Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

....sapa suruh
datang Jakarta,
sandiri suru
sandiri rasa
ado e... sayang
Lagu daerah
Maluku

2Secawan Anggur Kebimbangan

I

barat secawan anggur, Jakarta telah menawarkan sejumlah impian dan
angan-angan bagi sejumlah orang.

1

Ia telah menyihir sejumlah orang dari

seluruh pelosok nusantara untuk ikut berebut impian dan angan-angan itu. Meski
1


Pada zaman penjajahan Belanda memang pemukiman di sejumlah perkampungan pribumi
Jakarta dihuni oleh mereka yang memunyai asal etnik (misalnya ada Kampung Bali, Kampung
Jawa, Kampung Makasar dll). Namun, sejak kemerdekaan, homogenitas itu tidak berlaku lagi.
Corak pengelompokkan etnik berubah menjadi kesatuan wilayah kelurahan atau RT/RW.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statitik tahun 2000 penduduk Jakarta tahun 2000, tercatat
bahwa penduduk kota DKI Jakarta berjumlah 8. 347.083 jiwa, tersebar di sejumlah wilayah
kota madya seperti Jakarta Selatan (1.784.044 jiwa), Jakarta Timur (2.347. 917 jiwa), Jakarta
Pusat (874.595 jiwa), dan Jakarta Barat (1.904.191 jiwa).

38

setiap jengkal tanah yang tersisa di ibu kota negara ini, sudah terlalu sumpek
untuk mampu menampung orang demi orang dari sejumlah etnik dan profesi.
Mengapa orang-orang dari luar Jakarta, dari waktu- ke waktu dan secara
terus menerus, datang dan menetap di Jakarta? Siapakah pendatang dari
Jakarta tersebut? Dan, untuk apa mereka datang ke Jakarta?
Di antara mereka yang bermimpi ingin mendapatkan anggur di Jakarta
adalah


sebagai

besar

untuk

mendapatkan

pekerjaan

atau

berdagang.

Sayangnya, di antara mereka justru tanpa modal yang memadai. Mereka
memang mempunyai relasi atau kerabar atau teman yang lebih dulu tinggal di
Jakarta, namun ketrampilan yang mereka miliki kurang memadai dengan
tuntutan dan persaingan yang tercipta. Sementara penduduk yang lebih dahulu
menempati ruang di Jakarta – dengan sumber daya yang rendah -- juga harus
bersaing dengan yang lain.

Seperti juga ciri kota lainnya, Jakarta mempunyai ciri-ciri berupa kerumunan
orang-orang yang datang dan pergi, sehingga masing-masing tidak saling
mengenal. Hubungan di antara mereka lebih superfisial. Mobilitasnya tinggi,
setiap warga mempunyai kemampuan untuk terikat pada tradisi yang ada dan
mempunyai kecenderungan untuk menciptakan tradisi-tradisi baru dalam
kehidupan mereka.
Jakarta o Jakarta, konon kota ini sejak semula adalah kota yang tidak
tumbuh dari desa pertanian atau pun desa tambak-tambak ikan. Ia justru lahir
sebagai kota yang melayani kepentingan perdagangan antar-pulau, melayani
pelaut atau musafir yang perlu berisitirahat serta mengisi perbekalan makanan
dan air. Parsudi Suparlan (2004) menyebutkan, sebagai sebuah kota

sejak

berdiri hingga sekarang, Jakarta adalah sebuah tempat pemukiman yang dihuni
secara permanen dengan warganya yang membentuk suatu kesatuan hidup atau
masyarakat yang lebih besar dan kompleks ketimbang sebuah kllien atau warga
atau keluarga. Ia merupakan kota yang mempunyai corak kehidupan ekonomi
yang menekankan pada usaha-usaha komersial dan jasa-jasa pelayanan serta
industri,


sistem-sistem

pembagian

kerja

yang

bukan

dan

ketrampilan

39

perorangan, karena itu berkembang dan berfungsinya spesialis-spesialis dalam
berbagai bidang keahlian dan pekerjaan.
Sebagai kota yang memang sejak semula bercorak ekonomi dan

menekankan pada usaha-usaha komersial, maka tak salahlah jika sejumlah
orang dari berbagai etnik di seluruh penjuru republik ini menyerbu dan berebut
mendapatkan impian dan angan-angan tersebut. Sayangnya, dari sejumlah
orang yang berebut impian dan angan-angan itu, ternyata sebagian besar hanya
berpendidikan rendah. Sebut saja, mereka hanya tamat sekolah dasar atau
bahkan tak sampai lulus dari tingkat dasar tersebut.

2

Apa yang bakal terjadi jika yang memperebutkan impian dan angan-angan
itu begitu meruah, sementara anggur yang tersisa dalam cawan itu tak lagi
penuh? Apakah impian dan angan-angan itu bisa dirasakan, jika setetes pun
mereka sulit benar untuk mendapatkannya? Belum lagi, mereka juga harus
berhadapan dengan sejumlah aturan yang telah terbentuk dan dibentuk,
mampukah kemudian mereka melakukan strategi untuk menyiasati peraturan
tersebut? Atau justru mereka membuat aturan sendiri yang kemudian berujung
bahwa kontestasi kekuasaanlah yang sebenarnya sedang mereka mainkan
dalam “kompetisi” tersebut?
Di antara pertanyaan demi pertanyaan itulah, keberadaan pedagang kali
lima yang konon paling menandai dinamika perkotaan – terutama di Jakarta —

menjadi salah satu jawabannya. Jumlah pedagang kaki lima

kurang lebih

74.000 orang (bps3100@jakarta.wasantara.net.id). Ia seolah menjadi salah satu
representasi dari sejumlah pemeran (actors) yang sedang memperebutkan
secawan anggur. Ia pula yang kemudian harus berbenturan dengan sejumlah
aturan, dan sekaligus “bermain” dengan sejumlah strategi untuk menyiasati
peraturan tersebut. Bahkan ia pula yang kemudian memainkan peranan dalam
kontestasi kekuasaan di antara lingkungan yang ada di sekitarnya.
2

Catatan Badan Pusat Statitik tahun 2000, tingkat pendidikan penduduk yang tamat/tidak tamat
SD sebanyak 1.283.961 jiwa, sementara yang tamat Universitas/ Akademik/ Diploma sejumlah
hanya 697.125 jiwa. Dan penduduk yang berpendidikan rendah itu ternyata berusia sekitar 15
tahun ke atas. Usia tersebut adalah golongan masyarakat pencari kerja sejumlah. Artinya, warga
masyarakat yang berpendidikan rendah itulah yang justru tergolong usia produktif yang
memasuki angkatan kerja di ibu kota ini.

40


Misalnya, adanya Peraturan Daerah-Daerah Khusus Ibukota Jakarta No. 11
tahun 1988, tentang “Ketertiban umum dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota
Jakarta”. Peraturan Daerah ini merupakan pengganti dari Peraturan Daerah
Nomor 3 tahun 1972 tentang Ketertiban umum dalam Wilayah Daerah
Khususnya Ibukota Jakarta dan Peraturan Dearah Nomor. 7 tahun 1977,
sehubungan dengan telah diaturnya salah satu aspek ketertiban umum tersebut,
yaitu masalah kebersihan lingkungan dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun
1988. Selain itu penetapan kembali Peraturan Ketertiban Umum ini dimaksudkan
pula untuk dapat menampung dan menyesuaikan dengan perekambangan
keadaan dan kebutuhan dewasa ini. Peraturan itu, oleh Pemda DKI dianggap
sangat penting untuk memberikan motivasi dalam menumbuhkan dan
menegakkan serta mendidik masyarakat untuk berperilaku disiplin guna
mewujudkan tata kehidupan perkotaan masyarakat Jakarta yang lebih tertib,
teratur, nyaman dan tentram, lebih-lebih dalam kedudukan Jakarta selaku Kota
Metropolitan sekaligus Ibukota Negara.
Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang
sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur
hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai;
tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni

bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Isi Sementara Perarturan Daerah
Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan
dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib
sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu;
tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib
kesehatan. Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 juga terdiri dari: XVI bab
dan 32 pasal yang mengatur tentang
ketentuan umum; tertib jalan dan
angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai,
saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib
bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan;
ketentuan pidana;
pembinaan; pengawasan; penyelidikan; ketentuan
peralihan; dan ketentuan penutup
Kakinya Ada Lima
Sebutan pedagang kaki lima sering mengarah pada gambaran seseorang yang
menjajakan barang-barang dagangan tertentu di pinggir jalan, atau di muka
pertokoan. Atau pula berupa pedagang yang berjualan dengan menggunakan
gerobak dorong yang berisi minuman, makanan jadi, sayuran, buah-buahan,
surat kabar, kelontong, dan yang lain. Mereka kakinya lima? Hitung saja.


41

Gerobak dorong mempunyai tiga kaki bebentuk bulat yang berfungsi sebagai
roda. Ditambah dua kaki si penjual. Jumlahnya jadi lima kan? 3
Seperti
tersaji

juga

telah

pada

terdahulu

keberadaan

pedagang
menjadi


tulisan

kaki

lima

menarik

untuk

didiskusikan.

Sebab,

keberadaannya pedagang
kaki lima sangat menandai
dinamika dan mobilitas di
perkotaan.


Selain

keberadaannya

itu,

menjadi

“jawaban terakhir” proses
pertumbuhan kesempatan
kerja

yang

lambat

dan

menjadi salah satu resep
mengatasi kemiskinan di
lingkungan perkotaan. Ia
mampu

mengatasi

kemiskinan di lingkungan
perkotaan, salah satu alasannya karena ia padat karya (membutuhkan modal
yang tidak terlalu besar), mandiri, bersifat kewiraswastaan, dan tak terlalu
banyak menggantungkan pada uluran tangan pemerintah (bandingkan pada
Broomley, 1978).
Tanggapan senada juga diungkapkan Breman (1980), yang pada dasarnya
memandang sektor informal merupakan suatu jenis teori dualisme baru, yang
3

Kartini Kartono (1980) mendefinisikan pedagang kaki lima sebagai “orang yang dengan modal
yang relatif sedikit berusaha (produksi-penjulaan barang/jasa) untuk memenuhi kebutuhan
kelompok konsumen tertenu di dalam masyarakat, merupakan suatu usaha di mana
dilaksanakan pada temapt-tempat yang dianggpa strategi, dalam suasana lingkungan yang
informal”.

42

juga sejalan dengan pemikiran Boeke tentang masyarakat petani. Dualisme
tersebut memuat penjelasan bahwa sektor informal di satu pihak menunjuk pada
perekonomian pasar di kota, sementara di pihak lain menunjuk perekonomian
subsisten di pedesaan dengan ciri utamanya sistem produksi pertanian yang
statis.4
Maka, para petani yang kemudian meninggalkan dunia pertanian statis itu
berusaha berkerja di kota dan menekuni sektor informal, sebenarnya merupakan
pilihan yang paling rasional untuk mengatasi kemiskinan di pedesaan. Apalagi -seperti juga yang telah diungkapkan pada bagian sebelumnya -- sektor informal
lebih berciri padat karya, tidak menuntut jenjang pendidikan yang terlalu tinggi,
lebih mudah untuk keluar masuk menekuni bidang usaha tertentu, serta dapat
dilakukan dari ruang lingkup keluarga. Bahkan Papanek (1975) mengungkapkan,
betapa pun kecilnya pendapatan yang diperoleh dari sektor informal di
perkotaan, kesempatan kerja di kota (seperti Jakarta) dianggap juah lebih baik
daripada lapisan berpendapatan rendah di pedesaan Jawa.
Melihat kenyataan tersebut, persyaratan menekuni sektor informal seolaholah tidak seberat dibandingkan sektor formal, namun bukan berarti setiap orang
yang menekuni sektor informal dengan mudah bisa berkembang dan
memperoleh penghasilan yang memadai secara cepat. Dengan elastisitas yang
terdapat pada sektor informal, kemudian lebih memberi ruang untuk keluar
masuk menekuni bidang usaha tertentu, mengakibatkan sektor ini banyak
menarik minat sejumlah orang.
Aturan Main
Jika kita ibaratkan sebuah permainan, maka para pedagang kaki lima ketika
melakukan interaksi dan menjalankan usahanya ternyata tak bisa terlepas dari
aturan main yang telah ada. Munculnya Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988
misalnya— tak sekadar mengatur tempat usaha, perizinan, pembinaan dan
Meskipun demikian, menurut Boeke (1953), perkembangan masyarakat petani pada dasarnya
lebih bersifat sosial daripada ekonomi. Boeke memperkenalkan nilai dan sikap masyarakat
petani sebagai limited needs atau oriental miticism, yakni suatu sikap yang merasa puas,
tenteram, damai, tanpa harus merasakan keinginan yang lebih daripada sekadar memiliki.
4

43

pegawasan, namun ia juga telah membuka lembaran baru bagi keberadaan kaki
lima. Aturan itu di satu sisi, memang mengakomodasi keberadaan pedagang kaki
lima, seperti ditetapkannya sejumlah lokasi untuk usaha sektor informal tersebut.
Namun, di sisi lain sebenarnya oleh para pedagang kaki lima dianggap telah
membatasi usahanya. Apalagi, seperti keterangan sejumlah informan, pedagang
kaki lima pada dasarnya tidak bisa dilokalisasi.
Kepala Sub Bidang Tatausaha Tramtib dan Linmas(Ketentraman,
Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H.
Muchtar.BA mengemukakan, ”Pemerintah Daerah Jakarta Selatan membuat
program ‘Minggu bersih’. Setiap hari minggu, Walikota, bersama seluruh stafnya,
turun melakukan penyuluhan kepada masyarakat pada 10 kecamatan. Staf
pemerintah daerah ini dibagi dalam 10 kelompok. Pada hari Minggu itu mereka
membersihkan lingkungan bersama staf Kecamatan dan Kelurahan setempat,
sambil mengumpulkan para pedagang kaki lima, untuk mensosialisasikan
Peraturan Daerah Nomor 11 tahun 1988 dan Perda No.11 tahun1988”.
Di Kotamadya Jakarta Selatan, telah ada Suku Dinas Tramtib dan Linmas
tingkat 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Daerah Ibukota Jakarta Selatan:
Secara hierarkis, masing-masing tingkatan tersebut memiliki kewenangan untuk
melakukan tindakaan penertiban berdasarkan batas wilayah dan besar-kecilnya
yang akan ditertibkan.
Pada tingkat Kotamadya, Suku Dinas Tramtib dan Linmas, misalnya
memiliki kewenangan menelakukan penertiban di seluruh wilayah Kotamadya
Jakarta Selatan, manakala pihak yang akan ditertibkan jumlahnya cukup besar
sehingga membutuhkan aparat yang banyak. Pada tingkat Kecamatan, Seksi
Tramtib memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam wilayah
adminstrasi Kecamatan yang bersangkutan manakala pihak yang akan
ditertibkan tersebut jumlahnya relatif terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula
pada tingkat Kelurahan, Subseksi Tramtib juga memiliki kewenangan untuk
melakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil.
Adapaun keseluruhan jumlah tenaga operasi lapangan Trambtib dan Linmas, di
Kotamadya Jakarta Selatan terdapat 1170 personil, yang dibagi juga pada lima
sampai sepuluh orang pada setiap Kecamatan dan Kelurahan.
Target operasi petugas Trambtib, tentu pada pedagang kaki lima yang
melakukan penjualan pada lokasi-lokasi rawan PMKS. Operasi yang dilakukan
petugas Tramtib berdasarkan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988, Bab VI
‘tentang tertib usaha tertentu’, pasal 16, juga Perda No.11 tahun 1988.
Sejauh ini ada tiga tindakan hukum yang diterapkan oleh pihak Pemda
dalam penertiban terhadap pedagang kaki lima tidak resmi yang dianggap telah
melanggar Peraturan Daerah: Pertama, tindakan berupa penyuluhan, temu
wicara dengan pedagang kaki lima beserta sejumlah elemen masyarakat seperti
tokoh-tokoh masyarakat, tokoh agama, ketua RT/ RW dan dewan kelurahan
yang bertujuan untuk memberitahukan kepada pedagang kaki lima bahwa lokasi
yang mereka tempati berjualan adalah lokasi yang dilarang. Tindakan preventif

44

ini juga disosialisasikan kepada pedagang kaki lima dan masyarakat pada
umumnya bahwa ada peraturan daerah yang emngatur tentang ketertiban di
lokasi jalur hijau, trotoar dan jalan-jalan, sesuai Perda No.11 tahun 1988.
Kedua, tindakan preventif yaitu suatu tindakan pemeberdayaan dan
peningktan ketahanan masyarakat dalam mengantisipasi berbagai kemungkinan
tindakan anarkis di masyarakat antara lain pembinaan pos-pos pertahanan sipil,
penempatan petugas Linmas dan Satuan Polisi Pamong Praja pada lokasi-lokasi
di mana terdapat pedagang kaki lima tidak resmi.
Ketiga, tindakan represif yaitu suatu tindakan tegas yang ditempuh oleh
Pemda dengan melakukan operasi pembongkran terhadap pedagang kaki lima
yang dianggap membangkang. Dalam tindakan represif ini, dibagi lagi ke dalam
tiga jenis operasi yakni : operasi rutin, operasi sektor dan operasi terpadu.
Pemilihan jenis operasi ini lebih dititikberatkan pada jumlah yang akan
ditertibkan dan ruang lingkup wilayah di mana pedagang kaki lima itu berada.
Pertama, operasi rutin, adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan di tingkat
kelurahan yang bekerja sama dengan pihak ecamatan. Operasi rutin ini
dilakukan setiap saat manakala di suatu lokasi terlarang telah terdapat sejumlah
pedagang kaki lima yang melakukan aktivitas penjualan dan telah menganggu
ketertiban umum. Untuk melakukan operasi rutin ini pihak Kelurahan dan
Kecamatan berkoordinasi dengan pihak Polsek dan Koramil setempat. Biasanya
jenis operasi ini dilakukan bial jumlah pedagang kaki lima di suatu lokasi relatif
masih sedikit, yakni sekitar kurang dari 15 orang/unit usaha.
Kedua, operasi sektor adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan oleh
gabungan beberapa Kecamatan. Operasi sektor ini dilakukan manakala ada
sejumlah pedagang kaki lima di sutau wilayah di mana secara administratif
berada dalam dua wilayah Kecamatan serta jumlahnya juga relatif lebih banyak,
yakni 15 sampai 30 orang/unit usaha. Untuk itu, dalam melakukan operasi sektor
ini antara satu Kecamatan dengan Kecamatan lain melakukan langkah
koordinasi, demikian pula setia Polsek di setiap sektor melakukan koordinasi,
serta setia Koramil di setiap rayon militer. Untuk. Untuk Wilayah Jakarta Selatan
operasi sektor ini dilakukan oleh lima Kecamatan. Lima Kecamatan di sektor
Utara meliputi : Kecamatan Setia Budi, Pancoran, Tebet, Pasar Minggu,
Mampang Prapatan. Lima Kecamatan di sektor Selatan : Kecamatan Kebayoran
Baru, Pasanggrahan, Cilandak, Kebayoran Lama, Jagakarsa.
Ketiga, operasi terpadu adalah suatu bentuk operasi yang dilakukan di
tingkat Kotamadya yang melibatkan berbagai unsur di tingkat Kotamadya,
misalnya Polres, Kodim dan berbagai unsur lainnya. Biasanya operasi terpadu
ini dilakukan manakala jumlah pedagang kaki lima relatif cukup banyak,
misalnya sekitar lebih dari 30 orang serta lokasinya berada di berbagai wilayah.
Jenis operasi ini biasanya dilakukan secara maraton atau estafet dari suatu
lokasi ke lokasi lain dengan melibatkan personil yang lebih besar.
Di samping jenis operasi tersebut, juga dikenal dalam Perda.11
tahun1988, model penertiban yakni bersifat stasioner dan mobile. Model
stationer adalah suatu model penertiban yang dilakukan oleh Pemda dengan
menempatkan Polisi Pamong Praja, Bantuan Polisi Pamong Praja (Banpol PP),
Pertahanan Sipil (Hansip) dan potensi masyarakat lainnya di lokasi penertiban

45

selama 24 jam. Biasanya model stationer ini dilakukan dalam bentuk pendirian
pos-pos penjagaan dan biasanya masuk kategori operasi rutin. Sedangkan
model mobil adalah suatu model penertiban secara berpindah-pindah
sebagaimana yang dilakukan dalam operasi sektor dan operasi terpadu.
Secara operasional, dalam pelaksanaan penertiban berbagai unsur
terlibat secara langsung. Adapun unsur yang terjun ke lokasi penertiban yang
berhadapan langsung dengan pedagang kaki lima : Dinas Tramtib yang terdiri
dari Polisi Pamong Praja (Polisi PP), Bantuan Polisi Pamong Praja (Banpol PP),
Perlindungan Masyarakat (Linmas). Para petugas operasi ini juga dilengkapi
dengan pakaian seragam operasi lapangan yang berbeda-beda, sesuai dengan
alur tugas operasi yang berbeda juga,
“Kami yang turun di lapangan ini dalam dua bentuk petugas yang
berbeda. Petugas yang turun lapangan dengan pakai seragam berwarna coklat
muda, pada dada kiri atas dari seragamnya tertempel atribut petugas, terbaca
“Linmas”, mereka adalah petugas Linmas (pelindungan masyarakat), tujuan
operasi
mereka
melindungi
masyarakat
termasuk
PKL
dengan
mengsosialisasikan, mengingtakan, menasihatkan secara terus menerus PKL
tentang peraturan pemerinantah No. 11 Tahun 1988, lokasi-lokasi rawan usaha ,
dll hal-hal lainnya. Berbeda dengan petugas yang berseragam warna biru yang
dilengkapi dengan tongkat kecil ditangan, pada dada kiri atas, tertempel atribut
petugas, masing-masing : “Trambi”, mereka merupakan petugas penertiban,
“Polisi PP”, mereka membantu operasi penertiba, “Banpol PP”, mereka petugas
yang terlibat juga bersama dalam penertiban.Para petugas ini tidak lagi menegur
dan melarang tetapi secara tegas demngan penuh wibawa langsung
melaksanakan operasi pembersihan lokasi pada daerah yang rawan usaha.
Aturan main itu, apakah akan selalu diindahkan oleh para pedagang kaki
lima, atau justru mereka sebenarnya sedang mencari celah-celah yang dapat
dinegosiasi? Jika mereka mampu melakukan negosiasi atas aturan main
tersebut, tentu sebenarnya mereka telah memiliki posisi tawar atas jenis usaha
yang mereka lakukan.
Memang kami tahu PKL, adalah orang-orang kecil saja yang sementara
mencari untuk perut keluarga, kalau kami tindak dengan kekuasaan yang ada
pada kami, bagaimana anak istrinya makan, karena itu sebenarnya kami kasihan
sama PKLnya, kami berharap PKL sadar, karena ada aturan-aturan penggunaan
ruang publik, kawasan-kawasan tertib lihat Perda no. 11/88, pasal 14, 15, 16 –
19 yang sudah kami sosialisasikan kepada PKL, hal-hal yang termasuk dalam
46

Tertib Lingkungan dan Tertib Usaha. Seperti seluruh jalan Gatot Subroto, daerah
pusat perkantoran, kawasan rawan usaha, tapi begitulah masih banyak PKL
informal yang secara sembunyi-sembunyi melakukan usaha mereka. Terkadang
mereka sangat tidak tahu diri, begitu kami tidak ada kawasan tertib kota
dikotorkan dengan seluruh sampah mereka, wajarlah sesuai aturan hukum harus
ditindak demi ketertiban sosial.
Belum lagi, persoalan oknum petugas yang bisa saja justru “bekerja
sama” dengan para pedagang kaki lima dalam rangka menyiasati aturan main
tersebut. Sehingga tidak mengherankan, jika terjadi operasi penertiban sejumlah
petugas tidak menemui para pedagang kaki lima, karena biasanya sehari
sebelumnya informasi akan adanya operasi tersebut telah “bocor” ke telinga
pedagang kaki lima. Dan, yang membocorkan juga dari aparat petugas itu
sendiri.
Untuk itulah, di antara jenis operasi penertiban pedagang kaki lima,
menurut hasil wawancara dengan salah seorang petugas Tramtib (ketentraman
dan ketertiban) Kotamadya Jakarta Selatan, operasi terpadu merupakan jenis
operasi yang memiliki skala yang paling besar dan karena itu juga memiliki
tantangan yang tidak sedikit. Hal itu sesuai dengan sesuai Peraturan Daerah
Nomor 11 tahun 1988, pada Bab XII, pasal 28 ; yang menyatakan bahwa
“Pemerintah Daerah berkewajiban menyelenggarakan pembinaan ketertiban
umum dalam wilayah Daerah Khusus Ibukota Jakarta”
Ada sejumlah langkah-langkah sebagai prasyarat dilakukannya
penertiban. Diawali dengan ada laporan dari masyarakat atau dilihat langsung
oleh pihak Tramtib bahwa di lokasi rawan PMKS, sudah banyak pedagang kaki
lima yang melakukan kegiatan penjualan. Atas data itu, kemudian ditindaklanjuti
dengan membuat Surat Edaran yang ditujukan kepada pedagang kaki lima agar
dapat membongkar dan memindahkan barang dagangannya sendiri. Memberi
kesempatan bagi pedagang kaki lima selama 7 x 24 jam atau selama seminggu
dapat pindah dari lokasi rawan PMKS.
Jika pada tenggang waktu yang diberikan itu tidak diindahkan, maka
pihak Pemda melakukan rapat koordinasi dengan berbagai Dinas/Instansi untuk
memebahas permasalahan keberadaan pedagang kaki lima tersebut . Adapun
Dinas/Instansi yang terlibat meliputi Dinas Tramtib, Kodim, Polers,
Kecamatan/Kelurahan, bagian perekonomian, badan kesatuan bangsa, suku
Dinas Kebersihan, Suku Dinas Kesehatan, Suku Dinas Koperasi dan UKM (unit
usaha kecil), Suku Dinas Pertanaman, PU, PLN, dan Suku Dinas Kebakaran .
Koordiansi tersebut dapat lebih komprehensif. Misalnya, Polres dan
Kodim dilibatkan dalam rangka menjaga keamanan di lokasi penertiban. PLN
dilibatkankan untuk memutuskan jaringan listrik. Dinas kebersihan diikutkan
untuk membersihkan hasil bongkaran. Dinas Kesehatan dilibatkan, jiaklau dalam
penertiban tersebut ada aparat yang terluka. Dinas Kebakaran diikutkan untuk

47

mengantisipasi adanya pembakaran lapak dan fasilitas lainnya. Sementara
Suku Dinas Perekonomian dan opersai Usaha Kecil dan Menengah dalam
rangka memikirkan langka dan upaya pembinaan, serta PU dan Dinas
Pertamanan dibutuhkan manakala di lokasi harus ada perbaikan ataukah
pembangunan trotoar atau taman.
Tahap selanjutnya penentuan jadwal pelaksanaan penertiban. Jadwal ini
sangat tergantung dengan kondisi dan situasi yang berkembang, Misalnya,
pertimbangan kondisi sosial politik, baik ditingkat nasional maupun yang terjadi
di Di Jakarta serta pertimbangan teknis lainnya. Secara operasional, dalam
pelaksanaan penertiban berbagai unsur terlibat secara langsung. Adapun unsur
yang terjun ke lokasi penertiban yang berhadapan langsung dengan pedagang
kaki lima dalam penertiban yang berskala besar, antara lain: Dinas Tramtib yang
etrdiri dari Polisi Pamong Praja (Polisi PP), Bnatuan Polisi Pamong Praja
(Banpol PP),Perlindungan Masyarakat (Linmas), Polres, Kodim, Pemadam
Kebakaran, Bagian Angkutan.
Persoalan Ruang
Kota adalah sebuah ruang fisik yang dijadikan tempat untuk melakukan kegiatankegiatan para warganya. Dari waktu ke waktu ruang-ruang dalam wilayah kota
diatur dan ditata

secara terencana mengantisipasi dinamika kehidupan kota

dengan berbagai perubahan yang terus berlangsung. Perubahan-perubahan dan
penataan ruang-ruang kota yang dilakukan pemerintah daerah bertujuan untuk
mendayagunakan
semaksimal

manfaat ruang (Suparlan,2004 :67). Kota perlu ditata

mungkin

demi

keuntungan

ekonomi

maupun

keuntungan-

keuntungan sosial, politik dan kehidupan pada umumnya
Penataan ruang-ruang kota akan terkait dengan campur tangan Pemda
dalam menetapkan aturan, nilai, norma-norma sosial untuk ditaati oleh seluruh
lapisan masyarakat. Untuk itu dibutuhkan sosialisasi aturan tersebut kepada
msayarakat. Sebab, secara luas sosialisasi dapat diartikan sebagai suatu proses
dimana warga masyarakat dididik untuk mengenal, memahami, mentaati dan
menghargai norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.
Adanya proses sosialisasi tidaklah berarti anggota masyarakat akan
kehilangan kebebasan dan jati dirinya sebagai individu. Apabila individu hanya
berorientasi pada kepatuhan yang mutlak terhadap nilai dan norma sosialnya,
maka ia akan menjadi semacam robot yang dikendalikan oleh sistem sosialnya.
Sebaliknya, apabila individu merasa sepenuhnya bebas dari ikatan kelompok

48

dan masyarakatnya maka ia akan menjadi warga masyarakat yang liar (lihat
Soetomo, 1995:140).

Peran norma sosial sebagai faktor pembatas perilaku individu individu dalam
hidup bermasyarakat sangatlah penting. Sebab perilaku menyipang dapat saja
terjadi

karena

perbedaan

interpretasi

tentang

batas-batas

toleransi,

mengakibatkan munculnya perilaku yang melanggaran norma-norma dalam
kehidupan bermasyarakat. Di dalam studi mengenai perilaku manusia pada
lingkungannya (envioronmental bahaviour), menurut Rapoport (1990) mencakup
ada tiga unsur, yaitu : karakteristik pemakai dikaitkan dengan perilakunya,
dampak dari lingkungan fisik terhadap pemakai dan mekanisme hubungan yang
terjadi antara pemakai dan lingkungannya.
Perilaku dan kebiasaan (behavioral setting) akan berpengaruh terhadap
pemanfaatan dan wujud fisik spasial pada ruang kota. Karekteristik sosial
masyarakat perkotaan dapat secara jelas tercermin dari perilaku pemakaian
ruang publik kota (seperti jalan, trotoar, ruang-ruang terbuka, maupun sepanjang
sungai) yang tidak sesuai dengan fungsinya. Apalagi, setiap manusia dalam

49

kehidupannya selalu menggunakan ruang-ruang yang ada untuk melakukan
kegiatannya -- baik itu pada lingkup kota, lingkungan pemukiman atau rumah
tinggal.
Setiap kegiatan manusia membutuhkan ruang, terutama berkaitan
dengan interaksi di antara mereka. Jika para pejalan kaki membutuhkan trotoar
untuk berjalan dengan aman atau para penumpang angkutan kota membutuhkan
halte untuk menunggu kendaraan, maka ruang (untuk publik) menjadi sesuatu
yang tidak bisa ditawar. Akan tetapi, ketika berjalan atau menunggu angkutan
tak jarang sejumlah orang akan haus atau lapar, maka persediaan minuman dan
makanan itu, tentu akan menjadi kebutuhan yang harus dipenuhi dari ruang
tersebut.
Pertimbangan itulah, yang kemudian ditangkap oleh para pedagang kaki
lima. Artinya, jika para pedagang kaki lima kemduian “dituduh” banyak menyita
ruang (publik) -- seperti trotoar, badan jalan, atau juga fasilitas umum lainnya—
tentu bukan tanpa sebab. Apalagi jika pembanguan fasilitas komersial
(perdagangan) yang disediakan pemerintah sering kali tidak bisa dijangkau oleh
para pedagang kaki lima. Maka, ruang publik bagi pejalan kaki atau penumpang
angkutan, juga menjadi milik pedagang kaki lima. Dengan demikian, kegiatan
pedagang kaki lima pada dasarnya tidak hanya dilakukan pada ruang-ruang
yang sengaja diperuntukkan pada kegiatan komersial semata, seperti stasiun,
pasar,

dan emperan toko

saja. Kegiatan itu ternyata bisa dilakukan ruang

manapun, sepanjang ruang tersebut mampu mengakomodasi kebutuhan
masing-masing penggunanya.
Berdasarkan hasil observasi di lapangan pedagang kakilima juga sering
melakukan kegiatan hingga malam hari, dengan lampu pelita atau elektronik.
Masing-masing menggunakan ruang sesuai kebutuhan antara lain dengan
membuka tenda, atau memasakan bangku dan meja untuk pedagang makanan,
atau menggunakan gerobak terbuka dan tertutup bagi penjual makanan, jajanan,
memasang meja dan kursi kayu untuk penjual makanan jajanan, buah-buah,
minuman dan lainnya, bentuk yang sedapat mungkin dapat dipasang dan
dibongkar pada waktu pulang. Hal ini umumnya terjadi pada trotoar dan bahu
jalan .
Kelompok pedagang kaki lima membentuk garis lurus menghadap jalan
raya dan pembeli masuk dari bagian samping atau berdiri disamping gerobaknya
pada saat berbelanja. Keadaan demiakin banyak ditemui pada sore hari, seperti
50

yang ditemui pada pedagang kaki lima yang berjulan pada jalan Gatot Subroto
depan Kartika dan SCTV., di sore hari dari jam 17.00 sampai jam 22.00 WIB.
Kesempatan ini digunakan pedagang kaki lima, karena waktu tersebut
sebahgaian dari pegawai baru pulang kerja, dan banyak yang menunggu bus di
depan halte disitu. pedagang kaki lima lebih banyak menjajahkan makana dan
minuman.
Pedagang kaki lima yang berlokasi di samping bawah jembatan depan
Planet Hollywood 21 ini hanya berdagang di sore hingga malam hari sejak pukul
lima sore hingga jam 12 malam. Sore itu saya sms dengan kelompok saya
bahwa saya berada di lokasi ini, sementara teman saya menyebutkan sedang
berada di seberangnya sedang menemui informan. Matahari sudah surut, dan
keadaan mulai gelap, pembeli bertambah, silih berganti saya memesan soto
ayam. Pedagang di sekitar itu hanya seputar tujuh orang. Gerobag; Soto ayam,
sate ayam, siomay, nasi goreng, pedagang rokok, pedagang nasi, pedagang
otak-otak.
Pembeli di gerobag soto ayam ini kebanyakan dari kalangan pekerja di
kantor yang menunggu bus, juga dari kalangan masyarakat menengah, dimana
mereka akan menonton acara di planet Hollywood 21. Gerobag soto ayam yang
terletak bersebelahan dengan penjual rokok ini tergolong gerobag yang bersih
dan penataan barang-barang dagangannya teratur. Tidak terkesan kumuh dan
peralatannyapun tampak bersih. Gerobag soto dikelilingi bangku tempat duduk
di sisi depan dan samping kiri. Dan bangku bebas yang bisa diduduki oleh
pembeli nasi goreng ataupun soto ataupun penunggu bus (salah satu fieldnote
peneliti).
Penggunaan ruang publik dan fasilitas sosial dapat dimanfaatkan oleh
pedagang kaki lima, sebab ruang publik dan fasilitas sosial pada dasarnya juga
dianggap sebagi ruang bersama, siapa saja boleh menggunakannya. Bila ada
satu pedagang kaki lima yang telah menempati bahu jalan atau suatu trotoar
akan juga mengundang yang lain terlibat bersama. Tolerasi terpelihara berkaitan
dengan rasa persaudaraan yang kuat diantara pedagang kaki lima Selain itu
pedagang kaki lima merasa aman dengan adanya berbagai pedagang kakilima
lain ada bersama dan mempunyai kepentingan bersama.
“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk
mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau
akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, kata
informan mengenang usaha sebelum dia memasuki kios permanen di dalam
kantin LIPI. Informan menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi
pamong praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan. “Kalau sampai
gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar
400 ribu rupiah,” katanya (fieldnote).
51

Pemanfaatan trotoar oleh pedagang kaki lima berkaitan erat dengan
kehidupan masyarakat didominasi oleh berbagai kegiatan yang menyebabkan
ruang-ruang dipergunakan semaksimal mungkin. Jalan merupakan ruang
multifungsi, baik sebagai tempat bekerja dan tempat melakukan kegiatan sosial.
Ruang-ruang digunakan semaksimal

mungkin disesuaikan kebutuhan dan

sedapat mungkin dekat tempat tinggal pedagang kaki lima (Guinness, 1986;
Bhatt, 1990; dan Murdiyanti,1992)
Ruang-ruang yang ditempati pedagang kaki lima sedapat mungkin
mempunyai kontak langsung dengan pejalan kaki dan fleksibilitas terhadap
peenmpatan kegiatan, yaitu di daerah perkantoran, perdagangan, pendidikan
dan menempati area di pinggir jalan; atau dengan kata lain sektor informal
umumnya

berada

di

semua

tempat

keramaian

atau

tempat

tinggal.

Kecendrungan lain adalah pemanfaatan ruang yang dapat memberikan
kenyamanan untuk berinteraksi sosial sebagai hasil dari proses terjadinya
keinginan untuk melakukan kontak dan komunikasi antara masyarakat secara
luas (Mulyati,1994).
Faktor sosial

dan ekonomi menyebabkan berubahnya fungsi ruang-

ruang kota menjadi tempat bekerja dan mencari nafkah, sebagai wujud
aksessibilitas dan adanya hubungan yang erat antara manusia dengan
lingkungan secara sosial, ekonomi dan fisik pada kawasan perkoatan karena
tempat-tempat tersebut sangat strategi dalam mencapi tujuan yang diinginkan.
Penatan ruang tidak menjadi tujuan utama tetapi bagaimana menmanfaatkan
ruang-ruang semaksimal mungkin, tidak hanya untuk kegiatan sosial tetapi juga
kegiatan ekonomi. Pemanfaatan ruang publik dan fasilitas sosial hal yang perlu
dilihat bersama. Mengingat penggunaan ruang publik dikota harus dilihat secara
sistimatik, dalam konteks kepentingan nasional. Dalam konteks nasional
tersebut, pemanfaatan ruang publik dna fasilitas sosial seharusnya mencakup
upaya-upaya membina dan memantapkan kesatuan Indonesia secara nasional.
Ruang publik dan fasilitas sosial berfungsi juga untuk mengakomodasi dan

52

menjembatani perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat (Poerbo,1986
dan Suparlan, 2004).

53