Muslim Nuu War in Papua Indonesia

Muslim Nuu Waar: (un)Common Identity Reconstruction in
Papua, Indonesia
Baiq L.S.W.Wardhani
Department of International Relations
Faculty of Social and Political Science
Universitas Airlangga, Surabaya
(email: baiq.wardhani@fsip.unair.ac.id)
Abstract
Islam is well known as an important unifying as well as separating
factor in Southeast Asia as can be seen in various discourse about
state and society. Diferent from generally termed as Asian ethnicity,
Papua is predominatly Melanesian, and yet, Papuan plural society has
been unknown. Papuan identity has been reconstructed for years for
political purposes. As a result, within the context of Indonesian
identity, many Papuans regard themselves as ‘others’ vis a vis the rest
of Indonesians. Having a sense of separate identity is one of big
challenges for creating Indonesian civic nationalism for more than
ffty years as many Papuans believe they have no commonality with
fellow Indonesians and Asians. It is true that, as Melanesian stock,
Papuans are physically look difer from fellow Indonesian Muslims.
Muslim Nuu Waar in Papua, is a minority of minority who struggle for

recognition of their identity. This paper examines how their struggle
to achieve recognition by observing their attitude over the issue of
separatism, a longstanding unpopular issue in the relationship
between Jakarta and Papua.

Keywords: Papua, Islam, separatism, identity

1

Pendahuluan
Tulisan ini merupakan studi awal untuk memuaskan keingintahuan
penulis mengenai rekonstruksi identitas Papua, khususnya yang
berkaitan dengan Islam. Tujuan awal penulisan ini adalah untuk
mengemukakan beberapa fakta mengenai identitas ke-Papua-an orang
Papua melalui dimensi agama, khususnya Islam dan bagaimana
penggunaan agama sebagai simbolisasi identitas. Dimensi Islam
menjadi penting dalam rangka pencarian identitas dan pengakuan
orang Papua dalam konstruksi identitas mereka dalam ke-Indonesiaan
dan persoalan global. Data-data yang dikemukakan di tulisan ini
seluruhnya diperoleh dari bahan-bahan pustaka. Tidak terdapat data

primer karena belum dilakukan studi lapangan (field reesearehd) oleh
penulis. Sekalipun tidak seluruhnya, tulisan yang memuat tentang
Islam di Papua sebagian besar adalah tulisan non-akademis, seperti
laporan perjalanan, blog, majalah online maupun laman-laman lain
yang memuat hal tersebut. Banyaknya tulisan yang mengulas tentang
Islam di Papua menjadi salah satu bukti bahwa Islam bukanlah agama
baru di sana, sekali pun Islam merupakan agama minoritas.
Papua merupakan bagian paling timur dari Indonesia, kadang-kadang
disebut sebagai Papua Barat atau Irian Jaya. 1 Daerah ini memiliki
sejarah panjang yang menyangkut konfik antara Jakarta dan
Organisasi Papua Merdeka (OPM). Kekayaan alamnya menarik minat
industri tambang asal Amerika Serikat, Freeport McMoran membuka
operasi di Papua sejak tahun 1960-an. Cara-cara Freeport menambang
sumber daya di tanah Papua menimbulkan banyak masalah, mulai dari
kerusakan alam, pelanggaran hak asasi manusia, dan meningkatnya
tuntutan kemerdekaan dari kelompok separatis. Berbagai masalah di
Papua, terutama yang berkaitan dengan konfik berkepanjangan yang
terjadi antara Jakarta, OPM dan faksi-faksinya dan konfik horisontal
lainnya memperlambat pengembangan sumber daya manusia di
Papua.

Siapakah yang dimaksud orang Papua?
Fakta bahwa Islam bukanlah merupakan agama yang baru hadir di
Papua hampir tidak pernah diungkap secara terbuka. Identitas Papua
pada umumnya didefnisikan dalam kaitannya dengan agama dan ciriciri fsik. Namun pada dasarnya pembentukan identitas Papua
dikonstruksikan melalui beberapa cara. Pertama, identitas Papua
1

Setelah bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia Indonesia,
wilayah ini dikenal sebagai Provinsi Irian Barat sejak tahun 1969 hingga 1973.
Ketika meresmikan beroperasinya Freeport, Presiden Suharto mengganti nama Irian
Barat menjadi Irian Jaya. Sesuai UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Papua, namanya berganti lagi menjadi Papua. Pada tahun 2003, Papua dibagi
menjadi dua provinsi: bagian timur tetap memakai nama Papua sedangkan bagian
barat menjadi Provinsi Papua Bareat. Tulisan ini menggunakan istilahPapua untuk
menyebut penduduk Papua dan bumi Papua tanpa membedakan provinsi.

1

dibangun melalui kaca mata politis. Sejak Papua diintegrasikan
dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia melalui Act of Free

Choice tahun 1969, secara absah Papua memasuki kontrak sosialnya
dengan Indonesia dan dengan sendirinya menjadi bagian tak
terpisahkan dari Indonesia. Berbeda dengan wilayah-wilayah lain di
Indonesia, penggabungan Papua dilakukan melalui proses ‘voting’
yang rawan gugatan karena beberapa fhak masih mempermasalahkan
hasil dari Act of Free Choice.
Kedua, identitas Papua dibangun melalui pendekatan sosio-kultural.
Secara rasial, masyarakat Papua tidak berasal dari ras yang sama
dengan masyarakat Indonesia lainnya yang mayoritas Melayu karena
mereka termasuk dalam ras Melanesia, yang menempati sebuah pulau
di bagian paling timur dari wilayah geografs Indonesia. Secara
ideologi, sebagian besar orang Papua beragama Nasrani. Identitas
sosio-kultural ini menjadi stigma yang melekat sebagai pembeda
antara orang-orang Papua dengan orang-orang Indonesia lainnya.
Identitas sosio-kultural lain yang melekat pada rakyat Papua adalah
pemakaian koteka dan kehidupan yang masih dianggap primitif.
Kondisi ini lebih disebabkan karena faktor isolasi geografs beberapa
wilayah pedalaman Papua sehingga masih terdapat rakyat dengan
penampilan demikian. Sulitnya akses/keterjangkauan masuk ke
wilayah-wilayah tersebut juga berpengaruh pada tidak berubahnya

cara hidup dan berbusana rakyat setempat.
Konstruksi identitas yang demikian berimplikasi pada stigmatisasi
bahwa orang Papua adalah mereka yang berasal dari pulau Papua,
berpenampilan fsik Melanesia, beragama Nasrani, bergaya hidup
‘terbelakang’, dan masih mempermasalahkan keberadaannya dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia. Rekonstruksi identitas Papua
yang demikian mengalami beberapa perkembangan penting yang
merupakan proses panjang politik identitas Papua.
Islam di Papua
Islam adalah agama yang tidak lazim dianut oleh penduduk asli Papua.
Sebagai agama minoritas, perkembangan Islam di Papua tidaklah
sepesat perkembangan Nasrani, terutama dalam hal jumlah
penganutnya. Tidak mudah diperoleh data untuk mengetahui berapa
jumlah pemeluk Islam di Papua. Sebagian besar data diberikan oleh
sejumlah media massa. Contohnya, tulisan Mohammad Ali Athwa di
majalah Hidayatullah (2012) mengemukakan bahwa terdapat sekitar
900 penganut Islam dari 2,5 juta penduduk Papua dan terdapat dua
kabupaten yang dipimpin oleh pejabat Muslim yakni di Fak-Fak dan di
Kaimana. Menurut catatan sejarah, Islam lebih dahulu hadir daripada
Nasrani di bumi Papua. Islam telah dikenal pada tahun 1520 di tempat

yang kemudian dikenal dengan sebutan Pulau Raja Ampat; sementara
Kristen baru masuk pada tahun 1855 di Pulau Mansinam, Manokwari
(Warta
2010,
Hidayatullah.com
dalam

1

http://kristolog.blogspot.com/2009/05/islam-di-papua-fenomenamempesona.html)
Salah satu penyebab tidak pesatnya perkembangan Islam di Papua
karena Belanda menggunakan isu Islamisasi untuk mencegah orang
Papua bersimpati pada Indonesia dengan menakut-nakuti rakyat
Papua bahwa pemerintah Indonesia akan memaksa mereka untuk
memeluk Islam (Warta 2010). Propaganda Belanda ini tdak pernah
terbukti. Bahkan kehadiran Islam di Papua tidak pernah melalui
paksaan karena Islam telah ada terlebih dahulu daripada Nasrani.
Terdapat dua penjelasan dalam isu Islamisasi dan Kristenisasi di
Papua. Pertama, beberapa catatan perjalanan yang ditulis untuk
menelusuri masuknya Islam ke Papua, mengungkap bahwa terjadi

“Kristenisasi” secara masif di tanah yang pada mulanya berpenduduk
Islam. Kristenisasi Papua, sebenarnya merupakan buah dari politik
anti-komunis dan proses modernisasi Rezim Orde Baru yang berjalan
simultan. Politik anti-komunis mengharuskan warga negara Indonesia
memeluk satu agama tertentu. (Warta 2010). Pada saat yang
bersamaan, ideologi developmentalisme mengharuskan Presiden
Suharto menghilangkan kesan ‘primitif’ dan ‘terbelakang’ yang
sebagian besar masih menjadi stigma di Papua (Timmer 2000, 33).
Karenanya, Presiden Suharto menyambut baik uluran tangan para
misionaris yang bersedia membangun infrastruktur di Papua. Kedua,
bertolak belakang dengan isu Kristenisasi, terdapat anggapan akan
adanya isu Islamisasi secara sistematis di Papua. Upaya ini dilakukan
bersamaan dengan misi modernisasi dan menguatnya orientasi
keislaman Suharto pada beberapa dekade berikutnya. Dengan
demikian faktor Islamisasi turut memperkuat bahasan penting tentang
rekonstruksi identitas Papua.
Menurut data tahun 2004 dari Biro Pusat Statistik Papua, sebelum
Papua dibagi menjadi dua provinsi, terdapat 23,1% penduduk Papua
beragama Islam (ICG 2008, 13). Faktor utama dalam isu Islamisasi
adalah imigrasi yang berdampak pada berubahnya demograf di

Papua. Terdapat dua bentuk migrasi, yaitu migrasi yang disponsori
oleh pemerintah dan migrasi tanpa sponsor/suka rela. Rezim Orde
Baru menyebut perpindahan penduduk ini dengan istilah transmigrasi
yang bertujuan untuk mengurangi kepadatan penduduk di Pulau Jawa
ke beberapa pulau yang berpenduduk sedikit, seperti Pulau Irian Jaya.
Sekalipun tanah penduduk asli tanah Papua adalah orang-orang Papua
ras Melanesia, para imigran dari berbagai pulau di Indonesia
memadati bumi Papua. Sebagian imigran berasal dari proyek nasional
‘transmigrasi’, sebagian lagi merupakan transmigran suka rela, yang
dilaksanakan secara besar-besaran pada masa rezim Orde Baru.
Proyek ini secara psikologis berdampak pada perasaaan alienasi dan
marjinalisasi penduduk Papua, sehingga proyek transmigrasi sering
disebut dengan “Jawanisasi” dan “Islamisasi”, sehingga seolah-olah
terdapat skenario terselubung untuk mengubah Irian Jaya menjadi

1

“Irian Jawa”. Tidak dapat dipungkiri bahwa transmigrasi membawa
dampak penting bagi berkembangpesatnya Islam di Papua, sekali pun
transmigrasi tidaklah semata-mata merupakan proyek Islamisasi yang

di-skenario-kan. Wilayah-wilayah seperti Entrop dan Sentani yang
sebelumnya tidak terjamah oleh Islam menjadi tempat penting bagi
perkembangan Islam di Papua.
Beberapa tempat di Papua yang biasanya dihuni muslim di antaranya
adalah Pulau Biak dan Fak Fak, yang pada masa pendudukan Belanda
dikenal sebagai pusat perdagangan penting dan memiliki hubungan
erat dengan kesultanan Islam di Ternate, Kepulauan Maluku.
Sekalipun populasinya sudah berkurang, Fak Fak merupakan satusatunya kota yang terdapat penduduk keturunan Arab dan India
Muslim, keturunan dari para pedagang yang membawa Islam ke
Papua pada pertengahan abad 19 yang lalu (Noor 2010, 6).
Pada perkembangan berikutnya, Islam merupakan salah satu agama
yang mulai banyak dianut oleh masyarakat Papua. Sebagian muslim
merupakan mereka yang secara turun temurun memeluk Islam,
sebagian lagi merupakan kelompok yang beralih agama menjadi
Islam. Tidak dapat disangkal bahwa salah satu efek transmigrasi
adalah bertambahnya jumlah penduduk muslim di Papua, yang
sebagian darinya merupakan mereka yang melakukan konversi
menjadi pemeluk Islam. Bertambahnya jumlah penduduk Islam diikuti
oleh bertambahnya jumlah sekolah dan pusat-pusat pelayanan
kesehatan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat

pendatang. Sekali pun demikian, perkembangan kegiatan sosialkemasyarakatan ini tidak disertai dengan pesatnya jumlah pemilih
Islam maupun simpatisan partai-partai Islam (Noor 2012, 8).
Berkembangnya Islam di Papua ditunjukkan dengan sejumlah
organisasi keagamaan dan sosial yang bernafaskan Islam. Salah satu
organisasi yang aktif dalam mengembangkan dakwah di Papua adalah
Al-Fatih Kaafah Nusantara (AFKN) yang dipimpin oleh Ustadz
Fadzlan Garamatan2. Tidak mengherankan jika banyak organisasi
massa Islam dan lembaga dakwah seperti NU, Muhammadiyah,
Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Hidayatullah, Al-Khairat,
Jamaah Tabligh, HTI, dan Salaf dapat ditemui di tanah di Papua
(Athwa, Hidayatullah.com, 2012). Lembaga lain yang bergerak dengan
warna Islam adalah Yapis (Yayasan Pendidikan Islam), dan Islamic
Centre. Secara simbolis masyarakat muslim Papua diwakili oleh
Majelis Muslim Papua (MMP). Di tengah-tengah panduduk mayoritas
Ustadz Fadzlan Garamatan menyebut tanah Papua dengan sebutan Jazirah Nuu
Waar. Ustadz Garamatan mendapatkan anugerah penghargaan Tokoh Perubahan
Versi Republika 2010. Ustadz Fadzlan dinilai sebagai tokoh penggerak yang berhasil
melakukan perubahan masyarakat Nuuwar
(http://www.voa-islam.com/news/upclose/2011/04/02/13982/,
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/03/31/lixhtp-malam-ini-tokohperubahan-republika-2010-dinobatkan

2

1

yang non-Islam, kegiatan dakwah di Papua nampak sangat mencolok.
Gerakan Jamaah Tabligh (Tabligdi Jama’at), misalnya, mulai
mengunjungi Jayapura untuk pertama kalinya pada tahun 1988
melalui Ternate. Cara-cara damai yang dilakukan oleh Jamaah Tabligh
menuai simpati dari penduduk lokal, bahkan telah memiliki markas di
lima tempat, yaitu di Entrop, Jayapura, Manokwari, Sorong dan
Merauke. Simpati yang ditunjukkan oleh penduduk lokal ternyata
tidak berbanding lurus dengan upaya para relawan Jamaah Tabligh
untuk membuat banyak penduduk lokal Papua untuk melakukan
konversi ke Islam. Terdapat faktor-faktor sosial, kultural dan topograf
yang membuat perjuangan Jamaah Tabligh tidak terlalu berhasil (Noor
2012). Namun kisah tidak terlalu sukses Jamaah Tabligh tidak bisa
dijadikan ukuran bagi berhentinya kegiatan Islam di Papua.
Konstruksi Identitas dan Pengakuan
Tidak seperti para pendakwah Jamaah Tabligh, misionaris Kristen
berhasil dengan gemilang mengkonversi penduduk Papua menjadi
pemeluk Nasrani. Warta (2010,1) menjelaskan, “Due to their longer
presence in West Papua, Protestant missionaries turned out to be the
most successful in terms of conversion rates”. Pada dasarnya,
keberhasilan dan ketidakberuntungan dalam penyebaran agama
berjalan bersamaan dengan konstruksi identitas di Papua. Hal ini
telah lama berlangsung, yakni sejak masa pendudukan Belanda hingga
masa Orde Baru, bahkan hingga kini. Seperti telah dikemukana
sebelumnya, kerapkali Islam dijadikan sebagai cara untuk menakutnakuti oleh Belanda untuk menanamkan perasaan pro-Belanda dan
anti-merdeka pada masa tahun 1950-1960an di kalangan penduduk
lokal. Dalam perkembangan selanjutnya, agama menjadi isu sentral
dalam perkembangan politik di Papua.
Signifkansi agama sebagai sebagai simbolisasi pengukuhan identitas
semakin nampak dalam beberapa peristiwa beberapa dekade terakhir.
Bukan saja ketegangan agama antara Kristen dan Islam yang menjadi
lebih nyata, namun juga beberapa perkembangan seperti peningkatan
pemukim Muslim, munculnya penginjil radikal, pemanfaatan agama
oleh mendukung pemisahan diri dan isu masuknya jaringan terorisme
menekankan pentingnya lanskap keagamaan di Papua.
Berkaitan dengan isu rivalitas Islam-Kristen, terdapat beberapa hal
yang perlu diamati, khususnya yang menyangkut persoalan keinginan
beberapa kelompok di Papua untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Sebelum sampai pada kaitan identitas agama dan pemisahan diri,
perlu diperhatikan batasan tentang siapa yang dimaksud dengan
Papua Muslim dan Papua Nasrani. Yang dimaksud Papua Muslim
adalah masyarakat adat Papua yang memeluk Islam, sedangkan Papua
Nasrani adalah masyarakat adat Papua yang memeluk Protestan dan
Katolik. Kelompok pertama adalah kelompok terbesar di Papua,
sementara kelompok pertama hanya sebagian kecil saja. Kelompok

1

pertama, yaitu Papua Muslim yang berasal dari masyarakat adat inilah
yang disebut Muslim Nuu Ware.3 Batasan masyarakat adat didasarkan
pada Undang-Undang Otonomi Khusus no. 21 tahun 2001, yang
menyatakan bahwa “Masyarakat Adat adalah warga masyarakat asli
Papua yang hidup dalam wilayah dan terikat serta tunduk kepada adat
tertentu dengan rasa solidaritas yang tinggi di antara para
anggotanya” (Undang-undang Republik Indonesia nomor 21 tahun
2001 mengenai Otonomi Khusus Provinsi Papua, bab I butir p, 2001).
Dalam kaitan ini masyarakat adat adalah mereka yang biasa disebut
dengan indigenous people. Merujuk istilah ini, muslim pendatang
tidak termasuk dalam kategori muslim Nuu War.
Terdapat beberapa catatan penting berkaitan dengan konstruksi
identitas yang menyangkut polarisasi Islam-Kristen. Pertama, terdapat
stigma bahwa polarisasi keagamaan berdampak pada polarisasi
identitas politik dan dukungan pada isu pemisahan diri Papua dari
Indonesia. Anggapan yang kuat selama ini adalah, mereka yang
beragama Nasrani cenderung berfhak, atau bersimpati pada
kelompok yang menginginkan pemisahan diri, sekali pun mereka tidak
selalu berafliasi pada Gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM)
sebagai motor penggerak separasi. Sebaliknya, masyarakat penganut
Islam cenderung memberi dukungan kepada keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Artinya, formasi identitas
nasionalisme berkaitan langsung dengan identitas religi. Pernyataan
ini masih merupakan asumsi yang perlu dibuktikan melalui penelitian
lebih mendalam. Terdapat hasil penelitian yang menyatakan bahwa
pada dasarnya masyarakat adat yang memeluk Islam dan Nasrani
tidak mempersoalkan batas-batas agama karena mereka lebih
mementingkan ikatan kultural dan kinsdip sebagai sesama keturunan
Melanesia (Pamungkas 2011, 138). Seperti yang terjadi di hampir
semua masyarakar Melanesia, ikatan kinship sangat berpengaruh
pada cara berfkir dan bertindak mereka dan keterikatan dalam
kinship dapat menjadi penentu dalam mengambil keputusan. Laporan
ICG (2008, 17) menyebutkan bahwa sikap transmigran muslim lebih
jelas terhadap gerakan pro-kemerdekaan, yaitu dengan tidak
mendukungnya. Bagi para pendatang, mendukung gerakan prokemerdekaan merupakan awal penderitaan mereka. Wawancara yang
dilakukan oleh ICG melaporkan bahwa,

Istilah Nuu War merupakan nama yang diberikan oleh Ustadz Fadzlan Garamatan
untuk menyebut tanah Papua, yang dinamainya dengan “Jazirah Nuu War” (Athwa
2012). Menurut sebuah media, Nama Nuu Waar (berarti cahaya yang menyimpan
rahasia alam), sudah dikenal sejak syiar Islan pada masa kejayaan Samudera Pasai,
Raden Fatah pada abad 13 M, Aru Palaka sampai Sultan Tidore pada abad 15 M
dengan wilayah Kesultanan dan kekuasaan melalui perdagangan sampai ke Nuu
Waar. Nama Nuu Waar berubah menjadi Papua dan sejak 1214 M. (http://www.voaislam.com/news/indonesiana/2012/11/12/21621/jangan-sebut-lagi-muslim-papua-tapinuu-waar/. Diakses 19/2/2013;
3

1

Banyak pendatang Muslim yang melihat pisah dari Indonesia
sebagai aspirasi warga Papua Kristen, terlebih karena atribut
Kristen seperti salib, kutipan Injil dan lagu-lagu rohani sering
dipakai dalam demonstrasi pro-independen. Muslim semakin yakin
bahwa jika Papua memperoleh kemerdekaannya, maka mereka
akan menderita.

Lebih jauh, laporan ICG (2008, 17) menyebutkan bahwa penduduk
muslim Papua, baik
pendatang maupun penduduk asli, seperti
persepsi muslim di Kaimana dan Fak Fak yang merupakan penduduk
muslim terbanyak di Papua, meyakini bahwa gerakan pro-independen
dimotori oleh orang orang Nasrani. Terdapat fenomena yang menarik
pula bahwa, muslim Nuu War Papua dalam beberapa hal ingin diakui
cara mereka berfkir sama dengan orang Indonesia pada umumnya
(ICG 2008, 20). Keinginan untuk diakui ini merupakan refeksi dari
perasaan ter-alienasi, atau setidaknya, perasaan sebagai minoritas di
Papua. Kuatnya peran gereja sebagai lembaga yang berperan sentral
dan dihormati, menumbuhkan kekhawatiran bahwa gereja berfhak
kepada gerakan pro-independen. Belajar dari kasus berhasilnya Timor
Timur berpisah dari Indonesia karena gereja terlibat dalam secara
intensif dalam menentang peristiwa-peristiwa pelanggaran hak azasi
manusia, gereja di Papua juga menjalankan fungsi serupa. Tidak saja
berperan sebagai lembaga agama, gereja juga menjadi simbol kehesi
sosial dan afliasi kultural dan reperesentasi identitas politik. Kuatnya
peran gereja semakin memperkuat polarisasi antara pemeluk Nasrani
dan Islam sehingga menimbulkan kecurigaan bahwa pemeluk Nasrani
identik dengan gerakan pro-independen yang memiliki pendirian
politik yang bertolak belakang dengan pemeluk Islam (Stott, 2011).
Kedua, beberapa penelitian menunjukkan bahwa transmigrasi
berdampak mempertajam batas-batas etnis sehingga memperkuat
keinginan penduduk lokal untuk memisahkan diri dari Indonesia. Rod
McGibbon (2004) menyatakan bahwa telah terjadi “de-Papuanisasi”
sebagai akibat perubahan demograf dan sosial ekonomi. Proses ini
merupakan pendorong utama bagi menajamnya batas-batas etnis.
Menurutnya, percepatan pembangunan di Papua mengakibatkan
marginalisasi penduduk lokal sehingga terjadi “economic dislocation,
growing pressure on resources, environmental, degradation, and,
above all, a sense of being overwhelmed by the infux of migrants”.
Hal ini merupakan konsekuensi negatif yang tidak diperhitungkan
oleh Jakarta tentang kebijakan integrasi dan modernisasi Papua, yang
ternyata tidak saja memicu konfik antara pendatang dengan
penduduk lokal namun juga antarsesama penduduk lokal. McGibbon
menyatakan, “If rapid socioeconomic change was accompanied by
ethnic tensions between Papuans and non-Papuans, it also sharpened
divisions among Papuans themselves” (McGibbon 2004, 31).
Perubahan demograf dapat menjadi ancaman bagi masyarakat lokal
yang memperkuat kemungkinan terjadinya benturan kepentingan di
antara masyarakat di wilayah tersebut.

1

Ketiga, jika ikatan kultural dan kinsdip lebih penting dan ikatan
kinship berada di atas identitas agama, maka identitas agama
seharusnya dapat berperan sebagai jembatan/mediasi bagi konfik
pemisahan diri. Peran mediasi ini menjadi penting untuk
mengaburkan stigmatisasi bahwa orang Papua adalah separatis,
stigmatisasi sebagai akibat politisasi agama/rasial dan sisa-sisa politik
adu domba di masa kolonial yang berdampak negatif bagi hubungan
antaragama-antarras antara Muslim Nuu War dengan kelompokkelompok lain di bumi Papua. Dengan kata lain, ke-Papua-an orang
Papua tidak tergantung dari agama yang dianutnya, dan nasionalisme
Papua juga tidak selalu relevan dikaitkan dengan agama mereka.
Konfik dan ketegangan antaragama seperti pada thun 2007 dengan
kasus konser penggalangan dana dan pendirian menara pohon natal
yang penuh kontroversi, merupakan dinamika yang pengelolaan
konfiknya dapat menghasilkan rasa saling menghormati dalam
hubungan antaragama.
Dalam konteks yang lebih luas, dikotomi Islam-Nasrani di Papua dapat
terjebak ke dalam isu radikalisme, ekstremisme dan terorisme yang
mengatasnamakan Islam. Tidak menutup kemungkinan terjadi
transformasi isu dari identitas menjadi isu keamanan. Kecenderungan
ini dapat terjadi jika perdebatan tentang hubungan antaragama
berkembang menjadi konfik yang tidak terkendali sehingga konfik
komunal dan konfik pemisahan diri yang masih berlangsung tidak
dengan mudah dapat ditunggangi oleh isu ekstremisme agama dan
terorisme. Jika hal ini benar, dapat terjadi komplikasi antara isu
identitas-nasionalisme dengan isu ekstremisme-terorisme yang
beradan di ranah kemananan non-tradisional. Singkat kata, telah
terjadi transformasi dan perluasan isu identitas menjadi isu kemanan
dalam membincangkan persoalan konstruksi identitas Papua.
Kesimpulan
Tulisan ini merupakan studi awal untuk mengetahui Muslim Nuu War
di Papua yang merupakan minoritas di bumi Papua, dikaitkan dengan
sikap mereka terhadap penerimaan nilai-nilai kebangsaan Indonesia.
Di satu fhak, berkembangnya Islam di “tanah perdamaian” mendapat
simpati dari masyarakat lokal. Konfik dan ketegangan antarpemeluk
agama yang terjadi di beberapa tempat menggambarkan dinamika
hubungan antaragama dan antarras yang sejauh ini dapat dikelola. Di
fhak lain, konstruksi identitas terjadi antara muslim Nuu War dengan
Nasrani Papua mencerminkan sikap penerimaan dan penolakan atas
nilai-nilai ke-Indonesiaan.
Sampai dengan saat tulisan ini dibuat, jumlah penganut Islam tidak
banyak dan muslim Nuu war masih menjadi minoritas. Yang menjadi
persoalan bukanlah posisi minoritas mereka per se, namun posisi
tersebut dengan mudah dapat dieksploitasi menjadi persoalan yang

1

lebih luas, yaitu keamanan. Identitas Nuu War seolah-olah menjadi
identitas pembatas yang memisahkan mereka dari masyarakat Papua
pada umumnya. Dengan kata lain, kohesivitas Papua yang didasari
pada ikatan kekerabatan tidak lagi menjadi perekat akibat kuatnya
konstruksi identitas berbasis agama. Konstruksi demikian secara
sistematis menajamkan garis-garis etnis yang rawan diintervensi oleh
isu-isu identitas lain yang berdimensi keamanan, seperti radikalisme,
ekstremisme dan terorisme berbasis agama.
Hubungan antaragama selalu menjadi isu sensitif yang mudah
dieksploitasi. Dalam konteks ke-Indonesiaan, masalah pemisahan diri
masih menjadi faktor yang memicu konfik antara Jakarta dengan
beberapa kelompok di Papua yang ingin merdeka. Stigmatisasi bahwa
Papua identik dengan separatisme masih kuat di kalangan masyarakat
Indonesia sehingga menimbulkan banyak ditorsi tentang identitas
Papua. Di lain fhak, sebagai gerakan yang mencari simpati dan
dukungan, gerakan separatis dengan mudah dapat bekerjasama
dengan gerakan-gerakan radikal dan teroris. Jika isu ekstremisme
agama dan terorisme berkembang menjadi isu dominan di Papua,
masalah tersebut akan mengundang perhatian internasional dan
memungkinkan terjadinya pemecahbelahan oleh kekuatan asing.

1

Bahan bacaan
Athwa, Mohammad Ali. 2012. Eksotisme dan Geliat Dakwah di Papua.
http://www.hidayatullah.com/read/23148/15/06/2012/eksotisme-dangeliat-dakwah-di-papua-.html. akses 17/2/2013
Desastian. 2012. Jangan Sebut Lagi Kuslim Papua tapi Muslim Nuu
Waar.
http://www.voa-islam.com/news/indonesiana/2012/11/12/21621/j
angan-sebut-lagi-muslim-papua-tapi-nuu-waar/. Diakses
19/2/2013;
Internatonal Crisis Group (ICG). 2008. Ketegangan Antaragama di
Papua. Asia Report no. 154, Juni 2008.
Islam di Papua, Fenomena Mempesona. 12 Mei 2009.
http://kristolog.blogspot.com/2009/05/islam-di-papua-fenomenamempesona.html. Akses 15/8/2013
Malam Ini, Tokoh Perubahan Republika 2010 Dinobatkan, 31 Maret
2011.
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/03/31/lixhtpmalam-ini-tokoh-perubahan-republika-2010-dinobatkan
McGibbon, Rodd. 2004. Plureal Sohiety in Pereil: Migreation, Ehonomih
Cdange, and tde Papua Confiht. Washington DC, East West Centre
Washington.
Noor, Farish A. 2010. Tde Arereival and Spreead of tde Tabligdi Jama’at
in West Papua (Ireian Jaya), Indonesia. RSIS Working Paper no. 191.
Singapore, RSIS.
Pamungkas, Cahyo. 2011. Muslim Papua and Special Autonomy:
Research Summary. Jourenal of Indonesian Sohial Shienhes and
Humanities , Vol. 4, 2011, pp. 133-155.
Stott, David Adam. 2011. Would An Independent West Papua Be A
Failing State? The Asia-Pacifc Journal Vol 9, Issue 37 No 1,
Septembere 12, 2011.
http://www.japanfocus.org/-David_Adam-Stott/3597. Diakses
17/2/2013
Timmer, J. 2000. The Return of the Kingdom: Agama and the
Millennium among the Imyan of Irian Jaya, Indonesia. Etdnodistorey,
47: I pp. 29-65

1

Undang-Undang Republik Indonesia nomor 21 tahun 2001 mengenai
otonomi Khusus bagi Provinsi Papua, 2001.
Ustadz Sabun Mandi Itu Raih Anugerah Tokoh Perubahan Republika,
2 April 2011
http://www.voa-islam.com/news/upclose/2011/04/02/13982/
Warta, Christian 2010. Not to Be Neglehted: Tde Religious Landshape
in West Papua. Oxford Transitional Justice Working Paper Series.

1

Dokumen yang terkait

Analisis Komparasi Internet Financial Local Government Reporting Pada Website Resmi Kabupaten dan Kota di Jawa Timur The Comparison Analysis of Internet Financial Local Government Reporting on Official Website of Regency and City in East Java

19 819 7

Analisis komparatif rasio finansial ditinjau dari aturan depkop dengan standar akuntansi Indonesia pada laporan keuanagn tahun 1999 pusat koperasi pegawai

15 355 84

ANALISIS SISTEM PENGENDALIAN INTERN DALAM PROSES PEMBERIAN KREDIT USAHA RAKYAT (KUR) (StudiKasusPada PT. Bank Rakyat Indonesia Unit Oro-Oro Dowo Malang)

160 705 25

Representasi Nasionalisme Melalui Karya Fotografi (Analisis Semiotik pada Buku "Ketika Indonesia Dipertanyakan")

53 338 50

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Diskriminasi Perempuan Muslim dalam Implementasi Civil Right Act 1964 di Amerika Serikat

3 55 15

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Improving the Eighth Year Students' Tense Achievement and Active Participation by Giving Positive Reinforcement at SMPN 1 Silo in the 2013/2014 Academic Year

7 202 3

Analisis pengaruh modal inti, dana pihak ketiga (DPK), suku bunga SBI, nilai tukar rupiah (KURS) dan infalnsi terhadap pembiayaan yang disalurkan : studi kasus Bank Muamalat Indonesia

5 112 147

The Effectiveness of Computer-Assisted Language Learning in Teaching Past Tense to the Tenth Grade Students of SMAN 5 Tangerang Selatan

4 116 138