View of PENGUKURAN KINERJA AKTIFITAS SUPPLY CHAIN PADA INDUSTRI MINUMAN JUS DENGAN SCOR (STUDY KASUS PT. API)

PENGUKURAN KINERJA AKTIFITAS SUPPLY CHAIN PADA

  

(STUDY KASUS PT. API)

1) 2) 1),2)

Puji Rahayu , Lien Herliani Kusumah

Program Studi Magister Teknik Industri, Universitas Mercu Buana

Jl. Meruya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat 11650

  

Ema

Abstrak . Kinerja perusahaan bisa diukur dalam dua perspektif, financial dan non financial. Kondisi saat ini,

PT API sebagai manufaktur minuman siap minum jus (RTD) lebih terfokus hanya pada pengukuran finansial.

  

Kelemahan kinerja financial kurang mampu mengukur kinerja operasi. Rantai pasokan adalah salah satu operasi

yang paling penting sebagai salah satu pengukuran kinerja non financial. Tujuan dari penelitian ini untuk

mengukur kinerja rantai pasokan dari PT API dengan menggunakan SCOR sebagai kerangka pengukuran kinerja.

Dari data quantitative, didapat nilai pengukuran supply chain PT. API adalah 61.85, yang artinya kinerja Supply

chain di PT. API masih belum termasuk kategori dengan performance baik atau masih pada level average. Di

samping model SCOR, penelitian ini menggunakan data qualitative dengan tools Analytical Hierarchy Process

(AHP) untuk menganalisis metrik hirarki dan menentukan bobot kinerja dari tiap indikator. AHP digunakan

sebagai penentu tingkat kepentingan dalam penetapan strategi tiap KPI. Nilai-nilai pengukuran indikator kinerja

yang diperoleh, akan di benchmark dengan industri sejenis untuk melihat indikator yang masih membutuhkan

perbaikan. Hasil dari benchmark menghasilkan nilai gap untuk metrik POF 5.52%, OFCT 1 hari, COGS 4.27%

dan CTCCT 19 hari. Untuk peningkatan kinerja supply chain kedepannya maka PT API harus berfokus pada

perbaikan KPI yang masih terdapat gap.

  Kata kunci : AHP, Industri Minuman SCOR, RTD Juice, Supply chain performance

1. Pendahuluan

  Industri jus RTD (ready to drink) di Indonesia berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir. Namun data menunjukkan untuk industri jus RTD, supply lebih besar dibandingkan demand. Proyeksi supply

  

demand 2013-2017 berturut turut disajikan sebagai berikut, tahun 2013 supply 663.34ML demand

  656.85ML, tahun 2014 supply 721.07ML demand 706.93ML, tahun 2015 supply 780.49ML demand 757.23ML, tahun 2016 supply 841.18ML demand 807.42ML, tahun 2017 supply 902.68ML demand 856.86ML. Nilai supply yang selalu diatas demand menjadi salah satu indikator ketatnya persaingan industri jus RTD di Indonesia. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi PT. API yang saat ini baru menguasai sekitar 3.54% dari total nilai industri jus RTD yang mencapai 1.5 Triliun rupiah untuk kategori kemasan plastik. Jumlah perusahaan yang menekuni bisnis minuman jus siap minum di Indonesia hingga akhir tahun 2012 mencapai 299 perusahaan, tetapi hanya 211 perusahaan yang masih aktif beroperasi. Dari sejumlah itu, hanya 156 perusahaan yang telah memiliki pabrik minuman jus sendiri dan sisanya 5 perusahaan merupakan perusahaan pemegang merek lokal dan 50 perusahaan adalah pemegang merek impor [1].

  PT. Amanah Prima Indonesia (PT API) termasuk salah satu perusahaan minuman jus RTD yang memproduksi berbagai macam jenis jus buah-buahan dengan target market utama untuk industri hotel, restoran, kafe, dan catering (horeca). Saat ini untuk pasar horeca di Indonesia PT API telah menjadi salah satu market leader pemasok jus. Melihat kepada posisi PT API diantara industri sejenis, maka PT API bertekad untuk dapat meningkatkan market share penjualannya ditengah era pasar bebas dan persaingan yang semakin ketat di industri minuman jus RTD. Hal ini bisa dicapai dengan cara meningkatkan daya saing perusahaan agar perusahaan tidak hanya sekedar mampu bertahan, tapi juga menjadi salah satu market leader dalam industri minuman jus RTD di pasar nasional. Pengukuran kinerja yang ideal dalam suatu bisnis harus mencakup pengukuran secara financial dan non

  

financial . Saat ini pengukuran kinerja perusahaan hanya melihat dari perspektif financial, pengukuran

  kinerja non financial belum dilakukan. Pengukuran kinerja yang berorientasi pada perspektif financial saja mengakibatkan pengukuran kinerja dari perspektif lainnya bisa terabaikan. Hal ini dapat membuat pihak managemen hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek saja, dan cenderung mengabaikan kelangsungan hidup perusahaan untuk jangka panjang [2]. Secara praktisnya, pengukuran kinerja

  

financial yang biasanya tertuang dalam bentuk laporan keuangan perusahaan, hanya berorientasi

  terhadap hasil akhir saja (result oriented), tidak dapat menggambarkan bagaimana kinerja secara

  

business process oriented . Pengukuran kinerja non financial akan memberikan gambaran bagaimana

  kinerja secara business process oriented bisa terukur. Saat ini perusahaan tidak memiliki indikator non

  

financial yang menggambarkan bagaimana kinerja business process nya. Hal ini menjadi kendala bagi

  perusahaan dalam meningkatkan kinerja, terutama kinerja non financialnya. Salah satu fungsi non financial perusahaan yang belum dilakukan pengukuran terhadap kinerjanya adalah supply chain management (SCM). Pengukuran kinerja adalah aspek penting agar SCM berhasil dan pengukuran kinerja yang efektif diperlukan bagi SCM [3]. Kurangnya pengukuran kinerja yang memadai adalah salah satu hambatan utama untuk mencapai SCM yang efisien [4]. Pengukuran kinerja dalam konteks supply chain kini menjadi sangat penting. Alasannya jelas, organisasi mulai mencari cara untuk meningkatkan operasi kinerja mereka melalui integrasi yang lebih baik dari operasi seluruh rantai berikutnya dan fungsi dipisahkan dalam rantai nilai. Kemampuan untuk mengukur kinerja operasi yang dapat dilihat sebagai satu kebutuhan untuk perbaikan, dan perusahaan berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka [5]. Ada beberapa model yang digunakan dalam pengukuran kinerja supply chain, salah satu diantaranya adalah Supply Chain Operational Reference (SCOR). Model SCOR dirancang oleh Supply Chain Council (SCC). Model SCOR juga akan digunakan perusahaan untuk dapat mengetahui dimana posisi suatu organisasi terhadap pesaingnya, serta menemukan arah perbaikan bagi penciptaan keunggulan bersaing. SCOR adalah kerangka hirarkis dengan KPI pada setiap levelnya. Adopsi KPI membantu organisasi menerapkan managemen secara ilmiah dan memungkinkan proses administrasi menjadi lebih efisien. Selain itu, SCOR mensetup sistem secara hirarkis dan menyediakan KPI yang sesuai pada setiap level SCOR [6]. Dari paparan diatas, maka fokus utama pada penelitian ini adalah menggunakan SCOR model untuk melakukan pengukuran dan analisis kinerja supply chain dengan menggunakan performance atribut level 1 sebagai KPI basic serta melakukan penetapan strategy supply chain dengan melakukan

  

benchmark untuk mendorong peningkatan kinerja supply chain perusahaan. State of the Art dari

  penelitian ini adalah melakukan perhitungan data secara kuantitatif dan data kualitatatif untuk metrik yang sama, namun untuk tujuan penggunaan yang berbeda. Adapun susunan penelitian terdiri atas tiga bagian utama, dimana pada bagian pertama berisi gambaran ringkas latar belakang penelitian dan berfokus pada permasalahan pengukuran kinerja supply chain menggunakan SCOR, memberikan tinjauan teori yang digunakan untuk penelitian, serta menjelaskan metodologi penelitian. Pada bagian kedua, menguraikan hasil analisis kualitatif dan atau kuantitatif dengan penekanan pada jawaban atas permasalahan. Pembahasan juga dikembangkan dengan hasil-hasil penelitian berikut referensi yang mendukung. Dan bagian ketiga, berisi berbagai simpulan yang di ambil berdasarkan penelitian yang telah dilakukan.

  Kajian Teori Supply Chain Operation Reference Model (SCOR Model)

  SCOR model dikembangkan oleh Supply chain council (SCC) pada tahun 1996. SCOR model berfokus pada fungsi manajemen rantai pasokan dari perspektif proses operasional dan termasuk didalamnya, interaksi pelanggan, transaksi fisik, dan interaksi pasar. Dalam dekade terakhir, model SCOR telah banyak diadopsi oleh banyak perusahaan termasuk Intel, General Electric (GE), Airbus, DuPont, dan

  IBM [7]. SCOR adalah model referensi. Tujuan dari model referensi proses, atau kerangka proses bisnis, adalah untuk menggambarkan arsitektur proses dengan cara yang masuk akal sebagai mitra bisnis utama. Walaupun sederhana model SCOR telah terbukti tangguh dan ditetapkan sebagai tool set yang kuat untuk menggambarkan, menganalisis, dan meningkatkan supply chain. SCOR reference model terdiri atas empat komponen utama [8], yaitu:

  1. : berisi standard metrik untuk menggambarkan performansi proses dan

  Performance mendefinisikan tujuan strategis.

  2. Processes: berisi deskripsi standard dari proses managemen dan hubungan antar proses 3. (Best) Practices : berisi praktek managemen terbaik yang menghasilkan kinerja proses secara signifikan.

  4. People : Definisi standard dari ketrampilan yang harus dimiliki pada supply chain Model SCOR pada dasarnya merupakan model proses yang mengintegrasikan tiga unsur utama dalam managemen, yaitu Bussiness Process Reengineering (BPR), Benchmarking, dan Best Practice Analysis (BPA) kedalam kerangka lintas fungsi rantai pasok [8]. SCOR membagi proses-proses rantai pasok menjadi lima proses inti, yaitu plan, source, make, delivery dan return. Pengunaan model SCOR dalam merancang sistem pengukuran kinerja supply chain berdasarkan proses, membuat perusahaan akan mampu mengevaluasi kinerja aktivitas supply chain nya secara holistik untuk melakukan monitoring dan controlling, serta mengkomunikasikan tujuan perusahaan ke fungsi bisnis yang terkait aktivitas supply chain. Terdapat 4 level tahapan pemetaan SCOR [8], yaitu:

  

1. Level 1, Mendefinisikan ruang lingkup dan isi dari SCOR Model.Selain itu, pada tahap ini juga

ditetapkan target-target performance perusahaan untuk bersaing.

  

2. Level 2, merupakan tahap konfigurasi, pada tahap ini Perusahaan bisa membentuk konfigurasi

saat ini (as-is) maupun yang diinginkan (to-be).

  

3. Level 3, merupakan tahap dekomposisi proses-proses yang ada pada rantai pasok menjadi

elemen-elemen yang mendefinisikan kemampuan perusahaan untuk berkompetisi.

  

4. Level 4, merupakan tahap implementasi yang memetakan program-program penerapan secara

  spesifik serta mendefinisikan perilaku-perilaku untuk mencapai competitive advantage dan beradaptasi terhadap perubahan kondisi bisnis.

  

Performance SCOR terdiri dari dua jenis unsur yaitu performance atribut (atribut kinerja) dan metrik.

  Sebuah atribut kinerja adalah pengelompokan metrik yang digunakan untuk mengekspresikan strategi. Atribut itu sendiri tidak bisa diukur, digunakan untuk mengatur arah strategis. Metrik mengukur kemampuan rantai pasokan untuk mencapai atribut-atribut strategis [8]. Setiap metrik dari SCOR model berasosiasi secara tepat pada salah satu dari atribut kinerja, seperti tersaji pada Tabel 1.

  1. Supply Chain Reliability (RL) berkaitan dengan keandalan

  2. Supply Chain Responsiveness (RS) berkaitan dengan kecepatan waktu respon setiap perubahan

  3. Supply Chain agility (AG) berkaitan dengan keflesibelan di dalam menghadapi setiap perubahan

  4. Supply Chain Cost (CO) berkaitan dengan biaya-biaya di dalam Supply chain

  5. Efisiensi (AM) dalam pengelolaan asset berkaitan dengan nilai suatu barang Tabel 1. Asosiasi antara Performance atribut dengan Metrik level 1 SCOR model

  Atribut Kinerja Metrik Kinerja Level 1 External Internal Reliability Responsiveness Agility Cost Asset

  1. Perfect Order Fulfillment

  2. Order Fullfillment Cycle time

  3. Upside Supply chain Fexibility - - - √

  • 4. Upside Supply chain Adaptability √

  5. Downside Supply Chain

  √ Adaptability

  6. Supply Chain Management Cost √ - - - -

  7. Cost of Good Sold √ √ - - -

  8. Cash to Cash Cycle time

  • √ - -

  9. Return Supply Chain Fixed Asset

  √

  10. Return on working Capital

  √

  Analytical Hierarchi Process (AHP)

  AHP merupakan suatu metode dalam pemilihan alternatif-alternatif dengan melakukan penilaian komparatif berpasangan sederhana yang digunakan untuk mengembangkan prioritas-prioritas secara keseluruhan berdasarkan ranking. AHP adalah prosedur yang berbasis matematis yang sangat baik dan sesuai untuk evaluasi atribut-atribut kualitatif dan kuantitatif baik bagi pengukuran secara financial maupun non financial dan bagaimana atribut tersebut ditempatkan sesuai dengan skala kepentingannya [5]. Model pendukung keputusan ini menguraikan masalah multi faktor atau multi kriteria menjadi sebuah hierarki [9]. Penguraian masalah yang kompleks kedalam bentuk hierarki membuat permasalahan menjadi lebih terstruktur dan sistematis, seperti terlihat pada Gambar 1.

  Gambar 1. Struktur hirarki AHP

  Metodologi

  Penelitian ini merupakan pendekatan studi kasus dengan model kuantitatif. Menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer sebagai data kualitatatif diperoleh dengan teknik wawancara, survey lapangan, dan penyebaran kuesioner kepada 7 orang responden ahli. Sedangkan teknik pengumpulan data sekunder sebagai data kuantitatif diperoleh dari laporan departemen PT API yang melakukan fungsi supply chain perusahaan (purchasing, warehouse, distribusi, marketing), internet, literature, dan penelitian penelitian sebelumnya. Data primer hasil kuesioner 7 orang responden diolah dengan tool AHP untuk menentukan prioritas kriteria supply chain performance (RL, RS, AG, CO, AM) yang akan digunakan sebagai penetapan strategy supply chain untuk performance atribut metrik level 1 SCOR. Data sekunder hasil laporan PT API digunakan untuk perhitungan nilai kinerja untuk tiap metrik atau KPI supply chain, yang pada akhirnya digunakan untuk memperoleh nilai kinerja keseluruhan supply chain PT API. Tahapan analisis data adalah sebagai berikut:

  1. Perhitungan data sekunder untuk tiap metrik level 1 SCOR/KPI supply chain, berdasarkan definisi dan perhitungan tiap metrik berdasarkan SCC, adalah sebagai berikut: a. Perfect Order Fulfillment (POF), adalah presentase order terkirim lengkap dan tepat waktu.

  [ ]

  = 100% (1)

  [ ] b.

  Order Fulfillment Cycle time (OFCT), adalah waktu antara pelanggan memesan sampai dengan pesanan diterima oleh pelanggan.

  [ ]

  = 100% (2)

  [ ]

  c. Upside Supply chain flexibility (USCF), adalah jumlah hari yang dibutuhkan (proses Plan,

  Source,Make, Delivery ) untuk mencapai peningkatan tidak terencana secara berkelanjutan sebanyak 20% dari jumlah produk yang dikirim.

  (3) d. Upside Supply chain Adaptability (USCA), adalah persentase kenaikan jumlah maksimum terkirim yang dapat dipertahankan (sustainable) dan dapat dicapai dalam 30 hari.

  USCA = Upside (Source Adaptability + Make Adaptability + deliver Adaptability ) (4)

  e. Downside Supply chain Adatability, adalah pengurangan kuantitas yang dipesan dalam 30 hari sebelum pengiriman tanpa persediaan atau biaya tambahan.

  DSCA = Downside (Source Adaptability + Make Adaptability + deliver Adaptability) (5)

  f. Supply Chain Management Cost (SCMC), adalah biaya langsung dan tak langsung untuk proses perencanaan, sourcing, delivery dan return.

  SCMC = Sales

  • – Profit – Cost to Serve

  (6)

  Hasil Perhitungan

  9. RSCFA 41.81 % N/A 41.81 0.120

  0.6 0.002

  8. CTCCT 149 Days 1/149 100%

  7. COGS 40.95 % N/A 40.95 0.117

  6. SCMC 36.43 % N/A 36.43 0.104

  5. DSCA N/A % N/A N/A 0.000

  4. USCA 85% % N/A 85 0.244

  5 Days 1/5 100% 20 0.057

  3. USCF

  2. OFCT 7.53% % N/A 7.53 0.022

  1. POF 92.48% % N/A 92.48 0.265

  Terbobot

  Normalisasi (%) Normalisai

  Satuan Normalisasi Hasil

  KPI Notasi

  g.

  =

  Cost of Good Sold (COGS), biaya yang terkait dengan pembelian bahan baku dan menghasilkan barang jadi.

  = + + ℎ (7) h. Cash to Cash Cycle time (CTCCT), waktu yang dibutuhkan bagi investasi untuk mengalir kembali ke perusahaan setelah dibelanjakan bahan baku.

  = + ( + ) (8) i. Return Supply Chain Fix Asset (RSCFA), adalah tingkat pengembalian investasi yang dialokasikan pada asset tetap supply chain.

  =

  − −

  (9) j. Return on Working Capital (ROWC), besarnya investasi relatif kepada posisi modal kerja perusahaan yang digunakan untuk menghasilkan pendapatan dari rantai pasok.

  − −

  Berdasarkan tahapan analisis diatas diperoleh hasil pengolahan data sekunder dan data primer. Hasil pengolahan data sekunder untuk mendapatkan nilai pengukuran kinerja bagi ke 10 metrik level 1 performance atribut dengan menggunakan rumus dan definisi pada nomor (1) sampai dengan nomor (10) hasil tersaji pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil perhitungan data sekunder KPI supply chain No.

  (10) 2. Normalisasi data sekunder kemudian dihitung kinerja keseluruhaaan supply chain 3. Membuat hirarki dari performance atribut SCOR (RL, RS, AG, CO, AM) dan metrik level 1 sebagai KPI (POF, OFCT, USCA, USCF, DSCA, SCMC, COGS, CTCCT, RSCFA, ROWC)

  4. Menentukan tingkat kepentingan KPI untuk tiap performance atribut dengan AHP dengan mengolah data hasil kuesioner dari 7 orang responden expert.

  5. Menetapkan strategy untuk tiap KPI berdasarkan tingkat kepentingannya (Superior, Advantage, Parity) 6. Benchmark nilai dari tiap KPI dengan perusahaan sejenis pada kategori best in class, dengan menggunakan SCOR card.

  7. Identifikasi nilai KPI yang belum mencapai target sesuai dengan nilai penetapan strateginya.

  8. Analisa penyebab masalah untuk KPI yang masih terdapat gap antara nilai aktual dengan nilai dari hasil penetapan strategi yang ingin dicapai.

  2. Pembahasan

  10. ROWC 24.20 % N/A 24.20 0.069 Karna keterbatasan data sekunder maka perhitungan untuk KPI DSCA tidak dapat dilakukan. Sehingga efektif KPI yang digunakan untuk perhitungan performance supply chain adalah 9 jenis KPI. Tabel diatas masih merupakan hasi pengukuran untuk tiap KPI supply chain, belum memberikan informasi nilai keseluruhan kinerja supply chain PT API. Untuk mendapatkannya maka dilakukan pengalian hasil normalisasi dan bobot untuk tiap tiap KPI. Diperoleh total hasil keseluruhan pengukuran kinerja supply chain PT API adalah 61.81 dari skala 100. Tahapan analisis berikutnya adalah membentuk hirarki dari performance atribut SCOR, selanjutnya dilakukan pengolahan data primer hasil kuesioner responden 7 orang expert di PT API. Data diolah dengan menggunakan AHP untuk menentukan tingkat kepentingan dari ke 9 KPI dan tingkat kepentingan dari 5 performance atribut supply chain. Diperoleh bobot untuk tiap KPI performance atribut SCOR dapat dilihat pada Gambar 2. Adapun hasil normalisasi terbobot untuk tiap KPI disajikan pada Tabel 3. Normalisasi terbobot digunakan sebagai penentu tingkat kepentingan tiap KPI. Untuk tiap performance atribut akan direpresentasikan oleh KPI dengan nilai normalisasi terbobot yang paling besar, sebagai contoh untuk performance atribut Agility yang memiliki 3 KPI dibawahnya yaitu USCA, DSCA, dan USCF, diambil KPI USCF dengan bobot terbesar yang akan merepresentasikan performance atribut agility, karna diasumsikan sebagai KPI dengan tingkat kepentingan terbesar.

  Gambar 2. Susunan Hirarki dan hasil perhitungan matriks berpasangan dengan AHP Tabel 3. Nilai pembobotan KPI dengan Normalisasi terbobot

  KP OFC USC USC DSC SCM COG CTCC RSCF ROW Tota POF

  I T A F A C S T A C l

  0.34

  0.95 W 0.319 0.235 0.467 0.298 0.779 0.221 0.534 0.257 0.015

  2

  1 N

  0.36 0.336 0.048 0.096 0.061 0.006 0.017 0.042 0.019 0.016

  1 W Setelah diperoleh hasil pengolahan data primer dan sekunder, maka tahapan selanjutnya adalah melakukan analisis dengan SCOR card. SCOR card digunakan untuk melakukan benchmark terhadap nilai kinerja dengan tingkat kepentingan terbesar untuk masing masing performance atribut. Benchmark dilakukan terhadap nilai aktual dengan nilai kinerja untuk KPI yang sama pada industri sejenis. Kecuali pada metrik COGS, digunakan nilai benchmark menggunakan target yang ingin dicapai perusahaan yaitu rasio COGS tahun 2016 dibawah 50%. Dari 5 KPI dengan bobot terbesar, maka ditentukan penetapan strateginya. KPI dengan nilai bobot terbesar yaitu POF ditetapkan strategy Superior, diikuti OFCT dengan penetapan strategy Advantage, dan strategi 3 KPI lainnya adalah Parity. Penetapan strategi pada SCOR card hanya diperbolehkan 1 superior dan 1 advantage [10]. Hal ini bertujuan agar improvement gap bisa lebih terfokus pada KPI dengan tingkat kepentingan terbesar. SCOR card benchmark supply chain PT API tersaji pada Gambar 3.

  BENCHMARK

  Suppy Chain Score Card - 2016

  Dimensi Performance SCOR level 1 Metrik STRATEGY Actual Parity Advantage Superior GAP Atribute (KPI) Reliability POF S 92.48% 92% 96% 98% 5.52%

  SC Internal 3 days 6 days 4 days 2 days 1 day

  Responsiveness OFCT A Facing

  Agiity USCF A 5 days 80 days 62 days 40 days +75 days Cost COGS P 54.27% >50% 43-49% <43% 4.27% SC External Facing

  Asset Management CTCCT P 149 days 130 days 110 days 90 days 19 days

  Gambar 3. Supply Chain SCOR Card

3. Simpulan

  Dengan menggunakan SCOR model diperoleh hasil empiris perhitungan overall performance supply

  

chain PT API adalah 61.82, nilai performance tersebut mengindikasikan bahwa kinerja supply chain PT

  API masih dalam kategori rata-rata (Average). Dari SCOR card yang digunakan, diketahui bahwa hasil gap yang diperoleh sesuai dengan penetapan strateginya kemudian benchmark menghasilkan gap untuk tiap KPI adalah POF 5.52% , OFCT 1 day, COGS 4.27% dan CTCCT 19 days. PT API harus berfokus pada improvement ke 4 KPI tersebut. Improvement bisa dilakukan jika dilakukan study untuk mengidentifikasi akar masalah supply chain. Penelitian selanjutnya diharapkan melakukan study lebih jauh lagi untuk menentukan akar masalah supply chain di PT API juga memberikan rekomendasi solusi berdasarkan best practice SCOR model. Juga kedepannya pengembangan KPI dari SCOR model bisa lebih dimanfaatkan sebagai acuan penyusunan KPI yang lebih bisa mengukur kinerja supply chain secara taktis dan operasional.

  Daftar Pustaka [1].

  Corpora, PT Corinthian Infopharma. "Study of Industry and Market of Juice in Indonesia, 2012/2013." Publication of CIC Consulting Group, Jakarta, Indonesia (2013). [2].

  Kurien, Georgy P., and Muhammad N. Qureshi. "Study of performance measurement practices in supply chain management." International Journal of Business, Management and Social

  Sciences 2.4 (2011): 19-34.

  [3].

  Gunasekaran, Angappa, Chaitali Patel, and Ercan Tirtiroglu. "Performance measures and metrics in a supply chain environment." International journal of operations & production Management 21.1/2 (2001): 71-87. [4].

  Lai, Kee-hung, E. W. T. Ngai, and T. C. E. Cheng. "Measures for evaluating supply chain performance in transport logistics." Transportation Research Part E: Logistics and

  Transportation Review 38.6 (2002): 439-456.

  [5].

  Kocaoğlu, Batuhan, Bahadır Gülsün, and Mehmet Tanyaş. "A SCOR based approach for measuring a benchmarkable supply chain performance." Journal of Intelligent Manufacturing 24.1 (2013): 113-132. [6].

  Cho, Dong Won, et al. "A framework for measuring the performance of service supply chain management." Computers & Industrial Engineering 62.3 (2012): 801-818. [7].

  Zhou, Honggeng, et al. "Supply chain integration and the SCOR model." Journal of Business Logistics 32.4 (2011): 332-344. [8].

  Council, Supply Chain. "Supply chain operations reference (SCOR) model version 10.0." The Supply Chain Council, Inc. SCOR. The Supply Chain Reference (binder) (2010). [9].

  Saaty, Thomas L. "Decision making with the analytic hierarchy process." International journal of services sciences 1.1 (2008): 83-98. [10].

  Bolstorff, Peter, and Robert G. Rosenbaum. Supply chain excellence: a handbook for dramatic improvement using the SCOR model . AMACOM Div American Mgmt Assn, 2007.