Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB II

II.

LANDASAN TEORI
Bagian berikut Penulis akan membahas tentang landasan teori yang akan membantu
di dalam melakukan analisa, oleh karena itu Penulis akan berbicara tentang perempuan
dalam budaya Bali, teori feminisme dan kepemimpinan menurut perspektif jender.
2.1. Perempuan dalam Budaya Bali
“Kebudayaan” berasal dari kata kultur, yang berasal dari bahasa Latin cultura dengan
arti memelihara, mengelola dan mengerjakan. Cakupan budaya sangat luas dan besar.
Budaya dikatakan sebagai seluruh cara kehidupan dari masyarakat dimana pun dan tidak
hanya mengenai sebagian dari cara hidup, tetapi bagian yang juga dianggap masyarakat
lebih tinggi atau lebih diinginkan. Biasa budaya itu dianggap sebagai milik bersama pada
satu kawasan atau tempat tertentu. Budaya itu ada karena manusia yang menciptakannya
dengan belajar, bukan lahir secara biologis begitu saja. Manusia selalu menggunakan
lambang dalam setiap prilaku dalam kehidupan sehari-hari, dengan demikian dapat
dikatakan bahwa setiap yang memuat lambang dalam hidup manusia adalah masuk di
dalam kategori sebagai budaya. Hadirnya lambang inilah yang menghasilkan penafsiran
atau pemahaman yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya, oleh sebab itu di
satu tempat dengan tempat yang lainnya memiliki budaya yang berbeda-beda.1
Kebudayaan itu terdiri atas pedoman yang menentukan apa yang harus dilakukan,
bagaimana melakukannya, untuk apa itu dilakukan. Secara singkat, budaya berperan besar

dalam hidup masyarakat. Budaya juga biasa dijadikan sebagai tolak ukur benar tidaknya
suatu tindakan atau prilaku seseorang, maka kebudayaan itu tidak terlepas dari komunitas
suatu masyarakat.
Pandangan kebudayaan Bali terhadap perempuan tidak terlepas dari kebudayaan
patriarki yang bersumber dari sistem kekerabatan Bali yang berbentuk patrilineal. Budaya
patriaki adalah budaya dimana “ayah sebagai penguasa di dalam keluarga”. Seiring
berjalannya waktu, patriaki ini diperluas keluar, bukan hanya berlaku di dalam keluarga,
tetapi juga berlaku keluar yaitu di publik. Ciri budaya patriaki adalah dimana
menempatkan laki-laki sebagai sosok pusat dalam hal-hal tertentu, laki-laki memiliki
keunggulan dalam beberapa aspek, seperti penentu garis keturunanan, otonomi dalam
hubungan sosial, partisipasi dalam public dan politik, serta pembagian kerja.
Budaya patriarki dalam kebudayaan Bali dinyatakan bersumber dari adanya
konsep purusha dan predana, yang melambangkan jiwatman (roh) yang bersifat abadi
(purusha), dan fisik manusia yang mempunyai sifat berubah-ubah (prakirti). Di dalam
masyarakat, konsep ini lebih dikenal dengan hal-hal yang berkaitan dengan laki-laki atau
purusha, dan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan atau predana. Konsep ini
dijadikan sebagai landasan untuk membedakan status dan peran antara perempuan dengan
laki-laki, yang dalam hal tertentu tidak bisa saling menggantikan.2 Filsafat agama Hindu

1


Swardi, Endraswara, Metode, Teori, Teknik Penelitian Kebudayaan Ideologi, Epistemologi dan Aplikasi.
(Yogyakarta:Pustaka Widyatama, 2006), 27-28
2
Wiasti, N.M, Kembang Rampai Perempuan Bali-Hubungan Industrial yang Berwawasan
Jender,(Denpasar:Kelompok Studi Wanita, 2006), 134-153

ini kemudian menjiwai ideologi budaya Bali, yang berkembang menjadi sistem nilai,
norma-norma dan aturan-aturan, yang disebut hukum adat dan awig-awig yang bercorak
patrilineal, yang berfungsi sebagai kontrol sosial.
Kebudayaan Bali identik dengan sistem kekerabatan patrilinealnya. Sistem
kekerabatan patrilineal merupakan pola tradisional yang dicirikan sebagai berikut:
pertama, hubungan kekerabatan diperhitungkan melalui garis keturunan ayah, anak-anak
menjadi hak ayah; kedua, harta keluarga atau kekayaan orangtua diwariskan melalui garis
laki-laki; ketiga pengantin baru hidup menetap pada pusat kediaman kerabat suami (adat
patrilokal); keempat, laki-laki mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kehidupan
masyarakat; dengan perkataan lain, perempuan yang telah kawin (menikah) dianggap
memutuskan hubungan dengan keluarganya sendiri, tanpa hak berpindah ke dalam
keluarga suaminya dan tidak akan memiliki hak-hak dan harta benda.3
Ciri-ciri tersebut menggambarkan bahwa dalam sistem kekerabatan patrilineal,

laki-laki mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari perempuan, baik dalam kehidupan
rumah tangga maupun dalam kehidupan masyarakat. Hal ini mengakibatkan ketimpangan
atau kesenjangan terhadap hak dan kewajiban terhadap kaum perempuan. Akibat dari
budaya patriarki yang sebagian besar berlaku di tanah air, termasuk di Bali, menyebabkan
perempuan terkadang menjadi subordinasi laki-laki. Pernyataan ini menjelaskan bahwa
dampak dari budaya patriarki adalah kedudukan kaum perempuan berada di bawah kaum
laki-laki. Patriarki cenderung menjadi salah satu faktor penyebab terjadinya perlakuan
yang kurang menguntungkan bagi kaum perempuan, seperti perlakuan diskriminatif.
Perlakuan diskriminatif dapat dilihat dari data statistik yang mengungkapkan
bahwa masih terjadinya kesenjangan jender antara laki-laki dan perempuan mengenai
kesempatan pendidikan yang diperoleh di Bali. Perempuan memiliki kesempatan
pendidikan yang lebih terbatas dibandingkan dengan laki-laki.4 Kesenjangan jender yang
terjadi ini pada dasarnya menggambarkan status, kedudukan, dan kualitas penduduk
perempuan masih lebih rendah daripada laki-laki. Anggapan tentang perbedaan status
serta peran laki-laki dan perempuan pada masyarakat Bali sudah diperlihatkan sejak masih
kecil atau anak-anak. Masyarakat memberi nilai yang lebih tinggi terhadap anak laki-laki
dibandingkan dengan anak perempuan. Kelahiran seorang anak laki-laki dalam keluarga
Hindu merupakan kebahagiaan, karena memiliki anak laki-laki adalah tujuan utama dari
keluarga Hindu. Anak laki-laki dianggap juga sebagai penyelamat keluarga yang telah
meninggal dari neraka.5

2.2.
Teori Patriaki

3

Sudarta, W. Kembang Rampai Perempuan Bali-Pola Pengambilan Keputusan Rumah Tangga Petani pada
Berbagai Bidang Kehidupan, (Denpasar: Kelompok Studi Wanita, 2006) 65-83
4
Arjani. N, Kembang Rampai Perempuan Bali-Peran Jender dalam Kehidupan Masyarakat di Bali,
(Denpasar:Kelompok Studi Wanita, 2006), 1-22
5
Gusti, M. N, Buku Pendidikan Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, (Surabaya:Paramitra, 1999), 105-110

2.3.

Teori Feminis

Gerakan Feminisme adalah gerakan hasil dari sebuah kesadaran tentang adanya
ketidakadilan yang sistematis bagi perempuan di seluruh dunia.6 Amerika dan Eropa
menjadi dua Negara utama yang sadar akan gerakan feminis. Teori feminis lahir pertama

kali sekitar tahun 1970an di universitas-universitas yang ada di Amerika Utara. Teori
feminis menggambarkan koleksi dari berbagai macam teks feminis yang memiliki tujuan,
praktik dan asumsi-asumsi yang sama. Dua tujuan utama lahirnya teori feminis yaitu dapat
mengidentifikasikan berbagai bentuk penindasan yang mengatur kehidupan perempuan
dan sebagai imajinasi serta upaya untuk menciptakan alternatife masa depan dengan tanpa
adanya penindasan.7
Di Eropa, kedudukan perempuan sempat memprihatinkan, dalam segala hal
perempuan harus berada di bawah laki-laki. Bahkan hingga kedudukan seorang janda pun
berada di bawah anak laki-lakinya, perempuan dilarang berbicara di lingkungan publik.8
Pada periode awal ini perempuan dianggap tidak rasional (selalu menggunakan perasaan
sebagai tolok ukur). Bahkan pada abad 18-19 terjadi pembodohan terhadap kaum
perempuan, hal ini karena perempuan dianggap sebagai the second line. Tugas perempuan
hanya meramu makanan sedangkan laki-laki pergi berburu. Perempuan tidak diberikan
kesempatan untuk ikut andil dalam membantu laki-laki.
Selain itu, perempuan dan laki-laki memiliki ciri feminitas dan maskulinitas.
Feminitas yaitu ciri yang harus dimiliki anak perempuan seperti; kelemahlembutan,
keeganan menampilkan diri, dan kehalusan. Sedangkan maskulitas yaitu ciri yang harus
dimiliki anak laki-laki, seperti agresivitas, keberanian, kepemimpinan, kekuatan fisik.
Feminis yang ada, berjuang agar perempuan dapat berperan dalam badan
pengambilan keputusan, seperti menjadi pemimpin organisasi politik, ekonomi, sosial dan

budaya. Selain itu gerakan feminis juga berjuang untuk situasi para migran serta
pengungsi perempuan yang perlu untuk diperbaiki. Di Amerika, gerakan feminisme tidak
hanya berjuang untuk hak di politik, hak berprofesi, hak belajar atau hak untuk memiliki
jabatan lainnya, tetapi di Amerika satu hal penting bagi mereka yang perlu diperjuangkan
adalah menuntut hak di bidang seksual.9
Di Asia memiliki latar belakang gerakan feminsime sendiri. Gerakan feminsime di
Asia ada untuk pembebasan kaum perempuan dari setiap bentuk tindakan yang
menjadikan mereka sebagai obyek.10 Salah satu isu yang juga menjadi perhatian di
6

Nunuk, Muriati, Getar Jender, (Magelang:Indonesia TERA, 2004),XXVII
Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000), 3
8
Rosemarie Putman Tong, Feminist Thought:Pengantar Paling Komprehensif kepada Aliran Utama Pemikiran
Feminisme”, (Yogyakarta:Jalasutra, 2010), 2
9
Nunuk, Muriati, Getar Jender, (Magelang:Indonesia TERA, 2004), 17-18
10
Mariane, Katopo, “Tersentuh dan Bebas:Teologi Seorang Perempuan Asia”, (Jakarta: Aksara Karunia, 2007), 77


7

Indonesia sendiri ialah mengenai perdebatan apakah perempuan pantas atau tidak
menjabat sebagi seorang pemimpin, sekalipun belakangan ini sudah muncul beberapa
pemimpin perempuan. Hal serupa pun terjadi di dalam gereja, apakah seorang pendeta
perempuan layak untuk menjadi seorang pemimpin gereja? Hal tentang apakah perempuan
dapat menjadi pemimpin atau tidak, dilihat dari sifat alami perempuan yang dianggap
sangat mempengaruhi, karena sifat alami biasanya akan mempengaruhi kinerja seseorang.
Dalam perbincangan mengenai bagaimana sifat alami perempuan menjadi sebuah
perdebatan, terdapat tiga kelompok yang memiliki pemikiran kuat mengenai bagaimana
sebenarnya “keperempuanan” itu. Apakah benar sifat perempuan saat ini adalah sifat yang
alami atau sifat yang terbentuk oleh budaya yang ada.
Kelompok pertama yaitu kelompok Essensialisme, memiliki pemikiran bahwa
perempuan itu punya cara tersendiri untuk mengetahui dan menjadi dirinya sendiri yang
berbeda dengan laki-laki, oleh sebab itu perempuan harus mampu untuk memahami
dirinya sendiri,11 dengan demikian pahamnya tersebut akan menolong perempuan untuk
dapat berbicara dari pengalaman yang mereka miliki masing-masing. Sedangkan
pengalaman mereka sendiri sebagai seorang perempuan sangat identik dengan penindasan
atau kekerasan yang mereka alami berdasarkan kodrat alamiah mereka sebagai perempuan
untuk melahirkan dan menstruasi. Sehingga jika dikaitkan dengan pertanyaan apakah

perempuan mampu menjadi seorang pendeta atau pemimpin, hal ini sangatlah
mempengaruhi jawabannya. Perempuan yang menjadi pendeta atau pemimpin biasanya
akan mengambil cuti jika melahirkan, hal inilah yang akan mengurangi intensitas
pekerjaannya dalam pelayanannya. Sehingga hal esensi perempuan itu berdasarkan
pengalamannya sendiri, dengan kata lain, inilah kodrat sifat perempuan yaitu
“keperempuanan” itu dan hal kodrat ini akan berlaku secara universal bagi perempuan
dimanapun mereka berada.
Kelompok kedua yaitu kaum konstruktifisme, kelompok ini memiliki pemikiran
mengenai jender atau semua yang berkaitan dengan laki-laki atau perempuan, semuanya
itu sudah dikonstruksi atau dibentuk oleh budaya.12 Menjadi perempuan dengan sifat
“keperempuanannya” dan menjadi laki-laki dengan sifat “kelaki-lakiannya” semua itu
bukanlah hal yang alami atau fakta secara biologis, karena semua itu sudah dibentuk oleh
budaya. Biasanya seorang perempuan yang bertingkah sebagai perempuan dan laki-laki
yang bertingkah sebagai laki-laki itu sesuai dengan tatanan budaya yang telah disepakati
dan dibentuk bersama. Sehingga konstruksi itu pun berdampak pada peran fungsi dalam
keluarga, masyarakat dan agama. Jika pendapat kelompok ini dikaitkan dengan pertanyaan
pokok mengenai dapatkah seorang perempuan menjadi pendeta atau pemimpin, maka
11

Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000),26

Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000),3132

12

jawaban dari satu pertanyaan ini akan beragam antara satu tempat dengan tempat yang
lainnya. Mengenai masalah dapat atau tidaknya seorang perempuan menjadi pendeta atau
pemimpin akan susah menemukan titik temunya, karena masing-masing tempat akan
memiliki budaya yang berbeda-beda. Kelompok sosial pendukung utama dalam memilih
pilihan tepat dalam suatu budaya ialah keluarga, karena lingkungan sosial pertama tempat
seseorang bertumbuh adalah di dalam keluarga.
Kelompok ketiga yaitu kelompok strategi essensialisme dengan seorang tokoh
bernama Luce Irigray memiliki pemikiran yang berada di tengah-tengah antara kaum
essensialisme dan kaum konstruktifisme mengenai perempuan itu sebenarnya seperti apa.
Ia berpendapat dimulai dari melihat di Barat, mayoritas masyarakat menganggap bahwa
perempuan pasti identik dengan feminis sedangkan laki-laki identik dengan maskulin.
Sebenarnya itu bukanlah menjadi suatu masalah yang besar, tetapi masalahnya ialah
dimana mayoritas masayarakat di Barat menganggap maskulin itu kuat sedangkan
feminism itu lemah. Diawali dengan pemikiran semacam itulah yang membuat identitas
perempuan ditindas, sehingga itu berdampak pada keputusan perempuan harus independen
sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Seperti bagaimana perempuan harus berpakaian

dilihat dari hasrat perempuan itu sendiri bukan sesuai dengan maunya laki-laki.13
Perempuan harus mampu untuk menjadi dirinya sendiri untuk menunjukan bahwa
perempuan mampu membentengi diri dari penindasan dalam bentuk apapun. Jika dilihat
dari perspketif kelompok ketiga ini sebenarnya dimanapun perempuan itu berada, mereka
dapat menjadi seorang pendeta atau pemimpin asalkan para perempuan mampu
menunjukan bahwa mereka memiliki kelebihan tersendiri dalam menjadi seorang pendeta
atau pemimpin jika dibandingkan dengan laki-laki.
Melihat hasil akhir dari perbincangan ketiga kelompok mengenai bagaimana
sebenarnya sifat alami perempuan, terlihat bahwa memang sebenarnya apa yang dianggap
sebagai sifat alami perempuan seperti segala sesuatu yang bersifat feminis adalah sifat
yang dimiliki oleh perempuan adalah sebenarnya bukan sebagai sifat alami, tetapi itu
adalah hasil kesepakatan dalam budaya. Sayangnya, itu sama sekali tidak disadari oleh
masing-masing orang yang menganggap bahwa itu semua adalah sifat alami. Hal tersebut
disebabkan oleh karena budaya yang sudah sangat terlalu melekat pada masing-masing
pribadi, sehingga susah dibedakan apakah itu adalah hasil dari sebuah kebudayaan ataukah
memang bawaan sifat secara alami atau kodrati.
Di Indonesia sendiri masing-masing daerah masih sangat memegang teguh setiap
kebudayaan yang dimiliki masing-masing. Baik perempuan dengan sifat feminimnya serta
laki-laki dengan sifat maskulinnya dan maskulin lebih kuat dan unggul dibandingkan
dengan maskulin, sebenarnya adalah hasil keputusan budaya tetapi oleh karena budaya itu

13

Serene, Jones, Feminist Theory and Christian Theology, (United States of America:Augsburg Fortress, 2000), 4142

sendiri sudah sangat mendarah daging di masing-masing pribadi sehingga kedudukan
perempuan dengan sifat feminimnya itu disahkan sebagai sesuatu yang bersifat kodrat.
Sangat sedikit peluang bagi perempuan untuk dapat duduk di bangku kepemimpinan,
karena jikalau seorang perempuan bisa menjadi pemimpin adalah sebagai penghinaan bagi
kaum laki-laki.
Dalam organisasi gereja lokal di Indonesia, posisi kontribusi perempuan Kristen
sangat sedikit, tetapi pelayanan mereka tidak pernah absen karena pelayanan yang
dilakukan oleh perempuan dianggap sebagai tugas dan kewajiban perempuan. Oleh sebab
itulah walaupun ada banyak sekali anggota perempuan dalam gereja bahkan lebih banyak
daripada jumlah laki-laki, perempuan tetap tidak bisa duduk pada posisi kontribusi dan
kepemimpinan.14 Namun, sekalipun terlihat kecil peluangnya, tetap harapan perempuan
duduk pada bangku kepemimpinan pasti akan dapat terwujud secara nyata, asalkan
perempuan mampu memperlihatkan kualitas dengan beberapa keunggulan yang hanya
dimiliki oleh kaum perempuan. Pendidikan dapat mengasah kualitas kepemimpinan,
karena di pendidikanlah yang menimbulkan kepercayaan dan dapat memberdayakan
perempuan. Pada saat perempuan memiliki pendidikan yang tinggi dan baik, maka
perempuan akan dapat memilih dan memberikan rasa percaya diri yang dibutuhkan
perempuan pada saat perempuan harus memilih.15
2.4.

Kepemimpinan dengan Perspektif Jender

Pemimpin dan kepemimpinan adalah dua hal yang berbeda, namun telah menjadi
satu. Dimana pemimpin ditujukan pada individunya sedangkan kepemimpinan ditujukan
pada sifat dari seorang pemimpin. Seorang pemimpin harus memiliki kualitas
kepemimpinan yang berbasiskan ciri universal seorang pemimpin, memiliki prilaku
pemimpin saat berada di dalam kelompok kerja. Sehingga sejak lahir sebenarnya manusia
telah diamanatkan untuk dapat menjadi seorang pemimpin.16
Ketika tim kepemimpinan adalah beragam (dalam hal jenis kelamin, usia, dan
etnis), ''norma-norma akan seimbang dan lebih komprehensif”. Sebaliknya, ketika tim
kepemimpinan sebagian besar homogen, ''sistem ini jauh lebih rentan terhadap perspektif
eksklusif yang mencerminkan nilai-nilai kelompok itu saja''. Struktur kepemimpinan tidak
hanya kontrol operasi organisasi, tetapi juga berdampak pada lingkungan dan konteks.17

14

Ira D, Mangililo, When Rahab and Indonesian Christian Women Meet in the Third Space, (2015), vol.31, issue.1,
pp.45-64
15
Ira D, Mangililo, When Rahab and Indonesian Christian Women Meet in the Third Space, (2015), vol.31, issue.1,
pp.45-64
16
Djokosantoso Moeljono, More About Beyond Leadership-12 Konsep Kepemimpinan,(Jakarta:PT.Gramedia,
2009), 45-46, 55
17
Jolyn, Dahlvig and Karen Longman, Contributors to Women’s Leadership Development in Christian Higher
Education: A Model and Emerging Theory, (2014), vol.23, issue.1, pp. 5-28

Sebenarnya sangat baik jika perempuan diberikan kesempatan penuh tanpa
harus dibatasi dalam hal kepemimpinan sama seperti bagaimana kesempatan yang
didapatkan oleh kaum laki-laki. Bukan hanya kaum laki-laki saja yang memiliki
keunggulan di dalam hal kepemimpinan, sesungguhnya perempuan pun memiliki
keunggulan yang tidak dimiliki oleh sebagian besar laki-laki dalam hal kepemimpinan,
diantaranya ialah perempuan lebih ekspresif, lebih dapat memindahkan diskusi ruang rapat
meneruskan dengan cara terampil dan efektif, membawa perspektif segar, memiliki
keragaman pemikiran, memerhatikan kepuasan hari demi hari dan struktur sosial
organisasi.
Pemikiran baru yang menekankan untuk menghormati seluruh pikiran diperlukan
untuk efektivitas dalam hidup dan kepemimpinan, baik otak kiri kemampuan (lebih khas
laki-laki) untuk melakukan sistematisasi dengan perhatian terhadap detail lokal dan
kemampuan otak kanan untuk menjadi kreatif dan empati (lebih khas perempuan).18
Sehingga, dengan peran dan kedudukan yang setara dan bebas antara perempuan dan lakilaki, maka segala potensi masyarakat bisa diberdayakan dalam setiap partisipasinya19
terutama di dalam hal kepemimpinan. Di Indonesia, realitasnya kepemimpinan para
perempuan di Indonesia adalah sebagaianya sebagai lambang bahwa gereja sudah benarbenar memiliki kesadaran jender.20
Dengan landasan teori seperti di atas, maka berikut ini Penulis akan memberikan
hasil penelitian sekaligus menganalisa data yang ada.

Taylor, and Francis Group, Contributors to Women’s Leadership Development in Christian Higher Education:
A Model and Emerging Theory,
19
Nunuk P.M, Getar Jender Pertama, (Magelang: IndonesiaTerra, 2004), 56
20
Ira D, Mangililo, When Rahab and Indonesian Christian Women Meet in the Third Space, (2015), vol.31, issue.1,
pp.45-64

18

Dokumen yang terkait

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Kepemimpinan Pendeta dalam Pelayanan GPIB Jemaat Siloam Kerayan - Kalimantan Timur dari Prespektif Kepemimpinan Transformasional

0 1 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pandangan Jemaat GPIB Bukit Harapan Surabaya tentang Pelayanan Diakonia T1 712007077 BAB II

1 5 19

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Khotbah Minggu sebagai Pendampingan Pastoral di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Presbiter: suatu tinjauan teologis tentang pemahaman warga jemaat GPIB Penabur tentang fungsi jabatan presbiter

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB I

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis T1 712011008 BAB IV

0 0 3

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Ketidakaktifan Warga Sidi Baru dalam Pelayanan di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga dari Prespektif Sosio-Teologis

0 0 10

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Pembinaan Warga Jemaat Pekerja Ladang di GPIB Immanuel Apau Kayan Jemaat Pos Pelkes Marantha Nawang Baru

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Peran Konseling Lintas Budaya dalam Konflik Suami Istri di GPIB Jemaat Tamansari Salatiga

0 0 1

Institutional Repository | Satya Wacana Christian University: Tema Tahunan GPIB: Pemahaman dan Kritik Warga GPIB jemaat Eben Haezer

0 0 1