MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA

  

MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM

BUDDHISME MAITREYA

  Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

  Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi Program Studi Psikologi

  

Oleh :

Anthon Jason

NIM : 019114167

  

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

2008

  

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

  Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma : Nama : Anthon Jason Nomor Mahasiswa : 019114167

  Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul : MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, me- ngalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

  Demikian pernyataan ini yang saya buat dengan sebenarnya. Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal : 20 Januari 2008 Yang menyatakan (Anthon Jason)

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

  Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya sebuah karya ilmiah.

  Yogyakarta,

  11 Februari 2008 Penulis

  Anthon Jason

  

ABSTRAK

  Tren perkembangan psikologi saat ini telah meluas ke arah psikologi pertumbuhan, yakni tidak lagi sekadar berurusan dengan penyakit mental pada manusia, namun juga membicarakan taraf pencapaian potensi psikologis terbaik yang bisa diraih manusia. Untuk mencapai hal ini dibutuhkan sebuah model kepribadian sehat untuk dijadikan sebagai acuan dan contoh dalam pengembangan potensi psikologis seorang manusia. Lebih jauh lagi, pemahaman sebuah model kepribadian sehat sangat erat kaitannya dengan pemahaman tokoh yang melahirkan model tersebut serta budaya setempat dimana model itu dikembangkan.

  Bertolak dari pemikiran ini maka penelitian ini bertujuan untuk memahami dan mendeskripsikan model kepribadian sehat menurut Buddhisme Maitreya dengan menggunakan kerangka konseptual perbandingan sifat-sifat kepribadian sehat Schultz. Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan deskriptif-kualitatif dan penganalisisan data penelitian menggunakan analisis isi. Hasil analisis berupa pembahasan disusun dalam bentuk teks naratif dengan sewaktu-waktu berpaling pada data untuk mengonfirmasi kesimpulan yang diambil.

  Dari hasil penelitian dapat disusun sebuah pandangan khas Buddhisme Maitreya mengenai kepribadian sehat. Dari hasil penelitian juga dapat dilihat beberapa kesamaan dan perbedaan gagasan dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya dengan konsep para ahli psikologi pertumbuhan mengenai kepribadian sehat. Saran untuk penelitian selanjutnya adalah sebaiknya menggunakan konsep teoretis yang lebih spesifik dan mendalam terhadap kelompok budaya lain yang ingin diteliti.

  Kata kunci: model kepribadian sehat, Buddhisme Maitreya, penelitian deskriptif– kualitatif, analisis isi

  

ABSTRACT

  The development trend of psychology recently has extended up at growth psychology that is not only dealing with mental illness of human but also discuss the level attainment of best psychological potency, which human being can reach. To reach this matter, it is required a healthy personality model to be made as reference and example in the development of psychological potency for human. Moreover, the understanding of healthy personality model is very close associated with the understanding of the figure bear the model and local culture where that model is developed.

  Starting from this idea this research aim is to comprehend and describe healthy personality model according to Maitreya Buddhism by using conceptual framework of Schultz’s comparison attribute of healthy personality. This research conducted by using qualitative-descriptive approach and the analysis of research data use content analysis. The result of analysis in the form of discussion constructed in narrative text form with at any times look away to data to confirm the taken conclusion.

  From the result of the research it can be compiled a typical view of Maitreya Buddhism regarding healthy personality. It is also could be seen some similarities and differences of idea between teaching concept of Maitreya Buddhism and concept of growth psychology experts concerning healthy personality. Suggestion for research hereinafter is better to use the specific and exhaustive theoretical concept to other cultural group that wish to be researched.

  Keyword: healthy personality model, Maitreya Buddhism, qualitative–descriptive research, content analysis

KATA PENGANTAR

  Dengan segenap rasa syukur dan sukacita penulis menghaturkan terima kasih kepada Tuhan, Bunda semesta alam, karena dalam kasih-Nya yang tidak pernah putus mengalir telah memberkati penulis untuk menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Juga kepada seluruh Buddha-Bodhisatva dan segenap makhluk yang mendukung penulis dengan menjadi sumber inspirasi, kearifan dan kebijaksanaan yang sangat berharga.

  Skripsi ini merupakan karya tulis ilmiah yang disusun sebagai tugas akhir penelitian dalam rangka pelatihan dan pendidikan di bidang karya ilmiah universitas Sanata Dharma. Skripsi ini juga merupakan salah satu syarat untuk meyelesaikan program S1 psikologi dan mendapatkan gelar sarjana psikologi.

  Terselesaikannya skripsi ini merupakan hasil dari sebuah proses yang melibatkan banyak pihak. Oleh karena itu melalui kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada segenap pihak yang telah membantu. Pihak-pihak tersebut adalah:

  • Pak Pratik sebagai dosen pembimbing atas segala jerih payahnya dalam membaca dan memberikan masukan dan saran yang sangat berharga bagi penulis.
  • Segenap dosen dan karyawan Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma, orang-orang yang membuat penulis tumbuh dan berkembang.
  • Papa, mama, kakak dan adik atas segala dukungan kasih, semangat, pengertian, dan kebaikan yang berlimpah kepada penulis.
  • Pandita Halim Zen Bodhi dan Pandita Lusia Anggraini yang telah membuka pikiran penulis untuk bisa menulis dan menyelesaikan skripsi ini.
  • Tc. Chai yen atas segalanya.
  • Seluruh keluarga besar Vihara Bohicitta Maitreya dan Vihara Sukhavati Maitreya atas momen-momen yang indah dan berarti dalam kehidupan penulis.

  • Serta seluruh pihak lain yang telah membantu penulis dalam proses penulisan skripsi ini. Meskipun tidak disebutkan disini, namun itu tidak bermaksud mengurangi rasa syukur dan terima kasih penulis kepada semuanya.

  Pada akhirnya penulis terbuka terhadap segala kritik, saran dan masukan terhadap skripsi ini, demi kemajuan pengembangan ilmu pengetahuan. Setiap kekurangan dan kesalahan yang ada pada skripsi ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab penulis.

  Yogyakarta, 22 Januari 2008 Penulis

  

DAFTAR ISI

  Halaman HALAMAN JUDUL.............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING..................................................... ii HALAMAN PENGESAHAN................................................................................ iii HALAMAN PERSEMBAHAN............................................................................. iv LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS.......... v PERNYATAAN KEASLIAN KARYA................................................................. vi ABSTRAK............................................................................................................. vii ABSTRACT........................................................................................................... viii KATA PENGANTAR........................................................................................... ix DAFTAR ISI.......................................................................................................... xi DAFTAR TABEL.................................................................................................. xv DAFTAR GAMBAR............................................................................................. xvi

  BAB I. PENDAHULUAN....................................................................................... 1 A. Latar belakang.............................................................................................. 1 B. Perumusan Masalah..................................................................................... 5 C. Tujuan penelitian......................................................................................... 5 D. Manfaat penelitian........................................................................................ 5 BAB II. KEPRIBADIAN SEHAT........................................................................... 6 A. Tinjauan umum............................................................................................

  6 B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan............................................. 7

  1. Model Allport (Orang Yang Matang)..................................................... 7

  2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)............................. 13

  4. Model Maslow (Orang Yang Mengaktualisasikan Diri)....................... 23

  5. Model Jung (Orang Yang Terindividuasi)............................................. 26

  6. Model Frankl ( Orang Yang Mengatasi Diri)........................................ 30

  7. Model Perls (Orang “Disini Dan Kini”)................................................. 33

  C. Kesimpulan................................................................................................. 35

  BAB III. BUDDHISME MAITREYA................................................................... 40 A. Sejarah Singkat Buddhisme Maitreya........................................................ 40 B. Keimanan Terhadap Buddha Maitreya....................................................... 41

  1. Sabda-sabda Buddha Sakyamuni Tentang Buddha Maitreya Serta Perkembangan Keimanan Terhadap Buddha Maitreya di Dunia..........

  41 2. Siapakah Buddha Maitreya ?.................................................................

  43 a. Ciri Khas Wujud Suci Buddha Maitreya...........................................

  44

  b. Jejak Kasih Buddha Maitreya (berbagai inkarnasi Buddha Maitreya)..............................................

  45 3. Makna Iman Maitreya Dalam Buddhisme Maitreya..............................

  50 C. Perkembangan Buddhisme Maitreya .......................................................... 50

  1. Perkembangan di Dunia Internasional.................................................... 50

  2. Perkembangan di Indonesia, MAPANBUMI (Majelis Pandita Buddha Maitreya Indonesia)........................................

  52 BAB IV. METODOLOGI PENELITIAN.............................................................. 54

  A. Jenis Penelitian ......................................................................................... 54

  B. Metode Penelitian...................................................................................... 54

  C. Identifikasi Variabel dan Batasan Istilah................................................... 56

  D. Sumber Data.............................................................................................. 58

  E. Alur penelitian, Penyajian Data dan Pembahasan..................................... 59

  BAB V. MODEL KEPRIBADIAN SEHAT DALAM BUDDHISME MAITREYA (ORANG YANG MENGAKTUALISASIKAN NURANI)...................

  82 4. Tekanan Pada Peningkatan Atau Reduksi Tegangan.............................

  B. Saran......................................................................................................... 92

  A. Kesimpulan................................................................................................ 91

  88 BAB VI KESIMPULAN, SARAN SERTA REFLEKSI...................................... 91

  6. Peranan Pekerjaan, Tugas – Tugas dan Tujuan Bagi Kepribadian Sehat................................................................................. 87 7. Hubungan Serta Tanggung Jawab Terhadap Orang Lain.....................

  86

  84 5. Sifat Persepsi..........................................................................................

  3. Tekanan Pada Masa Lampau, Masa Sekarang, Serta Masa yang Akan Datang...................................................................................................

  61 A. Konsep Ajaran Buddhisme Maitreya Dalam Perspektif Kepribadian Sehat..........................................................................................................

  81

  79 2. Fokus Pada Kesadaran atau Ketidaksadaran...........................................

  B. Aspek – aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya (Hasil Analisis Kerangka Konseptual Penelitian Pada Data)..................... 78 1. Dorongan Pada Kepribadian Sehat..........................................................

  2. Signifikansi Hati Nurani (Kodrat Eksistensi Kepribadian Sehat)............ 70

  66

  1. Pandangan Buddhisme Maitreya Tentang Hakikat Manusia ( Diri dari Kepribadian Sehat) .......................................................... 61 HATI NURANI DAN DINAMIKANYA DALAM PERSPEKTIF PSIKOLOGI...........................................................................................

  61

  C. Refleksi...................................................................................................... 93 SENARAI ............................................................................................................. 94

  LAMPIRAN-LAMPIRAN.................................................................................... 98

  

DAFTAR TABEL

  Halaman Tabel 1. Perbandingan sifat-sifat model kepribadian sehat menurut Schlutz............ 35 Tabel 2. Aspek-aspek kepribadian sehat.................................................................... 57 Tabel 3. Pembagian Siginifikansi Hati Nurani dalam Lokus Aktualisasi Serta Bentuk Aktualisasinya.................................................................................

  78 Tabel 4. Ringkasan Aspek-aspek Kepribadian Sehat Buddhisme Maitreya (Orang Yang Mengaktualisasikan Nurani)................................................... 90

  

DAFTAR GAMBAR

  Halaman Gambar 1. Buddha Maitreya.......................................................................................... 44 Gambar 2. Komponen-komponen analisis data............................................................. 55 Gambar 3. Dinamika Kepribadian Sehat Dalam Konsep Ajaran Buddhisme Maitreya........................................................................................................ 64

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kesehatan adalah hal yang didambakan oleh setiap manusia, baik secara sadar

  maupun tidak. Sementara orang tidak menyadari pentingnya kesehatan, sampai ketika ia jatuh sakit. Tanpa kesehatan, banyak hal menjadi tidak berarti dan sulit dilakukan.

  Sebaliknya dengan kesehatan yang baik, maka lebih banyak hal yang bisa dikerjakan dibanding ketika sakit.

  Pada masa lampau, para ilmuwan mendefinisikan kesehatan secara sederhana yaitu “tidak adanya gangguan kesehatan atau penyakit”. Akan tetapi, ketika WHO (World Health Organization) didirikan pada tahun 1948, kesehatan didefinisikan sebagai A complete state of physical, mental and social well-being and not merely

  the absence of disease or infirmity .

  Berdasarkan definisi di atas, kita menyadari bahwa individu bisa sehat dalam salah satu aspek kehidupannya (misalnya tekanan darah normal), tapi tidak sehat dalam aspek yang lain (misalnya menderita depresi). Dalam Notosoedirjo dan Latipun (2005), dijelaskan bahwa :

  “Sehat mengandung pengertian keadaan yang sempurna secara biopsikososial, lebih dari sekadar terbebas dari penyakit atau kecacatan. Sakit juga mengandung makna biopsikososial, yang meliputi konsep disease (berdimensi biologis), illness (berdimensi psikologis) dan sickness (berdimensi sosiologis). Faktor subjektif dan kultural juga turut menentukan konsep sehat dan sakit.” (hal. 11) Untuk mengetahui kesehatan fisik seorang individu tidaklah terlampau sulit, setidaknya pada saat sekarang. Hal ini bisa dilakukan dengan mengukur dan menilai tekanan darah, kadar kolesterol, fungsi organ tubuh, dan lain sebagainya. Sebaliknya untuk mengetahui kesehatan individu dari segi mental (psikologis) dan sosial lebih sulit dan menantang. Pikiran, persepsi-persepsi internal, motif-motif pribadi, semuanya bersifat subjektif dan lebih sulit untuk dikuantifikasi.

  Sebenarnya, pengertian kesehatan mental sangat banyak, pandangan dari tiap ahli saling melengkapi satu sama lain. Namun demikian, merumuskan pengertian kesehatan mental secara komprehensif bukan suatu hal yang mudah dilakukan. Untuk membantu memahami makna kesehatan mental, terdapat prinsip-prinsip yang dapat dijadikan sebagai pegangan bagi kita (Altrocchi, 1980; Lehtinen, 1989 dalam Notosoedirjo dan Latipun, 2005: 26-27). Prinsip-prinsip kesehatan mental adalah sebagai berikut:

  1. Kesehatan mental adalah lebih dari tiadanya perilaku abnormal. Prinsip ini menegaskan bahwa orang yang dikatakan sehat mentalnya tidak cukup kalau dikatakan sebagai orang yang tidak mengalami abnormalitas atau orang yang normal. Karena pendekatan statistik memberikan kelemahan pemahaman normalitas itu. Konsep kesehatan mental lebih bermakna positif ketimbang makna keadaan umum atau normalitas sebagaimana konsep statitistik.

  2. Kesehatan mental adalah konsep yang ideal. Prinsip ini menegaskan bahwa kesehatan mental menjadi tujuan yang amat tinggi bagi seseorang. Apalagi disadari bahwa kesehatan mental itu bersifat kontinum. Jadi sedapat mungkin orang mendapatkan kondisi sehat yang paling optimal, dan berusaha terus untuk mencapai kondisi sehat yang setinggi-setingginya.

  3. Kesehatan mental sebagai bagian dan karakteristik kualitas hidup. Prinsip ini menegaskan bahwa kualitas hidup seseorang salah satunya ditunjukkan oleh kesehatan mentalnya.

  Secara khusus, penulis tertarik pada kondisi-kondisi puncak di mana kesehatan mental seorang manusia mencapai titik optimum. Hal ini berdasarkan asumsi bahwa lebih lanjut dijelaskan bahwa kalangan ahli kesehatan mental telah membuat kriteria- kriteria atau kondisi optimum seseorang dapat dikatakan berada dalam kondisi sehat.

  Meskipun istilah yang digunakan untuk menyebut kondisi optimum itu berbeda-beda, serta kriteria yang dibuat pun tidak sama secara tekstual, namun memiliki maksud yang sama. Misalnya, Maslow menyebut kondisi optimum itu dengan self-

  

actualization , Rogers menyebutnya fully functioning, Allport memberi nama mature

personality , dan sebagainya.

  Penelitian ini memilih menggunakan istilah healthy personality (kepribadian sehat). Istilah healthy personality (kepribadian sehat) dipinjam dari Duane Schultz (1993). Kepribadian sehat yang dimaksud lebih dari sekadar terbebas dari gangguan mental, namun bagaimana seorang manusia memaknai hidupnya secara penuh, merasakan kepenuhan hidup, dan menjadi seorang yang mampu mengaktualisasikan dirinya.

  Salah satu kunci untuk memahami kesehatan mental adalah dengan mendefinisikannya dalam konteks kultural, yaitu lahir dari cara pandang sekelompok orang terhadap sebuah fenomena. Dalam hal ini penulis tertarik untuk mengeksplorasi kesehatan mental yang optimal menurut pandangan Buddhisme Maitreya, yaitu model kepribadian sehat dalam konteks konsep ajaran Buddhisme Maitreya.

  Keimanan utama dalam Buddhisme Maitreya adalah pengagungan terhadap Buddha Maitreya. Maitreya atau Maitri berasal dari bahasa Sansekerta, yang berarti

  

Cinta kasih. Dikatakan bahwa selama berkali-kali kehidupan, Buddha Maitreya telah

membina diri secara intensif dengan berfokus pada pengamalan cinta kasih semesta.

  Ikrar agung Buddha Maitreya adalah merombak dunia yang penuh kekacauan menjadi dunia damai sentosa, dunia yang kotor menjadi Bumi Suci, dunia yang penuh kegelapan dan penuh dosa menjadi kerajaan Tuhan, samudra duka menjadi Sukhavati langit, bumi, umat manusia, serta laksa benda dan kehidupan. Doktrin inilah yang melatarbelakangi kelahiran Maha Tao Maitreya/Buddhisme Maitreya (Wang Che Kuang, 2002). Buddha Maitreya mengajarkan bahwa hanya dengan mengembangkan keindahan kodrati yang kita miliki sebagai manusia kita dapat mendatangkan keterbebasan dan kebahagiaan pada diri sendiri, kesejahteraan dan kebahagiaan bagi keluarga, kerukunan dan kedamaian bagi masyarakat, kemakmuran, stabilitas, dan kesentosaan bagi negara, terang dan kedamaian bagi dunia.

  Lebih lanjut M. S Yen dan M. S Wang (Majalah Maitreyawira, “Visi Tunggal...”, 2004), pemimpin tertinggi Buddhisme Maitreya, mengatakan bahwa “Visi perjuangan umat Maitreya sedunia adalah satu dan sama, yaitu mewujudkan nurani sadar cemerlang dan mewujudkan Bumi Suci Maitreya” (hal. 20). Visi inilah yang menjadi titik akhir dalam perjalanan pembinaan diri bagi umat Maitreya sedunia. Nurani yang sadar cemerlang adalah perwujudan dari keindahan kodrati manusia (baca: kepribadian sehat). Perjuangan mewujudkan keindahan kodrati manusia adalah perjuangan mencemerlangkan nurani, perjuangan selanjutnya yaitu mencemerlangkan nurani orang lain, demikianlah Bumi Suci Maitreya bisa terwujud. Seperti yang dijelaskan oleh M. S Wang (2003), bahwa “hanya dengan mewujudkan keindahan kodrati manusia, maka terciptalah hidup yang bahagia-leluasa dan penuh makna, keluarga yang harmonis sejahtera, masyarakat yang rukun-damai, bangsa yang makmur sentosa dan dunia yang damai bahagia.” (hal. 12).

  Berdasarkan uraian diatas, maka melalui penelitian ini ingin diketahui bagaimana model kepribadian sehat menurut konsep ajaran Buddhisme Maitreya.

  Konsep ajaran yang ingin ditemukan dalam Buddhisme Maitreya yaitu yang merepresentasikan model kepribadian sehatnya, berupa karakteristik dari potensi psikologis manusia yang terbaik yang mampu dicapai.

  B. Perumusan Masalah

  Bagaimana model kepribadian sehat dalam konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz?

  C. Tujuan Penelitian

  Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan konsep ajaran Buddhisme Maitreya tentang kepribadian sehat menurut kerangka konseptual sifat kepribadian sehat dari Schultz.

  D. Manfaat Penelitian

  1. Teoretis Berfungsi sebagai pembanding ataupun sebagai pelengkap terhadap teori-teori psikologi pertumbuhan yang sudah ada. Hasil penelitian ini diharapkan bisa memperkaya teori kepribadian dengan menemukan teori- teori yang lebih grounded, yang dikembangkan oleh masing-masing kebudayaan atau kelompok tertentu.

  2. Praktis Untuk meningkatkan pemahaman terhadap Buddhisme Maitreya dari perspektif psikologis. Hal ini berguna khususnya bagi umat Buddhisme

  Maitreya sendiri. Bagi orang-orang di luar Buddhisme Maitreya penelitian ini juga berguna untuk meningkatkan pemahaman terhadap Buddhisme Maitreya, sehingga sikap toleransi antar umat beragama dapat dibangun dari pandangan yang benar dan seimbang terhadap konsep ajaran agama lain.

BAB II KEPRIBADIAN SEHAT A. Tinjauan umum Pada bagian teoretis mengenai kepribadian sehat ini, penulis ingin

  memperjelas konsep mengenai kepribadian sehat yang diacu oleh penulis. Disini penulis mengacu pada konsep yang digunakan oleh Duane Schultz (1993) yang menggunakan istilah healthy personality/kepribadian sehat untuk menggambarkan tingkat kesehatan psikologis yang paling sempurna. Jadi kepribadian sehat yang dimaksud adalah optimalisasi dari kesehatan mental.

  Studi tentang healthy personality (kepribadian sehat) tampak diabaikan pada masa awal perkembangan ilmu psikologi tradisional, yaitu psikoanalisis dan behaviorisme. Baik psikoanalisis maupun behaviorisme tidak berbicara mengenai potensi kita untuk bertumbuh, namun yang menjadi perhatian adalah memeriksa sakit jiwa bukan kesehatan jiwa yang optimal. Akan tetapi dalam beberapa dekade belakangan ini, studi-studi dan ahli psikologi yang mempelajari potensi manusia untuk bertumbuh dan berkembang telah meningkat.

  Ahli-ahli psikologi pertumbuhan ini (kebanyakan dari mereka lebih senang disebut sebagai ahli psikologi humanistik) memiliki suatu pandangan yang segar terhadap kodrat manusia. Apa yang mereka lihat terhadap manusia berbeda dari apa yang digambarkan oleh behaviorisme dan psikoanalisis. Seperti yang dikatakan oleh Eddington dan Shuman (2005):

  Whereas behaviorists see individuals as passive responders to external stimuli and psychoanalysts see people as victims of biological forces and childhood conflicts, the humanistic psychologists believe we can strive to become all we are capable of becoming and in the process transform from normality to healthy personality . (hal. 2)

  Selanjutnya Eddington dan Shuman (2005) juga menyatakan bahwa “Healthy

personality has proven to be a difficult and elusive concept to define ” (hal. 2).

  Pernyataan ini menunjukkan bahwa hanya terdapat sedikit persesuaian pendapat di kalangan ahli-ahli psikologi yang mempelajari bidang ini. Hal yang dapat dicapai pada tingkat pengetahuan kita adalah meneliti konsepsi-konsepsi tentang kesehatan psikologis yang positif itu, kemudian melihat apa yang dikatakan oleh konsepsi- konsepsi itu tentang diri kita (Schultz, 1993).

B. Pandangan Para Ahli Psikologi Pertumbuhan

  Para ahli psikologi pertumbuhan di dunia Barat telah membahas orang-orang dengan kesehatan mental yang optimal. Dalam bukunya, Schultz (1993) memaparkan tujuh model kepribadian sehat menurut tujuh orang ahli psikologi, yang disebutnya para ahli psikologi pertumbuhan atau psikologi humanistik. Model-model kepribadian sehat itu antara lain dikemukakan oleh: Gordon Allport, Carl Rogers, Erich Fromm, Abraham Maslow, Carl Jung, Viktor Frankl, dan Fritz Perls.

  Selanjutnya penulis akan membicarakan model-model kepribadian sehat ini. Teori-teori mereka ini dipilih karena mereka tergolong ke dalam mainstream psikologi pertumbuhan. Teori-teori mereka tergolong diantara pendirian-pendirian yang diakui dan dikembangkan secara lebih lengkap dan pengaruhnya terhadap perkembangan ilmu psikologi pada saat ini cukup besar.

1. Model Allport (Orang Yang Matang)

  Allport mengembangkan teorinya berdasarkan data yang diperoleh dari studi tentang orang-orang dewasa yang sehat dan matang. Allport percaya bahwa orang- orang yang matang dan sehat diarahkan ke masa kini dan ke masa depan. Dalam kekuatan untuk mengontrol kehidupan mereka, dalam tingkat yang rasional dan sadar ke arah masa depan. Sebaliknya orang-orang yang neurotik terikat oleh masa kanak- kanak dan pengalaman-pengalaman traumatik mereka. Alih-alih membuat sebuah garis kontinum antara orang yang neurotik dan sehat, Allport malah melihat sebuah jurang atau dikotomi antara orang yang neurotik dan sehat. Hal ini karena Allport melihat tidak ada kesamaan fungsional antar orang yang neurotik dan orang yang sehat, mereka berbeda dalam jenisnya, bukan dalam tingkatnya (Schultz, 1993: 20).

  Allport menekankan pentingnya menerangkan motivasi bagi ahli-ahli yang ingin mempelajari kepribadian, karena motif-motif orang dewasa adalah otonom secara fungsional (functionally outonomous) terhadap masa kanak-kanak (Schultz, 1993: 20). Orang yang matang (baca: sehat) akan membuat rencana-rencana yang sesuai dengan cita-cita, aspirasi dan harapan-harapan mereka. Meskipun tidak terikat oleh masa lalu, tapi pandangan mereka terhadap dunia adalah objektif, dan sesuai realitas. Hal ini berarti mereka tetap belajar dari masa lampau, namun tidak berfokus pada masa lampau, dan tidak terikat oleh pengalaman-pengalaman traumatik di masa lampau.

  Yang terpenting bagi kepribadian yang sehat adalah bagaimana mencari suatu arah ke masa depan, dimana mereka dapat menuangkan aspirasi-aspirasi, harapan- harapan, dan cita-cita mereka ke dalamnya. Perjuangan untuk mewujudkan semua itu mendorong orang yang matang untuk semakin bertumbuh dan berkembang (bukan sekedar reduksi tegangan). Allport (1955, dalam Eddington dan Shuman, 2005), menjelaskan: The possession of long-range goals, regarded as central to one s

  

personal existence, distinguishes the human from the animal, the adult from the child,

and in many cases the healthy personality from the sick. (hal. 2). Lebih lanjut

  Allport menyatakan dengan jelas: “Keselamatan hanya berlaku bagi dia yang tidak henti-hentinya menyibukkan diri dalam mengejar tujuan-tujuan yang pada akhirnya tidak tercapai sepenuhnya” (dalam Schultz 1993: 24).

  Memang tujuan-tujuan yang dicita-citakan oleh orang yang sehat pada dasarnya tidak dapat dicapai (Schultz, 1993: 23). Hal ini tampak menjadi suatu paradoks bagi orang dengan kepribadian sehat, tetapi begitulah kenyataannya. Tujuan akhir bagi orang yang matang ini pada dasarnya memang tidak pernah dapat dicapai.

  Yang dapat dicapai adalah subtujuan-subtujuan dari tujuan yang sebenarnya.

  Karena manusia yang sehat memiliki kebutuhan terus-menerus akan variasi, akan sensasi-sensasi dan tantangan baru (lihat Schultz, 1993: 22), maka dapat dibayangkan kalau tujuan-tujuan terakhir sudah tercapai, sama halnya dengan perahu layar yang tidak memiliki angin lagi untuk berlayar, tenaga pendorongnya telah hilang. Oleh karena itu Allport mengemukakan prinsip untuk menjelaskan kebutuhan dalam menemukan motif-motif baru apabila ternyata motif-motif yang ada ternyata tidak cukup atau tidak cocok lagi. Dia menyebutnya principle of organizing the

  

energy level . Orang yang matang dan sehat terus-menerus membutuhkan motif-motif

  kekuatan dan daya hidup yang cukup untuk menghabiskan energinya (Schultz, 1993: 24). Prinsip ini juga dipakai Allport untuk menjelaskan kenakalan dan kriminalitas yang dilakukan oleh anak remaja. Menurut Allport mereka tidak mempunyai jalan untuk menyalurkan energinya secara konstruktif, sehingga energi keluar melalui jalan destruktif.

  Allport (dalam Schultz, 1993: 25) juga memasukkan “prinsip penguasaan dan kemampuan” (principle of mastery and competence). Menurut prinsip ini, orang- orang yang matang dan sehat didorong untuk melakukan yang tertinggi dan terbaik dalam usaha mereka mewujudkan tujuan akhir yang mereka impikan. Tujuh kriteria kematangan berikut ini merupakan pandangan-pandangan Allport tentang sifat-sifat khusus dari kepribadian sehat (Schultz, 1993: 30-36):

  1. Perluasan perasaan diri Disini Allport mengemukakan pentingnya seorang individu yang ingin menjadi matang dan sehat untuk mengembangkan perhatian di luar dirinya. Disini

  Allport sedikit menyamakan ‘perhatian’ dengan ‘diri’. Dengan meluaskan perhatian yang awalnya hanya berpusat pada individu, maka dirinya pun ikut meluas dan berkembang. Perluasan perasaan diri meliputi tidak hanya benda-benda dan orang- orang disekitar individu, namun juga meliputi nilai-nilai, cita-cita, dan terutama yang ditekankan oleh Allport adalah aktivitas.

  Orang harus menjadi partisipan yang langsung dan penuh. Allport menamakan hal ini “partisipasi otentik yang dilakukan oleh orang dalam beberapa suasana yang penting dari usaha manusia” (dalam Schultz, 1993: 30). Penting bagi seorang individu yang sehat dan matang untuk melibatkan diri dalam aktivitas yang relevan dan penting bagi dirinya. Ketika aktivitas-aktivitas itu mendukung tercapainya tujuan- tujuan hidup, menciptakan perasaan yang berharga pada diri, maka saat mengerjakannya akan membuat individu menjadi sehat secara psikologis. Perasaan partisipasi otentik ini berlaku bagi aktivitas kita dengan orang-orang terdekat, spritualitas, serta nilai-nilai yang kita anut, sehingga ini dapat menjadi perluasan perasaan diri.

  2. Hubungan diri yang hangat dengan orang-orang lain Allport membedakan dua macam kehangatan dalam hubungan dengan orang- orang lain, kapasitas untuk keintiman dan kapasitas untuk perasaan terharu (dalam

  Schultz, 1993: 31). Suatu perasaan perluasan diri yang berkembang dengan baik terhadap orang-orang di sekitar kita akan memperlihatkan apa yang disebut Allport melibatkan dirinya secara penuh ke dalam orang-orang di sekitarnya, ini berarti orang-orang itu adalah orang-orang yang mendukung tujuan hidupnya, yang membuat hidupnya menjadi berharga. Maka bagi individu yang sehat dan matang memberi cinta untuk orang-orang di sekitarnya sama pentingnya dengan kesejahteraannya sendiri. Oleh karena itu cinta dari orang yang matang tidak bersyarat, tidak melumpuhkan dan tidak mengikat. Untuk dapat mencintai dengan sepenuh hati dan memperlihatkan kapasitas keintiman, maka seorang individu harus mempunyai perasaan identitas diri yang berkembang dengan baik.

  Jenis lain dari kehangatan hubungan diri dengan orang-orang lain adalah sejenis perasaan empati yang meluas yang disebut ‘perasaan terharu’. Schultz (1993: 31) menjelaskan bahwa perasaan terharu, tipe kehangatan yang kedua adalah suatu pemahaman tentang kondisi dasar manusia dan perasaan kekeluargaan dengan semua bangsa. Dengan memiliki kapasitas perasaan terharu ini, maka orang yang matang mampu memaklumi setiap tingkah laku orang-orang lain. Dia mampu menerima kesalahan-kesalahan orang lain dan memahami sifat universal dari pengalaman- pengalaman dasar manusia.

  3. Keamanan emosional Keamanan emosional yang merupakan sifat ketiga dari kepribadian sehat ini dtandai dengan penerimaan diri yang baik. Orang yang sehat dan matang akan mampu menerima kelemahan dan kekuatan yang ada pada diri mereka, namun tidak berarti membuat mereka menjadi menyerah terhadap keadaan diri mereka. Orang yang matang dan sehat juga mengenali dan mampu mengontrol emosi-emosi mereka, sekaligus menyalurkannya dengan cara yang konstruktif, bukan direpresikan atau disalurkan dengan cara yang destruktif.

  Dengan kemampuan untuk mengontrol emosi-emosi yang mereka rasakan, maka ketakutan hidup dan ancaman-ancaman terhadap ego mereka. Berarti mereka telah memiliki perasaan dasar akan keamanan, terutama keamanan emosional.

  4. Persepsi realistis Orang-orang yang sehat akan melihat dunia sebagaimana adanya, baik ataupun buruk dapat dibedakan dengan jelas. Mereka dapat mengontrol prasangka pribadi, perasaan-perasaan, serta kebutuhan-kebutuhan mereka supaya tidak mendistorsi realitas yang mereka hadapi. Dengan kata lain orang yang sehat melihat dunia secara objektif sedangkan orang sakit mencampurkan khayalan mereka ke dalam realitas.

  5. Ketrampilan-ketrampilan dan tugas-tugas Disini Allport menekankan pentingnya mempunyai pekerjaan-pekerjaan yang baik, yang memerlukan komitmen dan dedikasi yang tinggi. Hal ini akan membuat orang menjadi lebih sehat dan matang. Dengan melakukan pekerjaan atau aktivitas yang bernilai dan memerlukan komitmen dan dedikasi, akan memberikan perasaan kontinuitas dan perasaan positif untuk hidup.

  6. Pemahaman diri Orang-orang yang matang dan sehat akan menuju ke arah pemahaman diri yang baik. Hal ini terutama juga ditunjang oleh keterbukaannya pada pendapat orang lain dalam merumuskan gambaran dirinya yang objektif. Diri dapat dibedakan sebagai diri yang menurut keadaan sesungguhnya, diri menurut gambaran yang dimiliki oleh individu itu sendiri, dan diri menurut pendapat orang lain. Semakin dekat hubungan ketiga gagasan ini, maka individu akan semakin matang.

  Selain itu Allport mengemukakan bahwa individu yang memiliki wawasan diri lebih baik adalah lebih cerdas dan memiliki perasaan humor lebih baik (bukan humor yang menyangkut seks dan agresi) (Schultz, 1993).

  7. Filsafat hidup yang mempersatukan Sifat ketujuh yang digambarkan Allport tentang kepribadian sehat dan matang ini adalah tentang nilai-nilai yang dimiliki individu, serta pengaruhnya dalam memberi “arah” (directness) bagi individu tersebut. Nilai-nilai itu mungkin berupa tujuan-tujuan, cita-cita, aspirasi, harapan-harapan yang diperjuangkan oleh individu tersebut. Perjuangan itulah yang penting bagi orang yang sehat dan matang. Adanya arah dan tujuan ke masa depan akan menyatukan semua segi kehidupan, serta memberi suatu keberhargaan dan perasaan kontinuitas pada kehidupan. Suara hati ikut berperan dalam memilih nilai-nilai. Suatu filsafat hidup yang mempersatukan hanya akan tercipta oleh suara hati yang matang, yang bisa memilih nilai-nilai yang cukup kuat untuk menyatukan semua segi kehidupan. Schultz (1993: 36) menjelaskan bahwa suara hati yang matang adalah suatu perasaan kewajiban dan tanggung jawab kepada diri sendiri dan kepada orang-orang lain, yang berakar dalam nilai-nilai agama atau nilai-nilai etis.

2. Model Rogers (Orang Yang Berfungsi Sepenuhnya)

  Rogers, sama seperti Allport, menekankan pentingnya kesadaran bagi kepribadian yang sehat. Yang berbeda adalah bahwa dorongan yang kuat pada kepribadian yang sehat menurut Allport adalah tujuan ke masa depan, sedangkan menurut Rogers kecenderungan aktualisasi diri. Aktualisasi diri adalah proses menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat serta potensi-potensi psikologis yang unik (Schultz, 1993: 46).

  Rogers percaya bahwa masa kini dan bagaimana kita menjalaninya adalah jauh lebih penting daripada masa lampau. Meskipun fokus Rogers adalah pada masa kini, tetapi dia juga menyadari bahwa masa lampau dapat mempengaruhi cara kita tergantung pengalaman yang dialaminya. Menurut Rogers persepsi yang unik terhadap realitas merupakan hal nyata dan penting bagi setiap orang. Oleh karena itu setiap orang harus dipahami dan diperiksa melalui pengalaman-pengalaman subjektifnya sendiri (Schultz, 1993).

  Dorongan untuk tumbuh dan berkembang bukan semata-mata berasal dari usaha untuk mereduksikan tegangan ataupun untuk mempertahankan keseimbangan homeostatis. Kecenderungan aktualisasi diri merupakan dorongan utama pada diri individu untuk tumbuh dan berkembang dan jauh lebih kuat daripada rasa sakit dan perjuangan. Rogers membandingkannya dengan perjuangan dan rasa sakit yang terjadi pada anak yang belajar berjalan. Meskipun berkali-kali jatuh dan merasa sakit, namun anak itu tetap berusaha untuk berjalan lagi. Hal inilah yang disebut sebagai kecenderungan aktualisasi oleh Rogers (Schultz, 1993: 44).

  Kecenderungan aktualisasi ini ada pada setiap makhluk hidup, setidaknya pada tingkat biologis dan dari segi fisiologis. Pada manusia kita dapat melihat kecenderungan aktualisasi diri beralih dari yang fisiologis kepada yang psikologis. Orang-orang yang berfungsi secara penuh (berkepribadian sehat) berarti menjalani kecenderungan aktualisasi dirinya dengan optimal. Aktualisasi diri itu sendiri bukanlah sebuah hasil akhir, namun merupakan proses yang tetap dan berkesinambungan dalam kehidupan orang yang berfungsi sepenuhnya.

  Kecenderungan aktualisasi adalah satu motivasi dasar yang tidak hanya mempengaruhi tingkah laku manusia, melainkan semua organisme yang hidup dan seluruh universum. Kecenderungan aktualisasi ini mau mewujudkan dan mengembangkan semua kemungkinan inheren dari organisme, sehingga organisme bukan hanya dipertahankan tetapi juga diperkaya. Setiap organisme adalah inisiator aktif yang menunjukkan suatu tendensi konstruktif yang terarah kepada tujuan

  Ada tiga hal yang dikemukakan Rogers (Schultz, 1993: 50-51) mengenai aktualisasi diri. Pertama, aktualisasi diri lebih merupakan sebuah arah, sebuah proses.

  Aktualisasi diri adalah kondisi yang tidak pernah selesai dan tidak statis sampai akhir hayat. Kedua, aktualisasi diri bukanlah proses yang mudah untuk dijalani. Seringkali proses itu menyakitkan dan penuh dengan ujian, namun ini adalah proses yang menantang dan membuat kehidupan menjadi lebih kaya dan berarti. Oleh karena itu Rogers menyatakan bahwa kebahagiaan bukan suatu tujuan dalam diri orang yang mengaktualisasikan diri tersebut. Ketiga, orang-orang yang mengaktualisasikan diri tidak hidup di dalam topeng-topeng ketika menghadapi realitas. Mereka adalah diri mereka sendiri, apa adanya. Mereka dapat hidup menurut arah dan jalan yang dipilih oleh mereka sendiri. Meskipun masyarakat atau orang tua dapat memberi nilai-nilai kepada mereka, tetapi mereka bebas untuk memilih apa yang akan mereka ambil dan jalani. Meskipun demikian Rogers mengatakan bahwa mereka tetap dapat hidup dan berprilaku dalam batas-batas sanksi dan garis-garis pedoman yang jelas dari masyarakat.

  Rogers (dalam Schultz, 1977: 51-55) memberikan lima sifat dari orang-orang yang berfungsi sepenuhnya, yaitu:

  1. Keterbukaan pada pengalaman Sifat yang pertama dari fully functioning person adalah keterbukaan kepada pengalaman (openness to experience). Artinya, kebebasan dari rasa takut terhadap pengalaman yang terjadi di sekitarnya. Individu tidak bersikap kaku dan defensif terhadap pengalaman, melainkan menerimanya dan menggunakannya sebagai dasar bagi penilaian dan pilihan dalam bertingkah laku. Keterbukaan pada pengalaman juga berarti individu mampu untuk menyampaikan semua perasaan-perasaan pribadi dan pesan yang datang dari luar ke sistem syaraf tanpa terdistorsi. Keterbukaan pada

  Dalam keadaan seperti itu diharapkan individu dapat hidup dan bertingkah laku sesuai potensi kodrat aslinya dan mengalami lebih banyak pengalaman emosional yang lebih mendalam daripada orang yang defensif.

  2. Kehidupan eksistensial Kehidupan eksistensial atau hidup secara eksistensial (existential living), sifat kedua dari fully functioning person, berarti individu dapat merasakan bahwa setiap momen kehidupan memiliki kekayaan dan keunikan yang terus-menerus dan senantiasa dirasa baru dan segar. Setiap momen adalah unik, belum pernah ada dalam cara yang persis sama. Setiap saat yang ada dalam hidup akan dijalani dengan sepenuh-penuhnya sebagai sesuatu yang memiliki makna dalam hidup. Individu akan menjadi pusat pengalaman yang aktif bagi dunianya yang senantiasa berubah. Setiap masa sekarang dialami sebagai proses yang terus berubah dan terus mengalir ke masa depan. Mengalami sesuatu secara eksistensial berarti seperti hidup dalam kapal yang mengikuti aliran sungai yang terus berubah. Setiap detik akan memberikan pengalaman baru, ketika individu mampu menarik makna dari setiap momen kehidupan. Inilah yang membuat kehidupannya menjadi kaya dan berarti. Individu rela menjadi suatu proses, merespons setiap kemungkinan-kemungkinan yang berkembang dan tidak akan puas tinggal dalam struktur kaku yang sudah ada.

  3. Kepercayaan terhadap Organismenya sendiri Sifat ketiga dari fully functioning person adalah kepercayaan terhadap organismenya sendiri (a trust in one s own oganismic ). Disini individu tidak dikuasai oleh faktor luar dalam membuat suatu keputusan tentang dirinya. Individu mampu untuk mempercayai pengalaman indrawi dan perasaannya sendiri terhadap dunia nyata. Pengalaman ini dapat mereka gunakan sebagai pedoman yang sah dan sumber yang tepat untuk menentukan apa yang baik dan yang tidak baik bagi mereka pada tekanan dari orang lain (persetujuan, kritk, celaan, maupun dorongan). Kepercayaan organismik menekankan perasaaan-perasaan batin sebagai dasar pokok untuk mengambil keputusan-keputusan yang baik. Dengan demikian mereka lebih berhati- hati dan bisa memperhitungkan semua segi yang relevan dalam mengambil keputusan.

  4. Perasaan Bebas Sifat kepribadian sehat dari fully functioning person yang keempat adalah perasaan bebas (a sense of freedom ). Sebenarnya sifat ini sudah terkandung dalam sifat-sifat yang telah dibicarakan di atas. Rogers melihat bahwa berdasarkan konteks pengalaman pribadi, manusia adalah pusat dan aktor kebebasan yang seharusnya merencanakan arah hidupnya sendiri dan menciptakan makna hidup pribadinya. Dengan adanya perasaan bebas maka individu yang sehat dapat melihat banyak kemungkinan yang bisa dipilih dalam kehidupannya dan akan bertanggung jawab atas tindakannya beserta segala konsekuensi yang ditimbulkannya. Sebaliknya orang yang defensif (tidak sehat) yang tidak memiliki perasaan bebas melihat keterbatasan- keterbatasan dalam pilihan hidupnya, karena merasa dikontrol oleh kekuatan luar. Dengan demikian ia tidak akan siap untuk bertanggung jawab terhadap keputusannya sendiri.

  5. Kreativitas Sifat khas kelima dari fully functioning person adalah kreativitas (creativity).

  Orang yang berfungsi sepenuhnya adalah orang-orang yang bebas dalam berpikir dan mengambil tindakan, maka kreativitas mereka dapat diwujudkan keluar. Mereka adalah manusia-manusia kreatif yang menciptakan ide-ide dan rencana-rencana konstruktif serta dapat mewujudkan kebutuhan dan potensinya secara kreatif dan dengan cara yang memuaskan. Mereka bukanlah orang-orang dengan konformitas dengan tekanan-tekanan sosial dan kultural.

3. Model Fromm (Orang Yang Produktif)

  Dalam Schultz (1993: 63), dijelaskan bahwa Fromm melihat kepribadian hanya sebagai suatu produk kebudayaan, karena itu dia percaya bahwa kesehatan jiwa harus didefinisikan menurut bagaimana baiknya individu-individu menyesuaikan diri dengan masyarakat. Yang terpenting adalah bagaimana sebuah masyarakat dapat memuaskan kebutuhan-kebutuhan anggotanya. Masyarakat yang sehat akan menghasilkan manusia-manusia yang sehat, sebaliknya masyarakat yang sakit akan menghasilkan individu-individu yang tidak produktif, tidak sehat dan penuh dengan permusuhan.