MENGHISAB POLITIK ISLAM MODERNIS

MENGHISAB POLITIK ISLAM MODERNIS (2)
Oleh Haedar Nashir
Selain masalah orientasi politik yang penuh kemusykilan, partai-partai berbasis
Islam modernis juga mengalami penyakit kronis yang lain yaitu menyangkut fragmentasi
politik. Bahwa selain begitu banyak jumlahnya yang dalam Pemilu 199 mencapai 20 partai
politik berbasis Islam, pada saat yang sama partai-partai umat Islam tersebut dalam
kenyataannya sulit sekali bersatu, bahkan lebih parah lagi mengalami keterpecah-belahan
atau fragmentasi yang cukup serius. Setelah gagal meraih kursi yang signifikan pada Pemilu
1999 kecuali PPP, PKB, PAN, dan PBB; partai-partai Islam lain yang lebih kecil juga
mengalami fragmentasi yang tidak kalah seriusnya. Gejala fragmentasi tersebut misalnya
ditunjukkan dari betapa sulitnya Prof. Dr. Deliar Noer yang waktu itu menjadi Ketua Umum
Partai Umat Islam (PUI) mengalami kesulitan untuk menyatukan 15 partai berasas Islam
untuk menjadi satu aliansi, padahal basis ideologinya secara formal sama yaitu Islam, bisa
dibayangkan dengan partai-partai yang berasas Pancasila seperti PKB atau PAN yang pluralis
waktu itu. Sudah kecil terbelah pula, kira-kira begitulah gambaran buram partai-partai politik
milik umat Islam di negeri ini.
Masalah fragmentasi atau kondisi centang perenang dan tidak menyatu memang
menjadi masalah klasik di tubuh Islam politik, lebih-lebih di kalangan kaum Islam modernis
yang dikenal bebas. Kini fenomena PBB yang bermesraan dengan Partai Deokrat (PD) dan
Partai Keadilan dan Persatuan (PKP) dalam satu barisan mencalonkan Susilo Bambang
Yudhoyono dan Jusuf Kalla menjadi semakin memperteguh fragmentasi kekuatan politik

Islam modernis. Dengan sosok Yusril Ihza Mahendra yang terkesan elitis dan selama lima
tahun terakhir tampaknya tidak berada dalam jaringan komunikasi dengan elit muslim lain
yang intensif, PBB semakin menjauh dari barisan politik Islam modernis yang sebenarnya
bernasab sama yaitu pewaris ideologi Masyumi.
Bahkan dengan melejitnya pasangan Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla
dalam pencalonan Presiden dan Wakil Presiden pada Pemilu 5 Juli 2004 dengan perolehan
suara sekitar 34%, Yusril dengan PBB-nya tentus semakin percaya diri untuk menjauh dari
kekuatan Islam politik kaum modernis, yang tentu saja buah atau kue politik yang
dinikmatinya relatif semakin besar dari kubu Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla,
lebih-lebih jika pasangan ini memenangkan pemilihan putaran kedua pada 20 September
2004. Kendati kekuatan-kekuatan umat Islam merasa tidak sreg dengan pasangan peraih
suara terbesar Pemilu Presiden 5 Juli 2004 itu terutama dengan isu kecenderungan sikap
akomodatifnya terhadap politik Amerika Serikat yang anti Islam, PBB semakin merapat ke
kubu Susilo dan semakin menjauh dari lingkaran Islam politik. Padahal sebelum ini publik
melihat betapa rigid dan merasa paling Islami partai yang merasa paling mewarisi Masyumi
ini.
Realitas sosiologi politik Islam tampaknya menunjukkan pola tetap betapa sejak lama
sulit sekali para elit dan kekuatan politik muslim modernis untuk menyatukan diri dalam
sebuah kekuatan partai politik yang satu di barisan atau merepresentasikan politik Islam
modernis. Masing-masing cenderung ingin menjadi raja dan kerajaan politik sendiri, sehingga

tingkat fragmentasinya tetap tinggi dan pada akhirnya tidak pernah menjadi entitas politik
yang kuat sebagaimana idealisasi ukhuwah Islamiyah dalam ranah politik Islam modernis.
Perilaku politik yang terfragmentasi seperti itu mungkin buah dari kegagalan Masyumi dalam
merekat ideologi politik Islam generasi berikutnya, sekaligus menunjukkan atau
mencerminkan budaya politik kaum terpelajar muslim yang terlalu instrumental dan liberal,

1

sehingga sulit untuk menyatukan diri. Di situ terjadi fragmatisme dan bahkan oportunisme
politik yang mengalahkan ideology politik, yang kebetulan mengalami pembonsaian sejak
Orde Baru melalui depolitisasi dan marginalisasi politik Islam.
Jika Partai Persatuan Pembangungan (PPP) terutama pada para fungsionarisnya dari
politisi kaum modernis, juga terdapat fenomena fragmatisme ketika di sejumlah tempat
kader-kader dan elit partai ini lebih membuang suaranya untuk Susilo Bambang Yudhoyono
dan Jusuf Kalla ketimbang untuk Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo bahkan untuk
Hamzah Haz dan Agum Gumelar sekalipun. Gejala buang suara seperti itu menjadi sangat
aneh, yang menunjukkan betapa telah centang perenangnya partai-partai politik Islam pada
umumnya dan kekuatan politik kaum modernis pada khususnya, sehingga alih-alih
mendukung teman sendiri lebih baik mendukung pihak lain. Ini merupakan gejala
pragmatisme atau bahkan oportunisme politik paling naïf dalam sejarah politik Islam di

negeri ini.
Apakah partai-partai politik Islam khususnya dari kaum modernis sudah tak ada
harapan sama sekali? Sebenarnya masih terbuka peluang, saying masalah dan tantangannya
sangatlah berat. Dalam konteks saling mendekat, misalnya PKS lagi-lagi menghidupkan
harapan baru, ketika pada akhir-akhir waktu kampanye pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden, tepatnya pada tanggal 30 Juni 2004 pada akhirnya memberikan dukungan penuh
kepada Amien Rais dan Siswono Yudhohusodo dalam Pemilu 5 Juli 2004. Meskipun sikap
PKS ini tertatih-tatih dan sempat diwarnai oleh godaan-godaan politik yang pragmatis dengan
menominasikan Wiranto, tapi pada akhirnya seluruh elit PKS kembali menunjukkan warna
ideologi politik Islam yang konsisten. PKS mampu menekan ego politiknya untuk
disumbangkan bagi kepentingan politik Islam modernis dan politik kebangsaan yang
berorientasi pada reformasi, demokrasi, dan agamis dalam jagad politik Indonesia.
Namun masih terapat batu uji politik bagi PKS. Jika pada Pilpres putaran kedua
mendukung salah satu pasangan Capres dan Cawapres lebih-lebih dengan waktu dukungan
yang jauh-jauh hari diberikan, maka publik juga akan menghisab partai ini sebagai terjangkiti
penyakit pragmatisme politik, justeru ketika arus besar Islam politik khususnya di kalangan
modernis tidak cocok dengan dua pasangan yang maju ke putaran kedua. Ini dilemma yang
tidak mudah bagi partai politik Islam antara keharusan memelihara idealisme dan
kepentingan umat dengan capaian-capaian politik sesaat sebagaimana secara meyakinkan
dilakukan oleh PBB dalam kurun terakhir perkembangan politik Islam di negeri ini. Dengan

sikap PKS yang mulai terjangkiti penyakit pragmatisme politik pada sebagian elitnya dan
PBB yang semakin jauh dari lingkaran umat maka lima tahun ke depan potret dan nasib
politik Islam modernis menjadi semakin jauh dari harapan.
Kita berharap memasuki Pemilu 2009 yang masih lima tahun lagi terjadi lompatan
baru dalam politik Islam kaum modernis. Jika tetap stagnasi dalam deraan disorientasi dan
fragmentasi politik seperti sekarang ini tampaknya Islam politik kaum modernis dan politik
Islam pada umumnya tidak akan mengalami panen politik yang besar seperti layaknya panen
raya nasional. Keadaan justru akan sebaliknya, bahwa partai politik dan kekuatan politik
Islam modernis pada khususnya dan umat Islam pada umumnya akan bernasib tragis
bagaikan pohon yang semakin mengerdil, kemudian layu dan tidak mustahil pada akhirnya
mati di tengah klaim-klaim besar mengenai ideologi politik Islam yang diyakini dengan
penuh fanatisme serta baying-bayang demografis kaum muslim sebagai penduduk mayoritas
di negeri ini. Jika itu terjadi maka kekuatan politik Islam tak lebih sekadar genangan air
danau belaka, kelihatan besar dan dahsyat tetapi jumud dan mati suri.
]
Sumber:
Suara Muhammadiyah
Edisi 15 2004

2