Muslim papua dan muslim pendatang: pertarungan identitas antara ke-indonesia-an dan ke-papua-an | Pamungkas | Jurnal Kawistara 22947 44290 1 SM

KAWISTARA
VOLUME 6

No. 3, 22 Desember 2016

Halaman 225-324

MUSLIM PAPUA DAN MUSLIM PENDATANG
PERTARUNGAN IDENTITAS ANTARA KE-INDONESIA-AN DAN
KE-PAPUA-AN
Cahyo Pamungkas
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
Email: cahyopamungkas_lipi@yahoo.com

ABSTRACT

The term of ‘Muslim Papua’ refers to native people belonging to Melanesian race ―who embrace Islam―
and ‘Migrant Muslim’ refers to migrant lived in Papua ―who embrace Islam. This study focuses on how
Muslim Papua constructed their identity. This study aims to answer the main question on how do
Muslim Papua contest their identity toward Muslim migrants? This study uses qualitative approach
through in-depth interviews, participant observation, and literature studies. Field-study was conducted

in Jayapura, because this city is the centre of political and religious contestation in Papua. To analyze
the indings, this study uses Bourdieu perspective on ield, habitus, and symbolic power. The symbolic
power is deined as a form of power which cannot be recognized from its nature of violence and
coercive. The result of this study shows that Muslim Papua −as represented in the Assembly of Muslim
Papua− contest their political identity against Islamic organizations dominated by Muslim migrants
with constructing their political identity of Papua-ness. Conversely, Muslim migrants construct their
political identity of Indonesia-ness.
Keywords: Contestation of political identity; Muslim migrants; Muslim Papua

ABSTRAK
Istilah Muslim Papua merujuk pada orang asli Papua, anggota kelompok etnik Melanesia yang beragama
Islam. Sedangkan Muslim pendatang merujuk pada pendatang di Papua yang beragama Islam. Studi
ini memfokuskan pada bagaimana orang Muslim Papua mengonstruksikan identitasnya. Paper ini
bertujuan untuk menjawab pertanyaan bagaimana orang Muslim Papua mengontestasikan identitas
mereka dengan orang Muslim pendatang. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
didukung dengan wawancara mendalam, pengamatan terlibat, dan studi literatur. Penelitian lapangan
dilaksanakan di Jayapura, karena kota tersebut merupakan pusat kontestasi politik dan keagamaan di
Papua. Untuk menganalisis temuan-temuan penelitian, studi ini menggunakan perspektif kekuasaan
simbolik Bourdieu, yakni suatu bentuk kekuasaan yang tidak dapat dikenali dari sifat dasar kekerasaan
dan koersifnya. Temuan studi ini menunjukkan bahwa Muslim Papua sebagaiman direpresentasikan

oleh Majelis Muslim Papua mengontestasikan identitas dengan organisasi-organisasi kemasyarakatan
Islam yang didominasi pendatang, dengan mengonstruksi identitas politik ke-Papua-an. Sebaliknya
Ormas-ormas Islam mengonstruksi identitas politik ke-Indonesia-an.
Kata Kunci: Kontestasi identitas politik; Muslim Papua; Muslim pendatang

249

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

PENGANTAR
Tulisan ini menjawab pertanyaan, bagaimanakah Majelis Muslim Papua (MMP)
mengonstruksikan identitasnya dalam ranah
keagamaan Islam di Tanah Papua. Ranah ini
merupakan arena persaingan antara ormasormas Islam dalam melakukan praksispraksis sosial keagamaan dan pendeinisian
pandangan-pandangan ke-Islam-an yang
dianggap absah di Tanah Papua. Ranah
ini ditempati oleh Muslim Papua yang
direpresentasikan oleh MMP dan Muslim
pendatang yang terdiri atas ormas-ormas
Islam. Penanda antara komunitas Muslim

Papua dan Muslim pendatang terletak pada
orientasi keagamaannya. Muslim pendatang
merupakan sekumpulan ormas Islam yang
anggotanya berasal dari suku-suku di luar
Papua dan berorientasi mengembangkan
dakwah Islam, seperti di daerah-daerah
lainnya di Indonesia. Sedangkan Muslim
Papua adalah ormas Islam yang anggotanya
berasal dari orang asli Papua dan orang
non-Papua yang telah lama menetap di
Papua, mereka memiliki orientasi pada pada
perlindungan terhadap budaya orang asli
Papua pada umumnya dan Muslim Papua
pada khususnya.
Baik ranah keagamaan Islam maupun
ranah politik, di Papua membentuk arena
politik identitas. Dikarenakan ranah keagamaan juga terletak dalam ranah politik
yang ditempati oleh para nasionalis Indonesia dan nasionalis Papua, maka kontestasi dalam ranah keagamaan Islam
ini dipengaruhi dan bersesuaian secara
struktural dengan kontestasi dalam ranah

politik tersebut. Hasil penelitian LIPI
(Elisabeth dkk. 2004) dan Kivimaki dan
Thorning (2002) mengatakan bahwa konlik
politik di Papua dapat direpresentasikan
antara kelompok-kelompok pro-NKRI dan
pro-Papua merdeka. Akan tetapi, di antara
kedua kubu tersebut terdapat wilayah abuabu yang ditempati oleh LSM, organisasi
keagamaan, media massa, dan mahasiswa.
Bertolak dari wilayah abu-abu tersebut,
artikel ini mengambil ranah keagamaan
Islam yang ditempati oleh Muslim pen-

250

datang dan Muslim Papua, karena pada
ranah ini Muslim Papua mengontestasikan
identitasnya dengan Muslim pendatang.
Studi ini menggunakan tiga konsep
utama, yakni ranah, habitus, dan pertarungan simbolik. Menurut Bourdieu (1992),
ranah dapat dimaknai sebagai relasi antar

posisi objektif yang diduduki pelaku sosial
berdasarkan kepemilikan kapital yang
dimilikinya, yang memungkinkannya untuk
mendapatkan akses untuk mendapatkan keuntungan dalam ranah. Posisi-posisi dalam
ranah ini ditentukan oleh kepemilikan,
volume, dan bobot relatif kapital yang dimiliki oleh masing-masing pelaku sosial.
Untuk mengetahui posisi-posisi objektif
dalam ranah keagamaan Islam, maka perlu
diketahui komposisi dan jumlah kapital yang
dimiliki oleh MMP dan ormas-ormas Islam.
Kapital menurut Bourdieu (1992) dapat
dibedakan atas kapital ekonomi, kapital
kultural, kapital sosial, dan kapital simbolik.
Habitus merupakan skema berbagai
disposisi yang membentuk sisten klasiikasi
(Bourdieu 1977: 214). Habitus politik ialah
kecenderungan
praksis-praksis
politik
yang ditanamkan dalam diri pelaku sosial

sejak masa lalu baik terkait dengan kecenderungan-kecenderungan yang bersifat
isik maupun pandangan-pandangan politik. Kecenderungan-kecenderungan tersebut melahirkan persepsi dan perilaku sosial
yang merupakan representasi konseptual dari realitas yang dialaminya. Sedangkan pertarungan simbolik adalah pertarungan antara para pelaku sosial yang
menempati posisi dominan dengan marjinal
dalam struktur sosial objektif melalui
wacana (Bourdieu, 1991: 239). Keduanya
memproduksi berbagai wacana yang dapat
memperkuat posisi objektifnya sekaligus
memperlemah posisi pelaku sosial yang lain.
Pada penelitian ini, Muslim Papua mengontestasikan identitasnya dengan Muslim
pendatang dilihat dapat dalam perspektif
pertarungan simbolik antara MMP dengan
ormas-ormas Islam dalam ranah keagamaan
Islam di Tanah Papua.

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an

Artikel ini merupakan hasil penelitian
penulis di Jayapura di tahun 2008 dengan

menggunakan
pendekatan
kualitatif.
Merujuk pada Newman (2003: 16), pendekatan ini dipandang lebih tepat, karena
penelitian ini bertujuan untuk mendeksripsikan proses konstruksi identitas
Muslim Papua yang dikontestasikan dengan
Muslim pendatang. Selain itu, merujuk
pada Creswell (2003), pendekatan kualitatif
dipilih karena penekanan studi ini pada
aspek penggambaran konstruksi identitas
Muslim Papua dibentuk sebagai strategi
untuk mendapatkan pengakuan di Tanah
Papua. Adapun metode pengumpulan data
yang dilakukan adalah wawancara dan studi
literatur di Jayapura dan Jakarta. Informan
yang diwawancarai adalah para pimpinan
organisasi kemasyarakatan Islam. Sedangkan
metode analisis yang digunakan adalah
analisis deskriptif dengan menggunakan
kerangka konsep Bourdieu mengenai habitus,

ield, capital, dan social practices.

PEMBAHASAN
Secara konseptual menurut Bourdieu
(1991), posisi pelaku sosial dalam suatu
ranah, kepemilikan kapital, dan habitus ditentukan oleh sejarah perjalanan dan perkembangan pelaku-pelaku sosial atau
trajectory. Deskripsi berikut menjelaskan
perkembangan ormas-ormas Islam di Tanah
Papua yang dapat dibedakan antara ormas
Islam generasi pertama dan generasi kedua.
Generasi pertama adalah ormas-ormas Islam
yang datang pada masa penentuan pendapat
rakyat 1969 atau sebelumnya, sedangkan
generasi kedua adalah pada masa 1990-an
dan sesudahnya.
Ormas-ormas Islam generasi pertama
di Tanah Papua mencakup Muhammadiyah,
YAPIS (Yayasan Pendidikan Islam di Tanah
Papua), Nahdlatul Ulama (NU), dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI). Muhammadiyah

adalah satu-satunya ormas Islam yang
memiliki catatan tertulis tentang sejarah
masuknya ke Tanah Papua. Menurut catatan
Suwiryadi, kedatangan Muhammadiyah di
Papua berhimpitan dengan kedatangan Islam

di Kabupaten Merauke pada 1906, ketika
pegawai dan tentara KNIL datang di daerah
tersebut. Dalam konfrontasi melawan Belanda di Papua, sejumlah tokoh Muhammadiyah
seperti Alwi Rahman dan Raja Alam Ugar
Sekar dari Kokas bekerja sama dengan
tokoh-tokoh Kristen, seperti Martin Indey
dan Silas Papare. Pada tahun 1960, lahirlah
Gerakan Rakyat Irian Barat di Fak-fak di
bawah pimpinan Gari Reza. Kemudian pada
tahun 1961, berdirilah Kesatuan Islam New
Guinea oleh Ibrahim Bauw, Raja Rumbati
yang juga merupakan tokoh Muhammadiyah
(Suwiryadi 2004). Fak-fak kemudian menjadi
basis perkembangan Muhammadiyah di

Tanah Papua. Keberadaan Muhammadiyah
di Tanah Papua pada masa kolonial selain
mempunyai misi dakwah, juga memiliki
misi kebangsaan yaitu membebaskan Tanah
Papua agar dapat berintegrasi ke Indonesia
(Wawancara Ibrahim Nangasan, 4 Maret
2008).
Setelah Papua berintegrasi dengan
Indonesia, Muhammadiyah di wilayah Papua
secara resmi dibentuk pada 1966, dipimpin
oleh Ismail Bauw. Peranan Muhammadiyah
yang paling menonjol dan menjadi ikon
organisasi ini adalah pendidikan dan sosial.
Menurut catatan Kasibi, YAPIS (Yayasan
Pendidikan Islam) didirikan oleh aktivis
Muhammadiyah yang menjadi Bupati
Merauke pada tahun 1967. Wilayah kerja
yayasan ini berkembang sampai pada tingkat
provinsi pada 1968 dengan didirikannya
YAPIS Provinsi di Jayapura pada 1968 yang

dipimpin oleh Ibrahim Bauw (Suwiryadi
2004).
Berdasarkan observasi terhadap Panti
Asuhan Muhammadiyah Abepura pada 28
Februari 2008, nampak bahwa dari 48 siswasiswi, sebagian besar berasal dari Muslim
Papua yaitu dari wamena, Manokwari, dan
Sorong. Adapun sebagian lainnya berasal
dari kawasan transmigrasi Arso, kabupaten
Kerom. Bahkan, salah seorang penghuni
Panti Asuhan ini, seorang Muslim dari Teluk
Bintuni dan sekarang ini diangkat menjadi
wakil Bupati Teluk Bintuni. Selain itu, salah
seorang pengasuh panti, Muslim Sorong,

251

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

juga merupakan pegawai Pengadilan Agama
Kota Jayapura. Hal ini menunjukkan bahwa
Muhammadiyah telah memulai menyekolahkan anak-anak Muslim Papua walaupun jumlahnya masih sedikit.
Selain Muhammadiyah, Yayasan Pendidikan Islam (YAPIS) bergerak aktif dalam
sektor pendidikan. Berdirinya YAPIS berawal
pada pertemuan para pejabat Pemda Papua
pada tahun 1968, mereka merasa prihatin
dengan minimnya sekolah-sekolah Islam
di Tanah Papua. Pada waktu itu, hampir
semua sekolah dimiliki oleh yayasanyayasan Kristen atau Katolik (Wawancara
Soedarto, 13 Maret 2008; TSPP 2008). Tabloid
Suara Perempuan Papua (TSPP) No. 28
Tahun III, 5-11 Maret 2008 memberitakan
bahwa yayasan-yayasan pendidikan yang
established di Papua sejak masa Belanda
adalah Yayasan Pendidikan Kristen (YPK)
dan Yayasan Pendidikan Persekolahan
Katolik. Para pejabat tersebut kemudian
bersepakat mendirikan YAPIS dengan tidak
mengikatkan diri pada ormas Islam di luar
Papua karena latar belakang mereka berasal
dari berbagai ormas Islam yang berbedabeda. Setelah itu, kecuali Muhammadiyah,
ormas-ormas Islam masuk ke Papua berada
di bawah koordinasi YAPIS.
Pasca 2003, pemberlakukan Otonomi
Khusus Papua berimplikasi pada pengangkatan pejabat-pejabat publik dan pemilihan
pimpinan organisasi kemasyrakatan di Papua
dari orang asli Papua. Pada Musyawarah
YAPIS Pusat 2006, Ketua YAPIS yang berasal
dari suku non-Papua digantikan oleh orang
asli Papua untuk memberikan legitimasi
bahwa YAPIS mengakomodasi aspirasi perlindungan hak-hak dasar orang asli Papua.
Akan tetapi, jika ditelusuri lebih jauh,
fenomena tersebut bersifat simbolik, karena
pemegang kendali birokrasi organisasi tetap
orang dari komunitas non-Papua dan pejabat
Pemda Papua. Tahun 2006, nama Yayasan
Pendidikan Islam diganti menjadi Yayasan
Pendidikan Islam di Tanah Papua untuk
memberi ruang pendirian YAPIS wilayah
di luar Papua, yakni Papua Barat karena
pada tahun 2003 Provinsi Papua dimekarkan

252

menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Papua
Barat.
Nahdlatul Ulama (NU) merupakan
ormas Islam di Papua sejak masa awal
integrasi Papua ke Indonesia. NU masuk ke
Tanah Papua secara resmi pada tahun 1969,
tetapi kader-kader NU secara personal telah
masuk ke Papua tahun 1962 tergabung dalam
sukarelawan pendidikan Trikora (Wawancara
H. Qomari, Sekum PWNU Papua, 4 April
2008). NU sejak 1998 telah mengembangkan
sektor pendidikan di Tanah Papua bersamasama YAPIS sejak 1968. Misalnya tokoh-tokoh
NU secara personal telah mengembangkan
pondok-pondok pesnatren seperti Ponpes
Assai’iyah, Alhidayat. Selain itu, NU memberikan rekomendasi terhadap yayasanyayasan yang ingin mendirikan pondok
pesantren, seperti Dewan Dakwah AlIrsyad. Dewasa ini, NU mengembangkan
lembaga-lembaga dakwah secara berlanjut melalui pelatihan-pelatihan dakwah.
Organisasi ini juga menjalin hubungan baik
dengan suku-suku Muslim di Wamena dan
berdiskusi dengan mereka mengenai metode
mendakwahkan nilai-nilai Islam terhadap
suku-suku asli di Papua.
Salah satu sayap NU yang paling
besar di Tanah Papua adalah GP Anshor.
Organisasi ini secara resmi masuk Tanah
Papua pada tahun 1969. Program-program
kerja yang dilakukan oleh GP Ansor adalah
melakukan
pemberdayaan
masyarakat
warga NU dalam bentuk sunatan massal,
konseling terhadap pemuda, yasinan rutin,
dan penyuluhan anti HIV-AIDS. Selain itu
juga, melakukan konsolidasi cabang-cabang
di setiap kabupaten/kota. Organisasi ini
juga terlibat aktif dalam kegiatan hari-hari
besar agama Islam. Organisasi ini memiliki
misi untuk melindungi dan menjaga para
ulama NU, selain mempertahankan NKRI
(Wawancara Durrosid, 1 April 2008).
Organisasi keislaman yang berdiri
sesudah NU adalah Majelis Ulama Islam
(MUI). Organisasi ini merupakan wadah
musyawarah ormas-ormas Islam yang
didirikan pada 1975. Tujuan formal pendirian
MUI adalah mengawal berjalannya akidah

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an

Islamiyah di tengah-tengah masyarakat sekaligus membicarakan persoalan-persoalan
yang dihadapi oleh ormas-ormas Islam
seperti penentuan awal Ramadhan dan
Syawal (Wawancara DA, MUI Papua, 14
April 2008). MUI mendapatkan pembiayaan
dari APBD setiap tahun antara 300 dan 500
juta rupiah. Menurut MUI, agama Islam
berkembang pesat di Tanah Papua sejak
masa integrasi, sehingga menimbulkan
kekawatiran dari kalangan non-Islam,
karena pemeluk Islam yang sebagian besar
pendatang, diidentikkan sebagai kelompok
yang mendukung NKRI sebagai harga mati.
Ormas-ormas Islam generasi kedua
berdiri di Tanah Papua sesudah tahun
1988, ketika Islam politik diberikan tempat
oleh Pemerintah Orde Baru. Mereka terdiri
dari ICMI, HTI, Hidayatullah, Assalam,
LDII, dan BKPRMI. ICMI masuk ke Papua
pada tahun 1990 dengan membawa misi
dakwah (Wawancara Aroby Aituarauw,
16 April 2008). Peranan ICMI di Tanah
Papua dapat dilihat dari ketua umumnya
yaitu Muhamad Musa’ad, orang Papua
keturunan Arab, mantan Ketua Pusat Kajian
Demokrasi Universitas Cenderawasih yang
terlibat menyusun RUU Otonomi Khusus.
Musaad sekarang ini diangkat menjadi
Kepala Bappeda Papua oleh Gubernur Lukas
Enembe. Tokoh ini seringkali dianggap
sebagai representasi politik Muslim Papua
dan pernah mencalonkan diri menjadi calon
wakil gubernur dalam Pilkada 2006. Akan
tetapi MRP menolak keasliannya sebagai
orang asli Papua. Pada pemilihan ketua
Majelis Muslim Papua (MMP) 2007, Musaad
dikalahkan oleh Aroby Aituarouw, seorang
Muslim Papua dari Kaimana. Pada saat
penelitian lapangan ini dilakukan (2008),
Musaad mendaftar menjadi calon anggota
KPUD Provinsi Papua. Tim Seleksi KPUD
Papua tidak meloloskannya karena Musaad
dianggap menjadi pengurus partai Demokrat
dan menjadi pengurus PKS. Akan tetapi
kedua alasan ini belum terbukti dan kedua
alasan tersebut diduga bersifat politis.
Sedangkan DPD Hizbut Tahrir Indonesia Papua didirikan pada 2004. HTI ber-

pandangan bahwa orang Papua belum
menyadari bahwa akar masalah konlik
Papua adalah kolonialisme internasional
melalui Freeport, tetapi mereka cenderung
hanya menyalahkan Pemerintah Indonesia.
HTI Papua mengusulkan Syariat Islam
sebagai solusi untuk mengatasi masalahmasalah yang timbul di Papua seperti
Miras, HIV/AIDS. Menurut penulis, kedua
pandangan ini menunjukkan bahwa HTI
Papua tidak memahami konteks sosial
politik dan sejarahnya di mana ia berada
(Wawancara ketua DPD HTI Papua, 5 Maret
2008).
Hidayatullah masuk pertama kali
di Papua pada tahun 1988 dan menjadi
mitra Pemerintah dalam mengembangkan
pendidikan umat Islam. Organisasi ini
memiliki 7 cabang di Provinsi Papua dan 5
cabang di Provinsi Papua Barat. Kegiatannya
adalah sekolah dari TK sampai madrasah
aliyah, asrama dan panti asuhan, dan
pengajian-pengajian. Seorang pimpinan DPW
Hidayatullah Papua, mengatakan bahwa
umat Islam Papua merasa dianaktirikan oleh
umat Islam di luar Papua, karena mereka
kurang memberikan perhatian kepada nasib
umat Islam di daerah ini. Juru dakwah yang
dikirim dari Jawa maksimal 6 bulan kemudian kembali karena kehabisan perbekalan jika
ditugaskan di Wamena. Sementara, Muslim
pendatang dirasa menjaga jarak dengan
Muslim Papua. Hal ini dibuktikan bahwa
Muslim pendatang memiliki stereotif negatif
tentang orang Papua sebagai orang bodoh
dan pemalas. Akan tetapi, pengalamannya
(Mualimin) dalam membina orang Wamena
bahwa orang asli Papua kalau dididik dengan
benar ternyata sangat jujur, dan disiplin,
serta mengemban amanah (Wawancara
Mualimin, 6 Maret 2008).
Sedangkan Assalam merupakan lembaga bentukan aktivis-aktivis Partai Keadilan Sejahtera (PKS), alumni Pondok Pesantren Assalam di Jawa. Yayasan Assalam
telah membangun kompleks sekolah terpadu yaitu TK Islam Terpadu, play group,
SD Islam Terpadu, dan kantor sekretariat.
Pemberdayaan kepada Muslim Papua di-

253

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

lakukan melalui pemberian beasiswa kepada
Muslim Wamena untuk belajar di Makasar
dan Jakarta. Sumber dana berasal dari dari
Dompet Sosial Assalam dan juga mendapat
bantuan dari Pemkot Jayapura (Wawancara
Ikhwanul Muslimin, DPW PKS, 6 Maret
2008).
LDII membentuk cabang secara resmi
pada tahun 1990 dan merupakan kelompok
pengajian yang mempelajari Al-Quran
dan Al-Hadist. Mereka terhimpun dalam
kelompok-kelompok kecil yang mengkaji
makna Al Quran dan Al-Hadist secara
mandiri di bawah seorang ustad. Adapun
program-program di tingkat cabang antara
lain adalah pengajian bulanan, pengentasan
kemiskinan, dan kerja sama antar lembaga
keagamaan (Wawancara LA, Ketua LDII
Papua, 9 Maret 2008).
BKPRMI menghimpun remaja-remaja
untuk berorganisasi dan menjadikan masjid
sebagai tempat untuk melakukan pengajian,
diskusi, dan musyawarah di antara mereka
sendiri. Kegiatan utama BKPRMI mencakup
dua hal, yaitu kegiatan pengkajian agama
Islam oleh pemuda dan remaja masjid dan
pelatihan manajemen organisasi pemuda
dan remaja masjid. BKPRMI cabang di
kabupaten atau kota-kota memiliki kegiatan
melakukan pengajian umum yang dihadiri
oleh masyarakat luas. Pengajian akbar ini
bertujuan untuk meningkatkan solidaritas
umat Islam, melakukan konsolidasi tokohtokoh Islam, dan memberikan panggung
kepada tokoh-tokoh Islam untuk memperkenalkan dirinya kepada masyarakat

(Wawancara HS, BKPRMI Papua, 3 April
2008).
Ormas Islam yang berdiri paling akhir
adalah Majelis Muslim Papua (MMP) pada
tahun 2007. Organisasi ini merupakan kelanjutan dari Solidaritas Muslim Papua (SMP)
yang dibentuk oleh 47 tokoh Muslim di
Tanah Papua dari berbagai suku pada 1999.
Merujuk pada pandangan Bourdieu
(1991:223) tentang diskursus identitas sebagai instrumen tindakan melawan deinisi identitas yang dianggap absah, berdirinya Solidaritas Muslim Papua (SMP)
dilakukan sebagai counter discourse terhadap
diskursus tentang identitas ke-Indonesiaan yang dominan dalam ranah politik. Para
pengurus organisasi ini sebagian terlibat
dalam organisasi pergerakan rakyat Papua,
seperti Presidium Dewan Papua dan
Dewan Adat Papua, dan para pengacara
Hak Asasi Manusia yang memperjuangkan
perlindungan terhadap hak-hak dasar orang
asli Papua.

Ranah Keagamaan Islam di Tanah
Papua
Ranah keagamaan Islam di Tanah Papua
diduduki oleh ormas-ormas Islam dan MMP.
Berdasarkan konsep ranah dan habitus
(Bourdieu, 1991), posisi ormas-ormas Islam
dalam ranah keagamaan ditentukan oleh
kepemilikan kapital dan habitus. Gambaran
selengkapnya mengenai komposisi kapital
MMP dan ormas-ormas Islam dapat dilihat
pada tabel berikut.

Tabel 1
Komposisi Kapital Ormas-Ormas Islam dan MMP
Kapital kultural
Relasi sosial
NonObjc. Inst,
Fisik
MUI
Pengakuan sebagai vv
v
MUI pusat,
representasi ormasPemerintah,
ormas Islam
FKAU
Muhammadiyah Pengakuan atas
vv
v
DPP
kerja-kerjanya
Muhammadiyah
dalam pendidikan
Jakarta
Ormas

254

Kapital simbolik

Sumber dana dan
kekayaan
APBD (Rp 300-500
Juta per tahun)/tdk
ada sekretariat
Sumbangan
masyarakat/
poliklinik, SDperguruan tinggi, tdk
ada sekretariat

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an

Lanjutan tabel 1

Ormas
NU

ICMI

YAPIS

Kapital simbolik
Pengakuan atas
sifat-sifatnya yang
moderat
Pengakuan atas
jasa-jasa Musa’ad
dalam negosiasi
Otsus
Pengakuan atas
kerja-kerjanya
dalam pendidikan

Kapital kultural
Relasi sosial
NonObjc. Inst,
Fisik
v
DPP NU Jakarta,
MUI Papua
-

vv

vv

-

vv

vv

Hidayatullah

-

-

v

v

Hizbut Tahrir

-

-

v

v

Assalam

-

-

vv

vv

LDII

-

-

v

v

BKPRMI

-

-

v

v

MMP

Pengakuan sebagai v
orang Papua asli

v

vv

Sumber: data wawancara diolah penulis.
Keterangan:
v = rendah,
Inst = kapital budaya yang didapat dari pendidikan



Non-isik = penguasaan bahasa-bahasa Papua.

Secara ekonomi, ormas-ormas Islam
yang dikatakan memiliki sumber dana dari
APBD dalam jumlah yang relatif cukup
adalah MUI dan YAPIS karena MUI adalah
wadah musyawarah ormas Islam yang diakui pemerintah, sementara sekolah-sekolah
YAPIS ditujukan untuk seluruh siswa-siswa
dari kalangan orang Papua asli. Sementara,
MMP masih dalam proses dimasukkan ke
APBD. Sebagai catatan, dalam muktamar
2007, MMP mendapatkan dana non-APBD
dari Pemerintah Provinsi Papua sebesar
Rp 750 juta. Muhammadiyah memiliki
banyak poliklinik, pantai asuhan, SD sampai
perguruan tinggi terutama di Jayapura,

Sumber dana dan
kekayaan
Sumbangan
masyarakat/tdk ada
sekretariat
Sumbangan
masyarakat/ada
sekretariat

DPP ICMI
Jakarta,
MUI Papua,
Pemerintah Pusat
Pemprov Papua, APBD (Rp 1 M/th)/
MUI Papua
SD sampai SLTA
di seluruh Papua,
perguruan tinggi
MUI Papua, DPP Sumbangan
Hidayatullah
masyarakat/SD di
Balikpapan
beberapa tempat/ada
sekretariat
DPP HTI Jakarta, Sumbangan
HT Internasional masyarakat
DPP PKS Jakarta, Dompet Assalam/SD
DPW PKS Papua di beberapa tempat/
ada sekretariat
DPP LDII Jakarta, Sumbangan
DPW Partai
masyarakat/ada
Golkar Papua
sekretariat
DPP BKPRMI
Sumbangan
Jakarta
masyarakat/tidak
ada sekretariat
Gereja, MRP,
Sedang diusahakan
DPRP, Gubernur masuk APBD/ada
sekretariat

vv = sedang,
Objc = kapital kultural berupa benda-benda budaya

Manokwari, dan Merauke. Sementara,
ICMI dikenal sering mendapatkan proyekproyek pemberdayaan masyarakat dari
Pemerintah Pusat dan memiliki sekretariat
tetap yang permanen di LPTQ (Lembaga
Pengembangan Tilawatil Quran) Kotaraja.
Dilihat dari segi kapital ekonomi, ormasormas Islam yang signiikan adalah MUI,
YAPIS, Muhammadiyah, dan ICMI.
Sedangkan jika dilihat dari aspek kapital
sosial, maka hampir semua ormas-ormas
Islam memiliki jaringan sosial di Jakarta. Pada
konteks ini, MMP dan YAPIS mengandalkan
jaringannya pada institusi-institusi di Tanah
Papua. Sementara kegiatan bersama antar

255

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

ormas-ormas Islam yang dikoordinasikan
di bawah MUI Papua lebih terkait dengan
perayaan-perayaan
keagamaan.
Relasi
sosial MMP lebih banyak dengan gereja dan
organisasi-organisasi perjuangan rakyat
Papua seperti Dewan Adat Papua (DAP)
dan Presidium Dewan Papua (PDP). Dari
segi relasi sosialnya, MMP menunjukkan
orientasi pergaulannya dengan Kristen
Papua daripada Muslim pendatang.
Kapital kultural dapat dilihat dari aspek
pendidikan, benda-benda budaya, dan
bahasa. Dari pendidikan anggota-anggotanya, maka Muhammadiyah, ICMI, Assalam,
dan YAPIS kebanyakan diploma/sarjana.
Oleh karena itu kebanyakan dari mereka
berasal dari kelas menengah, maka bendabenda budaya seperti kaligrai banyak di
rumah-rumah mereka. Sementara, anggotaanggota ormas-ormas Islam lain kebanyakan
berpendidikan diploma/sarjana ke bawah,
karena masyarakat transmigran atau buruh.
Sedangkan anggota komunitas masyarakat
adat Muslim (MMP) berpendidikan sekolah
menengah ke bawah. Dengan demikian,
kapital kultural Muhammadiyah, ICMI,
Assalam, dan YAPIS relatif lebih tinggi dari
ormas-ormas yang lain.
Akan tetapi, berdasarkan kepemilikan kapital simbolik, hanya MMP, Muhammadiyah, YAPIS, NU, MUI, dan ICMI yang
signiikan. MMP dianggap representasi
Muslim Papua, sedangkan Muhammadiyah
dan YAPIS diakui kerja-kerjanya dalam mendidik orang Papua. NU diakui oleh kalangan
Muslim Papua karena ajaran-ajaranya yang
sesuai dengan budaya orang asli Papua.

Sementara itu, ICMI diakui karena peranan
ketuanya, Musaad sebagai seorang aktor
yang berjasa dalam memperjuangkan Otsus.
Berdasarkan kepemilikan keempat jenis
kapital ini, maka dalam ranah keagamaan
Islam, Muhammadiyah, NU, YAPIS, MUI,
dan ICMI berada dalam posisi dominan,
sedangkan MMP dalam posisi subordinat.
Selain kapital, ranah juga berhubungan
dengan habitus. Habitus ormas-ormas Islam
dapat dilihat dari praksis-praksis sosial
keagamaan ormas-ormas Islam dan MMP
pada ranah keagamaan Islam di Tanah
Papua. Jika dilihat dari habitus politiknya,
MUI, Muhammadiyah, NU, ICMI, dan YAPIS
memiliki banyak persamaan yakni, kurang
kritis dan pro-NKRI. Praksis ormas-ormas
Islam dalam ranah keagamaan Islam ini
seperti pendidikan, pengembangan koperasi,
dakwah menjelaskan visi NKRI, memakai
simbol-simbol islam, dipengaruhi oleh habitus politiknya yang pro-NKRI, kepemilikan
kapitalnya (kapital sosial, kapital ekonomi,
kapital kultural, dan kapital simbolik),
dan kepentingan untuk mempertahankan
konsepsi NKRI dan ranah keagamaan Islam
yang menempatkan kedudukan mereka
pada posisi yang dominan. Praksis-praksis
sosial keagamaan yang dipilih oleh ormasormas Islam ditentukan oleh habitus politik
mereka, yakni pro-NKRI, yang dikondisikan
oleh ranah keagamaan Islam. Dikarenakan
ranah keagamaan Islam berada di dalam
ranah politik ini, maka ranah politik yang
lebih luas ikut mempengaruhi pembentukan
habitus
dalam
praksis-praksis
sosial
keagamaan ormas-ormas Islam.

Tabel 2
Habitus politik ormas-ormas Islam
Ormas

Praksis sosial keagamaan
MUI
Pengawalan akidah umat Islam,
wadah musyawarah ormasormas Islam dalam persoalan
keagamaan.
Muhammadiyah Pendidikan dari TK sampai
perguruan tinggi, panti asuhan,
dakwah, dan rumah sakit.

256

Habitus
Pro-NKRI, Islam
moderat

Makna
Menjaga integrasi
nasional

Pro-NKRI, Islam
modernis

Memajukan pendidikan
dan wawasan
kebangsaan umat Islam

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an
Lanjutan tabel 2

Ormas
NU

ICMI

YAPIS

MMP

Praksis sosial keagamaan
Mengembangkan pendidikan,
pondok pesantren, dan
pengajian.
Pengkajian isu-isu lokal,
pemberdayaan umat,
pengembangan koperasi
Pendidikan dari TK sampai
perguruan tinggi di hampir
seluruh Papua, memakai bajubaju Islami.
Advokasi HAM rakyat Papua
sejak tahun 1999, aktif dalam
DAP dan PDP.

Habitus
Pro-NKRI, Islam
moderat

Makna
Menjaga Integrasi
nasional

Pro-NKRI, Islam
Pemberdayaan umat
modernis, dan politis Islam dan integrasi
nasional
Pro-NKRI, Islam
Membangun wawasan
modernis.
kebangsaan

Kritis, Pro-Papua
Tanah Damai, antikekerasan

Menjaga Papua tanah
damai

Sumber: data wawancara (diolah penulis)

Habitus politik tersebut dimaknai dalam
pemahaman yang sama, yaitu berakar pada
konsepsi politik NKRI dan menjaga integrasi
nasional. Jika YAPIS dan Muhammadiyah
memaknai habitusnya politiknya sebagai
pengembangan wawasan kebangsaan melalui pendidikan, maka NU dan MUI lebih
mengembangkan integrasi nasional sebagai
identitas politik. Sedangkan ICMI lebih
memaknai habitus politiknya dalam konteks
pemberdayaan umat Islam di Papua.
Habitus yang berbeda adalah MMP,
yaitu kritis, pro-Papua Tanah Damai, dan
anti-kekerasan. Hal tersebut dimaknai
sebagai upaya mewujudkan Papua sebagai
tanah damai. Praksis MMP seperti advokasi
HAM dan keterlibatan aktivis-aktivis MMP
dalam Presidium Dewan Papua (PDP) dan
Dewan Adat Papua (DAP) dipengaruhi
oleh habitus politik yang anti kekerasan
dan kritis, dan juga oleh ranah politik yang
menempatkan MMP pada posisi marjinal.
Sebagaimana posisi Kristen Papua yang
memperjuangkan identitas politik ke-Papuaan. Posisi marjinal ini dapat dilihat menurut
aspek modalitasnya di mana MMP relatif
kalah baik secara volume maupun bobot
relatif kapitalnya. Kapital simbolik MMP
yakni pengakuan sebagai orang Papua tidak
dapat digunakan dalam kontestasi dalam
ranah keagamaan Islam ini.
Perbedaan habitus politik antara ormasormas Islam dan MMP ini dapat dipahami
mengingat perbedaan konteks sosial politik

dan posisi-posisi objektifnya dalam ranah
politik yang ditempati oleh para nasionalis
Indonesia dan nasionalis Papua. Konteks
sejarah yang melatarbelakangi ormas-ormas
Islam ini berbeda-beda. Misalnya pendirian
ICMI memiliki latar belakang politik
akomodasi Negara terhadap sekelompok
elit Muslim pada 1990-an, sedangkan
pembentukan MUI merupakan hasil politik
korporatisme negara pada 1975. Sedangkan
ormas-ormas Islam generasi pertama memiliki konteks politik persiapan Penentuan
Pendapat Rakyat Papua (Peppera) 1969 yang
merupakan proses politik integrasi Papua ke
NKRI. Sementara konteks berdirinya MMP
ialah kebangkitan rakyat Papua menuntut
kemerdekaannya pada tahun 1998.
Merujuk pada Bourdieu (1991) tentang
konsepsi identitas sebagai performative
discourse, maka wacana-wacana yang dikonstruksi oleh MMP dan ormas-ormas
Islam menggambarkan konstruksi identitas
MMP dan ormas-ormas Islam dalam ranah
keagamaan Islam. Wacana yang dimunculkan dalam ranah keagamaan Islam ini
dapat dibedakan menjadi wacana dakwah
dan wacana politik di mana keduanya
merupakan arena konstruksi identitas politik
ke-Indonesia-an dan ke-Papua-an. Konstruksi
wacana politik dan dakwah ini muncul dari
praksis-praksis sosial keagamaan ormasormas Islam.
Salah satu cara untuk menjelaskan
kontestasi wacana ke-Islam-an dalam stra257

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

tegi kehidupan beragama adalah pengucapan Selamat Natal kepada pemeluk
agama Kristen. Penafsiran yang dominan
dalam komunitas Muslim melarang pengucapan Selamat Natal karena secara tidak
langsung mengakui eksistensi Tuhan di luar
Islam. Oleh karena itu, kebanyakan umat
dan ormas-ormas Islam tidak pernah mengucapkan Selamat Natal kepada umat Kristen
di Tanah Papua. MUI, ketika dipimpin
oleh Buya Hamka pada tahun 1974, telah
mengeluarkan larangan kepada ormas Islam
untuk memberikan ucapan Selamat Natal,
karena mengucapkannya sama dengan
memperingati hari kelahiran Tuhan.
Hampir semua ormas-ormas Islam
baik ormas-ormas Islam generasi pertama
maupun kedua mematuhi larangan ini. Akan
tetapi, MMP memiliki prinsip yang berbeda
bahwa mengucapkan Selamat Natal kepada
umat Kristiani dapat dibenarkan sebagai
sebuah ekspresi kebudayaan yang telah
menjadi tradisi orang Papua baik Muslim
maupun Kristen. Tindakan MMP memasang
spanduk yang mengucapkan Selamat Natal
pada 25 Desember 2008 adalah salah satu
strategi memunculkan wacana ke-Islam-an
MMP adalah bagian yang tidak terpisahkan
dari budaya orang Papua. Juga untuk
membedakan wacana ke-Islam-an Muslim
Papua dengan Muslim pendatang.
Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
semua Muslim pendatang tidak mengucapkan
Selamat Natal kepada umat Kristiani. Salah
satu perbedaan antara ormas-ormas Islam
generasi pertama dengan generasi kedua
di Tanah Papua adalah bahwa penafsiran
terhadap ajaran Islam ormas-ormas Islam
generasi pertama lebih moderat. Pimpinan
ormas-ormas Islam generasi pertama, seperti
Muhammadiyah, YAPIS, NU, dan MUI ikut
mengucapkan Selamat Natal secara pribadi
tidak dilarang dalam konteks menjaga
hubungan baik dan persahabatan dengan
umat Kristiani. Sementara itu, ormas-ormas
Islam generasi kedua menolak pandangan
ini karena mengucapkan Selamat Natal dianggap menggadaikan akidah.

258

Jika dilihat dari isi wacana ke-Islamaan, hampir semua ormas-ormas Islam pada
dasarnya bertolak pada pandangan Alquran
tentang Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin
dan tidak terkotak-kotak oleh etnisitas.
Tetapi penerjemahan rahmatan lil ’alamin
ini berbeda-beda dalam praksis masingmasing ormas Islam. NU mengusung
Islam rahmatan lil ‘alamin sebagai Islam
moderat dan berakulturasi dengan budaya
lokal. NU memberikan pemahaman-pemahaman tentang Islam yang moderat
agar Islam selalu mengagendakan dialog
dan memahami perbedaan, serta tidak memahami teks-teks Alquran secara literal. NU
juga tidak mengembangkan pemahaman
terhadap Islam yang liberal, Berbeda dengan
NU, Muhammadiyah berusaha untuk
mengasimilasi budaya Papua.
Berbeda dengan ormas-ormas Islam
pendatang, MMP dengan tegas menyatakan
bahwa Islam harus menjadi rahmatan lil
Papua. MMP memaknai Islam rahmatan lil
alamin sebagai rahmatan lil Papua. Hal ini
dapat dimaknai bahwa Islam di Papua akan
menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta,
jika Islam dapat menjadi rahmat terlebih bagi
orang Papua. Prinsip ini bukan berarti bahwa
MMP menciptakan ke-Islam-an yang bersifat
etnisitas, tetapi Muslim Papua mencoba
untuk meletakkan Islam dalam konteks yaitu
masyarakat Papua.
Perbedaan terhadap wacana ke-Islaman antara ormas-ormas Islam dan MMP
juga berimplikasi terhadap perbedaan
strategi gerakan keagamaan. Walaupun
terdapat
perbedaan-perbedaan
dalam
menafsirkan Islam sebagai rahmatan lil
’alamin, Muhammadiyah, NU, ICMI,
YAPIS, dan ormas-ormas Islam lainnya
lebih menerjemahkan nilai Islam rahmatan
lil ’alamin melalui melalui praksis-praksis
dakwah konvensional, pendidikan, dan
sosial. Dakwah konvensional berupa
ceramah-ceramah
keagamaan
maupun
ibadah Jumat. Sedangkan aspek pendidikan
dilakukan dengan membangun sekolahsekolah Islam dan pondok pesantren. Aspek

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an

sosial dilakukan dengan membangun panti
asuhan dan poliklinik.
MMP menerjemahkan Islam rahmatan
lil Papua lebih kepada gerakan-gerakan
pemberdayaan Muslim Papua baik secara
sosial maupun politik. Hal ini dapat dilihat
pada praksis-praksis individual pengurus
pusat MMP yang lebih concern terhadap
advokasi pelanggaran HAM.
Aspek lain dari kontestasi adalah berkaitan dengan penafsiran terhadap Syariat
Islam. Menurut Qomari, berbeda dengan
Hizbut Tahrir, NU adalah gerakan kultural
dalam menegakkan Syariat Islam di
masyarakat melalui berbagai sektor seperti GP
Anshor, Fatayat, Muslimat, dll. (Wawancara
4 April 2008). Demikian juga dengan ormasormas Islam generasi pertama lainnya,
seperti Muhammadiyah. Hal ini berbeda
dengan Syariat Islam yang diperjuangkan
oleh ormas-ormas Islam seperti HT, karena
hanya bersifat simbolik dan kampanye
politik. Sementara itu, kehadiran MMP tidak
bertujuan untuk melakukan Islamisasi, tetapi
lebih memperjuangkan perdamaian dan
pemenuhan hak-hak dasar Muslim Papua.
Ormas-ormas Islam memunculkan
diskursus Islam rahmatan lil ’alamin yang
dimaknai universal, yang menekankan praksisnya pada pendidikan, kesejahteraan, dan
pembangunan sosial ekonomi. Perbedaan
pemahaman antara Islam yang rahmatan lil
‘alamin dan Islam yang rahmatan lil Papua
ini bersesuaian dengan posisi-posisi objektif
antara ormas-ormas Islam dan MMP.
Jika MMP dianggap representasi Muslim
Papua dan ormas-ormas Islam merupakan
representasi Muslim pendatang, maka
perbedaan pemahaman ini terjadi antara
Muslim Papua dan Muslim pendatang. Jika
dikaitkan dengan relasi dominasi dalam
ranah politik antara para nasionalis Indonesia
dengan nasionalis Papua, maka kontestasi
wacana ini dapat dilihat sebagai representasi
antara identitas politik ke-Indonesia-an dan
ke-Papua-an.
Sebagaimana agen-agen politik profesional dalam ranah politik, dalam perspektif
Bourdieu (1991), ormas-ormas Islam dan MMP

memproduksi wacana politik sesuai dengan
posisi mereka dalam ranah keagamaan Islam.
Berikut ini dideskripsikan wacana-wacana
politik yang dikonstruksi ormas-ormas
Islam dan MMP. Suwiryadi menjelaskan
bahwa tujuan Muhammadiyah mencakup
dua hal sebagai berikut (Wawancara 4 Maret
2008): memajukan bangsa Indonesia yang
beragama Islam melalui pendidikan dengan
mengembangkan sekolah-sekolah modern
dan gerakan kepanduan, mengembangkan
dakwah kultural dengan memanfaatkan
budaya lokal, yaitu melalui asimiliasi
budaya-budaya lokal atau Islamisasi kultur.
Selain itu menurutnya, Muhammadiyah
tidak berurusan dengan politik praktis, tetapi
lebih pada high politics atau high leadership.
Sedangkan visi YAPIS, membentuk
masyarakat yang cerdas berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 (Yapis, 2006). YAPIS
mengembangkan dan bersendikan atas
wawasan kebangsaan dan nasionalisme
Indonesia. YAPIS mengemban amanah
untuk menjaga keutuhan NKRI, tetapi
YAPIS memahami adanya tuntutan-tuntutan terhadap kemerdekaan oleh orang Papua
(Wawancara Prof Soedharto, 18 Februari
2008). Salah satu Pembantu Rektor Universitas Yapis, memberikan komentar berkaitan dengan isu pelanggaran HAM yang
selalu dikemukakan oleh gereja seperti ditulis
oleh Yoman (2008) dan Giay (2000). Pihaknya
berpendapat bahwa Pemerintah harus melakukan sosialisasi terhadap perlindungan
HAM di Papua (Wawancara AB, Uniyap,
9 April 2008). Sedangkan pimpinan YAPIS
lainnya mengatakan bahwa Islam YAPIS
adalah konsepsi Islam ke-Indonesiaan atau
Islam yang berfungsi menjadi pemersatu
Indonesia, sehingga YAPIS tidak setuju
dengan gerakan-gerakan pro-kemerdekaan
di Tanah Papua (Wawancara 18 Februari
2008).
Sementara itu garis perjuangan NU
adalah mempertahankan NKRI karena NKRI
bagi NU adalah harga mati. Menurutnya,
NKRI adalah sama dengan Negara Madinah.
Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah,
beliau berunding dengan pimpinan umat

259

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

Nasrani dan Yahudi untuk membentuk
pemerintahan melalui Piagam Madinah.
NKRI diibaratkan seperti Negara Madinah
di mana para ulama yaitu tokoh-tokoh Islam
berunding dengan tokoh-tokoh lain untuk
membentuk negara dengan dasar Pancasila
dan UUD 1945. Jadi Indonesia juga harus
dipahami sebagai hasil kesepakatan ulama
yang harus dipertahankan oleh warga NU
(Wawancara H Qomari, 4 April 2008).
Sekretaris MUI (DA) mendeskripsikan
pendapatnya tentang persoalan di Tanah
Papua, merespon opini publik yang dibuat
pimpinan gereja, sebagai berikut (Wawancara
1 Maret 20008). Pertama, kedatangan TNI
di Tanah Papua tidak selamanya negatif,
peran TNI harus dihargai sebagai penjaga
keamanan di wilayah perbatasan termasuk
memberikan pelayanan kepada warga
masyarakat. Kedua, kedatangan pendatang
juga tidak selamanya buruk karena memiliki
kontribusi pada pembangunan di Papua.
Ketiga, NKRI adalah harga mati, sehingga
agenda-agenda masyarakat Papua harus
berpegang teguh pada keutuhan NKRI.
Pandangan ini menunjukkan bahwa MUI
berada dalam satu garis politik dengan
Pemerintah Pusat dan menjadikan MUI
sebagai instrumen Pemerintah Pusat di
Papua daripada pembinaan akidah umat
Islam.
Mantan Ketua MUI 1993-2000, menjelaskan bahwa separatisme adalah bom
waktu yang bisa meledak, dan ini dikarenakan para pendeta, termasuk mantan
Ketua MRP Agus Alua, menyebutkan bahwa
status politik Papua ke dalam NKRI belum
sah (Wawancara KHM, MUI, 3 April 2008).
Menurutnya, sebagian pendeta dan pejabat
pemerintahan masih mewarisi pendidikan
Belanda, termasuk keinginan untuk merdeka.
Pandangan mantan ketua dan Sekum MUI
ini secara tidak langsung memperkuat
konstruksi sosial dominan bahwa Islam
identik dengan NKRI, dan kepentingan MUI
ialah kepentingan Pemerintah. Bahkan, salah
seorang pimpinan Presidium Dewan Papua
mencurigai bahwa datangnya ormas-ormas
Islam generasi kedua merupakan bagian dari

260

skenario militer untuk menekan pengaruh
gerakan Papua merdeka melalui jalur agama
dan pendatang (Wawancara dengan PDP,
14 Maret 2008). Jika dilihat dari wacana
politiknya, maka ormas-ormas Islam yang
direpresentasikan MUI, Muhammadiyah,
NU, YAPIS, dan ICMI berorientasi pada
upaya mempertahankan NKRI. Temuan
ini juga disampaikan oleh Farhadian (2001)
yang mengatakan bahwa ormas-ormas
Islam dianggap orang asli Papua melakukan
Islamisasi dan mendukung integrasi Papua
dalam Indonesia.
Hal ini memunculkan pemaknaan
bahwa politik ormas-ormas Islam yang
merupakan representasi Muslim pendatang
adalah politik negara. Dengan demikian,
dalam ranah keagamaan Islam ini, sebagaimana terjadi pada ranah politik yang lebih
luas di Papua, ormas-ormas Islam tidak
mempersoalkan status politik Papua, sejarah
Papua, dan identitas politik orang Papua.
Mereka berpegangan pada hasil Pepera 1969
yang menunjukkan bahwa rakyat Papua
pro-NKRI dan telah disahkan oleh Majelis
Umum PBB pada tanggal 19 November
1969 di mana 84 negara mendukung dan 30
negara tidak bersikap (Soebandrio, 2000).
Sebagai implikasinya, ada kedekatan antara
orientasi politik ormas-ormas Islam dengan
Pemerintah Pusat untuk mempertahankan
integrasi nasional. Pada ranah keagamaan
Islam ini, Muslim pendatang menempati
posisi dominan atas Muslim Papua karena
wacananya mendukung wacana dominan
yang dianggap legitimate oleh kekuasaan
yaitu NKRI sebagai harga mati atau identitas
politik ke-Indonesia-an.
Sementara itu, wacana politik MMP
ialah mempertahankan Papua sebagai
”tanah damai,” yang secara terminologi
dekat dengan orientasi politik orang Papua
terutama kalangan LSM dan gereja. Sebagai
konsekuensinya, MMP tidak berurusan
dengan orientasi Merdeka atau NKRI,
tetapi MMP memusatkan perhatiannya
pada upaya menegakkan keadilan dalam
konteks mewujudkan Papua sebagai
tanah damai (Wawancara dengan PDP,

Cahyo Pamungkas -- Muslim Papua dan Muslim Pendatang:
Pertarungan Identitas Antara Ke-Indonesia-an dan Ke-Papua-an

14 Maret 2008). Tetapi jika ditelusuri lebih
jauh, wacana Papua tanah damai telah
menempatkan MMP di antara nasionalis
Indonesia dan nasionalis Papua. Pemerintah
dan TNI seringkali memasukkan kelompokkelompok yang berada di tengah ini sebagai
pendukung Papua merdeka (Elisabeth dkk.
2004). Jika dilihat dalam ranah politik yang
diduduki oleh nasionalis Indonesia dan
nasionalis Papua, maka wacana politik MMP
ini merepresentasikan identitas politik kePapua-an.
Identitas politik ke-Indonesia-an pada
dasarnya adalah eufemisasi yang digunakan
untuk menutupi kepentingan kekuasaan
yakni mempertahankan integrasi nasional
secara politik. Dengan kata lain, identitas
ini menjadi kekuasaan simbolik baik dalam
keagamaan Islam maupun ranah politik di
Tanah Papua. Selanjutnya identitas dominan
ini menentukan posisi-posisi objektif
ormas-ormas Islam dan MMP dalam ranah
keagamaan Islam. Ormas-ormas Islam yang
mendukung identitas dominan ini akan
menempati posisi dominan, sedangkan MMP
yang tidak mendukung identitas dominan
ini akan berada pada posisi subordinat.
Relasi-relasi objektif dalam ranah ini akan
mengkondisikan habitus ormas-ormas Islam
dan MMP. Sementara habitus mereka akan
mengklasiikasikan ranah keagamaan Islam.
Relasi dialektis habitus politik dan ranah
keagamaan Islam ini akan mereproduksi
praksis-praksis sosial keagamaan ormasormas Islam dan MMP.

Persepsi Ormas-Ormas Islam
terhadap MMP
Mantan Ketua Umum DPW Muhammadiyah, Ibrahim Nangasan, berpendapat
bahwa MMP hanyalah milik sekelompok
orang yang tidak bisa mengatasnamakan
umat Islam se-Papua (Wawancara 4 Maret,
2008). Menurutnya, berdirinya MMP diharapkan menjadi alat pemersatu umat,
tetapi jika MMP gagal justru akan menjadi
alat pemecah umat. Ketakutan ormasormas Islam adalah jika MMP terlibat
dalam gerakan kemerdekaan Papua dengan

mengatasnamakan umat Islam. Sedangkan
pandangan pengurus YAPIS terhadap MMP
beranekaragam. Salah satu pimpinan YAPIS
mengatakan bahwa MMP adalah komunitas
Islam yang pro-merdeka karena banyak
terdapat jaringan politik Presidium Dewan
Papua di dalamnya (Wawancara dengan
MS, Sekum Yapis, 18 Februari 2008). Tetapi
tokoh YAPIS lainnya menyambut gembira
dengan lahirnya MMP dan berharap MMP
lebih banyak berperan dalam membangun
pendidikan orang Papua, sehingga mampu
mengangkat harkat dan martabat orang
Papua (Wawancara dengan Prof Soedarto,
Dewan Pembina YAPIS, 13 Maret 2008).
NU mendorong warga NU non-struktural untuk menjadi pengurus MMP, karena
tujuan dan visi-misi MMP adalah sama
dengan visi dan misi NU yaitu menciptakan
Islam yang rahmatan lil ’alamin bagi seluruh
rakyat Papua. Kepentingan utama NU
dalam MMP adalah menjaga agar organisasi
ini tidak menjadi alat bagi kelompok promerdeka di dalam MMP. Klaim MMP sebagai
satu-satunya representasi masyarakat adat
Muslim tidak dapat diterima karena kebanyakan Muslim pendatang sudah merasa
menjadi orang Papua.
Sementara itu, MUI mengatakan bahwa
terminologi Muslim Papua mencakup
pemeluk agama Islam yang berada di Tanah
Papua baik orang asli maupun pendatang
(Wawancara dengan DA, MUI, 14 April
2008). Tetapi secara politis, Muslim Papua
adalah masyarakat adat Muslim Papua dari 7
wilayah adat yang direpresentasikan MMP.
Menurutnya, MMP adalah ormas Islam yang
bergerak sebagai gerakan politik Muslim
Papua. Menurut pengurus MUI, Kritik
MMP terhadap ormas-ormas Islam yang
kurang memberdayakan Muslim Papua
adalah kurang tepat, karena mulai terjadi
proses Papuanisasi di ormas-ormas Islam.
Misalnya MUI dipimpin oleh orang Fak-fak,
Wakil Islam dalam Majelis Rakyat Papua
merupakan orang Kaimana.
Sedangkan Ketua Umum ICMI Papua,
Musa’ad, menjelaskan bahwa strategi
Muslim Papua untuk mendapat pengakuan

261

Kawistara, Vol. 6, No. 3, 22 Desember 2016: 249-264

dilakukan melalui empat cara yaitu MMP,
MRP, ormas-ormas Islam, dan individuindividu. Menurutnya, MMP merupakan
harapan dari umat Islam di Tanah Papua
mengingat ormas-ormas yang ada belum
optimal untuk memberdayakan Muslim
Papua (Wawancara 19 Februari 2008). Akan
tetapi hingga sekarang, belum ada kerjakerja yang nampak ditunjukkan oleh MMP.
Ormas-ormas Islam generasi kedua juga
memiliki perspektif terhadap MMP yang
hampir sama, antara harapan-harapan
terhadap MMP sebagai payung ormas Islam
dan ketakutan-ketakutan terhadap MMP
sebagai gerakan politik.
Perbedaan
wacana
ke-Islam-an,
wacana politik, dan strategi keagamaan
antara ormas-ormas Islam dengan MMP
berimplikasi pada adanya kecurigaan dari
sejumlah ormas Islam bahwa MMP akan
dijadikan kendaraan politik kelompok
Muslim yang pro-Merdeka. Perbedaan tersebut merepresentasikan perbedaan identitas politik dan orientasi politik antara
ormas-ormas Islam dan MMP. Masalah
orientasi politik, dalam perspektif ormasormas Islam, bersifat sensitif, karena terkait
dengan keberadaan umat Islam di Tanah
Papua yang selama menjadi representasi
ke-Indonesia-an di Papua. Tetapi menurut
MMP, sebagaimana dijelaskan oleh Anum
Siregar, bahwa ormas-ormas Islam di Papua
ikut berperan dalam memelihara konstruksi
bahwa Islam identik dengan pendatang
dan Indonesia karena orientasi politik dan
identitas politiknya yang mendukung politik
negara (Wawancara 19 Februari 2008).
Adanya ormas Islam yang berada di luar
orientasi politik ini akan dianggap memecah
belah umat Islam secara politik. Fenomena
ini seperti ini dijelaskan oleh Georg Simmel
(1993: 144) sebagai posisi “stranger” dalam
suatu kelompok sosial, yaitu suatu elemen
dari kelompok sosial yang berada pada
posisi marjinal dalam kelompok tersebut
di mana keberadaannya disukai sekaligus
dibenci oleh elemen mayoritas dalam
kelompok sosial tersebut. MMP menempati
posisi stranger dalam komunitas umat Islam

262

di Tanah Papua, karena MMP dicurigai oleh
ormas-ormas Islam memiliki orientasi politik
yang berbeda dan pada saat yang sama, MMP
dibutuhkan untuk menggantikan peran
MUI. Akan tetapi, ormas-ormas Islam juga
memiliki pandangan yang positif terhadap
MMP karena MMP adalah harapan umat
Islam di Tanah Papua dan MMP diharapkan
menggantikan posisi MUI sebagai payung
ormas-ormas Islam.

SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dapat disimpulkan bahwa Muslim Papua, sebagaimana direpresentasikan oleh Majelis Muslim
Papua (MMP) telah mengonstruksikan identitasnya dalam ranah keagamaan Islam di
Tanah Papua melalui dua cara. Pertama,
mengonstruksi diskursus Islam Rahmatan lil
Papua untuk meng-counter diskursus Islam
rahmatan lil Alamin. Kedua, ikut berpartisipasi
dalam upaya-upaya memperjuangkan hakhak dasar orang Papua terutama HAM
orang asli Papua. Ketiga, mengorientasikan
perjuangannya dalam kerangka mewujudkan
Papua sebagai tanah damai.
Jika dilihat dari perspektif teori tindakan
Bourdieu (1977), MMP dalam posisinya yang
marjinal dalam ranah keagamaan Islam
mengontestasikan
identitasnya
dengan
Muslim pendatang yang direpresentasikan
ormas-ormas Islam melalui konstruksi identitas politik ke-Papua-an sebagai counter
discourse terhadap identitas politik keIndonesia-an. Pada ranah keagamaan Islam
ini, ormas-ormas Islam telah menciptakan
social boundaries dengan Muslim Papua.
Akan tetapi, pada ranah politik yang lebih
luas, ormas-ormas Islam menciptakan
social boundaries dengan Muslim Papua dan
Kristen Papua melalui praksis-praksis dan
wacananya yang mendukung identitas
politik yang dianggap sah (ke-Indonesia-an).
Menurut Bourdieu (1995), diskursus
dimaknai performative discourse atau diskursus
sebagai tindakan. Ketika seorang pelaku
sosial mengembangkan sebuah diskursus
dengan bahasa tertentu, maka ia sedang
melakukan tindakan yang terkait dengan

Cahyo Pamun