SEJARAH PERKEMBANGAN AJARAN BUDDHISME DI

SEJARAH PENYEBARAN AJARAN BUDDHISME
DI JEPANG
PENDAHULUAN
Istilah Buddhisme ini berasal dari sarjana-sarjana barat yang berusaha untuk
mengorganisir gerakan, pemikiran, dan praktek yang dibawa oleh seseorang yang dijuluki
Buddha (1989: 120). Dialah Siddartha Gautama yang diberi gelar sebagai Buddha atau orang
yang disadarkan. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Eckel (2003: 164) bahwa “Buddhism
takes its name from Siddartha Gautama (ca. 566-486BCE), who was revered by his disciples as
the Buddha, or “Awakened One” ‘Buddhisme diambil dari nama Siddartha Gautama yang
dijuluki oleh murid-muridnya sebagai Sang Buddha atau orang yang disadarkan’.
Awalnya Buddhisme ini muncul sebagai sebuah agama atau kepercayaan di India.
Buddhisme ini dapat dikatakan sempalan dari Hinduisme yang merupakan agama yang berlaku
dalam masyarakat India. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Carmody (1989: 120)
bahwasannya “Buddhism began as an Indian sectarian religion, a way of seeking release from
life’s problems that clashed at some points with the prevailing Indian (Hindu) patterns” ‘Pada
mulanya Buddhisme adalah agama sektarian masyarakat India, yang mana sebagai jalan untuk
menyelesaikan problematika kehidupan yang mana dalam beberapa poin, kepercayaan ini
bertentangan dengan kepercayaan masyarakat India pada masa itu (Hindhu)’. Oleh sebab itu,
beberapa ajaran Buddhisme terlihat berbeda dari ajaran atau doktrin Hinduisme.
Ajaran-ajaran Buddhisme ini tidak hanya menyebar di dalam wilayah India, tetapi juga
menyebar luas ke wilayah Afganistan, Pakistan, Bangladesh, Nepal, Sri Lanka, Thailand,

Vietnam, Myanmar, Kamboja, Laos, Mongolia, China, Korea, Jepang, dan bahkan Indonesia.
Agama ini dengan mudah menyebar ke wilayah lain karena ajaran-ajarannya yang sangat luhur
dan juga fleksibel dengan penduduk lokal. Disadari atau tidak, ajaran-ajaran Buddha ini
bercampur dengan kebiasaan, tradisi, ataupun adat istiadat penduduk setempat sehingga
muncullah beraneka variasi ajaran atau sekte-sekte baru. Eckel (2003: 164) mengatakan bahwa:
“In the course of their migrations, Buddhist practices and
teachings have shown a remarkable flexibility and capacity for
adaptation to meet the needs of new host cultures and traditions.
In fact, Buddhism has produced so many varieties that it is
sometimes difficult to recognize particular practices or beliefs as
being distinctively Buddhist”.
‘Dalam perjalanan migrasinya, praktek-praktek dan ajaran-ajaran
Buddhisme menunjukkan fleksibelitas dan kapasitas untuk
beradaptasi dengan kebutuhan kebudayaan dan tradisi baru para

penduduk pribumi. Bahkan, Buddhisme memunculkan ragam
variasi yang terkadang sulit untuk mengenali praktek-praktek dan
kepercayaan-kepercayaan tertentu sebagai ajaran Buddhisme’.
Jepang merupakan salah satu wilayah dimana ajaran-ajaran dan praktek-praktek
Buddhisme berakulturasi dengan budaya-budaya dan tradisi-tradisi masyarakat pribumi Jepang,

yaitu kepercayaan Shinto. Akulturasi antara Bhuddisme dan Shinto ini melahirkan ajaran-ajaran,
praktek, tradisi, dan budaya baru di wilayah tersebut.
SEJARAH KELAHIRAN BUDDHISME
Sejarah Buddhisme ini tidak luput dari Siddartha Gautama sebagai pendirinya. Ia adalah
seorang pangeran dari klan Shakyamuni. Ayahnya adalah seorang raja besar bernama Shuddhona
dan ibu bernama Maya. Braden (1968: 118) menyatakan bahwa “His mother Maya was a
woman of singular grace and pretty. His father was a king of a great wealth and power, as
notable for the excellence and benefitcence of his rule” ‘Ibunya, Maya, adalah seorang
perempuan yang cantik. Adapun ayahnya seorang raja yang memiliki kekayaan dan kekuasaan
yang besar serta dikenal mementingkan aturan-aturannya’.
Ia lahir di kaki gunung Himalaya, tepatnya di taman Lumbini, pada abad ke-6. Kisah
kelahirannya adalah sebuah kisah yang penuh dengan magis. Berawal dari mimpi Ratu Maya,
ibunya. Saat itu sang ibu bermimpi bahwa ada seekor gajah putih yang masuk ke dalam
pinggangya tanpa rasa sakit. Pada saat bersalin, ia tidak melahirkan seperti kelahiran biasanya.
Bayinya, Siddharta, lahir dari pinggangnya. Kemudian bayi itu berputar tujuh kali dan berkata
bahwa ia dilahirkan untuk mencapai Bodhi (kesadaran) dan ini adalah kelahiran terakhirnya.
Sayangnya, beberapa hari setelah persalinan tersebut, Ratu Maya meninggal dunia dan Siddartha
diasuh oleh saudarinya.
Sebelum kelahiran tersebut, Shuddhodana, ayahnya, bertanya kepada orang bijak tentang
keajaiban yang dialami oleh sang istri. Orang bijak tersebut mengatakan bahwa ia melihat roda

(cakra) di telapak tangan dan telapak kaki si bayi. Orang bijak tersebut meramalkan bahwa
Siddharta akan menjadi Chakrawartin, seorang revolusioner. Ia diramalkan akan menjadi
seorang raja besar atau bisa menjadi seorang guru spiritual yang agung. Shuddhodana, yang
meminginginkan anaknya menjadi seorang raja, memenuhi semua kebutuhan Siddharta dan
menjauhkannya dari pemandangan tentang penderitaan.
Seluruh masa kecil dan remaja Siddartha dikelilingi oleh keindahan dan kebahagian.
Setiap kesenangan sudah disediakan untuknya dan ia juga tidak diperkenankan melihat sesuatu
yang buruk dan menjijikkan (Braden, 1968: 119). Siddharta hidup dalam istana yang bernama

Kapilavastu. Di sana ia menikah dengan seorang perempuan yang bernama Yashodhara dan
dikaruniai seorang anak bernama Rahula. Hidup serba berkecukupan membuat Siddhartha
merasa sangat penasaran dengan kehidupan di luar istana. Suatu hari, saat ia keluar dari istana
untuk berburu, ia menemukan realitas penderitaan manusia, yaitu seorang bapak tua renta, orang
sakit, dan jenazah (orang mati). Di perjalanan selanjutnya, ia bertemu dengan empat pertapa. Ia
meyakini bahwa bertapa adalah jalan untuk keluar dari penderitaan dunia. Pada mulanya,
Shuddodana tidak membolehkannya untuk keluar dari istana dan mengikuti ritual pertapaan.
Akan tetapi pada akhirnya, dengan pertolongan Dewa, ia bisa meinggalkan istana beserta anak
dan istrinya. Ia melepaskan gelar kebangsawanannya dan menjadi seorang pengembara.
Peristiwa ini disebut dengan Pravrajya. Ia mulai menjauhi masyarakat untuk bertapa dengan
berpuasa dan mengendalikan nafsu dirinya.

Selama enam tahun ia berkonsentrasi mencari-cari kedamaian religi. Ia juga
mempraktekkan teknik meditasi yang ekstrim, tetapi pada akhirnya ia tidak menemukan jalan
kebenaran yang menuju pada kebijaksanaan dan Nibbana (2000: 48). Kemudian Siddharta
mengembara lagi hingga sampai di sebuah pohon di sekitar sungai Nairanjana, Bodhi Gaya.
Kemudian pohon itu dikenal dengan pohon Bodhi Gaya. Walaupun sempat mendapat godaan
dari roh jahat yang bernama Mara, pada akhirnya ia mampu melewati itu sehingga menerima
Dharma (kebenaran).
Pada khutbah pertama di wilayah Benares, ia menyampaikan tentang Fourth Noble Truth
kepada para pertapa (Braden, 1968: 121). Yang pertama adalah bahwa penderitaan itu ada.
Kelahiran, kematian, penyakit, kehilangan orang-orang yang dicintai dan lain sebagainya adalah
sebuah bentuk penderitaan. Yang kedua adalah penyebab dari penderitaan itu sendiri. Keinginan
yang menggebu-gebu adalah penyebab dari penderitaan itu. Adapun bentuk-bentuk keinginan
tersebut adalah keinginan atau hasrat pada kesenangan, kehidupan duniawi, dan kemakmuran.
Yang ketiga adalah cara untuk menghentikan penderitaan. Untuk menghentikan penderitaan,
manusia harus menghancurkan hasrat dan keinginannya. Adapun yang terakhir adalah jalan
untuk mengakhiri penderitaan. Jalan untuk mengakhiri penderitaan ini dibagi menjadi delapan
bagian, yaitu, pandangan yang baik, harapan yang baik, perkataan yang baik, prilaku yang baik,
mata pencaharian yang baik, usaha yang baik, pikiran yang baik, dan meditasi yang baik.
Adapun Buddha sendiri bukanlah seorang Nabi, Tuhan, ataupun roh suci seperti dalam
konsep agama Samawi. Akan tetapi Buddha adalah seorang manusia yang menemukan jawaban

atas pertanyaan tentang kehidupan manusia. Eckel (2003: 166) berkata bahwa “The Buddha was

not considered to be God or a supernatural being, but a man eho had found the answer to the
deepest dilemmas of human life and had made that answer available to others” ‘Buddha tidak
dianggap sebagai Tuhan ataupun makhluk gaib, tetapi seorang manusia yang menemukan
jawaban atas dilemma terdalam dari kehidupan manusia dan menyampaikan jawaban itu kepada
umat manusia’.
BUDDHISME SETELAH KEMATIAN SIDDARTHA GAUTAMA
Setelah kematian Siddartha Gautama, pengikutnya berkumpul dalam sebuah kongres
untuk menyusun ajaran-ajarannya yang disebut dengan Dharma. Kongres pertama ini diadakan
pada tahun 473 sebelum masehi di Rajagrha. Bermula dari seorang pengikutnya yang bernama
Kasyapa. Saat kematian Sang Buddha, Kashyapa sedang bepergian dengan sekelompok
biarawan. Segera setelah mendengar kabar tersebut, seorang di antara biarawan tersebut
mengatakan bahwa kematian tersebut membebaskan mereka dari paksaan ajaran-ajaran Sang
Buddha itu sendiri. Eckel (2003: 172) mengatakan bahwa:
“Fearing breakdown in discipline, Kashyapa proposed the calling
of council to restate the Buddha’s teaching and monastic
regulations and set down a common body of doctrine and practice
to guide the Buddhist community. The council produced what was
to become the nucleus of the Buddhist canon”

‘Oleh karena adanya ketakutan tentang kerusakan ajaran-ajaran
(Buddha), Kashyapa memberi usul kepada dewan biarawan untuk
tetap kembali pada ajaran Buddha dan aturan kebiarawan, dan
menyusun kembali landasan doktrin dan praktek untuk memandu
komunitas Buddha. Kemudian kongres dewan ini menghasilkan
inti aturan Buddha’.
Kongres kedua dilaksanakan satu abad kemudian di Vaishali. Kongres ini membahas tentang
varian-varian monastik yang diperkenalkan di bawah tekanan masyarakat yang semakin
berkembang. Dari sinilah, Buddhisme terpecah menjadi dua antara Sthaviras dan Mahasanghikas
(2003: 172). Perepecahan ini adalah awal pemicu perpecahan yang lainnya, yaitu perpecahan
Samgha (pengikut Buddha) menjadi delapan belas aliran. Kemudian membentuk dua sekte besar,
yaitu Hinayana (perahu kecil) dan Mahayana (perahu besar). Masing-masing sekte menganggap
diri mereka adalah Yana, yaitu perahu atau rakit. Sebuah perahu yang akan membawa
pengikutnya mengarungi lautan kehidupan untuk menuju satu tujuan, yaitu sebuah pencerahan.
Kelompok pertama, Hinayana, berpendapat bahwa agama Buddha merupakan jembatan
seumur hidup. Mereka tidak berharap bahwa setiap orang akan berjuang untuk menuju Nibbana,
tetapi mereka yang memang mempunyai tujuan itu, harus melepaskan hidup duniawi dan

menjadi Rahib (2008: 158). Mereka mengklaim bahwasannya ajaran-ajaran mereka adalah
ajaran-ajaran yang murni dari Sang Buddha. Jadi, banyak sekali pengikut sekte ini yang hidup

menjadi biarwan atau birawati dan meninggalkan kehidupan duniawi. Sekte Hinayana ini
kemudian berganti nama menjadi Theravada, yang juga sering disebut dengan Buddhisme
Selatan. Sekte Theravada ini tersebar di wilayah negara-negara Asia Tenggara, seperti Thailand,
Sri Lanka, Myanmar, Laos, dan Kamboja.
Kelompok kedua, Mahayana, adalah sekte yang berpendapat bahwa Buddha tidak
menginginkan dirinya saja yang mendapatkan Nibbana, tetapi juga seluruh umat manusia.
Dengan kata lain, pengikut sekte ini beranggapan bahwa umat manusia harus bersama-sama
untuk mencapi Nibbana. Ajaran sekte Mahayana ini lebih terbuka dan mudah beradaptasi dengan
tradisi di wilayah penyebarannya. Mereka juga berpendapat bahwa Siddhartha Gautama, sebagai
Buddha, adalah makhluk yang bersifat seperti Tuhan yang sewaktu-waktu akan muncul turut
andil untuk membantu umat manusia mendapatkan Nibbana. Mereka mempercayai bahwa ajaran
Buddha yang ideal bukanlah dengan menjauhi duniawi dan menjadi biarawan, melainkan
menjadi umat awam yang menjalani kehidupan duniawi. Mahayana ini juga dikenal dengan
nama Buddhisme Utara. Penyebarannya mencakup negara-negara yang terletak di Asia bagian
utara, seperti Nepal, Vietnam, Korea, China, Jepang, dan Mongolia. Saint-Laurent (2000: 197)
menembahkan bahwa “Mahayana Buddhism as a category may also include the Vajrayana
(“diamond vehicle”) school of Tibet” ‘Mahayana sebagai sebuah kategori juga melingkupi
Vajrayana, yaitu aliran Tibet.
Jika dibandingkan dengan sekte Hinayana atau Theravada, maka dapat disimpulkan
bahwa sekte Mahayana ini jauh lebih fleksibel, inklusif, dan mudah beradaptasi. Hal ini

menjadikan sekte Mahayana dapat diterima oleh tradisi-tradisi dan kepercayaan lokal saat
penyebarannya.
AWAL PENYEBARAN BUDDHISME
Setelah kematian Siddhartha Gautama, Buddhisme tidak langsung menyebar begitu saja.
Awalnya agama ini menyebar terlebih dahulu di wilayah India bagian barat laut. Hal ini terus
berlangsung hingga Raja Ashoka, seorang raja dari kerajaan Mauryan, naik tahta dan memerintah
kerajaan India. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Braden (1968: 131) berpendapat bahwa:
“Buddhism did not spread rapidly immediately after the death of
Gautama, but did make steady headway in northwest India. It was
not until the conversion of Asoka, emperor og India, about 270

B.C that its rapid extension began. Under his royal patronage it
soon permeated his whole dominion”.
‘Ajaran Buddhisme ini tidak begitu saja menyebar dengan cepat
setelah kematian Gautama, tetapi memantapkan kemajuannya di
India bagian barat laut. Hal ini terjadi hingga adanya konversi
Ashoka, seorang kaisar India, pada tahun 270 sebelum masehi dan
saat itulah terjadi penyebaran yang sangat cepat. Di bawah
perlindungan kekuasannya (Raja Ashoka), Buddhisme menyebar
ke seluruh penjuru kekuasaannya’.

Ia menyebarluaskan nilai-nilai ajaran Buddhisme ke seluruh kerajaannya dan ia juga
mendukung penyebaran agama tersebut di luar perbatasan wilayahnya (2003: 172). Contohnya
saja anak Ashoka yang bernama Mahendra. Saat ia menyampaikan sebuah misi kenegaraan ke
wilayah Sri Lanka, ia juga menyebarkan ajaran-ajaran Buddhisme.
Kemudian setelah itu, terdapat beberapa biarawan Buddha yang menetap di wilayah
Afganistan dan Asia tengah. Mereka menjalin hubungan dengan kerajaan Hellenis yang berdiri
setelah invasi Alexander the Great di India. Buddhisme ini jmendapatkan dukungan yang besar
dari suku Scythian dan juga Raja Kanishka yang berdomissili di wilayah Afganistan. Buddhisme
ini juga mendapat dukungan dari Dinasti Satavahana yang berada di India bagian selatan
sehingga ajaran Buddhisme ini dianggap sebagai pusat kebudayaan masyarakat India. Bahkan
kekuasaan Dinasti Gupta, di awal masa pemerintahan Raja Arsha, ajaran-ajaran Buddhisme ini
difasilitasi dengan pusat studi filsafat, agama, pengobatan, bahasa, astronomi, dan lain
sebagainya.
Kemudian Buddhisme ini menyebar ke daerah Tibet secara bertahap. Tahapan pertama
terjadi pada abad ketujuh masehi. Saat itu isteri dari seorang raja Tibet yang bernama Songsten
Gampo membawa sebuah patung Buddha ke Lasha, ibukota Tibet. Akhirnya pada abad
kedelapan, berdirilah sebuah biara sebagai pusat pengajaran Buddha. Ajaran Buddhisme ini
dikolaborasikan dengan tiga ajaran lainnya, yaitu Padmasambhava yang seorang pemuka
Tantrisme India, Thrisong Dersen yang merupakan seorang raja Tibet, dan juga seorang sarjana
India yang bernama Shantarakshita. Oleh karena itu, ajaran-ajaran Buddhisme Tibet ini berbasis

pada tiga elemen utama, yaitu ritual Tantrisme dan meditasi, ajaran-ajaran monastik
(kebiarawanan), serta kekuatan kerjaan yang sekuler. Adapun tahapan kedua terjadi pada abad
kesepuluh masehi dimana Buddhisme diperkenalkan kembali kepada masyarakat. Kemudian

pada abad kesebelas, Buddhisme Tibet berkembang dan membentuk beberapa sekte, seperti
Nyingmapa, Sakyapa, Kadampa, Kargyupa, dan Gelukpa.
Pada abad pertama atau kedua masehi, Buddhisme masuk ke wilayah China melalui jalur
Sutra. Di bawah kekuasaan Dinasti Tang, ajaran-ajaran Buddhisme diakulturasikan dengan
tradisi ataupun kepercayaan masyarakat China. Akulturasi tersebut membuat Buddhisme
memiliki peran penting dalam peradaban masyarakat China. Buddhisme disandingkan dengan
ajaran Tao dan Konghuchu sehingga terbentuklah Tri Dharma (Tiga Ajaran). Buddhisme yang
berkembang di China ini dipengaruhi oleh tradisi meditasi atau Chang dan aliran filsafat Tiantai
dan Huayan. Adapun ajaran Buddhisme yang sangat berkembang di wilayah tersebut adalah
Buddhisme yang terbentuk dari empat ajaran, yaitu aliran Mahayana, Amithaba, Avalokiteshvara,
dan Maitreya. Kemudian ajaran-ajaran Buddha. Pada abad keempat masehi, variasi-variasi ajaran
Buddhisme China ini diperkenalkan ke wilayah Korea dan masuk ke Jepang pada abad keenam
masehi.
BUDDHISME DI JEPANG
Menurut Hanayama (1966: 3) sesuai dengan Nihonshoki, catatan sejarah kronologi
Jepang, ajaran Buddhisme masuk ke wilayah Jepang pada tanggal 13 Oktober 552, di tahun

ketigabelas dari Dinasti Kimmei yang merupakan kaisar ke-29Jepang.
Ajaran Buddhisme di Jepang masuk dengan adanya perantaraan bangsa Korea. Pada saat
itu, Korea dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Koma di utara, Shiragi, dan Kudara yang
keduanya terletak di bagian selatan. Penetrasi Buddhisme ini masuk ke Jepang saat seorang
penguasa Kudara bernama Seimeio mengirimkan salah seorang duta besarnya ke Jepang. Duta
besar ini sengaja diutus untuk menyebarkan ajaran-ajaran Buddhisme dengan membawakan
hadiah berupa patung Buddha yang terbuat dari perunggu dan juga bermacam-macam kitab
Sutra. Di sana, sang duta besar menceritakan tentang keluhuran ajaran-ajaran Buddhisme dan
bagaimana Buddhisme ini menyebar ke penjuru dunia. Kaisar Kimmei sangat terkagum dengan
keluhuran ajaran-ajaran Buddhisme dan juga keindahan patung Sang Buddha sehingga dapat
diterima.
Pada saat itu, kebudayaan masyarakat Jepang tidak terlalu berkembang sehingga, dengan
mudahnya, mereka langsung terkesima dengan keindahan karya seni dan pemikiran-pemikiran
sang Buddha. Sebelum ajaran Buddhisme ini benar-benar dapat diterima dengan tangan terbuka,
Mikado, sebutan untuk Kiasar Jepang, bermusyawarah dengan penasehat-penasehatnya. Soga no
Iname, konselor urusan kependudukkan, menyatakan bahwa Buddhisme tidak pernah

mempunyai catatan buruk sepanjang penyebarannya ke wilayah-wilayah lain. Akan tetapi
pendapat ini ditentang oleh Mononobe no Okoshi, konselor bidang persenjataan dan Nakatomi
no Kamako, pemuka kepercayaan Shinto. Mereka berpendapat bahwa kekaisaran Jepang telah
memiliki peribadatan dan kepercayaan sendiri. Jika ajaran Buddhisme ini diterima, ditakutkan
akan memicu kemarahan dari masyarakat Jepang itu sendiri. Oleh karena tidak ada kesepakatan
antara kedua belah pihak yang bertikai, maka Mikado memutuskan untuk mengkolaborasikan
ajaran dan tradisi Shinto dengan ajaran-ajaran Buddhisme. Sayangnya, kolaborasi antara dua
ajaran ini hanya terbatas bagi keluarga kekaisaran dan khusus hanya klan Soga yang pro dengan
ajaran Buddhisme ini.
Patung Buddha, yang didapat dari utusan Kudara tersebut, diberikan kepada konselor
Soga no Iname untuk menjadi sesembahan pribadinya. Dari sini timbullah ketegangan antara dua
kubu, yang yang pro dan kontra dalam penerimaan ajaran-ajaran Buddhisme di wilayah mereka.
Ketegangan ini berlarut-lrut hingga empat puluh tahun lamanya hingga anak keturunan mereka,
yaitu Soga no Umako dan Mononobe no Moriya.
Pada tahun 572, Kaisar Kimmei wafat dan digantikan oleh putra mahkota yang bernama
Kaisar Bidatsu. Akan tetapi, Kaisar Bidatsu ini tidak mengacuhkan ajaran-ajaran Buddhisme
sehingga agama tersebut tidak terlalu berkembang pada masa pemerintahannya. Pada tahun 585,
Kaisar Bidatsu wafat dan digantikan oleh Kaisar Yomei, sebagai Mikado yang ke-31. Kaisar
Yomei ini merupakan kaisar pertama yang mengakui dan menganut Buddhisme. Dari masa inilah
ajaran-ajaran Buddhisme Jepang mulai berkembang. Akan tetapi, kepemimpinannya tidak begitu
lama karena ia jatuh sakit. Pada masa sakitnya, Kaisar Yomei memanggil seorang pendeta
Buddhisme yang bernama Kuratsukuri no Tasuna ke istana untuk melakukan ritual sembahyang.
Merasa dirinya tidak akan hidup lebih lama lagi, ia berkeingninan untuk memiliki patung
Buddha Yakushinyorai, yang nantinya dapat diselesaikan pada periode Nara. Keadaan Kaisar
Yomei tidak kunjung membaik, bahkan akhirnya meninggal dunia. Kabar kematiannya ini
menimbulkan kesedihan yang mendalam, terlebih pada kelompok-kelompok yang pro akan
Buddhisme. Kemudian ia digantikan oleh saudari perempuannya, Ratu Suiko dan dilanjutkan
oleh anak laki-lakinya yang bernama Pangeran Shotoku.
Pemerintahannya ini membawa angin segar untuk Buddhisme. Ia mendirikan fasilitasfasilitas memadai untuk menunjang perkembangan ajaran-ajaran Buddhisme, seperti pendirian
sekolah-sekolah Buddha dan institusi sentra pengajaran Buddha. Ia juga banyak mengirimkan
utusan dan pelajar ke China untuk mempelajari Buddhisme ini.

Pada tanggal 1 Januari 594, diberlakukan Imeperial Ordinance for Upholding the Three
Treasure, yaitu (1) Sang Buddha, (2) Dharma (aturan atau kebenaran), dan Samgha
(persaudaraan) (1966: 9). Pada tahun yang sama ini juga, Pangeran Shotoku berhasil
mempersatukan dua klan yang terlibat perselisihan. Masyarakat Jepang bersatu menganut
Buddhisme dengan tetap mengkolaborasikannya dengan kepercayaan Shinto yang mereka anut
sebelumnya. Pangeran Shotoku sendiri banyak menulis tentang ajaran Three Treasure dan
keharmonisan antara dua ajaran tersebut. Mulai tahun 606, Ia juga memeberikan ceramah di
beberapa tempat tentang Sutra ajaran-ajaran Buddhisme di beberapa wilayah bagian Jepang yang
lain. Dari utusan-utusan dan murid-murid yang dikirim ke China, ia menerima banyak buku
tentang ajaran-ajaran Buddhisme yang penting. Dua tahun berikutnya, salah seorang sarjana
yang dikirimnya ke China, yaitu Ono no Miko, kembali ke Jepang dengan membawa beragam
Sutra Mahayana dan beberapa di antaranya ditulis kembali dalam bahasa Jepang. Beberapa nama
Sutra tersebut di antaranya adalah Kegongyo, Nehangyo, Hannyagyo, Hokekgyo, Yuimagyo, dan
Shomangyo.
Pada tahun 622, Pangeran Shotoku meninggal dunia. Sepeninggalannya terjadilah
kekacauan yang ditimbulkan oleh klan Soga. Puncaknya, pada tahun 643, anak keturunan
Pangerang Shotoku dibantai oleh Soga no Iruka yang menjabat sebagai seorang menteri.
Pembantaian itu dilakukan di Istana pribadi mendiang Pangeran Shotoku, Ikaruga no Miya.
Sebenarnya, anak keturunan Pangeran Shotoku bisa saja menyerang balik klan Soga. Akan tetapi
hal itu tidak mereka lakukan karena mereka adalah pemeluk Buddhisme yang taat. Hanayama
(1966: 15) mengatakan bahwa:
“Those related to the prince could well win over the Soga clan if
they but so wished and fought. But this meant the death of many
who would be involved in the struggle, all to add suffering upon
suffering. Instead of bringing misery to others, they met the sword
and chose a nobler death. So it would seem. To some their action
too passive. But to fight and kill was against what the Buddha
taught”.
‘Anak keturunan pangeran (Shotoku) tersebut dapat saja
mengalahkan klan Soga jika mereka mau menyerang. Sayangnya,
akan terjadi banyak kematian dalam penyerangan tersebut dan
penderitaan demi penderitaan akan terus terjadi. Sebagai pengganti
kesengsaraan orang lain, mereka meninggalkan pedan dan lebih
memilih mati dalam keadaan paling mulia. Bagi beberapa
kalangan, aksi mereka ini tampak sangat pasif. Akan tetapi, jika

mereka bertarung dan membunuh, mereka merasa bertentangan
dengan ajaran Sang Buddha’.
Dua tahun kemudian, Soga no Iruka dibunuh oleh Naka no Oe no Oji dan Nakatomi no
Kamako. Pembunuhan tersebut dilakukan saat seorang utusan dari negeri Korea datang ke istana
untuk mempersembahkan hadiah kepada Ikura. Setelah kematian Ikura, Soga no Emishi, ayah
Ikura, melakukan bunuh diri dengan membakar rumahnya. Setelah itu, kepemimpinan
dikembalikan pada Kekaisaran. Perombakan pemerintahan ini dikenal dengan Reformasi Taika
(perubahan besar-besaran).
Nakatomi no Kamako dinobatkan sebagai Kaisar Kotoku, sedangkan Naka no Oe no Oji
dinobatkan sebagai putra mahkota. Selama kepemimpinan tersebut, Buddhisme makin
berkembang dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan Sang Kaisar. Pada masa itu juga, marak
sekali pembangunan kuil-kuil dan juga sentra pengajaran Sutra Ulambana. Untuk mengapresiasi
hal ini, maka diadakan Festival Urabon’e yang diadakan setiap musim panas di Jepang.
Kemudian kemempinan ini dilanjutkan oleh Ratu Saimei, ibu Naka no Oe no Oji. Pada tahun
661, Naka no Oe no Oji naik tahta dan dinobatkan sebagai Kaisar Tenchi. Dengan dukungan
yang besar dari Kekaisaran Jepang ini, Buddhisme terus menerus berkembang dan membentuk
sekte-sekte baru.
PERIODE BUDDHISME NARA
Pada periode ini, Jepang dan China memiliki hubungan bilateral yang sangat baik terlebih
hubungan pada sektor keagamaan. Banyak sekali pelajar-pelajar Jepang yang dikirim ke negeri
China untuk mempelajari dan memperdalam ajaran Sang Buddha. Setelah itu mereka kembali ke
Jepang dengan membawa ajaran dari sekte-sekte yang berbeda, yaitu Sanron, Hosso, Kegon,
Ritsu, Jojitsu, dan Kusha. Enam sekte ini kemudian dikenal dengan nama Nanto Rokushu, Enam
Sekte Nara.
Sekte Sanroshu
ajaran Sanroshu ini disebut juga dengan Three Treatise Sect (1966: 19). Sekte ini
berpedoman pada tiga Sutra, yaitu Churon dan Junimonron yang ditulis oleh Nagarjuna, serta
Hyakuron yang ditulis oleh salah seorang murid Nagarjuna, yaitu Aryadeva. Ajaran tiga Sutra
tersebut dibawa ke China pada tahun 409 oleh Kumarajiva. Ajaran-ajaran sekte ini dipelajari di
sebuah sekolah Buddhis yang bernama Kichizo. Adapun di Jepang, ajaran Sanronshu ini
diperkenalkan oleh orang-orang Korea pada tahun 625. Sekte ini berasal dari aliran Mahayana,
tetapi mereka tidak begitu saja meninggalkan ajaran-ajaran aliran Hinayana. Mereka berpendapat

ajaran mereka melampaui sekte Mahayana dan Hinayana, yaitu sebuah kemutlakan tertinggi.
Hanayama (1966: 21) berpendapat bahwasannya:
“Their doctrine stood on attaining the highest absolute, which is
Dharma or Enlightenment, through negation that stands on
‘nonness’ or ‘voidness’. Because of this, their philosophy of life
naturally tended to be passive. Often passages go in their writings
which bitterly criticize the way of the Hosso sect who were wont to
have connections with politic, and criticism against the Hosso
school was aimed at the principle by which the Hosso classifies
man into five categories and designates a certain class as one
devoid of the Buddha Nature or as one not able to attain
Buddhahood”.
‘Doktrin mereka berpijak pada tercapainya kemutlakan tertinggi,
yaitu Dharma atau pencerahan, melalui penyangkalan adanya
sebuah kekosongan. Oleh karena itu, filsafat hidup mereka
cenderung pasif. Beberapa tulisan mereka kerap mengkritik dengan
pedas praktek-praktek sekte Hosso yang cenderung mempunyai
hubungan dengan politik, dan mereka juga mengkritik ajarana
aliran Hosso yang
berprinsip bahwasannya
manusia
diklasifikasikan menjadi lima kategori dan menunjuk salah satu
kelas tertentu sebagai kelompok Buddha atau yang dapat mencapai
persaudaraan Sang Buddha’.
Jadi, sekte Sanroshu ini dapat disebut sebagai aliran Buddhisme Mahayana dan
Hinayana. Mereka dapat dikatakan mengikuti ajaran Mahayana karena mereka berprinsip
bahwasannya seluruh umat manusia dianggap berderajat sama untuk mencapai Nibbana. Adapun
dari aliran Hinayana, mereka mengambil jalan untuk meninggalkan duniawi dan tidak
mencampuri dunia perpolitikkan.
Sekte Hossoshu
Sekte Hossoshu adalah sekte yang berkembang dari Buddhisme Mahayana yang
mengambil ajaran dari aliran Maitreya, Asanga, dan Vasubandhu di India. Sekte ini dibawa
masuk ke wilayah China oleh Bodhiruchi dan Paramartha. Adapun orang pertama yang
memperkenalkan ajaran sekte ini ke Jepang adalah Dosho. Ia mengembara ke China pada tahun
653, pada masa Dinasti Tang. Di sana ia mempelajari ajaran Buddhisme di bawah pengawasan
Hsuan Tsang. Sayangnya ajaran Hsuang Tsang ini tidak sepopuler ajaran dari sekte lainnya. Saat
ia kembali ke Jepang, ia membawa sebuah Sutra Joyuishikiron yang sudah dialihbahasakan ke
dalam bahasa Jepang. Di negeri asalnya, ia mengembara ke banyak wilayah untuk
memperkenalkan ajaran Hsuan Tsang tersebut.

Adapun doktrin sekte ini adalah bahwasannya hakikat segala sesuatu di dunia ini ada di
luar nalar ilmu pengetahuan dan penjelasan. Umat manusia hanya dapat mengetahui dan
menerangkan sedikit saja dari aspek-aspek eksternal yang ada. Kebenaran hanya terdapat di luar
pengalaman manusia (1966: 26). Oleh sebab ini, maka kehidupan dan dunia adalah dua hal yang
menjadi concern sekte ini.
Sekte Kegonshu
Sekte ini berpegang pada ajaran-ajaran yang terdapat dalam Sutra Avatansaka, sebuah
Sutra dari aliran Mahayana. Sekte ini dipelopori oleh Genju Daishi di negeri China dan
menyebar ke wilayah Jepang sekitar tahun 722 Masehi. Sekte ini berpedoman pada Ekayana,
yaitu teori ‘satu perahu’ yang berpendapat bahwa semua bentuk kehidupan manusia, baik
maupun buruk, layak mendapatkan kesempatan untuk mengalami pencerahan. Oleh karena itu,
sekte Kegonshu ini mempercayai kebenaran akhir. Di Jepang sendiri ajaran ini berkembang di
tangan seorang sarjana bernama Hozo. Ia juga menulis tentang ajaran-ajaran Buddhisme yang
dikenal dengan nama Kegongokyoshoshijiki atau Kegongkyosho.
Sesuai dengan Kegongokyosho, Hozo mengklasifikasikan seluruh sistem Buddhisme
dalam Shojo (Buddhisme Hinayana), Daijoshikyo (Ajaran pertama Mahayana), Daijohugyo
(ajaran terakhir Mahayana), Tongyo (ajaran tentang kebangkitan yang spontan), dan Engyo
(seluruh ajaran yang sempurna) (1966: 28-29).
Sekte Ritsushu
Ritsushu adalah sebuah sekte yang memusatkan kajiannya pada Vinayana atau aturan
moral yang diberikan oleh Sang Buddha kepada pengikutnya (1966: 30). Vinaya sendiri
merupakan salah satu dari Tri Pitaka yang terdiri dari Sutra (ajaran-ajaran Buddha Shakyamuni),
Vinaya (Tanggapan-tanggapan Sang Buddha), dan Abhidharma (interpretasi ajaran-ajaran Sutra
dan Vinaya).
Hanayama (1966: 34) mengatakan bahwa “Sekte ini dipelopori oleh Ganjin dengan
menulis kembali ajaran-ajaran Buddhisme yang diberi judul Shamijikkaiigikyosho. Dalam tulisan
ini, ia membuat daftar tentang lima tingkatan. Tingkatan pertama adalah Orang-orang yang
mengamati Sanki, orang-orang yang meyakini Tiga Harta, yaitu Buddha, Dharma, dan Samgha,
serta Gokai, yaitu menahan diri dari nafsu membunuh, mencuri, berzina, berbohong, dan minum
minuman keras. Tingkatan yang kedua adalah orang-orang yang mempraktekkan Hakkai, yaitu
menahan diri dari hal-hal yang disebutkan sebelumnya dan ditambah dengan lima hal lain,
seperti menahan diri dari alat-alat kecantikan, perhiasan, menyanyi, menari, dan tidur pada

tempat tidur yang tinggi dan mempraktekkan Jikkai, larangan pada hal-hal dalam Gokkai,
Hakkai, larangan untuk makan di luar jam makan yang sudah ditentukan, serta memiliki banyak
harta.Tahapan yang ketiga adalah orang-orang yang mempraktekkan Nihyakugokjikkai atau 250
aturan Bhikshu. Tahapan keempat adalah orang-orang yang tidak melanggar Gohyakkai, lima
ratus aturan Bhikshu. Adapun tingkatan kelima adalah orang-orang yang menerima aturan
Bodhisattva dan kemudian mendapatkan pencerahan.
Sekte Kushashu dan Sekte Jojitsushu
Dua sekte ini adalah aliran Buddhis yang berdasar pada risalah Hinayana, yaitu
Abhidharmakosha Shastra (Kusharon) dan Satyasiddhi Shastra (Jojitsuron) yang dibawa dari
India. Kedua sekte ini tidak jauh berbeda dengan empat sekte lainnya karena ajaran-ajarannya
diambil dan diterjemahkan oleh Kumarajiva dan Hsuan Tsang. Dua sekte ini lebih fleksibel
karena dapat dipelajari oleh sarjana-sarjana dari sekte yang lain. Hanayama (1966: 37)
menyatakan bahwa “Although there were six Buddhist sects in the Nara periode, the Jojitsuron
was actually studied by the scholars of the Sanron sect and the Kusharon by those of the Hosso,
and there were no scholars who has studied the Jojitsuron or the Kushanron singly and
evclusively” ‘Walaupun pada periode Nara terdapat enam sekte Buddhis, Jojitsuron dipelajari
oleh biarawan sekte Sanronshu dan Kusharon dipelajari oleh biarawan dari sekte Hosso. Tidak
ada satupun biarawan yang hanya mempelajari Jojitsuron ataupun Khusaron saja’.
PERIODE BUDDHISME HEIAN
Periode ini bermula dari Kaisar Kammu yang mengeluarkan banyak aturan. Selain
memindahkan ibukota negara ke Kyoto, ia juga menekankan para biarawan untuk lebih mengkaji
dan mendalami ajaran dan keluhuran Sang Buddha. Dari sinilah, Buddhisme Heian mulai
tumbuh. Pertumbuhan ini ditandai dengan dua sekte awal, yaitu Tendai dan Shingon yang
awalnya dipelopori oleh Saicho dan dilanjutkan oleh Kukai. Jika pada periode Nara, kuil-kuil
Buddhis dibangun di tengah-tengah kota, maka di periode ini, kuil-kuil Buddhis dibangun di
daerah pedalaman seperti hutan, lembah, dan gunung. Saicho memilih mendirikan kuil di gunung
Hiei yang terletak di barat laut Kyoto. Adapun, kemudian, Kukai memilih gunung Koya yang
terletak di prefektur Wakayama. Peraturan ini muncul agar para biarawan dapat menjalani
kehidupan mereka tanpa dipegaruhi oleh masyarakat awam yang menjalani kehidupan duniawi
yang rentan denganbanyak permasalahan terutama korupsi dan politik. Dari sini, berdirilah
beberapa sekte baru Buddhis.

Sekte Tendaishu
Sekte ini dipelopori oleh Saicho yang mempelajari ajaran-ajaran Buddhis dari Nara. Pada
umur delapan belas tahun, ia meninggalkan Nara dan bertapa di gunung Hiei. Di sana ia belajar
dan mempraktekkan sendiri ajaran yang ia terima dari Kegon dan Sandaibu, seorang pendiri
sekte Tendai di China.
Saat berada di China, ia belajar bermacam-macam ajaran Buddhis, seperti Esoterisme
(mistis) Buddhis, Buddhisme Zen, Buddhisme Amithaba, dan juga Buddhisme Tiantai. Ia juga
mempelajari Sutra Brahmajala (Bonmokyo), yaitu sebuah modifikasi dari aturan Buddhisme
Hinayana (2004: 7). Saicho mencoba untuk menyatukan semua konsep pemikiran Bhuddisme
tersebut. Selain itu, ajarannya berdasar pada Sutra Saddharma Pundarika yang menegaskan
bahwa semua manusia mempunyai kesetaraan untuk mencapai Buddha, bahkan jika ajaran
Buddhis dikolaborasikan dengan keyakinan Shinto.
Sekte Shingonshu
Sekte Shingoshu ini didirikan oleh Kukai atau Kobo Daishi (1966: 50). Pada mulanya ia
mempelajari ajaran-ajaran Konfusius dan Lao Tse di sebuah universitas di Nara. Kemudian, ia
mempelajari ajaran-ajaran Buddhisme. Pada tahun 804 Masehi, ia berangkat ke wilayah China
bersama dengan Saicho, pendiri sekte Tendashu.
Sekte ini mengakui aturan Buddhisme Hinayana dan juga Mahayana serta membagi
ajaran Buddhis menjadi dua bagian, yaitu eksoteris Buddhis dan esoteris Buddhis. Sekte ini juga
beranggapan bahwasannya mereka adalah satu-satunya sekte esoteris karena mereka tidak
dikenal dari sejarah Buddha Shakyamuni. Mereka lebih identik dengan Buddha Vairochana yang
mementingkan praktek mantra (doa-doa) dan mudra (gestur tangan) untuk mempersatukan alam
semesta dalam sebuah harmoni.
PERIODE BUDDHISME KAMAKURA
Periode ini bermula dari peristiwa kemenangan Minomoto no Yoritomo atas klan Taira
dalam perang Gempei. Pada tahun 1192, ia diangkat menjadi Shogun dan mendirikan
pemerintahan baru yang diberi nama Kamakura Bakufu. Pada periode ini, pengaruh Buddhisme
China sangat kuat sehingga berkembanglah dua aliran besar Buddhis, yaitu aliran Pure Land
(Buddha Amithaba) dan Buddhisme Zen.
Buddhisme Pure Land

Aliran Pure Land atau Buddha Amithaba ini sebenarnya telah ada pada periode Nara.
Hanya saja, aliran ini terdominasi oleh aliran-aliran Buddhis periode Nara. Akan tetapi, pada
periode Kamakura, aliran ini terus berkembang dan memunculkan sekte-sekte baru, seperti Sekte
Honen.
Akan tetapi sebelum sekte Honen muncul, terdapat dua orang, Kuya dan Ryonin, yang
menyebarkan ajaran Nembutsu. Secara harfiah, Nembutsu ini berarti ‘melafalkan Sang Buddha’
(2008: 361). Ajaran ini berasal dari konsep Mantra (doa-doa) yang mana mengajarkan
pengikutnya untuk melafalkan ‘Amithaba’. Sayangnya, ajaran ini tidak mengalami
perkembangan di Jepang seperti perkembangan sekte Honen. Sekte Honen ini dipelopori oleh
Honen yang mempelajari ajaran-ajaran Buddhisme di gunung Hiei dan di berbagai kuil yang
terletak di wilayah Nara. Ia berpendapat bahwa permasalahan yang paling penting adalah
pertanyaan tentang kehidupan dan kematian. Pertanyaan ini kemudian menuntunnya pada
petikan Sutra Amitayurdhyana kemudian ia memperkenalkan praktek Nembutsu yang berbunyi
Namu Amita Butsu. Dalam bukunya, a History of Japanese Buddhism, Hanayama (1966: 73)
menuliskan petikan isi Sutra tersebut:
“If one thinks of and pronounces the name of Amita Buddha and if
the practice is done regardless of manner and time, and if this is
constant, this called the Right Action because it accord with the
Vow of Amita Buddha”.
‘Jika seseorang memikirkan dan melafalkan nama Amita Buddha,
dan jika ritual ini dilakukan dengan spontan dan terus menerus,
maka ini dikatakan sebagai perbuatan yang benar karena selaras
dengan janji Amita Buddha’.
Setelah Honen meninggal, para pengikutnya melanjutkan dan mengembangkan ajaranajarannya sehingga muncullah sekte-sekte baru, seperti Sekte Benna, Shokku, Shinran, dan Jishu.
Tiga sekte ini meneruskan tentang pentingnya Nembutsu.
Buddhisme Zen
Zen adalah aliran meditasi Buddisme yang berkembang di Jepang. Zen berbeda dengan
aliran Buddhisme lainnya dalam penekanannya terhadap bentuk meditasi tertentu (2008: 590591). Zen mengajarkan bahwa tidak satu orang pun yang dapat diandalkan kecuali diri yang
sejati. Sejatinya, setiap manusia memiliki sifat Buddha dalam diri mereka dan berpotensi untuk
menjadi Buddha. Hanya saja semua itu tersembunyi karena ilusi (2004: 120).

Nichirenshu
Sekte Buddhisme lain yang muncul pada periode Kamakura. Nichiren banyak
memperhatikan berbagai macam ajaran Buddhis, seperti aliran Pure Land, praktek aturan moral,
Zen, dan juga Buddhisme Mikkyo. Ia juga memperdalam Buddhisme di wilayah Nara, gunung
Hiei, dan gunung Koya. Ia memilih Sutra Saddharma Pundarika (Sutra Lotus) sebagai pedoman
ajarannya. Ia menyerukan bahwa kehidupan yang kekal Sang Buddha dapat terungkap dari diri
kita masing-masing. Ia juga menekankan pada pelafalan Mantra yang berbunyi Namu
Myohorenge Kyo.
PERIODE MUROMACHI HINGGA TOKUGAWA
Pada rentan periode ini, agama Buddha mengalami perkembangan yang sangat pesat.
Banyak biarawan Sekte Zen dari wilayah China datang ke Jepang. Pada masa itu juga, banyak
sekali kuil-kuil Sekte Zen dibangun. Salah satunya Kuil Ryuanji. Kuil tersebut dimanfaatkan
sebagai sentra kebudayaan Buddhisme dan tempat pembelajaran ajaran Zen dan Konfusius. Para
biarawan Zen ini juga menulis buku-buku tentang syair dan kesusastraan China klasik. Sekte
lainnya yang berkembang adalah Sekte Shinran dan Sekte Nichirenshu. Ajaran kedua sekte
tersebut menyebar luas dan diterima oleh masyarakat.
PERIODE MEIJI
Pada tahun 1868, pemerintahan Jepang melakukan perubahan besar-besaran, yang mana
perubahan ini disebut dengan Restorasi Meiji. Perubuhan ini terjadi di seluruh lini Jepang. Dari
peraturan negara hingga masalah keagamaan. Saat itu, Jepang mulai membuka diri dengan
negara-negara lain termasuk juga negara-negara Barat. Secara tidak langusng hal ini berdampak
juga dalam masalah keagamaan. Ajaran-ajaran Buddhisme mulai digabungkan dengan
kepercayaan Shinto, seperti Ritual, keyakinan, dan objek sesembahan dibuat menyerupai
inkarnasi dari dewa-dewa Shinto (Kami).
Periode ini juga dikenal dengan istilah Haibutsu Kisashu atau Pembubaran Buddhisme.
Para biarawan yang menjauh dari kehidupan duniawi, harus kembali kepada kehidupan sekuler.
Kuil-kuil Buddha banyak yang dimusnahkan. Pemerintahan pada periode ini juga melarang
adanya pengajaran ajaran Buddhisme di dalam lingkungan sekolah. Ajaran-ajaran dan falsafah
Sang Buddha tergantikan dengan doktrin-doktrin Kristiani dari benua Eropa.
BUDDHISME JEPANG PADA SAAT INI
Setelah adanya Restorasi Meiji, aturan negara tidak mengizinkan lagi adanya pendirian
sekte dan kuil Buddha yang baru. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua usai, terdapat

beberapa perubaha aturan di Jepang. Salah satunya adalah izin untuk mendirikan sekte, agama,
dan kuil (1966: 100). Sayangnya, ajaran-ajaran luhur Buddhisme tidak lagi menjadi sebuah
dasar yang berlaku dalam masyarakat Jepang. Kini Buddhisme bukan sebuah jalan hidup bagi
mereka, tetapi hanya bagian dari budaya yang berakulturasi dengan kepercayaan Shintoisme dan
Kristiani.
KESIMPULAN
Buddhisme mengalami sebuah perjalanan panjang hingga dapat masuk mencapai wilayah
Jepang. Setiba di Jepang pun, ajaran ini awalnya tidak terlalu diterima oleh seluruh kalangan di
Jepang. Terutama kalangan prajurit perang dan juga pemuka kepercayaan Shintoisme. Oleh
karena ajarannya yang luhur dan damai, akhirnya Buddhisme diterima dengan tangan terbuka
oleh masyarakat Jepang. Di sana, Buddhisme aliran Mahayanalah yang tumbuh dan terus
berkembang. Walaupun aliran-aliran tersebut perpihak pada Mahayana, tetapi aliran-aliran
tersebut tetap menggunakan sedikit ajaran dan pemikiran Buddhisme Hinayana. Mereka
dikatakan aliran Mahayana karena mereka, dengan tangan terbuka, menerima bahkan
mengkolaborasikan ajaran-ajaran Sang Buddha dengan kepercayaan setempat seperti Shinto,
Konfusius, ataupun Tao. Di sisi lain, mereka dapat juga disebut Hinayana karena mereka
memilih untuk meninggalkan gemerlapnya kehidupan duniawi.
Saat Restorasi Meiji terjadi, ajaran Buddhisme mengalami kemunduran. Para biarawan
dipaksa untuk meningglkan kehidupan mereka dan menjalani hidup duniawi. Bahkan banyak
hazanah peninggalannya dimusnahkan. Setelah Perang Dunia Kedua berakhir, ajaran Buddhisme
diperbolehkan kembali di Jepang, tetapi kebanyakan penduduk Jepang modern hanya
menganggap ajaran Buddhisme sebagai bagian dari budaya dan bukan menjadi jalan hidup bagi
mereka.

REFERENSI
Braden, Charles Samuel. 1968. The World’s Religions a Short History. New York: Abingdon
Press.
Carmody, Denise L. dan John T. Carmody. 1989. Ways to The Center an Introduction to World
Religions. California: Wadsworth Publishing Company.

Coogan, Michael D. (ed). 2003. The Illustrated Guide to World Religions. United State of
America: Oxford University Press.
Hanayama, Shinsho. 1966. A History of Japanese Buddhism (diterjemahkan oleh Kosho
Yamamoto). Tokyo: Bukkyo Dendo Kyokai.
Irons, Edward A. 2008. Encyclopedia of Buddhism. New York: an Imprint of Infobase
Publishing.
Matsunami, Kodo (ed). 2004. A Guide to Japanese Buddhism. Tokyo: Japan Buddhist
Federation.
Saint-Laurent, George E. 2000. Spirituality and World Religions: Comparative Introduction.
California: Mayfield Publishing Company.
Smith, Huston. 2008. The Religions of Man (diterjemahkan oleh Saafroedin Bahar dengan judul
Agama-agama Manusia). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.