Makalah Sejarah Pasar Modal Di Dunia Dan

Makalah Sejarah Pasar Modal Di Dunia Dan Di Indonesia
Ahmad Lupi 2/04/2015

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Segala puji hanyalah milik Allah Azza Wajalla yang Maha
Menggenggam segala kejadian dan Maha Memelihara setiap keadilan.
Dan kepada-Nyalah segala bersandar. Shalawat dan salam semoga
tercurah limpahkan kepada Baginda Alam Nabi Muhammad Saw.
Pasar modal adalah suatu wahana untuk mempertemukan pihakpihak yang memerlukan dan jangka panjang dengan pihak yang memiliki
dana tersebut. Di setiap perusahaan-perusahaan terus menerus berupaya
menciptakan pasar modal yang teratur dan transparan. Pasar modal
menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena investasi di Bursa Efek
berkembang sangat pesat .
Kehidupan yang semakin kompleks akan mendorong berbagai pihak
untuk mencapai segala sesuatu secara instan, mudah dan terorganisasi.
Dalam hal ini, untuk memepermudah transaksi produk pasar modal maka
dibentuk Bursa Efek. Fungsinya sangat membantu berbagai pihak yang
terkait.
Perkembangan pasar modal dari tahun ke tahun mengalami

kenaikan. Dimulai dengan adanya perubahan yang terdapat didalamnya
hingga menghasilkan Bursa Efek Jakarta yang merupakan satu-satunya
bursa efek di Indonesia. Aktivitas yang dilakukan sangat banyak guna
membantu para investor dan perusahaan melakukan transaksi ekonomi.
1.2 Masalah dan Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah yang disusun untuk memenuhi tugas
1)
Mengetahui sejarah pasar modal
2)
Menambah wawasan untuk mengetahui keseluruhan sejarah pasar
modal
3)
Mengetahui perkembangann pasar modal

BAB II
SEJARAH PASAR MODAL
DI DUNIA
2.1 Kaum Publican (± 3 SM): Aplikasi Bagi Hasil Pertama di Dunia
Ide tentang pembagian penyertaan modal dan pembagian
keuntungan sudah dikenal sejak lama. Kita dapat menelusuri sejarah

tentang saham hingga zaman Imperium Roma. Pada zaman tersebut,
pemerintah Roma mengontrakkan layanan kepada sekelompok
pengusaha swasta yang disebut kaum publican. Kaum Publican adalah
kontraktor umum yang berperan sebagai penyedia jasa yang dibutuhkan
oleh pemerintah, seperti mengurus persediaan dan logistik militer,
mengelola pajak suatu wilayah atau pelabuhan, dan pengerjaan proyek
pembangunan fasilitas umum.
Sistem yang berlaku dalam penentuan proyek kepada Kaum Pulican
adalah sistem tender, dimana Kaum Publican memberikan penawaran
harga kepada pemerintah. Sebagai contoh adalah pengelolaan pajak.
Wilayah Imperium Roma terbentang luas dari Eropa, Timur Tengah dan
Afrika Utara. Pada saat itu pemerintah terfokus pada ekstensi wilayah
jajahan dan penguatan militer, namun kekurangan sumber daya manusia
untuk mengumpulkan pajak di wilayah yang luas tersebut, oleh karena itu
pengumpulan pajak diserahkan kepada pihak swasta. Setiap beberapa
tahun pemerintah melakukan lelang untuk pengumpulan pajak di daerah
jajahannya dalam tenggang waktu yang telah ditentukan, pemenang dari
lelang adalah orang yang dapat memberikan penawaran tertinggi pajak
yang dapat dikumpulkan dari daerah tersebut. Pembayaran pajak kepada
pemerintah dilakukan pada akhir tenggang waktu yang ditentukan,

dengan nominal yang diajukan pada saat penawaran. Kaum publican yang
melakukan pengumpulan pajak akan mendapatkan komisi dari pajak
tersebut. Selain itu setiap kelebihan yang diperoleh dari pengumpulan
pajak akan dihitung sebagai keuntungan, sebaliknya jika pengumpulan
pajak ternyata lebih kecil daripada jumlah yang harus dibayarkan mereka
harus menutupi kekurangan tersebut.
Sistem tersebut jelas memberikan resiko yang besar kepada kaum
publican. Oleh karena itu Kaum Publican didominasi oleh kaum kapitalis
yang memiliki modal. Selain itu, mereka sering membentuk kerjasama
dalam melakukan pengumpulan pajak sehingga resiko yang ditanggung
oleh masing-masing orang menjadi lebih kecil. Perjanjian kerjasama ini
disebut "socii" untuk kerjasama yang melibatkan banyak pihak, dan
"particulae" untuk kerjasama yang melibatkan sedikit pihak. Peran Kaum
Publican berangsur-angsur berkurang setelah Imperium Roma berhenti
melakukan ekspansi dan membenahi sistem birokrasi dalam
pemerintahannya.

2.2 Stora Kopparberg (850-an s.d. sekarang): Dokumen Saham
Pertama di Dunia
Eksploitasi tembaga di Falun, Swedia dilakukan sejak tahun 850-an

oleh dan tambang tembaga mulai beroperasi sejak 1080 yang dikelola
oleh penduduk lokal. Dokumen tertulis pertama yang menjelaskan
tentang tambang tersebut dikenal sebagai Deed of Exchange tertanggal
16 Juni 1288. Dokumen ini disahkan oleh Raja Swedia, Magnus Biggerson.
Uskup Kepala Uppsala dan tiga uskup lainnya. Dalam dokumen ini
dijelaskan pembagian seperdelapan hasil dari tambang kepada A. Peter,
seorang Uskup. Pada saat itu pengelolaan dan administrasi tambang
bukan lagi dilakukan secara parsial oleh penduduk lokal, namun dilakukan
oleh sebuah organisasi yang terorganisir dengan baik. Organisasi tersebut
kebanyakan terdiri dari para Bangsawan Swedia dan pedagang-pedagang
dari luar negeri, terutama pedagang-pedagang dari Jerman Utara yang
banyak berinvestasi dalam pendirian tambang-tambang tersebut.
Dokumen lain yang dapat menggambarkan kondisi pada waktu itu
adalah Charter of Privileges yang dikeluarkan oleh Raja Magnus Eriksson
pada tahun 1347 yang mengatur perihal operasi tambang di Falun. Raja
Magnus Eriksson membentuk organisasi pekerja tambang yang dikenal
sebagai "Bergsmännen" yang artinya manusia gunung. Raja kemudian
menunjuk empatbelas orang dari para pekerja tersebut untuk duduk
dalam Dewan Tambang dan dua diantaranya ditunjuk menjadi Menteri
Urusan Tambang. Tugas dari Menteri Urusan Tambang dan Dewan

Tambang adalah untuk memastikan bahwa tambang tetap beroperasi
sesuai dengan undang-undang.
Swedia menjadi negara superpower pada abad ke-17. Ekonomi
Swedia digerakkan oleh tiga komoditi: tembaga, besi, dan tar, namun
tembaga merupakan faktor yang paling berpengaruh. Sebagian besar
hasil tambang tembaga diekspor ke luar negeri, tembaga Swedia bahkan
memainkan peranan penting di pasar Eropa pada waktu itu. Saham
perusahaan-perusahaan tambang di Swedia menjadi incaran para kaum
kapitalis. Tahun 1616, Raja Gustav II Adolf mengeluarkan undang-undang
yang membatasi jumlah saham yang beredar menjadi 1200 lembar dan
jumlah kepemilikan saham menjadi 75 orang. Pada tahun 1619,
perusahaan tambang pertama didirikan oleh pihak swasta, namun pihak
kerajaan tetap memainkan peranan penting walaupun kepemilikannya
dalam perusahaan tambang telah berkurang. Pada abad ke-18, pamor
tembaga mulai meredup. Perusahaan-perusahaan tambang tembaga
mulai beralih pada pengeksplorasian bijih besi dan mengakuisisi
perusahaan-perusahaan tambang dan pengolahan besi.
Tahun 1862, seluruh perusahaan tambang dan tambang-tambang
kecil yang dikelola oleh individu bergabung membentuk sebuah
perusahaan swasta, Stora Kopparbergs Bergslag. Hal tersebut juga

menandai akhir pengaruh pihak kerajaan dalam perusahaan tambang dan
pembubaran Kementrian Pertambangan. Pada tahun 1888, Stora
Kopparberg menjadi Aktiebolag (Perusahaan Terbatas milik publik), tiap
lembaran saham yang seluruh berjumlah 1200 lembar dikonversikan
menjadi masing masing menjadi 8 lembar saham senilai 1000 crown

Swedia. Hal tersebut membuat nilai perusahaan menjadi 9,6 juta crown
Swedia.
Sejarah mengenai Stora Kopparberg adalah sejarah mengenai
akuisisi dan alih teknologi. Dalam pengelolaan tambang, perusahaan
menyisakan tumpukan kayu hasil pembukaan lahan untuk pertambangan.
Untuk mengoptimalkan kayu tersebut, Stora Kopparberg mengakuisisi
sebuah usaha penggergajian kayu di SkutskÃr pada tahun 1885. Pada
tahun 1888, perusahaan membangun pembangkit listrik di Kvarnsveden
falls untuk menyuplai kebutuhan listrik pengolahan baja di Domnarvet,
dan pengolahan kertas yang dibangun belakangan pada tahun 1900.
Untuk menambah produksi bijih besinya, Stora Kopparberg mengakuisisi
Gysinge Bruks Aktiebolag (1905), SÃderfors Bruk Aktiebolag (1907),
Gammelstilla, StrÃmsbergs, Västlands, Hillebola, dan Ullfors (19101920).
Pengakuisisian tambang-tambang dan pengolahan-pengolahan bijih

besi tersebut juga meningkatkan suplai bahan baku untuk penggergajian
kayu dan pengolahan kertas yang dimiliki oleh perusahaan. Pada tahun
1956 produksi tambang besi mencapai 400 ribu ton per tahun, dan
produksi hasil hutan mencapai 175 ribu ton per tahun. Stora Kopparbergs
terus mengembangkan sayapnya dengan membangun pabrik-pabrik di
luar negeri. Pada tahun 1984. Stora Kopparbergs membangun Newton
Falls Paper Mill di New York, Amerika, pada tahun yang sama juga
perusahaan mengadopsi nama STORA sebagai identitas perusahaan.
Sementara produksi tambang mulai menurun, STORA tetap
melakukan merger dengan perusahaan-perusahaan besar penghasil
produk-produk hasil hutan di Eropa. Hingga pada awal tahun 1990-an,
Manajemen STORA memutuskan untuk berfokus kepada pengolahan
produk-produk kehutanan dan mendivestasikan perusahaan-perusahaan
yang tidak terkait dengan produk intinya. Pada tahun 1998 STORA
melakukan merger dengan perusahaan pengolah hasil hutan dari
Finlandia, Enso Oyj, dan berubah nama menjadi Stora-Enso Oyj. Berpusat
di Helsinski, dengan jumlah pegawai lebih dari 46.000 orang, Stora-Enso
Oyj sekarang ini menjadi perusahaan pulp dan kertas terbesar di dunia
dalam konteks kapasitas produksi, kelima terbesar di dunia dalam konteks
pendapatan, sekaligus sebagai perusahaan terbuka tertua di dunia yang

masih beroperasi hingga sekarang.
2.3 Vereinigte Ostindische Compagnie (VOC) - (1602-1799): Pasar
Modal Pertama di Dunia
Sejak Vasco Da Gama mempelopori rute perdagangan dari Eropa ke
India pada akhir abad ke-15, hubungan perdagangan antar bangsabangsa di Eropa dengan bangsa-bangsa di Asia semakin erat. Spanyol dan
Portugis yang pertama kali melakukan perdagangan antar bangsa
tersebut tampil sebagai penguasa rute perdagangan, sekaligus sebagai
penguasa tanah jajahan di Asia dengan semboyan Gold, Glory, dan
Gospel. Rempah-rempah yang berasal dari Asia, terutama lada, menjadi
komoditi utama perdagangan pada saat itu. Para pedagang melakukan
perdagangan kontrak berjangka kepada para retailer yang kemudian
mendistribusikannya ke negara-negara Eropa lainnya.

Dengan sistem kontrak berjangka tersebut membuat para retailer
harus menanggung resiko atas pengiriman dari Asia ke Eropa, seringkali
kualitas dan kuantitas yang diterima oleh para retailer tidak sesuai
dengan kontrak yang telah disepakati di awal. Pada akhir abad ke-16, para
pedagang dari Belanda, sebagai retailer terbesar rempah-rempah pada
saat itu, memutuskan untuk mengambil alih perdagangan rempah-rempah
yang dikuasai oleh Portugis dan Spanyol. Mereka kemudian bergabung

membentuk Brabantse Compagnie, Rotterdamse Compagnie, danÂ
Compagnie van Verre. Akibat dari keputusan tersebut, persaingan antara
para pedagang-pedagang di Eropa menjadi semakin ketat. Ketika
persaingan antar pedagang memanas, pihak pemerintah turut campur
dengan mempersenjatai armada-armada yang dikirimkan dalam misi
dagang, akibatnya perang antar negara-negara di Eropa tidak terelakkan
lagi. Hasilnya harga rempah-rempah menjadi jatuh.
Penurunan harga rempah-rempah dan ketidakamanan dalam
perdagangan memaksa para pengusaha Belanda untuk bekerjasama dan
bergabung menjadi sebuah perusahaan. Pada tanggal 20 Maret 1602, atas
saran Gubernur Jendral Prinz Johann Moritz von Nassau (1606 - 1679), tiga
perusahaan besar di Belanda bergabung membentuk sebuah perusahaan
berskala nasional yang dikenal sebagai "Vereinigte Ostindische
Compagnie" (VOC). Pada mulanya VOC membuka enam kantor cabang:
Amsterdam sebagai kantor pusat perdagangan, Seeland, Delft, Rotterdam,
Hoorn dan Enkhuizen. Setiap cabang menunjuk calon Direksi hingga
berjumlah 75 orang sebagai perwakilan, dari ke-75 calon ini dipilih 17
orang yang menjadi Direktur Eksekutif perusahaan.
Modal awal yang disertakan dalam pembentukan perusahaan
tersebut adalah sebesar 6.424.588 Guilders, jumlah yang besar pada saat

itu. Kunci sukses VOC dalam penggalangan modal adalah keputusan yang
diambil oleh para pemilik untuk membuka akses kepemilikan saham
kepada publik. Lembaran-lembaran saham tesebut terjual dengan cepat
dengan harga nominal 3000 Guilders, dan dapat diperjualbelikan. Harga
nominal tersebut tidak ditentukan oleh pemerintah, namun oleh
perusahaan independen yang berperan sebagai reseller dalam
memperjualbelikan saham tersebut. Penjualan dan pembelian sertifikat
saham VOC dikelola oleh dua direktur, yang berpusat di Amsterdam. Oleh
karena itu Amsterdam Kontor yang merupakan kantor pusat VOC dikenal
sebagai Pasar Modal pertama di Dunia. Selain itu, VOC juga menerbitkan
sertifikat obligasi dengan jangka waktu 3 sampai dengan 12 bulan untuk
menutupi kebutuhan operasinya.
Kerajaan Belanda memberikan keistimewaan hak-hak kepada VOC
dalam melakukan operasinya, seperti: Hak eksklusif untuk berdagang di
Tanjung Harapan, hak untuk bernegosiasi tanpa mediasi pemerintah
pusat, hak untuk mengeluarkan kontrak dan beraliansi, hak untuk
mencetak koin dan mata uang sendiri, serta hak untuk membangun
benteng-benteng, menunjuk gubernur, dan membentuk pasukan tentara
di daerah jajahan Belanda. Dengan pemberian hak-hak istimewa tersebut,
VOC menjadi sebuah "negara dalam negara" dan memiliki kekuatan

ekonomi dan politik yang sangat besar. Daerah kekuasaannya meliputi

Pulau Jawa, Kepulauan Maluku, Kepulauan Banda, Ternate, Makasar,
Ceylon, dan Tanjung Harapan.
Perusahaan tersebut terus berkembang walaupun terjadi beberapa
kerugian-kerugian kecil yang dikibatkan oleh pembajakan di Laut Cina
Selatan, cuaca buruk, persaingan dengan pedagang Eropa lainnya,
pencurian, dan wabah penyakit yang menyerang awak armada
dagangnya. Sampai pertengahan abad ke-18, VOC berhasil menjadi
perusahaan monopoli terbesar pada waktu itu. Selama beroperasi, VOC
memiliki 150 armada dagang, 40 kapal perang, 20.000 pelaut, 10.000
tentara, dan lebih dari 50.000 penduduk sipil yang dipaksa untuk bekerja
pada perusahaan. Perkembangan tersebut juga mendorong pertumbuhan
harga saham perusahaan. Pada awal mula perdagangannya, saham VOC
telah meningkat 10-15% diatas nilai nominalnya; pada tahun 1622
harganya meningkat 3 kali lipat; dan pada tahun 1721 meningkat hingga
12 kali lipat.
Kerugian paling besar disebabkan oleh inefisiensi dan korupsi yang
menjalari tubuh perusahaan. Karena mis-manajemen, VOC terpaksa
ditutup dan dinyatakan bangkrut pada tanggal 31 Desember 1799. Pada
saat itu nilai sahamnya hanya sebesar 25% dari nilai nominalnya. Pada
akhir hayatnya, VOC meninggalkan hutang hingga 110 juta Guilders yang
dibebankan kepada pemerintah Belanda. Oleh karena itu, saat ini istilah
VOC lebih dikenal sebagai kepanjangan dari Vergann Onder Corruptie
yang artinya "hancur karena korupsi".
2.4 Pasar Modal di Amerika: Pertumbuhan, Resesi, dan Alih
Teknologi
Kebanyakan perdagangan saham dan sekuritas didominasi oleh
perusahaan armada perdagangan dan perdagangan rempah-rempah pada
masa-masa awal berdirinya pasar modal. Seperti yang telah disebutkan
Belanda merupakan tempat berdirinya Pasar Modal pertama di dunia, lalu
diikuti oleh Portugis, Spanyol, Perancis, dan Inggris. Dengan masuknya
bangsa Inggris, yang memiliki armada perang terkuat di dunia pada saat
itu - the British Royal Navy - dalam percaturan perdagangan rempahrempah dunia, maka lalu lintas perdagangan mulai beralih ke Inggris.
Pasar Modal London memulai debutnya dari pasar terbuka (outdoor
market) di jalan Exchange Alley. Di jalan tersebut para broker melakukan
transaksi jual beli saham-saham perusahaan-perusahaan perkapalan dan
perdagangan Inggris. Pada tahun 1725, transaksi mulai beralih dari
jalanan ke kedai kopi Jonathon's Coffee House, perdagangan saham pada
saat itu masih bersifat non-formal, baru setelah sistem perdagangan
dibakukan pada tahun 1773, administrasi perdagangan saham menjadi
lebih tertata dan namanya berubah menjadi The Stock Exchange.
Sistem perdagangan saham dikenalkan di Amerika oleh pendatangpendatang dari Inggris di wiayah koloninya. Pada mulanya perdagangan
saham pada koloni Inggris masih terpusat di London. Namun setelah
Revolusi Amerika, dan kelahiran United States of America, semua
hubungan diplomatik maupun perdagangan antar Amerika dan Inggris
terputus, termasuk semua yang terkait dengan pasar finansial Inggris.
Alexander Hamilton, Sekretaris Bendahara (Secretary of the Treasury)
pertama Amerika melihat urgensi pendirian pasar modal yang independen

di Amerika. Berdasarkan pengalamannya mempelajari pasar modal di
Inggris, Hamilton percaya bahwa pasar modal merupakan hal yang
esensial dalam membangun dan menjaga kestabilan ekonomi sebuah
negara. Selama periode jabatannya, 1789 sampai dengan 1795, ia
dedikasikan untuk mempromosikan pembangunan Pasar Modal di Amerika
Atas prakarsa Alexander Hamilton, saham-saham tiga bank besar di
Amerika mulai diperjualbelikan, walaupun pada saat itu pasar modal
belum lagi terbentuk. Saham-saham tersebut adalah saham the Bank of
North America (1781), Bank of New York (1784), dan the First Bank of the
United States (1791). Saham-saham ini diterbitkan untuk membayar
hutang perang revolusi yang ditanggung oleh the Continental Congress.
Seperti halnya pendahulunya di Inggris, pasar modal di Amerika
dimulai di luar ruangan. Pada tahun 1792, John Sutton, Benjamin Jay, dan
22 pemimpin finansial menandatangani kesepakatan pembetukan pasar
modal di Amerika. Kesepakatan tersebut ditandatangani di bawah pohon
buttonwood di Castle Garden (sekarang Battery Park) dan berisi tentang
aturan main, regulasi, serta biaya yang akan dibebankan dalam setiap
transaksi. Mereka menamakan organisasi ini The Stock Exchange Office.
Organisasi ini bersifat eksklusif, hanya orang-orang tertentu yang
menonjol dalam komunitas finansial yang diperkenankan untuk
bergabung, dan wanita merupakan kaum yang termarginalkan dalam
organisasi ini.
Perdagangan saham di Amerika kemudian berkembang dengan
pesat, sehingga pasar modal yang menjadi pusat transaksi menjadi penuh
sesak. Pada tahun 1817, para broker saham di New York membentuk the
New York Stock & Exchange Board dan meindahkan tempat transaksi ke
gedung No.40 di Jalan Wallsteet. Pada tahun 1863, nama organisasi
tersebut berubah menjadi the New York Stock Exchange (NYSE) dan
berpindah lagi di pusat transaksinya ke gedung di persimpangan Jalan
Wallstreet dan Broad Street, hingga hari ini NYSE tetap beroperasi dilokasi
tersebut.
Meningkatnya perdagangan saham terjadi seiring dengan
berkembangnya ekonomi Amerika dan bertambahnya jumlah perusahaan
di Amerika. Pada tahun 1800, Amerika hanya memiliki 295 korporasi
besar, diman 20 diantaranya diperdagangkan sahamnya di pasar modal.
Pada tahun 1835, perusahaan yang terdaftar di NYSE berkembang
menjadi 121 perusahaan, kebanyakan diantaranya adalah perusahaan
kereta api yang berkembang pesat pada era tersebut. Pada tahun 1869,
jumlah perusahaan yang terdaftar di NYSE bertambah menjadi 145
perusahaan, jenis industrinya pun bermacam-macam, mulai dari
perusahaan asuransi, baja, perlengkapan pertanian, perkebunan
tembakau, dan perusahaan manufaktur lainnya.
NYSE mengadopsi skala Dow Jones Industrial Average (DJIA), atau
lebih dikenal dengan Indeks Dow Jones. Nama tersebut diambil dari
gabungan Charles Dow dan Edward Jones, dua reporter yang kemudian
mendirikan perusahaan penerbitan Dow Jones & Company pada tahun
1882. Perusahaan tersebut menerbitkan surat kabar The Wallstreet Journal
yang berfokus kepada isu-isu finansial dan mengamati dengan seksama
pergerakan harga saham yang diperdagangkan di NYSE. Wallstreet Journal

kemudian membentuk sebuah indeks yang terdiri atas 11 perusahaan
kereta api, dan pada tahun 1896 diperluas menjadi rata-rata industri yang
kemudian diadopsi oleh NYSE sebagai indeks rata-rata saham-saham
papan atas.
NYSE bukanlah satu-satunya pasar modal di kota New York. Pada
awal pengembangannya, aturan mengenai pendaftaran perusahaan pada
NYSE sangat ketat, setiap perusahaan dikenai ongkos sebesar $25 agar
bisa terdaftar di NYSE. Banyak pemilik perusahaan menengah yang
hendak mengembangkan usahanya dengan menjual sebagian kepemilikan
sahamnya kepada publik terbentur dengan aturan yang berlaku. Pada
tahun 1842, sebagian broker mencoba memfasilitasi pasar perusahaan
menengah tersebut dengan membentuk the New York Curb Exchange,
yang kemudian berubah menjadi American Exchange (AMEX), namun
hingga kini julukan Curb Market tetap melekat kepada AMEX.Â
Perdagangan saham di Curb Market pada mulanya dilakukan di halaman
gedung tempat NYSE berada. Hal tersebut tetap berlangsung hingga
akhirnya AMEX menempati gedung baru di Trinity Place, New York pada
tahun 1921.
Tahun 1920-an merupakan tahun tahun keemasan teknologi bagi
sejarah Amerika, yang kemudian dikenal sebagai Roaring Twenties.
Berbagai inovasi seperti radio, otomotif, penerbangan, telefon, dan
pembangkit listrik mulai dikembangkan dan diterapkan secara luas di
Amerika. Perusahaan-perusahaan teknologi seperti Radio Corporation of
America (RCA) dan General Motors menjadi pionir dalam pasar finansial
Amerika, tidak ketinggalan perusahaan finansial yang menangani
transaksi perdagangan dan investasi seperti the Goldman Sachs Trading
Corporation turut menjadi motor penggerak perekonomian di Amerika.
Bank-bank di Amerika mencoba memanfaatkan hal tersebut dengan
memberikan kredit sebanyak-banyaknya kepada perusahaan-perusahaan
tanpa melakukan analisis terhadap kelayakan usaha. Struktur hutang
yang timpang menggandakan resiko kebangkrutan perusahaan, namun
hal tersebut tersamarkan dengan pertumbuhan ekonomi Amerika yang
pesat. Pada tahun 1929, Adolf Miller, Presiden the Federal Reserve Board,
mengeluarkan kebijakan uang ketat dan menaikkan suku bunga pinjaman
secara agresif. Akibatnya banyak perusahaan yang memiliki struktur
hutang yang buruk menjadi kesulitan dalam membayarkan kewajiban
hutangnya. Hal tersebut diperparah dengan aksi profit taking yang
dilakukan oleh para investor di sektor finansial. Berbagai pencetus
tersebut kemudian menyebabkan krisis ekonomi terburuk yang pernah
dialami oleh Amerika dan mengakibatkan depresi ekonomi yang
berkepanjangan.
Hari Selasa, tanggal 29 Oktober 1929, tercatat sebagai hari terburuk
dalam sejarah finansial bangsa Amerika, yang kemudian dikenal sebagai
Black Tuesday. Krisis dimulai pada hari sebelumnya tanggal 28 Oktober,
terjadi aksi profit taking besar-besaran yang menyebabkan Indeks Dow
Jones turun menjadi 12.8%. Transaksi yang terlalu besar menyebabkan
sistem pita penghitung (the ticker tape system) menjadi kelebihan beban
dan rusak, padahal peranan pita penghitung tersebut amat vital sebab
menjadi satu-satunya sumber informasi investor tentang harga saham

terkini. Investor pun mencoba mencari informasi melalui telefon dan
telegraf yang menyebabkan kelebihan kapasitas dari kedua jaringan
tersebut. Praktis pada hari itu terjadi kebuntuan informasi yang membawa
investor dalam kondisi kegamangan.
Keesokan harinya terjadi kekacauan di lantai bursa. Investor yang
tidak mengetahui perkembangan informasi tentang pasar finansial, dan
terdorong oleh resiko yang semakin besar akibat berlakunya sistem
margin trading, berbondong-bondong menjual saham-saham yang mereka
miliki. Dalam dua jam, nilai saham-saham papan atas turun hingga lebih
dari separuhnya, dan dalam dua minggu Indeks Dow Jones turun hingga
40%. Amerika Serikat baru bisa keluar sepenuhnya dari krisis pada tahun
1932 setelah kehilangan sekitar 89% nilai saham-saham perusahaan
publik dari puncak keemasannya.
Dalam rangka mengembalikan kepercayaan investor pada pasar
modal, Kongres Senat Amerika Serikat mengeluarkan the Securities Act
pada tahun 1933, yang mengatur perihal operasional dan sistem yang
berlaku pada pasar modal. Dan pada tahun 1934, dibentuk Securities and
Exchange Commission (SEC) yang berfungsi untuk mengawasi
pelaksanaan undang-undang tersebut. SEC terdiri dari lima orang
komisioner yang ditunjuk oleh Presiden Amerika Serikat dan disahkan oleh
senat, Joseph P. Kennedy ditunjuk menjadi ketua komisi pertama SEC
masa bakti 1934-1935. Guna melindungi investor dari aksi kejahatan
finansial, SEC mewajibkan setiap perusahaan yang terdaftar dalam bursa
efek untuk melaporkan keuangan perusahaan yang telah diaudit, serta
mengawasi setiap peralihan kepemilikan perusahaan-perusahaan di
Amerika Serikat.
Tahun 1971 menandai babakan baru dalam sejarah pasar modal.
National Association of Securities Dealers (NASD) memperkenalkan
National Association of Securities Dealers Automated Quotation (NASDAQ)
yang sepenuhnya menerapkan prinsip pasar modal elektronis untuk
pertama kalinya. Semua data kepemilikan saham dan transaksi keuangan
dikonversikan menjadi data-data elektronik yang disimpan dalam satu
mainframe computer. Perdagangan saham tidak lagi dipusatkan dalam
satu tempat, namun dapat dilakukan dari mana saja asalkan terhubung
dengan sistem NASDAQ, suatu konsep yang istimewa mengingat pada
saat itu koneksi internet belum lagi ada dan teknologi tidak secanggih
sekarang. Sistem yang demikian dikenal dengan istilah over-the-counter
(OTC). Saham-saham yang diperdagangkan oleh NASDAQ kebanyakan
berupa saham-saham perusahaan teknologi seperti IBM, Microsoft, Intel,
Cisco, dan lain sebagainya, oleh karena itu Indeks yang dipakai oleh
NASDAQ sebagai patokan pergerakan saham-saham yang tergabung di
dalamnya dikenal sebagai Indeks Teknologi NASDAQ. Saat ini NASDAQ
bahkan telah mensponsori global stock market dengan membuka cabang
di berbagai daerah di luar negeri, diantaranya Kanada dan Jepang, serta
berasosiasi dengan pasar modal Hongkong dan Eropa.
2.5 Saham dan Kesejahteraan Karyawan
Sistem bagi hasil sebagai bentuk kompensasi kepada karyawan
telah berlangsung sejak lama. Pada zaman feudalisme, para tuan tanah
menyadari bahwa memperkerjakan budak untuk mengurus ladang dan

perkebunan tidak ekonomis. Mereka tetap mengeluarkan biaya yang tidak
sedikit untuk memelihara dan memberi makan budak-budak tersebut,
namun disisi lain para budak tidak pernah menunjukkan antusiasme
mereka dalam melakukan pekerjaan, sehingga produktivitas mereka
rendah. Sistem perbudakan lalu dihapuskan, para tuan tanah lalu
memperkerjakan buruh tani dan buruh ladang yang diupah dengan
menggunakan sistem bagi hasil. Namun sistem ini dirasakan tetap tidak
manusiawi karena proporsi yang didapatkan oleh para buruh tani tidak
sebanding dengan proporsi yang diterima para tuan tanah tersebut, selain
itu jumlah penghasilan yang diterima oleh para buruh tani tidak menentu
sehingga menimbulkan ketidakpastian untuk memenuhi kebutuhan hidup
mereka. Pada zaman merkantilisme, sistem bagi hasil diganti menjadi
sistem upah tetap (fix income) yang regulasinya diatur oleh pemerintah.
Walaupun sistem bagi hasil dianggap usang dan tidak manusiawi,
tidak berarti sistem tersebut hilang begitu saja. Hingga zaman Revolusi
Industri sistem ini masih diterapkan oleh perusahaan-perusahaan kecil
dan perusahaan-perusahaan keluarga, tentu saja dengan proporsi yang
lebih adil. Â A. R. J. Turgot, seorang ahli ekonomi berkebangsaan Perancis,
adalah salah seorang yang melihat keuntungan dari sistem bagi hasil ini.
Pada tahun 1775 beliau menerapkan sistem bagi hasil dengan struktur
proporsi yang lebih baik di perusahaan pengecatan rumah Maison
Leclaire. Sistem bagi hasil yang diterapkan pada perusahaan tersebut
berbentuk tunai yang langsung dibayarkan kepada para pekerjanya.
Perusahaan yang pertama kali memberlakukan sistem bagi hasil di
Amerika Serikat adalah New Geneva, PA - sebuah perusahaan yang
memproduksi barang pecah belah - yang dipimpin oleh Albert Gallatin
pada tahun 1794. Sistem ini bejalan efektif dan terbukti mampu
meningkatkan kinerja para pekerja perusahaan tersebut, namun belum
banyak perusahaan yang terorganisir menerapkan sistem bagi hasil
tersebut.
Ide tentang penerapan sistem bagi hasil kemudian digagas lagi oleh
Chaler Babbage (1792-1871) melalui bukunya On the Economy of
Machinery and Manufactures yang diterbitkan pada tahun 1832. Dalam
buku tersebut Babbage menyatakan bahwa pekerja dan pemilik
perusahaan harus memperoleh keuntungan mutual, oleh karena itu para
pekerja harus menikmati sebagian keuntungan dari perusahaan melalui
pemberian bonus kerja selain gaji yang telah mereka terima. Babbage
mengklaim bahwa dengan menerapkan sistem tersebut baik pekerja
maupun pemilik perusahaan akan memperoleh keuntungan karena setiap
pekerja akan mempunyai rasa memiliki terhadap perusahaan, dan oleh
karena itu mereka akan bekerja lebih baik dan mencegah setiap tindakan
yang akan merugikan perusahaan agar bonus yang mereka terima
meningkat. Selain itu tidak akan ada lagi konflik kepentingan antara pihak
manajemen dan pekerja karena semuanya memiliki kepentingan yang
sama.
Gagasan Babbage diterima oleh banyak pihak dan bahkan
dikembangkan sehingga memiliki banyak variasi sistem insentif. Henry R.
Towne menyarankan untuk memberikan insentif dengan sistem bagi hasil
yang dibagikan secara proporsional per departemen, sementara Frederick

A. Hasley lebih memilih untuk dibagikan secara proporsional menurut
kinerja seseorang. Banyak perusahaan besar mulai menerapkan sistem
bagi hasil melalui pemberian bonus kepada karyawannya, setidaknya
terdapat 30 perusahaan besar yang menerapkan sistem ini termasuk Â
John Wannamaker Dry Goods, Pillsbury Flour, Yale and Towne, Proctor and
Gamble (1887), Sears (1916), Kodak, dan Johnson's Wax (1917).
Pada saat pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat menggeliat pada
tahun 1920-an, banyak pengusaha mengalihkan sistem insentif yang
diberikan kepada karyawannya, dari berbentuk bagi hasil tunai menjadi
sistem kepemilikan saham perusahaan melalui program employee stock
ownership plans (ESOPs). Dengan memiliki sebagian saham perusahaan,
para pekerja memperoleh tambahan penghasilan melalui dividen yang
dibagikan setiap tahun, bahkan setelah mereka tidak lagi bekerja di
perusahaan tersebut. Selain itu mereka juga dapat menjual saham yang
mereka miliki di pasar modal. Sistem ESOP ini juga disukai oleh para
pemilik perusahaan karena, walaupun proporsi kepemilikan mereka
berkurang, dengan menerapkan sistem ESOP perusahaan mendapatkan
berbagai potongan dan keringanan pajak.
Namun peristiwa Black Tuesday yang diikuti depresi yang
berkepanjangan membuat sistem ESOP ini gagal. Memiliki saham pada
saat itu bagaikan memakan buah simalakama, banyak pemilik saham
yang menyesal karena saham yang mereka miliki tidak lagi berharga,
sementara bagi pemilik saham yang telah menjual saham mereka
sebelum Black Tuesday juga tetap tidak merasakan manfaat dari hasil
penjualan tersebut karena tergerus inflasi yang sangat tinggi dan
sebagian hilang bersama bank-bank yang dilikuidasi. Akibatnya ESOP
tidak lagi diminati, hasil survey pada tahun 1934 yang diselenggarakan
oleh the National Industrial Conference Board menyebutkan bahwa 42 %
perusahaan telah berhenti menggunakan sistem ESOP, pada tahun 1937
meningkat menjadi 69%, dan pada tahun 1939 hanya tersisa 37
perusahaan yang masih menerapkan sistem ESOP. Sistem ESOP kembali
digunakan oleh perusahaan setelah ekonomi Amerika Serikat mulai pulih
pada tahun 1940-an, dan menjadi trend pada tahun 1950-an.
Pada tahun 1974 Kongres Amerika Serikat meloloskan Employee
Retirement Income Security Act (ERISA) yang mengatur tentang standar
minimum untuk program pensiun bagi perusahaan swasta dan
pengurangan pajak terkait dengan penerapan program kesejahteraan
karyawan. ERISA-lah yang kemudian mendasari dikeluarkannya Internal
Revenue Code (IRC) pada tahun 1978 yang merupakan prosedur standar
sistem penetapan pajak oleh Internal Revenue Service (IRS). Pasal 401(k)
adalah salah satu pasal dalam IRC yang terkenal, pasal tersebut mengatur
tentang penyelenggaraan program pensiun yang layak bagi karyawan
melalui sistem bagi hasil dan bonus saham. Dengan adanya insentif pajak
tersebut, banyak perusahaan yang tertarik menerapkan program 401(k)
dengan mengikutsertakan karyawannya dalam reksadana. Huges Air Craft
Company adalah perusahaan pertama yang menerapkan program 401(k)
pada tahun 1978, diikuti oleh Johnson & Johnson, FMC, PepsiCo, JC Penney,
Honeywell, Savannah Foods & Industries, dan Coates, Herfurth, &
England.

Dengan mengaplikasikan sistem bagi hasil, baik secara tunai
maupun berbentuk bonus saham, perusahaan-perusahaan di Amerika
Serikat menunjukkan kepeduliannya terhadap kesejahteraan
karyawannya. Hingga saat ini, program ESOP maupun 401(k) masih tetap
banyak digunakan perusahaan-perusahaan di Amerika. Tercatat lebih dari
12 juta karyawan ikut serta dalam program ESOP pada tahun 2005 dan
sekitar 42,4 juta karyawan disertakan dalam program 401(k) pada akhir
tahun 2003, beberapa bahkan mendiversifikasikan beberapa program
melalui reksadana baik atas inisiatif pribadi maupun secara kolektif oleh
perusahaan.

BAB III
SEJARAH PASAR MODAL
DI INDONESIA
3.1 Sejarah Awal Pasar Modal
Pasar modal menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena
investasi di bursa efek berkembang sangat pesat. Banyak perusahaan
antri untk dapat masuk bursa. Parainvestor domestic juga ramai-ramai
ikut bermain di bursa saham. Selama tahun 1989 tercatat ada 37
perusahaan go public dan sahamnya tercatat (listed) di Bursa Efek
Jakarta. Sedemikian banyaknya perusahaan yang mencari dana melalui
pasar modal, sehingga masyarakat luas pun berbondong-bondong untuk
menjadi investor. Perkembangan ini berlanjut dengan swasatanisasi bursa,
yakni berdirinya PT. Bursa Efek Surabaya, serta pada tanggal 13 Juli 1992
berdiri Bursa Efek Jakarta yang menggantikan peran Bapepam sebagai
pelaksana bursa.
Menurut buku Effectengids yang dikeluarkan oleh Vereneging Voor
dan Effectenhandel pada tahun 1989. transaksi efek telah berlangsung
sejak tahun 1880 namun dilakukan tanpa organisasi resmi sehingga
catatan tentang transaksi tersebut tidak lengkap. Pada tahun 1878
terbentuk perusahaan untuk perdagangan komunitas dan sekuritas, yaitu
Dunlop & Koff, cikal bakal PT Perdanas.
Tahun 1892, perusahaan perkebunan Cultuur Maatschappid
Goalpara di Batavia mengeluarkan prospectus Penjualan 400 saham
dengan harga 500 gulden persaham. Empat tahun berikutnya (1896),
harian Het Centrum dari Djoejacarta juga mengeluarkan prospectus
penjualan saham senilai 105 ribu gulden dengan harga pedana 100
gulden per saham. Tetapi, tidak ada keterangan apakah saham tersebut
diperjualbeliakn. Menurut perkiraan, yang diperjualbelikan adalah
saham yang listing di bursa Amsterdam tetapi investornya berada
di Batavia, Surabaya dan Semarang. Dapat diaktakan bahwa ini adalah

periode permulaan sejarah pasar modal Indonesia. Atas dasar itulah
maka pemerintahan kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah
mengadakan persiapan, maka akhirnya berdiri secara resmi pasar modal
di Indonesia yang terletak di Batavia (Jakarta) pada tanggal 14 Desember
1912 dan bernama Vereniging voor de Effectenhandel (bursa efek)
dan langsung memulai perdagangan.
Pada saat awal terdapat 13 anggota bursa yang aktif (makelar) yaitu : Fa.
Dunlop & Kolf; Fa. Gijselman & Steup; Fa. Monod & Co.; Fa. Adree Witansi
& Co.; Fa. A.W. Deeleman; Fa. H. Jul Joostensz; Fa. Jeannette Walen; Fa.
Wiekert & V.D. Linden; Fa. Walbrink & Co; Wieckert & V.D. Linden; Fa.
Vermeys & Co; Fa. Cruyff dan Fa. Gebroeders.
Sedangkan Efek yang diperjual-belikan adalah saham dan obligasi
perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi
yang diterbitkan Pemerintah (propinsi dan kotapraja), sertifikat saham
perusahaan-perusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor
administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya.
Perkembangan pasar modal di Batavia tersebut begitu pesat sehingga
menarik masyarakat kota lainnya. Untuk menampung minat tersebut,
pada tanggal 11 Januari 1925 di kota Surabaya dan 1 Agustus 1925 di
Semarang resmi didirikan bursa.
Anggota bursa di Surabaya waktu itu adalah : Fa. Dunlop & Koff, Fa.
Gijselman & Steup, Fa. V. Van Velsen, Fa. Beaukkerk & Cop, dan N. Koster.
Sedangkan anggota bursa di Semarang waktu itu adalah : Fa. Dunlop &
Koff, Fa. Gijselman & Steup, Fa. Monad & Co, Fa. Companien & Co, serta
Fa. P.H. Soeters & Co.
3.2 Periode Permulaan Sejarah Pasar Modal
Sekitar awal abad ke-19 pemerintah colonial mulai membangun
perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Sebagai salah satu
sumber dana adalah dari para penabung yang telah dikerahkan sebaikbaiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang Belanda dan Eropa
lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari pengghasilan
penduduk pribumi.
Periode menggembirakan ini tidak berlangsung lama karena
dihadapkan pada resesi ekonomi tahun 1929 dan pecahnya Perang
DuniaII (PD II). Keadaan yang semakin memburuk membuat Bursa Efek
Surabaya dan Semarang ditutup terlebih dahulu. Kemudian pada 10 Mei
1940 disusul oleh Bursa Efek Jakarta. Selanjutnya baru pada tanggal 31
Juni 1952, Bursa Efek Jakarta dibuka kembali. Operasional bursa pada
waktu itu dilakukan oleh PPUE (Perserikatan Perdagangan Uang dan Efek )
yang beranggotakan bank Negara, bank swasta dan para pialang efek
dengan Bank Indonesia sebagai penasihat. Pada tanggal 26 September
1952 dikeluarkan Undang-Undang No. 15 Tahun 1952 sebagaiUndangUndang Darurat yang kemudian ditetapkan sebagai Undang-Undang
Bursa.
Dari regulasi yang dikeluarkan periode ini mempunyai cirri khas
yakni diberikannya kewenangan yang cukup besar dan luas kepada
Bapepam selaku badan pengawas . Amanat yang diberikan dalam UU

Pasar Modal secara tegas menyebutkan bahwa Bapepam dapat
melakukan penyelidikan, pemeriksaan, dan penyidikan jika terjadi
kejahatan di pasar modal.
3.3 Kebijaksanaan Sektor Pasar Modal
Baru pada Orde Baru kebijakan ekonomi tidak lagi melancarkan
konfrontasi terhadap modal asing. Pemerintah lebih terbuka terhadap
modal luar negeri guna pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Dengan surat keputusan direksi BI No. 4/16 Kep-Dir tanggal 26 Juli 1968,
di BI di bentuk tim persiapan (PU) Pasar Uang dan (PM) Pasar Modal. Hasil
penelitian tim menyatakan bahwa benih dari PM di Indonesia sebenarnya
sudah ditanam pemerintah sejak tahun 1952, tetapi karena situasi politik
dan masyarakat masih awam tentang pasar modal, maka pertumbuhan
Bursa Efek di Indonesia sejak tahun 1958 s/d 1976 mengalami
kemunduran. Setelah tim menyelesaikan tugasnya dengan baik, maka
dengan surat keputusan Kep-Menkeu No. Kep-25/MK/IV/1/72 tanggal 13
Januari 1972 tim dibubarkan, dan pada tahun 1976 dibentuk Bapepam
(Badan Pembina Pasar Modal) dan PT Danareksa. Bapepam bertugas
membantu Menteri Keuangan yang diketuai oleh Gubernur Bank Sentral.
Dengan terbentuknya Bapepam, maka terlihat kesungguhan dan
intensitas untuk membentuk kembali PU dan PM. Selain sebagai
pembantu menteri keuangan, Bapepam juga menjalankan fungsi ganda
yaitu sebagai pengawas dan pengelola bursa efek.
Beberapa hal yang dilakukan adalah pertama, pada tanggal 10
Agustus 1977 mengeluarkan keputusan Presiden No. 52 Tahun 1976
tentang pendirian Pasar Modal, membentuk Badan Pembina Pasar Modal.
Yang kedua ialah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 25 Tahun 1976
tentang penetapan PT Danareksa sebagai BUMN pertama yang melakukan
go public dengan penyertaan modal Negara Republik Indonesia sebanyak
Rp. 50 Miliar. Yang ketiga adalah memberikan keringanan perpajakan
kepada perusahaan yang go public dan kepadapembeli saham atau bukti
penyertaan modal.

BAB VI
PERKEMBANGAN PASAR MODAL
DAN AKIBAT INVESTOR TERHADAP PASAR MODAL DI INDONESIA
4.1 Perkembangan Pasar Modal
Perkembangan pasar modal selama 1977 s/d 1987 mengalami
kelesuan meskipun pemerintah telah memberikan fasilitas kepada

perusahaan-perusahaan yang memanfaatkan dana dari bursa efek.
Tersendatnya perkembangan pasar modal selama periode itu disebabkan
oleh beberapa masalah antara lain mengenai prosedur emisi saham dan
obligasi yang terlalu ketat, adanya batasan fluktuasi harga saham dan lain
sebagainya. PT Semen Cibinong merupakan perusahaan pertama yang
dicatat dalam saham BEJ.
Baru setelah pemerintah melakukan deregulasi pada periode awal
1987, gairah di pasar modal kembali meningkat. Deregulasi yang pada
intinya adalah melakukan penyederhanaan dan merangsang minat
perusahaan untuk masuk ke bursa serta menyediakan kemudahankemudahan bagi investor. Kebijakan ini dikenal dengan tiga paket yakni
Paket Kebijaksanaan Desember 1987, Paket Kebijaksanaan Oktober 1988,
dan Paket Kebijaksanaan Desember 1988.
Paket kebijaksanaan Desember 1987 atau yang lebih dengan
Pakdes 1987 merupakan penyederhanaan persyaratan proses emisi
saham dan obligasi, dihapuskannya biaya yang sebelumnya dipungut oleh
Bapepam, seperti biaya pendaftaran emisi efek. Selain itu dibuka pula
kesempatan bagi pemodal asing untuk membeli efek maksimal 49% dari
total emisi. Kebijakan ini juga mengahpus batasan fluktuasi harga saham
di bursa efek dan memperkenalkan bursa parallel. Sebagi pilihan bagi
emiten yang belum memenuhi syarat untuk memasuki bursa efek.
Kemudian Paket Kebijakssanaan Oktober 1988 atau disingkat Pakto
88 ditujukan pada sektor perbankan, namun mempunyai dampak
terhadap perkembangan pasar modal. Pakto 88 berisikan tentang
ketentuan 3L (Legal, Lending, Limit), dan pengenaan pajak atas bunga
deposito. Pengenaan pajak ini berdampak positif terhadap perkembangan
pasar modal. Sebab dengan keluarnya kebijaksanaan ini berarti
pemerintah memberi perlakuan yang sama antara sektor perbankan dan
sektor pasar modal.
Yang ketiga adalah paket kebijaksanaan Desember 1988 atau
Pakdes 88 yang pada dasarnya memberikan dorongan yang lebih jauh
pada pasar modal dengan membuka peluang bagi swasta untuk
menyelenggarakan bursa. Hal ini memudahkan investor yang berada di
laur Jakarta.
4.2 Akibat Investor Terhadap Pasar Modal
Akibat dari perubahan yang menggembirakan ini adalah semakin
tumbuhnya rasa kepercayaan investor terhadap keberadaaan pasar modal
Indonesia.hal ini ditindaklanjuti oleh pemerintah dengan mengeluarkan
peraturan berupa Undang-Undang No. 8 Tahun 1995 yang berlaku efektif
sejak tanggal 1 Januari 1996. Undang-undang ini dilengkapi dengan
peraturan organiknya, yakni Peraturan pemerintah No. 45 Tahun 1995
tentang penyelenggara Kegiatan di Bidang Pasar Modal, serta Peraturan
Pemerintahb No. 46 Tahun 1995 tentang Tata Cara Pemeriksaan di Bidang
Pasar Modal.
Pada tanggal 22 Mei 1995, mulai diberlakukan system JATS (Jakarta
Automatic Trading System). Suatu system perdagangan di lantai bursa
yang secara otomatis me-match-kan antara harga jual dan beli saham.

Sebelum diberlakukannya JATS, transaksi dilakukan secara manual.
Misalnya dengan menggunakan “papan tulis” sebagai papan untuk
memasukkan harga jual dan beli saham. Perdagangan saham berubah
menjadi scripless trading, yaitu perdagangan saham tanpa warkat (bukti
fisik kepemilikan saham). Lalu dengan seiring kemajuan teknologi, bursa
kini menggunakan system Remote Trading, yaitu system perdagangan
jarak jauh.
Pada tanggal 22 Juli 1995, BES merger dengan Indonesian Parallel
Stock Exchange (IPSX), sehingga sejak itu Indonesia hanya memiliki bursa
efek : BES dan BEJ. Pada tahun 2007 terjadi penggabungan Bursa Efek Surabaya
(BES) ke Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
Dan pada tanggal 2 Maret 2009 Peluncuran Perdana Sistem Perdagangan Baru PT Bursa Efek
Indonesia yaitu JATS-NextG
BAB V
KESIMPULAN
Pasar modal menjadi sesuatu yang menggemparkan, karena
investasi di bursa efek berkembang sangat pesat dan menurut perkiraan
yang diperjualbelikan adalah saham yang listing di bursa Amsterdam
tetapi investornya berada di Batavia, Surabaya dan Semarang.
Pasar modal adalah suatu wahana untuk mempertemukan pihakpihak yang memerlukan dana jangka panjang dengan pihak yang memiliki
dana tersebut.
Produk yang Terdapat di Pasar Modal
1.

Reksa Dana

2.

Saham

3.

Saham Preferan

4.

Obligasi

5.

Waran

6.

Right Issue