ISLAM POLITIK DAN POLITIK ISLAM

ISLAM POLITIK DAN POLITIK ISLAM
Maksis Sakhabi, DJ
(kader muda NU, wakil Sekjen Karang Taruna Banten)

Sebuah realitas semu yang belakangan dipertontonkan kepada
khalayak media tentang potret Islam yang bermuara pada perilaku
berpolitiknya dengan menggunakan cara dan perspektif Islam yang
dibuatnya merupakan gambaran perilaku Islam politik abad 21 yang
dimanfaatkan oleh partai-partai Islam yang hendak meraup dukungan
mayoritas muslim. Sejak bergulirnya reformasi, Islam politik menjadi
bagian dari sendi aktivitas politik di Indonesia yang menghubunghubungkan realitas agama dengan realitas personal partai. Selama dua
kali pasca reformasi pemilihan umum digelar dengan dimeriahkan
atribut Islam sebagai platform partai. Indikasinya adalah adanya
harapan besar partai meraup mayoritas muslim. Sebelum era
reformasi, atribut Islam sudah terlebih dahulu tampil dengan spirit
keagamaan. Ia tampil di tengah keragaman bangsa Indonesia, ia juga
kerap menegaskan diri sebagai representasi pilihan umat Islam di
Indonesia. Tentu saja ini bukan teori tapi sebatas realitas semu karena
sejak atribut Islam dipasang di jagat perpolitikan Indonesia, mayoritas
muslim tidak seluruhnya berada dalam satu gerbong. Mereka
bertebaran dengan prinsip dan platform personalnya masing-masing

tidak dengan mudah diprovokasi oleh arti lambang serta atribut Islam.
Atribut Islam dimunculkan sebagai platform sekaligus ajaran oleh para
punggawa partai. Tidak segan-segan, partai menyebutnya sebagai
pilihan umat Islam yang tentu saja tidak didasarkan pada ajaran
normatif Islam itu sendiri. Hakikatnya, Islam politik adalah sebuah
rangkaian jurus partai yang hendak mencari keuntungan dukungan
dari mayoritas dan sama sekali tidak didasarkan dari ajaran normatif
Islam yang sebenarnya. Tentu kita selalu ingat, ketika Cak Nur (alm)
merasa risih dengan kehadiran kaum fundamentalis yang berupaya
merebut simpati masyarakat dengan menerapkan atribut Islam
sebagai platform partainya, ia mengatakan “Islam Yes, Partai Islam
No”. Artinya, rangkaian strategi yang dibuat para punggawa partai itu
tidak lain hanya untuk meraup dukungan suara dari masyarakat
muslim. Alam pikiran Cak Nur kala itu bukan tidak didasari sesuatu, ia

melihat fenomena partai berlabel Islam menggunakan atribut syar’I
tanpa dilandasi nilai-nilai moral dan etika. Sesungguhnya, Islam tidak
bisa dijadikan sebagai platform partai politik karena tujuannya hanya
untuk meraup dukungan massa.
Di sisi lain, Islam politik kerap digunakan untuk berlindung dari jeratan

isu yang menerpa partai. Dalam kondisi tertentu, partai berplat Islam
tidak segan menggunakan platform Islam sebagai senjata untuk
melawan isu miring yang menerpa partainya, sehingga nilai luhur
Islam menjadi tidak dinomor satukan karena berfokus kepada
pemulihan citra. Sebut saja, ketika beredar isu di masyarakat tentang
partai berplat ras, golongan, agama, nasionalis, maka atribut Islam
menjadi tujuan partai dalam menguasai isu di tengah khalayak.
Di era kenabian, prinsip-prinsip politik Islam sudah diletakan
berdasarkan praktiknya. Politik Islam berbeda dengan Islam politik
yang cenderung menargetkan citra dan penguasaan massa semata.
Politik Islam meletakkan nilai akhlak (etika) atas para pelaku politiknya.
Kendati berada di partai bukan Islam sekalipun jika prinsip itu diemban
dengan amanah, maka Islam senantiasa hadir. Seperti halnya dalam
merumuskan Pancasila, betapa kerasnya tarik-ulur persoalan Islam dan
non-Islam. Pada akhirnya, Islam berada di semua golongan, dan
menempatkan keumuman (al’ammah) sebagai tujuan dalam politiknya.
Fenomena sekarang, partai platform Islam bahkan menyeru kepada
Islam (dakwah) seperti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak menjamin
akan lahirnya prinsip politik Islam. Politik Islam bertujuan untuk ummat
bukan golongan, jika yang diletakkan prinsip-prinsip eksklusifisme

partai, apa layak dikatakan sebagai pejuang politik Islam? Saya
berharap, masyarakat tidak terlalu berharap besar terhadap partai
berplat Islam karena tidak ada jaminan partainya membawa prinsip
politik Islam.
Landasan kemudian adalah politik Islam dapat ditemukan pada partai
yang bertujuan untuk kemaslahatan ummat dan bangsa. dari segi
politik, kelahiran Islam memang untuk merubah keadaan dari tidak
baik menjadi baik (mina dzulumati ilaa nuur). Dalam risalah kenabian,
Islam lahir mendatangkan kepiawaian politik. Ketika itu keadaan
bangsa-bangsa tidak terurus dan didominasi raja-raja dzholim. Konteks

kekinian pun memandang Islam sebagai langkah politik kemaslahatan
atau par excellence. Jadi, sangat penting untuk diingat siapapun politik
Islam terletak pada tujuan maslahat bukan tujuan meraup dukungan
massa. PKB, PPP, PKS atau partai lainnya tidak pernah menjamin akan
tumbuhnya prinsip politik Islam yang bertujuan kemaslahatan ummat.
Dalam pandangan Fitzgerald, Islam bukan sebatas agama namun
terdapat sendi-sendi politik yang dapat membangun bangsa. Pendapat
ini dikuatkan oleh sir T. Arnold yang memandang bahwa Nabi, pada
waktu yang sama sebagai seorang pemimpin agama dan pemimin

negara. Sangat berbeda dengan realitas partai Islam hari ini, mereka
tidak menjadi milik ummat dan bahkan menciptakan faksi-faksi di
tengah ummat, ada golongan Islam A, Islam B dan seterusnya. Ini
sudah jelas bahwa Islam politik akan melahirkan kerusakan bangunan
sebuah bangsa yang dicita-citakan Islam, yaitu bangsa yang
thoyyibatun warobbun ghofurun.