Pembagian Waris Menurut Hukum Perdata Ba (1)

Pembagian Waris Menurut Hukum Perdata Barat

Prinsip Pewarisan dan Penggologan Ahli Waris
Menurut Hukum Perdata Barat prinsip dari pewarisan :
1. Pada asasnya yang dapat beralih kepada para ahli waris ialah hak dan kewajiban
pewarisan yang terletak dibidang hukum harta benda atau harta kekayaan ;
2. Dengan meninggalnya seseorang maka seketika itu juga beralihlah semua hak dan
kewajiban pewaris kepada para ahli warisnya sebagaimana diatur dalam Pasal 833 ayat
(1) KUHPerdata
3. Yang berhak untuk mewaris adalah keluarga atau ahli waris yang mempunyai hubungan
darah dengan pewaris. Oleh karena itu, pada awalnya suami atau isteri yang hidup
terlama tidak mempunyai hak untuk mewaris.
4. Pada asasnya harta peninggalan tidak boleh dibiarkan dalam keadaan tidak terbagi,
kecuali jika hal itu terjadi, dengan persetujuan para ahli waris.
5. Pada asasnya setiap orang sekalipun bayi yang baru dilahirkan adalah cakap untuk
mewaris, kecuali mereka yang dinyatakan tidak patut untuk mewaris. Bahkan lebih lanjut
KUHPerdata Pasal 2 menyatakan bahwa bayi yang belum lahir (masih dalam kandungan)
mempunyai hak waris.

-


Dalam Hukum Perdata Barat, pada hakekatnya pembagian waris (pewarisan) dapat terjadi
berdasarkan 2 cara, yaitu :
Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh undang undang, yang disebut pewarisan abintestato dan para ahli waris disebut ahli waris abintestaat.
Pewarisan yang terjadi karena ditunjuk oleh testament atau surat wasiat.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, dalam hukum perdata barat dikenal 4 penggolongan
ahli waris yaitu :
Golongan I : anak anak dan keturunan serta janda atau duda yang hidup terlama (Pasal 852
KUHPerdata)
Golongan II : orang tua, saudara laki laki, saudara perempuan dan keturunan dari saudara laki
laki dan saudara perempuan (Pasal 854, 857, 859 KUHPerdata)
Golongan III : Keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas sesudah orang tua (Pasal 853
KUHPerdata)
Golongan IV: Keluarga sedarah lainnya dalam garis menyamping sampai derajat ke enam (Pasal
858 KUHPerdata)
Undang-undang tidak membedakan ahli waris laki-laki dan perempuan, juga tidak membedakan
urutan kelahiran, hanya ada ketentuan bahwa ahli waris golongan pertama jika masih ada maka
akan menutup hak anggota keluarga lainnya dalam dalam garis lurus ke atas maupun ke samping.
Demikian pula golongan yang lebih dekat derajatnya menutup yang lebih jauh derajatnya.

Sedangkan ahli waris menurut surat wasiat atau testamen, jumlahnya tidak tentu sebab ahli waris

macam ini bergantung pada kehendak si pembuat wasiat.
Golongan pertama: mereka yang pertama kali dipanggil oleh Undang Undang sebagai ahli
waris adalah anak dan keturunannya beserta suami atau isteri dari pewaris. Anak-anak mewarisi
untuk bagian yang sama besarnya dan suami atau isteri yang hidup terlama mewarisi bagian yang
dengan anak. Pasal 852 KUHPerdata menjelaskan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan
mereka, baik dilahirkan dari lain lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orang tua, kakek
atau nenek atau semua keluarga sedarah mereka selanjutnya dalam garis lurus keatas, dengan
tiada perbedaan antara laki dan perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih
dahulu. Mereka mewaris kepala demi kepala, jika dengan si meninggal mereka bertalian
keluarga dalam derajat ke satu dan masing-masing mempunyai hak karena diri sendiri dan
mereka mewaris pancang demi pancang, jika sekalian mereka atau sekedar sebagian mereka
bertindak sebagai pengganti.
Diantara keturunan, orang lebih dekat derajatnya kecuali pelaksanaan aturan penggantian,
menyampingkan orang yang lebih jauh derajatnya. Apabila cucu mewarisi untuk diri sendiri,
mereka mewarisi untuk bagian yang sama besarnya. Sebagai contoh harta peninggalan suami
atau isteri, dua orang anak, dan tiga orang cucu dari anak yang meninggal lebih dahulu, maka
harta peninggalannya dibagi dalam empat bagian yang sama besarnya. Suami atau isteri yang
hidup terlama, tiap anak dan ketiga cucu bersama-sama menerima seperempat. Apabila ayah dari
ketiga cucu itu tidak meninggal lebih dahulu, atau ia tidak pantas, atau menolak haknya untuk
mewarisi untuk pewaris, maka harta peninggalan dibagi antara suami atau isteri yang hidup

terlama dan kedua anak dalam tiga bagian yang sama besarnya. Apabila suami atau isteri dari
pewaris berikut ketiga anaknya telah meninggal dunia terlebih dahulu maka ketiga cucu
tersebutlah yang menjadi ahli waris pewaris dengan besar bagian masing masing adalah 1/3 (satu
per tiga) dari harta peninggalan pewaris. Disini ketiga cucu tersebut mewaris tetapi bukan
dengan penggantian melainkan karena kedudukannya sendiri.
Golongan kedua: orang tua, saudara dan keturunan dari saudara. Perolehan warisan dari
golongan kedua diatur oleh undang undang dalam Pasal 859 KUHPerdata. Apabila seorang
meninggal dunia tanpa meninggalkan suami/isteri atau keturunan, maka menurut KUHPerdata
yang terpanggil sebagai ahli waris adalah orang tuanya, saudara dan keturunan dari saudara.
Apabila hanya orang tua saja yang ada, maka orang tua tersebut masing-masing mewarisi
setengah, apabila ada saudara, maka orang tua dan saudara mewarisi untuk bagian yang sama,
tetapi dengan pengertian, bahwa orang tua itu tidak akan menerima kurang dari ¼ harta
peninggalan. Jadi bagi orang tua sama saja apakah disamping dia berada tiga atau enam saudara
dari pewaris. Apabila pewaris hanya meninggalkan satu orang saudara dan kedua orang tuanya
maka pada pokoknya masing-masing mereka itu mendapat 1/3 bagian; dan apabila yang
ditinggalkan satu orang tua dan satu orang saudara, maka masing-masing mewarisi setengah.
Namun bila pewaris mempunyai saudara lebih dari dua orang dan orang tua pewaris masih hidup
maka orang tua pewaris tersebut memperoleh ¼ bagian sedangkan sisanya dibagi rata untuk
masing masing saudaranya. Apabila pewaris meninggal tanpa meninggalkan orang tua maka
saudara-saudaranya mewarisi seluruh harta warisan.


Golongan ketiga: kakek dan nenek serta leluhur selanjutnya merupakan golongan ketiga dari
ahli waris. Apabila pewaris tidak meninggalkan suami/isteri, keturunan, orang tua, saudara dan
keturunan dari saudara, maka harta peninggalan itu sebelum dibagi, dibelah lebih dahulu
(kloving). Setengah dari harta peninggalan diberikan kepada sanak keluarga dipihak ayah, dan
setengah lagi kepada yang dipihak ibu. Setiap bagian itu dibagi suatu harta peninggalan yang
berdiri sendiri.
Kloving (pembelahan) didalam KHUPerdata baru terjadi apabila tidak ada lagi ahli waris
golongan kedua termasuk keturunan dari saudara laki-laki dan perempuan dari pewaris.
Sebagaimana dijelaksan sebelumnya setiap bagian yang dibagi melalui kloving tersebut adalah
suatu harta peninggalan yang berdiri sendiri. Sehingga membawa kemungkinan bahwa dalam
garis keturunan yang satu, yang menerima harta peninggalan adalah ahli waris dalam golongan
keempat, sedangkan dalam garis keturunan yang lain yang menerima harta peninggalan adalah
ahli waris dari golongan ketiga.
Disinilah letak arti kloving. Akibat dari sifat mandiri masing-masing bagian adalah: Apabila ada
penolakan dari salah seorang ahli waris, maka hal ini hanya berarti didalam garis ahli waris yang
menolak itu. Hanya apabila didalam salah satu garis tidak ada lagi keluarga sedarah dari derajat
itu, maka seluruh warisan jatuh pada keluarga sedarah dari garis lainnya. Dalam tiap-tiap garis
dilaksanakanlah aturan yang biasa sehingga orang-orang dari golongan ke empat barulah
dipanggil, apabila tidak ada ahli waris golongan. Dalam tiap golongan orang yang lebih dekat

derajatnya menyampingkan yang lain sehingga apabila dalam garis keturunan ayah ada kakek
pewaris, dan orang tua dari nenek pewaris, maka kakek pewaris menyampingkan kedudukan
orang tua dari nenek pewaris (disini nenek pewaris telah meninggal terlebih dahulu) yang karena
undang-undang tidak mengenal penggantian dalam garis keatas. Besarnya bagian yang diterima
oleh masing masing ahli waris dalam satu garis keturunan adalah sama besarnya.
Golongan keempat: sanak keluarga selanjutnya dalam garis menyamping. Sesudah garis keatas
dipanggillah sanak keluarga dari garis menyamping diluar golongan kedua. Sama seperti ahli
waris golongan ketiga, harta peninggalan terlebih dahulu dibagi (kloving) terlebih dahulu
menjadi dua bagian. Sanak saudara yang lebih dekat derajatnya dengan pewaris menyampingkan
sanak saudara yang lain. KUHPerdata menetapkan sanak saudara menyamping yang dapat
mewaris hanyalah sampai derajat ke enam.
Oleh karena itu apabila dalam garis menyamping keluarga yang bertalian kekeluargaannya
berada dalam suatu derajat yang lebih jauh dari derajat keenam maka mereka tidak mewaris.
Kalau hal ini terjadi pada satu garis keturunan, maka bagiannya akan menjadi hak keluarga pada
garis keturunan yang lain, kalau orang itu mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidak
melebihi derajat keenam.
Selain daripada keempat penggolongan ahli waris tersebut diatas, yang dapat menjadi ahli waris
adalah anak luar kawin yang telah diakui sah oleh pewaris, dimana besarnya bagian yang
diperoleh dari anak luar kawin tersebut tergantung pada dengan golongan manakah ia turut
mewaris. Pasal 862 sampai dengan Pasal 873 KUHPerdata mengatur pewarisan dalam hal

adanya anak luar nikah. Pasal 863 KUHPerdata berbunyi: jika yang meninggal meninggalkan
keturunan yang sah atau seorang suami atau isteri, maka anak-anak luar nikah mewarisi 1/3 dari

bagian yang harus mereka dapat, andaikata mereka anak anak yang sah, jika si meninggal tak
meninggalkan keturunan, suami atau isteri akan tetapi meninggalkan saudara laki-laki dan
perempuan atau keturunan mereka mewaris ½ dari warisan dan jika pewaris hanya meninggal
sanak saudara dalam derajat yang lebih jauh maka bagian anak luar kawin yang diakui adalah
sebesar ¾ bagian.
Jadi Pasal 863 KUHPerdata ini membatasi hak mewaris anak luar nikah pada ½ (separuh)
warisan, apabila ia mewaris bersama orang tua pewaris, saudara laki-laki dan perempuan atau
keturunan mereka (golongan II). Apabila anak luar kawin mewaris bersama sama dengan
golongan III dan IV maka ia berhak atas ¾ bagian dari harta peninggalan.
Dalam menentukan bagian anak luar nikah, harus diperhatikan Pasal 285 ayat 1 KUHPerdata,
yang menentukan pengakuan yang dilakukan sepanjang perkawinan oleh suami isteri atas
keuntungan anak luar nikah, yang sebelum menikah olehnya diperbuahkan pada orang lain dari
suami isteri itu tidak dapat membuat kerugian pada suami isteri itu maupun anak anaknya yang
dilahirkan dalam perkawinan itu.
Maksudnya bahwa demi kepentingan suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan
dalam perkawinan itu, maka pengakuan itu harus tidak diperhatikan sehingga hak dari
suami/isteri yang hidup terlama, anak-anak yang dilahirkan dalam perkawinan itu harus dihitung

seolah-olah anak luar nikah itu tidak diakui (tidak ada anak luar kawin).
Terhadap anak zinah dan anak sumbang, berdasarkan Pasal 867 KUHPerdata mereka tidak dapat
mewaris dari orang yang membenihkannya namun undang undang memberikan hak pada mereka
untuk menuntut nafkah untuk hidup yang besarnya ditentukan menurut kekayaan ayah/ibunya
serta jumlah dan keadaan para ahli waris yang sah tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 868
KUHPerdata.
Mengenai golongan pertama yang meliputi suami/isteri yang hidup terlama dan keturunannya,
mendapatkan bagian yang sama besar. Sedangkan golongan kedua terdiri dari bapak, ibu,
saudara dan keturunan saudara dari orang yang meninggal dunia dimana mereka hanya akan
menjadi ahli waris apabila tidak ada ahli waris dari golongan pertama.

Pembagian Harta Waris dalam Islam
Machfud Ilahi
07.27
Harta warisaan, merupakan harta yang diberikan dari orang yang telah meninggal
kepada orang-orang terdekatnya seperti keluarga dan kerabat-kerabatnya.

Pembagian harta waris dalam islam telah begitu jelas diatur dalam al qur an, yaitu
pada surat An Nisa. Allah dengan segala rahmat-Nya, telah memberikan pedoman
dalam mengarahkan manusia dalam hal pembagian harta warisan. Pembagian

harta ini pun bertujuan agar di antara manusia yang ditinggalkan tidak terjadi
perselisihan dalam membagikan harta waris.

Harta waris dibagikan jika memang orang yang meninggal meninggalkan harta
yang berguna bagi orang lain. Namun, sebelum harta waris itu diberikan kepada
ahli waris, ada tiga hal yang terlebih dahulu mesti dikeluarkan, yaitu peninggalan
dari mayit:

1. Segala biaya yang berkaitan dengan proses pemakaman jenasa;
2. Wasiat dari orang yang meninggal; dan
3. Hutang piutang sang mayit.

Ketika tiga hal di atas telah terpenuhi barulah pembagian harta waris diberikan
kepada keluarga dan juga para kerabat yang berhak.

Adapun besar kecilnya bagian yang diterima bagi masing-masing ahli waris dapat
dijabarkan sebagai berikut:

Pembagian harta waris dalam islam telah ditentukan dalam al-qur'an surat an nisa
secara gamblang dan dapat kita simpulkan bahwa ada 6 tipe persentase

pembagian harta waris, ada pihak yang mendapatkan setengah (1/2), seperempat
(1/4), seperdelapan (1/8), dua per tiga (2/3), sepertiga (1/3), dan seperenam (1/6),
mari kita bahas satu per satu

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris
separoh (1/2):

1. Seorang suami yang ditinggalkan oleh istri dengan syarat ia tidak memiliki
keturunan anak laki-laki maupun perempuan, walaupun keturunan tersebut tidak
berasal dari suaminya kini
(anak tiri).

2. Seorang anak kandung perempuan dengan 2 syarat: pewaris tidak memiliki
anak laki-laki, dan anak tersebut merupakan anak tunggal.

3. Cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan 3 syarat: apabila cucu
tersebut tidak memiliki anak laki-laki, dia merupakan cucu tunggal, dan Apabila
pewaris tidak lagi mempunyai anak perempuan ataupun anak laki-laki.

4. Saudara kandung perempuan dengan syarat: ia hanya seorang diri (tidak

memiliki saudara lain) baik perempuan maupun laki-laki, dan pewaris tidak
memiliki ayah atau kakek ataupun keturunan baik laki-laki maupun perempuan.

5. Saudara perempuan se-ayah dengan syarat: Apabila ia tidak mempunyai saudara
(hanya seorang diri), pewaris tidak memiliki saudara kandung baik perempuan
maupun laki-laki dan pewaris tidak memiliki ayah atau kakek dan keturunan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris seperempat (1/4):
yaitu seorang suami yang ditinggal oleh istrinya dan begitu pula sebaliknya

1. Seorang suami yang ditinggalkan dengan syarat, istri memiliki anak atau cucu
dari keturunan laki-lakinya, tidak peduli apakah cucu tersebut dari darah
dagingnya atau bukan.

2. Seorang istri yang ditinggalkan dengan syarat, suami tidak memiliki anak atau
cucu, tidak peduli apakah anak tersebut merupakan anak kandung dari istri
tersebut atau bukan.

Pembagian harta waris bagi orang-orang yang berhak mendapatkan waris

seperdelapan (1/8): yaitu istri yang ditinggalkan oleh suaminya yang memiliki anak
atau cucu, baik anak tersebut berasal dari rahimnya atau bukan.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris duapertiga (2/3):

1. Dua orang anak kandung perempuan atau lebih, dimana dia tidak memiliki
saudara laki-laki (anak laki-laki dari pewaris).

2. Dua orang cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki dengan syarat pewaris
tidak memiliki anak kandung, dan dua cucu tersebut tidak mempunyai saudara
laki-laki

3. Dua saudara kandung perempuan (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak
memiliki anak, baik laki-laki maupun perempuan, pewaris juga tidak memiliki ayah
atau kakek, dan dua saudara perempuan tersebut tidak memiliki saudara laki-laki.

4. Dua saudara perempuan seayah (atau lebih) dengan syarat pewaris tidak
mempunyai anak, ayah, atau kakek. ahli waris yang dimaksud tidak memiliki
saudara laki-laki se-ayah. Dan pewaris tidak memiliki saudara kandung.

Pembagian harta waris dalam Islam bagi orang-orang yang berhak
mendapatkan waris sepertiga (1/3):

1. Seorang ibu dengan syarat, Pewaris tidak mempunyai anak atau cucu laki-laki
dari keturunan anak laki-laki. Pewaris tidak memiliki dua atau lebih saudara
(kandung atau bukan)

2. Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu, dua orang atau lebih dengan
syarat pewaris tidak memiliki anak, ayah atau kakek dan jumlah saudara seibu
tersebut dua orang atau lebih.

Hak Waris Bagi Perempuan

Mengenai Pembagian harta waris menurut para ulama sejak dari zaman dahulu
sampai sekarang menyatakan bahwa tidak ada aturan pembagian harta warisan
yang dapat menjamin keadilan kecuali aturan pembagian warisan yang diatur oleh
syariat islam

Orang-orang yang hidup pada zaman jahiliyah tidak memberi hak waris kepada
wanita dan anak-anak, dengan alasan karena keduanya tidak ikut angkat senjata
dalam sebuah peperangan. Adapun pada zaman sekarang ini, orang-orang
membagi harta warisan dengan mengikuti kehendak manusia.

Pada zaman sekarang banyak yang memberikan harta waris kepada seorang saja
tanpa membagikannya kepada pasangan maupun anaknya. Ada pula seseorang
yang mewasiatkan hanya kepada salah seorang anaknya saja dan membiarkan
begitu saja anak-anaknya yang lain dalam keadaan merana.

Selain itu, ada juga orang yang membagikan harta warisannya hanya kepada
binatang kesayangannya dan membiarkan para ahli warisnya hidup dalam
kesusahan.

Hanya aturan waris dalam islamlah yang sanggup menjamin hak seluruh ahli
waris, menjaga kehormatan dan sesuai dengan hati nurani manusia.
Hak Waris Bagi Perempuan

Adapun masalah berkenaan dengan pembagian harta waris bagi perempuan yang
hanya mendapat setengah dari bagian laki-laki, di dalamnya terdapat hikmah yang
mendalam. Salah satunya ialah kenyataan bahwa lelakilah yang oleh syariat
dibebankan tanggung jawab untuk memberi nafkah keluarga dan membebaskan

perempuan dari kewajiban tersebut, meskipun perempuan boleh saja ikut mencari
nafkah.

Kaum lelaki juga diwajibkan oleh agama islam untuk mengeluarkan mas kawin
untuk diberikan kepada istrinya sebagai jaminan cinta kasih sayangnya ketika
keduanya menikah, sedangkan perempuan tidak dibebani apa-apa

Oleh sebab itu, maka sudah tepat dan adil jika dalam pembagian warisan, laki-laki
mendapatkan bagian yang melebihi bagian perempuan. Karena jika tidak
demikian, maka hal itu justru akan menzalimi kaum laki-laki. Meskipun waris bagi
perempuan lebih sedikit, sebenarnya akan tertutupi dengan maskawin dan nafkah
yang menjadi haknya dari seorang suami.

Perlu juga diketahui bahwa dalam pembagian waris bagi perempuan tidak selalu
mendapat bagian yang lebih kecil dari bagian waris lak-laki. Ada kondisi-kondisi
tertentu yang menyebabkan pembagian warisan bagi perempuan sama besarnya
dengan bagian waris laki-laki.

Contohnya adalah jika seseorang yang wafat meninggalkan ayah, seorang ibu, dan
anak, maka pembagiannya mengikuti firman Allah swt yang berbunyi,

“Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masing-masingnya seperenam dar harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak…” (QS. An-Nisa`:11)

Bahkan dalam kondisi tertentu, bagian waris perempuan bisa lebih banyak
dibandingkan dengan waris laki-laki. Seperti seorang perempuan anak tunggal
yang ditinggal mati oleh ayahnya, memiliki setengah dari harta waris ayahnya,

atau dua orang anak perempuan yang ditinggal mati oleh ayahnya, berhak
mewarisi duapertiga dari harta ayahnya, jika mereka tidak memiliki saudara lakilaki. Jika pun si mayit memiliki seorang ayah, maka ayahnya hanya berhak
mewarisi seperenam dari harta si mayit. Aturan in termaktub dalam firman Allah
swt yang berbunyi,

“… Dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka
duapertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja,
maka ia memperoleh separuh harta. Dan untuk dua orang ibu bapak, bagi masingmasingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan…” (QS An-Nisa`:11)

Islam telah mengatur hak waris dengan sedemikian rupa dengan memperhatikan
keadilan kepada pihak keluarga yang ditinggalkan dengan permasalahan yang
akan di hadapi tidak peduli pada zaman apapun. Hal ini guna menjamin keadilan
dan keharmonisan dalam sebuah keluarga sehingga tidak terjadi perselisihan,
seperti yang kerap terjadi sekarang ini.

Pengantar Hukum Waris
Posted by Nur Abdillah Siddiq | Sabtu, Maret 12, 2011 Categories: Islam Agamaku

Dari Abu Hurairah, ia berkata, “Berkata Rasulullah SAW., ‘Belajarlah ilmu faraid dan
ajarkanlah ilmu itu. Ilmu tersebut merupakan separuh dari ilmu yang ada. Ilmu ini
merupakan
ilmu
yang
pertama
kali
dilupakan
orang’.”
(H.R.
Ibnu
Majah
nomor
2710
dari
Abu
Hurairah)
Ilmu waris adalah ilmu yang memiliki kedudukan yang tinggi didalam Islam.
Hukum waris Islam merupakan salah satu syariat yang harus dilaksanakan oleh
umat Islam. Pembagian warisan sesuai hukum Islam adalah pembagian yang paling
adil sebagaimana dikehendaki oleh Allah SWT. Bukan pembagian menurut tradisi,
ataupun pembagian sama rata, apalagi pembagian yang mengatasnamakan Hak
Asasi
Manusia
(HAM)
.
Pembagian harta warisan yang menggunakan ilmu faraid Islam tidak akan
merugikan pihak mana pun karena cara tersebut merupakan ketentuan Allah SWT.
Dengan demikian cara pembagian harta menurut ilmu faraid merupakan cara yang
terbaik untuk membagi harta warisan, baik dalam pandangan Allah SWT maupun
manusia.
Ilmu waris disebut juga ilmu faraid. Kata faraid berasal dari kata farada yang berarti
ketentuan atau ketetapan Allah swt. Adapun bahasannya meliputi pengetahuan
tentang harta peninggalan (harta pusaka), cara menghitung pembagiannya, dan
bagian
ahli
warisnya.

1. Tujuan dari ilmu faraid / hokum waris adalah:


Untuk melaksanakan pembagian harta warisan kepada ahli yang berhak
menerimanya.



Untuk mengetahui secara jelas siapa yang berhak menerima harta warisan
serta bagiannya.



Untuk menghindari perselisihan diantara ahli waris.

2.
Dasar
hukum
a. Al-Qur’an
 - Surat An-Nisa’ ayat 7-8, 11, 12, 33 dan 176
 - Surat An-Anfal ayat 72, 75


waris

- Surat Al-Ahzab ayat 6

b. Hadist
 - H.R. Al-Bukhari nomor 6235
 - H.R Ahmad nomor 305
c.

Ijmak

(

Dikemukakan

oleh

para

Sahabat

dan

Tabiin)

Selain ketiga dasar hokum diatas, masalah kewarisan umat Islam di Indonesia
dibahas dalam Kompilasi Hukum Islam pada Buku II. Pembagiannya dilakukan oleh
pengadilan
agama
berdasarkan
Kompilasi
Hukum
tersebut.
3.
Rukun
hukum
waris
Agar sah menurut hukum, pewarisan harus memenuhi rukun-rukun sebagai berikut:
 Harta yang ditinggalkan (maurus)
 Orang yang meninggal dunia (muwarris)


Orang yang akan mewarisi (ahli waris)



Harta warisan tidak menanggung hak-hak orang lain , contohnya hak orang
lain seperti utang, wasiat dan biaya penguburan jenazah.

4. Syarat hukum waris
 Meninggalnya muwarris
 Hidupnya ahli waris saat mawarris meninggal


Tidak adanya penghalang untuk saling mewarisi

5. Hilangnya waris mewarisi
 Pembunuh, yakni apabila ahli waris membunuh pewaris.
 Berbeda agama, yakni apabila ahli waris murtad dari agama Islam dan
memelu agama lain.


Hamba sahaya



Murtad

Mengenai bagian ahli waris, insyaAlllah akan dibahas paa tulisan lain.

Pengantar Hukum Waris Islam
Warisan adalah permasalahan yang sangat rumit dan riskan. Di mana pun dan kapan pun warisan
menjadi persoalan yang sangat polemik. Tak seorang pun mampu berbuat adil. Kecendrungan
manusia yang tamak dengan harta membuat keadilan mustahil ada dalam diri setiap manusia.
Apalagi jika pembagian harta warisan tidak dibagi dengan cara syri’at Islam, hal ini akan
menjerumuskan pihak-pihak yang berkaitan langsung dengan soal pembagian tersebut ke dalam
kemungkaran. Tidak hanya saling bermusuhan, tetapi nyawa pun bisa menjadi taruhannya demi
mendapatkan bagian yang besar. Bahkan, hubungan persaudaraan pun lambat laun hilang seiring
berjalannya rasa iri dengki.

Dalam menguraikan prinsip-prinsip hukum waris
berdasarkan hukum islam, satu-satunya sumber tertinggi dalam kaitan ini adalah Al-Qur’an dan
sebagai pelengkap yang menjabarkannya adalah sunnah Rasul beserta hasil-hasil ijtihad atau
upaya para ahli hukum Islam terkemuka. Ayat-ayat pokok yang secara langsung menegaskan
perihal pembagian harta warisan di dalam Al-Qur’an, masing-masing tercantum dalam surat AnNisaa, surat Al-Baqarah dan surat Al-Ahzab. Warisan atau harta peninggalan menurut hukum
islam yaitu sejumlah harta benda serta segala hak dari yang meninggal dunia dalam keadaan
bersih, artinya harta peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris adalah sejumlah harta
benda serta segala hak-hak setelah dikurangi dengan pembayaran utang-utang pewaris dan
pembayaran-pembayaran lain yang diakibatkan wafatnya si peninggal warisan. Jadi harta
peninggalan yang akan diwarisi oleh para ahli waris tidak hanya meliputi hal-hal yang
bermanfaat berupa aktiva atau keuntungan, melainkan juga termasuk utang-utang si pewaris
yang merupakan passiva dari harta kekayaan yang ditinggalkan sehingga kewajiban membayar
utang pada hakikatnya beralih juga kepada ahli waris.

Sistem kewarisan Islam menurut Al-Qur’an sesungguhnya merupakan perbaikan dan perubahan
dari prinsip-prinsip hukum waris yang berlaku di negeri Arab sebelum Islam, dengan sistem
kekeluargaannya yang patrilineal.
Sejak zaman dahulu, pembagian harta warisan bagi orang yang ditinggalkan sudah menjadi
ketetapan umum. Akan tetapi, sebelum Islam datang pembagian tersebut belum sepenuhnya
dikatakan adil. Hal ini disebabkan belum adanya ketetapan secara pasti siapa saja yang berhak
mendapatkan harta warisan. Bahkan, pada zaman jahiliyyah, wanita yang tidak mempunyai andil
besar dalam perjuangan tidak mendapatkan bagian. Pedihnya lagi, para wanita dijadikan tumbal
dan dibunuh secara keji karena dianggap tidak memberikan kontribusi yang baik bagi
keluarganya, selain dianggap sebagai pembawa mudharat. Oleh karena itu, kemudian Islam
datang dan memperbaiki semua itu.
Setelah Islam datang, ketetapan ahli warispun menjadi jelas. Hal ini tidak disangkal lagi bahwa
ternyata Islam sangat teliti dan cermat dalam masalah perhitungan warisan. Tidak cukup hanya
anak dan orang yang behubungan darah langsung bagi mayit yang diperhatikan, tetapi, saudara
yang jauh pun masih dikaitkan dalam perhitungan meskipun tidak selamanya mereka
memperoleh harta warisan. Ini pun dijelaskan secara lengkap penyebab mereka tidak
mendapatkan harta warisan.
Hukum waris termasuk salah satu ketentuan Allah. Barang siapa mengamalkan hukum waris, ia
akan ditunjukkan ke jalan kebenaran. Sedangkan, yang megabaikannya, akan tersesat dan
tempatnya adalah neraka.
Islam mengajarkan kepada umatnya agar bersegera dalam pembagian harta warisan. Hal ini
diterangkan dalam QS An- Nisa’: 9. Ayat tersebut menggambarkan bahwa Allah begitu
memerhatikan orang-orang yang tidak mampu dam membutuhkan. Begitu juga, kita sebagai
hamba Allah harus ikut peduli dengan sesamanya. Bahkan, dalam masalah pembagian harta
warisan jika kerabat yang miskin dan tidak mendapatkan harta warisan, hendaknya kita
memberinya sebagian harta tersebut sebagai hibah.
Islam sangat berhati-hati dalam masalah warisan. Bahkan, harta benda bagi anak yang massih
dibawah umur pun harus dijaga dengan baik oleh orang yang dapat dipercaya hingga mereka
dewasa. Setelah mereka dewasa hartanya harus segera dikembalikan. Islam mengajarkan bagi
umatnya untuk memenuhi kewajiban bagi para ahli waris yang ditinggalkan. Memenuhi
pembayaran utangnya adalah kewajiban pertama yang harus dilaksanakan para ahli waris, diikuti
pelaksanaan wasiat. Jika seandainya pemenuhan wasiat dan utang tidak dilaksanakan,
dampaknya akan tidak baik bagi si mayit dan para ahli waris yang ditinggalkan, baik dari segi
psikis maupun fisik.
Warisan untuk seluruh ahli waris, baik perempuan maupun laki-laki, baik mereka yang mampu
maupun yang tidak mampu, yang taat kepada Allah maupun yang gemar bermaksiat kepada-Nya.
Warisan diberikan untuk seluruh ahli waris, baik ashabul furudh maupun ashabul ‘ashabah, baik
garis keturunannya yang dekat dengan si mayit maupun yang jauh, baik dia musuh maupun
teman.

Harta yang diwariskan, “baik sedikit maupun banyak telah ditetapkan bagiannya masingmasing.” (Q.S An-Nisa’:7)
Wahai orang-orang yang masih menempuh jalan jahiliah, takutlah kepada Allah! Mengapa
mereka masih saja mengutamakan kaum pria dengan memberikan bagian warisan yang jauh
lebih banyak dari bagian wanita, bahkan kaum wanita hanya diberi sebagian kecil dari harta
warisan atau kalau bisa kaum wanita dihalangi untuk memperoleh warisan?
Jika seluruh ahli waris adalah anak perempuan, mereka yang menempuh jalan jahiliah ini akan
melarikan seluruh harta warisan. Mereka melakukan hal itu karena takut harta warisan tersebut
akan dimiliki seluruhnya oleh anak-anak si mayit. Mereka pura-pura tidak mengetahui bahwa
dalam warisan itu ada yang memperoleh bagian secara furudh (memperoleh bagian tertentu) dan
ada pula yang memperoleh bagian ‘ashabah (memperoleh bagian sisa). Semoga Allah memberi
kita petunjuk ke arah jalan yang lurus.

Hukum Waris Dalam Islam
31 Jan 2013 Tinggalkan komentar
by abisyamsul dalam Fiqih islam Tag:ajaran agama islam, hal waris dalam islam, harta waris,
kitab suci, laki laki, mawaris, nabi muhammad, pusaka

9 Votes

Pada zaman jahiliyah sebab – sebab seseorang memperoleh harta warisan telah memiliki aturan,
diantaranya sebagai berikut:
1. Sebab keturunan, pada saat itu pada keturunan yang ditentukan yakni pada
laki-laki yang kuat berperang saja sedangkan wanita dan anak-anak tidak
memiliki hak mendapatkan warisan. Setelah islam diturunkan aturan tersebut
di larang oleh allah alam surat an-nisa ayat 7,yang artinya “ untuk anak lakilaki sebagian daripada harta yang ditinggalkan oleh ibi bapak dan keluarga
dekat, dan untuk perempuan sebagian dari pada harta yang ditinggalkan oleh
ibu-bapak dan keluarga dekat, baik sedikit ataupun banyak harta yang

dipusakai itu, tetap masing-masing mendapat bagian yang tertentu menurut
ketentuan yang telah ditentukan dalam kitab suci al-qur’an surat An-Nisa:7
2. Anak angkat, saat itu anak angkat berhak atas harta yang ditinggalkan oleh
ibu dan bapak angkatnya. Karena mereka diakui mutlak sebagaimana anak
kandung. Hal ini kemudian dilarang oleh allah melalui firmannya “ allah tidak
membenarkan anaka angkat kamu itu menjadi anak yang sebenarnya,
demikian hanya perkataan yang di mulut kamu saja, tidak dengan
sebenarnya. Yang berkata benar ialah allah dan Dia-lah yang member
petunjuk kepada jalan yang lurus “ Al-Ahzab : 4
3. Dengan sebab perjanjian / sumpah. Keadaan ini dimisalkan dua orang yang
berjanji dengan sumpah bahwa antara keduanya akan pusaka-mempusakai.
Hal ini kemudian dilarang oleh allah.

B.Sebab Yang Diperbolehkan Untuk Pusaka Mempusakai
Dalam ajaran agama Islam, sebab – sebab pusaka mempusakai terdiri atas 4 sebab :
1. Kekeluargaan, sebagai mana telah dijelaskan dalam surat an-nisa ayat 7
diatas, dengan syarat dan ketentuan yang diperjelas melalui ayat lain.
2. Perkawinan.(penjelasan khusus).
3. Dengan sebab memerdekakan dari perbudakan. Sebagaimana dijelaskan oleh
Nabi Muhammad SAW “ Hubungan orang yang memerdekakan hamba
dengan hamba itu seperti hubungan turunan dengan turunan tidak dijual dan
tidak diberikan “ HR Ibnu Khuzaifah, Ibnu hibban dan Hakim.
4. Hubungan islam. Bila orang yang meninggal dunia tidak mempunyai ahli
waris yang ditentukan, maka harta peninggalanya diserahkan ke baitulmall
untuk umat islam dengan jalan pusaka. Sabda Rosulluah SAW: “saya menjadi
waris orang yang tidak mempunyai ahli waris” HR Ahmad dan Abu daud.
Dalam hal ini rosullullah tidak menerima harta tersebut untuk dirinya sendiri,
tapi dipergunakan untuk kemaslahatan seluruh umat islam.

C.Siapa Saja Yang Dimaksud Dengan Ahli Waris .
Dalam agama islam orang yang boleh mendapat pusaka dari yang meninggal dunia ada 25 orang,
15 orang dari pihak laki-laki dan 10 orang dari pihak perempuan :
-

Penerima harta waris dari pihak laki-laki.
1. Anak laki-laki dari yang meninggal dunia.
2. Anak laki-laki dari cucu laki-laki yang berasal dari pihak anak laki-laki dan
terus kebawah, asalkan pertaliannya masih laki-laki.
3. Orang tua laki-laki (bapak) dari yang meninggal.
4. Kakek dari pihak bapak dan terus ke atas pertalian yang belum terputus dari
pihak bapak.

5. Saudara laki-laki seibu sebapak.
6. Saudara laki –laki yang seibu saja.
7. Saudara laki-laki yang sebapak saja.
8. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang seibu sebapak.
9. Anak laki-laki (keponakan) dari saudara laki-laki yang sebapak saja.

10. Saudara laki-laki dari bapak (paman) dari bapak yang seibu sebapak.
11. Saudara laki- laki dari bapak (paman) yang sebapak saja.
12. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang seibu sebapak.
13. Anak laki-laki dari saudara bapak yang laki-laki (paman) yang sebapak saja.
14. Suami.
15. Laki-laki yang mmerdekakan mayat.
Jika dari 15 orang ini masih ada semua, maka yang lebih berhak untuk mendapatkan harta
pusaka dari yang meningal hanya 3 orang saja, yakni:
1. Bapak
2. Anak laki-laki
3. Suami

-

Penerima harta waris dari pihak perempuan.
1. Anak perempuan.
2. Anak perempuan dari anak laki-laki ( cucu perempuan) dan seterusnya
kebawah, asalkan pertaliannya dengan yang meninggal masih terus laki –laki.
3. Ibu.
4. Ibu dari bapak.
5. Ibu dari ibu (nenek) terus keatas pihak ibu sebelum terhalang laki-laki.
6. Saudara perempuan yang seibu sebapak.
7. Saudara perempuan yang yang sebapak.
8. Saudara perempuan yang sebapak.
9. Isteri.

10. Perempuan yang mmerdekakan si mayat.

Jika 10 orang tersebut diatas ada semuanya, maka yang dapat mewarisi hanya 5 orang saja, yaitu:
1. Isteri.
2. Anak perempuan.
3. Anak perempuan dari anak laki-laki (cucu perempuan).
4. Ibu.
5. Saudara perempuan yang seibu sebapak.

Seandainya ke-25 orang yang tersebut diatas baik dari pihak laki-laki dan dari pihak perempuan
masih lengkap, maka yang paling berhak mendapatkan hak waris hanya salah seorang dari laki
isteri, ibu dan bapak, anak laki-laki dan anak perempuan.
Lalu bagaimana dengan anak yang masih dalam kandungan?
Anak yang masih dalam kandungan ibunya pun berhak mendapat hak waris dari keluarganya
yang meninggal dunia. Sebagaimana yang disabdakan oleh Nabi Muhammad SAW “ apabila
menangis anak yang baru lahir ia mendapat pusaka” HR Abu Dawud.
D.Sebab Seseorang Tidak Mendapatkan Hak Waris/Pusaka.
Ada beberapa sebab yang mejadikan seseorang itu tidak mendapat hak harta waris/pusaka dari
yang meningal dunia.
1.Hamba / Budak. Seseorang yang dijadikan budak/hamba sahaya/pembantu, tidak mempunyai
hak waris ataupun pusaka dari majikannya ataupun keluarganya. Firman Allah SWT “Abdan
mamluukan laa yaqdiru ‘alaa syaiin” QS An-Nahl : 75.
Artinya : : Hamba yang dimiliki tidak mempunyai kekuasaan atas sesuatu apapun juga” (AnNahl : 75)
2. Pembunuh. Orang yang membunuh kluarganya tidak berhak untuk mempusakai/mewarisi
harta peninggalan dari keluarganya yang dibunuh.
Sabda Rosullullah Muhammad SAW : “ Yang membunuh tidak mewarisi dari yang dibunuhnya “
( HR : Nasa’i).
3.Murtad atau telah keluar dari agama Islam/ berpindah agama. Orang yang telah keluar /
berpindah dari keyakinan agama islam, tidak berhak atas harta peninggalan keluarganya yang
masih memeluk agama islam. Sebaliknya juga, orang yang memeluk islam tidak dapat menerima
waris/pusaka dari keluarganya yang telah murtad.
Sabda Nabi Muhammad SAW : Diriwayatkan dari abu bardah, ia berkata “ Saya telah diutus
oleh Rosullullah saw kepada seorang laki-laki yang menikah dengan istri bapaknya. Nabi

menyuruh supaya saya bunuh laki-laki tersebut dan membagi hartanya sebagai harta rampasan,
sedang laki-laki tersebut murtad”
4.Orang yang tidak beragama islam (kafir). Orang kafir tidak berhak menerima pusaka dari
keluarganya yang memeluk agama islam. Demikian pula sebaliknya, orang islam tidak berhak
menerima pusaka dari keluarganya yang tidak beragama islam.
Sabda Nabi Muhamad saw : “Laa yaritsu almuslimu alkaafiru walaa alkaafiru al muslima
“.
Artinya: “ Tidak mewarisi orang islam akan orang yang bukan islam, demikian pula yang bukan
islam tidak pula mewarisi akan orang islam “.(HR. Mutafaqun alaih.)

(Untuk kelanjutan lihat judul : “Hal-hal yang dapat menghabisi
semua harta atau semua sisa dari harta pusaka/waris setelah
di bagi-bagi )