Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

(1)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L.) TERHADAP AKTIVITAS GLUTATION

PEROKSIDASE (GPX) DAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIBERI PERLAKUAN

LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Oleh: AYU ELVANA

127008013/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

PENGARUH PEMBERIAN EKSTRAK UMBI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L.) TERHADAP AKTIVITAS GLUTATION

PEROKSIDASE (GPX) DAN HISTOPATOLOGI HEPAR MENCIT (Mus musculus L.) YANG DIBERI PERLAKUAN

LATIHAN FISIK MAKSIMAL

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh: AYU ELVANA

127008013/BM

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Judul Tesis : Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

Nama Mahasiswa : Ayu Elvana Nomor Pokok : 127008013 Program Studi : Biomedik

Disetujui Komisi Pembimbing

(Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP) (Prof. Dr. Ramlan Silaban, M.Si)

Ketua Anggota

Ketua Program Studi Dekan

(dr. Yahwardiah Siregar, Ph.d) (Prof. dr. Gontar A Siregar, Sp.PD, KGEH)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 17 April 2015

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Ir. Herla Rusmarilin, MP

Anggota : 1. Prof. Dr. Ramlan Silaban, M.Si

2. dr. Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp. PK (K) 3. dr. Ester R.D. Sitorus, Sp.PA


(5)

ABSTRAK

Latihan fisik dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan organisme, tetapi periode yang panjang dan berat pada latihan akan mengganggu keseimbangan oksidan ataupun antioksidan. Keseimbangan antara radikal bebas dengan kemampuan antioksidan alami tubuh akan terganggu yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan. Glutation peroksidase yang rendah berkorelasi dengan gangguan yang berhubungan dengan radikal bebas. Salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin. Tumbuhan ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) yang umbinya mengandung antosianin cukup tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) terhadap aktivitas glutation peroksidase (gpx) dan perubahan histopatologi hepar mencit (mus musculus) yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal. Penelitian dilakukan dengan desain control group post test only secara in vivo terhadap 24 ekor mencit putih jantan (Mus musculus L), strain DD Webster. Dibagi atas 6 kelompok terdiri dari : P1 (kontrol), P2 (Latihan fisik maksimal selama 60menit), P3 (ekstrak 0,5ml), P4 (latihan fisik maksimal selama 60menit + 0,5ml ekstrak), P5 (latihan fisik maksimal selama 60menit + 1ml ekstrak), P6 (latihan fisik maksimal + 1,5ml ekstrak). Jika data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji ANOVA. Jika data tidak maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Untuk melihat adanya perbedaan antara kelompok kontrol dengan perlakuan akan dilakukan uji Post-Hoc. Semua analisa data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 19. Dalam penelitian ini untuk keputusan uji statistik diambil taraf nyata 5% (p = 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata aktivitas enzim GPx pada kelompok P5 merupakan aktivitas enzim GPx paling tinggi yaitu 19,39±7,06, kemudian diikuti secara berurut oleh P4 (7,05±8,19), P1 (6,58±7,04), P3 (4,50±4,31), P6 (3,03±1,98), dan P2 (1,84±0,92) merupakan aktivitas enzim GPx yang paling rendah. diperoleh nilai p = 0.024 yang artinya terdapat perbedaan bermakna nilai aktivitas enzim GPx antar kelompok karna P<0,05. Histopatologi hepar menunjukkan bahwa P1 normal (100%), P2 memiliki kerusakan A3 (100%) , P3 memiliki kerusakan A1 (50%) dan A2 (50%), P4 memiliki kerusakan A1 (25%) dan A2 (75%), P5 memiliki kerusakan A1 (25%) dan A2 (75%) dan P6 memiliki kerusakan yang sama dengan P2 yaitu A3 (100%). diperoleh nilai P = 0,001 yang artinya terdapat perbedaan bermakna gambaran histopatologi hepar mencit antar kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dapat meningkatkan aktivitas enzim GPx secara signifikan tetapi tidak pada histopatologi hepar.

Kata kunci : Latihan fisik maksimal, GPx, antioksidan, radikal bebas, histopatologi hepar, ubi jalar ungu, antosianin


(6)

ABSTRACT

Physical exercise can increase defense system organisms antioxidant, but for a long periods and exhaustive exersice will make imbalance of oxidant or an antioxidant. The balance between free radical to the ability of endogenous antioxidant will be disrupted that will eventually lead to tissue damage. The low of Gluthatione peroxides had a corelation of free radical disorders. One component of the flavonoid antioxidant is that could serve as a natural dyestuff called anthocyanin. Purple sweet potat (Ipomea batatas L.) Containing high of anthocyanin's.

The aim of this research was to determine the usefulness of purple sweet potato extract (Ipomoea batatas L.) of gluthathione peroxides activity (GPx)and histopathological hepar of male mice (Mus musculus L.) which had been given maximal physical activity.

This experimental research laboratory with the design of the post test only control

group. The male mice research’s subject (Mus musculus L.) Strain DD Webster,

aged 6-8 weeks with 25-35 grams, obtained from the Natural Science USU. Subjects were divided into six groups, those are : P1 (control), P2 (maximal physical activity during 60 minutes), P3 (extract 0,5ml), P4 (maximal physical activity during 60 minutes + 0,5ml ekstrak), P5 (maximal physical activity during 60 minutes + extract 1ml), P6 (maximal physical activity during 60 minutes + extract 1,5ml). Then, there were normality and homogeneity tests of data, if the result of research are normally distributed and homogeneous there will be an ANOVA test (p <0.05) continued by a Post Hoc test with mann whitney analysis of 5%, when the data were not normally distributed and homogeneous, followed by the kruskall-wallis (p <0.05). All data was used by software SPSS 19.

The research shown that average of GPx activity in P5 was the highest activity enzyme of GPx 19,39±7,06, continuosly to P4 (7,05±8,19), P1 (6,58±7,04), P3 (4,50±4,31), P6 (3,03±1,98), dan P2 (1,84±0,92) as the lower activity enzyme of GPx. p = 0.024 it shown that the GPx activity enzyme had a significant different between groups in this research. Histopatology of hepar shown that P1 as a normal (100%), P2 had a damage A3 (100%) , P3 had a damage of A1 (50%) and A2 (50%), P4 had a damage of A1 (25%) and A2 (75%), P5 had a damage of A1 (25%) dan A2 (75%) dan P6 had a damage as like as P2 that A3 (100%). P value was 0,001 it shown that there a significant difference between control group with the others group.

This research has shown that extract of purple sweet potato (Ipomea batatas L.) could increased the significant GPx activity but could not to fix damaged of hepar histopatology.

Key words :maximal physical activity, GPx, antioxidants, free radical, Anthocyanins, Purple Sweet Potato,


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT atas rahmah dan berkah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dengan judul ”Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea Batatas L.) Terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) Dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus Musculus) yang diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal”. Tesis ini merupakan salah satu syarat dalam rangka menyelesaikan program pendidikan Magister Ilmu Biomedik pada Fakultas Kedokteran, USU Medan.

Selama proses pelaksanaan penelitian hingga selesainya tesis ini, penulis memperoleh banyak dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof.Dr.dr.Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc(CTM), Sp.A (K) sebagai Rektor USU Medan beserta seluruh jajarannya.

2. Bapak Prof. dr. Gontar A. Siregar, Sp.PD, KGEH, sebagai Dekan Fakultas Kedokteran USU Medan beserta seluruh jajarannya.

3. Ibu dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D, sebagai Ketua Program Studi Ilmu Biomedik, Fakultas Kedokteran, USU Medan beserta seluruh jajarannya. 4. Ibu Dr. Ir. Herla Rusmarilin dan Bapak Prof. Dr. Ramlan Silaban, M.Si. yang

bersedia meluangkan waktu, masukan dan pemikiran sebagai dosen pembimbing selama penyusunan tesis ini.

5. Dosen pembanding, Ibu dr.Ricke Loesnihari, M.Ked (Clin-Path), Sp.PK (K) dan dr.Esther R.D. Sitorus, Sp.PA yang bersedia meluangkan waktu dan masukan pada tesis ini.


(8)

6. Ketua Prodi Magister Biologi FMIPA, Bapak Prof. Dr. Drs. Syafruddin Ilyas, M.Biomed yang telah memberikan izin penelitian hewan coba di FMIPA dan masukan dalam penyelesaian tesis ini serta para assisten Laboratorium pemeliharaan hewan FMIPA USU.

7. Ibu dr.Fitriani Lumongga, Sp.PA dan Bapak dr. Delyuzar, M.Ked (PA), Sp.PA(K) yang telah memberikan bimbingan dalam pengamatan histopatologi untuk penyelesaian tesis ini.

8. Ibu dr.Putri Chairani Eyanoer, Ms.Epi, Ph.D. beserta staff yang telah membimbing penulis untuk menyelesaikan interpretasi data dalam tesis ini. 9. Kedua orang tua, papa (Revan ED, S.H.) mama (Elita) yang telah memberikan

kasih sayang, dukungan dan doa sepenuhnya kepada penulis selama penyelesaian tesis ini. Dan juga seluruh keluarga yang telah mendoakan. 10.Kakak dr. Rika Nailuvar Sinaga, sahabat sekaligus kakak dan partner dalam

penelitian ini.

11.Seluruh teman - teman seangkatan dan seperjuangan penulis (Biomedik 2012) yang selalu kompak, ceria dan saling mendukung dalam menyelesaikan studi bersama.

Penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan tesis ini. Demikian tesis ini disampaikan semoga dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan.

Medan, April 2015 Penulis Ayu Elvana


(9)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

DATA PRIBADI

Nama Lengkap : Ayu Elvana

Tempat /tanggal lahir : Padang, 27 Juni 1989

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Belum Menikah

Agama : Islam

Pendidikan Terakhir : Sarjana Pendidikan, Jurusan Biologi

PENDIDIKAN FORMAL

· SD YAPENA 45 Medan, berijazah tahun 2001.

· SMP Negeri 34 Medan, berijazah tahun 2004.

· SMA Negeri 2 Medan, berijazah tahun 2007.

· Universitas Negeri Medan, berijazah tahun 2011.

KONTAK

Alamat : Jl. Sakti Lubis Gg. Tukang Besi No. 27c,

Kelurahan Sitirejo II, Kecamatan Medan Amplas, Kode Pos 20219, Medan.

Telepon / HP : 085296442089

Email : ayuelvana@gmail.com

Riwayat Pekerjaan

Staff pengajar Biologi SMP N 2 Perbaungan : 2010 – 2011 Staff pengajar Biologi SMP Swasta AINA : 2011 - 2012


(10)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK i

ABSTRACT ii

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP v

DAFTAR ISI vi

DAFTAR GAMBAR ix

DAFTAR TABEL x

DAFTAR SINGKATAN xi

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang 1

1.2. Perumusan Masalah 7

1.3. Tujuan Penelitian 7

1.3.1. Tujuan Umum 7

1.3.2. Tujuan Khusus 7

1.4. Manfaat Penelitian 8

1.5. Hipotesis Penelitian 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latihan Fisik 9

2.1.1. Respon fisiologis terhadap latihan fisik 10

2.2. Radikal Bebas 13

2.2.1. Struktur kimia 16

2.2.2. Sumber radikal bebas 17

2.2.3. Tipe radikal bebas dalam tubuh 19

2.2.4. Pertahanan sel terhadap radikal bebas 20

2.3. Glutation Peroksidase (GPx) 23

2.4. Ubi Jalar 27

2.4.1. Ubi Jalar Ungu 30

2.5. Antosianin 32

2.6. Hati/ Hepar 35

2.6.1. Anatomi dan Fisiologi Hepar 36

2.6.2. Mikroskopis Kerusakan Hepar 39

2.6.3. Metabolisme Antioksidan dalam Hepar 40

2.7. Kerangka konsep 42

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Desain penelitian 43

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

3.2.1. Lokasi 43

3.2.2. Waktu 43


(11)

3.3.1. Populasi 45

3.3.2. Sampel 45

3.4. Variabel Penelitian

3.4.1. Variabel independent (bebas) 45

3.4.2. Variabel dependent (terikat) 46

3.5. Defenisi Operasional 46

3.6. Etika Penelitian 47

3.7. Alat dan Bahan Penelitian

3.7.1. Alat-alat yang Dipergunakan Dalam Penelitian 47

3.7.2. Bahan-bahan yang Dipergunakan Dalam Penelitian 47

3.8. Prosedur Penelitian 48

3.9. Prosedur Pelaksanaan Penelitian dan Pengamatan

3.9.1. Pre-Eliminari 50

3.9.2. Pembuatan ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.)

3.9.2.1.Pembuatan Ekstrak 51

3.9.2.2.Penentuan Kadar Antosianin 52

3.9.3. Pemeliharaan Hewan Coba 52

3.9.4. Perlakuan Latihan Fisik Hewan Coba 53

3.9.5. Pembedahan Mencit 53

3.9.6. Makroskopik

3.9.6.1.Berat Badan 54

3.9.6.2. Tingkah Laku Mencit (Mus musculus L.) 54

3.9.6.3. Warna Hepar 3.9.7. Kimiawi

3.9.7.1. Enzim Gluthation Peroksidase (GPx) 55

3.9.8. Mikroskopik

3.9.8.1. Histopatologi Hepar 56

3.10. Analisa Data 60

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil dan Pembahasan Penelitian 61

4.1.1. Hasil dan Pembahasan Kadar Antosianin dan Kandungan Gizi yang Terkandung dalam Ekstrak Umbi Jalar Ungu

(Ipomoea batatas L.) yang Digunakan untuk Penelitian 61 4.1.2. Makroskopik

4.1.2.1. Hasil dan Pembahasan Berat Badan Mencit 64

4.1.2.2. Hasil dan Pembahasan Tingkah Laku Mencit 68

4.1.2.3. Hasil dan Pembahasan Warna Organ Hepar Mencit 74 4.1.3. Kimiawi

4.1.3.1. Hasil dan Pembahasan Aktivitas Enzim Glutation

Peroksidase pada Organ Hepar Mencit 74

4.1.4. Mikroskopik

4.1.4.1. Hasil dan Pembahasan Gambaran Histopatologi


(12)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan 86

5.2. Saran 87

DAFTAR PUSTAKA 88


(13)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1. Struktur kimia radikal bebas 16

Gambar 2.2. Enzim-enzim pertahanan antioksidan 20

Gambar 2.3. Mekanisme katalisis h2o2 oleh glutation peroksidase 26

Gambar 2.4. Ubi jalar ungu 31

Gambar 2.5. Struktur antosianin dan klasifikasinya 33

Gambar 2.6. Anatomi hepar 36

Gambar 2.7. Kerangka konsep 43

Gambar 3.1. Alur perlakuan penelitian 49

Gambar 3.2. Mencit berenang hingga kelelahan 50

Gambar 3.3. Algorithm for evaluation of histological activity 57

Gambar 3.4. Gambaran normal lobulus hati (perbesaran 100x)

(sumber : eroschenko, 2003) 59

Gambar 3.5. Gambaran nekrosis lobuilus hati, (perbesaran 100x)

(sumber : musthofiyah, 2008 ) 59

Gambar 4.1. Gambar ubi jalar ungu yang digunakan dalam penelitian 62 Gambar 4.2. Grafik perubahan berat badan mencit rerata per-minggu 65 Gambar 4.3. Perbedaan tingkah laku masing-masing kelompok setiap

harinya selama 14 hari perlakuan 68

Gambar 4.4. Mencit yang dipergunakan dalam penelitian 70

Gambar 4.5. Warna hepar mencit penelitian 74


(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2.1. Antioksidan dan Enzim Pembersih (Scavenging) 22

Tabel 2.2. Ubi Jalar Juga Mengandung Berbagai Antioksidan 29

Tabel 3.1. Defenisi Operasional 46

Tabel 3.2. Hasil Perhitungan Berat Badan dan Waktu Pre-Eliminari 51

Tabel 3.3. Metavir Histologic Activity Score 58

Tabel 3.4. Metavir Histologic Activity Criteria 58

Tabel 3.5. Metavir Fibrosis Score 58

Tabel 4.1. Kandungan gizi umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) 62 Tabel 4.2. Perubahan berat badan per-minggu mencit selama perlakuan 64 Tabel 4.3. Perbedaan rerata berat badan mencit setelah perlakuan 65 Tabel 4.4. Perbedaan tingkah laku masing-masing kelompok setiap

harinya selama 14 hari perlakuan 68

Tabel 4.5. Perbedaan nilai P tingkah laku mencit selama 14 hari

Perlakuan 70

Tabel 4.6. Hasil rerata nilai aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) di hepar mencit (Mus musculus L.) setelah perlakuan selama

14 hari 74

Tabel 4.7. Perbedaan aktivitas enzim antar kelompok 76


(15)

DAFTAR SINGKATAN

GPX : Gluthathione peroxides

CAT : Catalase

SOD : Superoksid dismutase

GSH : Glutation tereduksi

GSSG : Glutation teroksidasi

Se : Selenium

ROS : Reactive Oksigen Species

VO2 max : Konsumsi oksigen maksimum

O2 :Oksigen

H2O2• : Hidrogen peroksida OH• : Radikal hidroksil

ATP : Adenosine triphosphate

O2• : Superoksida anion

RO• : Alkoksil RO2• : Peroksil

O3 : Ozon

RNS : Reactive Nitrogen Spesies

NO2• : Nitrooksida ONOO• : Peroksinitrit

3O2 : Triplet

singlet/1O2 : Tunggal

NO-• : Nitrit oksida ONOO-• : Peroksinitrit

HOCl• : Asam hipoklorus

LO-• : Radikal alkoxyl LO-2• : Radikal peroksil ADI : Acceptable Daily Intake

P1 : Kontrol yang tidak diberikan perlakuan apapun

P2 : Latihan fisik maksimal selama 60 menit

P3 : Ekstrak sebanyak 0,5 ml selama 14 hari

P4 : Latihan fisik maksimal selama 60 menit + ekstrak umbi ubi jalar ungu sebanyak 0,5 ml setiap harinya selama 14 hari.

P5 : Latihan fisik maksimal selama 60 menit + ekstrak umbi ubi jalar ungu sebanyak 1 ml setiap harinya selama 14 hari

P6 : Latihan fisik maksimal selama 60 menit + ekstrak umbi ubi jalar ungu sebanyak 1,5ml setiap harinya selama 14 hari


(16)

ABSTRAK

Latihan fisik dapat meningkatkan sistem pertahanan antioksidan organisme, tetapi periode yang panjang dan berat pada latihan akan mengganggu keseimbangan oksidan ataupun antioksidan. Keseimbangan antara radikal bebas dengan kemampuan antioksidan alami tubuh akan terganggu yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan. Glutation peroksidase yang rendah berkorelasi dengan gangguan yang berhubungan dengan radikal bebas. Salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin. Tumbuhan ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) yang umbinya mengandung antosianin cukup tinggi.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (ipomoea batatas l.) terhadap aktivitas glutation peroksidase (gpx) dan perubahan histopatologi hepar mencit (mus musculus) yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal. Penelitian dilakukan dengan desain control group post test only secara in vivo terhadap 24 ekor mencit putih jantan (Mus musculus L), strain DD Webster. Dibagi atas 6 kelompok terdiri dari : P1 (kontrol), P2 (Latihan fisik maksimal selama 60menit), P3 (ekstrak 0,5ml), P4 (latihan fisik maksimal selama 60menit + 0,5ml ekstrak), P5 (latihan fisik maksimal selama 60menit + 1ml ekstrak), P6 (latihan fisik maksimal + 1,5ml ekstrak). Jika data berdistribusi normal dan homogen maka dilakukan uji ANOVA. Jika data tidak maka dilakukan uji Kruskal-Wallis. Untuk melihat adanya perbedaan antara kelompok kontrol dengan perlakuan akan dilakukan uji Post-Hoc. Semua analisa data dilakukan dengan menggunakan software SPSS 19. Dalam penelitian ini untuk keputusan uji statistik diambil taraf nyata 5% (p = 0,05).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata aktivitas enzim GPx pada kelompok P5 merupakan aktivitas enzim GPx paling tinggi yaitu 19,39±7,06, kemudian diikuti secara berurut oleh P4 (7,05±8,19), P1 (6,58±7,04), P3 (4,50±4,31), P6 (3,03±1,98), dan P2 (1,84±0,92) merupakan aktivitas enzim GPx yang paling rendah. diperoleh nilai p = 0.024 yang artinya terdapat perbedaan bermakna nilai aktivitas enzim GPx antar kelompok karna P<0,05. Histopatologi hepar menunjukkan bahwa P1 normal (100%), P2 memiliki kerusakan A3 (100%) , P3 memiliki kerusakan A1 (50%) dan A2 (50%), P4 memiliki kerusakan A1 (25%) dan A2 (75%), P5 memiliki kerusakan A1 (25%) dan A2 (75%) dan P6 memiliki kerusakan yang sama dengan P2 yaitu A3 (100%). diperoleh nilai P = 0,001 yang artinya terdapat perbedaan bermakna gambaran histopatologi hepar mencit antar kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol.

Pada penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian ekstrak dapat meningkatkan aktivitas enzim GPx secara signifikan tetapi tidak pada histopatologi hepar.

Kata kunci : Latihan fisik maksimal, GPx, antioksidan, radikal bebas, histopatologi hepar, ubi jalar ungu, antosianin


(17)

ABSTRACT

Physical exercise can increase defense system organisms antioxidant, but for a long periods and exhaustive exersice will make imbalance of oxidant or an antioxidant. The balance between free radical to the ability of endogenous antioxidant will be disrupted that will eventually lead to tissue damage. The low of Gluthatione peroxides had a corelation of free radical disorders. One component of the flavonoid antioxidant is that could serve as a natural dyestuff called anthocyanin. Purple sweet potat (Ipomea batatas L.) Containing high of anthocyanin's.

The aim of this research was to determine the usefulness of purple sweet potato extract (Ipomoea batatas L.) of gluthathione peroxides activity (GPx)and histopathological hepar of male mice (Mus musculus L.) which had been given maximal physical activity.

This experimental research laboratory with the design of the post test only control

group. The male mice research’s subject (Mus musculus L.) Strain DD Webster,

aged 6-8 weeks with 25-35 grams, obtained from the Natural Science USU. Subjects were divided into six groups, those are : P1 (control), P2 (maximal physical activity during 60 minutes), P3 (extract 0,5ml), P4 (maximal physical activity during 60 minutes + 0,5ml ekstrak), P5 (maximal physical activity during 60 minutes + extract 1ml), P6 (maximal physical activity during 60 minutes + extract 1,5ml). Then, there were normality and homogeneity tests of data, if the result of research are normally distributed and homogeneous there will be an ANOVA test (p <0.05) continued by a Post Hoc test with mann whitney analysis of 5%, when the data were not normally distributed and homogeneous, followed by the kruskall-wallis (p <0.05). All data was used by software SPSS 19.

The research shown that average of GPx activity in P5 was the highest activity enzyme of GPx 19,39±7,06, continuosly to P4 (7,05±8,19), P1 (6,58±7,04), P3 (4,50±4,31), P6 (3,03±1,98), dan P2 (1,84±0,92) as the lower activity enzyme of GPx. p = 0.024 it shown that the GPx activity enzyme had a significant different between groups in this research. Histopatology of hepar shown that P1 as a normal (100%), P2 had a damage A3 (100%) , P3 had a damage of A1 (50%) and A2 (50%), P4 had a damage of A1 (25%) and A2 (75%), P5 had a damage of A1 (25%) dan A2 (75%) dan P6 had a damage as like as P2 that A3 (100%). P value was 0,001 it shown that there a significant difference between control group with the others group.

This research has shown that extract of purple sweet potato (Ipomea batatas L.) could increased the significant GPx activity but could not to fix damaged of hepar histopatology.

Key words :maximal physical activity, GPx, antioxidants, free radical, Anthocyanins, Purple Sweet Potato,


(18)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Banyak orang menginginkan tubuh yang sehat dan ideal, sehingga banyak orang berusaha untuk melakukan olah raga secara teratur. Beberapa orang berpikir bahwa semua jenis olahraga baik bagi tubuh mereka, tetapi mereka tidak tahu kalau sebenarnya olahraga itu, terutama bila dilakukan dengan cara yang salah, dapat membahayakan kesehatan mereka (Fillophy, 2014).

Latihan fisik dan atau olahraga merupakan upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan. Latihan fisik dan atau olah raga merupakan sebagian kebutuhan pokok dalam kehidupan sehari-hari karena dapat meningkatkan kebugaran yang diperlukan dalam melakukan tugasnya (www.depkes.go.id, 2014). Latihan fisik untuk kebugaran dan ketahanan tubuh diminati banyak orang. American College and Sports Medicine merekomendasikan latihan-latihan untuk mencapai kebugaran kardiorespirasi dan kerampingan tubuh dengan memperhatikan frekwensi, intensitas, lamanya dan macam aktivitas (Sastradipradja, 2014).

Maraknya pusat kebugaran mempermudah orang dewasa yang ingin menurunkan berat badan dan meningkatkan kesehatan tubuh dengan cara berolahraga. Dengan harapan timbunan lemak bisa cepat terbakar dan mencapai kesehatan dan kebugaran tubuh yang optimal, mereka memanfaatkan beragam alat dan fasilitas olahraga dalam jangka waktu yang lama. Banyak orang yang hanya melakukan olahraga tetapi tidak merasakan peningkatan kebugaran dalam tubuh


(19)

mereka. Beberapa orang bahkan dilaporkan cidera, dan yang paling parah sampai meninggal dunia, akibat melakukan olahraga yang berlebihan (Fillophy, 2014).

Latihan fisik yang teratur akan memberikan efek yang menguntungkan dalam pencegahan dari berbagai penyakit seperti diabetes melitus, hipertensi, kanker, obesitas, osteoporosis dan kematian dini. Tetapi jika melakukan latihan fisik secara berat dan berlebihan apalagi bagi seseorang yang tidak biasa melakukannya, hasilnya tidak baik untuk tubuh. Menurut Kirschvink et al. (2008) walaupun latihan meningkatkan sistem pertahanan antioksidan organisme, periode yang panjang dan berat pada latihan akan mengganggu keseimbangan oksidan ataupun antioksidan. (Es cribano et al., 2010).

Selama latihan fisik maksimal, pengeluaran radikal bebas terutama superoksida dapat meningkat dalam mitokondria, atau pusat-pusat energi di dalam selsaat sel tubuh menggunakan oksigen untuk menghasilkan energi, sel-sel tubuh dapat membentuk molekul reaktif (mudah bereaksi) yang disebut radikal bebas. Molekul-molekul radikal bebas tidak stabil karena kekurangan elektron pada salah satu atomnya. Molekul tidak stabil ini akan aktif mencari-cari pasangan elektron untuk atom yang kekurangan elektron tersebut. Ia akan sangat aktif untuk bereaksi dengan molekul-molekul yang ada di sekitarnya. Reaksi radikal bebas dengan molekul yang ada dalam tubuh ini seringkali merugikan sel-sel tubuh (Cooper, 2001).

Dalam kondisi tertentu, radikal bebas dapat melebihi sistem pertahanan tubuh, kondisi ini disebut sebagai stress oksidatif (Agarwal et al, 2005). Pada kondisi ini, keseimbangan antara radikal bebas dengan kemampuan antioksidan


(20)

alami tubuh akan terganggu yang akhirnya akan menyebabkan kerusakan jaringan. Produksi ROS oleh karena latihan fisik maksimal memperoleh respon yang berbeda, bergantung tipe dari organ jaringan dan tingkat dari antioksidan endogennya masing-masing (Daniel, et al, 2010).

Tubuh memiliki mekanisme proteksi yang menetralkan radikal bebas yang terbentuk, antara lain dengan adanya enzim-enzim superoksida dismutase (SOD), katalase, dan glutathion peroksidase (GPx) (Winarsi, 2007). Glutation peroksidase intraseluler berpotensi mengubah molekul hidrogen peroksida dengan cara mengoksidasi glutation bentuk tereduksi mencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari kerusakan oksidasi, dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid hidroperoksida. Menurut Delmas-Beauvieaux, et al. (1996) melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase mendekomposisikan H2O2 lebih kuat dibandingkan dengan enzim katalase. Aktivitas enzim glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari 90% H2O2 (Winarsi, 2007).

Pada saat latihan fisik maksimal terjadi peningkatan konsumsi oksigen sampai 20 kali, bahkan dalam otot dapat mencapai 100 kali, hal ini akan menyebabkan gangguan homeostasis intraselluler (Ji, 1999; Thirumalai et al, 2011). Penggunaan oksigen yang berlebih ini dapat memicu pembentukan radikal bebas di berbagai jaringan tubuh. (Cooper, 2001). Menurut Gomez-Gabrera,et al.

(2008) ketika latihan sangat memakan tenaga maka ini akan menyebabkan stres oksidatif dan kerusakan jaringan (Es cribano, B.M., et al. 2010). Di sisi lain,


(21)

aliran darah dan metabolisme menurun secara signifikan pada hati dan ginjal selama latihan (Radak et al, 2013).

Latihan intensif yang tinggi pada 75% dan 90% VO2max menyebabkan peningkatan parameter biokimia dalam hati dan pankreas dapat menyebabkan perubahan histopatologi (Lima et al., 2013). Penelitian yang dilakukan oleh Rachmani menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara gambaran nekrosis sel hepar kelompok kontrol negatif dan kelompok kontrol positif (p < 0.05) pada mencit yang di induksi menjadi stress oksidatif. Hal ini sesuai dengan penelitian Jawi et al. (2006), dimana terjadi peningkatan jumlah nekrosis sel hepar mencit yang diberi latihan fisik maksimal bila dibandingkan dengan kelompok kontrol tanpa perlakuan latihan fisik maksimal. Nekrosis sel hepar tejadi akibat adanya stress oksidatif (Rachmani, 2009).

Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan konsentrasi tinggi, sedangkan jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung, dan jaringan adipose mengandung kadar glutation peroksidase dalam kadar sedang, glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis, dan lensa mata (Sugianto, 2011).

Antioksidan gluthation peroksidase (GPx) bekerja dengan cara menggerakkan H2O2 dan lipid peroksida dibantu dengan ion logam-logam transisi (Simanjuntak, 2012). Glutation peroksidase yang rendah berkorelasi dengan gangguan yang berhubungan dengan radikal bebas (Judge et al., 2005). Meningkatnya konsentrasi dari GSH, GSH-Px dan CAT mengurangi resiko dari cedera sel, meningkatkan performance dan mengurangi kelelahan otot. (Es


(22)

cribano, et al. 2010). Aktivitas enzim ini juga dapat diinduksi oleh antioksidan sekunder isoflavon (Chen et al., 2002).

Peningkatan prevalensi penyakit degeneratif di Indonesia, memotivasi para peneliti pangan dan gizi Indonesia untuk mengeksplorasi senyawa-senyawa antioksidan yang berasal dari sumber alami (Simanjuntak, 2012). Selain vitamin E dan vitamin C ternyata beberapa flavonoid yang terdapat pada tumbuh-tumbuhan memiliki khasiat antioksidan. Polcomy et al. (2001), menyatakan bahwa aktivitas antioksidan dari senyawa alamiah yang berasal dari tanaman seperti flavonoid disebabkan adanya gugus hidroksil pada struktur molekulnya.

Aktivitas antioksidan flavonoid tergantung pada struktur molekulnya terutama gugus prenil (CH3)2C=CH-CH2-. Dalam penelitian menunjukkan bahwa gugus prenil flavonoid dikembangkan untuk pencegahan atau terapi terhadap penyakit-penyakit yang diasosiasikan dengan radikal bebas. Salah satu komponen flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin (Simanjuntak, 2012). Berdasarkan hasil penelitian Sugianto (2011) menyimpulkan bahwa pemberian jus delima merah (Punica granatum) yang mengandung antosianin dapat meningkatkan kadar glutation peroksidase darah mencit (Mus Musculus) dengan latihan fisik maksimal (Sugianto, 2011).

Berdasarkan hasil penelitian dari Fakultas Pertanian Unud di Bali ditemukan tumbuhan ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) yang umbinya mengandung antosianin cukup tinggi yaitu berkisar antara 110mg-210 mg/100gram (Suprapta, 2004). Pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu lokal Bali baik yang tidak diolah


(23)

maupun dalam bentuk sirup dapat melindungi jaringan hati dari pengaruh radikal bebas akibat latihan fisik maksimal pada mencit. Pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) yang mengandung antosianin dapat mengurangi pengaruh radikal bebas terhadap jaringan hati mencit, terlihat dari menurunnya AST (aspartate transaminase) dan ALT (alanine aminotransaminase)

dibandingkan tanpa pemberian ekstrak (Jawi, 2007).

Penelitian yang dilakukan oleh Rachmani memberikan hasil secara histopatologi tampak bahwa tingkat nekrosis paling banyak ditemukan pada mencit yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal tanpa suplementasi ekstrak umbi lpomoea batatas. Penurunan tersebut diduga disebabkan oleh kandungan antosianin pada daun lpomoea batatas yang berfungsi sebagai scavenger radikal bebas sehingga dapat mengurangi terjadinya kerusakan pada sel hepar (Rachmani, 2009).

Meskipun beberapa penelitian dilaporkan bahwa ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) merupakan salah satu antioksidan yang baik, belum ada penelitian yang melaporkan apakah ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomea batatas L.) mempengaruhi aktivitas enzim gluthation peroksidase (GPx) dan histopatologi hepar pada mencit (Mus musculus) yang mengalami stress oksidatif setelah latihan fisik maksimal. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti ingin meniliti ―Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Enzim Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus Musculus) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal”.


(24)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti merumuskan masalah penelitian berikut ini : Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) dan histopatologi hepar mencit (Mus musculus) yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Mengetahui bagaimana pengaruh pemberian ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) dan histopatologi hepar mencit (Mus musculus) yang diberi perlakuan latihan fisik maksimal.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui kadar antosianin dan kandungan gizi yang terkandung dalam ekstrak umbi ubi jalar ungu (Ipomoea batatas L.) yang digunakan untuk penelitian

b. Mengetahui perbedaan berat badan mencit (Mus musculus) antar kelompok setelah perlakuan selama 14 hari

c. Mengetahui perbedaan tingkah laku mencit (Mus musculus) setiap harinya selama 14 hari perlakuan


(25)

d. Mengetahui perbedaan aktivitas enzim glutation peroksidase (GPx) antar kelompok setelah perlakuan selama 14 hari

e. Mengetahui perbedaan histopatologi hepar mencit (Mus musculus) antar kelompok setelah perlakuan selama 14 hari

1.4. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai :

a. Informasi ilmiah bagi ilmu kesehatan serta ilmu kedokteran untuk meminimalisasikan dampak negatif radikal bebas.

b. Dapat dijadikan referensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya untuk meneruskan penelitian sejenis dan dapat mengembangkannya.

1.5. Hipotesis Penelitian

Hipotesis dalam penelitian ini adalah : Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) dapat Meningkatkan Aktivitas Enzim Glutation Peroksidase (GPx) dan Menurunkan Kerusakan Hepar Mencit (Mus musculus) yang diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal.


(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Latihan Fisik

Menurut Caspersen, (1985) di dalam Yudianto (2014) istilah " latihan fisik" dan "aktivitas fisik" seringtertukar penggunaannya. Aktiv

itas fisik diartikan pada gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot rangka yang mengeluarkan energi, yang pada masing-masing orang bervariasi (diukur oleh kilokalori). Latihan fisik adalah subkategori dari aktivitas fisik yang direncanakan, terstruktur, berulang, dan bermanfaat dalam arti untuk perbaikan atau pemeliharaan dari satu atau lebih komponen kebugaran fisik pada seseorang. Latihan kondisi fisik adalah proses memperkembangkan kemampuan Aktivitas gerak jasmani yang dilakukan secara sistematik dan ditingkatkan secara progressif untuk mempertahankan atau meningkatkan derajat kebugaran jasmani agar tercapai kemampuan kerja fisik yang optimal(Yudianta, 2014).

Olahraga yang teratur dan tepat dapat mempertahankan kebugaran fisik. Kondisi lingkungan yang memadai dan takaran pelatihan yang tepat untuk setiap individu meliputi frekuensi, intensitas, tipe dan waktu sangat mendukung untuk mendapatkan hasil yang maksimal dan resiko yang minimal pada pelatihan olahraga. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan 3-4 kali seminggu dengan intensitas 72%-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur) dengan variasi 10 denyut permenit. Tipe pelatihan yang dianjurkan adalah kombinasi dari latihan aerobic dan pelatihan otot dalam waktu 30-60 menit, yang didahului oleh


(27)

pemanasan selama 15 menit dan diakhiri oleh pendinginan selama 10 menit (Pangkahila, 2009).

Saat latihan fisik akan terjadi peningkatan konsumsi oksigen. Peningkatan ini akan mencapai maksimal saat penambahan beban kerja tidak mampu lagi meningkatkan konsumsi oksigen. Hal ini dikenal dengan konsumsi oksigen maksimum (VO2 max). Sesudah VO2 max tercapai, kerja ditingkatkan dan dipertahankan hanya dalam waktu singkat dengan metabolisme anaerob pada otot yang latihan. Secara teoritis, VO2 max dibatasi oleh cardiac output, kemampuan sistem respirasi untuk membawa oksigen darah, dan kemampuan otot yang bekerja untuk menggunakan oksigen. Faktanya, pada orang normal (kecuali atlet pada yang sangat terlatih), cardiac output adalah faktor yang menentukan VO2 max (Vander et al., 2001).

2.1.1. Respon fisiologis terhadap latihan fisik

Manfaat latihan fisik akan hilang bila latihan fisik dilakukan sampai kelelahan. Latihan fisik maksimal yang melelahkan, terutama bila dilakukan sekali-sekali, dapat menyebabkan kerusakan struktur atau reaksi inflamasi pada otot. Kerusakan ini, berhubungan dengan, paling tidak sebagian diantara kerusakan tersebut diakibatkan oleh oksidan yang dihasilkan oleh latihan fisik (Thirumalai et al., 2011).

Organisme aerobik menghasilkan ROS selama respirasi normal dan inflamasi. Latihan dapat membuat ketidakseimbangan antara oksidan dan antioksidan, yang dikenal dengan sebutan stres oksidatif. stress oksidatif dihasilkan dari latihan akut baik subjek terlatih ataupun tidak dapat menyebabkan


(28)

kerusakan enzim, reseptor protein, membran lipida, dan DNA (Leeuwenburgh, et al., 2001).

Menurut Ji (2003), selama Aktivitas fisik maksimal, konsumsi oksigen seluruh tubuh meningkat sampai 20 kali, sedangkan konsumsi oksigen pada serabut otot diperkirakan meningkat 100 kali lipat, sebagian kecil dari oksigen tersebut ±2-4% akan dirubah menjadi superoksida melalui transport elektron.

Pelaku olahraga dengan intensitas tinggi (Olahraga berat), menghasilkan radikal bebas dalam jumlah besar. Bila terjadi over training maka produksi radikal bebas meningkat melebihi kemampuan antioksidan exogen. Tetapi orang yang berlatih, khususnya terlatih dalam lingkup Olahraga Kesehatan, lebih tahan terhadap stress oxidative, kecuali bila olahraga demikian berat dan lama yang memerlukan pemakaian glikogen otot yang tinggi.

Peningkatan konsumsi oksigen oleh tubuh selama berolahraga berat dapat meningkat sepuluh sampai dua puluh kali atau lebih. Dibawah stress yang tinggi, dalam serat otot terjadi peningkatan penggunaan oksigen diatas kebutuhan normal. Peningkatan oksigen yang luar biasa ini dapat memicu pelepasan radikal bebas, yang akan terlibat dalam proses oksidasi lemak membran sel otot. Proses tersebut disebut peroksidasi lipid dan menyebabkan sel menjadi lebih mudah mengalami proses penuaan atau kerusakan lain (Cooper, 2001)

Latihan fisik berat dapat meningkatkan konsumsi oksigen, karena terjadi peningkatan metabolism didalam tubuh. Peningkatan penggunaan oksigen terutama oleh otot-otot yang berkontraksi, menyebabkan terjadi peningkatan kebocoran elektron dari mitokondria yang akan menjadi ROS (Reactive Oksigen


(29)

Species). Oksigen yang digunakan dalam proses metabolisme tubuh saat aktivitas fisik berat, dapat menyebabkan peningkatan produksi radikal bebas yang bersifat sangat reaktif terhadap sel atau komponen sel sekitarnya (Chevion et al, 2003).

Mekanisme pembentukan oksidan selama olahraga : (1)Kebocoran elektron, Pada olahraga berat konsumsi oksigen dapat meningkat 10-20 kali istirahat atau lebih. Sedangkan serabut otot yang paling terbebani (paling aktif) dapat mengkonsumsi O2 100-200 kali normal. Pemakaian O2 yang luar biasa banyak ini memicu pembebasan oksidan dalam jaringan itu dan dapat melelahkan mitokondria yang merupakan pusat pembentukan energi; (2)Ischaemic refurfusion, Pada olahraga berat, darah yang menuju ke organ-organ yang tidak aktif misalnya hepar, ginjal, lambung dan usus, dialihkan ke otot-otot yang aktif (tungkai dan jantung). Hal ini menyebabkan terjadinya kekurangan O2 (hypoxia) secara akut pada organ-organ tersebut. Bila olahraga dihentikan, darah akan dengan cepat mengalir kembali ke organ-organ tersebut. Proses ini disebut sebagai ―reperfusion” dan hal ini dikaitkan dengan terbebaskannya oksidan dalam jumlah besar. Hal demikian juga pada otot yang terlibat dalam olahraga berat (overload) terutama bila mendekati atau mencapai tingkat exhaustion (Cooper, 2001).

Meningkatnya metabolisme aerobik selama latihan merupakan sumber utama dari stress oksidatif. Pada otot, mitokondria adalah salah satu sumber penting dari reaktif intermediet yaitu, Superoksida (O2•-), hidrogen peroksida (H2O2), dan kemungkinan juga hidroksil radikal (HO•). Latihan membuat mitokondria hati bekerja secara terus menerus, mereka harus memiliki ADP tinggi


(30)

dan hampir pada tingkat tiga, bahkan pada saat istirahat. Latihan akut pada subjek yang tidak terlatih dapat menyebabkan stres oksidatif. Namun secara terus menerus dalam beberapa periode menginduksi pencegahan pada kerusakan oksidatif (Leeuwenburgh, et al., 2001).

2.2. Radikal Bebas

Reaksi oksidasi terjadi setiap saat. Ketika kita bernapas pun terjadi reasksi oksidasi. Reaksi ini mencetuskan terbentuknya radikal bebas yang sangat aktif, yang dapat merusak struktur serta fungsi sel. Namun, reaktivitas radikal bebas itu dapat dihambat oleh sistem antioksidan yang melengkapi sistem kekebalan tubuh. Seringkali pengertian oksidan dan radikal bebas dianggap sama karena keduanya memiliki kemiripan sifat. Kedua jenis senyawa ini juga memiliki aktivitas yang sama dan memberikan akibat yang hampir sama, meskipun melalui proses yang berbeda. Sebagai contoh, dampak reaksi H2O2 (sebagai oksidan) dan radikal bebas hidroksil (OH•) terhadap glutation (GSH) (Winarsi, 2007).

a) H2O2 + GSH  GSSG + H2O b) OH• + H2O  H2O + GS•

Radikal bebas c) GS• + GS•  GSSG

Radikal bebas adalah molekul oksigen yang tidak stabil dan molekul tidak stabil lain mengandung satu atau lebih electron bebas (elektron yang tidak berpasangan = unpaired electron). Adanya satu atau lebih elektron bebas menyebabkan senyawa itu menjadi sangat reaktif. Peran merusak dari radikal bebas baru dikenal setelah tahun 1954 (Cooper, 2001).


(31)

Dalam tubuh terdapat molekul oksigen yang stabil dan yang tidak stabil. Molekul oksigen yang stabil, sangat penting untuk memelihara kehidupan. Yang tidak stabil termasuk golongan radikal bebas. Sejumlah tertentu radikal bebas diperlukan untuk kesehatan, tetapi kelebihan radikal bebas bersifat merusak dan sangat berbahaya. Fungsi radikal bebas dalam tubuh adalah melawan radang, membunuh bakteri dan mengatur tonus otot polos dalam organ tubuh dan pembuluh darah (Araújo, et al. 2011).

Produksi radikal bebas yang terlalu banyak terjadi oleh adanya berbagai faktor misalnya: sinar ultra violet (terdapat dalam sinar matahari), kontaminan dalam makanan (zat warna textile yang dipergunakan untuk mewarnai makanan), polusi udara (pencemaran udara oleh asap pabrik dan kendaraan bermotor), asap rokok, insektisida (dalam pertanian dan rumah tangga) dan olahraga berat, serta berbagai bentuk stress psikis (Sharma, 2010).

Radikal bebas merupakan salah satu bentuk senyawa oksigen reaktif, yang secara umum diketahui sebagai senyawa yang memiliki elektron yang tidak berpasangan. Senyawa ini terbentuk dalam tubuh, dipicu oleh bermacam-macam faktor. Radikal bebas ini terbentuk, misalnya, ketika komponen makanan diubah menjadi bentuk energi melalui proses metabolisme. Pada proses metabolisme ini, sering kali terjadi kebocoran elektron. Dalam kondisi demikian, mudah sekali terbentuk radikal bebas, seperti anion superoksida, hidroksil, dan lain-lain. Radikal bebas juga dapat terbentuk dari senyawa lain yang sebenarnya bukan radikal bebas, tetapi mudah berubah menjadi radikal bebas misalnya, hidrogen peroksida (H2O2), ozon, dan lain-lain. Kedua kelompok senyawa tersebut sering


(32)

diistilahkan sebagai senyawa oksigen reaktif/ Reactive Oxygen Species (ROS) (Winarsi, 2007).

Senyawa oksigen reaktif berasal dari oksigen (O2) pada reaksi siklus Krebs. Siklus Krebs atau disebut juga siklus asam sitrat atau TCA (Tricarboxilic Acid Cycle) terjadi didalam mitokondria sel dimana asetil KoA (asetat aktif) dioksidasi menghasilkan CO2, membebaskan ekuivalen hydrogen yang akhirnya membentuk air dan menghasilkan ATP. ATP merupakan senyawa sumber energy bebas untuk jaringan bagi manusia yang dibentuk melalui proses fosforilasi oksidatif (Mayes 1998). Reaksi yang tejadi adalah sebagai berikut:

2NADH + 2H+ + O2 2 NAD+ + H2O + ATP Pada reaksi diatas terjadi reduksi O2 menjadi H2O sbb O2 + 4H+ + 4e- H2O

Pada proses tersebut reduksi O2 menjadi H2O merupakan pengalihan 4 elektron. Bila pengalihan elektron berjalan kurang sempurna maka akan terbentuk senyawa-senyawa oksigen berbahaya. Molekul oksigen sekarang dikatakan mempunyai diradikal karena memiliki dua elektronyang tidak berpasangan tapi keduanya terletak pada orbital yang berbeda dan menunjukkan angka kuantum putaran yang sama dan memiliki putaran sejajar (Halliwel, 2001).

Akibatnya oksigen tidak sereaktif radikal hidroksil. Disamping itu akan terjadi senyawa-senyawa oksigen reaktif seperti O2` (Superoksida). H2O2 (Hidrogen Peroksida), ROO (radikal peroksil) dan OH` (radikal hidroksil). Ion superoksida, radikal peroksil, hidrogen peroksida dan radikal peroksida dan radikal hidroksil terjadi karena pengalihan elektron yang kurang sempurna pada saat terjadi reduksi


(33)

oksigen. Molekul oksigen akan menjadi sangat reaktif bila kedua elektron tunggal disatukan dalam satu orbital dengan putaran yang berlawanan dengan perpindahan ini satu orbital menjadi kosong dan mudah diisi oleh sepasang elekton dengan putaran yang berlawanan disebut singlet oksigen (Oenzil, 2014).

2.2.1. Struktur kimia

Dalam rangka mendapatkan stabilitas kimia, radikal bebas tidak dapat mempertahankan bentuk asli dalam waktu lama dan segera berikatan dengan bahan sekitarnya. Radikal bebas akan menyerang molekul stabil yang terdekat dan mengambil elektron, zat yang terambil elektronnya akan menjadi radikal bebas juga sehingga akan memulai suatu reaksi berantai, yang akhirnya terjadi kerusakan sel tersebut (Droge, 2002). Gambar 2.1. dibawah ini menunjukkan bagaimana bentuk dari struktur kimia penyusun radikal bebas tersebut.

Gambar 2.1. Struktur kimia radikal bebas (Sumber : Arief, 2014)

Radikal bebas dapat terbentuk in-vivo dan in-vitro secara : (1)Pemecahan satu molekul normal secara homolitik menjadi dua. Proses ini jarang terjadi pada


(34)

sistem biologi karena memerlukan tenaga yang tinggi dari sinar ultraviolet, panas, dan radiasi ion; (2)Kehilangan satu elektron dari molekul normal; (3)Penambahan elektron pada molekul normal. Pada radikal bebas elektron yang tidak berpasangan tidak mempengaruhi muatan elektrik dari molekulnya, dapat bermuatan positif, negatif, atau netral (Arief, 2014).

2.2.2. Sumber radikal bebas

Oksigen untuk metabolisme aerobik digunakan sekitar 95-98 %, sisanya 2-5 % akan berubah menjadi radikal bebas endogen. Sumber radikal bebas yang lain berasal dari lingkungan berupa asap rokok, bahan kimia karsinogen dan radiasi. Radikal bebas merupakan molekul yang memiliki elektron yang tidak berpasangan pada orbit luarnya sehingga bersifat tidak stabil dan reaktif. Sifat tersebut akan memudahkan radikal bebas untuk bereaksi dengan molekul lain untuk mencapai stabil (Halliwel, 2001).

Jenis-jenis radikal bebas yang dihasilkan oleh tubuh dan radikal bebas dari lingkungan berupa: (1)Reactive Oxygen Spesies (ROS) terdiri dari radikal bebas; superoksida anion (O2•), hidroksil (OH•), alkoksil (RO•), peroksil (RO2•), serta senyawa bukan radikal yang berfungsi sebagai pengoksidasi atau senyawa yang mudah mengalami perubahan senyawa radikal seperti hidrogen peroksida (H2O2), ozon (O3)dan HOCl, (2) Reactive Nitrogen Spesies (RNS) terdiri dari radikal bebas : nitrooksida (NO2•), peroksinitrit (ONOO•), dan senyawa bukan radikal seperti HNO2 dan N2O4 Produksi berlebih dari NO• dapat menyebabkan stroke (Arief, 2014).


(35)

Sumber radikal bebas, baik endogenus maupun eksogenus terjadi melalui sederetan mekanisme reaksi antara lain : pembentukan awal radikal bebas (inisiasi), terbentuknya radikal baru (propagasi), dan tahap terakhir (terminasi) yaitu pemusnahan atau pengubahan menjadi radikal bebas stabil dan tak reaktif. Sumber radikal bebas endogen ini sangat bervariasi, dapat melewati autoksidasi, oksidasi enzimatik, fagositosis dalam respirasi, transpor elektron di mitokondria, oksidasi ion-ion logam transisi, atau melalui iskemik (Simanjuntak, 2012).

Keberadaan radikal bebas dalam tubuh merupakan suatu hal yang fisiologis, karena tubuh akan mengimbangi dengan antioksidan endogen. Kerusakan oksidatif sel terjadi jika jumlah antioksidan yang dihasilkan tidak mampu mengimbangi jumlah radikal bebas yang ada. Perlindungan sel dari kerusakan oksidatif dapat menggunakan tambahan antioksidan dari makanan berupa vitamin E, vitamin A dan vitamin C yang larut air (Halliwel, 2001).

Autoksidasi adalah senyawa yang mengandung ikatan rangkap, hidrogen alilik, benzilik atau tersier yang rentan terhadap oksidasi oleh udara. Contohnya lemak yang memproduksi asam butanoat, berbau tengik setelah bereaksi dengan udara. Oksidasi enzimatik menghasilkan oksidan asam hipoklorit. Sekitar 70-90 % konsumsi O2 oleh sel fagosit diubah menjadi superoksida, bersama dengan radikal OH serta HOCl membentuk H2O2 dengan bantuan bakteri. Oksigen dalam sistem transpor elektron menerima satu elektron membentuk superoksida. Ion logam transisi, yaitu Co dan Fe memfasilitasi produksi oksigen singlet dan pembentukan radikal OH` melalui reaksi Haber-Weiss: H2O2 + Fe2 + —> OH• +


(36)

OH- + Fe3 +. Secara singkat, xantin oksidase selama iskemik menghasilkan superoksida dan asam urat (Simanjuntak, 2012).

2.2.3. Tipe radikal bebas dalam tubuh

Radikal bebas terpenting dalam tubuh adalah radikal derivat dari oksigen yang disebut kelompok oksigen reaktif (reactive oxygen species/ROS), termasuk didalamnya adalah triplet (3O2), tunggal (singlet/1O2), anion superoksida (O2-),

radikal hidroksil (-OH•), nitrit oksida (NO-•), peroksinitrit (ONOO-•), asam hipoklorus (HOCl•), hidrogen peroksida (H2O2•), radikal alkoxyl (LO-•), dan radikal peroksil (LO-2•). Radikal bebas yang mengandung karbon (CCL3-) yang berasal dari oksidasi radikal molekul organik. Radikal yang mengandung hidrogen hasil dari penyerangan atom H. Bentuk lain adalah radikal yang mengandung sulfur yang diproduksi pada oksidasi glutation menghasilkan radikal thioyl (R-S-). Radikal yang mengandung nitrogen juga ditemukan, misalnya radikal fenyldiazine (Arief, 2014).

Efek oksidatif radikal bebas dapat menyebabkan peradangan dan penuaan dini. Lipid membran sel berubah menjadi lipid peroksida yang mempercepat penuaan. Pembentukan lipid peroksida dan malondialdehid merupakan reaksi berantai yang bersifat reaktif, senyawa tersebut dapat bereaksi kembali dengan molekul sekitarnya. Radikal bebas dapat meningkatkan kadar LDL (low density lipoprotein) yang menjadi penyebab penimbunan kolesterol pada dinding pembuluh darah atau disebut dengan aterosklerosis. Penurunan suplai darah atau iskemik karena penyumbatan pembuluh darah serta penyakit Parkinson disebabkan oleh reaksi radikal bebas. Kanker dapat terjadi dari reaksi radikal


(37)

bebas dengan DNA yang memicu terbentuknya zat karsinogenik. Zat tersebut dapat mengubah bentuk susunan DNA atau mutasi DNA (Simanjuntak, 2012).

2.2.4. Pertahanan sel terhadap radikal bebas

Sifat reaktif yang tersebar dari sistem pembentukan radikal dalam sel menyebabkan evolusi mekanisme pertahanan terhadap efek perusakan suatu bahan teroksidasi kuat. SOD (superoksida dismutase dan katalase) mengkatalisasi dismutasi dari superoksida dan hidrogen peroksida. GSH (glutation) peroksidase mereduksi peroksida hidrogen dan organik menjadi air dan alkohol (Arief, 2014).

GSH S-transferase melakukan pemindahan residu glutation menjadi metabolit elektrofilik reaktif dari xenobiotic. Produksi glutation teroksidasi (GSSG) direduksi secara cepat oleh reaksi yang menggunakan NADPH yang dihasilkan dari berbagai sistem intraseluler, diantaranya hexose-monophosphate shunt. Berbagai isoenzim organel spesifik dari dismutase superoksida juga ditemukan. SOD Zn, Cu merupakan sitoplasmik, sedangkan enzim Zn, Mn mitokondrial. Isoenzim ini tidak ditemukan dalam cairan ekstraseluler. Gambar 2.2. dibawah ini menunjukkan Aktivitas enzim intraseluler tersebut.

Gambar 2.2. Enzim-enzim pertahanan antioksidan (Sumber : Arief, 2014)

Antioksidan merupakan senyawa pemberi elektron (electron donor) atau reduktan. Senyawa ini memiliki berat molekul kecil, tetapi mampu


(38)

menginaktivasi berkembangnya reaksi oksidasi, dengan cara mencegah terbentuknya radikal. Antioksidan juga merupakan senyawa yangn dapat menghambat reaksi oksidasi, dengan mengikat radikal bebas dan molekul yang sangat reaktif. Akibatnya kerusakan sel akan dihambat (Winarsi, 2007) .

Beberapa bahan tereduksi juga bekerja sebagai antioksidan, reduksi kelompok radikal aktif seperti radikal peroksi dan hidroksi menjadi bentuk yang kurang reaktif misalnya air. Seperti halnya pembangkitan kembali oksigen singlet. Penggabungan tersebut juga mengakhiri reaksi radikal berantai. Pertahanan antioksidan kimiawi bagai pedang bermata dua. Pertama, saat bahan tereduksi menjadi radikal maka derivat radikalnya juga terbentuk. Sehingga, jika suatu radikal sangat tidak stabil, reaksi radikal berantai mungkin akan berlanjut. Kedua, bahan tereduksi dapat mereduksi oksigen menjadi superoksida atau peroksida merupakan radikal hidroksil dalam reaksi auto-oksidasi. Ascorbat dan asam urat dapat berfungsi sebagai anti oksidan, ikut serta secara langsung dalam auto-oksidasi, baik melalui reduksiaktifator oksigen lain seperti rangkaian logam transisi atau quinone, atau bertindak sebagai kofaktor enzim (Inoue, 2001).

Proses tersebut dapat melibatkan kemampuan askorbat untuk depolimerisasi DNA, hambatan Na+/K+ ATPase otak, potensiasi toksisitas paraquat, dan sebagai mediator peroksidasi lemak. Juga mempunyai kontribusi kelainan patofisiologi dari metabolisme purin. Sifat yang sesungguhnya campuran pro atau antioksidan untuk bahan pereduksi khusus adalah integrasi kompleks dari beberapa faktor. Pada kasus zat pembersih radikal hidroksil, produk dari interaksi radikal dengan antioksidan umumnya kurang reaktif dibanding radikal hidroksil.


(39)

Radikal yang terbentuk tersebut cukup stabil dan dalam konsentrasi cukup tinggi namun dapat terjadi mekanisme seperti pada glutation dan superoksida. pH sangat mempengaruhi reduksi langsung oksigen menjadi superoksida oleh senyawa sulfidril, sedangkan faktor lokal lainnya seperti konsentrasi molar dari molekul oksigen juga punya peranan penting (Arief, 2014).

Oksigen singlet dan bagian triplet molekul yang tereksitasi mungkin disempurnakan melalui interaksi bersama sistem konjugasi sistem diene seperti yang ditemukan pada karoten, tokoferol, atau melanin. Seperti antioksidan pereduksi, senyawa tersebut dapat juga menghasilkan jenis elektron aktif dan mungkin juga penyakit (Inoue, 2001). Tabel 2.1. dibawah ini menunjukkan berbagai jenis antioksidan dan enzim pembersih dalam menangkal radikal bebas beserta lokasinya di dalam tubuh.

Tabel 2.1. Antioksidan dan enzim pembersih (scavenging) Antioksidan

Glutathione Sulfhydryl Vitamin C Vitamin E ß –carotene Uric acid Bilirubin

Coenzyme Q 10

Antioksidan utama didalam dan diluar sel. Dalam sel 2-10 mM, plasma 5-25 μ M

Cysteine dan homocysteine

Antioksidan hidrofilik pada ekstraseluler 40-140 μ M dalam Plasma

Pembersih pada ruang hidrofobik dalam plasma terikat pada LDL 0.5-1.6 mg/dl (10-40 μ M)

0.055 mg/dl

Hasil metabolik adenosin dan xantine. Antioksidan kuat terhadap radikal hidroksil (HO? )

Antiokasidan hidrofobik terikat pada albumin 20 μM 0.08 mg/dl Enzim pembersih SOD Cu/Zn-SOD Mn-SOD Extracelluler SOD (ECSOD)

Terdapat pada semua sel mamalia Sitosol, eritrosit 2300 unit/g Hb Mitokondria


(40)

Catalase

GSH peroxidase GSSG reductase Thioredoxin system

Peroksisum, RBC 153.000 unit/g Hb Sitosol (75%), mitokondria (25%) NADPH dependent

Regulasi redoks

Binding protein Albumin

Ceruloplasmin Transferin

Antioksidan kuat 0.5 mM dalam plasma Aktivitas feroksidase 15-60 mg/dl plasma Membersihkan Fe bebas 200-400 mg/dl

Metalothionein Membersihkan logam berat

Radikal bebas memiliki reaktivitas yang sangat tinggi. Hal ini ditunjukkan oleh sifatnya yang segera menarik atau menyerang elektron di sekelilingnya. Senyawa radikal bebas juga dapat mengubah suatu molekul menjadi suatu radikal baru. Jika senyawa radikal baru tersebut bertemu dengan molekul lain, akan terbentuk radikal baru lagi, dan seterusnya sehingga akan terjadi reaksi berantai (chain reactions). Reaksi ini akan berlanjut terus dan akan berhenti apabila reaktivitasnya diredam (quenched) oleh senyawa yang bersifat antioksidan seperti glutation (Winarsi, 2007).

2.3. Glutation Peroksidase (GPx)

Glutation Peroksidase (GPx) merupakan selenoenzyme yang berfungsi sebagai antioksidan. Glutation peroksidase (GPx, EC 1.11.1.9) adalah enzim yang berperan penting dalam melindungi organisme dari kerusakan oksidatif dan mengandung selenium (Se) pada sisi aktifnya. Kerja enzim ini mengubah molekul hidrogen peroksida (yang dihasilkan SOD dalam sitosol dan mitokondria) dan berbagai hidro serta lipid peroksida menjadi air (Muges et al., 2001).

Glutation peroksidase adalah enzim yang mengandung selenium sebagai komponen dasarnya, sehingga digolongkan dalan selenoprotein. Enzim


(41)

glutathione peroksidase terdiri dari 4 atom selenium yang terikat sebagai selenocystein. Glutation peroksidase dapat membentuk pertahanan terhadap oksidan atau radikal bebas didalam tubuh dan mencegah kerusakan sel dengan cara mengkatalisa peroksida menjadi air dan oksigen. Karena kemampuannya inilah maka enzim ini disebut sebagai antioksida. Enzim glutathione peroksidase banyak terdapat di hepar, ginjal otot, dan plasma, terutama pada sitosol dan mitokondria. Aktivitas enzim GPx yang paling besar berada pada hepar sebesar 65,6 %, eritrosit 21,2%, dan otot sebesar 6,1% (Boylan, 2006).

GSH-Px

2GSH + H2O2 --- GSSG +2H2O

Glutation peroksidase adalah enzim intraseluler yang terdispersi dalam sitoplasma, namun aktivitasnya juga ditemukan dalam mitokondria. Glutation peroksidase ekstraseluler (secara genetik berbeda dari bentuk intraseluler) terdeteksi dalam berbagai jaringan. Glutation peroksidase sebagai ensim antioksidan bekerja sebagai peredam (quenching) radikal bebas. Glutation peroksidase juga berperan dalam metabolism xenobiotik yang ditemukan dalam kadar milimolar dalam sel (Sen, 1999).

Dalam hepar dan sel darah merah terdapat glutation peroksidase dengan konsentrasi tinggi, sedangkan jantung, ginjal, paru-paru, adrenal, lambung, dan jaringan adipose mengandung kadar gluatation peroksidase dalam kadar sedang. Glutation peroksidase kadar rendah sering ditemukan dalam otak, otot, testis, dan lensa mata (Sugianto, 2011).


(42)

Glutation peroksidase intraseluler berpotensi mengubah molekul hidrogen peroksida dengan cara mengoksidasi glutation bentuk tereduksi mencegah lipid membran dan unsur-unsur sel lainnya dari kerusakan oksidasi, dengan cara merusak molekul hidrogen peroksida dan lipid hidroperoksida. Menurut Delmas-Beauvieaux, et al. (1996) melaporkan bahwa enzim glutation peroksidase mendekomposisikan H2O2 lebih kuat dibandingkan dengan enzim katalase. Agar enzim bisa bekerja, selalu diperlukan adanya substrat, misalnya glutation, yang merupakan substrat enzim glutation peroksidase (Winarsi, 2007).

H2O2 yang terbentuk juga dapat diubah menjadi radikal hidroksil (OH). Jika tidak dinetralisir, OH akan merusak lipid dan DNA. Dalam keadaan normal , radikal bebas yang terbentuk dapat dinetralisir oleh antioksidan. Bila kadar oksigen reactive species (ROS) yang toksik melebihi pertahanan antioksidan maka akan terjadi suatu keadaan yang disebut stress oksidatif. Pada keadaan ini maka kelebihan radikal bebas dapat bereaksi dengan sel lipida,protein, dan asam nukleat sehingga menimbulkan kerusakan lokal bahkan sampai disfungsi organ. Reactive oxygen species (ROS) berperan dalam mencetuskan terjadinya penyakit vaskulopati, seperti aterosklerosis, hipertensi dan stenosis (Murray, 2009). Pada Gambar 2.3. ini dapat dilihat bagaimana berjalanannya mekanisme katalisis H2O2 oleh Glutation Peroksidase (Bhabak, 2013).


(43)

Gambar 2.3. Mekanisme katalisis h2o2 oleh glutation peroksidase (Sumber : Bhabak, 2013)

Glutation peroksidase juga berperan dalam metabolisme xenobiotik dan sintesis leukotrien, yang ditemukan dalam kadar milimolar dalam sel. Aktivitas enzim glutation peroksidase mampu mereduksi 70% peroksida organik dan lebih dari 90% H2O2. Aktivitas enzim ini juga dapat di induksi oleh antioksidan sekunder isoflavon. Senyawa flavonoid banyak ditemukan dalam sayur-sayuran dan buah-buahan, dan dilaporkan sebagai antioksidan berpotensi lebih kuat dibandingkan dengan vitamin C dan E (Prior, 2003).

Kesempurnaan kerja sistem enzim antioksidan sepenuhnya diperankan oleh tiga macam enzim (SOD, CAT, GPx). Namun yang perlu dipahami adalah, antioksidan seluler tidak dapat bekerja secara individual tanpa dukungan asupan antioksidan sekunder dari bahan pangan. Jadi, diperlukan konsumsi bahan makanan yang kaya akan komponen antioksidan dalam jumlah memadai, agar mampu menginduksi kerja enzim antioksidan dalam tubuh sehingga mampu


(44)

menekan kerusakan sel yang berlebihan dan mempertahankan status antioksidan seluler (Winarsi, 2007).

Senyawa-senyawa polifenol seperti flavonoid dan antosianin mampu menghambat reaksi oksidasi melalui mekanisme radical scavenging dengan cara menyumbangkan satu elektron pada elektron yang tidak berpasangan dalam radikal bebas sehingga banyaknya radikal bebas menjadi berkurang (Polcomy et al., 2001). Selain sebagai scavenger, senyawa flavonoid dengan kandungan anthosianin dalam tumbuhan Ipomoea batatas diduga berfungsi sebagai antioksidan dengan cara menghambat langkah propagasi, yaitu memutus rantai autoksidasi atau disebut juga Chain-breaking antioxidants (Rachmani, 2009).

2.4. Ubi Jalar

Ubi jalar dikenal hampir di seluruh wilayah Indonesia. Ubi jalar memiliki nama daerah ubi jawa (Sumatera Barat), gadong jalur (Batak), ketela (Jakarta), ketela rambat (Jawa), katila (Dayak), watata (Sulawesi Utara). Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan tanaman yang dipercaya berasal dari Benua Amerika dan telah tersebar hampir di seluruh dunia. Di Asia, negara produsen ubi jalar terbesar adalah Cina. Umbi dari tanaman ubi jalar merupakan salah satu dari sumber karbohidrat terpenting di dunia terutama Asia dan Afrika (SEAFAST, 2012).

Di Indonesia, pengembangan ubi jalar belum mendapat perhatian serius, sebagaimana tercermin dari luas tanam yang fluktuatif dengan produktivitas yang baru mencapai 9,5 t umbi/ha. Padahal di tingkat penelitian, ubi jalar mampu memberi hasil hingga 40 t/ha.Senjang hasil ini disebabkan oleh berbagai tanaman kacangkacangan dan umbi-umbian (Balitkabi) melalui penelitian. Pemuliaan ubi


(45)

jalar tidak hanya diarahkan pada hasil tinggi, tetapi juga mengedepankan kualitas gizi, di antaranya protein dan betakaroten (Truong, 2010).

Ubi jalar merupakan bahan pangan lokal sumber karbohidrat, berdasarkan warna umbinya dapat dibedakan menjadi 3 jenis, yaitu ubi jalar putih, kuning, merah/jingga hingga ungu (Budiman, 2014). Berdasarkan warna umbi, ubi jalar dibedakan menjadi beberapa golongan sebagai berikut :

1. Ubi jalar putih, yakni ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna putih, misalnya, varietas tembakur putih, varietas tembakar ungu, varietas Taiwan dan varietas MLG 12659-20P.

2. Ubi jalar kuning, yaitu jenis ubi jalar yang memilki daging umbi berwarna kuning, kuning muda atau putih kekuningan. Misalnya, varietas lapis 34, varietas South Queen 27, varietas Kawagoya, varietas Cicah 16 dan varietas Tis 5125-27.

3. Ubi jalar oranye yaitu jenis ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna jingga hingga jingga muda. Misalnya, varietas Ciceh 32, varietas mendut dan varietas Tis 3290-3.

4. Ubi jalar ungu yakni ubi jalar yang memiliki daging umbi berwarna ungu hingga ungu muda (Juanda, et al. 2000)

Winarno dan Laksmini (1973) menyebutkan bahwa warna kuning pada umbi disebabkan adanya pigmen karoten, sedangkan warna ungu disebabkan adanya pigmen antosianin. Perbedaan warna daging umbi tersebut menyebabkan perbedaan sifat sensoris, fisik dan kimia umbi maupun produk olahannya. (Apriliyanti, 2010). Ubi jalar tahan disimpan hingga tiga bulan. Kadar bahan


(46)

kering bervariasi dari 16 hingga 40% dibanding ubi jalar segar. Sukrosa umumnya terdapat pada umbi dalam bentuk segar. Kadar maltosa pada ubi jalar meningkat saat ditanak, karena aktivitas enzim beta-Amilase (Takagi et al., 1996).

Berdasarkan penelitian Marsono dkk (2002), ubi jalar sebagai sumber karbohidrat memiliki indeks glikemik 54. Nilai indeks glikemik (IG) < 55 termasuk kelompok yang rendah, IG 55-70 sedang, dan >70 tinggi, jadi IG ubi jalar termasuk rendah. Tepung ubi jalar mengandung serat makanan yang relatif tinggi disertai dengan indeks glikemik yang rendah, artinya, tepung ubi jalar atau makanan berbasis tepung ubi jalar lebih lamban dicerna dan lamban meningkatkan kadar gula darah (SEAFAST, 2012). Pada tabel 2.2. terlihat jelas perbedaan kadar antosianin pada ketigas jenis ubi, terlihat jelas bahwa ubi jalar ungu lah yang memiliki kadar antosianin tertinggi.

Tabel 2.2. Ubi jalar juga mengandung berbagai antioksidan : Antioksidan per

100 gram

Ubi jalar putih Ubi jalar kuning Ubi jalar ungu

campur jingga

Betakaroten 260 mkg (869 SI) 2900 mkg (9675 SI) 9900 mkg (32967 SI)

Vitamin C 28,68 mg/ 100 g 29,22 mg/ 100 g 21,43 mg/ 100 g

Antosianin 0,06 mg/ 100 g 4,56 mg/ 100 g 110,51 mg/ 100 g

Vitamin A 7.700 mg

Dari ketiga jenis ubi jalar yang paling tinggi kadar antosianinnya adalah ubi jalar ungu. Ubi jalar ungu merupakan umbi-umbian yang mengandung senyawa antioksidan paling komplet (Budiman, 2014). Sekelompok antosianin yang tersimpan dalam ubi jalar mampu menghalangi laju perusakan sel radikal bebas akibat Nikotin, polusi udara dan bahan kimia lainnya.


(47)

Antosianin berperan dalam mencegah terjadinya penuaan, kemerosotan daya ingat dan kepikunan, polyp, asam urat, penderita sakit maag (asam lambung), penyakit jantung koroner, penyakit kanker dan penyakit-penyakit degeneratif, seperti arteosklerosis. Selain itu, antosianin juga memiliki kemampuan sebagai antimutagenik dan antikarsinogenik terhadap mutagen dan karsinogen yang terdapat pada bahan pangan dan olahannya, mencegah gangguan pada fungsi hepar, antihipertensi dan menurunkan kadar gula darah (antihiperglisemik) (Singh, 2008).

2.4.1. Ubi Jalar Ungu

Ubi jalar ungu merupakan pangan sumber energi dalam bentuk gula dan karbohidrat, mengandung vitamin dan mineral yang dibutuhkan tubuh antara lain kalsium dan zat besi, vitamin A dan C. Ubi jalar ungu (gambar 2.6.) juga banyak mengandung serat pangan. Kandungan betakaroten ubi jalar adalah yang paling tinggi di antara padi-padian, umbi-umbian, dan hasil olahannya. Varietas ubi jalar ungu lebih kaya akan kandungan vitamin A mencapai 7.700 mg per 100 g, ratusan kali lipat dari kandungan vitamin A dalam bit dan 3 kali lipat dari tomat. Ubi jalar yang digoreng akan meningkat bioavailabilitas betakarotennya karena minyak berperan sebagai pelarut senyawa tersebut. Di dalam tubuh, betakaroten menjadi lebih mudah diserap dan akan mengalami metabolisme lanjutan (Budiman, 2014).


(48)

Klasifikasi Ilmiah Kerajaan : Plantae

Divisi : Magnoliophyta

Kelas : Magnoliopsida

Ordo : Solanales

Famili :Convolvulaceae

Genus : Ipomoea

Spesies : I. batatas

Nama binomial: Ipomoea batatas L.

Gambar 2.4. Ubi jalar ungu (http://id.wikipedia.org/wiki/Ubi_jalar)

Selain betakaroten, warna jingga pada ubi jalar memberi isyarat akan tingginya kandungan senyawa Lutein dan Zeaxantin, pasangan anti-oksidan karotenoid. Keduanya termasuk pigmen warna sejenis klorofil, merupakan pembentuk vitamin A. Lutein dan Zeaxantin merupakan senyawa aktif yang memiliki peran penting menghalangi proses perusakan sel (Budiman, 2014).

Berbagai penelitian membuktikan bahwa beberapa flavonoids yang terdapat dalam ubi jalar ungu memiliki khasiat antioksidan, karena mikronutrien yang merupakan gugus fitokimia dari berbagai bahan makanan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan tersebut diyakini sebagai proteksi terhadap stres oksidatif. Salah satu jenis flavonoid dari tumbuh-tumbuhan yang dapat berfungsi sebagai antioksidan adalah zat warna alami yang disebut antosianin (Oki, 2008).

Ubi jalar ungu mengandung antosianin yang merupakan zat warna pada tanaman. Kandungan antosianin dalam ubi jalar ungu berkisar antra 14,68


(49)

210,00mg/100g bahan. Besar kandungan antosianin dalam ubi jalar tergantung pada intensitas warna ungu pada ubi ungu, makin ungu warna ubi maka kandungan antosianin makin tinggi. Konsumsi antosianin yang diperbolehkan per hari menurut ADI (Acceptable Daily Intake) sebesar 0 – 0,25mg/kg berat badan, apabila konsumsinya berlebihan akan menyebabkan keracunan (Liptan, 2008).

Bentuk antosianidin yang banyak dikandung oleh ubi jalar ungu adalah bentuk sianidin dan peonidin. Sekitar 80% dari total antosianin tersebut berada dalam bentuk terasilasi. Antosianin yang terasilasi relatif lebih stabil jika dibandingkan dengan antosianin yang tidak terasilasi. Oleh karena itu, antosianin dari ubi jalar ungu berpotensi besar sebagai pewarna alami. Seperti antosianin pada umumnya, antosianin pada ubi jalar ungu juga dipengaruhi dipengaruhi oleh tingkat keasaman lingkungan. Pada lingkungan dengan pH rendah, warna yang diekspresikan lebih merah dan lebih stabil selama penyimpanan (SEAFAST, 2012).

2.5. Antosianin

Antosianin (bahasa Inggris: anthocyanin, dari gabungan kata Yunani:anthos = "bunga", dan cyanos = "biru") adalah pigmen larut air yang secara alami terdapat pada berbagai jenis tumbuhan. Antosianin adalah metabolit sekunder dalam kelompok flavonoid. Antosianin merupakan pigmen tumbuhan yang dapat larut dalam air maupun pelarut polar lain dan menyebabkan warna biru, ungu dan merah pada jaringan tumbuhan. Biasanya ditemukan sebagai glikosida atau asilglikosida, keduanya merupakan representasi dari aglikon antosianidin (Montilla, 2010).


(50)

Antosianin disusun dari sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterefikasi dengan satu atau lebih gugus gula (glikon). Kebanyakan antosianin ditemukan dalam enam bentuk antosianidin, yaitu pelargonidin, sianidin, peonidin, delfinidin, petunidin, dan malvidin. Gugus gula pada antosianin bervariasi, namun kebanyakan dalam bentuk glukosa, ramnosa, galaktosa, atau arabinosa. Gusus gula ini bias dalam bentuk mono atau disakarida dan dapat diasilasi dengan asam fenolat atau asam alifatis. Terdapat sekitar 539 jenis antosianin yang telah diekstrak dari tanaman (Pojer, 2013). Struktur antosianin yang paling sering dijumpai di alam dan klasifikasinya dapat dilihat pada gambar 2.5. dibawah ini.

Gambar 2.5. Struktur antosianin dan klasifikasinya (Sumber : Pojer. 2013)

Ada sekitar 17 antosianidin yang ditemukan di alam, tetapi hanya ada 6 Jenis antosianin yang paling sering dijumpai di alam ialah cyanidin (Cy), delphinidin (Dp), petunidin (Pt), peonidin (Pn), pelargonidin (Pg), dan malvidin (Mv). Antosianin menarik perheparan para peneliti karena aktivitasnya sebagai antioksidan, antimutagenik, melindungi fungsi hepar dan antihipertensi (Jadmiko, 2013). Perbedaan antara masing-masing anthocyanidin berasal dari: (1) jumlah dan posisi gugus hidroksil (OH); (2) Tingkat metilasi dari gugus OH ; (3) Sifat,


(51)

jumlah, dan lokasi gula yang melekat pada molekul ; dan (4) sifat dan jumlah asam alifatik atau aromatik yang melekat pada gula (Pojer. 2013).

Rodrigues-Saona dan Wrolstad (2001), Antosianin memiliki stabilitas yang rendah. Stabilitas antosianin sangat dipengaruhi oleh konsentrasi antosianin, pH, suhu, keberadaan enzim, oksigen dan cahaya, serta keberadaan enzim, oksigen dan cahaya, serta keberadaan senyawa lain seperti asam askorbat,pigmen, protein, logam dan gula. Untuk mencegah terjadinya degradasi, perlu penambahan asam pada pelarut yang digunakan (SEAFAST, 2012).

Antosianin merupakan senyawa berwarna yang bertanggung jawab untuk kebanyakan warna merah, biru, dan ungu pada buah, sayur, dan tanaman hias.Senyawa ini termasuk dalam golongan flavonoid. Struktur utamanya ditandai dengan adanya dua cincinaromatik benzene (C6H6) yang dihubungkandengan tiga atom karbon yang membentuk cincin (Jasabi, et al, 2013). Jenis pelarut antosianin secara nyata mempengaruhi warna yang diekspresikannya. Sifat antosianin yang hidrofilik menyebabkannya sering diekstrak dengan menggunakan pelarut alcohol atau air. Pelarut alcohol menghasilkan warna antosianin yang lebih biru dibandingkan dengan pelarut air (Philpott, et al., 2004).

Ekstrak antosianin dengan menggunakan pelarut kimia pada kenyataannya menghasilkan antosianin yang tidak murni. Seringkali amilosa dan protein yang berasal dari ubi ikut larut bersama pelarut selama proses ekstraksi antosianin. Ekstrak antosianin yang lebih murni bisa didapatkan dengan melakukan fermentasi terhadap ubi ungu. Fermentasi dilakukan dengan bantuan kultur


(52)

dilumatkan didalam larutan asam sitrat dengan perbandingan 1:1. Campuran diinokulasi dengan starter dan diinkubasi pada temperature 28 oCselama 72 jam. Hasil fermentasi kemudian disentrifus untuk mendapatkan ekstrak antosiani. Ekstrak dapat dipekatkan dengan menggunakan evaporator (SEAFAST, 2012).

Fan et al. (2008) membandingkan ekstrak antosianin yang didapat dari hasil fermentasi dan ekstraksi secara kimia dengan menggunakn pelarut. Hasil ekstrak antosianin dengan metode fermentasi memang memiliki intensitas warna yang lebih renda jika dibandingkan dengan metode ekstraksi kimia, namun tingkat kestabilan antosianinya relative lebih tinggi. Tingkat kemurnian antosianin dari ekstraksi fermentasi juga lebih tinggi jika dibandingkan dengan ekstraksi secara kimia.

2.6. Hati/ Hepar

Hepar adalah organ terbesar dalam tubuh, berat hepar pada orang dewasa normal lebih dari 1 kg. Fungsi hepar dapat dibagi menjadi dua kategori umum.

Pertama, hepar terlibat dalam proses zat-zat hepar bertanggung jawab terhadap metabolisme berbagai zat yang dihasilkan dari pencernaan dan absorpsi makanan dari usus. Kedua, hepar memiliki fungsi eksokrin penting yang terlibat dalam : (1) produksi asam empedu dan cairan alkali yang digunakan untuk pencernaan dan absorpsi lemak dan untuk netralisasi asam lambung di usus; (2) pemecahan dan produksi produk buangan metabolisme setelah pencernaan; (3) detoksifikasi zat-zat beracun/berbahaya; (4) ekskresi produk buangan dan detoksifikasi zat-zat-zat-zat di empedu (Ward, et al. 2007).


(53)

Mayoritas metabolit buangan dan zat hasil detoksifikasi disekresi dari tubuh, di empedu, dari saluran gastrointestinal, atau melalui sekresi dari hepar ke dalam aliran darah untuk kemudian diekskresi oleh ginjal (Praphatsorn, et al,.

2010).

2.6.1. Anatomi dan Fisiologi Hepar

Hepar terdiri dari empat lobus, setiap lobus terdiri dari berpuluh-puluh ribu lobulus heksagonal berdiameter 1-2 mm yang merupakan unit fungsional hepar. Setiap lobulus terdiri dari vena hepatika. Vena sentralis ini dikelilingi oleh kolom-kolom tunggal sel-sel hepar (hepatosit) yang mengarah ke luar; di antara hepatosit-hepatosit ini terdapat kanalikuli kecil yang awalnya adalah struktur buntu pada ujung dekat vena sentralis, tetapi mengalir ke duktus biliaris pada bagian perifer lobul. Pada keenam sudut lobulus terdapat ‘triad porta’ yang terdiri dari cabang-cabang arteri hepatika, vena porta, dan duktus biliaris. Duktus biliaris pada akhirnya mengalir ke duktus biliaris terminalis (Ward et al. 2007). Bagaimana bentuk anatomi hepar di dalam tubuh manusia dapat dilihat pada gambar 2.4.

Gambar 2.6. Anatomi hepar


(54)

Batas atas hepar berada sejajar dengan ruangan interkostal V kanan dan batas bawah menyerong ke atas dari iga IX kanan ke iga VIII kiri. Permukaan posterior hepar berbentuk cekung dan terdapat celah transversal sepanjang 5 cm dari sistem porta hepatis. Omentum minor terdapat mulai dari sistem porta yang mengandung arteri hepatica, vena porta dan duktus koledokus. Sistem porta terletak di depan vena kava dan dibalik kandung empedu. Permukaan anterior yang cembung dibagi menjadi 2 lobus oleh adanya perlekatan ligamentum falsiform yaitu lobus kiri dan lobus kanan yang berukuran kira-kira 2 kali lobus kiri. Hepar terbagi 8 segmen dengan fungsi yang berbeda. Pada dasarnya, garis cantlie yang terdapat mulai dari vena cava sampai kandung empedu telah membagi hepar menjadi 2 lobus fungsional, dan dengan adanya daerah dengan vaskularisasi relatif sedikit, kadang-kadang dijadikan batas reseksi. Secara mikroskopis didalam hepar manusia terdapat 50.000-100.000 lobuli, setiap lobulus berbentuk heksagonal yang terdiri atas sel hepar berbentuk kubus yang tersusun radial mengelilingi vena sentralis (Barrets et al, 2010).

Darah vena memasuki hepar melalui hubungan vaskuler yang khas dan kompleks yang dikenal sebagai sistem porta hepar. Vena yang mengalir dari saluran cerna tidak secara langsung menyatu pada vena cava inferior akan tetapi vena vena dari lambung dan usus terlebih dahulu memasuki sistem vena porta. Pada sistem ini produk-produk yang diserap dari saluran cerna untuk diolah, disimpan, dan didetoksifikasi sebelum produk produk tersebut kembali ke sirkulasi besar (Ward et al. 2007). Secara alami, tubuh mengeluarkan toksin-toksin melalui hepar dengan detoksifikasi. Hati yang sehat melakukan


(55)

detoksifikasi dengan 2 mekanisme, disebut fase I dan fase II. Pada fase I, enzim-enzim dalam tubuh menggerakkan zat-zat racun agar lebih mudah diproses di fase II. Di fase II ini ada lagi enzym-enzym lain yang mengubah racun-racun menjadi bentuk yang lebih mudah larut oleh air. Tubuh kemudian akan membuangnya lewat urine atau feses (BPOM, 2004).

Sementara hati yang tidak sehat tidak bisa melakukan detoksifikasi secepat yang dilakukan oleh hati yang sehat, maka bila proses detoksifikasi lebih lambat dan hati yang belum selesai bekerja men-detoksifikasi itu sudah diberi serangan racun-racun yang harus didetoksifikasi, akibatnya akan lebih banyak racun yang beredar ke seluruh tubuh lewat darah (BPOM, 2004).

Sebagian racun yang tidak dapat diubah atau hanya sedikit berubah akan sulit dibuang dari tubuh karena lolos dari kerja hati. Akhirnya racun-racun itu bersembunyi di jaringan tubuh berlemak, di otak, dan sel sistem saraf. Racun-racun yang tersimpan itu pelan-pelan akan ikut aliran darah dan menyumbang penyakit-penyakit kronis. Misalnya, sakit liver yang bisa berujung pada hepatitis, dan semakin kronis menjadi sirosis (BPOM, 2004).

Salah satu cara mengenali gejala-gejala awal bahwa fungsi kerja detoksifikasi hati terganggu karena banyak toksin yang tak bisa diproses tubuh dan mengendap adalah mudah lelah, rasa letih, kulit kusam, dan mudah jatuh sakit. Beberapa contoh gejala yang penting karena bisa menjadi petunjuk penyakit hati yang lebih serius, yaitu : (1) Perubahan warna kulit atau menjadi kuning; (2) Perut bengkak atau nyeri hebat pada perut; (3) Gatal pada kulit yang


(56)

berkepanjangan; (4) Warna urine sangat gelap atau feses berwarna pucat; (5) Kelelahan kronis, mual atau kehilangan nafsu makan. (Barrets et al, 2010).

Unit fungsional dasar hati adalah lobulus hati, yang berbentuk silindris dengan panjang beberapa milimeter dan berdiameter 0,8 sampai 2 milimeter. Hati manusia berisi 50.000 sampai 100.000 lobulus. Lobulus hati terbentuk megelilingi sebuah vena sentralis yang mengalir ke vena hepatika kemudian ke vena cava. Lobulus sendiri dibentuk terutama dari banyak lempeng sel hepar yang memancar secara sentrifugal dari vena sentralis seperti jeruji roda. Masing-masing lempeng hepar tebalnya satu sampai dua sel, dan di antara sel yang berdekatan terdapat kanalikuli biliaris kecil yang megalir ke duktus biliaris di dalam septum fibrosa yang memisahkan lobulus hati yang berdekatan (Guyton dan Hall, 2006).

2.6.2. Mikroskopis Kerusakan Hepar

Tipe kerusakan organ hepar tergantung pada tipe agen toksikannya, berat intoksikasi, dan lama menderita baik akut maupun kronis. Suatu proses degeneratif yang mengarah pada kematian sel disebut nekrosis (Hodgson dan Levi, 2000).

Nekrosis biasanya adalah kerusakan hepar yang bisa terjadi secara fokal maupun masif. Fokal nekrosis adalah nekrosis yang terlokalisasi dan mempengaruhi hanya beberapa hepatosit. Sedangkan nekrosis masif atau nekrosis luas mengenai seluruh lobus. Kematian sel terjadi bersamaan dengan rupturnya membran plasma, dan didahului oleh beberapa perubahan morfologi seperti edema sitoplasma, dilatasi dari retikuloendoplasmik, akumulasi trigliserid, pembengkakan mitokondria dan kekacauan pada krista, juga terpisahnya organela


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Dokumen yang terkait

Aktivitas Antidiabetes Ekstrak Daun Ubi Jalar (Ipomoea batatas L) Pada Mencit Yang Diinduksi Streptozotocin

13 109 125

Pemanfaatan Ekstrak Ubi Jalar Ungu (Ipomea batatas (L.) Poir) sebagai Zat Warna pada Sediaan Lipstik

5 52 72

AKTIVITAS PENGHAMBATAN ENZIM α-GLUKOSIDASE OLEH EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas L.) Aktivitas Penghambatan Enzim α-Glukosidase oleh Ekstrak Etanol Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.).

0 2 13

AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU DAN UMBI UBI JALAR ORANYE (IPOMOEA BATATAS L.) TERHADAP SEL Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Umbi Ubi Jalar Ungu dan Umbi Ubi Jalar Oranye (Ipomoea batatas L.)terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7.

1 12 16

AKTIVITAS SITOTOKSIK EKSTRAK ETANOL UMBI UBI JALAR UNGU DAN UMBI UBI JALAR ORANYE Aktivitas Sitotoksik Ekstrak Etanol Umbi Ubi Jalar Ungu dan Umbi Ubi Jalar Oranye (Ipomoea batatas L.)terhadap Sel Kanker Payudara MCF-7.

0 1 14

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 33

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Latihan Fisik - Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 35

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar belakang - Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 8

Pengaruh Pemberian Ekstrak Umbi Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas L.) terhadap Aktivitas Glutation Peroksidase (Gpx) dan Histopatologi Hepar Mencit (Mus musculus L.) yang Diberi Perlakuan Latihan Fisik Maksimal

0 0 15