Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

BAB II
HUKUM KEUANGAN NEGARA DAN PENGADAAN BARANG/ JASA
PEMERINTAH
A. Konsep Pengelolaan Keuangan Negara
Perkembangan hukum keuangan Negara dimulai pada akhir abad kedua puluh
tatkala Negara telah berupaya mencampuri urusan/ kepentingan warganya. Pada saat
itu Negara memiliki tipe yang membedakan dengan Negara klasik yang disebut
sebagai Negara kesejaheraan modern (welfare state modern). Istilah ini digunakan
pula di Indonesia yang tercermin dalam Undang – Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
sebagai suatu Negara yang memilki kedaulatan sehari setelah diproklamasikan
kemerdekaannya. Meskipun UUD 1945 telah mengalami perubahan dengan cara
amandemen dari tahun 1999 sampai tahun 2002, ternyata tetap menganut tipe Negara
kesejahteraan modern.
Dalam rangka mewujudkan good governance dalam menyelenggarakan
pemerintahan Negara, sejak beberapa tahun lalu telah diintroduser reformasi
manajemen keuangan pemerintah. Reformasi tersebut mendapat landasan hukum
yang kuat dengan telah disahkannya Undang – undang no. 17 tahun 2003 tentang
keuangan Negara, Undang – undang no. 1 tahun 2004 tentang perbendaharaan
Negara, dan undang – undang no. 15 tahun 2004 tentang pemeriksaan pengelolaan
dan tanggung jawab keuangan Negara.


Universitas Sumatera Utara

Pengelolaan keuangan Negara tidak pernah luput dari pemberitaan media
massa dewasa ini, baik dari segi positif yakni peningkatan pendapatan sektor pajak
dan non-pajak, maupun pemberitaan dari segi negatif yakni terkait penyimpangan
pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan Negara atau lebih lazim disebut
tindak pidana korupsi. Kondisi demikian disebakan oleh banyaknya persepsi atau
pemahaman perihal konsep pengelolaan keuangan Negara tersebut, baik dari segi
pejabat publik sebagai pengelola keuangan Negara maupun dari sudut pandang
penegak hukum dan masyarakat secara umum. Akibatnya kekeliruan pun tak
tehindarkan.
1. Defenisi Keuangan Negara
a. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan
Istilah atau pendefenisian perihal keuangan Negara, sesuai hirearkinya, diatur dalam :
1. Undang – Undang Dasar 1945
Dalam kedudukan tinggi hirearki peraturan perUndang-undangan, istilah
keuangan Negara tercantum dalam pasal 23 ayat 4 Undang – Undang Dasar praamandemen yang berbunyi “Hal Keuangan Negara Selanjutnya Diatur Dengan
Undang – Undang”. Nebilik bunyi pasal 23 Undang – Undang Dasar 1945 pasca
amandemen, terjadi beberapa penambahan.
2. Undang – Undang Keuangan Negara


Universitas Sumatera Utara

Dapat dilihat pasal 23 C mengamanahkan kepada peraturan perundangan di
bawahnya, yakni Undang – Undang untuk segera melakukan pengaturan terkait
dengan pengelolaan hak dan kewajiban. Amanah ini dituangkan dalam Undang –
Undang Nomor 17 Tahun 2003 Tentang Keungan Negara. Di samping itu dalam
dictum Undang – Undang tersebut juga disebutkan latar belakang penyelenggaraan
pemerintahan Negara untuk mewujudkan tujuan bernegara yang menimbulkan hak
dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang. 38
Defenisi keuangan Negara menurut Undang – Undang Nomor 17 Tahun 2003
adalah 39 “semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.”
Dengan demikian pengertian keuangan Negara di atas meliputi hal – hal
sebagai berikut : 40
a) Hak Negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang,
dan melakukan pinjaman;
b) Kewajiban Negara untuk melakukan tugas layanan umum pemerintahan
Negara dan membayar tagihan pihak ketiga;

c) Penerimaan Negara;
d) Pengeluaran Negara;
38

Soepomo, Pemahaman Keuangan Negara, http://www.djkn.depkeu.go.id/ di unduh pada tanggal
16 Sepetember 2014
39
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
40
Soepomo, Op.Cit.

Universitas Sumatera Utara

e) Penerimaan Daerah;
f) Pengeluaran Daerah;
g) Kekayaan Negara/ kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain
berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak – hak lain yang dapat
dinilai dengan uang termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan
Negara; 41
h) Kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka

penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/ atau kepentingan umum;
i) Kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang
diberikan pemerintah.
Pendekatan yang digunakan dalam meumuskan keuangan Negara pada
Undang – Undang nomor 17 Tahun 2003 adalah dari sisi objek, subjek, proses, dan
tujuan.
Dari sisi objek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi semua hak
dan kewjiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kebijakan dan
kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan Negara yang

41

Menurut Arifin P. Soeria Atmadja dalam Format Fungsi Publik Pemerintah dan Badan-Badan
Hukum, bahwa BUMN/BUMD itu merupakan badan hukum perdata yang tidak mempunyai
kewenangan publik. Kekayaan Negara/daerah yang menjadi modal dalam bentuk saham dari badan
usaha tersebut tidak lagi merupakan kekayaan Negara/daerah tetapi telah berubah status hukumnya
menjadi kekayaan badan usaha tersebut (terjadi transformasi hukum atas keuangan publik). Begitu
pula dengan pejabat pemerintah yang duduk sebagai pemegang saham atau komisaris berkedudukan
hukum sama dengan masyarakat biasa, yang berarti imunitas publiknya sebagai penguasa tidak
berlaku lagi dan kepadanya tunduk dan berlaku sepenuhnya hukum privat.


Universitas Sumatera Utara

dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uan, maupun barang yang dapat
dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Dari sisi subjek, yang dimaksud dengan keuangan Negara meliputi seluruh
objek sebagaiman tersebut di atas yang dimiliki Negara dan atau dikuasai oleh
pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan Negara/ daerah, dan badan lain
yang ada kaitannya dengan keuangan Negara.
Dari sisi proses, keuangan Negara mencakup seluruh rangkaian kegiatan yang
berkaitan dengan pengelolaan objek sebagaimana tersebut di atas mulai dari
perumusan

kebijakan

dan

pengambilan

keputusan


sampai

dengan

pertanggungjawaban.
Dari sisi tujuan, keuangan Negara meliputi seluruh kebijakan, kegiatan dan
hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan atau penguasaan objek
sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan Negara. 42
3. Undang – Undang Badan Pemeriksa Keuangan
Sebagaimana amanah pasal 23 ayat (5) UUD 1945 pra-Amandemen, maka
Badan Pemeriksa Keuangan didudukkan pada posisi dan fungsinya sebagai suatu
Badan Pemeriksa Keuangan Negara yang dituangkan dalam Undang – Undang No. 5
Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

42

Penjelasan Umum angka 3 Undang-Undang No. 17 Tahun 2003.

Universitas Sumatera Utara


Perubahan ketiga Undang – Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 merupakan salah satu reformasi atas ketentuan pasal 23 ayat (5) tentang Badan
Pemeriksa Keuangan telah meperkokoh keberadaan dan kedudukan BPK yaitu
sebagai satu lembaga Negara yang bebas dan mandiri. Kedudukan BPK sebagai
lembaga Negara pemeriksa keuangan Negara perlu dimantapkan disertai dengan
memperkuat peran dan kinerjanya. Kemandirian dan kebebasan dari ketergantungan
kepada pemerintah dalam hal kelembagaan, pemeriksaan, dan pelaporan sangat
diperlukan oleh BPK agar dapat melaksanakan tugas yang diamanatkan oleh Undang
– Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 43 Terkait reformasi atas
ketentuan pasal 23 ayat (5), Undang – Undang No. 5 tahun 1973 tentang Badan
Pemeriksa

Keuangan

sudah

tidak

sesuai


dengan

perkembangan

system

ketataNegaraan, baik pada pemerintahan pusat maupun pemerintahan daerah, 44 maka
dibentuklah Undang – Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai pengganti.
Istilah mengenai keuangan Negara dicantum dalam pasal 1 angka 7 Undang –
Undang No. 15 Tahun 2006 sebagai “semua hak dan kewajiban Negara yang dapat
dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik Negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut”.
4. Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

43
44

Penjelasan Umum UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Diktum menimbang butir c UU No. 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa Keuangan.

Universitas Sumatera Utara

Undang – Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dituangkan dalam
Undang – Undang No. 3 Tahun 1971 sebagaimana telah diubah oleh Undang –
Undang No. 31 Tahun 1999 jo Undang – Undang No. 20 Tahun 2001.
Istilah keuangan Negara tercantum dalam undang – undang ini antara lain
pasal 2 ayat (1) dan pasal 3. Adapun pengertian perihal keuangan Negara
didefenisikan pada penjelasan umum Undang – Undang tersebut, yakni “ seluruh
kekayaan Negara dalam bentuk apapun yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan
termasuk di dalamnya segala bagian kekayaan Negara dan segala hak dan
kewajiban yang timbul karena: (a) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan
pertanggungjawaban pejabat lembaga Negara, baik tingkat pusat maupun di daerah;
(b) berada dalam penguasaan, pengurusan, dan pertanggungjawaban Badan Usaha
Milik Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, yayasan, badan hukum, dan perusahaan
yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak
ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.”
b. Berdasarkan Pendapat Ahli Hukum di Indonesia
Terdapat beberapa ahli hukum di Indonesia memberikan kontribusi pemikiran

terhadap tatanan hukum keuangan publik, khususnya terhadap hukum tentang
keuangan Negara, antara lain: 45

45

Berbagai doktrin tersebut disarikan dari Arifin P. Soeria Atmadja, Keuangan Publik dalam Perspektif
Hukum_Praktik dan Kritik, Jakarta, Badan Penerbit Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005, serta
resume perkuliahan Hukum Keuangan Publik pada program Magister Hukum Ekonomi, Universitas
Indonesia.

Universitas Sumatera Utara

1. Arifin. P. Soeria Atmadja
Penafsiran dilakukan dengan beberapa metode penafsiran terhadap pengertian
dan ruag lingkup keuangan Negara pra dan pasca amandemen UUD 1945. Adapun
metode penafsiran yang digunakan yaitu metode interpretasi teleologis (teleologische
interpretatie), 46 disamping interpretasi sistematik (systematische interpretative),
interpretasi gramatikal (grammaticale interpretatie), dan interpretasi sejarah
(historische interpretatie). Keuangan Negara dapat didefiniskan secara garis besar
dalam dua makna yaitu dalam arti sempit dan arti luas, tergantung dari sudat pandang

yang digunakan.
Pertama, dalam arti sempit. Sudut pandang yang digunakan ditinjau dari
pengurusan dan/atau pengelolaan serta pertanggungjawaban sebagaimana diatur
antara lain pada ICW, Undang-Undang tentang APBN dan Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara. Keuangan Negara adalah urat nadi Negara, tanpa uang
Negara tidak dapat menjalankan hidupnya. Keuangan dari rumah tangga Negara ini
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Adapun
hakikat atau falsafah APBN itu menurut Rene Stourm adalah kedaulatan. Pasal 23
ayat (1) UUD 1945 pra-Amandemen memiliki hak begrooting Dewan Perwakilan

46

Dalam kalangan ilmuwan hukum ada yang tidak setuju penggunaan metode interpretasi teleologis
karena didasarkan atas kehendak sendiri dari yang menginterpretasikan, bukan dari kehendak
pembuat Undang-Undang, sehingga dianggap tidak objektif. Akan tetapi, Arifin Soeria Atmadja tetap
berpendapat metode interpretasi teleologis tetap dapat dibenarkan sepanjang menggunakan logika
dan bersamaan penggunaannya dengan metode interpretasi lainnya. Metode interpretasi teleologis
harus pula dikaitkan dengan pendekatan badan hukum yang merupakan subjek hukum yang
mempunyai hak dan kewajiban.

Universitas Sumatera Utara

Rakyat (DPR), yang menyatakan bahwa dalam hal menetapkan pendapatan dan
belanja, kedudukan DPR lebih kuat dari pemerintah. Hal ini tanda kedaulatan rakyat.
Pertanggungjawaban Keuangan Negara dapat dilihat dari dua pandangan,
yakni secara horizontal dan vertikal. Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara
horizontal

adalah

pertanggungjawaban

pelaksanaan

APBN

yang

diberikan

pemerintah kepada DPR, sedangkan Pertanggungjawaban Keuangan Negara secara
vertikal adalah pertanggungjawaban keuangan yang dilakukan oleh setiapotorisator
atau ordonator dari setiap Kementerian atau Lembaga Negaranon-kementerian yang
menguasai bagian anggaran. Tampak dari konseppertanggungjawaban tersebut di atas
bahwa pertanggungjawaban atas Keuangan Negara merupakan pertanggungjawaban
atas pelaksanaan APBN.
Terkait pertanggungjawaban tersebut di atas, tersirat pula pada pasal 2 ayat
(1) dan (2) Undang-Undang No. 15 Tahun 1973 tentang Badan Pemeriksa Keuangan,
bahwa apa yang disebut sebagai tanggung jawab pemerintah tentang keuangan
Negara adalah APBN.Definisi dalam arti sempit hanya meliputi setiap badan hukum
yang berwenang mengelola dan mempertanggungjawabkannya.
Kedua, karena sifat plastis dari definisi Keuangan Negara yang ada maka
keuangan Negara pun dapat didefinisikan dalam arti luas. Sudut pandang yang
digunakan ditinjau dari sudut pemeriksaan dan/atau jangkauan ruang lingkup
pengawasan/pemeriksaan atau dengan kata lain apabila pendekatannya dilakukan
dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui

Universitas Sumatera Utara

sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian
keuangan Negara itu adalah termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam
APBN, APBD, BUMN serta BUMD.
Pengertian keuangan Negara di atas sebagai hasil amandemen ketiga UUD
1945 atas pasal 23 dan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 yang mendistorsi
pengertian keuangan Negara menjadi kabur dan cenderung mereduksi pengertian
keuangan daerah, keuangan BUMN (Persero) dan BUMD, bahkan keuangan badan
lain yang memperoleh fasilitas dari pemerintah, dimana pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangannya telah diatur secara rinci dalam peraturan
perundang-undangan tersendiri. Distorsi arti keuangan Negara demikian hanya
mengaburkan esensi otonomi daerah dan mengurangi kemandirian yang menjadi ciri
dasar suatu badan hukum dan badan usaha.
Amandemen ketiga dan diundangkannya paket peraturan keuangan Negara
menjadi pembuka kerumitan dalam pengaturan keuangan Negara karena semua
keuangan dalam APBD dan BUMN (Persero) serta BUMD disebut sebagai keuangan
Negara, padahal sangat jelas dari sudut sistem maupun ketentuan peraturan
perundang-undangan, pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan tersebut
berbeda dengan APBN sebagai keuangan Negara. Dengan demikian, secara tegas dari
segi yuridis dan fungsinya sangat berbeda antara Keuangan Negara, keuangan daerah
maupun keuangan BUMN (Persero) dan BUMD.

Universitas Sumatera Utara

BUMN (Persero) menjadi tidak jelas karena BUMN (Persero) masuk dalam
tataran hukum publik, padahal berdasarkan Pasal 11 Undang-Undang No. 19 tahun
2003 tentang BUMN, pengelolaan BUMN (Persero) dilakukan dengan UndangUndang No. 1 Tahun 1995 (kini Undang-Undang No. 40 Tahun 2007) tentang
Perseroan Terbatas dan peraturan pelaksanaannya.
Kondisi demikian pun telah diadopsi oleh pasal 6 ayat (1) Undang-Undang
No. 15 Tahun 2006 yang menyatakan bahwa “BPK bertugas memeriksa pengelolaan
dan tanggung jawab Keuangan Negara yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat,
Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah, dan lembaga atau
badan lain yang mengelola Keuangan Negara.” Secara yuridis, pemberian fungsi
pemeriksaan BPK untuk memeriksa pengelolaan keuangan Negara melalui pasal 23E
ayat (1) UUD 1945 justru melemahkan kedudukannya sebagai lembaga Negara.
Apabila mendasarkan pada konsep hukum administrasi Negara, BPK telah berubah
dari bentuk organisasi Negara menjadi organisasi administrasi Negara.
2. A. Hamid. S. Attamimi
Penafsiran dilakukan atas pasal 23 UUD 1945 pra-amandemen. Untuk dapat
menentukan apakah kata-kata keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam ayat
(5) pasal 23 UUD 1945 tersebut harus diartikan APBN semata-mata ataukah APBN
“plus” lainnya. Terdapat 2 (dua) konstruksi hukum yang dapat digunakan untuk
menjelaskan definisi keuangan Negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945.

Universitas Sumatera Utara

Konstruksi pertama: Ayat (1) menetapkan APBN harus ditetapkan dengan
Undang – Undang. Ayat (5) menetapkan BPK diadakan untuk memeriksa tanggung
jawab pemerintah tentang Keuangan Negara. Penjelasan ayat (5) menyebutkan untuk
memeriksa tanggung jawab pemerintah tentang tata mempergunakan uang belanja
yang sudah disetujui DPR itu, perlu adanya BPK. Jadi, meskipun di dalam ayat (5)
sendiri tidak disebut APBN melainkan hanya keuangan Negara, tetapi penjelasan ayat
tersebut menunjukan kepada APBN. Dengan demikian, yang dimaksud dengan
keuangan Negara adalah APBN.
Konstruksi kedua: Ayat (1) menyatakan APBN harus ditetapkan dengan
Undang – Undang dan ayat (4) menetapkan hal keuangan Negara harus diatur dengan
Undang-Undang. Pengertian keuangan Negara dan APBN perlu dikaji kembali sebab
apabila keduanya memiliki arti yang sama tidak perlu diatur dalam ayat terpisah.
Pengertian kata ditetapkan pada ayat (1) berarti Undang – Undang tersebut bersifat
formal, sedangkan pada ayat (4) pengertian diatur berarti Undang – Undang tersebut
bersifat material disamping formal.
Penjelasan ayat (5) menyebutkan bidang konkret tanggung jawab Pemerintah
dalam keuangan Negara (cara mempergunakan uang belanja Negara yang sudah
disetujui DPR agar sepadan dengan Undang – UndangAPBN). Karena ayat (5) yang
menyebut tentang “Keuangan Negara” itu oleh penjelasannya disebut bidang konkret
penggunaan APBN, dalam pengertian keuangan Negara sebagaimana terdapat dalam
ayat (4) dan demikian juga dengan ayat (5) dapat ditarik kesimpulan lebih lanjut yang

Universitas Sumatera Utara

dimaksud dengan keuangan Negara ialah antara lain APBN. Dengan kata lain,
pengertian keuangan Negara meliput i APBN “plus” lainnya.
Pendapat yang menggunakan penafsiran historis dan integralistik ini dikaitkan
dengan penjelasan pasal 2 dan 3 Undang-Undang No. 5 Tahun 1973 tentang BPK.
Penjelasan pasal ini mengartikan keuangan Negara tidak hanya APBN melainkan
juga APBD dan anggaran perusahaan milik Negara. Dilihat dari teknik perundangundangan, dicantumkannnya pengertian tentang keuangan Negara di dalam
penjelasan Undang – Undang tersebut adalah tidak tepat, karena semestinya berada
pada batang tubuh. Namun secara substansi pengertian tersebut dipandang tepat sebab
pengawasan APBD yang dilaksanakan oleh DPRD merupakan pengawasan oleh
pemerintah daerah terhadap dirinya sendiri. Begitu pula dengan pengawasan yang
dilakukan oleh Satuan Pengawasan Internal (SPI) suatu perusahaan milik Negara
yang praktis merupakan bagian dari badan usaha bersangkutan.
Sehingga pendapat ini memandang bahwa keuangan Negara pada hakikatnya
adalah seluruh kekayaan dan/atau asset Negara.
2. Anggaran dan Pendapatan Belanja Negara
Dalam pasal 23 ayat (1) UUD 1945 pasca Amandemen dinyatakan bahwa
APBN

merupakan

perwujudan

dari

pengelolaan

keuangan

Negara

yang

pelaksanaannya diperuntukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.47Undang –

47

Bunyi pasal tersebut dikritik oleh Arifin Soeria Atmadja sebagai suatu retorika dangkal dan
bombastis yang tidak bermakna dari sudut filosofi anggaran. Hal demikian disebabkan pada dasarnya

Universitas Sumatera Utara

Undang keuangan Negara mendefinisikan APBN sebagai rencana keuangan tahunan
pemerintahan Negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 48
Dalam hukum tentang keuangan Negara telah ditentukan pihak – pihak yang
terkait dengan pengelolaan keuangan Negara tersebut beserta tanggung jawab yang
berbeda-beda sesuai dengan kewenangan dan kewajibannya masing – masing.
Pengelolaan keuangan Negara dalam hukum tentang keuangan Negara
memiliki berbagai sebutan atau penamaan yang berbeda-beda. Perbedaan penyebutan
atau penamaan bagi pegelola keuangan Negara didasarkan pada kewenangan dan
kewajiban yang diberikan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Para pihak yang terlibat dalam pengelolaan anggaran keuangan Negara
meliputi Presiden, Menteri Keuangan, Pimpinan para Lembaga/Menteri, Bendahara,
dan Pegawai Non-Bendahara.
Bidang

pengelolaan

keuangan

Negara

yang

demikian

luas

dapat

dikelompokan dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter
dan sub bidang pengelolaan kekayaan Negara yang dipisahkan.
Dalam

rangka

mendukung

terwujudnya

good

governance

dalam

penyelenggaraan Negara, pengelolaan keuangan Negara perlu diselenggarakan secara
profesional, terbuka, dan bertanggungjawab sesuai dengan aturan pokok yang telah

APBN bukan sekedar perwujudan pengelolaan keuangan Negara. Akan tetapi, mempunyai makna
yang lebih dalam lagi, yakni merupakan wujud kedaulatan rakyat yang tercermin dari hak budget DPR
yang tidak dimiliki oleh MPR (dahulu) sekalipun. Soeria Atmadja, Loc.Cit.,hlm. 73.
48
Pasal 1 angka 7 UU No. 17 Tahun 2003.

Universitas Sumatera Utara

ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar. Sesuai dengan amanat pasal 23 C UUD
1945, Undang – Undang tentang keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam Undang – Undang Dasar tersebut ke dalam asas – asas
umum yang meliputi baik asas – asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan
keuangan Negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan, dan asas
spesialitas maupun asas – asas baru sebagai pencerminan best practises (penerapan
kaidah – kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan Negara, antara lain : 49
-

Akuntabilitas berorientasi hasil

-

Profesionalitas

-

Proporsionalitas

-

Keterbukaan dalam pengelolaan keuangan Negara

-

pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri

Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip-prinsip pemerintahaan daerah sebagaimana telah dirumuskan dalam Bab VI
UUD 1945. Dengan dianutnya asas – asas umum tersebut di dalam Undang – Undang
tentang keuangan Negara, pelaksanaan Undang – Undang ini selain menjadi acuan
dalam reformasi manajemen keuangan Negara, sekaligus dimaksudkan untuk
memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia. 50

49
50

Penjelasan UU No.17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
Ibid.

Universitas Sumatera Utara

Sebelum diberlakukannya Undang – Undang No. 17 Tahun 2003, Belanja
Negara dibedakan atas pengeluaran rutin 51 dan pengeluaran pembangunan 52(dualbudgeting). Pemisahan anggaran rutin dan anggaran pembangunan tersebut semula
dimaksudkan untuk menekankan arti pentingnya pembangunan, namun dalam
pelaksanaannya telah menunjukan banyak kelemahan. 53
Pertama, duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena
kurang tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek,
khususnya proyek – proyek non-fisik. Kedua, penggunaan dual budgeting mendorong
dualisme dalam penyusunan daftar perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena
untuk satu jenis belanja, ada MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK
lain yang ditetapkan untuk belanja pembangunan. Ketiga, analisis belanja dan biaya
program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin tidak dibatasi pada
pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran pembangunan tidak dibatasi
pada pengeluaran untuk investasi. Keempat, proyek yang menerima anggaran
pembangunan diperlakukan sama dengan satuan kerja, yaitu sebagai entitas
akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara. Jika proyek sudah selesai atau
dihentikan tidak ada kesinambungan dalam pertanggungjawaban terhadap asset dan
51

Pengeluaran rutin didefinisikan sebagai pengeluaran untuk keperluan operasional untuk
menjalankan kegiatan rutin pemerintahan. Pengeluaran rutin mencakup belanja pegawai, belanja
barang, pembayaran bunga, subsidi dan belanja lain-lain.
52
Pengeluaran pembangunan didefinisikan sebagai pengeluaran yang menghasilkan nilai tambah
aset, baik fisik maupun non fisik, yang dilaksanakan dalam periode tertentu (pengeluaran berkaitan
dengan proyek-proyek yang meliputi belanja modal dan belanja penunjang).
53
Anggito Abimanyu, Format Anggaran Terpadu Menghilangkan Tumpang Tindih, Kompas, Mei 2004
dalam Suminto, Pengelolaan APBN dalam Sistem Manajemen Keuangan Negara, Makalah sebagai
bahan penyusunan Budget in Brief 2004 (Ditjen Anggaran, Depkeu).

Universitas Sumatera Utara

kewajiban

yang

dimiliki

proyek

tersebut.

Hal

ini

selain

menimbulkan

ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan pemerintahan, juga menyebabkan
ketidakjelasan keterkaitan antara output /outcome yang dicapai dengan penganggaran
organisasi.
Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh Undang – Undang No.17 Tahun
2003, maka sistem penganggaran mengacu pada praktek – praktek yang berlaku
secara internasional. Menurut GFS (Government Financial Statistics) Manual 2001,
sistem penganggaran belanja Negara secara implisit menggunakan sistem unified
budget, dimana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan,
sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. 54
Dalam melaksanakan perubahan format dan struktur belanja Negara telah
dilakukan dengan melakukan penyesuaian – penyesuaian, namun tetap mengacu GFS
Manual 2001 dan Undang – Undang No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting
berkaitan dengan perubahan dan penyesuaian format dan struktur belanja Negara
yang baru antara lain:
Pertama, dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja Negara tetap
dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos
belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke dalam
salah satu pos belanja Negara sebagaimana diatur dalam Undang – Undang No.17
Tahun 2003; Kedua, semua pengeluaran Negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam
54

Ibid., hlm.25

Universitas Sumatera Utara

format dan struktur baru diklasifikasikan sebagai subsidi; dan Ketiga, semua
pengeluaran Negara yang selama ini “mengandung‟ nama lain – lain yang tersebar di
hampir semua pos belanja Negara, dalam format dan struktur baru diklasifikasikan
sebagai belanja lain – lain. 55
Sistem administrasi keuangan Negara sesuai dengan Undang – Undang No.
17 Tahun 2003 tentang Keuangaan Negara dan Undang – Undang No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan Negara, mengatur pemisahan fungsi pejabat pengelola
keuangan Negara yang terdiri dari : Menteri Keuangan selaku manajer Keuangan
Negara dan Bendahara Umum Negara (BUN), serta pimpinan kementerian/lembaga
selaku pengguna anggaran.
Struktur organisasi dan pejabat yang berwenang dalam pengelolaan Keuangan
Negara dapat digambarkan sebagai berikut :
Menteri Teknis

Menteri Keuangan

Selaku Pengguna Anggaran

Selaku Bendahara Umum Negara
(BUN)

Pembuat
Komitmen

55

Pengujian &
Pembebanan

Perintah
pembayaran

Pengujian &
Pembebanan

Perintah
Pencairan Dana

Ibid., hlm.26.

Universitas Sumatera Utara

Pengurusan Administrasi

Pengurusan Komptabel

Administrasi beheer

Comptabel beheer

Sumber : Pusdiklatwas BPKP, Pedoman Pelaksanaan Anggaran II, Diklat Pembentukan Auditor
Ahli, Edisi VI, 2010, hlm. 11

Tabel 2.1
Struktur Organisasi Pengelola Keuangan Negara
Anggaran secara teknis dilaksanakan oleh kementerian dan lembaga terkait
dengan menteri/pimpinan lembaga sebagai pengguna anggaran/pengguna barang.
Pada awal tahun anggaran, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran
menetapkan para pejabat di lingkungannya. Pejabat tersebut diantaranya yang akan
memverifikasi pelaksanaan pembayaran dalam proses Pengadaan Barang/Jasa
pemerintah. Pejabat – pejabat dimaksud ditunjuk sebagai :
1) Kuasa Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Barang (KPA/KPB);
2) Pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan Negara (PNBP);
3) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran
belanja Negara; 56
4) Pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran;

56

Pejabat ini dilarang merangkap pejabat sebagaimana disebutkan dalam angka 4), 5) dan 6).

Universitas Sumatera Utara

5) Bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran penerimaan;
6) Bendahara pengeluaran untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran belanja.
Selanjutnya

merujuk

pada

Peraturan

Menteri

Keuangan

Nomor

606/PMK/2004 tentang Pedoman Pembayaran dalam Pelaksanaan APBN tahun 2005
dan Surat Edaran Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor SE-050/PB/2004 bahwa
menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran menerbitkan keputusan tentang
penunjukan : 57
1) Kuasa Pengguna Anggaran;
2) Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran;
3) Bendahara pengeluaran;
4) Pejabat yang diberi kewenangan untuk menerbitkan dan menandatangani SPM. 58

B. KONSEP DASAR PENGADAAN BARANG/ JASA PEMERINTAH
Pembelanjaan Negara yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa meliputi
jumlah yang sangat besar. Ini menjadi salah satu alasan penting bagi setiap
pemerintah dalam menata perekonomian nasional khususnya penyusunan sistem

57

Ibid., hlm. 9
SPM singkatan dari Surat Perintah Membayar yaitu dokumen yang diterbitkan oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk untuk mencairkan dana yang
bersumber dari DIPA atau dokumen lain yang dipersamakan.
58

Universitas Sumatera Utara

pengadaan nasional.Dalam kaitan inilah dibutuhkan landasan untuk membangun
aturan dan prosedur yang diperlukan dalam rangka menciptakan sistem pengadaan
barang yang tidak saja efisien tetapi juga berorientasi pada perlindungan keamanan
publik (public safety).
1. Beberapa Ketentuan Internasional Tentang Pengadaan Barang/ Jasa
Pemerintah 59
Badan



badan

internasional

memberi

perhatian

serius

terhadap

pengembangan prinsip dan aturan hukum dalam pengadaan oleh pemerintah.
Disamping GPA sebagai plurilateral agreement yang merupakan bagian dari WTO
dan model hukum UNCITRAL, Bank Dunia juga menerbitkan pedoman terkait
Pengadaan Barang/Jasa, yakni Guidelines Procurement Under IBRD Loans and IDA
Credits serta Guidelines ASelection and Employment of Consultants by World Bank
Borrowers.
Diperhatikan pula Directive Uni Eropa yang merupakan state of the art dalam
bidang pengadaan barang. Dalam keempat bahan hukum ini prinsip transparansi
diletakan sebagai dasar yang utama dalam penyusunan setiap aturan dan prosedur.
a. Agreement on Government Procurement (GPA 1994)
Sejarah lahirnya GPA dimulai dengan diskusi panjang International Trade
Organization (ITO) pada tahun 1946 untuk membahas suatu kesepakatan
59

Pada sub bab tulisan ini disarikan dari Simamora, Loc.Cit., serta Tugas Akhir (Tesis) Teguh Arifiyadi,
Analisis Hukum Pengadaan Barang dan Jasa Secara Elektronik (Electronic Procurement) pada Instansi
Pemerintah, Program Studi Hukum Ekonomi, FHUI, 2010.

Universitas Sumatera Utara

internasional tentang Pengadaan Barang/Jasa oleh pemerintah. Penggagas usulan ini
adalah Amerika Serikat yang mengusulkan pemberlakuakn prinsip – prinsip umum
non-diskriminasi dalam hal perdagangan dan kontrak. Namun usulan tersebut
kemudian ditolak oleh para anggota yang hadir karena dianggap tidak berpihak
kepada kebijakan perdagangan nasional mereka. 60
Usaha untuk menyusun persetujuan internasional dalam bidang pengadaan
oleh pemerintah kemudian dimulai lagi oleh the Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD) sejak awal tahun 1960-an. Setelah melakukan
diskusi yang cukup panjang anggota-anggota OECD menghasilkan rancangan yang
disebut the Draft Instrument on Governement Purchasing Policies, Procedures and
Practices pada tahun 1973. Rancangan inilah yang kemudian menjadi bahan baku
bagi GATT dalam mempersiapkan rancangan persetujuan tentang pengadaan oleh
pemerintah. Melalui negosiasi yang cukup lama akhirnya dalam putaran Tokyo tahun
1978 rancangan ini mencapai hasil final. Selanjutnya melalui negosiasi oleh 19
Negara anggotanya, forum GATT menyetujui untuk menjadi penandatangan GPA
pada tahun 1979. 61
GPA lebih lanjut memperoleh penyempurnaan sebagai hasil dari putaran
Uruguay pada tahun 1994 yang kemudian dinegosiasikan kembali pada tahun 2007.
60

Patrick F.J Macrory, Arthur E. Appleton, dan Michael G. Plummer, The World Trade Organization:
Legal, Economic And political Analysis-Volume I, E-book by Springer. Chapter 23: The Agreement on
Government Procurement. P. 1125
61
Inbom Choi, Long and Winding Road To The Government Procurement Agreement: Korea’s
Accesion Experience, Seminar paper on East Asia Options for WTO 2000 Negotiations, held ini
Malaysia, July 19 – 20, 1999, p. 5-6

Universitas Sumatera Utara

GPA akhirnya menjadi plurilateral agreement, dalam arti persertujuan ini tidak seperti
persetujuan lain yang menjadi bagian yang menyatu dari GATT yang mengikat
seluruh

anggota

WTO,

GPA

hanya

mengikat

Negara



Negara

yang

menandatanganinya. Cakupan persetujuan ini meliputi pula pengadaan oleh
pemerintah daerah (lokal), badan publik dan perusahaan Negara yang berada di
bawah kontrol atau pengaruh pemerintah. Objek yang diatur tidak saja menyangkut
pengadaan barang dan jasa, tetapi juga jasa konstruksi.
Prinsip dasar yang terdapat dalam GPA adalah transparansi dan nondiskriminasi. Persetujuan ini mewajibkan para anggotanya untuk menciptakan
transparansi dalam prosedur pengadaan guna menjamin tercapainya persaingan
terbuka dan sehat di antara para pemasok. Panitia pengadaan (procuring entity)
dengan demikian diwajibkan untuk menyebarluaskan informasi secara terbuka dalam
proses pengadaan secara keseluruhan.

Panitia

ini

harus

mempublikasikan

pengumuman tentang pengadaan ini yang di dalamnya termuat tanggal batas akhir
(closing date), syarat – syarat dan ketentuan kontrak (terms and conditions of the
contract) berikut rincian spesifikasi teknis dan prosedur dalam hal terjadi
penyimpangan dalam proses tender dan prosedur guna penyampaian keberatan
berikut penyediaan informasi yang terkait dengan setiap kontrak yang akan dibuat.
Hal – hal yang terkait dengan transparansi itu di samping dapat dijumpai
dalam Artikel XVII dengan titel Tranparansi (Transparency), juga dalam Artikel
XVIII, Artikel XIX dan Artikel XX. Tiga pasal yang terakhir ini merupakan

Universitas Sumatera Utara

penjabaran lebih lanjut dari prinsip transparansi yang ditegaskan dalam Artikel XVII.
Substansi yang diatur di dalamnya meliputi kewajiban lembaga (pemerintah) dalam
kaitan dengan publikasi pengumuman, kewajiban anggota untuk mempublikasikan
Undang – Undang, regulasi, keputusan pengadilan, ketentuan administratif dan setiap
prosedur yang diperlukan termasuk pula klausula baku yang akan dituangkan dalam
kontraknya. Di samping itu, Negara anggota diwajibkan juga untuk memberikan
aturan yang terkait dengan prosedur pengajuan keberatan.
Yang menarik dari GPA ini adalah pemberian perlakuan khusus dalam hal
prinsip non-diskriminasi untuk Negara-Negara berkembang (special and differential
treatment for develpoing country). Bahkan terdapat pula klasul tentang perlakuan
khusus bagi Negara terbelakang (the last-develpoed country). 62
b. Model Hukum UNCITRAL
UNCITRAL merupakan Komisi PBB yang dibentuk oleh Majelis Umum
(General Assembly) pada tanggal 17 Desember 1966 melalui Resolusi 2205 (XXI).
Tujuannya untuk melakukan harmonisasi dan unifikasi aturan dalam rangka
memperlancar perdagangan internasional, antara lain dengan cara mengurangi
berbagai hambatan (obstacles) dan kesenjangan peraturan (disparities) di masing –
masing Negara anggota PBB. Dalam perjalanannya UNCITRAL berkembang
menjadi legal body PBB yang berwenang menangani berbagai isu terkait

62

Artikel 7 GPA, didownload dari http://www.wto.org/english/tratop_e/gproc_e/gp_gpa_e.htm pada
tanggal 29 September 2014

Universitas Sumatera Utara

perdagangan internasional. Organ tertinggi dari UNCITRAL adalah the Commission,
terdiri dari perwakilan Negara – Negara anggota yang hadir dalam Sidang
UNCITRAL, yang dilakukan setahun sekali secara bergantian di New York atau
Vienna.
Berbagai model hukum dan konvensi telah dihasilkan oleh komisi ini, dan
satu di antaranya yang terkenal adalah konvensi Wina 1980 yang lazim disebut
Convention on the International Sales of Good (CISC). Dalam kaitan dengan
pengadaan barang dan jasa, UNCITRAL juga melahirkan model hukum yakni Model
Law on Procurement of Goods, Contraction and Services (PGCS) yang diselesaikan
oleh UNCITRAL pada tanggal 15 Juni 1994. 63Seperti halnya GPA, penyusunan
model hukum ini terutama didasarkan pada pemikiran perlunya bantuan bagi Negara
– Negara dalam mengembangkan sistem pengadaan oleh pemerintah. Dari penelitian
UNCITRAL ditemukan fakta bahwa aturan tentang pengadaan di sejumlah Negara
sudah tidak sesuai dan ketinggalan jaman. Situasi ini pada akhimya menyebabkan
proses pengadaan tidak efisien dan tidak efektif, terjadi pola penyalahgunaan dan
timbul kegagalan dalam mendapatkan kualitas dan kuantitas barang dan jasa yang
sepadan dengan nilai uang yang telah dibelanjakan.
Sebagaimana nampak dari bagian pembukaannya (preamble), terdapat enam
sasaran yang ingin dicapai melalui model hukum PGCS ini. Satu di antaranya adalah

63

UNCITRAL,www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/procurement_infrastructure/1994Model.html
didownload pada tanggal 29 September 2014

Universitas Sumatera Utara

“achieving transparency in the procedures relating to procurement”. Transparansi
dalam model hukum PGCS dengan demikian adalah tujuan yang ingin dicapaidalam
proses pengadaan, karenanya transparansi kemudian dijadikan landasan dalam
menjabarkan setiap aturan dan prosedur.
Secara implisit aturan dalam PGCS juga didasarkan pada prinsip transparansi,
sebagaimana nampak misalnya dari Artikel 5 tentang akses publik terhadap dokumen
hukum, artikel 7 tentang proses prakualifikasi, artikel 14 tentang pengumunan kepada
publik menyangkut syarat – syarat kontrak pengadaan dan artikel 24 tentang
penawaran tender. Namun demikian, dari sisi substansinya model hukum ini memuat
sangat rinci aturan dan prosedur dalam pengadaan dan tersusun berdasarkan tahapan
– tahapan dari tender pengadaan barang, mulai dari pengumuman (public notice),
pemilihan metode pengadaan, penyampaian dan evaluasi tender. 64
Demikian juga aturan dalam kaitan dengan pengadaan jasa. Di samping
petunjuk untuk tujuan legislasi manakala suatu Negara menghendaki, diberikan pula
penjelasan atas bagian demi bagian dari artikel yang tertuang dalam PGCS sehingga
mempermudah penafsiran dan penerapannya.
PGCS merupakan model hukum, karenanya sekalipun yang tertuang di
dalamnya berupa prinsip dan aturan, PGCS tidak mengikat. Fungsi utamanya adalah
sebagai pedoman bagi Negara dalam merancang sistem pengadaan tetapi tidak
menutup kemungkinan diterapkannya aturan dalam PGCS dalam proses pengadaan
64

Simamora, Loc.Cit, hlm. 116

Universitas Sumatera Utara

manakala para pihak secara tegas menghendaki demikian. Model hukum ini hanya
memuat prosedur dalam kaitan dengan pemilihan pemasok atau kontraktor. Dengan
demikian di dalamnya hanya diatur hal – hal sampai pada tahapan menuju
pembentukkan kontrak. Tahapan berikutnya, yaitu pembentukkan dan pelaksanaan
kontrak tidak diatur di dalamnya. Oleh sebab itu isu yang menyangkut penerapan
kontrak, penatausahaan kontrak, pemutusan kontrak dan penyelesaian sengketa tidak
akan ditemukan dalam PGCS.
Dalam Sidang UNCITRAL ke-37 di Vienna tahun 2004, the Commisision
memutuskan bahwa UNCITRAL Model Law perlu direvisi untuk mengakomodasikan
berbagai praktek pengadaan baru yang berkembang dari kemajuan teknologi
khususnya penggunaan electronic communication maupun dari hasil reformasi
hukum di berbagai Negara seperti framework agreement dan reverse auction tanpa
meninggalkan prinsip – prinsip dasarnya yang telah disepakati sebagai best values
yaitu efisiensi, partisipasi, kompetisi, adil, integritas, dan transparan. Untuk
melakukan revisi tersebut UNCITRAL mendelegaskan kewenangannya kepada
Working Group I (Procurement) dengan mandat yang cukup luas, mulai dari
identifikasi permasalahan sampai dengan perumusan substansi pengaturannya, untuk
kemudian diajukan kepada the Commission untuk disahkan (adoption) dalam Sidang
UNCITRAL ke-42 yang akan diadakan di Vienna pada tanggal 29 Juni – 3 Juli 2009.
Apabila revisi tersebut diterima, maka akan menjadi revisi pertama sejak Model Law

Universitas Sumatera Utara

dirumuskan pada tahun 1994. Working Group I melakukan pembahasan atas isu-isu
tersebut 65pada 7-11 Desember 2009 lalu. 66
c. Pedoman Pengadaan Dunia
Guiedelines tentang pengadaan yang disusun oleh Bank Dunia tidak serta
merta mengatur pengadaan pada sektor pemerintah saja, melainkan juga untuk sektor
lain di luar pemerintah. Pedoman Bank Dunia pada dasarnya merupakan pedoman
yang disediakan khusus bagi debitor dan pemasok/kontraktor dalam proses
pengadaan. Hak dan kewajiban debitor dan pemasok barang dan jasa atau kontraktor
dikuasai dan tunduk pada setiap aturan dan prosedur dalam dokumen penawaran dan
kontrak yang telah ditandatangani kedua belah pihak. Sedangkan pedoman ini tidak
secara langsung mengikat kedua belah pihak.
Bank Dunia membuat dua pedoman dalam kaitan dengan pengadaan, yaitu
pedoman yang khusus untuk pengadaan barang yang disebut Guidelines Procurement
under IBRD Loans and International Development Association Credits (PILIC) dan
seleksi konsultan yaitu Guidelines Selection and Employment of Consultants by
World Bank Borrowers (SEC). Pertimbangan utama pembuatan pedoman ini adalah
dalam rangka,"... ensure that the proceeds of any loan are used only for the purposes
for which the loan was granted, with due attention to considerations of economy and
65

Lihat Possible revisions to the UNCITRAL Model Law on Procurement of Goods, Construction and
Services — a revised text of the Model Law yang dipublikasikan oleh UNCITRAL, www.uncitral.org
pada dokumen A/CN.9/WG.I/WP.71
66
Dalam pembahasan tersebut, e-procurement dijadikan sebagai salah satu tema utama dalam revisi
model hukum tersebut. Lihat Chapter VIII Other Issues point 32. Lihat juga di website Asia Pasific
Procurement Forum, http://adbprocurementforum.net/?p=543

Universitas Sumatera Utara

efficiency and without regard to political or other non-economic influences or
considerations'' 67
Apabila PILIC merupakan pedoman dalam rangka pengadaan barang yang
dilakukan debitor, maka SEC merupakan pedoman bagi bank dalam rangka seleksi
konsultan bagi kepentingan bank untuk membantu menangani berbagai jenis kegiatan
seperti pembuatan kebijakan, pembaharuan institusi, manajemen, jasa enginering atau
pengawasan konstruksi.
Substansi yang diatur dalam PILIC dan SEC tidak hanya difokuskan pada
aspek metode pengadaan dan teknis pelaksanaannya tetapi juga dimuat pedoman
tentang procurement agents dan inspection agents terutama dalam kaitan dengan
pengadaan barang yang berskala internasional, dan pedoman dalam perumusan
klausula jenis kontrak tertentu dalam kaitan dengan rekrutmen atau seleksi konsultan.
SEC bahkan juga memberikan pedoman dalam seleksi konsultan dalam kapasitas
sebagai pribadi sekalipun hanya dapat diterapkan untuk kasus-kasus yang sangat
terbatas.
d. Directive Uni Eropa
Dalam rangka penyelengaraan pasar tunggal, the EC Treaty dimaknai sebagai
bagian integral dari sistem hukum Negara-Negara anggota dan karenanya harus
diterapkan, termasuk dalam penanganan perkara di pengadilan. Beberapa instrumen
hukum baik dalam bentuk aturan umum (principles) maupun legislasi (directive fan
67

Simamora, Op.cit., hlm.120

Universitas Sumatera Utara

regulasi) untuk berbagai bidang telah diciptakan untuk pelaksanaan kegiatan pasar
tunggal itu. Dalam bidang kontrak, EC telah melahirkan prinsip-prinsip umum
sebagaimana tertuang PECL. Sedangkan bidang-bidang yang diatur melalui legislasi
di antaranya:
1) Directive 85/374/EEC on Liability for Defective Products
2) Directive 86/653/EEC on Self-Employed Commercial Agents
3) Directive 93/13/EEC on Unfair Terms In Consumer Contracts
4) Directive 99/44/EC on Sale of Consumer Goods
5) Regulation (EC) No. 44/2001 on Jurisdiction in Civil and Commercial Matters.
Directive lain yang dihasilkan oleh Uni Eropa adalah directive bidang pengadaan
yang tertuang dalam Directive of the European Parliament and of the Council yang
diterbitkan pada tanggal 31 Maret 2004 dan berlaku sejak 30 April 2004. Terdapat dua
directive dalam hal ini, yakni:

1) Directive 2004/17/EC on Coordinating the Procurement Procedures of Entities
Operating in the Water, Energy, Transport and Postal Services Sectors- dan,
2) Directive 2004/18/EC on The Coordination of Procedures for the Award of Public
Works Contracts, Public Supply Contracts and Public Service Contracts.
Kedua direcitve ini disusun atas dasar putusan pengadilan dalam Court of
Justice, terutama yang terkait dengan kriteria dalam pemberian kontrak oleh pejabat
yang berwenang. Jika Directive No 17 terutama ditujukan pada pengaturan mengenai

Universitas Sumatera Utara

prosedur pengadaan bagi lembaga-lembaga yang bergerak di sektor air, energi,
transportasi dan jasa pos maka Directive No. 18 dipusatkan pada pengadaan yang
menyangkut konstruksi, barang dan jasa.
2. Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah di Indonesia
Pengaturan perihal Pengadaan Barang/ Jasa oleh Pemerintah di Indonesia
melalui beberapa tahap/ fase. Kondisi ini disebabkan berkembangnya tata cara
dan/atau mekanisme Pengadaan Barang/ Jasa Pemerintah yang keseluruhannya
dilaksanakan demi menjunjung prinsip adil dan transparan yang menjadi prinsip
utama dalam Pengadaan Barang/ Jasa.
Dalam tulisan ini pembagian periode didasarkan pada lahirnya peraturan
perihal Pengadaan Barang/ Jasa itu sendiri. Khususnya terhadap lahirnya peraturan –
peraturan fundamental yang mendasari perubahan pada setiap periodenya.
a. Periode 1973 – 1999
Pada periode ini pengaturan mengenai Pengadaan Barang/ Jasa bermula dari
Keputusan Presiden No. 11 Tahun 1973 yang merupakan pelaksanaan dari Undang –
Undang No. 3 Tahun 1973 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun
1973/1974. Pengaturan mengenai Pengadaan Barang/ Jasa tidak berdiri atas satu
regulasi khusus, melainkan selalu disisipkan pada peraturan yang mengatur tentang
pelaksanaan APBN.

Universitas Sumatera Utara

Keputusan Presiden yang terkait dengan Pengadaan Barang/ Jasa pemerintah
setelah Keppres No. 11 Tahun 1973 tersebut adalah :
1) Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1974 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN
Tahun Anggaran 1974/1975;
2) Keputusan Presiden No. 7 Tahun 1975 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN
Tahun Anggaran 1975/1976;
3) Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976 tentang Pedoman Pelaksanaan APBN
Tahun Anggaran 1976/1977;
4) Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1977 tentang Pelaksanaan APBN;

5) Keputusan Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN;
6) Keputusan Presiden No. 18 Tahun 1981 tentang Penyempurnaan Keputusan
Presiden No. 14A Tahun 1980 tentang Pelaksanaan APBN;
7) Keputusan Presiden No. 29 Tahun 1984 tentang Pelaksanaan APBN;
8) Keputusan Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN;
9) Keputusan Presiden No. 24 Tahun 1995 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN;
10) Keputusan Presiden No. 6 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Keputusan
Presiden No. 16 Tahun 1994 tentang Pelaksanaan APBN sebagaimana telah beberapa
kali diubah terakhir dengan Keputusan Presiden No. 8 Tahun 1997.

Universitas Sumatera Utara

Sampai dengan terbitnya Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976, sejauh yang
menyangkut pengeluaran Negara tidak mengalami banyak perubahan. Dengan
demikian aturan tentang Pengadaan Barang/Jasa pemerintah yang tertuang dalam
Keputusan Presiden No. 17 Tahun 1974 dan Keputusan Presiden No. 7 tahun 1975
pada dasarnya sama dengan apa yang tertuang dalam Keputusan Presiden No. 11
Tahun 1973 kecuali tentang batas minimal nilai pekerjaan atau pembelian barang
yang harus dilelangkan karena memang diperlukan penyesuaian berhubung kenaikan
harga tiap tahunnya. Perubahan yang signifikan adalah ketika tahun 1975 terdapat
keharusan untuk mengutamakan produksi dalam negeri dalam Pengadaan Barang/
Jasa.
Dalam Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1976 juga terdapat perubahan
menyangkut prinsip dasar dalam pengeluaran Negara terkait Pengadaan Barang/ Jasa.
Prinsip dasar yang semula hanya penghematan dan efisiensi, kemudian berkembang
menjadi 4 (empat) prinsip, yaitu : (i) penghematan dan efisiensi; (ii) pengarahan dan
pengendalian yang sesuai dengan fungsi masing-masing departemen; (iii) koordinasi,
integrasi, sinkronisasi dan simplikasi; (iv) tidak bergaya mewah. 68
Perubahan fundamental pada kurun waktu 1977 sampai dengan 1980, antara
lain :

1) Melalui Keputusan Presiden No. 12 Tahun 1977 pengaturan tentang
pengutamaan produksi dalam negeri dalam Pengadaan Barang/Jasa berkembang
menjadi lebih jelas dan diatur pula larangan perangkapan fungsi pekerjaan;
68

Pasal 10 ayat (1) Keppres Nomor 14 Tahun 1976

Universitas Sumatera Utara

2) Keputusan Presiden No. 14 Tahun 1979 menyatakan bahwa dalam pelaksanaan
pengeluaran anggaran sejauh mun gkin diusahakan standardisasi. Maksud dari
ketentuan ini adalah agar dilakukan selengkap mungkin standardisasi sekalipun
tidak dapat menjangkau setiap jenis barang dan atau pekerjaan berikut harganya.
Istilah swakelola dan penggunaan SPK termasuk dalam hubungan antara swasta
dengan swasta bermula dari Keppres ini 69namun tidak ada penjelasan lebih lanjut
dalam Keppres ini tentang apa yang dimaksud dengan SPK dan substansi apa
yang harus dimuat didalamnya.
Mengenai metode pemilihan penyedia barang/jasa telah berkembang menjadi
tiga jenis, yaitu pelelangan umum, pelelangan terbatas dan penunjukan
langsung 70
3) Mekanisme pembayaran kepada rekanan diatur lebih lengkap. Selain mewajibkan
adanya berita acara, 71 Pasal 18 ayat (14) Keputusan Presiden No. 14A Tahun
1980 menentukan bahwa jumlah pembayaran kepada pemborong/ rekanan tidak
boleh melebihi prestasi pekerjaan yang disel

Dokumen yang terkait

Tanggung Jawab Hukum Pemborong Terhadap Pemerintah dalam Kontrak Pengadaan varang/Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pada Dinas Pekerjaan Umum Kota Medan)

4 71 82

Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Orang Dan Barang Dalam Pengangkutan Udara Ditinjau Dari Undang-Undang No. 1 Tahun 2009

3 143 98

Analisis Yuridis Terhadap Tugas Dan Tanggung Jawab Notaris Sebelum Dan Sesudah Perseroan Terbatas Listing Di Pasar Modal

4 67 125

Tanggung Jawab Hukum Kuasa Pengguna Anggaran Atas Perubahan Teknis Pekerjaan Pasca Penandatanganan Surat Perjanjian Kontrak Pelelangan Pengadaan Barang Dan Jasa

1 71 142

TANGGUNG JAWAB PENGGUNA ANGGARAN/KUASA PENGGUNA ANGGARAN ATAS KERUGIAN KEUANGAN NEGARA | Darmansyah | Katalogis 6473 21473 1 PB

0 0 10

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

0 0 16

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

0 0 4

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

0 0 39

Tanggung Jawab Kuasa Pengguna Anggaran Terhadap Keuangan Negara Dalam Proses Pengadaan Barang Jasa Pemerintah (Studi Kasus Pengadaan Alat Kesehatan di RSU dr.F.L.Tobing Sibolga)

0 0 5

TANGGUNG JAWAB PIDANA APARATUR NEGARA TERHADAP PENGADAAN BARANG DAN JASA

0 1 15