BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN 2.1 Penelitian Terdahulu - Pengaruh Kepemilikan Manajerial Dan Institusional Serta Kebijakan Utang Terhadap Kebijakan Dividen Dan Nilai Perusahaan Manufaktur Penanaman Modal Asing Di Bursa Efek Indonesia

BAB II TINJAUAN KEPUSTAKAAN

2.1 Penelitian Terdahulu

  Widanar dan Pujiati (2009) meneliti pengaruh struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan: keputusan keuangan sebagai variabel intervening. Populasi yang digunakan dalam penelitian adalah perusahaan-perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta periode 2004 sampai 2006. Teknik analisis data menggunakan path analysis.

  Hasil penelitian menunjukkan Kepemilikan manajerial berpengaruh negatif signifikan terhadap nilai perusahaan tetapi tidak pada kebijakan dividen. Kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan tetapi berpengaruh terhadap kebijakan dividen. Kebijakan hutang maupun kebijakan dividen berpengaruh positif signifikan terhadap nilai perusahaan. Kepemilikan institusional dan kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan secara tidak langsung melalui kebijakan dividen sebagai variabel intervening.

  Endraswati dan Salatiga (2010), meneliti pengaruh struktur kepemilikan dan kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan dengan kebijakan hutang sebagai variabel

  

moderating pada perusahaan di BEI tahun 2007-2008. Pemilihan sampel menggunakan

purposive sampling dengan teknik analisis regresi berganda. Berdasarkan hasil uji

  hipotesa, penelitian ini menyatakan bahwa kepemilikan insider dan kepemilikan institusional berpengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan sedangkan kebijakan dividen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan dengan koefisien dividen -0.545 dan tingkat sig 0.049. Hal ini berarti investor lebih menyukai jika laba perusahaan ditanamkan kembali untuk investasi yang menguntungkan daripada dibagikan sebagai dividen.

  Wahyudi dan Pawestri (2006) meneliti implikasi struktur kepemilikan terhadap nilai perusahaan: dengan keputusan keuangan sebagai variabel intervening. Variabel yang digunakan adalah kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, kebijakan utang, keeputusan investasi, kebijakan dividen dan nilai perusahaan. Sampel penelitian adalah perusahaan go publik yang terdaftar pada Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 2003 sampai tahun 2002 dengan menggunakan path analysis. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa struktur kepemilikan manajerial dan kebijakan utang berpengaruh terhadap nilai perusahaan sedangkan kebijakan dividen dan struktur kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan.

  Sujoko dan Soebiantoro (2007), meneliti pengaruh struktur kepemilikan saham,

  leverage , faktor intern dan faktor ekstern terhadap nilai perusahaan. Studi empirik pada

  perusahaan manufaktur dan non manufaktur di Bursa Efek Jakarta tahun 2000 sampai tahun 2004 dengan teknik analisis data menggunakan SEM aplikasi AMOS versi 4,1.

  Hasil penelitian menjelaskan bahwa Variabel kepemilikan institusional dan kebijakan utang mempunyai pengaruh negatif dan signifikan terhadap nilai perusahaan, Variabel kepemilikan manajerial tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap nilai perusahaan dan Variabel pembayaran dividen mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan.

  Artini dan Puspaningsih (2010) meneliti pengaruh struktur kepemilikan dan struktur modal terhadap kebijakan dividen dan nilai perusahaan pada industri manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2009 yang berjumlah 149 perusahaan. Sampel diambil dari seluruh populasi dengan menggunakan metode purposive

  

sampling. Variabel yang digunakan peneliti adalah kepemilikan manajerial, kebijakan

  utang (DER), kebijakan dividen (DPR) dan nilai perusahaan (PBV) dengan teknik analisis jalur (path analysis). Hasil penelitian menunjukkan struktur kepemilikan dan kebijakan dividen berpengaruh posisitf terhadap nilai perusahaan sedangkan kebijakan utang tidak berpengaruh signifikan.

Tabel 2.1 Penelitian Terdahulu

  Nama Judul Variabel Hasil Penelitian

  Widanar dan struktur 1.

  1. Variabel bebas: Kepemilikan manajerial, kebijakan hutang dan kebijakan dividen Pujiati (2009) kepemilikan kepemilikan manajerial, berpengaruh positif signifikan terhadap nilai kepemilikan pada nilai perusahaan. perusahaan: institusional,kebijakan 2.

  Kepemilikan institusional dan keputusan hutang (DER), investasi kepemilikan manajerial keuangan (IOS), kebijakan berpengaruh terhadap nilai sebagai dividen (DPR) perusahaan secara tidak langsung variabel

  2. melalui kebijakan dividen sebagai Variabel terikat: variabel intervening.

  intervening . nilai perusahaan (PBV)

  Endraswati pengaruh 1.

  1. Variabel bebas: kepemilikan insider dan dan Salatiga struktur kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional (2010) kepemilikan kepemilikan berpengaruh positif dan signifikan dan kebijakan institusional, kebijakan terhadap nilai perusahaan dividen dividen (DPR), 2. kebijakan dividen berpengaruh terhadap nilai

  2. negatif dan signifikan terhadap Variabel terikat: perusahaan kebijakan utang (DER), nilai perusahaan dengan Nilai perusahaan (PBV) kebijakan hutang sebagai variabel

  moderating

  pada perusahaan di BEI tahun 2007-2008

  Sujoko dan pengaruh

  1. Variabel bebas: 1.

  Variabel kepemilikan institusional Soebiantoro struktur Kepemilikan manajerial, dan kebijakan utang mempunyai (2007), kepemilikan kepemilikan pengaruh negatif dan signifikan saham, institusional, terhadap nilai perusahaan

  leverage , profitabilitas, dividen, 2.

  Variabel kepemilikan manajerial faktor intern ukuran perusahaan, tidak mempunyai pengaruh yang dan faktor pangsa pasar signifikan terhadap nilai ekstern Variabel terikat: perusahaan dan Variabel terhadap nilai 1. pembayaran dividen mempunyai

  Leverage, nilai perusahaan perusahaan pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan

  Nama Judul Variabel Hasil Penelitian

  Wahyudi dan Implikasi 1.

  1. Dependen: Price Book Kepemilikan manajerial Pawestri Struktur Value (PBV) berpengaruh signifikan terhadap (2006) Kepemilikan 2. keputusan investasi dan keputusan

  Independen: Terhadap Nilai Kepemilikan Manajerial pendanaan, tetapi tidak terhadap Perusahaan: dan Kepemilikan kebijakan dividen. kepemilikan Dengan Institusional institusional tidak berpengaruh Keputusan 3. terhadap seluruh keputusan

  Intervening: Keputusan Keuangan Investasi, Keputusan keuangan. Sebagai pendanaan, dan 2.

  Keputusan pendanaan berpengaruh Variabel Kebijakan Dividen terhadap nilai perusahaan, tetapi Intervening keputusan investasi dan kebijakan dividen tidak berpengaruh terhadap nilai perusahaan. Artini dan pengaruh 1.

  1. Variabel bebas: Struktur kepemilikan dan Puspaningsih struktur kepemilikan manajerial, kebijakan dividen berpengaruh (2010) kepemilikan kebijakan utang (DER), positif terhadap nilai perusahaa dan struktur

  2.

  2. variabel terikat: Kebijakan utang tidak berpengaruh modal kebijakan dividen (DPR) signifikan. terhadap dan nilai perusahaan kebijakan (PBV) dividen dan nilai perusahaan pada industri manufaktur yang terdaftar di BEI periode 2006-2009

2.2 Landasan Teori

2.2.1 Teori Agensi

  Teori keagenan (agency theory) menjelaskan bahwa hubungan agensi muncul ketika satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agent) untuk memberikan suatu jasa dan kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agent tersebut (Jensen dan Meckling, 1976). Sedangkan Hendriksen dan Michael (2000) menyatakan agen menutup kontrak untuk melakukan tugas-tugas tertentu bagi prinsipal dan prinsipal menutup kontrak untuk memberi imbalan kepada agen. Analoginya seperti antara pemilik perusahaan dan manajemen perusahaan.

  Perusahaan dipandang sebagai sekumpulan kontrak antara manajer perusahaan dan pemegang saham. Prinsipal atau pemilik perusahaan menyerahkan pengelolaan perusahaan terhadap pihak manajemen. Manajer sebagai pihak yang diberi wewenang atas kegiatan perusahaan dan berkewajiban menyediakan laporan keuangan akan cenderung untuk melaporkan sesuatu yang memaksimalkan utilitasnya dan mengorbankan kepentingan pemegang saham. Sebagai pengelola perusahaan, manajer akan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan dibandingkan pemilik (pemegang saham).

  Manajer berkewajiban memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik sebagai wujud dari tanggung jawab atas pengelolaan perusahaan namun informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan sebenarnya sehingga hal ini memacu terjadinya konflik keagenan. Dalam kondisi yang demikian dikenal sebagai informasi yang tidak simetris atau asimetri informasi

  (information asymmetric) (Imanda dan Nasir, 2006). Ujiyantho dan Pramuka (2008), menggunakan tiga asumsi sifat dasar manusia guna menjelaskan tentang teori agensi yaitu: (1) manusia pada umumnya mementingkan diri sendiri (self interest), (2) manusia memiliki daya pikir terbatas mengenai persepsi masa mendatang (bounded rationality), dan (3) manusia selalu menghindari resiko (risk averse). Berdasarkan asumsi sifat dasar manusia tersebut manajer sebagai manusia kemungkinan besar akan bertindak berdasarkan sifat opportunistic, yaitu mengutamakan kepentingan pribadinya.

2.2.2 Struktur Kepemilikan

  Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut pandang yang berbeda (Ituriaga dan Zans, 1998) yaitu: 2.

  Pendekatan keagenan: struktur kepemilikan merupakan suatu mekanisme untuk mengurangi konflik kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

  3. Pendekatan informasi asimetri: struktur kepemilikan sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidakseimbangan informasi antara insider dan outsider melalui pengungkapan informasi. Istilah struktur kepemilikan juga dipakai untuk menunjukkan bahwa variabel- variabel yang penting dalam struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang dan ekuitas, tetapi persentase kepemilikan antara manajer dan institusional. Berdasarkan proporsi saham yang dimiliki, struktur kepemilikan dikelompokkan menjadi (Jensen & Meckling, 1976):

  1. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership): proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris).

  2. Kepemilikan institusional (Institutional Ownership): proprosi pemegang saham yang dimiliki oleh pemilik institusional seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan lain kecuali anak perusahaan dan institusi lain yang memiliki hubungan istimewa (perusahaan afiliasi dan perusahaan asosiasi) atas laporan yang dibuat menurut data di Jakarta Stock Exchange serta kepemilikan saham oleh pihak blockholders yaitu saham yang dimiliki perseorangan diatas 5% selama tiga tahun berturut-turut tetapi tidak termasuk dalam golongan kepemilikan insider. Para pihak tersebut dapat berpengaruh pada nilai perusahaan terkait dengan peran mereka sebagai

  monitoring management atau bentuk.

2.2.2.1 Kepemilikan manajerial

  Dalam agency theory, hubungan antara pemegang saham dengan manajer digambarkan sebagai hubungan antara agen dengan principal. Manajer sebagai agen dan pemilik perusahaan sebagai principal. Agen diberikan mandat atau kepercayaan oleh principal untuk menjalankan bisnis perusahaan demi kepentingan principal.

  Dengan demikian, keputusan manajer adalah keputusan yang bertujuan untuk memaksimalkan sumber daya perusahaan. Perusahaan akan dirugikan jika manajer bertindak untuk kepentingannya sendiri dan bukan untuk kepentingan pemegang saham. Keadaan inilah yang memunculkan konflik keagenan antara manajer dengan pemilik perusahaan. Masing-masing pihak memiliki tujuan dan memiliki risiko yang berbeda berkaitan dengan perilakunya. Manajer apabila gagal menjalankan fungsinya akan berisiko tidak ditunjuk lagi sebagai manajer perusahaan, sementara pemegang saham akan berisiko kehilangan modalnya kalau salah memilih manajer. Hal ini merupakan konsekuensi dari pemisahan antara fungsi kepemilikan dengan pengelolaan (Jensen dan Meckling (1976).

  Konflik keagenan akan dapat diminimalkan jika manajer sebagai pemilik perusahaan atau sebaliknya pemilik sebagai manajer. Manajer sekaligus sebagai pemilik perusahaan akan menselaraskan kepentingannya dengan kepentingan pemegang saham.

  Kepemilikan manajemen adalah proporsi pemegang saham dari pihak manajemen yang secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan perusahaan (direktur dan komisaris) (Diyah dan Erman, 2009). Dengan adanya kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan dugaan yang menarik bahwa nilai perusahaan meningkat sebagai akibat kepemilikan manajemen yang meningkat. Kepemilikan oleh manajemen yang besar akan efektif memonitoring aktivitas perusahaan. Shliefer dan Vishny (dalam Siallagan dan Machfoedz, 2006) menyatakan bahwa kepemilikan saham yang besar dari segi nilai ekonomisnya memiliki insentif untuk memonitor. Menurut Jensen dan Meckling (1976), ketika kepemilikan saham oleh manajemen rendah maka ada kecenderungan terjadinya peningkatan perilaku

  

opportunistic manajer. Dengan adanya kepemilikan manajemen terhadap saham

  perusahaan maka dipandang dapat menyelaraskan potensi perbedaan kepentingan antara manajemen dan pemegang saham lainnya sehingga permasalahan antara agen dan principal diasumsikan akan hilang apabila seorang manajer juga sekaligus sebagai pemegang saham. Kepemilikan manajerial dapat dirumuskan (Herawaty, 2008) dan (Darwis, 2009):

2.2.2.2 Kepemilikan Institusional

  Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan yang dimiliki oleh institusi atau lembaga seperti perusahaan asuransi, bank, perusahaan investasi dan kepemilikan institusi lain (Tarjo, 2008). Kepemilikan institusional memiliki arti penting dalam memonitor manajemen karena dengan adanya kepemilikan oleh institusional akan mendorong peningkatan pengawasan yang lebih optimal. Monitoring tersebut tentunya akan menjamin kemakmuran pemegang saham, pengaruh kepemilikan institusional sebagai agen pengawas ditekan melalui investasi mereka yang cukup besar dalam pasar modal.

  Tingkat kepemilikan institusional yang tinggi akan menimbulkan usaha pengawasan yang lebih besar oleh pihak investor institusional sehingga dapat menghalangi perilaku opportunistic manajer. Menurut Shleifer and Vishny (dalam Barnae dan Rubin, 2005) bahwa institutional shareholders, dengan kepemilikan saham yang besar, memiliki insentif untuk memantau pengambilan keputusan perusahaan.

  Begitu pula penelitian Wening (2009) Semakin besar kepemilikan oleh institusi keuangan maka semakin besar pula kekuatan suara dan dorongan untuk mengoptimalkan nilai perusahaan

  Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa kepemilikan yang besar (lebih dari 5 % ) mengindikasikan kemampuannya untuk memonitor manajemen. Semakin besar kepemilikan institusional maka semakin efisien pemanfaatan aktiva perusahaan. Dengan demikian proporsi kepemilikan institusional bertindak sebagai pencegahan terhadap pemborosan yang dilakukan manajemen (Faizal, 2004).

  Moh’d et.al (1998) menyatakan bahwa bentuk distribusi saham antar pemegang saham dari luar yaitu institutional investors dan shareholder dispersion dapat mengurangi agency cost. Karena kepemilikan dapat mewakili sumber kekuasaan yang dapat digunakan untuk mendukung atau sebaliknya terhadap keberadaan manajemen, maka konsentrasi atau penyebaran power merupakan sesuatu hal yang relevan. Adanya kepemilikan investor institusional dalam bentuk perusahaan akan meningkatkan pengawasan yang lebih optimal terhadap kinerja insiders. Hal yang sama disampaikan oleh Bathala (1994), yang menyatakan bahwa kepemilikan saham oleh institusi merupakan salah satu monitoring agents yang penting yang memainkan peranan aktif dan konsisten dalam melindungi investasi saham yang mereka pertaruhkan dalam perusahaan. Mekanisme monitoring tersebut akan menjamin peningkatan kemakmuran pemegang saham.

  Shleifer dan Vishny (1997) menyatakan bahwa adanya konsentrasi kepemilikan, para pemegang saham besar seperti investor institusional akan dapat menjalankan

  

monitoring tim manajemen secara lebih efektif, sehingga akan membatasi perilaku

  oportunistik yang dilakukan oleh insiders. Konsisten dengan Fama dan Jensen (1983) yang menyatakan mekanisme monitoring dapat dilakukan dengan menempatkan dewan ahli yang tidak dibiayai oleh perusahaan, dengan demikian tidak berada dalam pengawasan CEO, sehingga dapat melakukan monitoring dengan lebih baik. Bentuk

  monitoring yang lain adalah memberikan masukan sebagai bahan pertimbangan bagi insiders dalam menjalankan usaha dan melalui RUPS (Brigham dan Gapenski, 1996). Struktur kepemilikan institusional ditentukan dengan rumus (Cruthley et al., 1999)

2.2.3 Nilai Perusahaan

  Tujuan utama perusahaan menurut theory of the firm adalah untuk memaksimumkan kekayaan atau nilai perusahaan (value of the firm) (Salvatore, 2005).

  Memaksimalkan nilai perusahaan sangat penting artinya bagi suatu perusahaan, karena dengan memaksimalkan nilai perusahaan berarti juga memaksimalkan kemakmuran pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan (Euis dan Taswan, 2002). Menurut Husnan (2000) nilai perusahaan merupakan harga yang bersedia dibayar oleh calon pembeli apabila perusahaan tersebut dijual. Sedangkan menurut Keown dan Scott (2004) nilai perusahaan merupakan nilai pasar atas surat berharga hutang dan ekuitas perusahaan yang beredar.

  Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap tingkat keberhasilan perusahaan yang sering dikaitkan dengan harga saham (Sujoko dan Soebiantoro, 2007).

  Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga tinggi. Nilai perusahaan yang tinggi akan membuat pasar percaya tidak hanya pada kinerja perusahaan saat ini namun juga pada prospek perusahaan di masa depan.

  Nilai perusahaan sering diproksikan dengan price to book value (Ahmed dan Sudir, 2000). Price to book value dapat diartikaan sebagai hasil perbandingan antara harga saham dengan nilai buku per lembar saham. Menurut Ang (1997) secara sederhana menyatakan bahwa PBV merupakan rasio pasar yang digunakan untuk mengukur kinerja harga pasar saham terhadap nilai bukunya.

  Keberadaan PBV sangat penting bagi investor untuk menentukan strategi investasi di pasar modal karena melalui price book value, investor dapat memprediksi saham-saham yang overvalued atau undervalued (Ahmed dan Sudir, 2000). Price book

  

value menggambarkan seberapa besar pasar menghargai nilai buku saham suatu

  perusahaan. Perusahaan yang berjalan dengan baik, umumnya memiliki rasio price book

  

value di atas satu, yang mencerminkan bahwa nilai pasar saham lebih besar dari nilai

  bukunya. Price book value yang tinggi mencerminkan tingkat kemakmuran para pemegang saham, dimana kemakmuran bagi pemegang saham merupakan tujuan utama dari perusahaan (Weston dan Brigham, 2000).

2.2.4 Kebijakan hutang

  Kebijakan hutang termasuk kebijakan pendanaan perusahaan yang bersumber dari eksternal. Penentuan kebijakan hutang ini berkaitan dengan struktur modal karena hutang merupakan salah satu komposisi dalam struktur modal. Perusahaan dinilai berisiko apabila memiliki porsi hutang yang besar dalam struktur modal, namun sebaliknya apabila perusahaan menggunakan hutang yang kecil atau tidak sama sekali maka perusahaan dinilai tidak dapat memanfaatkan tambahan modal eksternal yang dapat meningkatkan operasional perusahaan (Mamduh, 2004).

  Hutang dapat digolongkan ke dalam tiga jenis, yaitu (Riyanto, 2001) : 1.

  Hutang jangka pendek (short-term debt), yaitu hutang yang jangka waktunya kurang dari satu tahun. Sebagian besar hutang jangka pendek terdiri dari kredit perdagangan, yaitu kredit yang diperlukan untuk dapat menyelengggarakan usahanya, meliputi kredit rekening koran, kredit dari penjual (levancier crediet), kredit dari pembeli (afnemers crediet), dan kredit wesel.

  2. Hutang jangka menengah (intermediate-term debt), yaitu hutang yang jangka waktunya lebih dari satu tahun dan kurang dari sepuluh tahun. Kebutuhan membelanjai usaha melalui kredit ini karena adanya kebutuhan yang tidak dapat dipenuhi melalui kredit jangka pendek maupun kredit jangka panjang.

  Bentuk utama dari hutang jangka menengah adalah term loan dan lease financing.

  3. Hutang jangka panjang (longterm debt) yaitu hutang yang jangka waktunya lebih dari sepuluh tahun. Hutang jangka panjang ini digunakan untuk membiayai ekspansi perusahaan. Bentuk utama dari hutang jangka panjang adalah pinjaman obligasi (bonds-payable) dan pinjaman hipotik (mortage).

2.2.4.1 Teori Kebijakan Hutang 1.

   Trade off Theory

  Teori Trade off menjelaskan adanya hubungan antara pajak, risiko kebangkrutan dan penggunaan hutang yang disebabkan keputusan struktur modal yang diambil perusahaan (Brealey dan Myers,1996). Teori ini membandingkan manfaat dan biaya atau keseimbangan antara keuntungan dan kerugian atas penggunaan hutang. Pada teori ini juga dijelaskan bahwa sebelum mencapai suatu titik maksimum, hutang akan lebih murah daripada penjualan saham karena adanya tax shield. Implikasinya adalah semakin tinggi hutang maka akan semakin tinggi nilai perusahaan (Mutamimah, 2003). Namun, setelah mencapai titik maksimum, penggunaan hutang oleh perusahaan menjadi tidak menarik, karena perusahaan harus menanggung biaya keagenan, kebangkrutan serta biaya bunga yang menyebabkan nilai saham turun (Hermendito Kaaro, 2001).

2. Pecking Order Theory

  Teori pecking order menetapkan suatu urutan keputusan pendanaan dimana para manajer pertama kali akan memilih untuk menggunakan laba ditahan, hutang dan penerbitan saham sebagai pilihan terakhir (Mamduh, 2004). Penggunaan hutang lebih disukai karena biaya yang dikeluarkan untuk hutang lebih murah dibandingkan dengan biaya penerbitan saham. Menurut Brealey dan Myers (1996), urutan pendanaan menurut teori peckingorder adalah sebagai berikut : a.

  Perusahaan lebih menyukai internal financing (dana internal). Dana internal tersebut diperoleh dari laba yang dihasilkan dari kegiatan perusahaan.

  b.

  Perusahaan menyesuaikan target dividen payout ratio terhadap peluang investasi mereka, sementara mereka menghindari perubahan dividen secara drastis.

  c.

  Kebijakan dividen yang sticky ditambah fluktuasi profitabilitas dan peluang investasi yang tidak dapat diproksi, berarti terkadang aliran kas internal melebihi kebutuhan investasi namun terkadang kurang dari kebutuhan investasi.

  d.

  Apabila pendanaan eksternal diperlukan, pertama-tama perusahaan akan menerbitkan alternatif paling akhir adalah saham.

3. Signaling Theory

  Brigham dan Houston (2006) menyatakan bahwa sinyal adalah suatu tindakan yang diambil oleh manajemen perusahaan yang memberikan petunjuk bagi investor tentang bagaimana manajemen memandang prospek perusahaan. Perusahaan dengan prospek yang menguntungkan akan mencoba menghindari penjualan saham dan mengusahakan modal baru dengan cara-cara lain seperti dengan menggunakan hutang. Teori ini didasarkan pada asumsi bahwa manajer dan pemegang saham tidak mempunyai akses informasi perusahaan yang sama. Ada informasi tertentu yang hanya diketahui oleh manajer, sedangkan pemegang saham tidak tahu informasi tersebut sehingga terdapat informasi yang tidak simetri (asymmetric information) antara manajer dan pemegang saham. Akibatnya, ketika struktur modal perusahaan mengalami perubahan, hal itu dapat membawa informasi kepada pemegang saham yang akan mengakibatkan nilai perusahaan berubah. Dengan kata lain, perilaku manajer dalam hal menentukan struktur modal, dapat dianggap sebagai sinyal oleh pihak luar (Mamduh, 2004).

  Kebijakan utang diukur dengan menggunakan Debt to Equity Ratio (DER) yang mencerminkan kemampuan perusahaan dalam memenuhi seluruh kewajibannya, yang ditunjukkan oleh berapa bagian modal sendiri yang digunakan untuk membayar hutang. Menurut Riyanto (2001), salah satu rasio yang termasuk dalam rasio solvabilitas atau

  

leverage adalah debt to equity ratio. Rasio ini digunakan untuk mengetahui berapa

  bagian dari setiap modal sendiri yang dijadikan jaminan untuk keseluruhan hutang perusahaan atau untuk menilai banyaknya hutang yang dipergunakan oleh perusahaan.

  Kebijakan hutang dapat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik perusahaan yang akan mempengaruhi kurva permintaan dari hutang yang ditawarkan kepada perusahaan atau permintaan perusahaan akan hutang (Ang, 1997). Perusahaan- perusahaan yang profitable memiliki lebih banyak earnings yang tersedia untuk retensi atau investasi dan karenanya, akan cenderung membangun equitas mereka relatif terhadap debt. Oleh karena itu semakin rendah DER akan semakin tinggi kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya (Ang, 1997). Semakin besar proporsi hutang yang digunakan untuk struktur modal suatu perusahaan, maka akan semakin besar pula jumlah kewajibannya (Ang, 1997).

  Peningkatan hutang pada gilirannya akan mempengaruhi besar kecilnya laba bersih yang tersedia bagi para pemegang saham termasuk dividend yang akan diterima, karena kewajiban tersebut lebih diprioritaskan daripada pembagian dividend. Jika beban hutang semakin tinggi, maka kemampuan perusahaan untuk membagi dividend akan semakin rendah, sehingga DER mempunyai pengaruh negatif dengan dividend payout

  

ratio. Debt to equity ratio dihitung dengan total hutang dibagi dengan total ekuitas

  (Jensen et al., 1992). Menurut Sartono (2008), debt to equity ratio dapat dirumuskan dengan persamaan sebagai berikut.

2.2.5. Kebijakan Dividen

  Kebijakan dividen adalah keputusan mengenai berapa banyak laba saat ini yang akan dibayarkan sebagai dividen sebagai ganti dari investasi yang ditanamkan dan berapa banyak yang dipertahankan untuk investasi kembali didalam perusahaan

  (Brigham dan Houston, 2006). Apabila perusahaan memilih untuk membagikan laba sebagai dividen, maka akan mengurangi laba yang akan ditahan dan selanjutnya mengurangi sumber dana intern. Sebaliknya jika perusahaan memilih untuk menahan laba yang diperoleh, maka kemampuan pembentukan dana internal akan semakin besar.

2.2.5.1 Teori Kebijakan Dividen

  Kebijakan dividen dalam perkembangannya masih menjadi sesuatu yang kontroversial karena sifat dan karakteristik investor dan dividen itu sendiri, adanya beberapa teori yang saling bertentangan terkait kebijakan deviden membuat kebijakan tersebut masih diperdebatkan hingga saat ini, teori tersebut menurut Brigham dan Houston (2006) antara lain: 1.

  Irrelevance theory Teori ini berkeyakinan bahwa kebijakan dividen sebuah perusahaan tidak memiliki pengaruh, baik nilai maupun biaya modalnya.

  2. Bird in the hand theory Teori ini beranggapan bahwa nilai sebuah perusahaan akan dapat dimaksimalkan dengan menetapkan rasio pembayaran dividen yang tinggi, karena pemegang saham senang jika dividen dibagikan sebesar-besarnya, dengan begitu harga saham akan meningkat.

  3. Tax preference theory Teori ini beranggapan bahwa pembayaran dividen rendah cenderung disukai investor dengan alasan: (1) tarif pajak yang ditanggung investor terkait dividen yang diterima lebih besar daripada tarif pajak atas keuntungan modal jangka panjang, (2) pajak atas keuntungan tidak akan dibayarkan hingga saham tersebut terjual, (3) terkait dengan penghapusan pajak akibat kematian pemegang saham.

  Di dalam penelitian tentang agency cost dan perilaku pembayaran dividen perusahaan, Rozeff (1982) menyatakan bahwa pembayaran dividen adalah suatu bagian dari monitoring perusahaan. Dalam kondisi demikian, perusahaan cenderung untuk membayar dividen lebih besar jika insiders memiliki proporsi saham yang lebih rendah.

  Rozeff (1982) dan Easterbrook (1984) menyatakan bahwa pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumber-sumber dana yang dikendalikan oleh manajer, sehingga mengurangi kekuasaan manajer dan membuat pembayaran dividen mirip monitoring capital market yangterjadi jika perusahaan memperoleh modal baru.

  Jensen et.al. (1992) menyatakan bahwa pembayaran dividen muncul sebagai pengganti hutang di dalam struktur modal untuk mengawasi perilaku manajer.

  Perusahaan yang memiliki dividend payout yang tinggi lebih menyukai pendanaan dengan modal sendiri, sehingga mengurangi biaya keagenan hutang. Pembayaran dividen dapat dilakukan setelah kewajiban terhadap pembayaran bunga dan cicilan hutang dipenuhi. Adanya kewajiban tersebut, akan membuat manajer berbuat lebih hati- hati.

  Kebijakan dividen dapat diperoleh dengan membandingkan antara Dividen per

  

share dan Earnings per share. Kebijakan dividen dalam penelitian ini diproksikan

  dengan Dividend Payout Ratio (DPR), dimana rasio pembayaran dividen adalah persentase laba yang dibayarkan kepada para pemegang saham dalam bentuk kas (Brigham dan Houston, 2006).

2.3. Kerangka konseptual

  Berdasarkan perumusan masalah dan latar belakang yang telah diuraikan, disusun sebuah karangka konseptual yang menunjukkan hubungan kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional serta kebijakan hutang terhadap kebijakan dividen dan nilai perusahaan.

Gambar 3.1 Kerangka Konseptual

  Kepemilikan manajerial Kepemilikan

  Institusional Nilai

  Kebijakan perusahaan dividen

  Kebijakan hutang Sumber: Widanar dan Pujiati (2009) dan Endraswati dan Salatiga (2010)

2.3.1 Struktur kepemilikan manajerial terhadap kebijakan dividen

  Manager mendapat kesempatan untuk terlibat dalam kepemilikan saham dengan tujuan mensetarakan dengan pemegang saham perusahaan. Melalui kebijakan ini manager diharapkan menghasilkan kinerja yang baik serta mengarahkan dividen pada tingkat yang rendah. Dengan penetapan dividen rendah perusahaan memiliki laba ditahan yang tinggi sehingga memiliki sumber dana internal relatif tinggi untuk membiayai investasi di masa mendatang (Nuringsih, 2005). Apabila sebagian pemegang saham menyukai dividen tinggi maka menimbulkan perbedaan kepentingan sehingga diperlukan peningkatan dividen. Sebaliknya, dalam kontek kepemilikan saham oleh managerial tinggi akan terjadi kesamaan preferensi antara pemegang saham dan manajer maka tidak diperlukan peningkatan dividen.

  Penelitian yang dilakukan Putri dan Natsir (2006) menunjukkan bahwa kepemilikan managerial secara statistik berpengaruh positif terhadap kebijakan dividen.

  Hal ini sesuai dengan penelitian Wahidahwati (2002) dan Nuringsih (2005) yang menggunakan pola linier antara kepemilikan managerial ownership dan dividen. Hasil penelitiannya menunjukkan terjadi pengaruh positif antara manajerial ownership dengan kebijakan dividen. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar keterlibatan manager dalam managerial ownership menyebabkan asset yang dimiliki tidak terdiversifikasi secara optimal sehingga menginginkan dividen semakin besar.

  Menurut Rozeff (1982) dan Haruman (2008), kepemilikan manajerial yang tinggi menyebabkan dividen yang dibayarkan pada pemegang saham rendah.

  Penetapan dividen rendah disebabkan manajer memiliki harapan investasi di masa mendatang yang dibiayai dari sumber internal. Dengan cara ini, pendanaan dengan sumber dana internal dapat menunda penggunaan utang. Bila perusahaan menggunakan utang yang tinggi, maka akan berakibat pada peningkatan financial dan kebangkrutan sehingga bila kondisi tersebut terjadi manajer terancam

  distress dikeluarkan dari perusahaan.

2.3.2 Struktur kepemilikan institusional terhadap kebijakan dividen

  Kepemilikan institusional adalah proporsi saham yang dimiliki oleh pihak institusi pada akhir tahun yang diukur dalam persentase (Listyani, 2005). Tingkat saham yang tinggi akan menghasilkan upaya-upaya pengawasan yang lebih intensif sehingga dapat membatasi perilaku opportunistik manager, yaitu manager melaporkan laba secara oportunis untuk kepentingan pribadinya (Scott, 2000).

  Shleifer dan Vishny (1986) melihat bahwa investor institusional lebih menyukai untuk memiliki saham-saham dari perusahaan yang membuat pembayaran-pembayaran dividen secara regular. Short dan Keasey (2002) menguji hubungan antara pemegang saham institusional dengan kebijakan dividen. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa pembayaran dividen memiliki hubungan positif dengan pemegang saham institusional. Demikian pula, penelitian Crutchley et. al. (1999) menemukan bukti bahwa pengaruh kepemilikan institusional terhadap pembayaran dividen adalah positif. Hasil penelitian Tandelilin dan Wilberforce (2002) juga menyatakan bahwa kepemilikan institusional memiliki pengaruh positif terhadap kebijakan dividen.

  Kehadiran kepemilikan saham oleh institusional dapat berperan sebagai pengawas yang efektif untuk mengurangi masalah keagenan, karena mereka dapat mengendalikan perilaku oportunistik dari manajer dan sekaligus memungkinkan perusahaan untuk menggunakan tingkat hutang secara optimal, dan ini akan berpengaruh pada pembayaran dividen. Pendapat ini konsisten dengan hasil penelitian Moh’d et. al. (1998) yang menyatakan bahwa dividen tinggi adalah cara untuk menarik dan mengkompensasikan lembaga atas peran pengawasan mereka.

  Hasil Penelitian Mursalim (2009) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional memiliki pengaruh signifikan positif terhadap kebijakan dividen. Hasil ini mengindikasikan ketika proporsi kepemilikan institusional mengalami peningkatan, maka return yang diterima pemegang saham juga meningkat. Hal ini menunjukkan pembayaran dividen mengalami peningkatan seiring dengan peningkatan proporsi kepemilikan institusional. Bukti ini mendukung pernyataan Mahadwartha dan Jogianto (2002) bahwa manajemen menggunakan dividen sebagai sinyal prospek perusahaan. Hal yang sama juga dikemukakan Hatta (2002) menyatakan kebijakan dividen sering dianggap sebagai signal bagi investor dalam menilai baik buruknya perusahaan, karena kebijakan dividen berdampak terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan harga saham.

  Teory keagenan (agency theory) memunculkan argumentasi terhadap adanya konflik antara pemilik yaitu pemegang saham dengan manajer. Konflik tersebut muncul sebagai akibat perbedaan kepentingan antara kedua pihak. Kepemilikan manajerial (insider) kemudian dipandang sebagai mekanisme kontrol yang tepat untuk mengurangi konflik tersebut. Dalam hal ini kepemilikan insider dipandang dapat menyamakan kepentingan antara pemilik dan manajer, sehingga semakin tinggi kepemilikan insider akan semakin tinggi pula nilai perusahaan. Namun demikian Demsetz (1983) dan Fama & Jensen (1983) menemukan bahwa dalam tahap tertentu, hubungan tersebut tidak selalu demikian. Dalam kepemilikan insider yang relatif rendah efektifitas kontrol dan kemampuan menyamakan kepentingan antara pemilik dan manajer akan berdampak signifikan terhadap nilai perusahaan.

  Pound (1998) mengemukakan tiga alternatif hipotesis terhadap hubungan antara tingkat kepemilikan institusional dan nilai perusahaan. Hipotesis pertama adalah The

  

Efficient Monitoring Hypothesis . Hipotesis ini mengungkapkan bahwa investor

  individual maupun insider dengan tingkat kepemilikan saham yang rendah (minoritas) memiliki kecenderungan memanfaatkan atau meminjam kekuatan voting yang dimiliki oleh pemegang saham institusional mayoritas untuk mengawasi kinerja manajemen. Dalam hal ini investor institusional mayoritas akan berpihak pada kepentingan pemegang saham minoritas karena memiliki kepentingan yang sama terutama dalam hal insentif ekonomis baik itu jangka panjang (dividen), maupun jangka pendek (abnormal

  

return saham). Tindakan ini berdampak pada meningkatnya nilai perusahaan yang

ditunjukkan melalui kenaikan harga saham di pasar modal.

  Hipotesis kedua adalah The Strategic Alignment Hypothesis. Hipotesis ini menyatakan bahwa investor institusional mayoritas memiliki kecenderungan untuk berkompromi atau berpihak kepada manajemen dan mengabaikan kepentingan pemegang saham minoritas. Anggapan bahwa manajemen sering mengambil tindakan atau kebijakan yang non-optimal dan mengarah pada kepentingan pribadi, mengakibatkan strategi aliansi antara investor institusional mayoritas dengan manajemen, ditanggapi negatif oleh pasar. Hal ini berdampak pada penurunan harga saham perusahaan di pasar modal. Hipotesis ketiga adalah The Conflict of Interest

  

Hypothesis . Hipotesis ini pada dasarnya memiliki kesamaan konsep dengan hipotesis

  kedua, yaitu kecenderungan investor institusional mayoritas untuk mengurangi konflik dengan melakukan kompromi dan aliansi dengan pihak manajemen.

2.3.3 Kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap nilai perusahaan

  Tujuan perusahaan adalah bagaiaman meningkatkan keuntungan perusahaan melalui pelaksanaan fungsi manajemen keuangan dengan hati-hati dan tepat mengingat setiap keputusan keuangan yang diambil akan mempengaruhi keputusan keuangan lainnya yang nantinya berdampak terhadap nilai perusahaan (Fama dan French, 1998) dalam Hasnawati (2005).

  Manajer yang sekaligus pemegang saham akan meningkatkan nilai perusahaan karena dengan meningkatkan nilai perusahaan, maka nilai kekayaannya sebagai pemegang saham akan meningkat juga. Penelitian yang mengkaitkan kepemilikan manajemen dengan nilai perusahaan telah banyak dilakukan namun dengan hasil yang berbeda-beda pula. Penelitian Euis dan Soliha (2002) menemukan hubungan yang signifikan dan positif antara kepemilikan manajemen dan nilai perusahaan. Hasil penelitian Soepriyanto (2004) juga membuktikan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan. Begitu pula menurut Siallagan dan Machfoedz (2006) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap nilai perusahaan yang diukur dengan Tobin's Q.

  Menurut Jensen dan Meckling (1976) semakin besar kepemilikan saham oleh manajemen maka semakin kuat kecenderungan manajemen untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya sehingga mengakibatkan kenaikan nilai perusahaan. Sofyaningsih dan Hardiningsih (2011) meneliti seluruh perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesian dari 2007 sampai periode 2009, hasil analisisnya menyatakan bahwa kepemilikan saham manajerial berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

2.3.4 Kepemilikan institusional berpengaruh terhadap nilai perusahaan

  Mai (2010) menyatakan bahwa pengaruh institutional ownership terhadap

  dividend payout ratio ditunjukkan dengan nilai koefisien sebesar 0,128, Hasil pengujian terhadap hubungan kausalitas ini menunjukkan nilai critical ratio (c.r.) sebesar 2,357 dengan nilai sig-t sebesar 0,018, yang berarti suatu pengaruh yang positif dan signifikan pada tingkat a = 5%. Hal ini menunjukkan bahwa institutional ownership berpengaruh positif terhadap dividend payout ratio. Penelitian sejalan dengan Penelitian Suranta dan Machfoedz (2003) juga menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan.

  Penelitian yang dilakukan oleh Rachmawati dan Triatmoko (2007) yang menyatakan bahwa kepemilikan institusional mempunyai pengaruh positif dan signifikan terhadap nilai perusahaan. Menurut Chaochharia dan Grinstein (2006) dalam penelitiannya di Selandia Baru menyatakan bahwa peningkatan jumlah kepemilikan institusional mempromosikan kinerja perusahaan yang kuat. Hasil penelitian yang diperoleh oleh Slovin dan Sushka (1993) yang menunjukkan bahwa nilai perusahaan akan meningkat jika pemilik institusi dapat menjadi alat monitoring yang cukup efektif.

2.3.5 Kebijakan utang terhadap kebijakan dividen

  Apabila perusahaan mengalami keterbatasan laba ditahan, perusahaan cenderung memanfaatkan hutang namun bila penggunaan hutang terlalu besar dapat berdampak pada financial distress dan kebangkrutan (Nuringsih 2005). Berdasarkan dampak ini apabila perusahaan ingin menghindari hutang yang tinggi, maka laba perusahaan dialokasikan ke laba ditahan yang digunakan untuk operasi perusahaan dan investasi di masa yang akan datang sehingga akan mengurangi penggunaan hutang.

  Menurut Ismiyanti dan Hanafi (2003) pada tahun 1992 Jensen et. al. menyebutkan bahwa kebijakan hutang memiliki pengaruh negatif terhadap kebijakan dividen karena penggunaan hutang yang terlalu tinggi akan menyebabkan penurunan dividen yang mana sebagian besar keuntungan akan dialokasikan sebagai cadangan pelunasan hutang. Sebaliknya, pada tingkat hutang yang rendah perusahaan membagikan dividen yang tinggi sehingga sebagian besar laba digunakan untuk kesejahteraan pemegang saham.

2.3.6 Kebijakan utang terhadap nilai perusahaan

  Setiap perusahaan menginginkan adanya kelangsungan operasinya dan pertumbuhan di masa yang akan datang. Salah satu keputusan penting yang harus dilakukan manajer (keuangan) dalam kaitannya dengan kelangsungan operasi perusahaan adalah keputusan pendanaan atau keputusan struktur modal. Stuktur modal perusahaan merupakan komposisi pendanaan yang diambil perusahaan yang menunjukan komposisi modal internal dan eksternal. Pendanaan yang diambil perusahaan ini dapat mempengaruhi nilai perusahaan (Modigliani dan Miller, 1958) Apabila sumber pendanaan internal tidak mencukupi, maka perusahaan akan mengambil sumber pendanaan dari luar, salah satunya dari utang. Apabila pendanaan didanai melalui utang, maka akan terjadi efek tax deductible. Artinya, perusahaan yang memiliki utang akan membayar bunga pinjaman yang dapat mengurangi penghasilan kena pajak, yang dapat memberi manfaat bagi pemegang saham.

  Jensen (1986) menyatakan bahwa dengan adanya utang dapat digunakan untuk mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen yang dapat menghindari investasi yang sia-sia, dengan demikian akan meningkatkan nilai perusahaan. Peningkatan nilai tersebut dikaitkan dengan harga saham dan penurunan utang akan menurunkan harga saham, sehingga pendanaan memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan (Masulis dan Trueman, 1988).

  Menurut Brigham dan Houston (2006), peningkatan hutang diartikan oleh pihak luar tentang kemampuan perusahaan untuk membayar kewajiban di masa yang akan datang atau adanya risiko bisnis yang rendah, hal tersebut akan direspon secara positif oleh pasar. Terdapat dua pandangan mengenai keputusan pendanaan. Pandangan pertama dikenal dengan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa struktur modal mempengaruhi nilai perusahaan. Peningkatan pendanaan melalui utang merupakan salah satu alternatif untuk mengurangi biaya keagenan. Hutang dapat mengendalikan manajer untuk mengurangi tindakan perquisites dan kinerja perusahaan menjadi lebih efisien sehingga penilaian investor terhadap perusahaan akan meningkat. (Arieska dan Gunawan, 2011) Penelitian Wijaya dan Wibawa (2010), Wahyudi dan Pawestri (2006) dan Hasnawati (2005) sama-sama menemukan bukti bahwa keputusan pendanaan mempengaruhi nilai perusahaan secara positif.

2.3.7 Kebijakan dividen terhadap nilai perusahaan

  Kebijakan dividen menentukan berapa banyak keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham. Keuntungan yang akan diperoleh pemegang saham ini akan menentukan kesejahteraan para pemegang saham yang merupakan tujuan utama perusahaan. Semakin besar dividen yang dibagikan kepada pemegang saham, maka kinerja emiten atau perusahaan akan dianggap semakin baik pula dan pada akhirnya perusahaan yang memiliki kinerja manajerial yang baik dianggap menguntungkan dan tentunya penilaian terhadap perusahaan tersebut akan semakin baik pula, yang biasanya tercermin melalui tingkat harga saham perusahaan. Hal ini sejalan dengan pendapat Rozeff (1982) yang menganggap bahwa dividen nampaknya memiliki atau mengandung informasi (informational content of dividend) atau sebagai isyarat prospek perusahaan.

  Apabila perusahaan meningkatkan pembayaran dividen, mungkin diartikan oleh pemodal sebagai sinyal harapan manajemen tentang akan membaiknya kinerja perusahaan di masa yang akan datang. Sehingga kebijakan dividen memiliki pengaruh terhadap nilai perusahaan. Hal ini sesuai dengan penelitian Gordon (1963) dan Bhattacharya (1979), Myers dan Majluf (1984) dalam Sartono (2008). Teori kebijakan dividen mengkaji tentang dampak penentuan besarnya alokasi laba pada dividend dan laba ditahan terhadap nilai pasar yang saham yang berlaku. Ini berarti investor dihadapkan pada dua pilihan apakah hasil pengembalian dividen diberikan dalam bentuk tunai atau dalam bentuk pertumbuhan modal (capital gain), sehingga investor mendapatkan capital gain karena nilai saham meningkat. Teori Bird In The Hand menganggap bahwa pembayaran dividen yang dilakukan saat ini adalah lebih baik daripada capital gain di masa yang akan datang. Berbeda dengan signaling theory menekankan bahwa pembayaran dividen merupakan sinyal bagi pasar bahwa perusahaan memiliki kesempatan untuk tumbuh di masa yang akan datang, sehingga pembayaran dividen akan meningkatkan apresiasi pasar terhadap saham perusahaan yang bersangkutan, dengan demikian pembayaran dividen berimplikasi positif pada nilai perusahaan

Dokumen yang terkait

Pengaruh Biaya Agensi Dan Struktur Modal Serta Pertumbuhan Aset Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

1 66 130

Pengaruh Kemampulabaan Dan Invesment Opportunity Set Serta Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

1 37 96

Pengaruh Kepemilikan Manajerial Dan Kepemilikan Institusional Terhadap Kebijakan Hutang Pada Perusahaan Properti Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

2 113 118

Analisis Pengaruh Profitabilitas, Kepemilikan Institusional Dan Struktur Aset Terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

1 71 76

Pengaruh Kepemilikan Manajerial Dan Institusional Serta Kebijakan Utang Terhadap Kebijakan Dividen Dan Nilai Perusahaan Manufaktur Penanaman Modal Asing Di Bursa Efek Indonesia

2 46 130

Pengaruh Struktur Kepemilikan Manajerial Dan Kebijakan Hutang Terhadap Kebijakan Dividen Pada Perusahaan Manufaktur Sub Sektor Property Dan Real Estate Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia Periode 2007-2014

0 9 1

Pengaruh Biaya Agensi Dan Struktur Modal Serta Pertumbuhan Aset Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 0 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kemampulabaan - Pengaruh Kemampulabaan Dan Invesment Opportunity Set Serta Pertumbuhan Perusahaan Terhadap Kebijakan Dividen Perusahaan Manufaktur Di Bursa Efek Indonesia

0 0 18

Analisis Pengaruh Profitabilitas, Kepemilikan Institusional Dan Struktur Aset Terhadap Kebijakan Utang Perusahaan Makanan Dan Minuman Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

0 0 11

Pengaruh Kepemilikan Manajerial Dan Institusional Serta Kebijakan Utang Terhadap Kebijakan Dividen Dan Nilai Perusahaan Manufaktur Penanaman Modal Asing Di Bursa Efek Indonesia

0 0 7