PENGARUH GANDA KOMODITI UBI KAYU DALAM PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH | Yantu | AGROLAND 8155 26778 1 PB

ISSN : 0854 – 641X

J. Agroland 17 (3) : 51 - 60, April 2013

PENGARUH GANDA KOMODITI UBI KAYU
DALAM PEREKONOMIAN SULAWESI TENGAH
Multiplier Effect of Cassava In Economy of Central Sulawesi
M.R.Yantu1), Yulianti Kalaba1) dan Sisfahyuni1)
1)

Program Studi Agribisnis, Fakultas Pertanian Universitas Tadulako. Jl. Soekarno-Hatta Km 9, Tondo-Palu 94118,
Sulawesi Tengah. Telp. 0451-429738. [email protected].

ABSTRACT
The aim of this study were (i) to analyze multiplier effect of cassava commodity in economy of
Central Sulawesi, and (ii) to analyze trend of the multiplier effect during the last decade. Methods
of analyses used were analyses of multiplier effect of Tiebout economic base model, and analyses
of trend. Data used were secondary data of time series 2000 – 2011, i.e. Data of GDRP of Central
Sulawesi by sector, area size, volume of production, and prices of all kinds of cassava. The result
of analyses showed that coefficient of multiplier effect of the cassava commodity in economy
of Central Sulawesi was more than one. It indicated that investment of developing for the

commodity in Central Sulawesi is feasible. In the long-run, the coefficient tends to increase.
It indicates that continuously investment for the commodity to increase the performance of
economy of Central Sulawesi is feasible.
Key Words : Cassava, economy of Central Sulawesi, multiplier effect.

(100%) didorong oleh sisi penawarannya. Jadi,
subsektor tersebut mendorong pertumbuhan
subsektor yang sama di tingkat nasional,
dan prime mover pembangunan ekonomi
kelompok sektor pertanian Sulawesi Tengah
(Yantu, et al., 2009a).
Nilai PDRB subsektor tanaman
pangan harga berlaku cenderung meningkat,
yaitu Rp. 1,31 triliun Tahun 2000, Rp. 3,82
triliun Tahun 2008 (Yantu et al., 2009a), dan
Rp. 4,42 triliun Tahun 2011 (BPS, 2012a).
PDRB subsektor tanaman pangan bersumber
dari 6 kelompok komoditi, termasuk umbiumbian yang didominasi oleh produksi ubi
kayu. Kurun waktu 2000 - 2011, produksi
tertinggi ubi kayu Sulawesi Tengah dicapai

Tahun 2009, yaitu 82.294 ton dengan luas
areal 4.422 Ha (BPS, 2012b). Menggunakan
harga di tingkat produsen Tahun tersebut,
maka nilai produksi ubi kayu adalah
Rp. 147,99 milyar. Bila diasumsikan biaya
antara dalam menghasilkan ubi kayu adalah
10 persen dari nilai produksi, maka PDRB
ubi kayu tahun 2009 bernilai Rp. 133,19

PENDAHULUAN
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Nasional (RPJMN) 2010 – 2014
menempatkan ketahanan pangan sebagai
salah satu prioritas pembangunan nasional.
Pemerintah wajib melaksanakan pembangunan
ketahanan pangan dengan meningkatkan
kemampuan pengelolaannya bersama-sama
segenap elemen masyarakat secara lebih
terukur dan akuntabel. Sejalan dengan itu,
Konferensi Dewan Ketahanan Pangan 2010

mengangkat tema “Meningkatkan Komitmen
Daerah untuk Membangun Kemandirian
Pangan dan Percepatan Penganekaragaman
Konsumsi Pangan” (PSEKP, 2010).
Subsektor
tanaman
pangan
Sulawesi Tengah (Sulawesi Tengah) merupakan
subsketor basis diindikasikan oleh pangsa
relatifnya yang dua digit, dan kedua terbesar
setelah subsektor perkebunan dalam kelompok
sektor pertanian. Dalam Tahun 2000 – 2007
dan Tahun 2007 – 2008 (krisis ekonomi global),
pertumbuhan subsektor tersebut sepenuhnya
51

Berdasarkan shift share analysis,
pertumbuhan ekonomi wilayah ditentukan
oleh 3 komponen, yaitu pengaruh nasional,
pengaruh komposisi industri, dan pengaruh

pangsa relatif wilayah (Bendavid - Val, 1991).
Sulawesi Tengah merupakan wilayah yang
didefinisikan atas kriteria administrative
programming, sehingga pembangunan ekonomi
Sulawesi Tengah dapat didekati dengan
pendekatan makro antar-wilayah. Menurut
pendekatan ini (Richardson, 1991), wilayah
dipandang sebagai suatu perekonomian
yang terdiri atas banyak sektor, dan
diklasifikasikan dalam sektor basis dan nonbasis (Yantu et al., 2013a).
Konsekuensi dari pendekatan ekonomi
makro antar-wilayah, perekonomian wilayah
programming tunduk pada perekonomian
level di atasnya (perekonomian nasioanal)
di bawah kriteria wilayah homogen (Yantu
et al., 2013b). Pernyataan ini memungkinkan
komoditi ubi kayu dijadikan sebagai sektor
basis, karena adanya permintaan ekspor
melalui pengaruh nasional, dan pengaruh
komposisi industri (komoditi) tersebut.

Sebenarnya, penentuan sektor basis dan
non-basis dilakukan dengan analisis location
Quotient. Selain itu, metode arbitrary dapat
digunakan dengan mempertimbangkan berbagai
alasan, sebagaimana dalam tulisan ini.
Pengaruh ganda sektor basis dalam
model dua sektor (Bendavid - Val, 1991)
diekspresikan sebagai berikut :

milyar. Menggunakan nilai output umbiumbian dalam Tabel Input Output Sulawesi
Tengah 2005 (BAPPEDA dan BPS, 2007),
nilai PDRB ubi kayu Tahun 2009 adalah
31,86 persen dari nilai output umbi-umbian
Tahun 2009 yang tergolong besar. Ini
mengindikasikan bahwa ubi kayu merupakan
komoditi yang dapat diandalkan dalam
kelompok subsektor tanaman pangan.
Asumsi biaya antara di atas
didasarkan atas laporan Yantu (2011)
bahwa total biaya antara dalam usahatani

kakao Sulawesi Tengah adalah 29 persen
dari nilai produksi. Berdasarkan tingkat
intensifikasi, usahatani ubi kayu di
Sulawesi Tengah hanya berada pada tingkat
intensifikasi umum, jauh tidak intensif
daripada usahatani kakao.
Pertanyaan penting yang muncul
ialah berapa besar pengaruh ganda
komoditi ubi kayu dalam perekonomian
Sulawesi Tengah secara keseluruhan?
Bagaimana kecenderungan pengaruh ganda
komoditi tersebut dalam kurun waktu satu
dekade terakhir? Penelitian ini bertujuan
menjawab dua pertanyaan tersebut.
BAHAN DAN METODE
Mencapai tujuan pertama digunakan
Tiebout Economic Base Model, sehingga
perekonomian Sulawesi Tengah dibagi
menjadi sektor basis dan non-basis.
Komoditi ubi kayu diasumsikan sebagai

sektor basis. Asumsi tersebut realistik,
karena berdasarkan economic-base theory
bahwa pertumbuhan ekonomi suatu wilayah
tergantung pada permintaan exogenous,
yaitu ekspor (Bendavid – Val, 1991).
Tahun 2011, ekspor ubi kayu Indonesia
dalam bentuk gaplek, tapioka, chip dan
bentuk lainnya 125.260 ton bernilai US$
57.865 (Mentan, 2012). Indonesia memiliki
keunggulan komparatif untuk komoditi pati
ubikayu, gaplek dan tapioka. Dua komoditi
terakhir memiliki daya saing kuat, sehingga
Indonesia merupakan pengekspor. Sebaliknya,
pati ubi kayu memiliki daya saing lemah,
sehingga Indonesia cenderung menjadi
pengimpor (Asriani, 2011).

Yt  M  Yb ,.......................(01), sehingga
Yt
Yt


,...................................(02)
Yb Yt  Yn
Bila sisi sebelah kanan persamaan
(02) seluruhnya dikalikan dengan total
pendapatan, maka diperoleh persamaan
(03), sebagai berikut :
1
1
1
,……..(03)


M 
Yt  Yn Yt Yn
Yn

1
Yt
Yt Yt

Yt




1 

sehingga Yt 
 Yb , .........(04)
 Yn 
1  
Yt 

M

52

Untuk mana Yt
adalah total aktivitas
ekonomi Sulawesi Tengah (Total PDRB);

Yb adalah pendapatan sektor basis (nilai
PDRB komoditi ubi kayu); Yn adalah
pendapatan sektor bukan basis (total PDRB
sektor lain selain komoditi ubi kayu); M
adalah pengaruh ganda komoditi ubi kayu.
Persamaan
(04)
menunjukkan
bahwa perubahan dalam total pendapatan
Sulawesi Tengah sama dengan pengaruh
ganda komoditi ubi kayu dikalikan dengan
perubahan dalam pendapatan komoditi ubi
kayu. Yantu (2011, 2007a) dan Yantu et al.,
(2009b) memanfaatkan ekspresi tersebut
mengestimasikan pengaruh ganda komoditi
kakao biji, sektor pertanian, dan subsektor
perkebunan.
Untuk
perekonomian
nasional

terbuka kecil atau tertutup, persamaan
(04) dapat digunakan. Untuk perekonomian
wilayah yang terbuka terhadap perekonomian
wilayah di atasnya, ekspresi tersebut harus
mempertimbangkan tingkat kebocoran
ekonomi melalui (Yn/Yt) dalam persamaan
(03), yaitu proporsi pendapatan dari sektor
non-basis.
Untuk
perekonomian
terbuka
dengan kebocoran signifikan, nilai proporsi
tersebut tidak semuanya menghasilkan
pendapatan, karena dibelanjakan untuk
barang yang tidak menghasilkan pendapatan,
misalnya impor. Sektor non-basis tidak
mampu memenuhi kebutuhan domestik.
Jadi, hanya nilai sisa dari kebocoran yang
menghasilkan pendapatan wilayah, sehingga
nilai proporsi pendapatan dari sektor
non-basis harus dikalikan dengan nilai sisa
tersebut. Mengikuti Bendavid – Val (1991),
pengaruh ganda tersebut dapat diekspresikan
kembali menjadi sebagai berikut :






1
M 
 ,.........................(05)
  Yn   
 1   Y  *   
  t   

Mencapai tujuan butir (ii) digunakan
analisis trend (Montgomery et al., 1990)
yang memanfaatkan analisis regresi
sederhana, sebagai berikut :
M = a + b T + e, ..................................(06)
Untuk mana M = pengaruh ganda; T = tahun;
a = intercept; b = koefisien regresi yang
menjadi indikator kecenderungan; dan
e = disturbance error.
Analisis dilakukan untuk data satu dekade,
sehingga dikategorian jangka panjang. Jadi,
analisis regresi dilakukan tanpa intersept,
sehingga dapat diekspresikan kembali
menjadi (Yantu, 2003), sebagai berikut :
M = b T + e, ........................................(07)
Untuk mana dM/dT = b. Bila b > 0, maka
ada kecenderungan membesarnya nilai
koefisien pengaruh ganda
Penelitian ini menggunakan data
sekunder berkala 2000 – 2011: (i) PDRB
Sulawesi Tengah menurut lapangan usaha
harga berlaku dan harga konstan tahun 2000
(BPSa, berbagai tahun); (ii) data luas areal
dan produksi umbi-umbian (BPSb, berbagai
tahun); dan (iii) data harga-harga umbi-umbian
(BPSc, berbagai tahun). Data tersaji dalam
Lampiran 1.
Data
umbi-umbian
secara
keseluruhan diperlukan karena dalam Tabel
I-O Sulawesi Tengah 2005 klasifikasi 50
sektor, umbi-umbian dijadikan satu sektor
(sektor 03). Sektor tersebut merupakan
agregasi komoditi umbi-umbian, yaitu ubi
kayu, ubi jalar, kentang, dan umbi-umbi lainnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran
Umum
Perekonomian
Sulawesi Tengah. Sulawesi Tengah
terletak pada 2o22’ LU dan 3o48’ LS, serta
119o22’ dan 124 22’ BT dengan luas daratan
68.033 KM2 (BPSb, berbagai tahun).
Angka tersebut adalah 3,49 persen dari
luas nusantara, sehingga Sulawesi Tengah
merupakan provinsi terluas di Pulau
Sulawesi (Yantu, 2011, 2013 dan Yantu
et al., 2013a). Tahun 2011, total aktivitas
ekonomi wilayah ini yang diindikasikan

 = pengaruh ganda putaran kedua
setelah sebagian belanja sektor non-basis
menghasilkan pendapatan.

53

oleh PDRB harga berlaku bernilai Rp. 44,32
triliun (BPS, 2012a) yang hanya 0,74 persen
dari PDB Indonesia. Bila diasumsikan
lahan merupakan faktor produksi utama,
maka nilai harapan teoritis pangsa relatif
aktivitas ekonomi Sulawesi Tengah adalah
3,49 persen (Yantu, 2013, 2011, 2007a).
Dalam
Masterplan
Percepatan
dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011 – 2025, Sulawesi Tengah
masuk dalam Koridor Ekonomi Sulawesi
dengan pertanian merupakan salah satu program
utama dari 8 program utama (KEMENDIKNAS,
2012 dan Yantu, 2013). Hingga tahun 2011,
pangsa relatif sektor pertanian Sulawesi Tengah
masih 37 persen (BPS, 2012a), sehingga sektor
tersebut adalah prime mover perekonomian
Sulawesi Tengah. Yantu (2007a, 2011) dan
Yantu et al., (2009a, 2009b) melaporkan
bahwa sektor pertanian merupakan sektor
basis dalam perekonomian Sulawesi Tengah
dengan pengaruh ganda 2,06.
Subsektor
tanaman
pangan
merupakan subsektor pendukung kedua
setelah subsektor perkebunan dalam kelompok
sektor pertanian (Yantu, 2009b). Tanaman

umbi-umbian termasuk ubi kayu merupakan
pendukung subsektor tersebut. Berdasarkan
data (BPSb, berbagai tahun), terdapat 6
kelompok komoditi pendukung subsektor
tanaman pangan sebagaimana diilustrasikan
dalam Tabel 1.
Tabel 1. Kelompok Komoditi Pendukung
Subsektor
Tanaman
Pangan
Sulawesi Tengah
No.
1.

Kelompok
Komoditi
Padi

2.
3.
4.

Jagung
Umbi-umbian
Kacangkacangan

5.

Sayur-sayuran

6.

Buah-buahan

Cabang
Usahatani
Padi sawah, padi
lading/gogo
Jagung
Ubi kayu, ubi jalar
Kacang
tanah,
kacang
kedele,
kacang hijau
Terdapat
15
usahatani (termasuk
kentang*)

Terdapat

21

usahatani
Sumber: BPSb (Berbagai Tahun)
*) Kentang Termasuk Sayuran Berumbi
sehingga Dihitung dalam Umbi-umbian

Lampiran 1. Data Dasar Kurun Waktu 2000 - 2011
PDRB Sulawesi Tengah Ubi Kayu, Ubi Jalar, Kentang (Rp. Triliun)a)
HB

HK

Luasb)
(Ha)

Produksib)
(Ton)

Hargac)
(Rp/100kg)

Luasb)
(Ha)

Produksib)
(Ton)

Hargac)
(Rp/100 kg)

Luasb)
(Ha)

Produksib)
(Ton)

Hargac)
(Rp/100 kg)

2000

8,24

8,24

4.168

39.211

49.986

2.096

16.079

112.988

113

440

180.338

2001

10,38

9,09

4.434

49.257

65.950

2.725

21.831

123.728

81

550

198.825

2002

11,79

9,60

6.230

71.440

70.518

3.454

29.177

131.903

92

724

244.496

2003

13,02

10,19

4.028

50.052

99.583

2.693

24.980

147.583

134

870

323.856

2004

14,66

10,93

3.430

45.106

114.375

2.874

27.903

152.833

113

797

317.177

2005

17,12

11,75

3.597

48.255

111.104

2.510

23.768

129.288

77

440

327.888

2006

19,31

12,67

3.762

52.791

121.194

2.771

26.886

125.313

64

423

362.909

2007

22,76

13,68

4.609

70.857

174.694

2.996

29.079

148.643

59

353

393.283

2008

28,16

14,75

4.180

70.181

177.244

2.616

27.689

237.321

52

411

478.333

2009

31,75

15,87

4.422

82.294

179.831

2.815

29.821

378.903

66

582

581.776

2010

36,12

17,09

3.872

74.129

182.455

2.462

26.333

604.952

75

1.094

707.590

2011

41,09

18,40

3.390

66.774

185.118

2.153

23.253

965.857

85

2.056

860.612

Tahun

Catatan : Harga Komoditi Kentang Kurun Waktu 2000 – 2008 adalah harga rata-rata Sulawesi Selatan dan
Sulawesi Utara.
a) BPSa (Berbagai Tahun); b) BPSb (Berbagai Tahun); dan c) BPSc (Berbagai Tahun).

54

Tabel 2. PDRB Ubi Kayu Sulawesi Tengah dan Pangsa Relatifnya terhadap PDRB Umbi-umbian
dan PDRB Sulawesi Tengah 2000 – 2011
Tahun

PDRB Ubi Kayu
Harga Berlaku (Rp)

Pangsa Relatif (%) Terhadap
PDRB Umbi-umbian

PDRB Sulawesi Tengah

2000
2001
2002
2003
2004
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011

17.640.161.161
29.236.394.821
45.340.015.385
44.859.103.498
46.430.988.750
48.251.985.510
57.581.776.387
111.404.915.416
111.952.450.476
133.190.939.952
121.727.054.345
111.249.877.543

28,93
30,52
31,64
31,69
30,35
35,57
36,71
41,84
36,86
31,86
25,47
19,23

0,21
0,28
0,38
0,34
0,32
0,28
0,30
0,49
0,40
0,42
0,34
0,25

Rataan

73.238.805.270

31,72

0,33

Sumber : Data Sekunder yang Diolah.

Kinerja berbagai cabang usahatani
yang tertera dalam Tabel 1 menjadi penentu
kinerja subsektor tanaman pangan. Makin
jauh tingkat produktivitas riil dari nilai
produktivitas harapan setiap cabang usaha,
makin rendah kinerja subsektor tanaman
pangan. Yantu (2006) melaporkan bahwa semua
tingkat produktivitas cabang usahatani di
Sulawesi Tengah di bawah tingkat produktivitas
cabang usahatani yang sama di tingkat nasional.
Usahatani ubi kayu menjadi
entry point dalam rantai nilai berbagai
usaha industri vertikal dimana ubi kayu
menjadi bahan baku utama. Yantu (2007b)
menyatakan bahwa strategi yang seharusnya
diimplementasikan dalam pengembangan
suatu industri vertikal ialah strategi yang
dapat meningkatkan nilai bersih dari
perdagangan internasional dari berbagai
komoditi, sehingga berdampak positif
terhadap perekonomian wilayah.
Konsep rantai nilai secara kasar
diilustrasikan oleh keterkaitan antar-sektor.
Rauf et al., (2010) melaporkan bahwa koefisien
keterkaitan ke belakang dan kedepan untuk
sektor pertanian Sulawesi Tengah < 1. Ini
mengartikan pertama bahwa sektor pertanian
belum banyak menggunakan output sektor
lain (keterkaitan ke belakang), sehingga

sektor tersebut belum mendorong keputusan
investasi dari sektor lain penyedia inputnya.
Kedua, output sektor pertanian tidak banyak
digunakan oleh sektor lain (keterkaitan kedepan),
sehingga sektor tersebut belum mendorong
keputusan investasi pada sektor yang
memanfaatkan outputnya. Padahal, Haryono
et al., (2007) melaporkan bahwa kenaikan
produktivitas industri pertanian berdampak
positif terhadap penghapusan kemiskinan.
Produksi Ubi Kayu Sulawesi Tengah.
Berdasarkan Lampiran 1, luas areal tanam
menghasilkan ubi kayu 2000 – 2011 rata-rata
4.177 ha per tahun. Luas tersebut hampir
dua kali lipat dan lima puluh kali lipat luas
areal tanam menghasilkan ubi jalar dan
kentang kurun waktu yang sama. Adapun
produksi rata-rata ubi kayu kurun waktu
tersebut adalah 60.029 ton. Angka-angka
tersebut menunjukkan produktivitas usahatani
ubi kayu rata-rata 14,55 ton per ha per tahun,
jauh dari produktivitas harapan minimal,
59,90 ton per ha. Taufiq et al., (2012)
melaporkan bahwa pupuk K dosis 30 kg K2O
per ha meningkatkan hasil 35 persen dibandingkan
praktek petani yang hanya menghasilkan
ubi kayu 59,90 ton per ha per tahun.
Produktivitas berpengaruh
pada
produksi dan nilai produksi ubi kayu. Nilai
55

Tabel 3. Koefisien Pengaruh Ganda Komoditi
Ubi Kayu dalam Perekonomian
Sulawesi Tengah Kurun Waktu
2000 – 2001

produksi ditentukan oleh volumer produksi
dan harga. Mengasumsikan bahwa biaya
antara dalam memproduksi ubi kayu sebesar
10 persen dari nilai produksi, maka nilai
PDRB ubi kayu dapat dihitung, sebagaimana
tersaji dalam Tabel 2.
PDRB komoditi ubi kayu Sulawesi
Tengah 2000 – 2011 rata-rata Rp. 73,24
milyar. Angka tersebut 31,72 persen dari
PDRB umbi-umbian Sulawesi Tengah, jadi
tergolong signifikan, tetapi hanya 0,33
persen dari total PDRB Sulawesi Tengah.
Bila produktivitas usahatani ubi kayu
Sulawesi Tengah mencapai produktivitas
harapan minimum, nilai sumbangan tersebut
akan naik 4 kali lipat lebih. Akibatnya,
sumbangan komoditi ubi kaya naik
hingga di atas 10 persen. Jadi, komoditi ubi
kayu memiliki potensi menjadi komoditi
penyumbang signifikan dalam aktivitas
ekonomi Sulawesi Tengah.
Peningkatan produksi ubi kayu
Sulawesi Tengah masih memungkinkan,
karena pertama, pengembangan intensifikasi,
sehingga
produktivitas
meningkat.
Produktivitas usahatani yang menghasilkan
komoditi pasar dunia dipengaruhi oleh faktor
eksternal. Untuk kasus kakao, produktivitas
dipengaruhi secara positif dan nyata oleh
GDP AS, dan secara negatif namun nyata
oleh GDP Malaysia (Yantu et al., 2011).
Kedua, peangembangan ekstensifikasi, karena
lahan masih tersedia, terutama bila dipadu
dengan usahatani tanaman keras, seperti
kakao dan kelapa. Tahun 2007, sumberdaya
lahan untuk kakao Sulawesi Tengah masih
33,42 persen dari kawasan budidaya nonhutan (Yantu, 2012, 2011).
Usahatani terpadu ubi kayu dan kakao
mencegah alih fungsi lahan pertanian, karena
pendapatan petani meningkat, sehingga
peani tidak bertindak oportunistik beralih ke
lapangan usaha lain. Lutfi (2007) melaporkan
bahwa perpindahan mata pencaharian tidak
menjamin terjadinya peningkatan taraf ekonomi
penduduk secara struktural. Menurut Yantu
(2011) dan Sisfahyuni et al., (2011) bahwa
petani bertindak oportunistik karena memiliki
power, yaitu sebagai kepala keluarga dan
pemilik asset (usahatani).

Tahun

Koefisien Pengaruh Ganda

2000
2001

1,99
1,99

2002
2003

1,98
1,99

2004
2005

1,99
1,99

2006
2007
2008

1,99
1,98
1,98

2009
2010

1,98
1,99

1011

1,99

Rataan

1,99

Sumber : Data Sekunder yang Diolah

Kecenderungan Koefisien Pengaruh
Ganda. Memanfaatkan persamaan (05)
dihasilkan koefisien pengaruh ganda
komoditi ubi kayu dalam perekonomian
Sulawesi Tengah kurun waktu 2000 – 2001,
disajikan dalam Tabel 3.
Kurun waktu 2000 – 2011, koefisien
pengaruh ganda komoditi ubi kayu rata-rata
sebesar 1,99. Ini berarti investasi Rp. 1 triliun
pada komoditi ubi kayu menyebabkan total
aktivitas ekonomi naik sebesar Rp. 1,99
triliun. Koefisien tersebut diperoleh dengan
asumsi  = 0,5. Asumsi ini arbitrary, namun
dapat digunakan karena nilainya moderat.
Bila koefisien pengaruh ganda sektor pertanian
2,06 (Yantu, 2007a) dan subsektor perkebunan
6,40 (Yantu et al., 2009b) diboboti dengan
 = 0,5, kedua koefisien tersebut menjadi
1,15 dan 1,53. Jadi, dalam sistem ekonomi
tertutup pengaruh ganda sektor pertanian
dan subsektor perkebunan lebih besar bila
dibandingkan dengan sistem terbuka.
Angka–angka di atas menunjukkan bahwa
dalam sistem ekonomi Sulawesi Tengah
terbuka, pengaruh ganda komoditi ubi kayu
ternyata lebih besar daripada pengaruh
56

secara statistik (P = 0,000). Dalam bentuk
persamaan, M = 0,000991 T dan P = 0,000.
Hasil analisis di atas menunjukkan
bahwa dalam jangka panjang, koefisien
pengaruh ganda komoditi ubi kayu cenderung
meningkat. Ini mendukung pernyataan
sebelumnya bahwa investasi komoditi ubi
kayu di Sulawesi Tengah menjadi layak
dipertimbangkan. Ini mengimbangi keadaan
yang dilaporkan oleh Yantu dan Rauf
(2012) bahwa hasil dari output sektor
pertanian tidak diinvestasikan kembali ke
sektor tersebut, sehingga tidak terjadi tricle
down effect dalam kehidupan masyarakat
yang bergantung pada sektor pertanian di
kawasan Poso.
Yantu et al., (2013a) melaporkan
bahwa kesejahteraan masyarakat di
kawasan Poso cenderung meningkat sangat
lamban, tidak mencapail 1 persen per tahun.
Ini disebabkan oleh tidak adanya reinvestasi
di sektor pertanian sebagai sektor basis.
Jadi, tricle down effect tidak berlangsung di
sektor pertanian, sehingga kesejahteraan
masyarakat tani yang diindikasikan oleh
IPM masih tergolong rendah. Konsekuensinya,
rata-rata kesejahteraan masyarakat di
kawasan Poso di bawah rata-rata kesejahteraan
masyarakat Sulawesi Tengah.

ganda subsektor perkebunan dan sektor
pertanian. Oleh karena itu, investasi
pengembangan komoditi ubi kayu Sulawesi
Tengah menjadi layak dipertimbangkan.
Satu hal dihadapi petani ubi kayu
dalam sistem perekonomian terbuka ialah
transmisi perubahan harga dunia ke harga di
tingkat petani yang biasanya tidak nyata.
Kasus kakao biji, transmisi perubahan harga
dunia hingga ke harga domestik kabupaten
berfluktuasi dan nyata secara statistik. Transmisi
tersebut tidak nyata lagi dari pasar domestik
ke pasar di tingkat petani. Jadi, pasar di tingkat
petani tersegmentasi (Yantu et al., 2010).
Terdapat ketidakpastian yang makin membesar
dari harga yang diterima produsen kopi
Indonesia dibandingkan harga konsumen di
negara-negara maju (Hutabarat, 2006).
Ilham et al., (2006) melaporkan
bahwa kebijakan harga pangan tidak
efektif meningkatkan ketersediaan pangan.
Maulana et al., (2006) menyatakan bahwa
kebijakan pemerintah dalam industri
perberasan harus diorientasikan dari fokus
kebijakan harga ke peningkatan kapasitas
produksi. Sebaliknya, Syafruddin et al., (2007)
melaporkan bahwa strategi pengelolaan
dalam upaya pencapaian ketahanan pangan
berkelanjutan di Halmahera Tengah ialah
harga pangan murah sebagai prioritas utama.
Menurut Simatupang (2007), kebijakan
yang berorientasikan pada swasembada
pangan termasuk kategori paradigma
pendekatan pengadaan pangan tidak
menjamin ketahanan pangan. Paradigma
yang lebih sesuai ialah pendekatan perolehan
pangan. Menurut Hutabarat dan Rahmanto
(2006) bahwa untuk komoditi pangan
salah satu upaya yang diperlukan adalah
pembangunan dan perbaikan infrastruktur
pertanian. Damayanti et al. (2011)
melaporkan bahwa program perbaikan
irigasi belum mampu menuntaskan kemiskinan
secara absolut.
Tabel 3 menunjukkan bahwa
koefisien pengaruh ganda komoditi ubi
kayu cenderung konstan. Hasil analisis
persamaan (07) memanfaatkan Minitab Rel.
13, pilihan no-intercept menunjukkan
koefisien regresi bernilai positif dan nyata

KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Koefisien
pengaruh
ganda
komoditi ubi kayu dalam perekonomian
Sulawesi Tengah bernilai lebih besar
daripada satu. Ini mengisyaratkan bahwa
investasi pengembangan komoditi tersebut
di Sulawesi Tengah layak dipertimbangkan.
Dalam sistem perekonomian Sulawesi Tengah
yang terbuka, koefisien pengaruh ganda
komoditi tersebut lebih besar daripada
koefisien pengaruh ganda sektor pertanian.
Dalam jangka panjang, koefisien
pengaruh ganda komoditi ubi kayu
cenderung meningkat. Ini mengisyaratkan
bahwa investasi yang sinambung untuk
komoditi tersebut dalam memacu peningkatan
kinerja ekonomi Sulawesi Tengah layak
dipertimbangkan.
57

tetapi dalam jangka panjang, seyogyanya
dihitung berdasarkan konsep ICOR
(incremental capital output ratio), sehingga
diperlukan penelitian lanjutan untuk
mengestimasi ICOR dan besaran investasi
dalam pengembangan komoditi ubi kayu
Sulawesi Tengah.

Saran
Peningkatan
kinerja
ekonomi
Sulawesi Tengah melalui pengembangan
investasi dalam komoditi ubi kayu perlu
dipertimbangkan, baik dalam jangka pendek
maupun dalam jangka panjang.
Dalam jangka pendek, besaran
investasi dapat ditentukan secara arbitrary,

DAFTAR PUSTAKA
Asriani, P.S.2011. Analisis Daya Saing Ekspor Ubi Kayu Indonesia. J. Agroland 18 (1): 65 – 70, April 2011.
ISSN: 0854 – 641X.
BAPPEDA dan BPS. 2007. Tabel Input – Output Propinsi Sulawesi Tengah Tahun 2005. Jilid II. Badan Pusat
Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Bendavid – Val, A. 1991. Regional and Local Economic Analysis for Practitioners. New and Expanded
Edition. Praeger Publishers. USA.
BPS. 2012. PDRB Sulawesi Tengah Menurut Lapangan Usaha 2007 - 2011. Badan Pusat Statistik Propinsi
Sulawesi Tengah. Palu.
BPSa. Berbagai Tahun. PDRB Sulawesi Tengah Menurut Lapangan Usaha. Badan Pusat Statistik Propinsi
Sulawesi Tengah. Palu.
BPSb. Berbagai Tahun. Sulawesi Tengah Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Propinsi Sulawesi Tengah. Palu.
BPSc. Berbagai Tahun. Statistik Harga Produsen Sektor Pertanian Di Indonesia. Badan Pusat Statistik
Propinsi Sulawesi Tengah. Palu.
Damayanti, L., Slamet Hartono, Suhatmini Hardyastuti dan Dwidjono Hadi Darwanto. 2010.
Kebijakan Pemerintah Daerah dalam Pengentasan Kemiskinan Melalui 2011. Palu.
Haryono, D., Mangara Tambunan, Rina Oktaviani dan Hermanto Siregar. 2007. Upaya Pengentasan Kemiskinan
Melalui Industrialisasi Pertanian. J. Agrokultur 4 (7): 18 – 28. Desember 2007. ISSN 1829-7374.
Hutabarat, B. 2006. Analisis Saling Pengaruh Harga Kopi Indonesia dan Dunia. J. Agro Ekonomi
(1): 21 – 40, Mei 2006. Bogor. ISSN: 0216 – 9053.

24

Hutabarat, B. dan Bambang Rahmanto. 2006. Aturan dan Mekanisme Perlindungan terhadap Dampak
Liberalisasi Perdagangan untuk Siapa ? Forum Penelitian Agro Ekonomi 25 (1): 56 – 71, Juli 2007.
Ilham, Ny., Hermanto Siregar dan D.S. Priyarsono Efektivitas Kebijkan Harga Pangan terhadap Ketahanan Pangan.
J. Agro Ekonomi 24 (2): 157 – 177, Oktober 2006. Bogor. ISSN: 0216 – 9053.
KEMENDIKNAS. 2012. Panduan Usulan Penelitian Prioritas Nasional Master Plan Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011 – 2025. Direktorat Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat.
Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan Nasional R.I. Jakarta.
Lutfi. 2007. Pengaruh Rencana Tata Ruang Wilayah terhadap Perubahan Fungsi Lahan Pertanian: Kasus
Kecamatan Palu Utara. J. Agroland 14 (2): 145 - 149. Maret 2007. Palu. ISSN: 0854 – 641X.
Maulana, M., Nizwar Syafaat dan Pantjar Simatupang. 2006. Analisis Kendala Penawaran dan
Kebijakan
Revitalisasi Produksi Padi. J. Agro Ekonomi 24 (2): 207 – 230, Oktober 2006. Bogor.
ISSN: 0216 – 9053.

58

Mentan. 2012. Ekspor Ubi Kayu. www.finance.detik.com diakses 11 Maret 2013.
Montgomery, D.C. Lynwood A. Johnson and John S. Gardiner. 1990. Forecasting and Time Series Analysis.
Second Edition. McGraw-Hill. Inc. Singapore.
PSEKP. 2010. Cuplikan Rumusan Hasil Konferensi Dewan Ketahanan Pangan Tahun 2010: Suplemen.
Analisis Kebijakan Pertanian 8 (4):385 – 390, Desember 2010. Bogor. ISSN: 1693 – 2021.
Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian.
Rauf, R.A., Arief Daryanto, Sjarif Mangkuprawira, D.S. Priyarsono. 2010. Pengaruh Investasi Sektor
Pertanian dan Industri Pengolahan Hasil Pertanian Di Propinsi Sulawesi Tengah. J. Agroland 17
(1): 63 – 69. Maret 2010.
Richardson, H.W. 1991. Elements of Regional Economics. Terjemahan Paul Sitohang. Lembaga Penerbit
Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Simatupang, P. 2007. Analisis Kritis terhadap Paradigma dan Kerangka Dasar Kebijakan Ketahanan Pangan
Nasional. Forum Penelitian Agro Ekonomi 25 (1): 1 – 18, Juli 2007. Bogor. ISSN: 0216 – 4361.
Sisfahyuni, M.S.Saleh dan M.R.Yantu. 2011. Kelembagaan Pemasaran Kakao Biji Di Tingkat Petani
Kabupaten Parigi Moutong Propinsi Sulawesi Tengah. J. Agro Ekonomi Vol. 29 (2): 191 – 216.
Oktober 2011. Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertananian. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian. Bogor. ISSN: 0216 – 9053.
Syafruddin, Surjono Hadi Sutjahjo, Yayuk Farida Baliwati dan Rita Nurmalina. 2007. Strategi Pengelolaan
dan Analisis Status Keberlanjutan Ketahanan Pangan Di Kabupaten Halmahera Tengah.
J. Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 10 (1): 20 - 38, Juni 2007.
Taufiq, A., Subandi and Suyamto. 2012. Response of Cassava (Manihot esculenta crantz) to Potassium on
Dry Land in Indonesia. Project Report. Collaborative Project between Indonesian Legumes and
Tuber Crops Research Institute (ILETRI) and International Potash Institute (IPI). Indonesian
Legumes and Tuber Crops Research Institute (ILETRI). Malang. Indonesia.
Yantu, M.R. 2013. Strategi Pembangunan Ekonomi Wilayah Sulawesi Tengah Berbasis Agribisnis Berkelanjutan.
Makalah disampaikan pada seminar nasional bertema sustainable agribusiness yang diselenggarakan oleh
Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia (POPMASEPI) DPW
V POPMASEPI, Himpunan Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian (HIMASEP) Fakultas Pertanian
Universitas Tadulako. 11 – 03 – 2013, Pogombo. Palu.
Yantu, M.R., Bakri Hasanuddin, Sidik Purnomo dan Jusak Tommy. 2013a. Strategi Peningkatan Kesejahteraan
Masyarakat Tani Kawasan Poso Sulawesi Tengah: Suatu Pendekatan Ekonomi Makro Antar-wilayah.
Media LITBANG Sulawesi Tengah VI (1): Tahun 2013. BALITBANGDA Propinsi Sulawesi Tengah.
ISSN:1979 – 5971. Inpress.
Yantu, M.R., Arifudin Lamusa, Hadayani dan Rustam Abd. Rauf. 2013b. Handout Ekonomi Makro. Jurusan
Agribisnis, Fakultas Pertanian,Universitas Tadulako. Palu.
Yantu, M.R., 2012. Perencanaan Tata Ruang: Handout Paruh Kedua Versi Revisi. Program Studi Magister
Pengembangan Wilayah dan Perdesaan. Program Pascasarjana Universitas Tadulako, Palu.
Yantu, M.R. dan Rustam Abdul Rauf. 2012. Peran Sektor Pertanian dalam Perekonomian Kawasan Poso
Sulawesi Tengah: Suatu Pendekatan Model Persamaan Simultan. J. Agroland 19 (3) Desember 2012. Palu.
Yantu, M.R. 2011. Model Ekonomi Wilayah Komoditi Kakao Biji Propinsi Sulawesi Tengah. Disertasi Doktor
pada Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Yantu, M.R., Sisfahyuni dan Nilam Sari. 2011. Fungsi Produktivitas Usahatani Kakao Rakyat Provinsi
Sulawesi Tengah. J. Agroland 18 (1): 57 – 64, April 2011. Palu. ISSN : 0854 – 641X.

59

Yantu, M.R., Bambang Juanda, Hermanto Siregar, dan Setia Hadi. 2010. Integrasi Pasar Kakao Biji Perdesaan
Sulawesi Tengah dengan Pasar Dunia. J. Agro Ekonomi 28 (2): 113 – 225, Oktober 2010. Bogor.
ISSN: 0216 – 9053.
Yantu, M.R., Sisfahyuni dan Ludin. 2009a. Kekuatan Permintaan dan Penawaran Subsektor Tanaman Bahan
Makanan dalam Perekonomian Wilayah Propinsi Sulawesi Tengah. J. Agroland 16 (3): 237 – 244.
September 2009.
Yantu, M.R., Sisfahyuni, Ludin dan Taufik 2009b. Strategi Pengembangan Subsektor Perkebunan
dalam
Perekonomian Sulawesi Tengah. Media LITBANG Sulawesi Tengah. Vol. II (1): 44 -50. Oktober
2009. BALITBANGDA Propinsi Sulawesi Tengah.
Yantu, M.R. 2007a. Peranan Sektor Pertanian dalam Perekonomian Wilayah Sulawesi Tengah. J. Agroland
14 (1): 31 -37. Maret 2007. Palu. ISSN: 0854 – 641X.
Yantu, M.R. 2007b. A Theoritical Framework for Development of International Trade of the Cocoa Commodities
from Indonesia in Perspective of the Regional Economy. J. Agrokultur 4 (7): 9 – 17. Desember 2007.
Yantu, M.R. 2006. Strategi Pengembangan Lembaga Pengawasan dan Sertifikasi Benih Pertanian dalam
Perspektif Ekonomi Wilayah Sulawesi Tengah. Makalah Kebijakan Dalam Prosiding Seminar
Nasional Perbenihan 2005. Palu. 13 – 14 Agustus 2005 dengan Tema Peranan Benih dalam
Menunjang Pertanian sebagai suatu Sistem Holistik. Kerjasama Universitas Tadulako dengan Forum
Perbenihan Propinsi Sulawesi Tengah. Badan Penelitian Pengembangan Daerah Propinsi Sulawesi
Tengah. dan Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten Donggala Propinsi Sulawesi Tengah.
Tadulako University Press. Palu. ISBN: 979-3701-48-X.
Yantu, M.R. 2003. Prinsip Perencanaan Ekonomi Regional dan Perdesaan: Resume Materi Kuliah.
Program Doktor, Program Studi Ilmu-ilmu Perencanaan Pembangunan Wilayah dan Perdesaan,
Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor.

60