BAGIAN PERTAMA POLITIK, DEMOKRASI DAN HAM

  

BAGIAN PERTAMA

POLITIK, DEMOKRASI

  

Proses Komunikasi Politik

Bisnis Indonesia, 11 April 2008

  Beberapa waktu lalu, dalam pemilihan calon Gubernur Bank Indonesia (BI), Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), menolak Agus Martowardojo dan Raden Pardede, dua calon gubernur BI yang diajukan pemerintah.

  Penolakan tersebut semakin menambah polemik proses pemilihan orang nomor satu di BI saat itu sehingga berakibat pertama, dalam tataran ekonomi, penolakan tersebut akan berakibat munculnya ketidakpercayaan pasar terhadap perekonomian Indonesia karena ketidakpastian kepemimpinan di lembaga otoritas moneter.

  Kedua, dalam tataran politik, telah terjadi kebuntuan komunikasi antara DPR dan pemerintah. Artinya, komunikasi politik yang dijalin pemerintah dengan DPR tidak berjalan dengan baik dan efektif serta kurang harmonis.

  Tulisan ini selanjutnya mencoba membahas poin kedua yaitu; adanya kebuntuan komunikasi politik antara DPR dan pemerintah. Dalam pengajuan calon Gubernur BI waktu itu, sama sekali tidak didahului komunikasi politik yang memadai antara pemerintah dan DPR sehingga menimbulkan ketidakpastian dalam tatanan kehidupan ekonomi bahkan politik.

  Menurut Effendi Gazali, komunikasi politik itu sukses, bila membuahkan kepastian, dan gagal kalau membuahkan ketidakpastian. Berkaitan dengan pemilihan Gubernur BI saat itu, maka jelas pemerintah dan DPR telah gagal menjalankan komunikasi politik. Kegagalan menjalin kemunikasi politik akan berdampak kepada tidak tercapainya konsensus bersama untuk memecahkan berbagai persoalan yang menyangkut kehidupan masyarakat. Dalam kasus pencalonan Gubernur BI, harusnya inisiatif komunikasi politik antara DPR dan pemerintah dapat terbangun.

  Tidak terbangunnya komunikasi politik antara pemerintah dan DPR paling tidak disebabkan karena posisi pemerintah yang tidak seimbang dengan posisi legislatif. Kita melihat bahwa parlemen memiliki kekuatan yang sangat jauh melampaui batas kekuatan eksekutif. Kekuatan politik riil pemerintah di parlemen praktis hanya ditopang Partai Demokrat dan Partai Golkar.

  Pada akhirnya, tidak terbangun check and balance secara sempurna. Malah, korporatisme baru yang menonjolkan aspek pemenuhan kepentingan politik daripada kepentingan publik hadir tidak terbendung.

  Lebih baik

  Namun, jika kita melihat seluruh proses komunikasi politik yang terjadi pada era Orde Baru, proses komunikasi politik saat ini tentu saja lebih baik daripada era Orde Baru. Di bawah rezim Orde Baru, komunikasi politik di Indonesia di monopoli oleh pemerintah yang berkuasa. Atau tergantung pada satu tangan, yaitu Presiden.

  Dalam kurun kekuasaan Orde Baru, badan legislatif tidak berfungsi sebagai suara rakyat, tetapi tak lain hanya sebagai pendukung Presiden. Anggota legislatif tidak bisa mengajukan kritik kepada Presiden. Atau menolak keinginan pemerintah seperti kasus pengajuan calon Gubernur beberapa waktu lalu.

  Jika Presiden dikritik, risikonya adalah anggota legislatif tersebut dapat diberhentikan dengan seketika. Mungkin kita dapat melihat contohnya, di mana anggota DPR/MPR pernah melontar kritik yang terlalu keras sehingga akan berakhir dengan pemberhentian tidak hormat.

  Kasus Sri Bintang Pamungkas menunjukkan bagaimana monopoli komunikasi itu berjalan tanpa ada yang mampu untuk membendung. Monopoli komunikasi politik di era Orde Baru berakhir dengan mundurnya Soeharto sebagai Presiden. Komunikasi politik tidak lagi dipegang pemerintah. Namun, mulai diimbangi oleh kelompok kepentingan seperti LSM, elemen masyarakat dan kalangan kampus. Sejak saat itu, komunikasi politik tumbuh dan berkembang begitu cepat, meskipun di sana-sini terdapat kekurangan dan kelemahan dalam menyampaikan dan mengaktualisasikannya.

  Sebagai contoh, begitu banyak komunikasi politik yang terjadi berakhir dengan bentrok bahkan kekerasan. Hal ini disebabkan karena, dengan tumbuhnya keterbukaan dalam berdemokrasi, elemen-elemen masyarakat semakin tahu hak dan kewajibannya. Akibatnya, aksi-aksi protes sebagai sebuah masukan ke dalam sistem politik menjadi sebuah hal yang tidak aneh lagi.

  Salah satu manifestasi itu adalah keberanian elemen masyarakat, kalangan LSM, kalangan mahasiswa mengkritisi para pejabat, elite politik, bahkan juga mengkritisi kebijakan pemerintah. Sesuatu yang mungkin jarang atau bahkan tidak pernah terjadi dalam kurun waktu 32 tahun Soeharto berkuasa.

  Saat ini, dengan tumbuhnya komunikasi politik di dalam kehidupan sosial masyarakat setelah runtuhnya rezim Orde Baru, semakin menyuburkan nilai-nilai demokrasi di Indonesia.

  Namun, ada baiknya komunikasi politik itu dijalankan dengan etika dan cara-cara yang santun. Ada take and give di antara kedua belah pihak. Tidak merugikan atau menguntungkan suatu kelompok.

  Untuk itu kedepan, alangkah baiknya bila komunikasi politik dijalin dengan lebih baik, disampaikan secara santun, baik, penuh etika dan rasional. Baik itu antara pemerintah dan DPR, antara pemerintah dan LSM, antara partai politik dengan rakyat, maupun antara seluruh elemen masyarakat.

  Semua komunikasi politik yang dijalankan harus mempunyai komitmen dan konsensus bersama dalam memecahkan persoalan yang ada demi kepentingan bersama. Bukan kepentingan perseorangan atau kelompok. Sebagaimana pendapat Jurgen Habermas (dalam Piliang, 2000;104) bahwa komunikasi adalah upaya untuk mencapai konsensus bersama dalam memecahkan berbagai persoalan dan tujuan bersama lewat cara argumentasi yang rasional. Dalam ranah demokrasi dan kehidupan politik, tentu konsensus itu dapat dicapai melalui komunikasi politik yang baik.

  Akhirnya, manfaat komunikasi politik dalam tatanan kehidupan politik sehari-hari memegang peran penting dalam mengupayakan kepekaaan terhadap setiap kejadian politik yang berlangsung. Komunikasi politik juga berusaha memahami berbagai fenomena tentang, misalnya, apa alasan-alasan menolak, atau tidak setuju sehingga bisa dicapai kata sepakat untuk kepentingan bersama. Jadi mari sempurnakan proses komunikasi politik dengan cara-cara yang baik dan santun untuk kepentingan bersama pada masa-masa mendatang. Semoga.

  Kursi kekuasaan menjadi incaran banyak orang. Terkadang cara-cara untuk mendapatkan kekuasaan itu ditempuh dengan cara-cara yang tidak profesional, sehat dan jujur. Misalnya, dengan menyetorkan uang terlebih dahulu atau karena pengaruh hubungan kekerabatan atau pertemanan. Parahnya, kekuasaan dibagi untuk keuntungan kelompok tanpa memikirkan apakah seseorang yang menduduki kursi kekuasaan itu ahli dan profesional di bidangnya.

  Baru-baru ini sejumlah tim sukses Presiden Susilo Bambang Yudhoyono- Jusuf Kalla duduk sebagai komisaris atau dewan pengawas di sejumlah BUMN. Sebut saja misalnya, Mayjen (Purn) Samsoeddin (mantan Sekjen Tim Kampanye) menjadi Komisaris Jasa Marga, Umar Said (mantan Ketua Seksi Kampanye) menjadi Komisaris Pertamina, Brigjen Rubik Mukav (mantan Ketua Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Dewan Pengawas TVRI, Hazairin Sitepu (mantan Waka Seksi Pengumpulan dan Pengolahan Data) menjadi Ketua Dewan Pengawas TVRI, Dino Patti Djalal menjadi Komisaris PT Danareksa.

  Selain itu ada juga nama Mayjen (Purn) Soeprapto (mantan Ketua Seksi Pembinaan, Penggalangan, dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris Indosat, Yahya Ombara (Sekretaris Seksi Pembinaan, Penggalangan dan Pengerahan Massa) sebagai Komisaris PT Kereta Api Indonesia (KAI), Mayjen (Purn) Sulatin (mantan Koordinator Wilayah Sulawesi) sebagai Dewan Pengawas Bulog.

  Beberapa mantan anggota Tim Khusus juga memperoleh jabatan komisaris, seperti Andi Arif (Pos Indonesia), Heri Sebayang (PTP Sumatra Utara), Syahganda Nainggolan (PT Pelindo).

  Ironis memang, di era reformasi dan ditandai dengan terpilihnya presiden secara langsung, dimana kita telah berhasil memilih presiden sesuai dengan keinginan rakyat, tetapi pola-pola perekrutan pejabat masih menggunakan cara- cara lama yang sarat akan nuansa nepotisme dan cenderung "terjebak politik balas budi". Betapa tidak, mereka yang umumnya duduk di kursi komisaris sebagaimana disebut di atas tidak melalui proses fit and proper test.

  Aneh memang, padahal sejak keran reformasi dibuka masyarakat menghendaki perubahan di segala bidang. Misalnya, masyarakat menghendaki adanya keinginan untuk menghasilkan birokrat yang baik, jujur, profesional di bidangnya dan lain sebagainya. Apakah itu di departemen, lembaga nondepartemen dan BUMN. Untuk menghasilkan birokrat yang demikian salah satunya adalah dengan memerhatikan track record-nya kemudian diuji kelayakannya di DPR.

  Namun, apa yang kita lihat saat ini. Dalam berbagai jabatan di BUMN, masih menghasilkan bentuk primordialisme dalam banyak wajah. Era reformasi justru malah memunculkan kelompok-kelompok tertentu dari para penyelenggara pemerintah untuk menduduki jabatan strategis, misalnya di BUMN. Berbagai jabatan strategis itu cenderung dipegang dan dipercayakan kepada figur-figur yang memiliki kedekatan dengan kekuatan politik yang berkuasa tanpa mempertimbangkan aspek integritas, aspek dedikasi, aspek kompetensi, aspek kecakapan, aspek pemahaman, aspek keahlian dan pengalaman.

  Padahal kita tahu, semua aspek diatas menjadi prasyarat mutlak untuk jabatan komisaris di BUMN. Ini sesuai dengan Undang-Undang (UU) tentang BUMN. Pasal 26 UU tersebut mengatakan bahwa komisaris diangkat berdasarkan pertimbangan integritas, dedikasi dan pemahaman masalah-masalah manajemen perusahaan serta memiliki pengetahuan yang memadai di bidang usaha mikro. Yang tidak kalah penting, komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas.

  Birokrasi bapakisme

  Indonesia sebagai negara berkembang memang tidak bisa dilepaskan dari realitas di atas. Sebagaimana terlihat, birokrasi yang diterapkan di Indonesia lebih mendekati pengertian dari Max Weber tentang birokrasi patrimonial dimana jabatan dan perilaku dalam keseluruhan hierarki birokrasi banyak didasarkan pada hu-bungan familiar, hubungan kelompok, hubungan pribadi dan hubungan bapak-anak buah (patron-client).

  Hubungan patron-client lebih dikenal dengan nama bapakisme (paternalisme). Ini banyak diwarnai oleh peninggalan masa lalu, yaitu konsep politik kelompok etnis Jawa tradisional yang aristokrasi. Bentuk birokrasi tersebut biasanya mempunyai prosedur kerja yang berbelit-belit, proses pelayanan yang lamban, mekanisme kerja yang tidak efisien, kurang efektif dan sumber penyalahgunaan kedudukan dan wewenang.

  Semua prosedur kerja yang tidak kondusif diatas disebabkan oleh birokrat yang terpilih tidaklah orang-orang yang cerdas dan cocok pada bidangnya. Kalau kita perhatikan di negara-negara maju, maka sistem birokrasinya tertata dengan baik. Bahkan segala aspek dan persyaratan yang diperlukan bagi penetapan suatu jabatan, promosi dan karier juga tertata dengan baik. Semuanya benar-benar didasarkan pada kapasitas, kapabilitas dan integritas.

  Di samping itu juga didasarkan karena adanya kecakapan atau keahlian, prestasi, golongan, pangkat dan pengalaman tugas. Jadi ada kepastian karier apabila seseorang berprestasi, sehingga suatu saat dia layak dipromosikan untuk menduduki suatu jabatan tertentu yang sesuai dengan keahliannya.

  Mengakhiri tulisan ini, kita sepakat, bahwa birokrasi dalam suatu pemerintahan merupakan paru-paru yang akan selalu menopang kelangsungan dan kehidupan dari suatu sistem pemerintahan. Dari itu, masihkah kita dapat menaruh harapan untuk menjadikan birokrasi, baik di departemen, lembaga nondepartemen maupun sejumlah BUMN yang lebih baik dimasa mendatang?

  Jawabannya akan sangat bergantung kepada pihak-pihak yang berkompeten untuk itu. Yaitu bagaimana pejabat pemerintahan ini mengangkat orang-orang yang cakap, profesional, kapabilitas dan kredibel di bidangnya untuk menduduki jabatan-jabatan strategis, seperti komisaris, dewan direksi, dewan pengawas, kepala bidang, kepala bagian, kepala seksi dan lain sebagainya. Bukan pejabat yang ditunjuk karena faktor kedekatan, kekeluargaan ataupun kelompok.

  Jadi jangan biarkan orang-orang yang tidak cakap dan ahli di bidangnya duduk di kursi yang mereka tidak mengerti sama sekali. Kejadian ini bukan pembelajaran yang baik bagi bangsa, tetapi dapat menjadi preseden buruk bagi kepemimpinan nasional di masa-masa mendatang. Hanya dengan cara menempatkan orang-orang yang cakap dan ahli di bidangnyalah upaya menciptakan birokrat yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan masyarakat akan terlaksana sehingga ia akan menjadi kekuatan yang sangat efektif dalam pelaksanaan pembangunan dan modernisasi. Semoga.

  Suara Pembaruan, 27 Nov 2006

  Dalam perspektif demokrasi langsung saat ini, menjadi kepala daerah sepertinya memangku jabatan yang gampang dan enteng, sehingga banyak sekali orang yang merasa sanggup untuk mengembannya. Gejala ini menjelma tanpa pandang bulu, apakah memimpin daerah yang miskin atau memimpin kota metropolitan yang sangat kompleks masalahnya seperti Jakarta. Semua calon sama-sama punya ambisi besar, meskipun kemampuan calon belum pernah teruji dalam memimpin.

  Para calon datang dari berbagai kalangan. Tidak ketinggalan para selebriti yang sekarang berkantor di Senayan. Misalnya, Marissa Haque yang mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Banten, Adjie Massaid mencalonkan diri menjadi Wakil Gubernur Jawa Timur dan Dede Yusuf mencalonkan diri menjadi Gubernur Jawa Barat. Selebriti lain yang dulunya pernah disebut-sebut akan mencalonkan atau dicalonkan menjadi kepala daerah adalah pelawak Nurul Komar untuk Bupati Indramayu dan Rano Karno untuk Gubernur DKI Jakarta.

  Fenomena keikutsertaan artis di kancah politik dengan mengincar salah satu jabatan kepala daerah atau wakil kepala daerah menarik untuk dicermati. Paling tidak, keikutsertaan selebriti dalam ranah politik ini telah menjadi fenomena baru dalam kehidupan politik sejak era reformasi digulirkan. Kita tahu, di zaman Orde Baru artis hanya sering dipakai sebagai vote getter alias penggembira.

  Namun era reformasi saat ini, di mana demokrasi berlangsung dengan bebas, artis tiba-tiba diberi kedudukan dan peranan yang lebih hebat oleh partai politik. Para artis bukan lagi vote getter, pemain sinetron, akan tetapi sudah menjadi calon anggota DPR, bahkan akhirnya menjadi wakil rakyat, meskipun publik tidak pernah mendengar apa prestasi, kinerjanya dan perjuangannya untuk konstituennya.

  Faktor Ketenaran

  Fenomena ini menunjukkan bahwa banyaknya artis yang terjun ke politik dan akhirnya berkantor di Senayan masih dan sangat ditentukan oleh faktor ketenaran dan popularitas mereka semata. Apalagi mereka masih muda, energik, cantik dan gagah. Kelebihan ini menjadi faktor pendukung untuk meraup suara sebanyak mungkin.

  Lihat saja perolehan suara yang dikumpulkan oleh para artis pada pemilu tahun 2004 lalu. Faktor popularitas dan dikenal masyarakat membuat suara mereka membengkak. Bahkan mereka menjadi pemenang di daerah pemilihan masing-masing. Perolehan suara Adjie Massaid di daerah pemilihan Pasuruan misalnya. Data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Daerah Pasuruan menunjukkan bahwa Adjie berada pada posisi paling atas dengan perolehan 11.717 suara. Perolehan suara itu mampu meninggalkan pesaingnya yang politikus dan tokoh masyarakat setempat.

  Marissa Haque malah lebih tinggi dengan perolehan 55.299 suara untuk daerah pemilihan Kabupaten Bandung. Bahkan dia berhasil menggeser perolehan suara tokoh PDI Perjuangan, Taufiq Kiemas yang mengoleksi 42.400 suara. Perolehan suara meyakinkan juga diraup Dede Yusuf dengan 28.331 pemilih di daerah pemilihan Kuningan, Jawa Barat. Bisa jadi suksesnya para artis di pemilu legislatif 2004 kemungkinan akan berlanjut dalam pemilihan kepala daerah.

  Di Indonesia, ramainya artis melangkah ke pentas politik memang suatu hal yang baru. Di negara-negara maju seperti Amerika Serikat misalnya, fenomena seorang artis terjun ke kancah politik dan kemudian menjadi pemimpin eksekutif telah lama berlangsung. Lihat saja aktor Arnold Swarzenegger yang terpilih sebagai Gubernur Califor-nia, salah satu negara bagian di AS pada 7 Oktober 2003.

  Sebelumnya, aktor Ronald Reagan yang bisa main dalam film-film koboi justru sukses di pangung politik. Karier politik Reagan di mulai ketika menjadi anggota Liberal Partai Demokraat. Ia mendukung program New Deal yang dicanangkan Presiden Franklin Roosevelt. Kemudian Reagan beralih menjadi seorang pendukung Republik.

  Namanya mulai dikenal dikancah politik saat ia membongkar nama-nama mitra pekerja Hollywood yang pro-komunis kepada FBI di tahun 1950-an. Lalu Ia pernah memimpin Screen Actors Giuld (SAG) dan bertugas membongkar pengaruh komunis di Hollywood.

  Dan pada akhirnya tahun 1966 Reagan terpilih menjadi gubernur California. Dari situ dia mencoba meraih kursi kepresidenan. Dan tahun 1980 Ronald Reagan berhasil menang sebagai calon Presiden dari Partai Republik.

  Sehingga ketika Reagan resmi terpilih sebagai orang nomor satu di Amerika Serikat sejumlah headline surat ka-bar serentak menulis judul Koboi Masuk Gedung Putih.

  Pada masa kepemimpinannya, Reagan mampu membuat seluruh hidupnya menjadi sebuah "show" yang memikat untuk diperhatikan setiap orang, layaknya sebuah runtutan cerita film yang menarik. Hal ini tidak terlepas dari pengalamannya baik sebagai penyiar radio dan bintang Hollywood.

  Di samping dua nama di atas, tentu masih banyak lagi mantan selebriti dunia yang berhasil dalam dunia politik. Jose Marcelo Ejercito misalnya, mantan Presiden Filipina. Pertengahan tahun 1980-an Jose terpilih sebagai senator dengan kendaraan Partai Partido Masang Pilipino. Petualangan menuju kursi Presiden-pun dimulai. Tahun 1992 ia melangkah menuju kursi calon wakil Presiden. Dan pada tahun 1998 ia akhirnya terpilih sebagai Presiden Filipina.

  Tidak Mudah

  Di Indonesia, dan jika nanti salah satu di antara selebriti jadi menduduki kursi gubernur atau wakil gubernur, maka tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh para selebriti tentu tidak mudah. Banyak persoalan-persoalan daerah yang harus dipahami betul oleh mereka. Misalnya masalah investasi, pengangguran, kemiskinan, industri, penegakan hukum bahkan konflik sosial.

  Jangan sampai setelah meraih jabatan publik, mereka tidak mengerti apa- apa yang akan dikerjakan untuk daerah yang dipimpinnya. Jangan sampai setelah menduduki kursi kekuasaan mereka sibuk bagaimana cara mengumpulkan kekayaan sebanyak mungkin tentunya untuk kepentingan pribadi.

  Karena sudah jamak di ketahui banyak pejabat yang kaya-raya setelah menduduki posisi penting di lembaga eksekutif, yudikatif dan legislatif. Mumpung masih menjabat maka kesempatan harus digunakan untuk meraup uang dan kekayaan sebanyak-banyaknya, meskipun harus ditempuh dengan cara-cara yang tidak benar.

  Ini perlu dicermati, karena itu langkah untuk maju mencalonkan diri menjadi gubernur atau wakil gubernur janganlah hanya karena ambisi-ambisi tertentu, namun demi kepentingan dan kemakmuran rakyat. Hendaknya mereka sadar bahwa masuk ke bursa pemilihan gubernur atau wakil gubernur hanya karena dilandasi oleh kesadaran untuk membangun daerah yang akan dipimpinnya.

  Bukan mencari ketenaran, kedudukan, kekuasaan dan kekayaan. Jika itu yang terjadi, sudah pasti rakyat yang akan menanggung beban penderitaan. Kita tentu tidak menginginkan hal itu bukan.

  4 Langkah Awal Menghapus Diskriminasi Republika, 22 Nov 2006

  Tanggal 11 Juli 2006 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah telah mensahkan diberlakukannya Undang-Undang (UU) Kewarganegaraan yang baru yaitu UU No 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan. UU tersebut adalah penganti UU Kewarganegaraan yang lama yaitu UU No 62 tahun 1958 yang telah diubah dengan UU No 3 tahun 1976 tentang Perubahan Pasal 18 UU No 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan RI.

  Sebagaimana kita ketahui bahwa dalam praktiknya, UU Nomor 62 tahun 1958 tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional yang menuntut adanya persamaan perlakuan dan kedudukan dihadapan hukum. Selama ini, UU Kewarganegaraan yang lama kurang menjamin pemenuhan hak asasi manusia dan persamaan antarwarga negara serta kurang memberikan perlindungan kepada anak-anak dan juga kaum perempuan.

  Sebagai contoh, menurut UU No 62/1958 yang menganut asas ius

  

sanguinis, anak yang dilahirkan dari perkawinan antara wanita Warga Negara

  Indonesia (WNI) dengan pria Warga Negara Indonesia (WNA), otomatis mengikuti kewarganegaraan ayahnya. Hal ini tentu saja sangat memberatkan perempuan. Karena menetapkan bahwa kewarganegaraan anak hanya mengikuti kewarganegaraan ayah. Wanita tidak dapat menentukan kewarganegaraan anaknya.

  Di samping itu juga, wanita akan kehilangan kewarganegaraannya jika sang suami meninggal atau bercerai. Hak wanita lain pun temarginalisasi dengan adanya UU lama ini. Misalnya, seorang ibu juga tidak otomatis punya hak asuh bagi anaknya karena berbeda kewarganegaraan. Kemudian, UU ini juga menyebabkan wanita dan anak akan mengalami kesulitan keadilan hukum jika mereka mengalami kekerasan rumah tangga. Lebih dari itu, UU ini juga menyebabkan adanya pembatasan hak wanita untuk bekerja dalam perkawinan campur. Jadi, tampak sekali bahwa UU Kewarganegaraan yang lama tidak memihak kepada kaum perempuan.

  Aturan bahwa kewarganegaraan anak mengikuti kewarganegaraan ayahnya, dapat dilihat dalam Pasal 1 Ayat (b) UU No 62/1958. Disebutkan, warga negara RI adalah orang yang pada waktu lahir memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya warga negara RI. Hubungan kekeluargaan ini berlangsung sebelum orang tersebut berusia 18 tahun atau belum menikah pada usia di bawah 18 tahun. Ayat (d) menyebutkan, warga negara Indonesia adalah anak yang dilahirkan dari ibu warga negara Indonesia yang ketika lahir tidak memiliki hubungan hukum kekeluargaan dengan ayahnya. Ayat (e) menyebutkan, anak mengikuti kewarganegaraan ibunya apabila ayahnya tidak memiliki kewarganegaraan atau kewarganegaraan ayahnya tidak diketahui.

  Sementara Pasal 3 Ayat (1) menyebutkan, anak di luar perkawinan dari seorang ibu warga negara Indonesia atau anak dari perkawinan sah, tetapi dalam perceraian, oleh hakim anak itu diserahkan pengasuhannya kepada ibunya yang warga Indonesia dan kewarganegaraan anak itu mengikuti ayahnya yang warga asing, boleh mengajukan permohonan kepada Menteri Kehakiman untuk memperoleh kewarganegaraan Indonesia. Permohonan kewarganegaraan itu harus diajukan setelah anak tersebut berusia 18 tahun dan diajukan dalam waktu tidak lebih dari satu tahun.

  Perbedaan kewarganegaraan antara anak dan ibu dalam perkawinan campur telah melahirkan berbagai kesulitan bagi perempuan WNI. Terkadang si ibu WNI harus mengurus izin tinggal anaknya dengan visa kunjungan sosial/budaya tentunya dengan biaya permohonan visa..

  Berbeda dengan UU Kewarganegaraan yang lama. UU Kewarganegaraan yang baru menganut asas campuran antara ius sanguinis dan ius soli (kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahiran), dan mengakui kewarganegaraan ganda terbatas pada anak-anak (dari pasangan kawin campur dan anak-anak yang lahir dan tinggal di luar negeri) hingga usia 18 tahun.

  Maksudnya, sampai anak berusia 18 tahun, ia diizinkan memiliki dua kewarganegaraan. Setelah mencapai usia tersebut, ditambah tenggang waktu 3 tahun untuk mempersiapkannya, barulah si anak diwajibkan memilih salah satunya. Lalu dalam UU Kewarganegaraan baru juga disebutkan bahwa WNI yang menikah dengan pria WNA tidak lagi dianggap otomatis mengikuti kewarganegaraan suaminya, melainkan diberi tenggang waktu tiga tahun untuk menentukan pilihan, apakah akan tetap jadi WNI atau melepaskannya.

  Jadi kalau dalam UU Kewarganegaraan yang lama, bila wanita Indonesia menikah dengan pria asing maka wanita tersebut akan kehilangan kewarganegaraannya, dan kemudian akan ikut dengan warganegara suaminya.

  Pasal 8 (1) UUU No.62 tahun 1958 menyebutkan, bagi perempuan berwarganegara Indonesia yang menikah dengan seorang WNA akan kehilangan kewarganegaraan RI.

  Kewarganegaraan RI akan diperoleh kembali jika dan pada waktu ia setelah perkawinannya terputus menyatakan keterangan untuk itu. Keterangan itu harus dinyatakan dalam jangka waktu satu tahun setelah perkawinannya terputus kepada Pengadilan Negeri atau Perwakilan RI tempat tinggalnya (Pasal

  11 UU Kewarganegaraan).

  Akhirnya, pengesahan UU Kewarganegaraan yang baru layak diapresiasikan. Karena ia membuka babak baru dalam kehidupan perkawinan campur di Indonesia. Lebih dari itu, pengesahan UU ini baru merupakan langkah awal untuk mengakhiri segala praktik diskriminasi yang telah dirasakan selama lebih 61 tahun merdeka. Dan orang-orang yang selama ini ter-diskriminasikan mudah-mudahan sekarang merasa memiliki legalitas sebagai warga negara.

  Untuk itu, yang paling penting nantinya dilakukan adalah bagaimana implementasi UU tersebut di lapangan. Inilah pekerjaan rumah bagi pemerintah untuk mengawasi jalannya UU tersebut. Sebab apalah artinya sebuah payung hukum bernama UU Kewarganegaraan yang menjamin diakhirinya diskriminasi, tetapi dalam praktiknya bentuk-bentuk ketidakadilan, diskriminasi dan kesewenang-wenangan masih muncul dibumi pertiwi ini. Semoga dengan diresmikannya UU Kewarganegaraan yang baru ini, kebersamaan kita sebagai anak bangsa akan lebih bermakna dalam menyongsong hari depan yang lebih baik.

  5 Pemerintahan Perlu

Perhatikan Masalah HAM

  Seputar Indonesia, 15 Oktober 2005

  Pada pemilu Presiden 2004 lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jusuf Kalla (JK) sebagai Presiden dan Wakil Presiden untuk masa bakti 2004-2009. Selanjutnya sejumlah harapan digantungkan di pundak SBY-JK. Misalnya, harapan penegakan hukum, pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik. Tidak kalah menarik, masalah perlindungan dan penegakan HAM juga menjadi hal yang selalu diharapkan banyak pihak.

  Sebab dibidang penegakan dan perlindungan HAM, pemerintahan sebelumnya belum maksimal memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat dari berbagai prilaku dan tindakan kekerasan. Lihat saja, ancaman bom masih saja mengincar nyawa setiap orang.

  Aparat keamananpun masih sering melakukan pelanggaran HAM berat dengan berbuat kekerasan kepada masyarakat terutama sekali ketika menangani aksi demonstrasi dan menindak prilaku kriminal.

  Jadi sangat wajar jika harapan itu digantungkan pada pasangan SBY-JK. Namun sayang, setelah setahun masa pemerintahan SBY-JK berjalan, harapan akan terciptanya perlindungan dan penegakan HAM masih jauh dari kenyataan.

  Rendahnya perlindungan HAM tersebut dapat dilihat dengan belum tuntasnya kasus-kasus pelanggaran HAM diselesaikan oleh pemerintah. Pemerintah belum memberikan langkah yang berarti sampai proses keputusan akhir pengadilan. Penyelesaian masalah pelanggaran HAM lebih bersifat retorika. Sejatinya, pengadilan HAM yang dibentuk tidak tuntas dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Banyak pelaku pelanggaran HAM yang di bebaskan.

  Padahal diperlukan pertanggungjawaban dari perbuatan mereka.

  

Impunity ini membuat semua pelaku dengan senang menghirup udara bebas

  diatas penderitaan rakyat yang menjadi korban. Impunity ini merupakan fenomena hukum dan politik yang sering kita saksikan sejak beberapa tahun belakangan ini.

  Padahal terminologi yang mengatur tentang hukuman bagi pelanggar HAM ini telah ada secara formal dalam hukum Indonesia. Terutama sejak diundangkannya dua Undang-undang yang dihasilkan lewat reformasi yakni UU No 30/1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan UU No.26/2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

  Pasal 1 UU No 39/1999 menyebutkan bahwa; pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi dan atau mencabut hak seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh UU.

  Sayang sampai kini UU tersebut belum sepenuhnya mampu menghentikan praktik-praktik pelanggaran HAM dan juga UU tersebut belum mampu memberikan hukuman yang adil bagi pelaku pelanggaran HAM.

  Kasus-kasus pelanggaran HAM yang pelakunya tidak tersentuh oleh hukum tersebut misalnya, pelanggaran HAM dalam peristiwa Trisakti dan Semanggi, peristiwa Mei 1998, penyerangan kantor PDI-P tahun 1996, masa DOM di Aceh dan Papua, peristiwa Tanjung Priok, Talangsari Lampung, peristiwa petrus, sampai pada peristiwa pembantaian massal tahun 1965-1966 dan lain sebagainya.

  Dalam menghadapi kasus-kasus diatas, pengadilan HAM yang terbentuk seakan tidak berdaya menghukum pelakunya. Sehingga pada akhirnya perlindungan, penegakan dan pemajuan HAM masih jauh dari konsensus reformasi yakni mewujudkan keadilan yang hakiki pada setiap warga negara. Janji-janji pemerintahan SBY-JK untuk menegakkan hukum dan HAM masih janji bohong.

  Lihat saja, pengungkapan kasus kematian Munir sampai sekarang masih berlarut-larut. Sementara bom masih juga meledak disana-sini. Ini adalah barometer tidak adanya kemauan dan kemampuan pemerintah SBY-JK dalam upaya-upaya penegakan dan perlindungan HAM.

  Ajakan untuk menegakkan HAM dari pemerintahan SBY nampaknya baru berupa wacana dan tidak didukung oleh aksi nyata. Untuk itu, mumpung masih satu tahun usia pemerintahan SBY-JK, kedepan SBY-JK harus segera membuat langkah-langkah yang konkret terhadap upaya-upaya perlindungan HAM dan menindak pelakunya.

  Karena agenda utama dalam penegakan hukum salah satunya adalah melindungi HAM dan menindak pelanggar HAM secara adil sesuai dengan hukum yang berlaku. Hal ini harus ditindaklanjuti oleh seluruh aparat hukum. Jadi untuk kasus-kasus yang telah dilimpahkan ke penyidik kejaksaan agung (kejagung) harus segera dilimpahkan ke pengadilan.

  Jika pun ada kekurangan keterangan saksi-saksi, Kejagung harus segera melengkapinya. Hal yang tidak kalah pentingnya pemerintahan SBY-JK harus dapat menertibkan aparat keamanan dari prilaku-prilaku pelanggaran HAM. Karena biasanya aparat keamanan merupakan pihak yang paling berpotensi melakukan pelanggaran HAM terutama sekali dalam menangani aksi massa.

  Apakah masih ada harapan untuk hidup jauh dari segala bentuk kekerasan, intimidasi dan segala bentuk pelanggaran HAM lainnya pada masa- masa mendatang?

  Semua itu akan terjawab apabila penyelenggara kekuasaan negara mempunyai komitmen yang serius untuk melakukan perbaikan dalam rangka menegakkan nilai-nilai HAM dan menjauhi masyarakat dari praktik-praktik pelanggaran HAM? Mumpung masa pemerintahan SBY-JK masih tersisa empat tahun lagi. Saatnya sekarang untuk membuktikan janji kampanyenya dahulu untuk melakukan langkah yang konkrit dalam upaya-upaya perlindungan HAM dan kemudian menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang menjadi perhatian masyarakat. Hanya itulah yang dirindukan masyarakat. Semoga.***

  6

  

Imlek dan Politik Diskriminasi

Etnis Tionghoa

Sinar Harapan, 19 Januari 2004

  Proses reformasi dengan tampilnya Habibie sebagai Presiden telah membawa perubahan yang berarti bagi kehidupan masyarakat etnis Tionghoa. Salah satu bentuk perubahan tesebut adalah diakhirinya segala bentuk pelarangan terhadap kebebasan berekspresi kelompok etnis tionghoa dengan menerbitkan Impres Nomor 26 tahun 1998. Karena sepanjang orde baru berkuasa identitas etnis Tionghoa telah dicoba ditutup-tutupi secara paksa oleh suatu keputusan politik yang otoriter. Sejatinya, pelarangan kegiatan kesenian, kebudayaan dan segala macam yang berbau China dihapus sama sekali oleh penguasa saat itu.

  Lengsernya Habibie dan tampilnya Gus Dur sebagai Presiden pada tahun 2000 semakin memperkuat eksistensi etnis Tionghoa untuk berekspresi. Hal ini ditandai dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden (Kepres) Nomor 6 Tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid dan sekaligus mencabut keberadaan Inpres Nomor 14 Tahun 1967. Sejak saat itu kesenian Barongsai sebagai simbol perayaan imlek nyaris tidak ada hambatan. Naiknya Megawati sebagai Presiden pada tahun 2002 juga telah membuat suatu keputusan dengan menyatakan Imlek sebagai hari libur nasional. Kebijakan-kebijakan tersebut tentu disambut gembira oleh seluruh masyarakat keturunan etnis Tionghoa. Namun demikian dalam kehidupan politik, warga etnis Tinghoa masih saja dihadapkan pada ruang diskriminasi. Terutama dalam menyalurkan hak politiknya pada pesta pemilu.

  Pada pemilu 2004 misalnya, warga etnis Tionghoa masih banyak yang belum di daftar dalam proses pendaftaran pemilih dan pendataan penduduk berkelanjutan (P4B). Hal ini setidaknya diakui oleh pendiri Lembaga Anti Diskriminasi di Indonesia (LADI) Frans Hendra Winata dan Direktur Eksekutif LADI Rebeka Harsono yang menyebutkan bahwa sejumlah daerah di Jakarta masih banyak warga Tionghoa yang belum terdaftar sebagai calon pemilih pada pemilu 2004.

  Sulitnya warga negara keturunan Tionghoa untuk dapat di daftar dalam proses pelaksanaan pemilu paling tidak disebabkan karena mereka tidak memiliki Surat Bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI), akibatnya mereka sangat sulit untuk mendapatkan KTP atau surat resmi lainnya. Sedangkan KTP atau surat-surat bukti tersebut merupakan syarat penting yang diperlukan dalam pendataan penduduk untuk bisa diikutkan dalam pesta pemilu. Memang pencatuman kewarganegaraan Indonesia dalam akte kelahiran sudah jelas disebutkan, namun penegasan itu masih harus dibuktikan dengan SBKRI.

  Jika kita lihat sejarah kebelakang, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa sudah berlangsung cukup lama. Dalam hak politik misalnya, etnis Tionghoa memang telah dikebiri oleh penguasa. Mereka tidak diberikan kesempatan untuk menggunakan hak politiknya secara bebas. Bahkan selama kurun waktu tertentu di bawah kekuasaan orde baru, warga Tionghoa selalu digiring untuk memilih partai politik tertentu. Bahkan sejumlah kebijakan diskriminatif terhadap etnis Tionghoa yang telah dikeluarkan oleh Orde Baru jelas-jelas telah melanggar hak asasi manusia yang dilakukan oleh negara terhadap warganya.

  Perlakuan diskriminatif tersebut misalnya. Pertama, dengan dikeluarkannya Surat Edaran (SE) No 2/SE/Ditjen/PPG/K/1998 tentang larangan penerbitan tulisan/iklan yang beraksara dan berbahasa Cina. Kedua, Instruksi Presiden (Impres) No 14/1967 mengenai agama, kepercayaan dan adat istiadat Cina. Ketiga, Instruksi Mendagri No 455.2-360 tahun 1968 mengenai penataan kelenteng. Keempat, Surat Edaran (SE) Presedium Kabinet RI No SE-06/Pres- Kab/6/1967 tentang pengantian istilah Tiongkok dan Tionghoa menjadi Cina.

  

Kelima, Impres No 37/U/IN/6/1967 mengenai Badan Koordinasi Masalah Cina

  (BKMC). Keenam, Keputusan Presidium No 127/U/Kep/12/1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai nama Cina.

  Banyaknya bentuk perlakukan diskriminatif terhadap warga keturunan tersebut telah menimbulkan adanya kerenganggan dalam hubungan sosial antara orang Indonesia asli dan penduduk keturunan atau warga pribumi dan non pribumi. Dan pengaturan hukum yang diskriminatif diatas jelas merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.

  Sulitnya warga negara Tionghoa untuk mendapatkan SBKRI memang merupakan salah satu bentuk diskriminasi yang selalu menjadi berita penting untuk dikritisi. Sebab secara resmi pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menghapus SBKRI yang dilahirkan oleh Peraturan Menteri Kehakiman No JB 3/4/12 tahun 1978. Misalnya Kepres No 56/1996 tentang Bukti

Kewarganegaraan RI. Dalam Pasal 4 ayat 2 UU ini menyebutkan. “Berbagai kepentingan yang memerlukan bukti kewarganegaraan cukup menggunakan

  KTP, kartu keluarga atau akte kelahiran. Selanjutnya pada Pasal 5 dinyatakan bahwa dengan adanya Kepres tersebut maka segala peraturan perundang- undangan untuk kepentingan tertentu yang mengsyaratkan SBKRI dinyatakan tidak berlaku lagi. Peraturan ini masih dipertegas lagi dengan Surat Edaran Menteri Kehakiman dan HAM yang menyatakan kepada seluruh jajaran Depatmen Kehakiman dan HAM untuk tidak menerbitkan lagi SBKRI.

  Banyaknya ketentuan yang menghapus keberadaan SBKRI tersebut ternyata dalam praktiknya tidaklah dijalankan sebagaimana mestinya. Praktik- praktik diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tetap berjalan. Ini sangat bertentangan dengan Universal Declaration of Human Rights yang menyatakan bahwa setiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan sebagai subjek hukum. Kenyataan ini juga sangat bertolak belakang dengan UUD 45 khususnya Pasal 27 yang mengamanatkan setiap warga negara Indonesia bersamaan kedudukannya didepan hukum.

  Kebijakan diskriminatif yang dijalankan pemerintah Orde Baru memang telah membuat warga etnis Tionghoa kesulitan untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara Indonesia. Keharusan memiliki SBKRI tersebut membuat banyak warga etnis Tionghoa masuk dalam kelompok warga negara kelas dua. Padahal Kepres yang menyatakan tidak diperlukannya lagi SBKRI sudah diterbitkan, akan tetapi diskriminasi terhadap warga keturunan Tionghoa ternyata belum dapat dihilangkan dari tanah air Indonesia ini.

  Untuk itu, langkah yang harus dilakukan agar tercapainya hubungan yang harmonis antara pribumi dan non pribumi adalah dengan membuka kesempatan yang lebih besar kepada golongan etnis Tionghoa untuk turut berkiprah dalam kegiatan-kegiatan yang juga dilakukan oleh warga pribumi.

  Upaya-upaya mengembalikan hak-hak politik dan sosial warga etnis Tionghoa haruslah berpegang kepada prinsip persamaan hak sebagai warga negara Indonesia. Penegasan partisipasi politik warga Tionghoa ini penting agar nantinya mereka tidak lagi dirugikan dalam hak-hak politiknya. Dan ini harus ditangani oleh pihak-pihak yang berkepentingan.

  Kalau ini tidak dilakukan maka pihak-pihak terkait tesebut dapat diduga telah menghalang-halangi hak seseorang untuk menggunakan hak pilihnya. Dan ini jelas sangat bertentangan dengan jiwa dan semangat UUD 45 yang telah disepakati oleh bangsa Indonesia.

  Agar pelaksanaan pemilu yang didambakan dapat menghasilkan kehidupan yang lebih baik. Maka persiapan dan langkah-langkah yang baik harus dilakukan. Kesiapan politik dari masyarakat secara keseluruhan tanpa membedakan suku, agama dan budaya harus dihilangkan. Sebab seluruh masyarakat harus mendapatkan serta mengetahui hak dan kewajibannya sebagai warga negara yang baik.

  Dan ini jelas menjadi syarat mutlak terselenggarannya kehidupan politik yang demokratis. Prinsip-prinsip demokrasi yang benar harus dijabarkan dan dijamin keberadaannya. Dan tidak ada cara lain, seluruh komponen bangsa ini harus secara bersama-sama menciptakan pemilu 2004 sebagai solusi yang tepat untuk menyudahi krisis multidimensi yang ada dalam kehidupan masyarakat. Dengan ulasan diatas mudah-mudahan perayaan imlek setiap tahunnya dapat menggugah komitmen kita untuk lebih menyadari hakekat kehidupan bangsa dengan segala latar belakang suku, agama, budaya dan latar belakang lainnya. Selamat imlek. ***

  7 Demokrasi dan Penegakan Hukum Suara Karya, 3 Februari 2003

  Mempersoalkan demokrasi sebagai suatu sistem politik dalam negara hukum sesungguhnya tidak sekedar terfokus pada dimensi tujuannya saja. Namun penting diperhatikan juga tentang cara berdemokrasi yang benar. Jika kita lihat sekarang masyarakat lebih cenderung mengaktualisasikannya dengan cara yang tidak terpuji. Yang dengan alasan demokrasi semua aturan-aturan hukum bisa dilanggar dengan seenaknya.

  Problem utama setelah reformasi bergulir adalah adanya kebebasan tanpa arah sebagai dasar dari demokrasi. Padahal dalam pelaksanaannya sendiri seharusnya dibatasi oleh kebebasan orang lain. Inilah yang disebut dan dikenal dengan prinsip hak dan kewajiban. Yaitu adanya hak oarng lain yang mesti dihargai dan kewajiban kita untuk mematuhi sistem demokrasi dengan benar. Kemerdekaan yang diperoleh melalui perjuangan yang cukup lama dan memakan banyak korban, maka kata demokrasi mempunyai arti penting sebab merupakan salah satu tonggak dari pada penyanggah kemerdekaan yang telah dicapai. Bertolak pada hal diatas maka kemerdekaan yang telah dicapai tersebut haruslah diisi dengan sistem demokrasi yang berkeadilan. Dengan demikian nantinya demokrasi akan jauh lebih bermakna sebab telah terpenuhinya nilai- nilai hak asasi manusia untuk berekspresi dengan segala kebebasan yang positif dan bukan kebebasan yang anarkhis. Oleh sebab itu tahapan demokrasi yang benar dan baik harus dikedepankan sehingga nanti akan dijumpai suatu masyarakat yang hidup dalam suasana yang sejahtera dengan koridor hukum yang berlaku.

  Sebagai suatu sistem politik, demokrasi dapat dilihat sekitar lima abad sebelum masehi. Saat itu orang yunani membentuk polis (Negara Kota) dengan menerapkan bagaimana suatu sistem politik harus diorganisasikan sehingga dapat memenuhi kepentingan dan kesejahteraan rakyat. Pentingnya demokrasi juga dikemukakan oleh Samuel P. Hunngtington yang menulis dalam bukunya

  

The Third Wave Democratization In The Late Twentieth Century (1991) yang

  mengatakan bahwa demokrasi telah menjadi kata kunci dalam wacana dan pergerakan politik dunia. Dan tidak ada keragu-raguan untuk itu. Serta proses demokratisasi atau perjuangan untuk menegakkan demokrasi dewasa ini telah ada dan sedang berlangsung diberbagai pelosok dunia. Jadi hampir semua istilah demokrasi selalu memberikan arti penting bagi masyarakat. Karena sebagai dasar hidup berdenegara demokrasi memberikan pengertian bahwa pada tingkat terakhir rakyat merasakan langsung manfaat demokrasi yang dilaksanakan.

  Dari itu rakyat berhak menikmati demokrasi sebab hanya dengan demikianlah arah kehidupan rakyat dapat diarahkan pada kehidupan yang lebih adil dalam semua aspek kehidupan. Maka dari itu negara demokrasi adalah negara yang berlandaskan kehendak dan kemauan rakyat, karena kedaulatan berada ditangan rakyat. Ketidakadilan dalam mengujudkan fungsi hukum merupakan salah satu bentuk demokrasi tidak berjalan ditengah masyarakat. Lumpuhnya kedaulatan hukum rakyat dan mandulnya lembaga-lembaga hukum menggambarkan keadaan tersebut.

  Pemerintah sebagai penguasa yang mengklain dirinya sebagai reformator demokrasi hukum namun malah bersikap acuh tak acuh dalam menegakkan hukum. Hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya seolah-olah hukum hanya berlaku bagi golongan masyarakat kecil.Bahwa demokrasi telah tumbuh menjadi alasan reformasi dengan kecendrungan mengabaikan hak-hak asasi manusia memang tidak bisa dipungkiri. Semua sikap demokrasi yang dijalankan selalu membonceng makna reformasi sebebas-bebasnya tanpa mampu membedakan sikap-sikap yang arogan.

  Dibidang HAM, maka untuk melindungi HAM tersebut negara harus dibangun atas prinsip negara hukum dan diawasi oleh instrumen yang berwenang. Agar demokrasi dapat berjalan tanpa menginjak hak asasi manusia maka perlulah segera agenda penting diutamakan oleh penguasa dengan memberikan perhatian khusus cara-cara demokrasi yang tidak menyimpang. Sebab mempersoalkan demokrasi sebagai suatu paham dari sistem politik dalam negara hukum pada hakekatnya tidak terpusat pada dimensi aktualitas dan tujuan yang ingin dicapai saja tetapi juga menyangkut hak asasi manusia yang sebenarnya tidak boleh diabaikan. Jika demokrasi hanya dipersoalkan pada tujuan yang ingin dicapai saja maka jelas akan mengandung sejumlah problem terutama yang berdampak pada kelangsungan kehidupan masyarakat. Karena demokrasi tidak berada pada ruang hampa yang kebal dari aturan yang anarkis.

  Namun sebaliknya bahwa demokrasi tersebut harus tunduk pada ketentuan hukum yang berlaku yang nantinya berdampak pada aktifitas masyarakat. Pertanyaannya? Sudahkah demokrasi berjalan dengan semestinya dinegeri ini atau jika benar demokrasi sudah ditegakkan dimanakah tempat rakyat yang sesungguhnya? Apakah rakyat bisa mendapatkan manfaat dalam proses politik yang didengungkan secara demokratis? Atau dapatkah masyarakat memperoleh persaman dan keadilan dimuka hukum? Menjawab pertanyaan ini penulis teringat dengan apa yang dikatakan Gus Dur dalam tulisannya diharian Kompas edisi 1 September 19 98 yang berjudul “Masa Depan Demokrasi di Indonesia”.