tentang pergantian ketua setiap periode dan maksimal menjabat adalah 2 periode (10 tahun).

  Pada periode kepemimpinan Siti Khuszaemah, PCA Jatilawang mengalami perkembangan yang cukup pesat. Anggotanya semakin hari semakin bertambah dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan berjalan dengan baik dan lancar. Salah satu kegiatan yang yang menonjol pada periode ini ialah kegiatan tertib organisasi yaitu diadakan pembuatan Kartu Tanda Anggota (KTA) dan Nomor Baku Muhammadiyah (NBM). Pembuatan KTA dan NBM tersebut dikoordinir langsung oleh beliau, yaitu dengan mengisi blangko dari Pimpinan Daerah „Aisyiyah Banyumas, kemudian diperbanyak sebanyak pemohon, di isi sesuai dengan identitas asli pemohon beserta foto, selanjutnya membayar uang pangkal sebesar Rp.

  10.000 untuk pembuatan KTA dan Rp. 25.000 untuk pembuatan NBM. Setelah berkas terkumpul semua selanjutnya dikirimkan menggunakan jasa pengiriman barang ke Pimpinan Pusat „Aisyiyah di Yogyakarta dan transfer uang pangkal sebanyak pemohon. Setelah KTA dan NBM jadi sebanyak 109, selanjutnya dipaketkan dari Pimpinan Pusat „Aisyiyah Yogyakarta ke Tinggarjaya. Hal tersebut sangat mempermudah Siti Khuszaemah sehingga tidak perlu pergi ke Yogyakarta.

  Kegiatan tertib organisasi tersebut baru dilakukan oleh Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang sehingga Pimpinan cabang lain menanyakan tata cara tertib organisasi tersebut ke Siti Khuszaemah. Selain KTA dan NBM yang harus dibuatkan oleh Pim pinan Pusat „Aisyiyah , seragam dan segala kebutuhan lain yang diperlukan oleh Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang juga dibeli langsung di Pimpinan Pusat „Aisyiyah di Yogyakarta. Pada saat KTA dan NBM sudah jadi, ternyata muncul permasalahan yaitu ada empat nama yang dikembalikan oleh Pimpinan Pusat

  „Aisyiyah . Alasan pengembalian tersebut karena tulisan nama tidak terbaca dengan jelas. Anggota tersebut menyalahkan ketua dan tidak mau membayar uang pangkal lagi. sedangkan untuk mengajukan kembali pembuatan KTA dan NBM harus melakukan pembayaran ulang untuk uang pangkal dan pembayaran jasa pengiriman, dengan penuh kesabaran beliau menjelaskan semua langkah-langkah dalam pembuatan KTA dan NBM kepada anggota tersebut.

  Dalam suatu organisasi tentu saja tidak selalu berjalan lancar. tetapi pernah mengalami hambatan dan rintangan, tetapi hal tersebut tidak membuat semangat berorganisasi menurun. justru semakin semangat untuk menghadapi segala permasalahan yang ada didalam suatu organisasi.

  Salah satu masalah yang harus ditindak lanjuti langsung oleh ketua adalah masalah yang terdapat di ranting. Masalah yang terjadi di ranting Margasana, anggotanya semakin hari semakin berkurang karena sesepuh Muhammadiyah yang mengetahui secara mendalam tentang Muhammadiyah sudah meninggal. Sehingga tidak ada penerus yang melanjutkan perjuangan-perjuangan orang terdahulu untuk berorganisasi.

Pimpinan Ranting „Aisyiyah Margasana tidak berjalan lancar karena tidak ada penggerak sehingga tidak ada kegiatan yang dilaksanakan. Masalah

  tersebut tidak hanya dialami oleh Pimpinan Ranting Margasana, tetapi terjadi juga di Pimpinan Ranting Karang Anyar, masalah muncul karena orang asli Muhammadiyah tidak kuat, awal berdiri hanya beranggotakan lima orang. Di daerah tersebut orang-orang yang kuat dalam segi mental berorganisasi bukan orang asli Muhammadiyah. Masalah tersebut belum bisa diatasi oleh PCA Jatilawang karena tidak mau dikunjungi, dengan alasan masih bisa mengatasi masalah sendiri (wawancara Siti Kuszaemah, 5 Maret 2017).

  Selain kedua ranting tersebut, ada satu ranting lagi yang mempunyai masalah, yaitu Pimpinan Ranting Tinggarwangi. Ranting ini merupakan ranting yang mempunyai banyak anggota, terdapat tujuh masjid wakaf Muhammadiyah. Ranting tersebut mempunyai tujuh kelompok pengajian, ketika diadakan pengajian dengan pembicara dari PCA Jatilawang, ketujuh perkumpulan pengajian tersebut tidak mau digabung menjadi satu. Mereka menginginkan adanya pengajian dimasing- masing masjid dengan pembicara dari PCA Jatilawang. Siti Khuszaemah sangat menyayangkan keputusan tersebut, karena jika ketujuh perkumpulan tersebut digabung maka akan memudahkan beliau ataupun anggota cabang yang lain ketika akan mengisi pengajian di ranting tersebut. Selain tempat yang menjadi masalah, pembagian waktu juga menjadi masalah di ranting tersebut. Permintaan hari yang diajukan tidak sesuai dengan hari yang ditetapkan oleh PCA Jatilawang.

  „Aisyiyah merupakan organisasi yang mempunyai potensi yang cukup baik, cukup bergegas dalam mengikuti gelombang zaman. Pada prinsipnya perlu diakui bahwa organisasi tersebut sangat administratif, sangat mementingan administrasi. PCA Jatilawang diakui sangat responsif, sangat sakral dan sangat penting kedudukannya di Tinggarjaya karena semangat yang dimiliki sangat tinggi baik secara individu maupun institusi (wawancara Sidan Hadi Danu Martopo, 7 Maret 2017).

  Tinggarjaya memang sebuah desa yang sudah diakui keberadaanya oleh banyak orang. Sumber Daya yang ada di Tinggarjaya menjadi keistimewaan untuk menjadi tempat terselenggaranya Pimpinan Cabang „Aisyiyah Jatilawang, pada umumnya kedudukan Cabang berada di kecamatan. Tinggarjaya mempunyai potensi yang cukup baik dalam bidang Ilmu Pengetahuan. Kepala Desa Tinggarjaya yaitu Sidan Hadi Danu Murtopo mengungkapkan bahwa beliau sudah belajar berorganisasi sejak masih kecil dan sudah terbiasa dengan kehidupan organisasi.

  Kesuksesan yang dicapai PCA Jatilawang merupakan hasil dari usaha keras para anggotanya. Sumber daya manusia yang cukup tinggi sehingga mampu mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh PCA Jatilawang. Masyarakat termotivasi untuk mengembangkan diri dengan mengikuti suatu organisasi. Motivasi tersebut bisa berasal dari diri sendiri ataupun lingkungan. Lingkungan politik berpengaruh terhadap keinginan seseorang untuk bergabung dalam suatu organisasi. Contohnya dalam satu keluarga semua mengikuti organisasi, tentu saja anggota keluarga lain akan terbiasa mendengar ataupun melihat kegiatan-kegiatan yang dilakukan sebagai anggota dalam suatu organisasi. Hal tersebut akan menggugah hati keluarga ataupun masyarakat sekitar untuk ikut serta bergabung dalam organisasi.