RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN

  RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA SISI GELAP PERUNDINGAN SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Disusun oleh YUHAN CAHYANTARA NIM : 024314007 PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya orang lain, baik itu sebagian maupun seluruhnya, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya suatu karya ilmiah.

  Yogyakarta, 7 Agustus 2007 Penulis

  Yuhan Cahyantara

  ! ! " ! ! ! " ! ! ! " ! ! ! " ! ! ! ! ! ! ! ! !

  #$ !" #$ !" #$ !" #$ !" $ ! !% $ ! !% $ ! !% $ ! !%

  & ' (' & ' (' & ' (' & ' (' v

  

) ) ) ) ! ! ! !

! ! ! ! ! ! ! !

  • * ! * ! ! " + , " + , * ! " + , " + , ! ! ! ! " * - " * - " * - * " * - .!- /! ! .!- /! ! .!- /! ! .!- /! !

    0 ! 0 ! 0 ! 0 ! 1 ! 1 ! 1 ! 1 ! ! ! ! ! ! ! ! !

  ! ! ! ! ! ! " " ! ! ! ! " " ! !

KATA PENGANTAR

  Rasa syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala kasih dan kekuatan yang telah diberikan kepada penulis, sehingga penulis mampu menyelesaikan karya ini. Sungguh, Dia yang menjadi sandaran segala harapan penulis karena Dia adalah kehidupan abadi.

  Selain itu, karya ini juga terwujud atas bantuan dan perhatian dari berbagai pihak yang sungguh berarti bagi penulis. Untuk itulah dalam kesempatan yang indah ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Prof. Dr. P.J. Suwarno, S.H.

  Sebagai Dosen Pembimbing Tunggal yang telah membimbing, memberikan saran, kebebasan dalam menulis, dan mengoreksi karya ini. Berkat bimbingan Bapak penulis merasa tenang dan optimis dalam menyusun karya ini.

  2. Drs. H. Purwanta, M.A.

  Sebagai Dosen Pembimbing Akademik yang selalu peduli pada perkembangan akademis penulis. Terima kasih atas koreksi, perbaikan awal, dan penjelasannya, sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.

  3. Drs. H. Hery Santosa, M.Hum.

  Sebagai Kaprodi Ilmu Sejarah yang telah memberikan dorongan bagi penulis untuk segera menyelesaikan penelitian ini.

  4. Bapak dan Ibu Dosen Ilmu Sejarah Drs. Ign. Sandiwan Suharso, Dra. Lucia Juningsih, M.Hum, Drs. Silverio R.L.

  Aji Sampurno, M.Hum, dan Dr. Baskara T. Wardaya, S.J. yang telah memberikan

  5. Bapak F.X. Sugiyono, Bsc. dan Ibu Serafica Listi Sulaxmi, Mas Koko dan Ester.

  Terima kasih atas kebahagiaan yang telah kalian bagi padaku.

  6. Reni, yang telah membuat abstrak untukku. Bersamamu aku merasakan kasih dan sayangmu.

  7. Qeqe, yang selalu bisa membuatku tertawa dan bahagia. Terima kasih juga atas hari-hari yang menyenangkan bersamamu, bercerita, tertawa, berantem adalah kita. Bersamamu selalu bisa membuatku merasa nyaman. Mengenalmu, rasanya seperti mempunyai adik yang bisa diajak berbagi.

  8. Ada dan Iren, senang mengenal kalian. Banyak juga kebahagiaan yang kudapat dari kalian.

  9. Teman-temanku di 2002 : Ida, Mamik, Gusti, Vila, Ela, Nana, Feny, Yosi, Hananto, Markus, Eko, Daniel, Roger, Vianney, Devi, Yuda, Halim, Ekarama, Opet, Elang, Soekarno. Senang bisa sekelas dengan kalian semua. Terus berjuanglah.

  10. Mbak Estri, yang telah mengetik naskah skripsi ini. Terima kasih juga atas koreksinya.

  11. Musik-musik yang selalu menjadi teman dan pengiringku selama ini : Dewa-Dewi, Ungu – Bayang Semu, Linkin Park – Numb, Evo – Terlalu Lelah, Pinkan Mambo – Kasmaran, Siti Nurhaliza – Betapa Ku Cinta Padamu.

  12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih.

  Yogyakarta, 7 Agustus 2007

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .......................................................... iv MOTTO ........................................................................................................... v PERSEMBAHAN ............................................................................................ vi KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii ABSTRAK ....................................................................................................... ix ABSTRACT..................................................................................................... x DAFTAR ISI.................................................................................................... xi BAB I. PENDAHULUAN ...........................................................................

  1 A. Latar Belakang Masalah ............................................................

  1 B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah .......................................

  6 C. Pokok Permasalahan ..................................................................

  8 D. Tujuan Penelitian .......................................................................

  9 E. Manfaat Penelitian .....................................................................

  9 F. Tinjauan Pustaka .......................................................................

  10 G. Kerangka Konseptual ................................................................

  14 H. Hipotesis ....................................................................................

  15 I. Metodologi Penelitian ...............................................................

  20

  J. Sistematika Penulisan ................................................................

  21 BAB II. JALAN TERJAL MENUJU PERUNDINGAN ..............................

  23 BAB III. DIPLOMASI DAN INTERVENSI ..................................................

  36 A. Diplomasi Belum Berakhir ........................................................

  36 B. Alotnya Perundingan di Kapal Renville ....................................

  52 BAB IV. MELANGKAH DI ANTARA KETIDAKPASTIAN ......................

  62 A. Meneliti Jejak-jejak Perbedaan ..................................................

  62 B. Satu Perjanjian Dua Penafsiran .................................................

  69 C. Mencari Jalan Tengah ...............................................................

  77 D. Perjanjian di Tengah Gejolak Politik Dua Negara ....................

  81 BAB V. PENUTUP.........................................................................................

  89 DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................

  95 LAMPIRAN

  

ABSTRAK

RENVILLE 1947 : MENCARI TERANG DI ANTARA

SISI GELAP PERUNDINGAN

  Suatu Usaha Memahami Perundingan Renville Dalam Konteks Hubungan Bilateral Antara Indonesia – Belanda

  

Oleh : Linus Yuhan Cahyantara

NIM : 024314007

  Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pada periode 1947 – 1948 terkait dengan dilaksanakannya Perundingan Renville untuk mengatasi konflik keduanya pasca Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947. Ada tiga permasalahan utama yang ditampilkan dalam penelitian ini, yaitu : Pertama, apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville? Kedua, mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan? Ketiga, bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville? Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitis. Melalui metode tersebut penulis mendeskripsikan fakta-fakta yang relevan dengan permasalahan yang diteliti, kemudian mengolahnya melalui suatu analisis untuk kemudian ditarik suatu pemahaman yang komprehensif atas topik yang diteliti. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan politik, sehingga menghasilkan pemahaman dari perspektif politik.

  Hasil yang diperoleh dari penelitian ini adalah : Pertama, yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville secara garis besar terdiri dari dua bidang, yaitu bidang militer dan bidang politik. Di bidang militer, penghentian permusuhan dan penentuan garis demarkasi menjadi substansi utama yang menjadi perdebatan antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan gencatan senjata. Di bidang politik, substansi utamanya adalah mengenai distribusi kekuasaan dan peninjauan kembali bentuk hubungan politik antara Indonesia – Belanda.

  Kedua, tidak adanya bentuk kesepakatan konkret antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville membuat proses perundingan terhambat dan bahkan adanya pelanggaran-pelanggaran perjanjian gencatan senjata yang terus terjadi antara pasukan Indonesia dan pasukan Belanda membuat hubungan Indonesia – Belanda semakin memanas.

  Ketiga, hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ternyata tidak semakin membaik, tetapi justru semakin menjauh. Hal tersebut disebabkan karena tidak adanya kesepakatan konkret dalam membuat rancangan-rancangan teknis pelaksanaan hasil-hasil perjanjian yang bisa untuk segera dilaksanakan. Tidak adanya kesepakatan tersebut membuat hasil-hasil Perjanjian Renville tidak bisa dilaksanakan secara efektif dalam mengatasi konflik antara Indonesia – Belanda.

  

ABSTRACT

RENVILLE 1947 : FINDING THE GOOD POINT BETWEEN

THE DARK SIDE OF NEGOTIATION

An Exertion to Understand Renville Negotiation in Bilateral Relation Contex

  

Between Indonesia and Dutch

By Linus Yuhan Cahyantara

NIM : 024314007

  This research is purposed to find out the development of bilateral relation between Indonesia and Dutch at 1947 – 1948, after Renville negotiation that used contend the conflict between Indonesia and Dutch after military aggression that did

  st

  by Dutch on 21 July 1947. There are three problems; first, what is the main conflict in Renville negotiation? Second, why the relation between Indonesia and Dutch is become suspense when the negotiation is going on? Third, how is the bilateral relation between Indonesia – Dutch after the negotiation was signed?

  The method that used in this research is descriptive analysis method. The writer describes the relevant fact with the problem which is researched then analyze it to find out a comprehensive conclusion on it. The approach that is use is politic approach then produce the understanding from politic perspective.

  The finding of the research are; first, the main conflict on Renville negotiation can be divided into two main conflicts, military and politic. In military, the stopping of hostility and the act of determining demarcation lines are the main conflict which become the subject of debate between Indonesia and Dutch in implementation of cease fired. In politic, distribution of power and review of the form politic relation between Indonesia – Dutch are the main conflict.

  Second, there is no concrete agreement between Indonesia and Dutch to realize the result of Renville negotiation made the process of negotiation is obstructed. In fact that there are some violating in cease fired negotiation that always happened between Indonesia military and Dutch military.

  Third, the bilateral relation between Indonesia – Dutch after Renville negotiation was signed in fact its not make the situation better, but worse. It caused of there is no concrete agreement to realize the result of the negotiation. It made the result of Renville negotiation can’t be realize effectively to content the conflict between Indonesia and Dutch.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Perjuangan melawan penjajahan tidak selalu harus dilakukan dengan

  mengangkat senjata dan berkonfrontasi secara fisik di medan tempur, tetapi ada bentuk perjuangan lain yang bisa dilakukan dalam menghadapi penjajah. Strategi perjuangan bersenjata memang merupakan salah satu bentuk perjuangan yang bersifat radikal revolusioner, tetapi ada juga strategi lain yang bersifat politis untuk mengimbangi strategi perjuangan bersenjata tersebut. Strategi tersebut adalah strategi diplomasi yang sungguh diperlukan untuk menghadapi penjajah secara politis. Hal tersebut mewarnai perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan Belanda, terutama pada masa 1946 – 1949 ketika bangsa Indonesia berusaha untuk mengalahkan Belanda, baik dengan cara berperang maupun dengan cara melakukan perundingan dengan Belanda. Dapat dikatakan bahwa pada masa 1946 – 1949 merupakan masa-masa pasang surut perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan Belanda karena peperangan dan perundingan datang silih berganti.

  Tahun-tahun antara 1946 – 1949 merupakan masa dimana hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas karena adanya sejumlah bentuk pengkhianatan terhadap usaha menciptakan perdamaian di Indonesia. Agresi Militer Belanda I pada tanggal 21 Juli 1947 adalah suatu peristiwa yang cukup fenomenal pasca kemerdekaan Indonesia karena peristiwa tersebut merupakan suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap Perjanjian Linggajati yang telah

  1

  disepakatinya dengan Indonesia pada tanggal 15 November 1946. Agresi Militer Belanda I merupakan suatu usaha Belanda untuk menguasai kembali Indonesia, meskipun dalam Perjanjian Linggajati Belanda telah mengakui kedaulatan Indonesia sebatas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura. Jelas bahwa Agresi Militer Belanda I telah melanggar salah satu pasal dalam Perjanjian Linggajati, terutama menyangkut masalah kedaulatan negara Indonesia.

  Agresi Militer Belanda I ternyata cukup banyak mendapat sorotan dari dunia internasional. India dan Australia adalah dua negara yang secara tegas mengecam agresi tersebut dan membela negara Indonesia karena alasan rasa solidaritas mereka terhadap perjuangan bangsa Indonesia. Desakan dari berbagai negara terhadap Dewan Keamanan PBB (DK PBB) agar ikut terlibat dalam proses peredaan konflik antara Indonesia – Belanda pun akhirnya membuat DK PBB mengeluarkan sebuah resolusi pada tanggal 1 Agustus 1947 yang intinya memerintahkan Indonesia dan Belanda agar segera menghentikan segala bentuk permusuhan dan menganjurkan agar konflik diselesaikan dengan melibatkan

  2

  pihak ketiga sebagai mediatornya. Dengan adanya resolusi ini maka setidaknya konflik antara Indonesia – Belanda bisa sedikit mereda karena kini mulai banyak negara yang mengamati manuver-manuver Belanda terhadap Indonesia, sehingga Belanda tidak bisa bertindak sembarangan terhadap Indonesia. Konflik antara Indonesia – Belanda kini bukan lagi hanya merupakan masalah bilateral saja, tetapi sudah menjadi perhatian dunia internasional, terlebih lagi adanya resolusi 1 K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan Politik Bangsa Indonesia : Renville, Gunung Agung, dari DK PBB jelas merupakan suatu bentuk nyata perhatian dunia internasional terhadap konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda.

  Setelah melalui sejumlah persidangan, maka akhirnya DK PBB pun mengeluarkan resolusi baru yang secara khusus menyangkut tentang pembentukan Komisi Jasa-jasa Baik atau lebih dikenal dengan nama Komisi Tiga Negara (KTN) yang akan bertindak sebagai mediator dalam perundingan antara Indonesia – Belanda. KTN ini nantinya terdiri dari tiga negara, yaitu : satu negara yang ditunjuk oleh Indonesia, satu negara yang ditunjuk oleh Belanda, dan satu negara lagi yang merupakan hasil pilihan dua negara yang ditunjuk oleh Indonesia dan Belanda tersebut. Akhirnya Indonesia menunjuk Australia, Belanda menunjuk Belgia, sedangkan Australia dan Belgia menunjuk Amerika Serikat (AS) sebagai anggota KTN yang ketiga, dengan demikian lengkaplah

  3

  sudah komposisi KTN. Pada tanggal 27 Oktober 1947 KTN telah tiba di Jakarta bersama dengan sejumlah peninjau militer yang akan melakukan survei lapangan untuk membantu KTN dalam mengetahui secara konkret konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga akan mempermudah pekerjaan KTN dalam merumuskan permasalahan yang terjadi di lapangan. Sementara itu permasalahan lain pun muncul menyangkut masalah tempat perundingan. Indonesia tidak mau berunding di daerah kekuasaan Belanda, begitu pula sebaliknya, sehingga KTN pun berusaha mencari tempat perundingan yang dapat dianggap netral dan tentu saja bisa disetujui oleh kedua negara tersebut. Setelah melalui lobi-lobi politiknya akhirnya KTN pun bisa menentukan tempat perundingannya, yaitu di sebuah kapal pengangkut milik AS yang rencananya akan segera berlabuh di Tanjung Priok. Kapal tersebut bernama U.S.S. Renville, sehingga nantinya perundingan ini akan lebih dikenal dengan nama Perundingan Renville.

  Bagi Indonesia perjuangan menuju Perundingan Renville bukan hanya untuk menahan manuver-manuver militer Belanda saja, tetapi juga untuk mempertahankan status kedaulatannya yang telah diakui oleh Belanda di dalam Perjanjian Linggajati yang kemudian dilanggar oleh Belanda dengan Agresi Militer I. Untuk itulah kemudian delegasi pun dibentuk, delegasi Indonesia yang berjumlah delapan orang dipimpin oleh Amir Syarifuddin, sedangkan delegasi Belanda yang berjumlah tiga belas orang dipimpin oleh Abdoelkadir

4 Widjojoatmodjo.

  Alasan penulis memilih judul ini karena selama ini wacana mengenai Perundingan Renville hanya berkutat pada hasil-hasil perjanjiannya yang lebih bersifat pragmatis tanpa menampilkan peranan penting perundingan tersebut bagi hubungan Indonesia – Belanda pasca penandatanganan perundingan tersebut. Disamping itu Menurut Hans J. Morgenthau - seorang ahli ilmu politik dari Jerman - ada sembilan faktor yang menjadi unsur kekuatan nasional suatu negara, salah satunya adalah faktor kualitas diplomasi.

  “Dari segenap faktor yang menyebabkan kekuatan suatu negara, yang terpenting bagaimanapun tidak stabilnya, ialah kualitas diplomasi.

  ……………………………………………………………………………………… Kualitas diplomasi suatu negara menggabungkan faktor-faktor yang berlainan itu membangkitkan kemampuan yang tidak aktif dengan memberi napas kekuatan yang sesungguhnya. Cara melaksanakan hubungan luar negeri suatu negara oleh para diplomatnya untuk kekuatan nasional dalam masa damai, sama artinya dengan siasat, dan

  taktik militer oleh para pemimpin militernya untuk kekuatan dalam masa

  5 perang.

  Berdasarkan kutipan di atas dapat diketahui bahwa sebenarnya diplomasi mempunyai arti penting sebagai salah satu kekuatan nasional dalam membina hubungan suatu negara dengan negara lain, dalam keadaan damai maupun perang. Hal ini pun tak luput juga terjadi pada bangsa Indonesia bila merujuk pada peristiwa Perundingan Renville yang dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Berbagai hal yang berhubungan dengan sisi-sisi diplomasi antara Indonesia

  • – Belanda dalam Perundingan Renville pantas untuk diketahui agar dinamika strategi perjuangan bangsa Indonesia bisa dipahami secara lebih optimal, tentunya dengan perspektif yang semakin berkembang. Penelitian tentang Perundingan Renville tentu akan mampu memperluas perspektif dalam penulisan sejarah perjuangan bangsa Indonesia karena adanya sisi-sisi penonjolan dinamika perjuangan diplomasi yang akan bermanfaat dalam rangka memahami pola-pola perjuangan bangsa Indonesia dalam melawan penjajahan. Dengan demikian penulis akan mencoba untuk mengambil esensi dari Perundingan Renville untuk mendeskripsikan dan menganalisis peranan pentingnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda, karena tak jarang peperangan maupun perdamaian bisa terjadi dan bisa ditentukan di dalam suatu perundingan. Pembahasan mengenai Renville tidak cukup berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi juga harus ditampilkan implikasi-implikasi yang timbul dari hasil perundingan tersebut bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda.

B. Identifikasi dan Pembatasan Masalah

  Perundingan Renville merupakan suatu bentuk tindak lanjut sekaligus merupakan bentuk kepedulian dunia internasional – melalui DK PBB – terhadap Agresi Militer Belanda tanggal 21 Juli 1947 ke Indonesia. Banyak negara yang mengecam agresi tersebut karena telah melanggar prinsip-prinsip perdamaian dunia. Perundingan Renville juga merupakan suatu bentuk pemastian terhadap keberadaan Perjanjian Linggajati antara Indonesia – Belanda tentang upaya penghentian konflik yang telah dilanggar oleh Belanda. Melalui KTN yang merupakan komisi yang dibentuk oleh DK PBB, Indonesia dan Belanda harus menempuh perundingan untuk menyelesaikan konfliknya selama ini. Perundingan Renville memuat masalah-masalah yang selama ini diperdebatkan oleh Indonesia maupun Belanda, antara lain adalah menyangkut tentang wilayah

  6

  kedaulatan masing-masing negara dan status hubungan kedua negara. Dalam hal wilayah kedaulatan, Indonesia mempermasalahkan Agresi Militer Belanda yang telah menduduki wilayah-wilayah Indonesia yang secara resmi telah diakui oleh Belanda dalam Perjanjian Linggajati. Sedangkan dalam hal status hubungan kedua negara, Indonesia berharap agar kedaulatan negara Indonesia tetap dihormati dan tidak diganggu oleh Belanda.

  Dinamika Perundingan Renville yang di dalamnya penuh dengan proses tuntutan, negosiasi, dan kesepakatan menjadi suatu hal yang perlu untuk dicermati dalam memahami peranan perundingan tersebut bagi hubungan Indonesia – Belanda. Adanya sejumlah perbedaan mendasar dalam hal prinsip- prinsip dan kepentingan politis di antara Indonesia – Belanda membuat sejumlah substansi persengketaan menjadi semakin rumit dan sulit untuk dijembatani.

  Untuk mengetahui sampai sejauh mana pengaruh Perundingan Renville terhadap hubungan Indonesia Belanda waktu itu, diperlukan beberapa pertanyaan menyangkut Perundingan Renville itu sendiri, yaitu :

  1. Apa yang sebenarnya menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

  2. Bagaimana proses Perundingan Renville berjalan ?

  3. Mengapa di antara Indonesia Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam mengajukan tuntutan di dalam Perundingan Renville ?

  4. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi masing-masing negara ?

  5. Apa pengaruh Perundingan Renville bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda ?

  Untuk lebih memfokuskan pembahasan maka penulis sengaja akan membatasi permasalahan tersebut dengan hanya akan menampilkan tiga permasalahan saja, yaitu :

  1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

  2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan ?

  3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ? Selain memberikan pembatasan dalam hal permasalahan, penulis juga akan memberikan batasan waktu menyangkut topik Perundingan Renville tersebut, yaitu dari tahun 1947 – 1948. Secara lebih khusus, penulis hanya akan membahas Perundingan Renville sebatas pada dinamika prosesnya dan pengaruhnya bagi hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda sampai dengan tahun 1948.

C. Pokok Permasalahan

  Perundingan Renville bukanlah hanya suatu usaha dalam menindaklanjuti peristiwa Agresi Militer Belanda I saja, tetapi juga merupakan suatu perundingan yang di dalamnya memuat masalah-masalah krusial lainnya yang perlu diklarifikasi dan dipecahkan bersama antara Indonesia – Belanda. Perundingan Renville juga diperlukan dalam rangka memperjelas status hubungan kedua negara selama ini agar diketahui posisi dan kapasitas masing-masing negara dalam konteks hubungan bilateralnya. Arti penting Perundingan Renville tidak berhenti sebatas pada hasil-hasil perundingannya, tetapi yang lebih penting adalah peran penting yang dapat diambil dari proses perundingan tersebut bagi hubungan kedua negara yang saling bertikai tersebut. Untuk lebih memfokuskan pembahasan, maka dalam penelitian ini penulis akan menguraikan tiga permasalahan yang berkaitan dengan Perundingan Renville, yaitu :

  1. Apa yang menjadi substansi persengketaan di dalam Perundingan Renville ?

  2. Mengapa hubungan antara Indonesia – Belanda semakin memanas ketika perundingan sedang berjalan ?

  3. Bagaimana hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda pasca penandatanganan Perjanjian Renville ?

  D. Tujuan Penelitian

  Secara akademis penelitian ini bertujuan untuk menampilkan sisi-sisi penting dari proses Perundingan Renville yang berpengaruh terhadap hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda periode 1947 – 1948. Dengan menggunakan perspektif politik penulis akan mencoba untuk menganalisis pertentangan yang terjadi antara Indonesia – Belanda di dalam Perundingan Renville dan pengaruhnya terhadap proses penyelesaian konflik kedua belah pihak.

  Secara praktis penelitian ini bertujuan untuk menambah suatu wawasan kepada masyarakat tentang arti penting suatu proses diplomasi di dalam kehidupan bernegara. Secara implisit penulis ingin agar penelitian ini mampu menjadi suatu pembelajaran kepada masyarakat bahwa proses diplomasi mempunyai peran dan pengaruh yang penting terhadap penyelesaian setiap masalah yang ada di dalam masyarakat maupun dalam kerangka kehidupan bernegara secara bilateral.

  E. Manfaat Penelitian

  Secara akademis penelitian ini diharapkan mampu mendeskripsikan betapa pentingnya strategi diplomasi dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

  Secara praktis penelitian ini diharapkan mampu memberikan wawasan kepada masyarakat bahwa ada hubungan antara penulisan sejarah dengan kehidupan di masa kini dan yang akan datang, yaitu aspek pembelajaran sejarah. Penelitian ini diharapkan mampu memberikan gambaran kepada masyarakat umum bahwa perdamaian itu membutuhkan pengorbanan.

F. Tinjauan Pustaka

  Dalam penelitian ini penulis akan memberikan sedikit gambaran tentang beberapa buku yang memuat masalah Perundingan Renville untuk digunakan sebagai dasar bagi penulis untuk semakin melengkapi wacana tentang Perundingan Renville.

  Buku yang pertama adalah Ide Anak Agung Gde Agung, 1983, Renville, terj., Sinar Harapan, Jakarta. Buku ini berisi tentang pandangan dan gagasan penulisnya tentang dinamika yang terjadi pada hubungan Indonesia – Belanda selama Perundingan Renville berlangsung, maupun sesudahnya. Secara lebih khusus, penulisnya mencermati jalannya Perundingan Renville dengan mengkaji setiap perkembangannya secara teliti dan mendalam. Berbagai masalah yang terjadi selama perundingan berlangsung pun turut dikaji, antara lain mencakup tentang perbedaan pemahaman dalam setiap tuntutan, perbedaan penafsiran terhadap hasil-hasil perjanjiannya, sampai dengan kesulitan-kesulitan yang dihadapi oleh Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil perjanjian.

  Perundingan Renville tidak hanya ditampilkan dalam konteks hubungan Indonesia – Belanda saja, tetapi juga dilengkapi dengan tinjauan-tinjauan politik luar negerinya, kepentingan-kepentingan yang ada di dalamnya, dan juga pandangan dari dunia internasional terhadap konflik antara Indonesia – Belanda.

  Buku yang kedua adalah tulisan Mohammad Roem, 1989, Diplomasi :

  Ujung Tombak Perjuangan RI , Gramedia, Jakarta. Dalam bukunya, ia menulis

  tentang sekelumit kisahnya sewaktu masih aktif sebagai diplomat dari Perjanjian Linggajati sampai dengan Konferensi Asia Afrika. Sisi penting buku ini adalah dalam buku ini penulisnya mampu memberikan argumentasi yang jelas terhadap pentingnya suatu diplomasi di kancah internasional. Buku ini juga menampilkan gagasan-gagasan penulisnya bahwa diplomasi mempunyai arti penting bagi suatu negara sebagai kekuatan politik dalam hubungannya dengan negara lain.

  Keunggulan dari buku ini adalah penulisnya mampu untuk memberikan perspektif yang positif terhadap diplomasi yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah RI. Selain itu sisi-sisi diplomasi tidak hanya dipandang dari sisi pragmatisnya saja, tetapi juga ditampilkan relevansinya dengan masalah-masalah di dunia internasional, sehingga wacana yang dihasilkan berupa suatu analisa yang menyeluruh tentang keberadaan suatu negara dan kehidupan diplomasinya dengan negara lain.

  Buku yang ketiga adalah tulisan Basuki Suwarno yang berjudul

  

Hubungan Indonesia – Belanda Periode 1945 – 1950 Jilid I . Buku ini diterbitkan

  oleh Upakara atas disposisi dari Kementerian Luar Negeri Indonesia pada tahun 1999 di Jakarta. Buku ini berisi tentang petikan-petikan dokumen kenegaraan, baik yang berasal dari pihak Indonesia maupun pihak Belanda pada periode 1945

  • – 1950. Sebagian besar petikan-petikan dokumen tersebut memuat tentang masalah-masalah politik antara Indonesia – Belanda, termasuk tentang peristiwa yang terjadi di seputar Perjanjian Renville. Buku ini membantu penulis dalam mengetahui lebih banyak tentang sudut pandang politik kedua negara, yaitu dari Indonesia dan Belanda dalam menyikapi Perundingan Renville melalui pernyataan-pernyataan yang dikeluarkan oleh elit-elit politik kedua negara tersebut.

  Buku yang keempat adalah karya K.M.L. Tobing, 1986, Perjuangan

  

Politik Bangsa Indonesia : Renville , Gunung Agung, Jakarta. Buku ini berisi

  tentang pembahasan tentang proses Perundingan Renville, dari tahap persiapan sampai dengan rencana-rencana pelaksanaan hasil-hasil perjanjiannya. Buku ini secara khusus memfokuskan pembahasannya pada situasi selama perundingan berlangsung dan lobi-lobi politik yang terjadi antara Indonesia – Belanda dalam memperjuangkan tuntutannya. Keunggulan buku ini adalah aspek kronologisasinya yang jelas dan runtut, sehingga memudahkan penulis dalam menyimak alur perkembangan dari Perundingan Renville. Selain itu keunggulannya terletak pada penyajian setiap peristiwanya yang mengutamakan segi kausalitas, sehingga setiap bagiannya mempunyai penjelasan yang jelas dan berkesinambungan. Buku ini juga memuat beberapa pandangan dari penulisnya dalam menanggapi beberapa petikan pernyataan dari pemerintah Indonesia maupun Belanda terhadap keberadaan Perundingan Renville, sehingga memberi tambahan penting bagi penulis dalam mencari akar permasalahan yang terjadi antara Indonesia – Belanda.

  Buku yang kelima adalah tulisan Alastair M. Taylor yang berjudul

  

Indonesia Independence and the United Nations . Buku ini diterbitkan oleh

  Stevens and Sons Limited pada tahun 1960 di London. Buku ini banyak memuat tentang peranan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam membantu usaha perdamaian yang ditempuh oleh Indonesia dan Belanda pada periode 1946 – 1950. Secara spesifik buku ini banyak mengulas tentang perundingan- perundingan antara Indonesia – Belanda dari Perundingan Linggajati sampai dengan Konferensi Meja Bundar. Buku ini banyak membantu penulis dalam mengetahuai secara lebih jauh mengenai substansi-substansi yang disengketakan oleh Indonesia dan Belanda di dalam Perundingan Renville dan mengetahui peranan PBB dalam membantu Indonesia dan Belanda dalam menyelesaikan konflik.

  Selain itu penulis juga menggunakan beberapa buku lain sebagai referensi dalam penelitian ini. Ada buku yang berjudul Di Bawah Bendera Revolusi tulisan Soekarno, khususnya Jilid II, yang memuat tentang pandangan-pandangan politik Soekarno sebagai presiden dalam menghadapi kolonialisme Belanda. Buku karya Ide Anak Agung Gde Agung yang berjudul Pernyataan Rum-Van Roijen 7 Mei

  

1949 juga digunakan karena buku tersebut berisi tentang perubahan-perubahan

  politik yang terjadi di negeri Belanda pada periode 1948 yang pada dasarnya sangat berpengaruh pada hubungan bilateralnya dengan Indonesia. Sebagai penyeimbangnya penulis juga menggunakan karya Hersri Setiawan yang berjudul untuk mengamati

  Negara Madiun? Kesaksian Soemarsono Pelaku Perjuangan

  perubahan-perubahan politik yang terjadi di Indonesia pasca Perundingan Renville.

  Setelah mencermati sejumlah buku yang telah disebutkan di atas, maka terdapat perbedaan dengan penelitian ini dalam hal isinya. Di dalam buku-buku tersebut proses Perundingan Renville hanya dideskripsikan tanpa menampilkan hubungan antara proses tersebut dengan pengaruhnya terhadap proses penyelesaian konflik antara Indonesia – Belanda selanjutnya. Sedangkan penelitian ini menampilkan analisis mengenai perbedaan pendapat antara Indonesia – Belanda selama proses Perundingan Renville dan pengaruhnya terhadap penyelesaian konflik kedua belah pihak selanjutnya, sehingga penelitian ini lebih komprehensif dalam melihat Perundingan Renville sebagai suatu proses perundingan yang belum berhasil dalam mewujudkan perdamaian antara Indonesia – Belanda.

G. Kerangka Konseptual

  Baik secara eksplisit maupun implisit penelitian tentang Perundingan Renville ini akan memuat suatu hal yang berhubungan dengan konflik yang terjadi antara Indonesia – Belanda, sehingga diperlukan adanya suatu pemahaman yang jelas tentang pengertian konflik itu sendiri. Selain itu dalam penelitian ini juga digunakan beberapa istilah seperti perundingan, perjanjian, diplomasi, dan bilateral yang juga akan diberi pengertian sesuai dengan konteks dalam penelitian ini. Konflik adalah perbedaan kepentingan, perbedaan pendapat atau ide,

  7

  walaupun dalam kadar yang rendah. Dalam konteks ini konflik diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadi perbedaan dan benturan kepentingan dalam hubungan antara satu negara dengan negara lain. Dalam konteks ini perundingan

  8

  diartikan sebagai pembicaraan terhadap sesuatu hal. Dalam konteks ini perjanjian diartikan sebagai suatu persetujuan yang dibuat oleh kedua belah pihak

  9 masing-masing berjanji akan menaati apa yang tersebut dalam persetujuan itu.

  Dalam konteks ini diplomasi diartikan sebagai pengalaman dan kecakapan dalam 7 Menurut Alfian dalam Prisma, edisi 3 Maret 1977, hlm. 89.

  10

  hal perhubungan antara negara dan negara. Dalam konteks ini bilateral diartikan

  11 sebagai hubungan antara dua pihak.

  Setelah diketahui pengertian dari masing-masing istilah tersebut, maka di dalam penelitian ini penulis akan menampilkan tiga pernyataan yang menjadi garis besar dari penelitian ini, yaitu :

  1. Konflik bisa terjadi di antara dua negara karena adanya perbedaan kepentingan ekonomi maupun politik.

  2. Masing-masing negara mempunyai strategi yang berbeda dalam menyelesaikan konflik di dalam suatu perundingan yang tentu saja sangat dipengaruhi oleh pandangan maupun kepentingannya masing-masing.

  3. Konsistensi suatu negara dalam melaksanakan hasil perjanjian internasional sangat dipengaruhi oleh adanya faktor keuntungan yang diperoleh dari hasil perjanjian tersebut.

H. Hipotesis

  Perundingan Renville merupakan suatu proses perundingan yang harus ditempuh oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan PBB melalui KTN pasca Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. Di dalam perundingan itu perdamaian ternyata bukanlah hal yang mudah untuk segera diwujudkan karena terdapat banyak perbedaan antara Indonesia – Belanda dalam menyoroti beberapa substansi yang ada. Perbedaan tidak hanya menyangkut tentang prioritas substansi yang akan dibahas, tetapi juga menyangkut tentang substansi itu sendiri. Proses Perundingan Renville diwarnai dengan perbedaan argumen dan tuntutan dari Indonesia dan Belanda yang pada dasarnya menghendaki agar perdamaian diwujudkan sesuai dengan pendirian masing-masing pihak. Akibatnya adalah sulit bagi kedua belah pihak untuk membuat kesepakatan yang secara efektif bisa digunakan untuk mengakhiri konflik selama ini.

  Hipotesis I :

  Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan, maka akan terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam Perundingan Renville.

  Agresi Militer Belanda I pada tanggal 20 Juli 1947 merupakan suatu bentuk pelanggaran Belanda terhadap pasal 1 Perjanjian Linggajati. Agresi tersebut melanggar pernyataan Belanda sendiri yang telah mengakui kedaulatan Indonesia atas Pulau Jawa, Sumatera, dan Madura karena dengan agresinya tersebut Belanda telah melakukan pendudukan secara sepihak di beberapa wilayah Indonesia tersebut, antara lain di Jakarta, Karawang, Cirebon, dan

12 Malang. Resolusi DK PBB tanggal 1 Agustus 1947 yang berisi tentang perintah

  untuk melaksanakan gencatan senjata antara Indonesia – Belanda untuk sementara memang telah berhasil meredakan ketegangan, namun perintah tersebut ternyata tidak sepenuhnya dipatuhi Belanda. Dengan alasan pemeliharaan keamanan Belanda sering memperluas daerah pendudukannya ke dalam wilayah Indonesia meskipun hal tersebut jelas bertentangan dengan resolusi DK PBB tersebut. Setelah konflik antara Indonesia – Belanda tersebut dibahas di dalam suatu perundingan, Belanda menuntut agar sebelum perundingan berjalan lebih lanjut harus ditentukan dahulu batas wilayah masing- masing negara agar diketahui secara pasti posisi masing-masing negara. Secara sepihak Belanda menuntut bahwa garis terdepan kedudukan tentara Belanda sebelum tanggal 4 Agustus 1947 dijadikan batas wilayah antara Indonesia –

  13 Belanda. Garis ini dikenal dengan nama garis Van Mook. Indonesia tentu saja

  keberatan dengan tuntutan Belanda tersebut karena Indonesia menganggap bahwa batas wilayah setidaknya harus mengacu pada resolusi DK PBB pada tanggal 1 Agustus 1947, bukan seperti yang dituntut Belanda pada tanggal 29 Agustus 1947 karena garis tersebut didapatkan Belanda dengan cara melakukan pendudukan terhadap wilayah Indonesia secara ilegal. Bagi Indonesia hal tersebut tidak hanya sekedar batas wilayah saja, tetapi juga menyangkut masalah kedaulatan negara. Di antara Indonesia – Belanda terdapat perbedaan yang cukup tajam dalam mengajukan argumentasi untuk mengklaim wilayah kedaulatan masing-masing pihak pasca terjadinya Agresi Militer Belanda I, sehingga terjadi persengketaan yang cukup serius di dalam perundingan.

  Hipotesis II :

  Jika di antara Indonesia – Belanda terdapat banyak perbedaan pandangan dalam menentukan batas-batas daerah pendudukan dan perbedaan itu sulit untuk dijembatani, maka hubungan antara Indonesia – Belanda selama perundingan akan memanas.

  Selain masalah wilayah kedaulatan, ada juga masalah lain yang muncul di tengah perundingan. Masalah itu adalah menyangkut tentang status hubungan masing-masing negara. Ketika ada suatu wacana tentang pembentukan pemerintahan sementara dan negara serikat, Belanda terus-menerus memojokkan Indonesia dengan usul-usulnya yang sangat keras. Belanda menuntut agar konflik diselesaikan dengan cara membentuk terlebih dahulu suatu Pemerintah Federal Sementara yang bertugas untuk menjalankan pemerintahan bersama antara Indonesia – Belanda untuk sementara selama masa peralihan menuju

  14

  pembentukan Negara Indonesia Serikat. Tuntutan Belanda yang lain adalah agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan sementara itu dengan segala konsekuensinya, yaitu kedaulatan dipegang oleh Belanda, sehingga Indonesia harus menyerahkan sebagian hak-haknya sebagai negara bagian kepada Belanda. Belanda juga menuntut agar hak-hak atas penyelenggaraan hubungan luar negeri dan penyelenggaraan angkatan perang

15 Indonesia diambil alih olehnya. Tentu saja Indonesia keberatan atas rencana

  tersebut karena hal tersebut tidak sesuai dengan prinsip kedaulatan Indonesia sebagai negara yang merdeka. Indonesia tidak mau menjadi negara bagian karena hal itu jelas merupakan suatu pengurangan terhadap kedaulatannya. Perbedaan pandangan inilah yang menyebabkan perundingan memasuki tahap yang sulit.

  Belanda menginginkan agar Indonesia menjadi negara bagian di dalam pemerintahan sementara yang dipimpin oleh Belanda, sedangkan Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Terlebih lagi adanya sikap Letnan Gubernur Jenderal Van Mook yang tetap tidak mau berkompromi lagi tentang tuntutan tersebut mengakibatkan situasi perundingan menjadi

  16 tegang. Hal tersebut tentu saja juga berpengaruh pada hubungan kedua negara.

  Hipotesis III :

  Jika terjadi perbedaan penafsiran di antara Indonesia – Belanda dalam melaksanakan hasil-hasil Perjanjian Renville, maka hubungan bilateral antara Indonesia – Belanda tidak akan membaik.

  Meskipun secara teknis Perjanjian Renville sudah ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, namun bukan berarti hasil-hasil dari perjanjian tersebut bisa dengan mudah untuk dilaksanakan. Secara garis besar pasal-pasal di dalam Perjanjian Renville dapat dikatakan hanyalah sebagai pokok-pokok persetujuan saja yang cara-cara untuk mewujudkannya belum dirumuskan secara rinci. Dari sekian pasal yang ada di dalam Perjanjian Renville, pasal yang paling krusial dan sensitif bagi Indonesia adalah tetap menyangkut tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara. Bagi Indonesia tidak mudah untuk melaksanakannya karena masih ada perbedaan pandangan dengan Belanda. Pada intinya Indonesia setuju tentang pembentukan Pemerintah Federal Sementara itu, namun Indonesia tidak sependapat dengan Belanda dalam hal cara-cara teknis pembentukannya karena usulan Belanda tentang pemerintahan sementara tersebut terkesan memandang rendah kedaulatan Indonesia. Belanda menuntut agar Indonesia masuk sebagai negara bagian dalam pemerintahan tersebut, sedangkan

  17 Indonesia tetap menginginkan kedudukan yang sejajar dengan Belanda. Dengan

  adanya perbedaan yang cukup besar tersebut maka situasi pasca penandatanganan Perjanjian Renville terlihat mengambang dan tanpa kepastian karena adanya perbedaan penafsiran dalam memahami hasil perjanjian antara Indonesia – Belanda. Dengan demikian hubungan keduanya tidak semakin membaik, tapi justru akan semakin renggang karena tidak adanya persamaan pandangan dalam melaksanakan hasil-hasil Perundingan Renville.

I. Metodologi Penelitian

  Selama melakukan penelitian ini penulis telah melalui berbagai tahapan untuk menghasilkan penelitian yang akurat, komperehensif, dan berimbang dengan cara :

  1. Heuristik Penulis mencari dan mengumpulkan sumber-sumber yang berhubungan dengan topik Perundingan Renville yang sebagian besar berupa buku di perpustakaan Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

  2. Kritik Sumber Secara khusus penulis mengutamakan segi kritik internnya. Pada tahap ini penulis mulai membandingkan satu sumber dengan sumber lainnya apakah terdapat suatu kesesuaian mengenai datanya, sehingga dapat dipastikan kevalidannya.

  3. Analisis Setelah mendapatkan sumber-sumber yang cukup lengkap dan valid, maka penulis mulai melakukan interpretasi atas data tersebut dengan tetap mengacu pada topik yang sedang diteliti. Interpretasi akan selalu berpedoman pada pokok permasalahan, sehingga nantinya semua permasalahan akan dapat terjawab secara runtut dan jelas.