Bermain Petak Umpet di Tengah Trotoar (Strategi Bertahan Pedagang Kaki Lima di Jakarta) - Diponegoro University | Institutional Repository (UNDIP-IR)

3Perlawanan Malu-malu
Jam 8.30 pagi, ketika Wasdap, 48 tahun, mendorong gerobag sotonya. Pagi itu,
seperti biasa dia sedang memulai membuka dagangannya di bantaran sungai
yang bersebelahan dengan Gedung Jamsostek Jalan Gatot Subroto Jakarta.
bantaran sungai tempat biasa dia mendasarkan dagangannya. Waktu itu belum
banyak orang di sana. Ketika dia sedang beranjak meninggalkan gerobag untuk
mengambil air, tiba-tiba serombongan petugas operasi Tramtib datang. Tanpa
sepatah kata pun gerobag yang penuh makanan itu diangkut ke mobil operasi.
“Saya hanya bisa diam, tak mampu mempertahankan, selain memegang ember
ini, “katanya. Teman-teman lain yang kebetulan belum mendirikan dagangannya
juga tampak hanya membisu menyaksikan operasi tersebut.
“Waktu yang saya pikirkan adalah bagaimana menarik kembali gerobak
yang telah diangkut petugas tersebut. Karena di kantong saya tak ada uang
sepeser pun untuk menebus gerobag tersebut, “ ujarnya. Atas kebaikan temantemannya maka terkumpullah uang sebanyak Rp 250 ribu untuk menebus
gerobag tersebut. Maka setelah terkumpul uang tebusan tersebut, pada siang
harinya Wasdap berangkat ke kantor Kecamatan Setayabudi. Dia melihat
gerobagnya teronggok bersama geobag-gerobag lain hasil operasi. “Makanan
yang tadi penuh, ternyata waktu itu telah ludes entah siapa yang menghabisakan
makan begitu banyak itu. Tapi tak apalah, yang penting saya bisa menarik
kembali gerobag tersebut, “ katanya datar. Uang tebusan pun dia berikan
kepada kepala seksi operasi penertiban, dan setelah mendapatkan basa-basi

nasihat, dia mendorong gerobagnya ke rumahnya. Dan, esoknya dia kembali
mengoperasikan barang dagangannya dengan gerobag tersebut dan masih di
tempat semula.

G
terus

ambaran dari temuan di lapangan itu, menyiratkan tentang fenomenafenomena empirik yang pada dasarnya akan selalu menjadi salah
satu bentuk tindakan sosial setiap pedagang kaki lima. Mereka akan

mempertahankan

usahanya

sebagai

pedagang

kaki


lima

dan

mempertahankan lokasi usaha, karena pekerjaan dan lokasi tersebut dianggap
berkait dalam mengembangkan keuntungan secara ekonomi.
Apalagi, selain memberi keuntungan tindakan sosial setiap pedagang kaki
lima mempertahankan usahanya juga karena usaha tersebut merupakan salah
satu usaha yang tidak permanen. Jika pedagang kaki lima merupakan usaha
yang

tidak

permanen,

maka

sewaktu-waktu

pekerjaan


itu

jika

tidak

29

menguntungkan secara ekonomis akan mudah ditinggalkan atau berganti usaha
lain. Akan tetapi, jika pekerjaan itu menguntungan secara ekonomis, maka
sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut. Jika
sejumlah resiko akan dihadapi demi mengembangkan usaha tersebut, maka
dibutuhkan sejumlah strategi bagi para pedagang kaki lima dalam mengatasi
resiko tersebut (bandingkan pada Broomley, 1978, Lukman, 1995, Munir, 1993,
dan Saleh, 1995).
Pengalaman informan Ny. Lia Abas , 49 tahun, tidak tamat SMP tetapi
sukses menjadi pedagang kaki lima mendukung argumentasi tersebut. Empat
orang anaknya (dua laki-laki dan dua perempuan) justru telah menampatkan
jenjang tingkat tinggi . Seorang anak laki-laki tamatan S2 Ekonomi Universitas di

Paris, seorang anak perempuan tamatan S2 di IKIP Jakarta, seorang anak
laki-laki tamat S2 Ekonomi Universitas Jakarta, dan seorang anak perempuan
tamat S1 Fakultas Hukum Trisakti )
Di lain pihak, disebutkan oleh sejumlah peneliti bahwa menekuni usaha
sebagai pedagang kaki lima tidak membutuhkan pendidikan yang terlalu tinggi.
Jika latar belakang pendidikan tidak menjadi persyaratan utama, maka
sebenarnya pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa
saja. Jika pekerjaan sebagai pedagang kaki lima bisa dilakukan oleh siapa saja,
maka para urbanis dari desa yang berlatar belakang petani pun bisa menekuni
usaha pedagang kaki lima (bandingkan pada Ali, 1989, Bairoh, 1973, Breman,
1980, dan Latief, 1977).
Lebih dari itu, berusaha sebagai pedagang kaki lima biasanya tidak
membutuhkan modal yang terlalu besar. Jika mengembangkan usaha pedagang
kaki lima tidak membutuhkan modal besar, maka dengan kemampuan modal
keuangan sendiri atau bantuan keluarga dapat mendorong seseorang menjadi
pedagang kaki lima. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki
lima hanya dengan modal sendiri, maka keberadaan pedagang kaki lima
sebenarnya keberadaan pedagang kaki lima bisa disikapi sebagai jenis usaha
yang mandiri. Jika seseorang membuka usaha sebagai pedagang kaki lima
dengan modal bantuan keluarga, maka resiko kerugian serta pengembangan


30

usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga tersebut. Jika resiko kerugian
serta pengembangan usaha akan ditanggung bersama anggota keluarga, maka
masing-masing anggota keluarga yang menekuni pekerjaan pedagang kaki lima
akan

berusaha

mengembangkan strategi
bersama
pada

(bandingkan

Ernawati,

Jamuin,


1995,

2000,

Ramli,

1992, Salim 1993,

dan

Suharyanti.dkk, 1995)
Bertolak

dari

pernyataan tersebut, pada
dasarnya
mengembangkan
sebagai


usaha

pedagang

kaki

lima dianggap mempunyai
nilai strategis, sementara
ketika

mereka

berhadapan
resiko

usaha

menghadapi

harus

dengan



seperti
operasi

penertiban—akan di cari
akan

dicari

sejumlah

strategi oleh masing-masing pelaku tindakan sosial tersebut. Yang telah
dilakukan informan Wasdap, juga tak jauh berbeda dengan yang dilakukan
informan lain.
Informan Toing misalnya, menempati lokasi di dalam kantin kantor
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), padahal sebelumnya dia telah
berusaha lebih dari sepuluh tahun membuka usahanya di luar kantor tersebut

dan sukses mengembangkan usahanya. Dia tidak bisa mengelak ketika pihak
Pemda Jakarta Selatan dan koperasi kantor LIPI membangun kantin (di dalam

31

halaman kantor) dan mengajurkan sejumlah pedagang kaki lima yang ada di luar
kantor tersebut, untuk masuk dan menempati ruangan kantin yang baru.
Meskipun dia harus membayar uang sewa dan dan kebersihan setiap bulanya
sebesar Rp 600 ribu, namun agar tidak dianggap melanggar aturan yang ada,
dan bersama sejumlah pedagang kaki lima yang lain bersedia menempati lokasi
resmi yang baru tersebut. Sayangnya, ketika mencoba menempati lokasi yang
baru tersebut omset penjualannya menurun, maka informan Toing pun mencoba
siasat untuk mengatasi permasalahan yang dia hadapi. Dua gerobag gado-gado
yang semula sudah “dikandangkan” di rumahnya, kini kembali dioperasikan
kembali di tempat yang lama di luar kantor LIPI.
“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya
penjual gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang
mengaku berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing
Ganoli (gado-gado, nasi, lontong). Dia sudah 10 tahun menempati lokasi
tersebut. Dia mempunyai dua gerobak gado-gado yang ditempatkan di sebelah

timur dan barat kantor tersebut.
“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk
mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau
akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya
menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong praja,
kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan.
“Kalau sampai gerobak ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua
rata-rata saya bayar 400 ribu rupiah,” katanya, “Kalau mewakili teman-teman
yang terkena operasi penertiban udah lebih dari sepuluh kali dah,” katanya
.”.......Kalau begini terus kayaknya, berat deh untuk bisa bertahan sampai
satu bulan,” ujar informan mulai mengeluarkan keluhannya, “lihat tuh udah jam
segini, dagangan saya masih belum habis separo.” Terlihat kantong plastik berisi
kerupuk warna-warni yang baru berkurang seperempatnya saja. Nasi yang
diletakkan di bakul plastik juga masih tampak utuh. Demikian juga lontong, tahu,
ketimun, tomat, kol, terlihat masih memadati lemari kaca tempat penyimpanan
bahan gado-gado.
“Dulu waktu masih di luar sana, siang begini, nasi udah habis, palingpaling tinggal sedikit lontong doang. Sekarang di sini, jangankah habis, terbeli
juga kagak, “kata informan lebih lanjut.
“......Tetapi, kita harus realistis. Coba bayangin kalau pendapatan kita
berkurang. Dagangan kagak laku, apakah kita nggak coba cari jalan keluar?”

tanyanya, “posisi saya kagak enak. Saya kan dekat dengan pengurus koperasi
LIPI, juga orang-orang kelurahan. Tetapi di lain pihak saya juga dipercaya
teman-teman di sini. Maka, mau tidak mau saya harus patuh untuk pindah ke
dalam. Dengan pindah ke dalam berarti saya tidak ingin menentang arahan
kelurahan, meskipun ada di antara teman-teman yang tidak bersedia masuk ke

32

dalam itu urusan merekalah. Kenyataannya, setelah usaha di dalam ternyata
tidak menguntungkan maka butuh cara untuk mengatasinya. Seperti yang saya
lakukan sekarang ini...”.
Untuk itulah yang ditempuh oleh sejumlah pedagang kaki lima yang kini
menempati kantin baru tersebut, mencoba membuka dagangannya kembali di
luar kantin resmi. “Kita berusaha untuk tidak mengundurkan diri keluar jadi
anggota koperasi kantin ini, iuran wajib setiap bulan seperti cicilan sewa tempat
dan bayar kebersihan, listrik, dan air tetap akan kita penuhi. Bayar enam ratus
ribu tiap bulan akan kita penuhi, meskipun pendapatan kita di sini sungguh
sangat berkurang. Tetapi kita kan butuh duit agar tetap usaha ini tetap untung, “
katanya.
Maka, dengan cara yang ditempuh sekarang – yakni kembali membuka
daganganya di luar kantin resmi-- informan justru bisa menutup kekurangan
pendapatan yang diterima selama ini.
“Biarin dah dagangannya saya di dalem sini kagak untung, tetapi yang di
luar itulah yang bisa nombokin,” katanya. Langkah yang ditempuh informan ini,
sebenarnya merupakan keinginan bagi para pedagang yang lain, tetapi karena
terbentur persoalan modal maka para pedagang yang lain tak bisa mengikuti
jejak informan.
“Mereka salah strategi. Kalau saya modal tetap. Justru yang saya
mencoba membagi jumlah persediaan dagangan. Misalnya, jatah untuk satu
tempat ini saya bagi menjadi tiga tempat. Sehingga kalau di sini kagak laku kan
bisa ditutup dari tempat yang lain,” ujarnya.
Menyimak gambaran tersebut, pada dasarnya pedagang kaki lima
mempunyai sejumlah strategi untuk menyiasati sejumlah aturan main yang ada.
Ekspresi penyiasatan tersebut tertuang dalam bentuk tindakan sosial yang
dianggapnya strategis. Akan tetapi aturan main yang mana yang harus disiasati
oleh para pedagang kali lima?
Kekuasaan “Atas Nama”
Bagi aparat Pemda DKI menganggap bahwa keberadaan pedagang kaki lima
pada dasarnya telah diatur oleh oleh Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta
nomor 11 tahun 1988 (seperti yang telah diuraikan pada pembahasan terdahulu).
Akan tetapi,

kalau diperhatikan secara seksama Perda ini sebenarnya tidak

secara spesifik mengatur keberadaan pedagang kaki lima, karena dalam Perda
tersebut secara umum lebih mengarah pada peraturan ketertiban umum. Akan
tetapi, ketika persoalan ketertiban umum menyangkut sarana ruang publik yang

33

biasanya dijadikan lokasi usaha pedagang kaki lima, maka secara tidak langsung
keberadaan pedagang kaki lima juga terkait dengan Perda tersebut.
Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988 mengatur tentang sembilan tertib
hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau, taman dan
tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib lingkungan;
tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni bangunan; tertib
sosial; tertib kesehatan. Isi Sementara Perarturan Daerah Nomor 11 Tahun 1988
mengatur tentang sembilan tertib hukum yaitu, tertib jalan dan angkutan jalan
raya; tertib jalur hijau, taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam
dan lepas pantai; tertib lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib
pemilik, penghuni bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan. Peraturan Daerah
Nomor 11 Tahun 1988 juga terdiri dari: XVI bab dan 32 pasal yang mengatur
tentang ketentuan umum; tertib jalan dan angkutan jalan raya; tertib jalur hijau,
taman dan tempat umum; tertib sungai, saluran, kolam dan lepas pantai; tertib
lingkungan; tertib usaha tertentu; tertib bangunan; tertib pemilik, penghuni
bangunan; tertib sosial; tertib kesehatan; ketentuan pidana; pembinaan;
pengawasan; penyelidikan; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup
Bertolak

dari

Perda

tersebutlah

aparat

Pemda



dengan

mengatasnamakan ingin menciptakan ketertiban umum -- mempunyai otorita
kekuasaan untuk menentukan keberadaaan pedagang kaki lima. Dengan
berpegang pada Perda itu pula aparat Pemda – dengan mengatasnamakan
penegakkan hukum dan aturan – mempunyai kewenangan untuk menertibkan,
mengatur, dan melarang usaha pedagang kaki lima.
Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman,
Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H.
Muchtar.BA mengemukakan, ”Di Kotamadya Jakarta Selatan, telah ada Suku
Dinas Tramtib dan Linmas tingkat 10 kecamatan dan 65 kelurahan di Daerah
Ibukota Jakarta Selatan: Secara hierarkis, masing-masing tingkatan tersebut
memiliki kewenangan untuk melakukan tindakaan penertiban berdasarkan batas
wilayah dan besar-kecilnya yang akan ditertibkan.
Pada tingkat Kotamadya, Suku Dinas Tramtib dan Linmas, misalnya
memiliki kewenangan menelakukan penertiban di seluruh wilayah Kotamadya
Jakarta Selatan, manakala pihak yang akan ditertibkan jumlahnya cukup besar
sehingga membutuhkan aparat yang banyak. Pada tingkat Kecamatan, Seksi
Tramtib memiliki kewenangan untuk melakukan peenrtiban dalam wilayah
adminstrasi Kecamatan yang bersangkutan manakala pihak yang akan
ditertibkan tersebut jumlahnya relatif terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula
pada tingakt Kelurahan, Subseksi Tramtib juga memiliki kewenangan untuk

34

emlakukan penertiban dalam lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil.
Adapaun keseluruhan jumlah tenaga operasi lapangan Trambtib dan Linmas, di
Kotamadya Jakarta Selatan terdapat 1170 personil, yang dibagi juga pada lima
sampai sepuluh orang pada setiap Kecamatan dan Kelurahan.”
Dari sinilah terlihat bahwa isyu kekuasaan secara struktural fungsional
memainkan peranan. Bagi aparat Pemda, isyu kekuasaan bisa diekspresikan
dengan tindakan sosial seperti melakukan operasi penertiban. Operasi
penertiban tersebut, di satu sisi merupakan implementasi dari penerapan Perda
yang berlaku. Namun, di sisi lain, dengan operasi penertiban pula membawa
implikasi pada sangsi hukum bagi para pedagang kaki lima. Sangsi hukum yang
berlaku tidak semata-mata berupa tindakan menghentikan usaha pedagang kaki
lima, tetapi sangsi tersebut pada dasarnya juga bisa dalam bentuk “negosiasinegosiasi” yang kemudian berujung pada munculnya “uang tebusan” yang harus
dikeluarkan oleh para pedagang kaki lima. Besaran uang tebusan juga akan
tergantung dari keputusan aparat “penegak hukum” tersebut.
Kepala Sub Bidang Tata Usaha Tramtib dan Linmas (Ketentraman,
Ketertiban dan Perlindungan Masyarakat) Kotamadya Jakarta Selatan, H.
Muchtar.BA juga mengemukakan, “meskipun tiada hari tanpa penertiban tetapi
pelanggaran selalu ada. Untuk pelanggaran yang dilakukan pedangan kaki lima
kan termasuk tindakan pidana ringan (tepiring). Maka kalau pedangan kaki lima
melanggar akan kita lihat dia dagang apa? Kalau cuma dagang rokok yang lima
puliuh ribu lah. Kalau jualan nasi tentu harus didenda lebih besar lagi.”
“Memang kami tahu pedagang kaki lima, adalah orang-orang kecil saja
yang sementara mencari untuk perut keluarga, kalau kami tindak dengan
kekuasaan yang ada pada kami, bagaimana anak istrinya makan, karena itu
sebenarnya kami kasihan sama pedagang kaki limanya, kami berharap
pedagang kaki lima sadar, karena ada aturan-aturan penggunaan ruang publik,
kawasan-kawasan tertib lihat Perda no. 11/88, pasal 14, 15, 16 – 19 yang sudah
kami sosialisasikan kepada pedagang kaki lima, hal-hal yang termasuk dalam
Tertib Lingkungan dan Tertib Usaha. Seperti seluruh jalan Gatot Subroto, daerah
pusat perkantoran, kawasan rawan usaha, tapi begitulah masih banyak
pedagang kaki lima informal yang secara sembunyi-sembunyi melakukan usaha
mereka. Terkadang mereka sangat tidak tahu diri, begitu kami tidak ada
kawasan tertib kota dikotorkan dengan seluruh sampah mereka, wajarlah sesuai
aturan hukum harus ditindak demi ketertiban sosial”.
Sangsi hukum, uang tebusan, besaran uang tebusan,
pertangungjawaban

uang

tebusan

tersebut,

ternyata

bahkan juga

berdasarkan

hasil
35

wawancara dan observasi di lapangan lebih menunjukkan gambaran yang
buram. Adanya pembayaran uang kebersihan dan keaman yang setiap minggu
dan bulan harus dikeluarkan pedagang kaki lima kepada petugas Pemda,
ternyata tidak berdasarkan Perda yang pasti. Dengan alasan bahwa para
pedagang kali lima termasuk golongan ekonomi lemah, maka mereka tidak
dihitung memberi kontribusi buat Pemda DKI Jakarta ini. “Ya, seperti di tingkat
RT-lah, warga disuruh bayar uang keamanan dan kebersihan, tetapi uang itu
tidak akan masuk ke kas daerah, “ ujar H. Muchtar.BA.
Atas dasar aliran keuangan yang tidak jelas itulah, maka aparat Pemda
mampu mempermainkan kekuasaannya yang tidak jelas pula batasannya.
Apalagi, pada tingkat Kecamatan, Seksi Tramtib memiliki kewenangan untuk
melakukan

penertiban

dalam

wilayah

administrasi

kecamatan

yang

bersangkutan manakala pihak yang akan ditertibkan tersebut jumlahnya relatif
terlalu tidak terlalu banyak. Demikian pula pada tingkat kelurahan, subseksi
Tramtib juga memiliki kewenangan untuk melakukan penertiban dalam
lingkungan kerjanya dalam lingkup yang lebih kecil.
Jika demikian kenyataannya, maka aparat Pemda dari tingkat kotamadya
hingga tingkat kelurahan mempunyai posisi yang cukup strategis dalam
memainkan kekuasaan terhadap para pedagang kaki lima. Apalagi bagi para
pedagang kaki lima yang memang belum membentuk kelompok semacam
asosiasi seperti yang ada di jalan Gatot Subroto ini, menjadi “lahan yang subur”
bagi aparat Pemda untuk memerankan kekuasaannya. Bahkan seperti yang
ditemui di lapangan, ada sejumlah aparat Pemda yang hanya menggunakan
seragam (uniform) mampu memainkan kekuasannya. “Bagi tidak tahu itu
petugas dari kelurahan, kecamatan atau kotamadya, asal memakai seragam
Pemda, kami harus berusaha untuk memberi uang rokok, “ ujar informan Anton.
Apakah isyu kekuasaan hanya melekat pada aparat Pemda saja?

36

Berdasarkan

wawancara

dan

observasi

di

lapangan

ternyata

membuktikan bahwa para pedagang kaki lima secara tidak sadar telah
memerankan kekuasannya pula. Dengan mempertahankan lokasi usaha,
mendasarkan dagangannya di sela-sela tempat pejalan kaki, serta membatasi
kehadiran pedagang kaki lima yang lain, adalah bagian dari ekspresi kekuasaan

yang sedang mereka mainkan. Seperti juga yang terjadi pada lokasi depan Hotel
Kartika Chandra dan kantor SCTV jalan Gatot Subroto, di antara halte bus dan
jembatan penyeberangan yang biasanya dijadikan lalu-lalang karyawan kantor
sekitarnya, justru dipenuhi para pedagang kaki lima di sore hari. Kendati
sejumlah orang justru merasa tertolong dengan kehadiran para pedagang kaki
lima yang menjajakan makanan, karena sembari menunggu bus ke arah rumah
mereka bisa mengisi perut. Namun, tak jarang sejumlah orang juga merasa
terganggu lantaran ruang publik berupa jalan yang dilaluinya lebih banyak
dipenuhi pedangan kaki lima. Dan, atas nama ruang publik pula, para pedagang

37

kaki lima mengklaim mempunyai hak untuk menggunakan kekuasaannya
berjualan di sana.1
Contoh pengalaman informan Wasdap, Toing, dan juga pedagang kaki
lima yang lain dapat dijadikan bukti kongkrit gambaran fenomena tersebut.
Bahkan gambaran yang lebih nyata dapat diperhatikan dari siasat-siasat yang
dimainkan oleh informan Rizal, penjual masakan Minang (Nasi Padang). Ketika
lokasi usahanya harus digusur, dia tidak ikut-ikutan dengan temannya yang
bersedia pindah memasuki kantin kantor LIPI. Dia justru hanya memindahkan
dasaran dagangannya ke seberang jalan Widya Chandra saja, dengan harapan
tidak meninggalkan pelanggan yang telah dia kuasai selama ini. Kendati, harus
dengan

menggunakan

mobil

minibus,

dia

ternyata

masih

memainkan

kekuasaannya sebagai pedagang nasi Padang satu-satunya di lokasi tersebut.

1

Gambaran tersebut seolah mengingatkan kita tentang isyu kekuasaan yang pernah
diungkapkan Bourdieu (1977). Dalam konsepnya tentang peran agen dan struktur sosial,
Bourdieu memandang bahwa pada pikiran manusia ada skema-sekma yang bekerja secara
tersirat, memberikan gambaran tentang sesuatu yang dilihatnya, ketika dia ada dalam lingkungan
tertentu, terjadi interpretasi tertentu. Skema interpretasi ini penting agar orang dapat
menyesuaikan diri di lingkungan barunya dan eksis disitu. Skema-skema interpretif ini bekerja
tanpa disadari, memberikan gambaran bagaimana duia bekerja, bagaimana menanggapi dan
menilai sesuatu di lingkungan dan mengarahkan tindakan. Disinilah memprodukkan habitus,
artinya Habitus adalah produk kondisi-kondisi struktur dari individu dan sekaligus praktekpraktek sosialnya yang kemudian mereproduksikan kondisi-kondisi objektif eksitensi sosial dari
agen. Jadi reproduksi sosial adalah proses, bukan mekanistis atau instrumen, arahnya pada
habitus yang menjadi produk kondisi struktur dari individu. Bourdieu mengklarifiaksi dikotomi,
mikro yang bekerja pada tingkat individu atau antarpribadi dan makro sebagai produk dan
produser struktur sosial, serta melihat habitus bekerja dalam kaitan dengan field dan capital
(Bourdieu, 1977:23 -24). Dalam kehidupan sosial sehari-hari Bourdieu (1977: 51-54) justru
memandang adanya kontestasi kekuasaan. Apalagi, menurutnya, kebudayaan sebagai simbol
dan makna yang membentuk dominasi sosial yang nyata sehari hari., di situlah tampak adanya
kekerasaan simbolik. Kekerasan simbolik adalah kekerasan dalam bentuk yang sangat halus,
kekerasan yang dikenakan pada agen-agen sosial tanpa mengundang resistansi, sebaliknya
malahan mengundang konformitas sebab sudah mendapat legitimasi sosial karena bentuknya
yang sangat halus. Bahasa, makna dan sistem simbolik para pemiliki kekuasaan ditanamkan
dalam benak individu-individu lewat suatu mekanisme yang tersembunyi dari kesadaran
(Bourdieu, 1977: 51-52). Bila Marxis melihat fungsi politis sistem simbolik pada kepentingan
kelas dominan dengan problem kesadaran palsu yang terdapat dalam kelas-kelas yang
terdominasi. Bourdieu mereduksikan relas-relasi kekuasaan menjadi relasi-relasi komunikasi.
Karena itu fungsi politik dari sistem simbolik merupakan upaya sistematik untuk melegitimasi
dominasi dengan memaksakan defenisi dunia sosial yang benar dan legitimit. Bordieu melihat
sebenaranya dalam kehidupan sehari-hari masyarakat ada saja konflik simbolik melalui
penggunaan kepada kerasaan simbolik oleh yang dominan atas yang terdominasi.

38

Jalan Widya Chandra. Jalan ini dibagi dua arah (dari dan ke arah jalan
Gatot Subroto) sebelah kiri kantor LIPI. Jalan sebelah timur (dari Gator Subroto)
dulu di samping kirinya tempat usaha sejumlah pedagang kaki lima, sementara
di pinggir jalan sebelah barat tidak pernah dijadikan tempat berjualan. Seharihari biasanya tempat parkir taksi, dan mobil-mobil derek. Akan tetapi, setelah
adanya relokasi sejumlah pedagang yang berjualan di jalan tersebut terpaksa
harus digusur. Sebagian masuk ke dalam kios-kios yang disediakan LIPI,
sedangkan sebagian yang lain mencari lokasi baru untuk membuka usahanya.
Hampir sekitar dua minggu, sejak penggusuran jdia kedua samping jalan
tersebut lengang dari sejumlah pedagang kaki lima. Para sopir tgak yang
biasanya memanfaatkan kawan tersebut untuk makan dan melepas lelah juga
tampak tidak sebanyak hari-hari sebelum penggusuran lokasi.
Akan tetapi, ketika memasuki minggu ke-3 setelah penggusuran.
Suasananya tampak lain. Jalan Widya Chandra sebelah barat yang tidak pernah
digunakan untuk berjualan, hari itu terlihat ada yang memanfatkannya untuk
berjualan. Dialah Rizal yang berjualan masakan Minang (Padang) – yang
tergusur dari warung sebelah timur jalan, tetapi tidak mengikuti jejak teman lain
yang ikut masuk ke kompleks LIPI. Rizal ternyata memberanikan diri untuk
berjualan kembali di sekitar jalan tersebut, meski sekarang menempati jalan
sebelah Barat. Kalau dulu dia berjualan dengan mendirikan warung, kini dia
ljustru menggunakan mobil minibus. Mobil tersebut “disulap” menjadi warung
makanan. Jok kursi bagian belakang sengaja dilepas dan diganti dengan lemari
makanan. Mobil diparkir di bahu jalan, sementara sebelah kiri mobil ditempatkan
kursi-kursi plastik dan meja makan.
“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun
saya tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan, ““Sudah dua
hari ini saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang
soto dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,”
tambahnya lebih lanjut.
Gambaran tersebut mengarahkan pada argumentasi bahwa isyu kekuasaan
terdistribusi di semua relasi sosial. Kekuasaan terjalian dalam jaringan seluruh
tatanan sosial, karena itu kekuasaan lebih bersifat produktif, dimana kekuasaan
menghadirkan subjek. Kekuasaan berimbas pada pembentukan kekuatan,
menjadikan subjek tumbuh dan mencari dirinya, ketimbang menghalangi,
membuat subjek menyerah atau menghancurkan. Kekuasan muncul karena
adanya pengetahuan akan ruang yang digunakan. Bila Pemda memandang
ruang publik harus dibungkus dengan aturan hukum, maka pengetahuan yang
tertanam pada diri pedagang kaki lima ruang publik adalah lokasi yang berhak
diakses olehnya untuk mengembangkan usahanya.2
2

Sejalan dengan dengan pernyataan tersebut Foucault (1980: 136) mengatakan, ada hubungan
timbal balik yang saling mendukung antara pengetahuan dan kekuasaan. Pengetahuan tidak

39

Menerabas “Aturan Main”
Dari hasil wawancara dengan sejumlah informan dan observasi di lapangan,
terbangun kesan bahwa para pedagang kaki lima di Jalan Gatot Subroto selama
membuka usahanya merasa tidak aman dan rentan dengan sejumlah resiko.
Akan tetapi, masing-masing pedagang kaki lima justru telah mempersiapkan
sejumlah strategi untuk mengatasi resiko tersebut.
Katakanlah, ketika mereka harus menghadapi operasi penertiban
sehingga kemudian mereka merelakan gerobag dan barang daganganya
diangkut petugas penertiban, akan dilakukan siasat-siasat untuk mengatasinya.
Misalnya, mereka harus menjalin kerja sama dengan oknum petugas kelurahan
atau kecamatan tentang kapan pelaksanaan operasiakan dilakukan. Bahkan
kalau saja sampai terjaring operasi seperti pengalaman informan wasdap, Toing,
dan Anton pun mereka sudah siap menghadapinya.
“Saya telah menjadi penjual gado-gado sejak tahun 1994. Dulu saya penjual
gado-gado-gado keliling dari kampung ke kampung,” ujar Toing yang mengaku
berasal dari kota Subang Jawa Barat. Dia terkenal dengan nama Toing Ganoli
(gado-gado, nasi, lontong).
“Oleh sesama pedagang di sini saya termasuk yang dipercaya untuk
mewakili mereka jika suatu kali ada urusan dengan kelurahan. Bahkan kalau
akan operasi penertiban, biasanya saya mah, udah tahu lebih dulu”, katanya
mengenang usaha sebelum dia memasuki kios permanen di dalam kantin LIPI.
Informan menjelaskan bahwa dia sudah empat kali terkena operasi pamong
praja, kemudian gerobaknya ditahan di kecamatan. “Kalau sampai gerobak
ditahan biasanya kami harus menebusnya, dua rata-rata saya bayar 400 ribu
rupiah,” katanya.
dapat dipisahkan dari rezim kekuasan . Pengetahuan terbangun dalam praktek kekuasaan dan ia
membangun perkembangan, perbaikan dengan teknik baru kekuasaan, karena tidak ada sumber
kekuasaan yang tunggal. Melainkan kekuasaan diyakini tersebar dimana-mana, dan konflik
sebagai salah satu bentuk konsekuesinya. Bagi Foucault kekuasaan bukan institusi bukan juga
struktur, bukan pula kekuatan yang dimiliki, melainkan suatu istilah untuk menyebut suatu situasi
strategis yang kompleks dalam suatu masyarakat. Oleh sebab itu, Foucalt menawarkan sebuah
model berpikir yang diatur secara dialektis melakukan strategi perlawanan. Bila perlawanan
dilakukan dalam bentuk aksi lokal, yang radikal, maka perlawanan itu harus merusakan dan
menghancurkan, merobahkan, struktur dan sistim yang ada, agar terjadi perubahan
sesungguhnya. Bila perlawanan tidak radikal, seluruh struktur dan sistim tidak roboh, sehingga
perlawanan disini hanya membutuhkan pengorganisasikan kembali sektor-sektornya.

40

Bahkan, ketika harus digusur dari lokasi semula pun masing-masing pedagang
kaki lima juga mempunyai kiat untuk mengatasinya. Seperti yang dilakukan
informan Rizal misalnya, di lokasi tempat dia menjajakan dagangannya digusur.
Sementara teman-teman yang lain tak berani membuka usahanya, dia justru
hanya bergeser beberapa meter dari tempat semula dan membeanikan diri
membuka usaha dengan cara menggunakan mobil minibus.
“Saya sengaja memberanikan diri membuka usaha di sini lagi, meskipun saya
tahu tempat ini dilarang,” kata Rizal membuka percakapan. “Sudah dua hari ini
saya sendirilah yang berani buka dagangan di sini. Katanya besok tukang soto
dan Pak Miing juga akan membawa gerobak gado-gadonya ke sini,” tambahnya
lebih lanjut.
Rizal merasa tidak bisa menanggalkan sekitar lokasi tersebut, dengan
pertimbangan bahwa jualan “masakannya” di sekitar lokasi ini telah memiliki
langganan tetap. Maka dengan mobil minibusnya dia kembali membuka
usahanya. “Saya buka usaha seperti ini tidak hanya di sini, di Pasar Santa
Jakarta Selatan juga ada. Tetapi harus saya akui tidak selaris di sini,” katanya.
Tidak takut digusur? “Digusur ya pindah lagi. Dengan mobil seperti ini kan
lebih praktis. Kemarin saya juga sudah didatangi petugas dari kelurahan dan
kecamatan, dan diperingatkan untuk tidak berjualan. Tetapi ketika saya beri uang
rokok Rp 250 ribu, mereka malah bilang: “ya sudah hati-hati saja, entar kalau
ada operasi tolong menyingkir dulu”. Kemudian saya jawab, “siap pak!!!”
Ternyata hari ini saya aman jualan lagi,” kata Rizal.
Langkah yang dilakukan Rizal tersebut, ternyata diikuti teman-teman lain
yang sudah telanjur peindah ke dalam kompleks LIPI. Beberapa pertimbangan
berjualan, menurut Rizal, di pinggir jalan adalah tuntutan pelanggan. “Sopir-sopir
taksi, mobil derek, karyawan sango jongkok, katanya malas kalau harus masuk
halaman kantro LIPI. Lagian kalau mengharapkan pelanggan kantor LIPI palingpaling hanya jam istirahat saja. Sedangkan di luar jam istirahat ‘kan ada juga
pembeli yang harus dilayani,” katanya.
“Lihat tuh, penjual ayam dan pecel lele, mie ayam Pak Abu, atau juga
Bang Toing, dulu larisnya kayak apa. Sekarang jangankan laris, untung saja
kagak kali. Padahal mereka harus bayar cicilan warung tempat dan uang sewa
lokasi setiap bulan. Apa nggak berat tuh. Apalagi itu tuh, penjual gorengan, kok
ya ikut-ikutan pindah. Duit dari mana dapet nyicil uang sewa bulannya”.
Informan juga membandingkan pendapatannya sekarang dengan ketika
masih berjualan di sebelah timur jalan. “Meski baru dua hari, saya udah
merasakan perbandingan pendapatannya. Kemarin saya bisa dapet uang
sampai satu juta dua ratus, padahal dulu setiap hari paling besar dapet 950 ribu.
Pagi ini juga sudah dapet 500-an ribulah. Lumayan kan?,” katanya.

41

Yang menarik dari gambaran tersebut adalah, ketika aparat Pemda
memperingatkan untuk tidak membuka usaha di ruang publik, ketika operasi
penertiban, atau bahkan ketika eksekusi penggusuran dilakukan, tidak
ditanggapi dengan perlawanan berupa ekspresi kekerasan. Mereka seolah patuh
dan mengindahkan sejumlah “aturan main” tersebut. Akan tetapi, setelah
peringatan,

operasi

penertiban,

dan

bahkan

eksekusi

penggusuran
berlangsung, mereka
kembali

menerabas

“aturan

main”

tersebut. Dari sinilah
terlihat

adanya

bentuk

perlawanan

yang

diekspresikan

secara malu-malu.
Perlawanan
tersebut

malu-malu

tersebut, yang secara
konseptual
dengan

terkait
pengertian

resistansi berupa kiatkiat

atau

cara-cara

dominasi antara satu
pihak kepada pihak yang lain. Sebaliknya pihak yang lain dengan taktiknya
melawan

pihak yang dominasi. Atau juga pihak yang dominasi dapat

menggunakan starteginya untuk mempertahankan fungsinya. Resistansi tidak
hanya ditemukan didalam hubungan –hubungan ekonomi (hubungan kerja), tapi
juga dalam hubungan-hubungan sosial lainnya, yang ditemukan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam hal ini resistansi lebih kearah interaksionis simbolik

42

yang memusatkan perhatian pada makna dan simbol terhadap tindakan dan
interaksi manusia. Atau dengan kata lain, resistansi muncul sebagai salah satu
bentuk kekuatan yang mendorong kehidupan masyarakat menciptakan gerakan
perubahan. Jika mengacu pada pendapat Chris Barker (2000: 358), maka dua
kekuatan mengrongrong kehidupan masyarakat untuki berubah, yakni masalah
ekonomi dan kekuasaan. Keduanya merupakan simbol kekuatan yang
melahirkan perubahan dalam masyarakat. Apakah perubahan itu dinamik atau
statis, tergantung kekuatan resistansi tersebut.

3

Untuk itulah, jika kita coba perhatikan sejumlah tindakan sosial yang
dilakukan para pedagang kaki lima berupa ekspresi perlawanan malu-malu ini
kita golongkan dalam bentuk resistansi non-violent. Di satu sisi, mereka juga
menyadari bahwa usaha yang dialakukan adalah bertentangan dengan aturan
main yang ada. Akan tetapi, di sisi lain mereka harus mempertahankan ranah
sosial melalui habitus-habitusnya, karena capital yang telah mereka miliki juga
harus dipertahankan. Pedagang kaki lima juga mengerti bahwa bahwa ruang
publik, bahu jalan, halte bus adalah lokasi terlarang untuk membuka usaha.
Mereka juga paham jika operasi penertiban akan selalu dilakukan serta reskioresiko yang bakal menimpanya. Akan tetapi mereka juga mempunyai
pengetahuan untuk menyiasati resiko-reskio tersebut, demi mempertahankan
eksistensinya.

3

Bennett (1998: 171) bahkan melihat perlawanan pada dasarnya adalah hubungan defensif,
dengan kekuasaan budaya yang diadaptasi oleh kekuatan sosial subordinat dalam situasi di
mana bentuk-bentuk kekuasaan budaya tersebut muncul dari suatu sumber yang jelas dialami
sebagai sesuatu yang bersifat ekstranal. Perlawanan dalam hal ini berakar pada kondisi budaya
kelas pekerja, yang berhadapan dengan budaya kelas berkuasa. Bentuk perlawanan menurut
Bennett secara samar-samar sebagai respons atas kekuasaan. Demikian juga pendapat De
Certeau (1984) yang membedakan antara strategi kekuasaan dengan taktik perlawanan.
Strategi adalah instrumen yang digunakan kekuasaan yang menciptakan suatu ruang bagi
dirinya dan terpisah dari lingkungannya untuk mengoperasikan objek kehendaknya. Jadi
kekuasan suatu perusahan ada pada ruang dan sarana bagi dirinya yang digunakan untuk
bertindak secara terpisah dari pesaing, musuh, klien , dll. Sebaliknya taktik adalah permainan
jebakan, tipu daya, pemalsuan kehidupan sehari-hari dengan menggunakan sumberdaya yang
ada serta berusaha menciptakan ruang yang dapat ditinggalkan.

43