MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL

  74 MENGGUGAT RELASI FILSAFAT POSITIVISME

DENGAN AJARAN HUKUM DOKTRINAL

FX. Adji Samekto

  Fakult as Hukum Universit as Diponegoro Semarang E-mail:

  

Abst ract

In t he t eachi ng of l aw, t her e i s of t en "mi st aken", t hat put s l egal posi t i vism (j ur i spr udence) i s

i dent i cal wi t h t he phi l osophy of posit i vi sm. Legal posi t ivi sm be i dent if i ed as an inst ance of

posi t i vi sm phi l osophy int act . The st udy of l egal posit i vi sm, i n f act ver y cl osel y r el at ed t o t he

phi l osophy and t eachi ngs of t he l aw f r om t ime t o t ime. The ef f ect s of nat ur al l aw i n t he schol ast i c

er a, t hen t he er a of r at i onal i sm and t he i nf l uence of posi t ivi sm i n t he phi l osophy of nat ur al science

i s ver y at t ached t o t he legal posi t i vism unt i l t oday. Ther ef or e not onl y t he phi l osophy of posi t ivi sm

af f ect i ng t he devel opment of l egal posi t ivi sm. Based on t hat t hen t he l egal posi t i vism i n f act has a

char act er i st i c whi ch i s di f f er ent f r om t he soci al sci ences. If t he soci al sci ences wer e devel oped

based on t he phi l osophy of posi t ivi sm, t he doct r inal t eaching of t he l aw i s not ent i r el y been

devel oped based on t he phi l osophy of posi t ivi sm. Not al l t he l ogi cal posit ivi st phi l osophy can be

appl i ed i n t he doct r inal l aw. Keywor ds : posi t ivi sm, l egal posit ivi sm, doct r inal

  

Abst rak

  Di dalam pengaj aran ilmu hukum, sering t erj adi “ salah kaprah” , yang menempat kan aj aran hukum dokt rinal ident ik dengan f ilsaf at posit ivisme. Hukum posit if diident ikkan sebagai t urunan ut uh f ilsaf at posit ivisme. Kaj ian hukum dokt rinal, sesungguhnya sangat erat berhubungan dengan f ilsaf at dan aj aran-aj aran hukum dari masa ke masa. Pengaruh-pengaruh hukum alam pada era Skolast ik, kemudian pada era Rasionalisme sert a pengaruh f ilsaf at posit ivisme dalam ilmu penget ahuan alam sangat melekat pada kaj ian hukum dokt rinal hingga saat ini. Oleh karena it u bukan hanya f ilsaf at posit ivisme saj a yang mempengaruhi perkembangan kaj ian hukum dokt rinal. Berdasarkan hal it u maka kaj ian hukum dokt rinal sesungguhnya memiliki ciri khas yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial. Apabila ilmu sosial dikembangkan berbasis f ilsaf at posit ivisme, maka aj aran hukum dokt rinal t idak seluruhnya dikembangkan berbasis f ilsaf at posit ivisme. Tidak semua logika f ilsaf at posit ivisme bisa dit erapkan di dalam hukum dokt rinal.

  Kat a kunci : posi t ivi sme, posit ivi sme hukum, dokt r inal Pendahuluan

  Aj aran hukum dokt rinal dalam pengaj ar- Hukum (yang dit erj emahkan dari kat a an ilmu hukum, memiliki sej arah yang panj ang,

  “ l aw” dalam bahasa Inggris) menurut Herman j auh sebelum f ilsaf at ilmu penget ahuan modern J. Piet ersen adalah suat u bangunan normat if . mendominasi paradigma pengembangan ilmu Dalam pengert ian ini hukum dikonsepsikan se- penget ahuan t ermasuk ilmu-ilmu humaniora. bagai an inst r ument of t he st at e or pol i s con- Pengembangan ilmu hukum, walaupun meng-

  

cer ned wi t h j ust i ce, wi t h r ul es of conduct t o alami perkembangan sangat pesat di era post -

r egul at e human behavi our . Jadi menurut pan- posit ivisme, t et api t idak t erelakkan, bahwa

  dangan ini hukum merupakan inst rumen unt uk aj aran hukum dokt rinal masih dominan dalam menegakkan keadilan yang wuj udnya berupa pengaj aran ilmu hukum pada hampir sebagian pedoman perilaku dengan f ungsi ut amanya me- besar universit as di dunia. Tent u t idak boleh, ngat ur perilaku manusia. Inilah basis berpikir dalam dunia akademik (keilmuan) dilakukan aj aran hukum dokt rinal. st igmat isasi bahwa mempelaj ari hukum dokt ri-

  Menggugat Rel asi Fil saf at Posit ivi sme dengan Aj aran Hukum Dokt rinal

  75

  nal adalah hal yang mudah, lebih rendah dera- j at nya, at aupun apapun ist ilahnya yang mana ungkapan-ungkapan it u berkesan t idak pent ing melakukan kaj ian hukum dalam pendekat an dokt rinal.

1 Kaj ian hukum dalam pendekat an dokt ri-

  nal, kalau dipelaj ari secara benar, sesungguh- nya t idak mudah. Kaj ian ini memiliki ciri khas sendiri yang berbeda dengan ilmu-ilmu sosial yang dikembangkan dahulu seiring dengan ke- lahiran f ilsaf at posit ivisme. Akan t et api yang t erj adi adalah salah kaprah: kaj ian hukum dok- t rinal seolah-olah hanya berkut at persoalan- persoalan keberlakuan dan ket idak-berlakuan hukum posit if saj a. Salah kaprah berikut nya adalah bahwa kaj ian hukum dokt rinal ident ik dengan posit ivisme hukum yang bersumber dari f ilsaf at posit ivisme. Pendapat kedua ini t idak sepenuhnya salah, akan t et api sesungguhnya ada kekhasan-kekhasan t ersendiri dari aj aran hukum dalam pendekat an dokt rinal, yang it u j ust ru bert ent angan dengan f ilsaf at posit ivisme it u sendiri.

  Berangkat dari pemikiran it ulah, maka t ulisan ini akan membahas permasalahan me- ngenai relasi (ket erkait an) ant ara f ilsaf at posi- t ivisme dengan aj aran hukum dokt rinal; dan alasan-alasan mengapa aj aran f ilsaf at posit i- visme t idak dapat seluruhnya melandasi aj aran hukum dokt rinal? Berdasarkan permasalahan t ersebut di at as, maka dengan t uj uan unt uk memberikan kesadaran bahwa sesungguhnya ada kekhasan-kekhasan t ersendiri dari aj aran hukum dalam pendekat an dokt rinal, yang it u j ust ru bert ent angan dengan f ilsaf at posit ivisme it u sendiri, maka pembahasan di dalam t ulisan ini dif okuskan pada paparan t ent ang aj aran hukum dokt rinal dengan segala implikasinya, 1 Lihat t ent ang par adigm ini pada Erl yn Indart i , “ Legal

  Const ruct ivism: Par adigma Baru Pendi dikan Dal am Rangka Pembangunan Masyar akat Madani ” , dal am Maj al ah Il mi ah Masal ah-Masal ah Hukum, Vol . XXX, No.

  3, Jul i – Sept ember 2001, hl m. 139-154 dan Par sudi Su- parl an, “ Paradigma Nat ur al i st ik dal am Penel it ian Pen- di dikan: Pendekat an Kual it at i f dan Penggunaannya” , Maj al ah Ant r opol ogi Indonesi a No. 53, Vol . 21 – 1997, dit er bi t ka ol eh FISIP UI Jakart a; Theresia Anit a Chr is- t iani, ” St udi Hukum Ber dasarkan Perkembangan Para- digma Pemikiran Hukum Menuj ur Met ode Hol ist ik” , Jur - nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol . 26 No. 4 Okt ober 2008,

  dan paparan t ent ang f ilsaf at posit ivisme de- ngan segala implikasinya. Dari paparan kedua variabel t ersebut diharapkan dapat dit emukan relasi ant ara f ilsaf at posit ivisme dengan aj aran hukum dokt rinal.

  Pembahasan Aj aran Hukum Doktrinal

  Ist ilah aj aran hukum dokt rinal menunj uk pada aj aran hukum yang didasarkan pada pre- mis bahwa hukum merupakan norma yang me- ngat ur kehidupan masyarakat . Keberadaan huk- um sej ak masa lampau j auh sebelum masuk pa- da era posit ivisme, seiring dengan perkembang- an peradaban manusia, diyakini sebagai sarana unt uk menyelesaikan problem konkret dalam masyarakat . Oleh karena it u adalah benar apa- bila Cicero menyat akan : ubi soci et as i bi i us (di mana ada masyarakat , di sit u ada hukum). Ke- adilan merupakan f akt or pent ing bagi alasan keberadaan penegakan hukum. Fisosof -f ilosof Yunani kuno, Socrat es, Plat o dan Arist ot eles menyat akan bahwa t uj uan hukum adalah me- wuj udkan keadilan, dan unt uk it u diperlukan penegakan hukum. Dalam hal ini pemikiran-pe- mikiran yang bersumber dari aj aran agama be- lum begit u kuat . Kuat nya pengaruh agama di dalam pembent ukan hukum di masa berikut nya t erj adi karena dij adikannya Krist en sebagai agama di bangsa Romawi semasa Imperium Ro- mawi berkuasa at as sebagian besar darat an Eropa.

  Tokoh yang dianggap t elah menj embat ani f ilsaf at Yunani dengan alam pemikiran Krist en adalah St . August inus (354-430). Menurut St . August inus hukum alam merupakan hukum aba- di yang ada pada Tuhan. Menurut St . August i- nus, prinsip t ert inggi hukum alam adalah : “ j a-

  ngan ber buat kepada or ang l ai n apa yang eng- kau t i dak i ngi nkan or ang ber buat kepadamu” .

  Aj aran St . August inus ini mempengaruhi Thomas Aquinas (1225-1275), salah sat u t okoh masa skolast ik. Menurut Thomas Aquinas, hu- kum alam ( nat ur al l aw) adalah hukum yang me- ngat ur kehidupan manusia dalam kehidupan di dunia. Dalam pandangan Thomas Aquinas, hu- kum alam merupakan hukum yang lahir dari ke-

76 Jurnal Dinamika Hukum

  Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  kum alam sekunder adalah hukum alam yang t ersimpul dari norma-norma hukum alam pri- mer. Misalnya di dalam hukum alam primer ada ket ent uan “ j angan mer ugi kan seseor ang” , ma- ka dari sini dapat dit urunkan norma hukum alam sekunder : “ j angan mencur i “ dan “ j angan

  Theo Huij bers, op. ci t , hl m. 41; Cl arence Morr is, op. ci t ,

  Seiring dengan perkembangan pemikiran di Abad Pert engahan, konsepsi t ent ang hukum alam pun mulai mengalami perubahan. Hukum Alam yang pada masa Abad Pert engahan sangat didominasi oleh aj aran-aj aran Ket uhanan (seba- gaimana t ampak pada aj aran Thomas Aquinas)

  dapat diaj ukan suat u pert anyaan, apakah t er- j adinya t indakan saling bunuh dalam pepera- ngan merupakan hal yang bert ent angan dengan hukum alam? Menurut Thomas Aquinas, dalam hal ini lebih baik dinyat akan, bahwa hukum alam t idak berlaku sebagaimana mest inya. Apa- bila selanj ut nya dipert anyakan, mengapa di da- lam peperangan t erj adi t indakan saling bunuh padahal t indakan t ersebut bert ent angan de- ngan hukum alam, Thomas Aquinas memberikan j awaban: hal it u t erj adi karena manusia memi- liki sif at khilaf dan cenderung mement ingkan diri sendiri, sehingga akal sehat seringkali dika- burkannya dan mengakibat kan penaf sirannya t ent ang hukum alam menj adi sesat , namun t et ap dilakukannya.

  3 Berkait an dengan hukum alam sekunder,

  membunuh” .

  kepada set i ap or ang apa yang memang menj adi haknya” ; “ Jangan mer ugi kan or ang l ai n” . Hu-

  oleh Tuhan. Ide Thomas Aquinas mengenai hu- kum alam sangat dipengaruhi pandangan Arist o- t eles, f ilosof Yunani. Sepert i Arist ot eles, Tho- mas Aquinas berpandangan bahwa, alam semes- t a pada hakekat nya t erdiri dari subst ansi-subs- t ansi yang merupakan kesat uan mat eri dan bent uk. Masing-masing subst ansi ini memiliki t uj uan-t uj uan sendiri-sendiri dan masing-ma- sing memiliki t uj uan di luar dirinya. Hal ini da- pat dimisalkan benda mat i berguna unt uk t um- buh-t umbuhan dan semua makhluk yang lebih t inggi. Sedangkan t umbuh-t umbuhan berguna bagi manusia. Semua ini mempunyai t uj uan yang lebih t inggi yait u menuj u kepada yang sempurna yait u Budi-Illahi.

  Hukum alam yang oleh Thomas Aquinas di def inisikan sebagai hukum yang berasal dari Tu- han, yang mewuj udkan diri dalam akal dan ra- sio manusia, dibagi dalam dua golongan yang t erhubung, yait u hukum alam primer dan hu- kum alam sekunder. Hukum alam primer adalah hukum alam yang berlaku bagi set iap manusia. Cont oh konkret hukum alam primer: “ Ber i kan

  keagamaan. Ikat an ini sedemikian kuat mempe- ngaruhi segala aspek kehidupan, sehingga lahir pandangan bahwa manusia menj adi t idak ber- art i t anpa Tuhan. Corak pemikiran hukum pada masa skolast ik banyak didasari oleh aj aran agama t erut ama Krist en.

  Sej ar ah, Yogyakart a: Kanisius, hl m. 40; Cl arence Morris, 1963, The Gr eat Legal Phi l osopher s: Sel ect ed Readi ng i n Jur i spr udence, Phil adel phi a: Univer sit y of

  Sej arah perkembangan aj aran hukum dokt rinal t idak bisa dilepaskan dari pembicara- an perkembangan aj aran hukum alam. Pemba- hasan t ent ang hukum alam t erkait dengan masa skolast ik. Masa skolast ik adalah masa dimana alam pikiran manusia sangat t erikat oleh ikat an 2 Theo Huij bers, 1980, Fi l saf at Hukum Dal am Li nt asan

  adalah sesuat u yang t idak sesuai dengan kecen- derungan alam. Hukum alam yang t erlet ak pada akal budi manusia disebut Thomas Aquinas sebagai part isipasi at uran yang berasal dari Tu- han, yait u Hukum yang Abadi yang mewuj udkan diri dalam rasio makhluk hidup. Menurut pen- dapat nya, prinsip-prinsip hukum alam mengikat set iap masyarakat . Oleh karena it u syarat yang dibut uhkan unt uk eksist ensi suat u sist em hu- kum adalah bahwa hukum t ersebut harus me- muat prinsip-prinsip hukum alam.

  Hal t ersebut oleh Thomas Aquinas dipan- dang sebagai at uran alam yang bersumber pada Tuhan. At uran-at uran t ersebut kemudian me- wuj udkan diri dalam subst ansi yang disebut ma- nusia, yait u di dalam kemampuannya mengenal apa yang baik dan apa yang j ahat . Sesuat u yang baik, menurut Thomas Aquinas adalah sesuat u yang sesuai dengan kecenderungan alam, dan sesuat u yang baik it u harus dilakukan. Misalnya kemauan unt uk mempert ahankan hidup, laki- laki dan wanit a harus menikah, manusia harus bermasyarakat .

2 Sebaliknya sesuat u yang j ahat

  Menggugat Rel asi Fil saf at Posit ivi sme dengan Aj aran Hukum Dokt rinal

  77

  mulai dimasuki pemikiran-pemikiran yang ber- sumber pada akal-budi manusia yang lepas dari pengaruh aj aran Ket uhanan. Kalau pada era Abad Pert engahan ikat an-ikat an keagamaan se- demikian kuat nya mempengaruhi semua aspek kehidupan, maka dalam perkembangannya pe- ngaruh it u mulai t ereduksi oleh akal-budi dan rasio manusia. Fenomena ini mencapai puncak- nya di era Renai ssance yang berlangsung dari t ahun 1493–1650. Terj adilah apa yang disebut sekularisasi hukum alam, dengan t okoh-t okoh- nya: Grot ius at au Hugo de Groot (1583-1645) dan Samuel Pf uf endorf (1632-1694).

  Konsep-konsep hukum alam dari Grot ius bahwa pada dasarnya manusia adalah makhluk sosial. Perwuj udan manusia sebagai makhluk sosial adalah realit as bukan “ seharusnya” . Kon- sep ini dilandasi pemikirannya bahwa: (a) se- mua manusia sesungguhnya mempunyai alam yang sama; (b) Oleh karenanya manusia mem- punyai kecenderungan membent uk hidup ber- sama. Menurut Grot ius, dasar pemikiran inilah yang menj adi dasar (pendorong) t erbent uknya negara. Grot ius menyat akan bahwa semua ne- gara t erikat oleh hukum alam, yang memisah- kan ant ara Hukum Illahi (Hukum Ket uhanan) dengan akal budi manusia ( t hat nat i ons ar e

  bound by nat ur al l aw, whi ch was separ at e f r om God's l aw and based on t he nat ur e of man).

  Samuel Pf uf endorf adalah seorang f ilsof dan sej arawan dari Jerman. Sepert i Grot ius, karena ia hidup di era semangat pembent ukan negara baru, maka konsep-konsepnya t ent ang hukum alam j uga t erkait dengan keberadaan negara dan hubungan individu dengan masyara- kat . Menurut pendapat nya, hubungan ant ar ne- gara diat ur oleh hukum alam. Aj arannya yang sampai sekarang t idak bisa dibant ah adalah t ent ang dokt rin kesederaj at an negara. Samuel Pf uf endorf menyat akan: semua negara adalah sederaj at t anpa memandang ukuran besar-ke- cilnya sert a kekayaannya.

  kan ket ent uan f undament al dalam hukum yang mengat ur hubungan ant ar negara yang berlaku hingga sekarang.

  Hingorani , 1984, Moder n Int er nat i onal Law, 2nd edit -

  Berkait an dengan hubungan manusia (in- dividu) dengan masyarakat nya, aj aran Samuel Pf uf endorf menyat akan: manusia harus mewu- j udkan diri sebagai makhluk sosial supaya ia da- pat hidup damai. Perwuj udan diri sebagai mah- luk sosial adalah suat u keharusan, sehingga bo- leh disebut ini merupakan keharusan moral. Sa- muel Pf uf endorf kemudian menj abarkannya da- lam 2 (dua) bagian hukum, yait u hukum yang berlaku bagi manusia it u sendiri dan hukum yang berlaku bagi manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial. Berkait an dengan kedu- dukan manusia sebagai makhluk sosial lahirlah ket ent uan hukum alam yang kemudian diangkat sebagai prinsip hukum umum yait u : pact a sunt

  ser vanda (perj anj ian harus dihormat i) dan prin- sip “ j angan mengambil milik orang lain” .

  Berdasarkan uraian di at as t erlihat bahwa keberlakuan hukum alam didasarkan pada nilai- nilai at au aj aran-aj aran yang bersumber dari olah pikiran manusia. Dalam hal ini olah pikiran t ent u sangat dipengaruhi t at anan sosial yang melingkupi kehidupan para pemikir-pemikir be- sar t adi. Nilai-nilai (yang bersumber dari olah pikir t ersebut ) merupakan sesuat u yang bersif at abst rak, apr ior i , akan t et api t erj abarkan secara linear di dalam hukum yang mengat ur kehidup- an. Disebut bersif at apr i or i karena bersif at abs- t rak dan bersumber dari olah pikir yang dit un- t un oleh aj aran-aj aran agama. Hukum yang di- bangun dengan demikian akan menj adi sepe- rangkat at uran yang mengat ur hubungan ant ar manusia. Penalaran yang dibangun bersif at dedukt if , karena dari nilai-nilai t ersebut di at as dibent uk at uran hukum yang harus diberlaku- kan t erhadap siapa pun yang melanggar at uran t ersebut . Dari sinilah muncul prinsip t iada pi- dana t anpa kesalahan ( noel a poena si nne cul -

  pa). Dengan demikian harus dibukt ikan dahulu

  ada t idaknya kesalahan seseorang. Prinsip per- samaan perlakuan hukum ( equal i t y bef or e t he

4 Dokt rin ini merupa-

  l aw) sudah dimunculkan disini. Keberlakuan hu-

  kum dilambangkan dalam personif ikasi Dewi Themis, yang memegang t imbangan di t angan kiri, dengan kepala t ert ut up memegang pedang di t angan kanan. Aj aran-aj aran yang t umbuh semasa perkembangan hukum alam ini kemu-

78 Jurnal Dinamika Hukum

  Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  dibuka unt uk dimanf aat kan bagi t uj uan-t uj uan kemanusiaan. Rasionalisme t elah menempat kan akal budi manusia sebagai sat u-sat unya t olok ukur yang sah bagi kegiat an, karya dan kehi- dupan manusia.

5 Aj aran Dalam Filsafat Positivisme

  Surut nya pengaruh aj aran Ket uhanan da- lam hukum alam t elah mendorong makin me- ngedepannya proses-proses rasionalisasi bidang- bidang kehidupan. Inilah yang melandasi Eropa Barat masuk pada era Rasionalisme.

  gai aj aran hukum dokt rinal. Hukum dalam aj ar- an dokt rinal ini mempunyai t uj uan ut ama: men- cipt akan keadilan. Dengan melandaskan pada prinsip-prinsip ut ama mencipt akan keadilan, semua sama di depan hukum, t iada hukuman t anpa kesalahan, maka peran hukum yang ut a- ma adalah menyelesaikan problem konkret di dalam masyarakat . Problem di masyarakat bisa muncul manakala rasa keadilan it u t erusik. Ter- kait dengan aj aran dokt rinal ini berlakulah aj aran f iksi hukum (semua orang dianggap t ahu hukum). Fiksi hukum sepert i ini t ent u t idak mu- dah dinalar oleh penganut f ilsaf at Posit ivisme.

  Sesuat u yang dipandang val i d sebagai il- mu adalah ilmu-ilmu penget ahuan alam, yait u ilmu-ilmu yang disusun berdasarkan f akt a-f akt a yang dihimpun melalui observasi, dan hasil pe- nelit iannya dapat diulangi secara t idak t erbat as unt uk dilihat dan diukur. Sunaryat i Hart ono me- nyebut kan, pembenaran t erhadap pandangan ini dapat didasarkan pada pendapat Francis Ba- con dari Inggris dan Rene Descart es dari Peran- cis, bahwa alam dan benda-benda alamiah lainnya t idak mempunyai j iwa sepert i manusia. Unt uk mengenalnya benda-benda it u harus di- t elit i secara i mper sonal art inya lepas dari nilai- nilai subj ekt if dan hanya didasarkan pada akal (rasio) dan pengalaman.

6 Era ini di-

  Shidart a, 2006, ” Fil osof i Penal aran Hukum Haki m Kons- t it usi dal am Masa Transi si Konst it usional it as” . Jur nal Hukum Jent er a, Edisi 11-t ahun III, Januari-Maret 2006. hl m. 6 dan M. Syamsudi n, ” Konst ruksi Pol a Pikir Haki m dal am Memut us Perkara Korupsi Ber basi s Hukum Progresi f “ , Jurnal Di namika Hukum Vol . 11 No. 1 Januar i 2011, hl m. 10-19 6 Pada Abad pert engahan yang dominan adal ah kaj ian met af i si s. Gej al a-gej al a al am diyakini ber sumber dar i kekuat an-kekuat an yang menent ukan kehi dupan manu- si a. Cara berpikir ini begit u domi nan dan dit er ima seba- gai dogma. Manusia menganut begi t u saj a dogma (at au opini?) t er sebut t anpa ver if ikasi secar a rasional dan bukt i konkret ber basi s f akt a. Cara ber pikir ini t umbuh sebagai akibat domi nasi pemuka agama yang ber sinergi dengan kepent ingan mempert ahankan kekuasaan ol eh

  minologi “ Era Kegelapan” ( Dar k Age), yang me- nunj ukkan keadaan dimana manusia t elah dice- rahkan, dibebaskan pikirannya dari belenggu dominasi aj aran Ket uhanan kemudian dicerah- kan sehingga mampu mendayagunakan akal budi dan rasionya unt uk membent uk kehidupan sosial bersama. Sej ak abad keenambelas ilmu- ilmu alam membebaskan diri dari ikat an-ikat an keagamaan melalui pengamat an, perbandingan, eksperimen dan f alsif ikasi empiris, dan dengan it u rahasia-rahasia alam mulai t ersingkap. Alam 5 Lihat t ent ang prakt ik penal aran dedukt if i ni pada

  l i ght ment ) digunakan sebagai lawan dari t er-

  7 Oleh karena it ulah

  1800-an. Terminologi “ Era Pencerahan” ( En-

  8 Hukum-hukum yang berlaku dalam ilmu

  penget ahuan alam dirumuskan berdasarkan anggapan bahwa alam dapat diident if ikasi dan hasilnya t idak t ergant ung dari wakt u dan t em- pat .

  9 Aliran pemikiran t ersebut merupakan ref -

  leksi mazhab posit ivisme dalam ilmu penget a- huan yang dipelopori August e Comt e (1798- 1857). Pemikiran dalam posit ivisme dikembang- kan dari t eori August e Comt e yang bert olak da- ri kepast ian bahwa t erdapat hukum perkem- bangan yang menguasai manusia dan segala gej ala hidup bersama dan it u mut lak. Inilah yang oleh Comt e disebut nya sebagai Hukum Ti- ga Tahap. Menurut August e Comt e, dalam Hu- kum Tiga Tahap

  10

  t ersebut , ada t iga t ahap per- kembangan yang dilalui t iap-t iap masyarakat . 7 Sunaryat i Hart ono, 1991, “ Pembinaan Hukum Nasional

  Dal am Suasana Gl obal isasi Masyarakat Dunia” , Pi dat o Pengukuhan Jabat an Guru Besar Dal am Il mu Hukum, Bandung, FH UNPAD, hl m. 10 8 Boavent ur a De Sousa Sant os, 1995, Towar d a New Com- mon Sense: Law, Sci ence and Pol i t i cs i n t he Par adi g- mat i c Tr ansi t i on, London: Rout l edge, hl m. 14-15. 9 Loc. ci t

  Theo Huij bers, op. ci t , hl m. 122-126; Budiono Kusumo-

  ment ) yang t erj adi dari t ahun 1650 hingga awal

  sebut j uga sebagai Abad Pencerahan ( Enl i ght -

  maka ilmu-ilmu penget ahuan alam sebenarnya selalu didasarkan pada pengamat an f enomena alam secara bebas, pasang j arak, dan imper- sonal. Menggugat Rel asi Fil saf at Posit ivi sme dengan Aj aran Hukum Dokt rinal

  79 Tahap yang pert ama adalah t ahap t eo-

  dasar yang diambil dari t radisi ilmu alam, yang menempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat dikont rol, digeneralisir se- hingga gej ala ke depan bisa diramalkan.

  dan t idak menj elaskan t ent ang esensi; ket i ga, posit ivisme t idak lagi menj elaskan gej ala- gej ala alam sebagai ide abst rak. Gej ala-gej ala alam dit erangkan berbasis hubungan sebab- akibat dan dari it u kemudian didapat kan dalil- dalil at au hukum-hukum yang t idak t ergant ung 12 Ibi d, hl m. 30-31. 13 Ibi d.

  dua, posit ivisme t idak akan bersif at met af isik,

  me bert olak dari pandangan bahwa f ilsaf at posit ivisme hanya mendasarkan pada kenyat aan (realit a, f akt a) dan bukt i t erlebih dahulu; ke-

  Per t ama, posit ivis-

  Berdasarkan uraian di at as maka bebera- pa aj aran di dalam f ilsaf at posit ivisme dapat dipaparkan sebagai berikut .

  hab posit ivisme berangkat dari asumsi bahwa ilmu-ilmu alam adalah sat u-sat unya ilmu pe- nget ahuan yang secara universal adalah val i d. Berdasarkan asumsi ini maka walaupun t er- dapat perbedaan ant ara f enomena alam dengan f enomena sosial, dianggap selalu memungkin- kan unt uk mempelaj ari f enomena sosial dengan pendekat an dalam ilmu alam. Adanya dominasi paradigma posit ivisme dalam ilmu penget ahuan alam yang kemudian diadopsi dalam ilmu sosial menimbulkan cara berpikir seolah-olah f enome- na sosial harus dipahami dengan met ode yang impersonal, net ral dan obj ekt if , dan “ rumus” nya dimana-mana selalu sama t idak t ergant ung ruang dan wakt u.

  14 Maz-

  13 Mazhab posit ivisme memuat nilai-nilai

  logis. Dalam t ahap ini manusia percaya pada kekuat an Illahi di belakang gej ala-gej ala alam. Tahap yang kedua adalah t ahap met af isik. Da- lam t ahap ini dimulailah krit ik t erhadap segala pikiran, t ermasuk pikiran t eologis. Ide-ide t eo- logi digant i dengan ide-ide abst rak dari met af i- sika. Tahap yang ket iga adalah t ahap posit if . Dalam t ahap ini gej ala-gej ala t idak dit erangkan lagi oleh suat u ide alam yang abst rak, t et api gej ala dit erangkan melalui gej ala lain dengan mendapat i hukum-hukum diant ara gej ala-ge- j ala yang bersangkut an. Hukum-hukum t ersebut sebenarnya merupakan bent uk relasi yang kons- t an diant ara gej ala-gej ala t ersebut . Posit ivis- me, dengan demikian, memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari t radisi ilmu alam yang me- nempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat dikont rol, dan digeneralisasi sehing- ga gej ala ke depan bisa diramalkan.

  yang meya- kini bahwa realit as adalah segala sesuat u yang hadir secara kasat mat a. Dengan kat a lain, da- lam empirisme, penget ahuan kit a harus ber- awal dari verif ikasi empirik, lebih lugasnya ber- basis bukt i t erlebih dahulu. Posit ivisme me- ngembangkan paham empirik dengan mengat a- kan bahwa puncak penget ahuan manusia adalah ilmu-ilmu posit if at au sains yait u ilmu-ilmu yang berangkat dari f akt a-f akt a yang t erverif i- kasi dan t erukur secara ket at .

  12

  Posit ivisme, merupakan perkembangan lebih lanj ut dari aliran empir i sme

  Fi l saf at Hukum, Jakart a: Grasindo, hl m. 83–84; Made Subaw a, “ Pemikir an Fil saf at Hukum Dal am Membent uk Hukum” , Sar at hi : Kaj i an Teor i Dan Masal ah Sosi al Pol i t i k, Asosiasi Il mu Pol it ik Indonesia Denpasar, Vol . 14 (3), 2007, hl m. 244-245; dan Sewu, P. Lindawat y S, “ Kegunaan Fil saf at Hukum Dal am Mengupas Tunt as Permasal ahan Hukum Kont ekst ual ” , Wacana Par amar t a: Jur nal Il mu Hukum, Fakul t as Hukum Univer si t as Langl angbuana, Vol . 5 No. 1 2006, hl m. 25-38 Donny Gahr al Adi an, 2001, Ar us Pemi ki r an Kont empo-

  ngamat harus bebas dari kepent ingan, nilai dan emosi dalam mengamat i obj eknya agar diper- oleh penget ahuan yang obj ekt if . Kedua, ilmu penget ahuan harus menggunakan met ode veri- f ikasi empirik. Ket i ga, realit as direduksi menj a- di f akt a-f akt a yang dapat diamat i.

  ma, bebas nilai; dalam hal ini penelit i at au pe-

  Demikianlah maka dengan paradigma po- sit ivisme, ilmu-ilmu sosial t elah dibent uk me- nurut paham rasional dan empirisisme ilmu pe- nget ahuan alam yang sangat menonj olkan epis- t emologi posit ivist ik. Donny Gahral Adian, me- nyat akan posit ivisme melembagakan pandangan obj ekt ivist iknya dalam suat u dokt rin kesat uan ilmu (uni f ied science). Dokt rin ini menyat akan bahwa ilmu alam maupun ilmu sosial harus ber- ada di bawah payung (paradigma) posit ivisme. Dokt rin kesat uan ilmu memuat krit eria-krit eria bagi ilmu penget ahuan sebagai berikut .

11 Per t a-

80 Jurnal Dinamika Hukum

  Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  dari ruang dan wakt u; keempat , posit ivisme menempat kan f enomena yang dikaj i sebagai obj ek yang dapat digeneralisasi sehingga ke de- pan dapat diramalkan (diprediksi); dan

  kel i ma,

  posit ivisme meyakini bahwa suat u realit as (ge- j ala) dapat direduksi menj adi unsur-unsur yang saling t erkait membent uk sist em yang dapat diamat i.

  Posit ivisme yang dikembangkan August e Comt e menj adi dasar cara berpikir Max Weber dalam mengembangkan sosiologi. Pada awal abad XX ilmu sosiologi sangat besar pengaruh- nya dan selalu disempurnakan met ode ilmiah- nya. Met ode pendekat an di dalam sosiologi me- ngadopsi pendekat an-pendekat an ilmu empirik, sehingga sosiologi, walaupun ilmu ini berkait an dengan perilaku manusia, ia t idak dapat mele- paskan diri dari sikap nat uralisme sebagaimana dikembangkan penganut Posit ivisme. Cara ber- pikir sepert i ini t ercermin pada pemikiran-pe- mikiran sosiolog sepert i Max Weber, dan Eugen Erlich. Sosiologi, karena dinilai memiliki mut u ilmiah yang sangat t inggi (sesuai semangat Posit ivisme) maka dianggap dapat memberikan sumbangan bagi kehidupan masyarakat . Dalam pada it u, ahli-ahli sosiologi menganggap t anpa bant uan penget ahuan t ent ang masyarakat , ahli- ahli hukum t idak akan dapat membuat per- at uran-perat uran yang dapat memenuhi t uj uan hukum.

  Oleh karena it ulah kit a bisa memahami ba- gaimana Max Weber mendef inisikan t ent ang hukum: hukum adalah f akt a-f akt a at au kenya- t aan yang muncul sebagai perkembangan hubu- ngan sebab-akibat . Dengan kat a lain, hukum adalah bagian dari gej ala sosial. Pandangan ini j elas berbasis landasan empirik, art inya hukum dilahirkan dari hubungan sebab-akibat . Dengan demikian basisnya adalah adanya realit a t er- lebih dahulu, dan dari realit a it u dapat diverif i- kasi hubungan sebab-akibat yang logis. 15 Sist em pemikiran ahl i sosiol ogi abad XX t erangkum da-

  l am sosiol ogi hukum. Dal am per spekt if sosiol ogi, hu- kum merupakan sal ah sat u gej al a di dal am masyar akat , dan hukum dikaj i dari perspekt i f sosiol ogi . Tuj uan sosiol ogi hukum secar a har f i ah adal ah unt uk menj el as-

  Positivisme dalam Aj aran Ilmu Hukum: Tin- j auan Kritis

  Aj aran August e Comt e t ernyat a t idak saj a mempengaruhi ahli-ahli sosiologi (sehingga me- reka banyak memberi bant uan makna t ent ang apa yang disebut hukum) t et api j uga mempe- ngaruhi ahli-ahli hukum it u sendiri. Dengan mengadopsi cara berpikir Posit ivisme dari Au- gust e Comt e, maka ahli ahli hukum mengemu- kakan bahwa yang disebut hukum t idak boleh abst rak, hukum harus konkret . Konkret isasi ini dit unj ukkan dengan keharusan bahwa hukum harus t ert ulis.

  Salah seorang pemikir hukum penganut posit ivisme, HLA Hart mengat akan oleh karena hukum harus konkret maka harus ada pihak yang menuliskan. Pengert ian ‘ yang menuliskan’ it u menunj uk pengert ian bahwa hukum harus dikeluarkan oleh suat u pribadi (subj ek) yang memang mempunyai ot orit as unt uk menerbit - kan dan menuliskannya. Ot orit as t ersebut ada- lah negara. Ot orit as negara dit unj ukkan dengan adanya at ribut negara, berupa kedaulat an ne- gara. Berdasarkan kedaulat annya, secara int er- nal negara berwenang unt uk mengeluarkan dan memberlakukan apa yang disebut sebagai hu- kum posit if . Selanj ut nya HLA Hart menyat akan:

  per t ama, hukum (yang sudah dikonkret isasi da-

15 Bagi Max Weber, hukum merupakan salah sat u unsur yang hidup di dalam masyarakat .

  lam bent uk hukum posit if ) harus mengandung perint ah; dan kedua, t idak selalu harus ada ka- it an ant ara hukum dengan moral dan dibedakan dengan hukum yang seharusnya dicipt akan ( t her e i s no necessar y connect i on bet ween l aw

  and mor al s or l aw as it i s and l aw as i t ought t o be).

  Pendapat Hart sepert i dipaparkan pada but ir kedua mengindikasikan t olakan HLA Hart bahwa hukum harus bersumber dari sesuat u yang abst rak. Ini adalah konsekuensi logis cara berpikir dalam Posit ivisme, yang bersumber da- ri hubungan sebab-akibat suat u gej ala dengan gej ala yang lain secara konkret (kasat mat a). Oleh karenanya pert imbangan-pert imbangan moral t idak harus t erkait dengan t erbit nya hu- kum posit if , karena pert imbangan moral bukan- lah hal yang konkret . Begit u kuat nya logika Menggugat Rel asi Fil saf at Posit ivi sme dengan Aj aran Hukum Dokt rinal

  81 Posit ivisme menj adi pedoman bepikir Hart ,

  dalam Posit ivisme adalah bahwa keseluruhan obj ek sesungguhnya adalah hasil ‘ penj umlahan’ at au int egrasi dari pemahaman at as bagian- bagian at au unsur-unsur. Cara pandang yang mat emat is dari posit ivisme ini meyakini bahwa unsur-unsur bisa membent uk sat u kesat uan sis- t em. Inilah yang di dalam sosiologi melahirkan t eori st rukt ural-f ungsional sebagaimana di- kemukakan oleh Talcot t Parson.

  ma, pr i mar y r ul es, yait u at uran-at uran hukum

  HLA Hart memecah hukum (dalam hal ini hukum posit if ) di dalam 2 (dua) bagian. Per t a-

  memang berwenang unt uk it u. Kewenangan it u t eref leksikan dalam kedaulat an negara. Penda- pat John Aust in dengan demikian sangat senada dengan HLA Hart , yang mengedepankan aspek kedaulat an negara sebagai at ribut negara yang berimplikasi pada kewenangan bersif at ekst er- nal maupun int ernal.

  t i on (sanksi) dan dikeluarkan oleh pej abat yang

  Bagaimana reduksionisme ini dilakukan di dalam posit ivisme hukum? John Aust in menya- t akan bahwa ilmu hukum ident ik dengan hukum yang berlaku (hukum posit if ) yang harus dit eri- ma t anpa harus memperhat ikan apakah at uran hukum it u baik at au t idak secara moral. Selan- j ut nya ia memaparkan unsur-unsur yang harus t erkandung di dalam suat u at uran hukum. Me- nurut pendapat nya, at uran hukum harus me- muat 3 (t iga) unsur: command (perint ah), sanc-

  Pert anyaannya, apakah reduksionisme ini bisa dit erapkan di dalam aj aran hukum? Seba- gai konsekuensi dari diadopsinya Posit ivisme di dalam pengembangan hukum, maka reduksio- nisme j uga dit erima di dalam ilmu yang me- ngembangkan hukum posit if . Oleh karena it ulah kit a bisa melihat upaya-upaya reduksionisme ini dilakukan di dalam ilmu hukum, sebagaimana dilakukan oleh John Aust in, HLA Hart , maupun Hans Kelsen.

  l ah, 2007, Il mu Hukum dan Fi l saf at Hukum, Yogyakart a: Pust aka Pel aj ar, hl m. 97. Bandingkan mengenai persoal an mor al pada Suadamara Ananda, “ Hukum dan Moral i t as” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Vol . 24 No. 3 Jul i 2006, hl m. 301-307; dan Fr ans H. Winat a, “ Pencapai an Supremasi Hukum yang Beret ika dan Bermoral ” , Jur nal Hukum Pr o Just i t i a, Tahun XX No. 1 Januar i 2003, hl m. 3-8; dan M. Husni, “ Moral dan Keadil an Sebagai Landasan Penegakan Hukum Yang Responsif ” , Jur nal Equal i t y Fakul t as Hukum Univer-si t as Sumat era Ut ara, Vol . 11 (1) Februari 2006 17 Lihat dal am Davi d Dyzenhaus, Sophi a Rei bet anz More- au and Art hur Ri pst ein(edit or), 2007, Law and Mor al i - t y: Readi ngs i n Legal Phi l osophy: 3r d edit ion, Toron-

  t ercermin pula dari aj arannya bahwa:

  Telah dikat akan di at as, bahwa salah sat u ciri posit ivisme adalah bersif at reduksionis. Asumsi yang dikembangkan dari reduksionisme 16 Lihat dal am Teguh Praset yo dan Abdul Haki m Barkat ul -

  Terkait dengan wacana realit as obj ekt if , apakah benar kaj ian hukum posit if bisa dipisah- kan dari nilai-nilai t ert ent u sepert i moral? Bu- kankah hukum posit if dibuat dalam t at anan yang t erikat pada ruang dan wakt u, sehingga ada nilai-nilai t ert ent u yang akan mempenga- ruhinya? Bukankah nilai-nilai t ert ent u bahkan kepent ingan-kepent ingan t ert ent u dapat meng- ikat pembuat hukum maupun adressat hukum sehingga harus dikat akan bahwa hukum posit if pun t erbit sebagai produk nilai-nilai t ert ent u?

  ar e sat i sf ied : f ir st , t hey must be gener al ; second t hey must be commanded by what exi st s i n ever y pol i t i cal societ y, what - ever i t s const i t ut i onal f or m, namel y, a pr eson or a gr oup of per sons aho ar e in r ecei pt of habi t ual obedience f r om most of t he soci et y. . . ”

  “ Commands ar e l aws i f t wo condi t i ons

  17

  Cara pandang senada j uga dikemukakan oleh t okoh posit ivisme hukum John Aust in (1790-1859) yang menyat akan bahwa norma hu- kum harus memuat : perint ah, kewaj iban dan sanksi. Terkait dengan perint ah ( command) ha- rus memenuhi 2 (dua) syarat sebagaimana di- sampaikan John Aust in:

  16 “ . . . t he anal ysi s or st udy of l egal concept s i s an i mpor t ant st udy t o be di st i ngui shed f r om hi st or i cal i nqui r i es, soci ologi cal i nquir ies and t he cr i t i cal appr ai sal of l aw i n t er ms or mor al s, soci al s ai ms. . ”

  yang secara langsung memberikan hak-hak dan kewaj iban kepada orang-per orang. At uran-at u- ran it u meliput i at uran hukum perdat a dan hu- kum pidana. Kedua, secondar y r ul es, yait u at u-

82 Jurnal Dinamika Hukum

  Vol . 12 No. 1 Januari 2012

  ran-at uran hukum yang memberikan hak dan kewaj iban kepada penguasa negara.

  Berdasarkan uraian reduksionisme dalam ilmu hukum maka ada pert anyaan yang diulang kembali, apakah reduksionisme sesungguhnya bisa dilakukan t erhadap keberadaan suat u at u- ran hukum? Reduksionisme di dalam f ilsaf at po- sit ivisme, berbasis pada keyakinan bahwa obj ek t elaah sesungguhnya t erdiri dari sub-sub obj ek (unsur-unsur) yang membent uk sat u kesat uan yang membent uk obj ek t ersebut . Dari uraian Hart , John Aust in dan Hans Kelsen maka obj ek t elaah kaj ian hukumnya adalah at uran hukum posit if . Pert anyaannya, apakah ket ika hasil pe- cahan-pecahan it u disat ukan akan menghasil- kan at uran hukum sebagai sat u kesat uan sis- t em? Apakah bagian-bagian yang dipecah-pecah (sebagaimana t erlihat pada pendapat Hart , Aust in dan Hans Kelsen) kalau disat ukan kem- bali akan menghasilkan pemahaman yang ut uh t ent ang hukum?

18 Selanj ut nya Hans Kelsen, memecah hu-

  Kedua, hukum harus benar-benar obj ekt if

  t anpa prasangka. Oleh karena it u Hans Kelsen dalam hal ini berbeda dengan HLA Hart maupun John Aust in. Bagi Hans Kelsen at uran hukum bukanlah hasil dari perint ah penguasa karena penguasa berpot ensi memiliki kepent ingan sub- j ekt if dan bisa memiliki agenda polit ik yang bisa menyebabkan at uran yang dibuat menj adi t idak obj ekt if .

  Ket i ga, keadilan adalah persoalan di wila-

  yah ought t o be (yang seharusnya) bukan i s (yang ada). Dengan demikian bagi Hans Kelsen, keadilan bukan merupakan bagian dari kaj ian ilmu hukum posit if . Keadilan adalah persoalan keharusan (ideal, apa yang seharusnya) t et api bersif at met ayuridis. Keadilan menurut Hans Kelsen merupakan persoalan yang bersif at t idak rasional (dalam t erminologi posit ivisme: penu- lis) yang t idak j elas bat as-bat asnya sehingga t idak dapat menj adi konsep yang memuaskan apabila dikaj i dari apa yang oleh Kelsen disebut aj aran hukum murni. 18 Secondar y r ul es i ni sel anj ut nya dipecah menj adi 3 (t i -

  dari moral, pert imbangan-pert imbangan yang abst rak, pert imbangan polit ik, ekonomi dan f akt or di luar hukum lainnya. Tuj uan hukum adalah kepast ian hukum. Begit u kuat nya prinsip ini diaj arkan oleh Hans Kelsen sehingga ia pun sampai pada pendapat bahwa ilmu hukum harus dipisahkan dari ilmu sosial. Seorang ahli hukum harus mempelaj ari hukum lepas dari ilmu-ilmu kemasyarakat an maupun kondisi sosial.

  Per t ama, bahwa hukum harus dilepaskan

  Pert anyaan-pert anyaan ini perlu menda- pat kan j awaban karena berbeda dengan aj aran f ilsaf at posit ivisme, obj ek pengat uran hukum adalah manusia. Memang manusia adalah reali- t as t et api manusia selalu t erikat pada nilai-nilai t ert ent u, t at anan sosial t ert ent u. Hukum posit if pun di dalam perkembangannya j uga t erikat pada nilai-nilai t ert ent u, bahkan kepent ingan- kepent ingan t ert ent u, karena t erbit nya hukum posit if sesungguhnya j uga merupakan keput us- an polit ik, yang mendasarkan pada anut an nilai-nilai t ert ent u. Dengan menyadari hal -hal sepert i it u maka t idak sert a-mert a reduksio- nisme dapat secara mudah dilakukan dalam kaj ian ilmu hukum.

  Ciri posit ivisme berikut nya adalah obj ek- t if at au bebas nilai. Oleh karena it ulah dikat a- kan,

  19

  di dalam (paradigma) posit ivisme ada dikot omi yang t egas ant ara f akt a dengan nilai, dan mengharuskan subj ek penelit i mengambil j arak t erhadap realit as dengan bersikap net ral. Akan t et api perilaku manusia dapat berubah sesuai dengan f akt or yang mempengaruhinya. Fenomena sosial secara alamiah adalah subj ek- t if dan t idak akan dapat dipahami sebagai se- suat u yang obj ekt if . Secara cukup j elas Sant os

  20

  mengat akan, perilaku manusia t idak akan dapat Donny Gahr al Adian, op. ci t , hl m. 36.

  kum (dalam hal ini hukum posit if ) menj adi 2 (dua) bagian bahasan besar : t eori hukum murni dan st uf enbaut heor i e. Kedua bahasan besar t ersebut boleh dikat akan sebagai hasil reduk- sionis oleh Hans Kelsen at as pemahaman hu- kum. Terkait dengan pemikiran Hans Kelsen, beberapa aj arannya yang t erangkum dalam aj aran hukum murni ( t he pur e t heor y of l aw) dipaparkan sebagai berikut .

  ga) bagian yait u : Pert ama, r ul e of change ; Kedua, r ul e of adj udi cat i on ; Ket iga, r ul e of r ecogni t i on.

  Menggugat Rel asi Fil saf at Posit ivi sme dengan Aj aran Hukum Dokt rinal

  r i . Cara berpikir a pr ior i t idak menggant ung- dalkan kekuat an nilai-nilai dan aj aran-aj aran.

  Saran

  dalam t radisi pemikiran posit ivisme dalam be- berapa hal bert ent angan dengan t radisi pemi- kiran hukum dokt rinal yang t umbuh pada masa pra-posit ivisme. Pengkaj ian hukum dalam t radi- si f ilsaf at posit ivisme, t idak sert a mert a ident ik dengan t radisi pemikiran hukum dokt rinal. Be- berapa prinsip di dalam posit ivisme bahkan ber- t ent angan di dalam ilmu hukum dokt rinal se- pert i dit unj ukkan dengan adanya aj aran f iksi hukum maupun kepast ian hukum.

  Ket i ga, ilmu hukum yang dikembangkan