Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB IV
IV.
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Melihat mulai dari permasalahan yang diangkat yaitu mengenai bagaimana sebenarnya
kedudukan seorang perempuan dalam kepemimpinan sinodal di GKPB, lalu proses penelitian
serta hasil dari penelitian, dapat dilihat bahwa dalam lingkup GKPB sendiri, kedudukan seorang
perempuan untuk menjadi seorang pemimpin di aras jemaat sama sekali tidak menjadi sebuah
masalah. Namun oleh karena orang Kristen di GKPB adalah juga orang Bali asli maka mereka
masih terbiasa dengan setiap adat-istiadat yang ada, mulai dari tata krama dalam kehidupan
sehari-hari hingga cara hidup itu sendiri bagaimana, maka tanpa disadari GKPB pun menganut
budaya patriaki.
Di Bali, perempuan memang dapat dikatakan sebagai tulang punggung keluarga karena
ada begitu banyak perempuan yang bekerja keluar untuk menghidupi keluarga, perempuan
terlihat memiliki kebebasan untuk berekspresi di luar rumah mereka. Tetapi pada saat perempuan
kembali ke dalam rumah atau keluarganya, maka kembali perempuan berada di bawah laki-laki,
laki-laki berkuasa atas perempuan. Hal inilah yang dikatakan bahwa kedudukan perempuan di
Bali masih sangat kental dengan budaya patriaki. Budaya patriaki itu pun memiliki hubungan di
dalam gereja dimana perempuan di dalam GKPB boleh mengambil pekerjaan apapun dan
menjabat sebagai apapun, tetapi dalam hal mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh
laki-laki. Penyebab dari hal ini bukan semata-mata karena laki-laki tidak memberikan
kesempatan bagi perempuan, namun kebanyakan perempuan yang menganggap bahwa
pengambilan keputusan bukan menjadi tanggung jawab dari perempuan karena perempuan tidak
layak. Terlihat sangat jelas bagaimana kuatnya akar budaya patriaki dalam kepemimpinan di
GKPB.
Budaya patriaki di Bali sudah sangat kuat sehingga menghambat perempuan untuk
menjadi pemimpin, ditambah lagi dengan pemahaman Kristen sendiri yang sangat andosentris
dan misiogini, itu semua terlihat di dalam perkataan Paulus mengenai perempuan. Terlihat
bahwa seolah-olah pendangan Kristen semacam ini memperkokoh pandangan patriaki yang
melihat perempuan itu sebagai warga kelas dua. Meskipun perempuan terlihat digunakan dalam
segala hal, tetapi dalam kepemimpinan masih sangat terikat dengan pandangan esensialisme
yang kemudian dikokohkan oleh budaya dan agama itu sendiri. Terlihat sangat jelas di gereja
Bali, pendeta perempuan itu sudah ada, tetapi pemimpin tertinggi gereja belum pernah ada.
Kedudukan perempuan baik sebagai Majelis Jemaat, pengurus lainnya di dalam gereja hanya
sebagai simbol.
GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari dapat dijadikan contoh yang baik dalam melihat
kedudukan perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat yaitu pendeta. Dalam kapasitas
tertentu, seperti penempatan serta penerimaan jemaat terhadaap pendeta perempuan adalah bukti
bahwa jemaat PNIEL di Blimbingsari sudah memiliki pemikiran terbuka mengenai kedudukan
seorang perempuan dan terlepas dari kungkungan budaya patriaki. Berbeda halnya dengan apa
yang terjadi di GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase yang hingga saat ini, jemaat ini
masih sedang mencoba untuk dapat keluar dari kungkungan budaya patriaki yang sangat kental
di Bali. Hal ini menunjukan bagaimana keberagaman kehidupan beragama Kristen masyarakat di
Bali, ada yang sudah bisa lepas dari kungkungan budaya patriaki dan ada yang sedang berusaha
untuk keluar dari budaya patriaki.
4.2.
Saran
Dalam bagian ini Penulis akan memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait
diantaranya ialah kepada: pertama, Fakultas Teologi. Study Jender yang di salah satu mata
kuliah wajib di fakultas teologi, kiranya dapat dipertahankan karena mata kuliah ini sangat
penting untuk membuka mata para calon pelayan Tuhan agar mengetahui kesetaraan yang benar
itu seperti apa, dapat memilih kebudayaan seperti apa yang baik untuk diteruskan dalam sebuah
gereja. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena di kebanyakan daerah-daerah yang ada di Indonesia,
pemikiran atau budaya patriakinya masih sangat kuat, sehingga budaya itu bisa benar-benar
dihilangkan di dalam organisasi gereja, dengan demikian gereja dapat menjadi contoh bagaimana
seharusnya seseorang memandang perempuan dan bagaimana seorang perempuan memandang
dirinya sendiri sebagai seorang perempuan. Budaya itu bisa berubah lewat setiap ilmu yang
diberikan dan didapatkan di fakultas teologi ini. Dalam praktiknya juga fakultas teologi sudah
cukup baik, dimana fakultas teologi mampu memperlihatkan bahwa perempuan juga memiliki
kualitas pemimpin, namun juga perlu ditingkan dimana saat perempuan menjadi seorang
perempuan, kiranya ia benar-benar dapat memancarkan kualitas diri sebagai seorang pemimpin
yang baik itu seperti apa.
Kedua, Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB). GKPB sudah jauh lebih baik dari
budaya patriaki yang diperkenalkan oleh Bali secara menakutkan. Di GKPB memang masih ada
budaya patriaki, namun tidak separah seperti patriaki di Bali. GKPB harus dapat lebih menata
kesadaran jender jemaat serta seluruh pengurus GKPB tanpa terkecuali, sehingga lambat laun
GKPB akan menjadi model budaya yang baik untuk menerangi budaya patriaki yang ada di Bali.
Sekiranya apa yang telah terjadi di dalam GKPB yang telah mampu melepaskan diri dari
kungkungan budaya patriaki, seperti jemaat PNIEL di Blimbingsari ditarik untuk kehidupan
semua jemaat di GKPB baik di Blimbingsari bahkan keseluruhan bahwa perempuan itu akan
dihargai kemampuan dan semuanya di dalam segala kehidupan, dengan demikian sedikit demi
sedikit budaya patriaki dapat terhapus dalam kehidupan secara menyeluruh. Jadi bukan hanya
berani hanya memilih pendeta perempuan di gereja, tetapi di dalam Rumah Tangga pun benarbenar harus ada kesetaraan jender. Dimana pembuatan keputusan itu harus dilakukan oleh lakilaki dan perempuan, pembagian kerja di dalam Rumah Tangga harus berjalan seimbang untuk
laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan bermasyarakat pun harus seimang, setara dan adil
bagi laki-laki dan perempuan. Semua itu dapat ditarika dalam kehidupan bergereja di GKPB
secara keseluruhan juga, sehingga untuk pemilihan Bishop pun harus diberlakukan, jadi bukan
hanya kapasitas pemilihan pendeta perempuan di jemaat.
Ketiga, bagi para pendeta perempuan di GKPB. Perempuan juga memiliki kualitas dalam
dirinya masing-masing, saat kita telah berhasil menjadi seorang pendeta, itu berarti kita memang
memiliki kualitas menjadi seorang pendeta atau pemimpin jemaat. Oleh sebab itu kini saatnya
kita sebagai perempuan untuk semakin mengasah kualitas kita dengan kita mengenali apa
kelebihan kita dala mmenjadi seorang pemimpin dan tunjukan kepada masyarakat luar bahwa
perempuan bukan hanya sekedar dapat menjadi pemimpin di aras jemaat, namun perempuan juga
memiliki kualitas yang baik untuk menjadi seorang pemimpin tertinggi di gereja. Faktor
“keperempuanan” secara biologis bukan sebagai penghambat dari intensitas kepemimpinan
seorang perempuan.
PENUTUP
4.1.
Kesimpulan
Melihat mulai dari permasalahan yang diangkat yaitu mengenai bagaimana sebenarnya
kedudukan seorang perempuan dalam kepemimpinan sinodal di GKPB, lalu proses penelitian
serta hasil dari penelitian, dapat dilihat bahwa dalam lingkup GKPB sendiri, kedudukan seorang
perempuan untuk menjadi seorang pemimpin di aras jemaat sama sekali tidak menjadi sebuah
masalah. Namun oleh karena orang Kristen di GKPB adalah juga orang Bali asli maka mereka
masih terbiasa dengan setiap adat-istiadat yang ada, mulai dari tata krama dalam kehidupan
sehari-hari hingga cara hidup itu sendiri bagaimana, maka tanpa disadari GKPB pun menganut
budaya patriaki.
Di Bali, perempuan memang dapat dikatakan sebagai tulang punggung keluarga karena
ada begitu banyak perempuan yang bekerja keluar untuk menghidupi keluarga, perempuan
terlihat memiliki kebebasan untuk berekspresi di luar rumah mereka. Tetapi pada saat perempuan
kembali ke dalam rumah atau keluarganya, maka kembali perempuan berada di bawah laki-laki,
laki-laki berkuasa atas perempuan. Hal inilah yang dikatakan bahwa kedudukan perempuan di
Bali masih sangat kental dengan budaya patriaki. Budaya patriaki itu pun memiliki hubungan di
dalam gereja dimana perempuan di dalam GKPB boleh mengambil pekerjaan apapun dan
menjabat sebagai apapun, tetapi dalam hal mengambil keputusan masih sangat didominasi oleh
laki-laki. Penyebab dari hal ini bukan semata-mata karena laki-laki tidak memberikan
kesempatan bagi perempuan, namun kebanyakan perempuan yang menganggap bahwa
pengambilan keputusan bukan menjadi tanggung jawab dari perempuan karena perempuan tidak
layak. Terlihat sangat jelas bagaimana kuatnya akar budaya patriaki dalam kepemimpinan di
GKPB.
Budaya patriaki di Bali sudah sangat kuat sehingga menghambat perempuan untuk
menjadi pemimpin, ditambah lagi dengan pemahaman Kristen sendiri yang sangat andosentris
dan misiogini, itu semua terlihat di dalam perkataan Paulus mengenai perempuan. Terlihat
bahwa seolah-olah pendangan Kristen semacam ini memperkokoh pandangan patriaki yang
melihat perempuan itu sebagai warga kelas dua. Meskipun perempuan terlihat digunakan dalam
segala hal, tetapi dalam kepemimpinan masih sangat terikat dengan pandangan esensialisme
yang kemudian dikokohkan oleh budaya dan agama itu sendiri. Terlihat sangat jelas di gereja
Bali, pendeta perempuan itu sudah ada, tetapi pemimpin tertinggi gereja belum pernah ada.
Kedudukan perempuan baik sebagai Majelis Jemaat, pengurus lainnya di dalam gereja hanya
sebagai simbol.
GKPB jemaat PNIEL di Blimbingsari dapat dijadikan contoh yang baik dalam melihat
kedudukan perempuan sebagai seorang pemimpin jemaat yaitu pendeta. Dalam kapasitas
tertentu, seperti penempatan serta penerimaan jemaat terhadaap pendeta perempuan adalah bukti
bahwa jemaat PNIEL di Blimbingsari sudah memiliki pemikiran terbuka mengenai kedudukan
seorang perempuan dan terlepas dari kungkungan budaya patriaki. Berbeda halnya dengan apa
yang terjadi di GKPB jemaat Galang Ning Hyang di Abianbase yang hingga saat ini, jemaat ini
masih sedang mencoba untuk dapat keluar dari kungkungan budaya patriaki yang sangat kental
di Bali. Hal ini menunjukan bagaimana keberagaman kehidupan beragama Kristen masyarakat di
Bali, ada yang sudah bisa lepas dari kungkungan budaya patriaki dan ada yang sedang berusaha
untuk keluar dari budaya patriaki.
4.2.
Saran
Dalam bagian ini Penulis akan memberikan saran kepada pihak-pihak yang terkait
diantaranya ialah kepada: pertama, Fakultas Teologi. Study Jender yang di salah satu mata
kuliah wajib di fakultas teologi, kiranya dapat dipertahankan karena mata kuliah ini sangat
penting untuk membuka mata para calon pelayan Tuhan agar mengetahui kesetaraan yang benar
itu seperti apa, dapat memilih kebudayaan seperti apa yang baik untuk diteruskan dalam sebuah
gereja. Hal ini dilatarbelakangi oleh karena di kebanyakan daerah-daerah yang ada di Indonesia,
pemikiran atau budaya patriakinya masih sangat kuat, sehingga budaya itu bisa benar-benar
dihilangkan di dalam organisasi gereja, dengan demikian gereja dapat menjadi contoh bagaimana
seharusnya seseorang memandang perempuan dan bagaimana seorang perempuan memandang
dirinya sendiri sebagai seorang perempuan. Budaya itu bisa berubah lewat setiap ilmu yang
diberikan dan didapatkan di fakultas teologi ini. Dalam praktiknya juga fakultas teologi sudah
cukup baik, dimana fakultas teologi mampu memperlihatkan bahwa perempuan juga memiliki
kualitas pemimpin, namun juga perlu ditingkan dimana saat perempuan menjadi seorang
perempuan, kiranya ia benar-benar dapat memancarkan kualitas diri sebagai seorang pemimpin
yang baik itu seperti apa.
Kedua, Gereja Kristen Protestan di Bali (GKPB). GKPB sudah jauh lebih baik dari
budaya patriaki yang diperkenalkan oleh Bali secara menakutkan. Di GKPB memang masih ada
budaya patriaki, namun tidak separah seperti patriaki di Bali. GKPB harus dapat lebih menata
kesadaran jender jemaat serta seluruh pengurus GKPB tanpa terkecuali, sehingga lambat laun
GKPB akan menjadi model budaya yang baik untuk menerangi budaya patriaki yang ada di Bali.
Sekiranya apa yang telah terjadi di dalam GKPB yang telah mampu melepaskan diri dari
kungkungan budaya patriaki, seperti jemaat PNIEL di Blimbingsari ditarik untuk kehidupan
semua jemaat di GKPB baik di Blimbingsari bahkan keseluruhan bahwa perempuan itu akan
dihargai kemampuan dan semuanya di dalam segala kehidupan, dengan demikian sedikit demi
sedikit budaya patriaki dapat terhapus dalam kehidupan secara menyeluruh. Jadi bukan hanya
berani hanya memilih pendeta perempuan di gereja, tetapi di dalam Rumah Tangga pun benarbenar harus ada kesetaraan jender. Dimana pembuatan keputusan itu harus dilakukan oleh lakilaki dan perempuan, pembagian kerja di dalam Rumah Tangga harus berjalan seimbang untuk
laki-laki dan perempuan. Dalam kehidupan bermasyarakat pun harus seimang, setara dan adil
bagi laki-laki dan perempuan. Semua itu dapat ditarika dalam kehidupan bergereja di GKPB
secara keseluruhan juga, sehingga untuk pemilihan Bishop pun harus diberlakukan, jadi bukan
hanya kapasitas pemilihan pendeta perempuan di jemaat.
Ketiga, bagi para pendeta perempuan di GKPB. Perempuan juga memiliki kualitas dalam
dirinya masing-masing, saat kita telah berhasil menjadi seorang pendeta, itu berarti kita memang
memiliki kualitas menjadi seorang pendeta atau pemimpin jemaat. Oleh sebab itu kini saatnya
kita sebagai perempuan untuk semakin mengasah kualitas kita dengan kita mengenali apa
kelebihan kita dala mmenjadi seorang pemimpin dan tunjukan kepada masyarakat luar bahwa
perempuan bukan hanya sekedar dapat menjadi pemimpin di aras jemaat, namun perempuan juga
memiliki kualitas yang baik untuk menjadi seorang pemimpin tertinggi di gereja. Faktor
“keperempuanan” secara biologis bukan sebagai penghambat dari intensitas kepemimpinan
seorang perempuan.