Analisis Strategi Peningkatan Produktivi (1)
ABSTRAK
“ Analisis Strategi Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Tenaga Kerja dalam Menunjang
Penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka – Pendekatan 12 Pilar Daya Saing ”
Ira Murwenie, SE, MM
Dosen Tetap – Program Studi Komputerisasi Akuntansi
Politeknik Piksi Ganesha - Bandung
Pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 – 1999, Indonesia masih harus teru berjuang untuk keluar dari
semua masalah kekacauan politik, ekonomi, dan sosial. Melewati 4 (empat) masa pemerintahan yang bergantiganti terjadi, Indonesia berhasil meraih kembali kepercayaan dunia internasional bahwa Indonesia cukup layak
diperhitungkan sebagai negara yang memiliki ketahanan yang cukup besar dalam menghadapi krisis ekonomi
global. Namun di sisi lain, dampak dari krisis ekonomi terebut masih terus dirasakan oleh masyarakat Indonesia
dan menjadi bahan pekerjaan berat bagi Pemerintah Indonesia untuk terus-menerus berupaya melalui
pengembangan program-program pembangunan yang saling berkesinambungan untuk mengatasi masalahmasalah perkembangan daya saing ekonomi di era globalisasi saat ini guna memastikan posisi negara tidak jauh
tertinggal dari negara-negara lain yang juga pernah mengalami krisis yang sama pada tahun 1997 yang lalu.
Di tahun 2013, ekonomi Indonesia menghadapi penyesuaian terhadap indikator makroekonominya, dan
penyesuaian tersebut tercermin dalam penurunan indikator keternagakerjaan di Bulan Agustus 2013. Seperti
yang telah diketahui bahwa tinggi-rendahnya tingkat indikator tenaga kerja dan buruh akan memberikan
informasi yang penting terhadap tren pergerakan investasi dan arus perdagangan. Berdasarkan data yang tercatat
oleh BPS, angka rata-rata Pengagguran Terbuka di Indonesia terendah adalah sebesar 5,92% dan tertinggi
mencapai 11,24% pada akhir tahun 2013. Kondisi ini selalu menjadi sinyal yang mampu mempengaruhi
kebijakan Pemerintah Indonesia untuk terus memprioritaskan masalah pengangguran sebagai masalah
fundamental negara yang harus segera diberikan jalan keluar agar tidak menimbulkan “efek domino” bagi
masalah negara lainnya.
Berdasarkan infornasi dari Laporan Daya Saing Global Indeks Raking tahun 2014 – 2015 yang telah
dipublikasikan oleh World Economic Forum, diketetahui bahwa Indonesia tercatat berada di posisi 36 dan
termasuk negara-negara yang berada di Tahapan 2 ; Pengendalian Efisinesi dari Pendekatan 12 Pilar Daya
Saing Global, lebih tinggi dari tahun 2012 – 2013 yang berada di peringkat 55 dunia. Kondisi ini mengingatkan
bahwa aspek paling lemah dari mekanisme ketenagakerjaan di Indonesia adalah karena sistem birokrasi
perekrutan dan pemecatan tenaga kerja yang kaku dan secara berlebihan memberikan 58 minggu ukuran gaji
kepada pekerja. Pengangguran Terbuka adalah pengangguran terdidik (berpendidikan formal) yang sedang
mencari kerja dan bekerja bebas yang tidak memiliki status sebagai pekerja tetap dengan standar gaji yang
mampu menutup biaya hidup standar.
Bagaimana bisa peringkat indeks Daya Saing Global untuk negara Indonesia mengalami kenaikan hanya
dalam jangka waktu singkat 2 tahun sedangkan angka rata-rata jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia
tidak pernah mengalami penurunan yang signifikan? Pada penelitian yang bersifat deskriptif ini, penulis
mencoba mengkaji masalah penelitian dengan cara analisis strategi peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia melalui perspektif dan pengukuran dari 12 Pilar Daya Saing Global. Harapan terbesar,
dari hasil penelitian ini adalah timbulnya ide-ide penelitian lanjutan yang akan mampu memberikan solusi
berkesinambungan terhadap masalah-masalah ketenagakerjaaan yang sering menjadi masalah Indonesia dengan
jumlah populasi ke-3 terbesar di dunia, masalah sumberdaya manusia Indonesia merupakan masalah
fundamental negara yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan negara.
Kata kunci ; Produktivitas tenaga kerja, daya saing, Pendekatan 12 Pilar Daya Saing Global
1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah klasik yang hampir di semua era
kepemerintahan negara akan menjadi masalah yang fundamental untuk selalu diprioritaskan dan
diberikan solusi secara berkelanjutan melalui program-program pembangunan sumberdaya manusia
yang terstuktur dan terarah agar mampu menghindarkan negara dari masalah lain yang akan timbul dan
berdampak luas bagi kestabilan negara di bidang keamanan, politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh besarnya jumlah populasi negara Indonesia yang cukup pesat pertumbuhan penduduknya, dimana
telah tercatat oleh Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa
sampai dengan awal tahun 2015.
Menurut catatan BPS yang dipublikasikan tahun 2013, jumlah total populasi Indonesia adalah
sekitar 248 juta penduduk yang berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara ke-4 dunia yang padat
penduduk. Komposisi etnis di Indonesia yang sangat bervariasi ini memiliki ratusan ragam suku dan
budaya. Meskipun demikian, lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh 2 (dua) suku
terbesar yaitu ; Suku Jawa (41% dari total populasi) dan Suku Sunda (15% dari total populasi). Kedua
suku ini berasal dari Pulau Jawa, pulau dengan jumlah penduduk terbanyak terbanyak di Indonesia yang
mencakup sekitar 60% dari total populasi Indonesia. Jika digabungkan dengan Pulau Sumatra, hasilnya
akan menjadi sekitar 80% total populasi Indonesia, sedangkan 20% lagi adalah kontribusi populasi dari
wilayah kepulauan Indonesia lainnya.
Kondisi di atas adalah indikasi krusial yang dapat digarisbawahi bahwa konsentrasi populasi
terpenting berada di wilayah barat Indonesia. Propinsi paling padat populasi adalah Jawa Barat (lebih
dari 43 juta penduduk), sementara populasi paling lengang adalah Propinsi Papua Barat di Indonesia
bagian timur dengan jumlah hanya sekitar 761.000 jiwa.
Besarnya tingkat pertumbuhan penduduk di Jawa dan Sumatra tersebut tentu saja hanya sebagai
salah satu pemicu terjadinya masalah pengangguran. Hal-hal lain yang merupakan indikator bagi
peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia adalah masalah pemerataan pendidikan dan
produktivitas tenaga kerja yang mampu dan memiliki daya saing global.
World Ecocnomic Forum (WEF) sebagai salah satu institusi dunial yang diprakarsai oleh
International Monetary Fund (IMF) untuk melakukan riset dan penelitian secara komprehensif melalui
berbagai metode pengukuran yang mampu memberikan gambaran obyektif dengan standar riset yang
jelas atas daya saing gobal dari seluruh negara-negara di dunia. WEF sejak tahun 2005 telah berhasil
secara berkesinambungan mengeluarkan laporan berkala kepada IMF dan World Bank mengenai data
dan informasi atas standar daya saing global yang dikenal sebagai Pengukuran 12 Pilar Daya Saing
Global yang menghasilkan Laporan Indeks Rangking Daya Saing Global.
Di Indonesia sendiri, pengukuran daya saing dan produktivitas tenaga kerja, masih menggunakan
skala pengukuran yang berbeda-beda untuk masing-masing wilayah di Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh tidak meratanya pertumbuhan populasi penduduk dan penyebarannya serta kurangnya pemerataan
pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Bagian Timur dari wilayah
Indonesia.
Pengukuran 12 Pilar Daya Saing Global yang dipublikasikan oleh WEF meliputi ; 1) Lingkungan
Kelembagaan (Institutions Environment), 2) Infrastruktur (Infrastucture), 3) Lingkungan makroekonomi (Macroeconomic Environment), 4) Kesehatan dan Pendidikan Dasar (Health and Primary
Education), 5) Pendidikan Tinggi dan Pelatihan (Higher Education and Training), 6) Efisiensi Pasar
Barang (Goods Market Efficiency), 7) Efisiensi Pasar Kerja (Labor Market Efficiency), 8)
Perkembangan Pasar Uang (Financial Market Development), 9) Kesiapan Teknologi (Technological
Readiness),10) Ukuran Pasar (Size Market), 11) Kemudahan Berusaha (Business Sophistication), dan
12) Inovasi (Innovation). Dari ke 12 pilar tersebut, WEFmengklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) “kunci
pengendalian” (Key Driven) yaitu : 1) Key for Factor-Driven ecocnomies, 2) Key for Efficiency-Driven
economies, dan 3) Key for Innovation-Driven economies. Sedangkan, pengukuran yang dipublikasikan
oleh BPS untuk mengukur daya saing tenaga kerja di wilayah Indonesia meliputi ; 1) Makro-ekonomi,
2) Infrastruktur, 3) Kesehatan, 4) Pendidikan, 5) Ketenagakerjaan, 6) Pengukuran pasar, 7) Ketersediaan
teknologi, 8) Kemudahan berusaha.
Menurut hasil laporan International Labor Organization (ILO), tren pengangguran di Indonesia
selama 5 tahun terakhir mencapai titik yang rendah yaitu 5,8% pada bulan Mei 2013. Namun, krisis
yang terjadi baru-baru ini membuat akumulatif tingkat pengangguran mencapai angka tertinggi sebesar
11,24%. Namun, sekalipun menunjukkan kenaikan dalam tingkat pengangguran, Indonesia terus
menunjukkan penurunan dalam hal setengah pengangguran dan juga peningkatan dalam pekerjaan paruh
waktu. Selain itu, terlihat sejak tahun 2013 hingga awal tahun 2015, dunia ketenagakerjaan Indonesia
memperlihatkan adanya kenaikan upah nominal rata-rata dimana upah riil rata-rata sangat dipengaruhi
oleh inflasi. Tren ini menunjukkan dampak inflasi (atau sebaliknya) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap daya beli pekerja. Yang menarik adalah bahwa pertumbuhan upah yang kuat di
tahun 2013 hingga awal tahun 2015 terjadi di sektor perbankan dan keuangan, sedangkan pertumbuhan
yang lemah terlihat di sektor pertanian.
Kondisi yang serba tidak merata ini sungguh merupakan kendala yang cukup menarik bagi
penulis untuk meneliti lebih jauh lagi faktor-faktor terjadinya masalah pengangguran yang terjadi di
Indonesia, terutama masalah Pengangguran Terbuka yang 80% didominasi oleh pengangguran terdidik
(berpendidikan formal). Bagaimanakah cara penerapan pendekatan 12 Pilar Daya Saing Global yang
diluncurkan oleh WEF akan sanggup mendeskripsikan dengan jelas mapping problem (pemetaan
masalah) yang lebih bersifat obyektif dan mampu menciptakan solusi-solusi kreatif terhadap
perkembangan masalah pengangguran di Indonesia. Inilah yang mendasari ketertarikan penulis untuk
menngangkat judul penelitian yaitu “ANALISIS STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
DAN DAYA SAING TENAGA KERJA DALAM MENUNJANG PENURUNAN TINGKAT
PENGANGGURAN TERBUKA – PENDEKATAN 12 PILAR DAYA SAING ”
B. REVIEW PENELITIAN
Pembangunan dilaksanakan guna mewujudkan kemakmuran masyarakat melalui pengembangan
perekonomian mengatasi berbagai permasalahan pembangunan dan sosial kemasyarakatan, khususnya
masalah pengangguran dan kemiskinan (Yarlina Yacoub;2012). Menurut hasil penelitian Yarlina (2012)
dengan menggunakan sampel data jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan di 16 kota di
Kalimantan Timur, diperoleh hasil pengaruh yang signifikan sebesar 61,07% dan pengangguran
berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh De Fina (2002) yang melakukan penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa
kemiskinan tidak memiliki korelasi yang kuat terhadap pengangguran. De Fina lebih lanjut menyatakan
bahwa keterkaiatan antara kemiskinan dan pengangguran sangat dipengaruhi oleh bagaimana
kemiskinan itu diukur.
Dari hasil 2 (dua) penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel pengangguran di masingmasing negara, tidak memiliki keterkaitan yang sama dengan variabel lain yang mempengaruhinya
seperti halnya variabel kemiskinan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi variabel pengangguran
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih dalam menyangkut angka-angka tingkat penganguran yang
dipublikasikan oleh berbagai lembaga penelitian termasuk oleh BPS, ILO dan WEF.
Di Indonesia sendiri, dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, perekonomian Indonesia di
tahun 2013 mampu menyumbangkan 1,2 % dari PDB global (Bank Dunia;2013) dan merupakan salah
satu dari 20 negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Namun terlepas dari tren positif di kawasan
Asia ini, iklim domestik Indonesia telah mengalami penurunan dalam hal indikator ekonomi sepanjang
tahun 2013 hingga awal tahun 2015 karena gabungan dari faktor internal dan eksternal. Penurunan ini
dikaitkan dengan volatilitas pasar keuangan internasional (merosotnya nilai Rupiah terhadap Dollar AS),
pengetatan kebijakan moneter di AS, dan revisi subsidi BBM dalam negeri yang memicu inflasi
(ILO,2014).
Kondisi makro-ekonomi di Indonesia yang mengalami penurunan tersebut, mampu
mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan secara signifikan. Hal ini dipaparkan dari hasil penelitian
Payaman J. Simanjuntak (2012) dengan menggunakan pendekatan 8 Pilar Daya Saing dan Produktivitas
Wilayah yang menyatakan bahwa faktor Tenaga Kerja hanya mampu memberikan kontribusi sebesar
8,66% dengan tingkat pertumbuhan hanya 1,56% per tahun dari 100% peran input PDB, sedangkan
85,69% peran input PDB diperoleh dari kapitalisasi dengan pertumbuhan sekitar 5,98%. Artinya bahwa
kenaikan PDB di Indonesia, lebih banyak dipengaruhi oleh kontribusi kenaikan kapitalasasi dalam dan
luar negeri utamanya di sektor keuangan dan perbankan, sedangkan sektor riil tidak banyak memberikan
kontribusi terhadap PDB secara signifikan.
Dari hasil kajian dan pendekatan yang berbeda tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pengukuran yang lebih mendekati indikator varibel yang diteliti tanpa dipengaruhi oleh variabel yang
bias indikatornya sangat besar, mampu memberikan hasil penelitian dan pengukuran yang efektif
sehingga sanggup memberikan solusi-solusi permasalahan yang lebih terarah dan positif. Seperti hal
yang telah sajikan dalam penulisan di atas, bahwa hasil penelitian De Fina (2002) dan Payaman (2012)
menunjukkan kesimpulan yang sama yaitu bagaimana tingkat pengangguran itu diukur.
2. KAJIAN PUSTAKA
A. TEORI KETENAGAKERJAAN
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 BAB 1 Pasal 1 (2) disebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan jika ditinjau dari pengertian demografi, tenaga
kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. BPS sebagai lembaga sensus demografi
negara, menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah orang dengan usia (di atas) 15 tahun yang telah
sanggup menghasilkan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga) maupun untuk
masyarakat.
Sedangkan menurut Payaman Simanjuntak (2010) “Tenaga kerja adalah penduduk yang sudah
atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan seperti
bersekolah, dan mengurus rumah tangga”. Sehingga, secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja menurut Payaman hanya dibedakan oleh batas umur.
Jadi yang dimaksud dengan tenaga kerja yaitu indivdu yang sedang mencari atau sudah
melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupu
batasan usia yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau
upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
1. Klasifikasi tenaga kerja
Pengklasifikasian tenaga kerja menurut definisi ILO dan BPS sesungguhnya telah memiliki
persamaan pengertian namun memiliki perbedaan dalam hal pengukuran. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya perbedaan pendekatan dan visi pengguna informasi dari hasil pengukuran
tersebut. Sedangkan jika mengacu pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja di Indonesia
diklasifikasikan sebagai berikut ;
a. Berdasarkan penduduknya
1) Tenaga kerja
2) Bukan tenaga kerja
b. Berdasarkan batas kerja
1) Angkatan Kerja
2) Bukan Angkatan Kerja
c. Berdasarkan kualitasnya
1) Tenaga kerja terdidik
2) Tenaga kerja terlatih
3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih
2. Indikator ketenagakerjaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Indikator partisipasi dalam dunia kerja
Indikator bekerja
Indikator pengangguran
Indikator pendidikan
Indikator produktivitas pekerja
Indikator elestisitas pekerja
Indikator kemiskinan
B. TEORI PRODUKTIVITAS KERJA
1.
Pengertian Produktivitas Kerja
Setiap perusahaan selalu berusaha agar karyawan bisa berprestasi dalam bentuk memberikan
produktifitas kerja yang maksimal. Produktivitas kerja karyawan pada satu karyawan sangatlah
penting sebagai alat pengukur keberhasilan dalam menjalankan usahanya. Karena semakin tinggi
produktivitas kerja karyawan dalam perusahaan berarti kinerja perusahaan juga semakin baik
sehingga peluang untuk peningkatan laba dan efisiensi biaya dapat dicapai dalam jangka panjang.
Menurut pengertian ILO, yang dikutip oleh Malayu Hasibuan (2005;127) mengungkapkan
bahwa, produktivitas adalah perbandingan secara ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dan
jumlah setiap sumber yang dipergunakan selama produksi berlangsung. Sumber tersebut dapat
berupa:
1) Tanah
2) Bahan baku dan bahan pembantu
3) Pabrik,mesin-mesin dan alat-alat
4) Tenaga kerja
Konsep produktivitas pada dasarnya dapatdilihat dari dua dimensi yaitu: 1) dimensi individu
dan, 2) dimensi organisasi. Pengkajian masalah produktivitas dari dimensi individu tidak lain
melihat produktivitas tenaga kerja terutama dalam hubungannya dengan karakteristik kepribadian
individunya.Dalam konteks ini esensi pengertian produktivitas adalah sikap mental yang selalu
mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari
esok harus lebih baik dari hari ini. Menurut Kusnendi (2003;8).
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawan, , perlu memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi produktivitas kerja. Menurut Panji Anoraga (2005;56-60) ada 10
(sepuluh) faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, yaitu:
1) Pekerjaan yang menarik
2) Upah yang baik
3) Keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan
4) Etos kerja
5) Lingkungan dan sarana kerja yang baik
6) Promosi dan pengembangan karir
7) Aktualisasi dalam kegiatan organisasi
8) Pengertian dan simpati atas persoalan pribadi
9) Kesetiaan pimpinan
10) Disiplin kerja
Menurut Payaman Simanjuntak(2010;30), faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga
kerja digolongkan dalam dua kelompok yaitu:
1)
2)
3.
Yang menyangkut kualitas dan kemampuan fisik kryawan meliputi tingkat pendidikan, latihan,
motivasi kerja, etos kerja, mental dan kemampuan fisik karyawan.
Sarana pendukung meliputi:
a) Lingkungan kerja meliputi; produksi, sarana dan peralatan produksi, tingkat keselamatan
dan kesejahteraan kerja
b) Kesejahteraan karyawan meliputi menejemen dan hubungan industri.
Pengukuran Produktivitas Kerja
Menurut Henry Simamora (2004;612) faktor-faktor yang digunakan dalam mengukur
produktivitas kerja meliputi kuantitas kerja, kualitas kerja, dan ketepatan waktu.
C. PENDEKATAN 12 PILAR DAYA SAING GLOBAL
Banyak pakar ekonomi dan pengambil kebijakan telah memberikan perhatian besar terhadap
konsep daya saing (Competitiveness) dan mencoba mengoperasionalkan dalam kebijakan pembangunan
ekonomi. Kaonsep daya saing juga menjadi kata kunci dalam upaya membangun perekonomian negara
dalam arti luas.
Daya saing dimaknai dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan politik
(kebijakan pemerintah). Di samping itu, ada yang memaknai dalam perspektif mikro (perusahaan) dan
membawanya perspektif mikro ke perspektif makro-ekonomi (nasional).
Sarples (1990) dalam Gonarsyah (2007) memandang konsep daya saing (competitiveness) atau
keunggulan kompetitif (competitiveness advantage) bukan merupakan konsep ekonomi, melainkan
konsep politik (kebijakan). Lall (2001) memandang daya saing sebagai konsep bisnis yang digunakan
sebagai dasar bagi banyak analisis strategis dan peletak kebijakan (regulator) untuk meningkatkan
kinerja perusahaan.
Michael Porter, seorang profesor Ilmu Ekonomi dan ahli manajemen strategi dari Harvard
University (1990;1998) berusaha untuk mengkaji daya saing (competitiveness) dari perspektif mikro
(perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa (national competitiveness advantage) yang
dipublikasikannya dlam buku berjudul “The Competitiveness Advantage of Nations” yang dikemudian
hari, hasil penelitinnya dipergunakan oleh World Economic Forum untuk membuat pemeringkatan daya
saing negara-negara di dunia dalam bentuk indeks kompetitif dan dipublikasikan secara internasional
dalam bentuk Laporan Kompetitivitas Global Forum Ekonomi Dunia atau The Global Competitiveness
Report – The Global Competitiveness Index yang mulai diterbitkan sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Secara ringkas, Porter (1990;1998) mendefinisikan daya saing (competitiveness) sebagai suatu
kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah (value added) yang berkesinambungan melalui
kinerja industri (pasar kerja) dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga
negaranya (wealth and prosperity). Konsep Porter ini dikenal sebagai Diomond of Competitiveness
Advantage (Gambar, terlampir) yang dapat dijelaskan sebagai berikut ; (1) Kondisi Faktor (Factor
Conditions), yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil
atau infrastruktur yang dibutuhkan merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam suatu industri ;
(2) Kondisi Permintaan (Demand Conditions), yaitu karakteristik besarnya permintaan pasar domestik
(home-market) untuk produk-produk atau jasa dari suatu industri ; (3) Industri Pendukung dan terkait
(Relating and Supporting Industries), yaitu kehadiran industri yang menyediakan bahan baku dan
pasar kerja dalam suatu negara dengan kemampuan daya saing industri-industri di pasar nternasional ;
dan (4) Persaingan, Struktur dan Strategi Industri (Firm Strategy, Structure, and Rivalry) yaitu,
kondisi pemerintahan di dalam suatu negara bagaimana perusahaan-perusahaan diciptakan,
diorganisasikan dan dikelola, serta karakteristik persaingan domestik.
Ke-empat faktor tersebut, digambarkan oleh Porter (1990;1998) menyerupai berlian (diamond),
sehingga sering disebut sebagai Porter’s Diamond Concept.
Gambar. Porter’s Diamond
Chance
Firm strategy, Structure, and
Rivalry
Factor Conditions
Goverment
Sumber ; Porter (1990)
Goverment
Demand Conditions
Related and Supporting Industries
Chance
Cho (1994) dalam Esterhuizen (2006) juga memberikan argumen terhadap model Porter tersebut
dengan melakukan modifikasi terhadap model “Diomond’s Porter” dengan cara membagi sumber-sumber
keunggulan bersaing di pasar internasional ke dalam 2 (dua) katagori yaitu ; (1) Faktor Fisik (Physical
Factor) yaitu, faktor-faktor yang mencakup sumber daya alam, lingkungan bisnis, industri pendukung
yang terkait dan kondisi permintaan, dimana kombinasinya akan menentukan daya saing suatu negara di
tingkat internasional pada periode tertentu. ; (2) Faktor Manusia (Human Factor) yaitu, faktor yang
mencakup para pekerja, politisi dan birokrasi, pengusaha serta para manajer profesional dan perekayasa
teknologi. Dengan kemampuan menciptakan, memotivasi, dan melakukan pengawasan terhadap 4
(empat) elemen fisik, maka faktor manusia akan menjadi penggerak ekonomi nasional ke tingkat daya
saing yang lebih tinggi.Cho (1994) mempelajari hal tersebut dari hasil penelitiannya terhadap negara
Korea.
Indeks WEF (World Economic Forum) sebagai salah satu hasil penerapan Diomond’s Porter
merupakan hasil pengukuran makro daya saing negara-negara di dunia melalui pendekatan yang luas dan
komprehensif. Tercatat sejak tahun 2005, WEF atau Forum Ekonomi Dunia memulai dengan
pendekatannya yang luas terhadap determinan kompetitivitas dan peran kebijakan pemerintah. WEF
melihat dinamika keunggulan komparatif dan penempatan dinamika inovasi teknologi sebagai inti
pengembangan keunggulan. Kemampuan untuk mempertahankan tingkat pendapatan perkapita penduduk
(PDB) dan pertumbuhan ekonomi dalam dunia yang semakin mengglobal tergantung pada kemampuan
setiap negara untuk melakuka inovasi atau impor dan menggunakan teknologi yang diciptakan di tempat
lainnya.
Dalam upaya menyajikan laporan Indeks Kompetitif Global atau Growth Competitiveness Index
(GCI), WEF melakukan pengukuran terhadap dasar-dasar mikro-ekonomi mengenai kompetitivitas antar
negara. Pengukuran tersebut meliputi 3 (tiga) kategori indeks pengukuran yaitu : (1) Sub-indeks Syarat
Utama (Basic Requirement Subindex) yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar 1.
Lingkungan kelembagaan, Pilar 2. Infrastruktur, Pilar 3. Lingkungan makro-ekonomi, Pilar 4.
Kesehatan dan Pendidikan Dasar ; (2) Sub-indeks Tingkat Efisiensi (Efficiency Enhancers Subindex)
yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar 5. Pendidikan Tinggi dan Pelatihan, Pilar 6.
Efisiensi Pasar Barang, Pilar 7. Efisiensi Pasar Kerja, Pilar 8. Perkembangan Pasar Uang, Pilar 9.
Kesiapan Teknologi, dan Pilar 10. Ukuran Pasar ; serta (3) Sub-indeks Inovasi dan faktor kemudahan
(Innovation and sophistication factors subindex) yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar
11. Kemudahan Berusaha dan Pilar 12. Inovasi. Secara diagram, pengukuran Indeks Kompetitif Global
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar. Kerangka Pengukuran Indeks Kompetitif Global –
Forum ekonomi Dunia
GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX
PEFFICIENCY ENHANCERS SUBINDEX
BASIC REQUIREMENTS
SUBINDEX
Pillar 5. Higher education and training
Pillar 6. Goods market efficiency
Pillar 1. Institutions
Pillar 2. Infrastructure
Pillar 3. Macroeconomic
environment
Pillar 4. Health and primary
education
KEY FOR FACTOR-DRIVEN
ECONOMIES
INNOVATION AND
SOPHISTICATION FACTORS
SUBINDEX
Pillar 7. Labor market efficiency
Pillar 8. Financial market development
Pillar 9. Technological readiness
Pillar 11. Business
Sophistication
Pillar 10. Market Size
Pillar 12. Innovation
3. METODE PENELITIAN
KEY FOR EFFICIENCY-DREIVEN
ECONOMIES
KEY FOR INNOVATION-DRIVEN
ECONOMIES
Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis data kuantitatif dan
kualitatif (analisis deskriptif dan SWOT)
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk menyajikan atau mendeskripsikan hasil temuan lapangan berupa
data-data statistik dan pengukurannya yang telah tersaji secara komprehensif melalui berbagai hasil survei
dan pemilihan sampel dari sumber-sumber survei keteneagakerjaan baik dari narasumber dalam negeri yaitu
BPS, maupun dari lembaga survei internasional seperti halnya ILO, WEF, World Bank dan IMF.
Sedangkan analisis kualitatif dipresentasikan melalui Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan
secara kualitatif dan holistik, baik menyangkut lingkungan internal maupun eksternal dari obyek yang
sedang diamati. Dalam lingkungan internal, analisis akan menjelaskan secara rinci aspek-aspek yang
menjadi kelemahan (Weakness) dan kekuatan (Strengh). Sementara itu dari lingkungan eksternal analisis ini
akan dijelaskan mengenai aspek-aspek peluang (Opportunity) dan kendala/ancaman (Threat). Gambar
berikut ini akan menjelaskan 4 (empat) arah mata angin Analisis SWOT ;
Gambar. Diagram Analisis SWOT
Kekuatan internal
(Strengh)
Berbagai peluang
(Opportunity)
Kuadran 3.
Mendukung
strategi turnaround
Kuadran 4.
Mendukung
strategi
Kelemahan internal defensif
(Weakness)
Kuadran 1.
Mendukung
strategi
agresif
Kuadran 2.
Mendukung
strategi
Berbagai ancaman
deversifikasi
(Ttreat)
Sumber : Rangkuti (2008)
Keterangan :
Kuadran 1
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang dan ditunjang dengan adanya potensi kekuatan internal, strategi
yang layak diterapkan dalam kondisi ini adalah strategi agresif.
Kuadran 2
Kondisi eksternal yang mengindikasikan berbagai ancaman ditunjang dengan adanya potensi kelemahan
internal, strategi yang layak diterapkan adalah startegi deversifikasi.
Kuadran 3
Kondisi eksternal yang menunjukkan berbagai peluang namun terdapat berbagai kelemahan interal, strategi
yang dipergunakan adalah strategi turn-around (meminimalisir kelemahan internal, membuka peluang pasar)
Kuadran 4
Kondisi eksternal memperlihatkan berbagai ancaman dengan berbagai kelemahan internal, strategi defensif
menjadi pilihan yang tepat.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kondisi Ekonomi Makro Indonesia Tahun 2013
Dampak inflasi terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2013 didominasi oleh penurunan
subsidi BBM dan diperburuk oleh kebijakan perdagangan yang terbatas serta fluktuasi musiman yang
terkait dengan perayaan hari raya keagamaan. Langkah kebijakan yang diambil emerintah Indonesia pada
tanggal 22 Juni 2013 untuk mengurangi subsidi solar sebesar Rp. 1.000,- per liter dan subsidi premium
sebesar Rp. 2.000,- per liter menyebabkan peningkatan inflasi yang cukup tajam dan penyesuaian harga
kemungkinan harus terus dilakukan oleh sektor industri hingga tahun-tahun selanjutnya.
Risiko inflasi yang berkelanjutan berdampak panjang terhadap sisi penawaran tenaga kerja berupa
tuntutan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Besarnya tuntutan tenaga kerja atas kenaikan upah
tersebut membuahkan Instruksi Presiden No. 9/2013 yang berisi panduan tentang kenaikan upah
minimum yang ditujukan kepada dewan pengupahan tingkat provinsi dan kabupaten guna melakukan
penyesuaian besaran UMR berdasarkan daerah masing-masing. Instruksi ini berupaya mengatasi
masalah ketidakpastian kenaikan upah bagi sektor industri dan investor dengan memberikan panduan
tentang hubungan antara kenaikan upah minimum tahunan, inflasi dengan produktivitas.
Pada tanggal 24 Agustus 2013, Pemerintah Indonesia meluncurkan satu paket yang terdiri dari 4
(empat) paket kebijakan ekonomi untuk mendorong perekonomian Indonesia dan merespon penurunan
indikator ekonomi. Paket kebijakan ini mencakup :
1) Meningkatkan neraca transaksi berjalan dan menstabilkan mata uang (Rupiah)
2) Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli
3) Menjaga stabilitas harga dan menekan laju inflasi
4) Mempercepat investasi
Paket kebijakan tersebut ternyata dalam perjalanannya belum mampu meredam laju inflasi yang
terus berfluktuasi seiring dengan berfluktuasinya harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM bersubsidi
yang pada awalnya diperkirakan akan mampu menghemat pengeluaran Pemerintah Indonesia sebesar Rp.
13,1Trilyun pada tahun 2013 tersebut tidak terwujud disebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar AS yang cukup membuat Bank Indonesia harus terus mengintervensi pasar uang yang rentan
akibat kebijakan pengetatan finansial di Amerika Serikat.
Pendapatan Pemerintah Indonesia meningkat antara 12% hingga 18% per tahun sejak tahun 2013,
dimana sebagian besar keuntungan ini berasal dari pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan
non migas (PPh). Nilai pendapatan dari kedua pajak tersubut diperkirakan mencapai lebih dari 60% atau
ari Rp. 937 Trilyun dari total pendapatan tahun 2013. Akan tetapi, penurunan pertumbuhan PDB nominal
dan depresiasi Rupiah dapat mempengaruhi realisasi pendapatan Pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengalami defisit fiskal sejak tahun 2011, dimana diperkirakan defisit
mencapai 1,1 % dari PDB 2011 dan 1,9 % dari PDB tahun 2012. Pada tahun 2013, defisit fiskal
Pemerintah Indonesia telah mencapai 2,4% dari PDB yang sebagian besar dipengaruhi oleh penurunan
kondisi ekonomi pasca penghapusan subsidi BBM.
Kondisi ekonomi yang semakin sulit menyebabkan Pemerintah Indonesia harus mengembangkan
sistem perlindungan sosial yang mampu menyediakan manfaat tidak terbatas khususnya di bidang
layanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan. Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
diluncurkan pemerintah guna
mengantisipasi dampak sosial yang terjadi pada masyarakat miskin. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan adlah sebesar 11,4% dengan pengeluaran sebesar Rp. 271,626 milyar per bulan guna
pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan. Program-program tersebut, dalam jangka
pendek mungkin akan mampu mengimbangi pengurangan subsidi BBM dan mengendalikan dampak
inflasi, namun agaknya kurang berdampak pada distribusi dan ketidaksetaraan di berbagai sektor
pembangunan di Indonesia dalam jangka panjang karena program bantuan tunai dan perlindungan sosial
yang dilaksanakan hanya bersifat sementara sedangkan kelanjutan upaya untuk mmperluas program
perlindungan sosial yang lain, masih belum jelas.
b. Tren Ketenagakerjaan di Indonesia
Dampak kondisi perekonomian makro di Indonesia atas kebijakan penghapusan subsidi BBM
ternyata sanggup mempengaruhi penawaran pasar kerja industri. Tekanan inflasi, menyebabkan tenaga
kerja kehilangan daya tawar terhadap besaran upah yang disediakan oleh industri. Kebijakan UMR
melalui Inpres No. 9/2013 yang berisi panduan tentang kebijakan kenaikan upah minimum tahunan
ternayata belum direspon secara positif oleh seluruh pelaku industri dan investor. Ekonomi biaya tinggi
uatamanya pajak selalu menjadi alasan utama pelaku industri dan investor untuk menunda kenaikan upah
minimum, di samping kondisi Rupiah yang selalu berfluktuasi dan cenderung terus mengalami
depresiasi.
Berdasarkan data dari survei Sakernas Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran di Indonesia
lebih dipengaruhi oleh pendidikan dibandingkan dengan kemiskinan. Meskipun, jika ditilik lebih jauh,
tingkat pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Semakin banyak masyarakat yang hidup
di bawah garis kemiskinan akan semakin besar kemungkinan rendahnya tingkat pendidikan yang mampu
dicapai oleh masyarakat.
Dari data Sakernas BPS tahun 2013 – 2014, diketahui bahwa jumlah pengangguran terbuka
berpendidikan lebih banyak pada lulusan SLTA dan SMK yaitu sebesar 22,45% (SMA) dan 25, 89%
(SMK) pada tahun 2013, serta 22,33% (SMA) dan 26,28% (SMK) pada tahun 2014. Kenaikan jumlah
angka pengagguran dari SMK relatif lebih tinggi dari SMA disebabkan berkurangnya pendapatan sektor
rumah tangga untuk menyediakan biaya pendidikan di SMA yang notabene relatif lebih tinggi dbanding
biaya pendidikan di SMK. Selain itu, SMK lebih banyak menjanjikan tenaga kerja siap pakai bagi dunia
industri setelah lulus sekolah. Berikut grafik yang menunjukkan profil ketenagakerjaan berdasarkan
tingkat pendidikan di Indonesia untuk tahun 2013 - 2014.
Tabel 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan (%)
Tahun 2013 – 2014
XTamatan
SD
SMP
SMA
SMK
DIPLOMA
UNIVERSITAS
Sumber : Sakernas BPS, 2014
2013
7,94%
17,53
%
22,45
%
25,89
%
13,74
%
12,45
%
2014
7,11%
16,72
%
22,33
%
26,28
%
14,36
%
13,21
%
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa peta persoalan pengangguran belum mengalami perubahan
yang signifikan bahkan terjadi kecenderungan meningkat di masing-masing jenjang pendidikan,
termasuk pada tingkat pendidikan tinggi Diploma dan Universitas.Sedangkan di tingkat SD dan SMP
justru mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2013 ke 2014, hal ini dimungkinkan karena
tingginya minat sektor industri akan biaya tenaga kerja murah guna menekan biaya produksi.
Sedangkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan wilayah dapat dilihat dari hasil survei
Sakernas BPS berikut ini ;
Tabel 2. Tingkat Pengangguran Terbuka berdasarkan Wilayah
Tahun 2011 – 2014
Sumber ; Sakernas BPS, 2014
Dari grafik tersebut tampak jelas bahwa sejak tahun 2011 hingga tahun 2014, permasalahan
pengangguran terbuka lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Hal ini dimungkinkan terjadi
karen adanya faktor ; (1) Urbanisasi dari desa ke kota, dan (2) keterbatasan lapangan pekerjaan di
perkotaan. Namun, secara keseluruhan, tren ketenagakerjaan khususnya tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia mengalami penurunan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
c. Daya Saing Global Indonesia
World Economic Forum (WEF) adalah sebuah lembaga pemeringkatan daya saing ternama yang
mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor yang
menentukan tingkat produktivitas suatu negara. WEF menggunakan metode atau pendekatan 12 Pilar
utama sebagai alat ukur daya saing masing-masing negara di dunia. Berikut ini adalah data yang berhasil
dipublikasikan oleh WEF tentang Laporan Indeks Daya Saing Global tahun 2014 – 2015.
Tabel 3. Skor Daya Saing Global – 12 Pilar Daya Saing Indonesia
Tahun 2014 – 2015
Tabel 4. Peringkat Indonesia – Skor Indeks Daya Saing Global 7 Negara Asia
World Economic Forum Tahun 2014 – 2015
d. Upaya Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Tenaga Kerja dalam Menunjang Penurunan
Tingkat Pengangguran Terbuka – Pendekatan 12 Pilar Daya Saing
Analisis SWOT
Berikut ini adalah penggabungan hasil skoring indeks Daya Saing Global Indonesia menurut 12
pilar daya saing yang diaplikasikan dalam diagram SWOT.
Gambar. Analisis SWOT dan distribusi skoring 12 Pilar Daya Saing Global Indonesia
Tahun 2014-2015
Pilar 1
Pilar 2
Pilar 8
Pilar 7
Pilar 9
Pilar 12
Pilar 3
Pilar 4
Pilar 10
Pilar 5
Pilar 6
Pilar 11
Sumber data ; diolah penulis, 2015
Kuadran 1
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang dan ditunjang dengan adanya potensi kekuatan internal, strategi
yang layak diterapkan dalam kondisi ini adalah strategi agresif
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global yang paling tinggi, yaitu :
a. Pilar 3, Lingkungan macro-ekonomi
skor GCI : 5,49 - Peringkat 34 dari 150 negara
b. Pilar 4, Kesehatan dan Pendidikan Dasar
skor GCI : 5,67 - Peringkat 74 dari 150 negara
c. Pilar 10, Ukuran Pasar
skor GCI : 5,34 - Peringkat 15 dari 150 negara
Kondisi ekternal yang menciptakan peluang :
1.
Lingkungan ekonomi makro
Secara makro-ekonomi, perekonomian Indonesia memiliki posisi yang menguntungkan dibandingkan
negara-negara lain di kawasan ASEAN. Tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan
global dan rata-rata estimasi pertumbuhan PDB ASEAN, yaitu sekitar 4,5% sampai 6,5% selama 10
tahun terakhir. Ini artinya secara global, perekonomian Indonesia masih cukup baik dan kondusif untuk
dipacu perkembangannya. Ditunjang dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis dalam
jalur perdagangan internasional (Selat Malaka) menjadi faktor positif yang perlu menjadi pertimbangan
utama bagi pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur pembangunan
pelabuhan dagang, pelabuhan peti kemas dan bisnis penyimpanan atau sewa gudang / kilang minyak,
seperti halnya yang sudah dilakukan oleh Singapur yang sukses dengan bisnis tersebut.
2.
Kesehatan dan pendidikan dasar
Untuk tingkat kesehatan dan pendidikan dasar, Indonesia sudah cukup mampu meningkatkan standar
kesehatan masyarakat dan program pendidikan standar 9 tahun yang baik. Hal tersebut dibuktikan
dengan menurunnya angka kematian ibu dan bayi sejak 10 tahun terakhir yang rata-rata hanya kurang
dari 1% per tahun dari 1 juta kelahiran. Juga pemerataan pendidikan dasar yang telah berhasil
dicanangkan oleh pemerintah melalui Program Wajib Belajar 9 Tahun, Program Dana BOS, dan
Program Sekolah Gratis untuk Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Ini artinya, syarat pertama untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi dan pengadaan tenaga kerja
terdidik telah terpenuhi dan pasar kerja Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan ke arah
yang lebih spesifik pada bidang tertentu dan meningkatkan profesionalisme serta etos kerja yang sesuai
standar internasional.
3.
Ukuran Pasar
Yang dimaksud dengan ukuran pasar adalah pangsa pasar ekonomi Indonesia masih sangat luas dan
memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan
suku dan bahasa, memiliki pasar domestik dan internasional yang cukup luas dalam menciptakan
perdagangan dunia yang yang menguntungkan.
Produk-produk terbaik dari hasil pertanian, pertambangan dan perkebunan, jika mampu dikembangkan
teknologinya akan sanggup menyaingi produk yang sama dari negara lain. Potensi ini seharusnya bisa
dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dengan lebih maksimal dengan cara mendirikan asosiasi
petani atau asosiasi perusahaan pertambangan. Produk hasil pertanian yang masih mungkin
dikembangkan misalnya, padi, buah-buahan eksotik (durian, mangga, manggis, jeruk dan pisang),
kelapa sawit, karet, tembakau dan cengkeh. Sedangkan untuk hasil tambang, yang masih memiliki
banyak peluang dieksplorasi adalah batubara, batu alam (akik, giok, dlsbg), biji besi dan gas alam.
Strategi yang dapat diterapkan :
Strategi agresif untuk memperluas pasar produk-produk hasil pertanian, perkebunan dan pertambangan dan
melakukan pembenahan birokrasi ekspor, membangun infrastruktur kepelabuhanan yang cukup baik untuk
menunjang disribusi barang-barang hasil pertanian, perkebunan dan pertambangan. Membangun kerjasama
asosiasi yang mampu membuka saluran distribusi pemasaran internasional dan menjamin standar mutu
produk sesuai dengan standar internasional.
Membuka lapangan pekerjaan yang mampu menyerap lulusan pendidikan dasar di bidang pertanian,
perkebunan dan pertambangan melalui program pelatihan terpadu yang mampu menyediakan jenjang karir
bagi tenaga kerja terdidik yang baru memasuki dunia kerja dengan ijazah pendidikan dasar.
Dengan strategi yang demikian, diharapkan Indonesia mampu menjaga tingkat pertumbuhan PDB-nya
dengan cara membuat perencanaan program-program pembangunan di bidang ;
1). Teknologi pertanian, perkebunan dan pertambangan
2). Membuat regulasi yang mendukung perkembangan usaha pertanian, perkebunan dan pertambangan
3). Membuka lapangan kerja yang luas dan mampu menjanjikan jenjang karir yang baik.
4). Meregulasi pajak dan memangkas birokrasi ekspor
5). Mendirikan asosiasi dagang untuk hasil pertanian, perkebunan dan perdagangan di tingkat internasional
Kuadran 2
Kondisi eksternal yang mengindikasikan berbagai ancaman ditunjang dengan adanya potensi kelemahan
internal, strategi yang layak diterapkan adalah startegi deversifikasi.
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global skor kedua dari skor tertinggi, yaitu :
a. Pilar 5, Pendidikan Tinggi dan Pelatihan
skor GCI : 4,53 - Peringkat 61 dari 150 negara
b. Pilar 6, Efisiensi Pasar Barang
skor GCI : 4,54 - Peringkat 48 dari 150 negara
c. Pilar 11, Kemudahan Berusaha
skor GCI : 4,47 - Peringkat 33 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang menciptakan ancaman :
1) Pasar global WTO yang melarang negara-negara dunia melakukan pembatasan impor dan ekspor barang.
2) Kapitalisasi pasar uang dunia dan perkembangan pasar uang yang menjadikan Dollar AS sebagai
komoditas perdagangan.
3) Perkembangan pasar komoditas, yang mengacu pada bentuk pasar monopoli dan persaingan sempurna.
4) Perkembangan teknologi digital dan sistem informasi global menciptakan ketidakterbatasan informasi
antar negara.
Potensi kelemahan internal :
1) Kurang meratanya pendidikan tinggi dan pelatihan di seluruh Indonesia. Sampai saat ini, fasilitas mutu
pendidikan tinggi dan pelatihan yang terbaik, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Banyak
pelajar lulusan SMA yang berlomba-lomba melanjutkan studi di PTN atau PTS di Pulau Jawa hingga
hampir setiap tahun PTN di luar Pulau Jawa kekurangan siswa sedangkan di Pulau Jawa mengalami
kelebihan siswa.
2) Kemudahan berusaha di Indonesia cukup tinggi, artinya regulasi pemerintah sudah cukup baik dalam
memberikan kemudahan untuk mendirikan usaha dari mulai usaha kecil, home industry, usaha kecil
menengah, hingga usaha berbadan hukum. Namun, kemudahan usaha ini kurang ditunjang dengan
regulasi di sektor hukum dalam hal perlindungan konsumen dan hak-hak konsumen.
3) Efisiensi pasar barang di Indonesia juga sangat rentan terhadap perubahan selera pasar dan inflasi. Daya
saing produk-produk indusri Indonesia yang belum mampu bersaing dengan produk dari luar negeri
memberi banyak peluang menurunnya neraca perdagangan luar negeri. Di sisi lain, banyak produk hasil
industri dari Indonesia masih mengandalkan bahan baku impor, seperti misalnya produk-produk tekstil,
produk automotif dan elektronik. Hal ini tentunya mempengaruhi harga pokok produksi dan harga jual
produk yang mudah berfluktuasi akibat kebutuhan mata uang Dollar AS untuk belanja impor bahan
baku tersebut.
Strategi yang dapat diterapkan :
Strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah Indonesia yang mungkin bisa dilakukan adalah
mendiversifikasikan hasil produk-produk industri dan memperluas pasar domestik untuk produk-produk
industri lokal. Mempermudah penyaluran barang-barang industri dalam negeri ke seluruh pelosok Indonesia.
Meregulasi pajak agar memberikan keringanan bagi industri hulu untuk berkembang menunjang
industri hilir. Memperluas jangkauan pasar hingga ke luar negeri melalui misi-misi dagang internasional dan
membangun konsep kemitraan untuk alih teknologi dengan negara-negara maju.
Pemerataan pendidikan tinggi dan pelatihan dengan cara membangun fasilitas kampus yang setara
dengan PTN dan PTS di Pulau Jawa dan Sumatera. Membuka peluang bagi dosen-dosen di PTN dan PTS di
Pulau Jawa untuk bisa mengajar di berbagai PTS dan PTN di luar Jawa dan Sumatra dengan melalui
program studi banding dapat menjadi alternatif positif guna membangun kepercayaan masyrakat terhadap
pemerataan pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia.
Sedangkan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja adalah dengan
membuka kesempatan usaha seluas-luasnya bagi masyarakat, menciptakan iklim ketenagakerjaan yang
profesional dengan cara menstandarisasi syarat pendidikan dan keahlian bagi tenaga kerja yang hendak
bekerja di sektor industri berbasis teknologi. Mensyarakatkan sertifikasi produk dan penjaminan mutu bagi
industri berskala multi-nasional dan keterbukaan informasi ketenagakerjaan agar terjadi persaingan tenaga
kerja dan terbukanya kesempatan kerja yang sama bagi semua pencari kerja yang memiliki standar keahlian
yang dibutuhkan.
Kuadran 3
Kondisi eksternal yang menunjukkan berbagai peluang namun terdapat berbagai kelemahan interal, strategi
yang dipergunakan adalah strategi turn-around (meminimalisir kelemahan internal, membuka peluang pasar)
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global skor ketiga dari skor yang tertinggi, yaitu :
a. Pilar 1, Lingkungan Kelembagaan
skor GCI : 4,11 - Peringkat 53 dari 150 negara
b. Pilar 2, Infrastrutur
skor GCI : 4,37 - Peringkat 56 dari 150 negara
c. Pilar 8, Perkembangan Pasar Uang
skor GCI : 4,45 - Peringkat 42 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang :
1) Secara kelembagaan, baik di sektor swasta maupun pemerintahan, Indonesia sudah menunjukkan tata
organisasi yang terstruktur dengan baik. Baik tatanan organisasi dan peraturan yang membentuk
birokrasi di pusat dan daerah serta tatanan organisasi di sektor swasta melalui tata kelola perusahaan
swasta (PT, CV, Firma, Koperasi dan Yayasan) telah memiliki hukum positif yang jelas.
2) Pembangunan infrastruktur juga berkembang cukup signifikan dalam mengakomodasi tuntutan
kebutuhan masyarakat akan akses komunikasi, distribusi barang dan kapitalisasi pasar.
3) Pasar uang di Indonesia yang sangat dinamis mampu memberikan daya tarik investor asing untuk
membuka pasar riil di Indonesia.
Berbagai kelemahan internal :
1) Kasus korupsi pejabat dan kurangnya undang-undang perlindungan konsumen menciptakan sentimen
negatif di pasar investasi.
2) Regulasi pajak yang kurang fleksibel dan birokrasinya memberikan dampak ekonomi biaya tinggi bagi
pelaku industri sehingga sulit mengendalikan harga.
3) Pasar uang yang dinamis namun rentan terhadap perubahan nilai Dollar AS, membuat kondisi
perekonomian makro Indonesia sangat mudah mengalami krisis ekonomi.
Strategi yang dapat dilakukan :
1) Memberantas korupsi dan mewajibkan bagi pejabat pemerintah dan perusahaan berbadan hukum untuk
secara rutin membuat laporan keuangan dan melaporkan kekayaan pribadi pejabat dan perusahaan
kepada lemabaga yang berwenang.
2) Menjaga independensi lembaga-lembaga hukum negara yang menjamin pelaksanaan hukum positif
publik dan menjaga terpenuhinya hak-hak asasi manusia.
3) Keberadaan dan pengaruh partai-partai politik seharusnya mampu menciptakan kondisi negara yang
memiliki kepastian hukum dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat dibanding kepentingan partai.
4) Regulasi pajak secara terus-menerus harus mampu memberikan kemudahan akses dalam hal
perhitungan dan penyetoran pajak serta penerapan sanksi yang proporsional.
5) Independensi Bank Indonesia dalam mengendalikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar serta menjaga
kecukupan uang beredar guna mengendalikan inflasi, sangatlah penting untuk menjaga kondisi
perekonoman agar tidak rentan terhadap krisis global.
6) Strategi peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja yang dapat diterapkan adalah
mempermudah perijinan untuk mendirikan usaha dan mempermudah persyaratan untuk mendapatkan
pembiayaan usah aatau kredit usaha di bank.
7) Membuat paket-paket pelatihan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dengan pemberian modal hibah
manfaat dan membuat program “bapak angkat” bagi industri kecil yang sudah mampu memproduksi
dengan skala nasional. Program “bapak angkat” adalah program jejaring mitra industri yang
mengarahkan distribusi industri kecil menjadi pemasok utama bagi industri besar. Tujuan utama adalah
membantu industri besar agar sedikit demi sedikit menghilangkan ketergantungan terhadap bahan baku
import dan membantu industri kecil agar mampu secara berkesinambungan mengembangkan produknya
sesuai kebutuhan industri besar.
8) Pemerintah Indonesia harus konsisten menjaga iklim usaha yangkondusif menyangkut kestabilan nilai
tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan secara bertahap memperbaiki regulasi pajak terutama Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai bagi dunia industri.
Kuadran 4
Kondisi eksternal memperlihatkan berbagai ancaman dengan berbagai kelemahan internal, strategi defensif
menjadi pilihan yang tepat.
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global yang skornya paling rendah, yaitu :
a. Pilar 7, Efisiensi Pasar Kerja
skor GCI : 3,81 - Peringkat 110 dari 150 negara
b. Pilar 9, Kesiapan Teknologi
skor GCI : 3,58 - Peringkat 77 dari 150 negara
c. Pilar 12, Inovasi
skor GCI : 3,93 - Peringkat 31 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang memperlihatkan berbagai ancaman :
1) Tenaga kerja asing yang bekerj
“ Analisis Strategi Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Tenaga Kerja dalam Menunjang
Penurunan Tingkat Pengangguran Terbuka – Pendekatan 12 Pilar Daya Saing ”
Ira Murwenie, SE, MM
Dosen Tetap – Program Studi Komputerisasi Akuntansi
Politeknik Piksi Ganesha - Bandung
Pasca krisis ekonomi pada tahun 1997 – 1999, Indonesia masih harus teru berjuang untuk keluar dari
semua masalah kekacauan politik, ekonomi, dan sosial. Melewati 4 (empat) masa pemerintahan yang bergantiganti terjadi, Indonesia berhasil meraih kembali kepercayaan dunia internasional bahwa Indonesia cukup layak
diperhitungkan sebagai negara yang memiliki ketahanan yang cukup besar dalam menghadapi krisis ekonomi
global. Namun di sisi lain, dampak dari krisis ekonomi terebut masih terus dirasakan oleh masyarakat Indonesia
dan menjadi bahan pekerjaan berat bagi Pemerintah Indonesia untuk terus-menerus berupaya melalui
pengembangan program-program pembangunan yang saling berkesinambungan untuk mengatasi masalahmasalah perkembangan daya saing ekonomi di era globalisasi saat ini guna memastikan posisi negara tidak jauh
tertinggal dari negara-negara lain yang juga pernah mengalami krisis yang sama pada tahun 1997 yang lalu.
Di tahun 2013, ekonomi Indonesia menghadapi penyesuaian terhadap indikator makroekonominya, dan
penyesuaian tersebut tercermin dalam penurunan indikator keternagakerjaan di Bulan Agustus 2013. Seperti
yang telah diketahui bahwa tinggi-rendahnya tingkat indikator tenaga kerja dan buruh akan memberikan
informasi yang penting terhadap tren pergerakan investasi dan arus perdagangan. Berdasarkan data yang tercatat
oleh BPS, angka rata-rata Pengagguran Terbuka di Indonesia terendah adalah sebesar 5,92% dan tertinggi
mencapai 11,24% pada akhir tahun 2013. Kondisi ini selalu menjadi sinyal yang mampu mempengaruhi
kebijakan Pemerintah Indonesia untuk terus memprioritaskan masalah pengangguran sebagai masalah
fundamental negara yang harus segera diberikan jalan keluar agar tidak menimbulkan “efek domino” bagi
masalah negara lainnya.
Berdasarkan infornasi dari Laporan Daya Saing Global Indeks Raking tahun 2014 – 2015 yang telah
dipublikasikan oleh World Economic Forum, diketetahui bahwa Indonesia tercatat berada di posisi 36 dan
termasuk negara-negara yang berada di Tahapan 2 ; Pengendalian Efisinesi dari Pendekatan 12 Pilar Daya
Saing Global, lebih tinggi dari tahun 2012 – 2013 yang berada di peringkat 55 dunia. Kondisi ini mengingatkan
bahwa aspek paling lemah dari mekanisme ketenagakerjaan di Indonesia adalah karena sistem birokrasi
perekrutan dan pemecatan tenaga kerja yang kaku dan secara berlebihan memberikan 58 minggu ukuran gaji
kepada pekerja. Pengangguran Terbuka adalah pengangguran terdidik (berpendidikan formal) yang sedang
mencari kerja dan bekerja bebas yang tidak memiliki status sebagai pekerja tetap dengan standar gaji yang
mampu menutup biaya hidup standar.
Bagaimana bisa peringkat indeks Daya Saing Global untuk negara Indonesia mengalami kenaikan hanya
dalam jangka waktu singkat 2 tahun sedangkan angka rata-rata jumlah Pengangguran Terbuka di Indonesia
tidak pernah mengalami penurunan yang signifikan? Pada penelitian yang bersifat deskriptif ini, penulis
mencoba mengkaji masalah penelitian dengan cara analisis strategi peningkatan produktivitas dan daya saing
tenaga kerja Indonesia melalui perspektif dan pengukuran dari 12 Pilar Daya Saing Global. Harapan terbesar,
dari hasil penelitian ini adalah timbulnya ide-ide penelitian lanjutan yang akan mampu memberikan solusi
berkesinambungan terhadap masalah-masalah ketenagakerjaaan yang sering menjadi masalah Indonesia dengan
jumlah populasi ke-3 terbesar di dunia, masalah sumberdaya manusia Indonesia merupakan masalah
fundamental negara yang sangat menentukan keberhasilan pembangunan negara.
Kata kunci ; Produktivitas tenaga kerja, daya saing, Pendekatan 12 Pilar Daya Saing Global
1. PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG PENELITIAN
Masalah ketenagakerjaan di Indonesia adalah masalah klasik yang hampir di semua era
kepemerintahan negara akan menjadi masalah yang fundamental untuk selalu diprioritaskan dan
diberikan solusi secara berkelanjutan melalui program-program pembangunan sumberdaya manusia
yang terstuktur dan terarah agar mampu menghindarkan negara dari masalah lain yang akan timbul dan
berdampak luas bagi kestabilan negara di bidang keamanan, politik dan ekonomi. Hal ini disebabkan
oleh besarnya jumlah populasi negara Indonesia yang cukup pesat pertumbuhan penduduknya, dimana
telah tercatat oleh Badan Pusat Statistik, Indonesia memiliki jumlah penduduk lebih dari 250 juta jiwa
sampai dengan awal tahun 2015.
Menurut catatan BPS yang dipublikasikan tahun 2013, jumlah total populasi Indonesia adalah
sekitar 248 juta penduduk yang berhasil menempatkan Indonesia sebagai negara ke-4 dunia yang padat
penduduk. Komposisi etnis di Indonesia yang sangat bervariasi ini memiliki ratusan ragam suku dan
budaya. Meskipun demikian, lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia didominasi oleh 2 (dua) suku
terbesar yaitu ; Suku Jawa (41% dari total populasi) dan Suku Sunda (15% dari total populasi). Kedua
suku ini berasal dari Pulau Jawa, pulau dengan jumlah penduduk terbanyak terbanyak di Indonesia yang
mencakup sekitar 60% dari total populasi Indonesia. Jika digabungkan dengan Pulau Sumatra, hasilnya
akan menjadi sekitar 80% total populasi Indonesia, sedangkan 20% lagi adalah kontribusi populasi dari
wilayah kepulauan Indonesia lainnya.
Kondisi di atas adalah indikasi krusial yang dapat digarisbawahi bahwa konsentrasi populasi
terpenting berada di wilayah barat Indonesia. Propinsi paling padat populasi adalah Jawa Barat (lebih
dari 43 juta penduduk), sementara populasi paling lengang adalah Propinsi Papua Barat di Indonesia
bagian timur dengan jumlah hanya sekitar 761.000 jiwa.
Besarnya tingkat pertumbuhan penduduk di Jawa dan Sumatra tersebut tentu saja hanya sebagai
salah satu pemicu terjadinya masalah pengangguran. Hal-hal lain yang merupakan indikator bagi
peningkatan jumlah pengangguran di Indonesia adalah masalah pemerataan pendidikan dan
produktivitas tenaga kerja yang mampu dan memiliki daya saing global.
World Ecocnomic Forum (WEF) sebagai salah satu institusi dunial yang diprakarsai oleh
International Monetary Fund (IMF) untuk melakukan riset dan penelitian secara komprehensif melalui
berbagai metode pengukuran yang mampu memberikan gambaran obyektif dengan standar riset yang
jelas atas daya saing gobal dari seluruh negara-negara di dunia. WEF sejak tahun 2005 telah berhasil
secara berkesinambungan mengeluarkan laporan berkala kepada IMF dan World Bank mengenai data
dan informasi atas standar daya saing global yang dikenal sebagai Pengukuran 12 Pilar Daya Saing
Global yang menghasilkan Laporan Indeks Rangking Daya Saing Global.
Di Indonesia sendiri, pengukuran daya saing dan produktivitas tenaga kerja, masih menggunakan
skala pengukuran yang berbeda-beda untuk masing-masing wilayah di Indonesia. Hal ini disebabkan
oleh tidak meratanya pertumbuhan populasi penduduk dan penyebarannya serta kurangnya pemerataan
pembangunan infrastruktur di berbagai wilayah Indonesia, khususnya di Bagian Timur dari wilayah
Indonesia.
Pengukuran 12 Pilar Daya Saing Global yang dipublikasikan oleh WEF meliputi ; 1) Lingkungan
Kelembagaan (Institutions Environment), 2) Infrastruktur (Infrastucture), 3) Lingkungan makroekonomi (Macroeconomic Environment), 4) Kesehatan dan Pendidikan Dasar (Health and Primary
Education), 5) Pendidikan Tinggi dan Pelatihan (Higher Education and Training), 6) Efisiensi Pasar
Barang (Goods Market Efficiency), 7) Efisiensi Pasar Kerja (Labor Market Efficiency), 8)
Perkembangan Pasar Uang (Financial Market Development), 9) Kesiapan Teknologi (Technological
Readiness),10) Ukuran Pasar (Size Market), 11) Kemudahan Berusaha (Business Sophistication), dan
12) Inovasi (Innovation). Dari ke 12 pilar tersebut, WEFmengklasifikasikannya menjadi 3 (tiga) “kunci
pengendalian” (Key Driven) yaitu : 1) Key for Factor-Driven ecocnomies, 2) Key for Efficiency-Driven
economies, dan 3) Key for Innovation-Driven economies. Sedangkan, pengukuran yang dipublikasikan
oleh BPS untuk mengukur daya saing tenaga kerja di wilayah Indonesia meliputi ; 1) Makro-ekonomi,
2) Infrastruktur, 3) Kesehatan, 4) Pendidikan, 5) Ketenagakerjaan, 6) Pengukuran pasar, 7) Ketersediaan
teknologi, 8) Kemudahan berusaha.
Menurut hasil laporan International Labor Organization (ILO), tren pengangguran di Indonesia
selama 5 tahun terakhir mencapai titik yang rendah yaitu 5,8% pada bulan Mei 2013. Namun, krisis
yang terjadi baru-baru ini membuat akumulatif tingkat pengangguran mencapai angka tertinggi sebesar
11,24%. Namun, sekalipun menunjukkan kenaikan dalam tingkat pengangguran, Indonesia terus
menunjukkan penurunan dalam hal setengah pengangguran dan juga peningkatan dalam pekerjaan paruh
waktu. Selain itu, terlihat sejak tahun 2013 hingga awal tahun 2015, dunia ketenagakerjaan Indonesia
memperlihatkan adanya kenaikan upah nominal rata-rata dimana upah riil rata-rata sangat dipengaruhi
oleh inflasi. Tren ini menunjukkan dampak inflasi (atau sebaliknya) mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap daya beli pekerja. Yang menarik adalah bahwa pertumbuhan upah yang kuat di
tahun 2013 hingga awal tahun 2015 terjadi di sektor perbankan dan keuangan, sedangkan pertumbuhan
yang lemah terlihat di sektor pertanian.
Kondisi yang serba tidak merata ini sungguh merupakan kendala yang cukup menarik bagi
penulis untuk meneliti lebih jauh lagi faktor-faktor terjadinya masalah pengangguran yang terjadi di
Indonesia, terutama masalah Pengangguran Terbuka yang 80% didominasi oleh pengangguran terdidik
(berpendidikan formal). Bagaimanakah cara penerapan pendekatan 12 Pilar Daya Saing Global yang
diluncurkan oleh WEF akan sanggup mendeskripsikan dengan jelas mapping problem (pemetaan
masalah) yang lebih bersifat obyektif dan mampu menciptakan solusi-solusi kreatif terhadap
perkembangan masalah pengangguran di Indonesia. Inilah yang mendasari ketertarikan penulis untuk
menngangkat judul penelitian yaitu “ANALISIS STRATEGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS
DAN DAYA SAING TENAGA KERJA DALAM MENUNJANG PENURUNAN TINGKAT
PENGANGGURAN TERBUKA – PENDEKATAN 12 PILAR DAYA SAING ”
B. REVIEW PENELITIAN
Pembangunan dilaksanakan guna mewujudkan kemakmuran masyarakat melalui pengembangan
perekonomian mengatasi berbagai permasalahan pembangunan dan sosial kemasyarakatan, khususnya
masalah pengangguran dan kemiskinan (Yarlina Yacoub;2012). Menurut hasil penelitian Yarlina (2012)
dengan menggunakan sampel data jumlah pengangguran dan tingkat kemiskinan di 16 kota di
Kalimantan Timur, diperoleh hasil pengaruh yang signifikan sebesar 61,07% dan pengangguran
berkorelasi negatif terhadap kemiskinan. Namun hal ini tidak sejalan dengan penelitian yang telah
dilakukan oleh De Fina (2002) yang melakukan penelitian di Amerika Serikat menemukan bahwa
kemiskinan tidak memiliki korelasi yang kuat terhadap pengangguran. De Fina lebih lanjut menyatakan
bahwa keterkaiatan antara kemiskinan dan pengangguran sangat dipengaruhi oleh bagaimana
kemiskinan itu diukur.
Dari hasil 2 (dua) penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa variabel pengangguran di masingmasing negara, tidak memiliki keterkaitan yang sama dengan variabel lain yang mempengaruhinya
seperti halnya variabel kemiskinan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi variabel pengangguran
sehingga perlu dilakukan penelitian lebih dalam menyangkut angka-angka tingkat penganguran yang
dipublikasikan oleh berbagai lembaga penelitian termasuk oleh BPS, ILO dan WEF.
Di Indonesia sendiri, dibandingkan dengan negara-negara Asia lain, perekonomian Indonesia di
tahun 2013 mampu menyumbangkan 1,2 % dari PDB global (Bank Dunia;2013) dan merupakan salah
satu dari 20 negara dengan perekonomian terkuat di dunia. Namun terlepas dari tren positif di kawasan
Asia ini, iklim domestik Indonesia telah mengalami penurunan dalam hal indikator ekonomi sepanjang
tahun 2013 hingga awal tahun 2015 karena gabungan dari faktor internal dan eksternal. Penurunan ini
dikaitkan dengan volatilitas pasar keuangan internasional (merosotnya nilai Rupiah terhadap Dollar AS),
pengetatan kebijakan moneter di AS, dan revisi subsidi BBM dalam negeri yang memicu inflasi
(ILO,2014).
Kondisi makro-ekonomi di Indonesia yang mengalami penurunan tersebut, mampu
mempengaruhi kondisi ketenagakerjaan secara signifikan. Hal ini dipaparkan dari hasil penelitian
Payaman J. Simanjuntak (2012) dengan menggunakan pendekatan 8 Pilar Daya Saing dan Produktivitas
Wilayah yang menyatakan bahwa faktor Tenaga Kerja hanya mampu memberikan kontribusi sebesar
8,66% dengan tingkat pertumbuhan hanya 1,56% per tahun dari 100% peran input PDB, sedangkan
85,69% peran input PDB diperoleh dari kapitalisasi dengan pertumbuhan sekitar 5,98%. Artinya bahwa
kenaikan PDB di Indonesia, lebih banyak dipengaruhi oleh kontribusi kenaikan kapitalasasi dalam dan
luar negeri utamanya di sektor keuangan dan perbankan, sedangkan sektor riil tidak banyak memberikan
kontribusi terhadap PDB secara signifikan.
Dari hasil kajian dan pendekatan yang berbeda tersebut, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
pengukuran yang lebih mendekati indikator varibel yang diteliti tanpa dipengaruhi oleh variabel yang
bias indikatornya sangat besar, mampu memberikan hasil penelitian dan pengukuran yang efektif
sehingga sanggup memberikan solusi-solusi permasalahan yang lebih terarah dan positif. Seperti hal
yang telah sajikan dalam penulisan di atas, bahwa hasil penelitian De Fina (2002) dan Payaman (2012)
menunjukkan kesimpulan yang sama yaitu bagaimana tingkat pengangguran itu diukur.
2. KAJIAN PUSTAKA
A. TEORI KETENAGAKERJAAN
Menurut UU No. 13 Tahun 2003 BAB 1 Pasal 1 (2) disebutkan bahwa Tenaga Kerja adalah setiap
orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan jika ditinjau dari pengertian demografi, tenaga
kerja merupakan penduduk yang berada dalam usia kerja. BPS sebagai lembaga sensus demografi
negara, menyebutkan bahwa tenaga kerja adalah orang dengan usia (di atas) 15 tahun yang telah
sanggup menghasilkan pendapatan yang dapat memenuhi kebutuhan sendiri (keluarga) maupun untuk
masyarakat.
Sedangkan menurut Payaman Simanjuntak (2010) “Tenaga kerja adalah penduduk yang sudah
atau sedang bekerja, yang sedang mencari pekerjaan, dan yang melaksanakan kegiatan seperti
bersekolah, dan mengurus rumah tangga”. Sehingga, secara praktis pengertian tenaga kerja dan bukan
tenaga kerja menurut Payaman hanya dibedakan oleh batas umur.
Jadi yang dimaksud dengan tenaga kerja yaitu indivdu yang sedang mencari atau sudah
melakukan pekerjaan yang menghasilkan barang atau jasa yang sudah memenuhi persyaratan ataupu
batasan usia yang telah ditetapkan oleh undang-undang yang bertujuan untuk memperoleh hasil atau
upah untuk kebutuhan hidup sehari-hari.
1. Klasifikasi tenaga kerja
Pengklasifikasian tenaga kerja menurut definisi ILO dan BPS sesungguhnya telah memiliki
persamaan pengertian namun memiliki perbedaan dalam hal pengukuran. Hal tersebut salah satunya
disebabkan oleh adanya perbedaan pendekatan dan visi pengguna informasi dari hasil pengukuran
tersebut. Sedangkan jika mengacu pada ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, tenaga kerja di Indonesia
diklasifikasikan sebagai berikut ;
a. Berdasarkan penduduknya
1) Tenaga kerja
2) Bukan tenaga kerja
b. Berdasarkan batas kerja
1) Angkatan Kerja
2) Bukan Angkatan Kerja
c. Berdasarkan kualitasnya
1) Tenaga kerja terdidik
2) Tenaga kerja terlatih
3) Tenaga kerja tidak terdidik dan tidak terlatih
2. Indikator ketenagakerjaan
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
Indikator partisipasi dalam dunia kerja
Indikator bekerja
Indikator pengangguran
Indikator pendidikan
Indikator produktivitas pekerja
Indikator elestisitas pekerja
Indikator kemiskinan
B. TEORI PRODUKTIVITAS KERJA
1.
Pengertian Produktivitas Kerja
Setiap perusahaan selalu berusaha agar karyawan bisa berprestasi dalam bentuk memberikan
produktifitas kerja yang maksimal. Produktivitas kerja karyawan pada satu karyawan sangatlah
penting sebagai alat pengukur keberhasilan dalam menjalankan usahanya. Karena semakin tinggi
produktivitas kerja karyawan dalam perusahaan berarti kinerja perusahaan juga semakin baik
sehingga peluang untuk peningkatan laba dan efisiensi biaya dapat dicapai dalam jangka panjang.
Menurut pengertian ILO, yang dikutip oleh Malayu Hasibuan (2005;127) mengungkapkan
bahwa, produktivitas adalah perbandingan secara ilmu hitung antara jumlah yang dihasilkan dan
jumlah setiap sumber yang dipergunakan selama produksi berlangsung. Sumber tersebut dapat
berupa:
1) Tanah
2) Bahan baku dan bahan pembantu
3) Pabrik,mesin-mesin dan alat-alat
4) Tenaga kerja
Konsep produktivitas pada dasarnya dapatdilihat dari dua dimensi yaitu: 1) dimensi individu
dan, 2) dimensi organisasi. Pengkajian masalah produktivitas dari dimensi individu tidak lain
melihat produktivitas tenaga kerja terutama dalam hubungannya dengan karakteristik kepribadian
individunya.Dalam konteks ini esensi pengertian produktivitas adalah sikap mental yang selalu
mempunyai pandangan bahwa mutu kehidupan hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari
esok harus lebih baik dari hari ini. Menurut Kusnendi (2003;8).
2.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja
Dalam upaya meningkatkan produktivitas kerja karyawan, , perlu memperhatikan faktorfaktor yang mempengaruhi produktivitas kerja. Menurut Panji Anoraga (2005;56-60) ada 10
(sepuluh) faktor yang mempengaruhi produktivitas kerja, yaitu:
1) Pekerjaan yang menarik
2) Upah yang baik
3) Keamanan dan perlindungan dalam pekerjaan
4) Etos kerja
5) Lingkungan dan sarana kerja yang baik
6) Promosi dan pengembangan karir
7) Aktualisasi dalam kegiatan organisasi
8) Pengertian dan simpati atas persoalan pribadi
9) Kesetiaan pimpinan
10) Disiplin kerja
Menurut Payaman Simanjuntak(2010;30), faktor yang mempengaruhi produktivitas tenaga
kerja digolongkan dalam dua kelompok yaitu:
1)
2)
3.
Yang menyangkut kualitas dan kemampuan fisik kryawan meliputi tingkat pendidikan, latihan,
motivasi kerja, etos kerja, mental dan kemampuan fisik karyawan.
Sarana pendukung meliputi:
a) Lingkungan kerja meliputi; produksi, sarana dan peralatan produksi, tingkat keselamatan
dan kesejahteraan kerja
b) Kesejahteraan karyawan meliputi menejemen dan hubungan industri.
Pengukuran Produktivitas Kerja
Menurut Henry Simamora (2004;612) faktor-faktor yang digunakan dalam mengukur
produktivitas kerja meliputi kuantitas kerja, kualitas kerja, dan ketepatan waktu.
C. PENDEKATAN 12 PILAR DAYA SAING GLOBAL
Banyak pakar ekonomi dan pengambil kebijakan telah memberikan perhatian besar terhadap
konsep daya saing (Competitiveness) dan mencoba mengoperasionalkan dalam kebijakan pembangunan
ekonomi. Kaonsep daya saing juga menjadi kata kunci dalam upaya membangun perekonomian negara
dalam arti luas.
Daya saing dimaknai dari berbagai perspektif, antara lain perspektif ekonomi, bisnis, dan politik
(kebijakan pemerintah). Di samping itu, ada yang memaknai dalam perspektif mikro (perusahaan) dan
membawanya perspektif mikro ke perspektif makro-ekonomi (nasional).
Sarples (1990) dalam Gonarsyah (2007) memandang konsep daya saing (competitiveness) atau
keunggulan kompetitif (competitiveness advantage) bukan merupakan konsep ekonomi, melainkan
konsep politik (kebijakan). Lall (2001) memandang daya saing sebagai konsep bisnis yang digunakan
sebagai dasar bagi banyak analisis strategis dan peletak kebijakan (regulator) untuk meningkatkan
kinerja perusahaan.
Michael Porter, seorang profesor Ilmu Ekonomi dan ahli manajemen strategi dari Harvard
University (1990;1998) berusaha untuk mengkaji daya saing (competitiveness) dari perspektif mikro
(perusahaan) ke perspektif daya saing bangsa (national competitiveness advantage) yang
dipublikasikannya dlam buku berjudul “The Competitiveness Advantage of Nations” yang dikemudian
hari, hasil penelitinnya dipergunakan oleh World Economic Forum untuk membuat pemeringkatan daya
saing negara-negara di dunia dalam bentuk indeks kompetitif dan dipublikasikan secara internasional
dalam bentuk Laporan Kompetitivitas Global Forum Ekonomi Dunia atau The Global Competitiveness
Report – The Global Competitiveness Index yang mulai diterbitkan sejak tahun 2005 hingga sekarang.
Secara ringkas, Porter (1990;1998) mendefinisikan daya saing (competitiveness) sebagai suatu
kemampuan negara untuk menciptakan nilai tambah (value added) yang berkesinambungan melalui
kinerja industri (pasar kerja) dan untuk mempertahankan kualitas kehidupan yang tinggi bagi warga
negaranya (wealth and prosperity). Konsep Porter ini dikenal sebagai Diomond of Competitiveness
Advantage (Gambar, terlampir) yang dapat dijelaskan sebagai berikut ; (1) Kondisi Faktor (Factor
Conditions), yaitu posisi negara dalam hal penguasaan faktor produksi, seperti tenaga kerja terampil
atau infrastruktur yang dibutuhkan merupakan syarat kecukupan untuk bersaing dalam suatu industri ;
(2) Kondisi Permintaan (Demand Conditions), yaitu karakteristik besarnya permintaan pasar domestik
(home-market) untuk produk-produk atau jasa dari suatu industri ; (3) Industri Pendukung dan terkait
(Relating and Supporting Industries), yaitu kehadiran industri yang menyediakan bahan baku dan
pasar kerja dalam suatu negara dengan kemampuan daya saing industri-industri di pasar nternasional ;
dan (4) Persaingan, Struktur dan Strategi Industri (Firm Strategy, Structure, and Rivalry) yaitu,
kondisi pemerintahan di dalam suatu negara bagaimana perusahaan-perusahaan diciptakan,
diorganisasikan dan dikelola, serta karakteristik persaingan domestik.
Ke-empat faktor tersebut, digambarkan oleh Porter (1990;1998) menyerupai berlian (diamond),
sehingga sering disebut sebagai Porter’s Diamond Concept.
Gambar. Porter’s Diamond
Chance
Firm strategy, Structure, and
Rivalry
Factor Conditions
Goverment
Sumber ; Porter (1990)
Goverment
Demand Conditions
Related and Supporting Industries
Chance
Cho (1994) dalam Esterhuizen (2006) juga memberikan argumen terhadap model Porter tersebut
dengan melakukan modifikasi terhadap model “Diomond’s Porter” dengan cara membagi sumber-sumber
keunggulan bersaing di pasar internasional ke dalam 2 (dua) katagori yaitu ; (1) Faktor Fisik (Physical
Factor) yaitu, faktor-faktor yang mencakup sumber daya alam, lingkungan bisnis, industri pendukung
yang terkait dan kondisi permintaan, dimana kombinasinya akan menentukan daya saing suatu negara di
tingkat internasional pada periode tertentu. ; (2) Faktor Manusia (Human Factor) yaitu, faktor yang
mencakup para pekerja, politisi dan birokrasi, pengusaha serta para manajer profesional dan perekayasa
teknologi. Dengan kemampuan menciptakan, memotivasi, dan melakukan pengawasan terhadap 4
(empat) elemen fisik, maka faktor manusia akan menjadi penggerak ekonomi nasional ke tingkat daya
saing yang lebih tinggi.Cho (1994) mempelajari hal tersebut dari hasil penelitiannya terhadap negara
Korea.
Indeks WEF (World Economic Forum) sebagai salah satu hasil penerapan Diomond’s Porter
merupakan hasil pengukuran makro daya saing negara-negara di dunia melalui pendekatan yang luas dan
komprehensif. Tercatat sejak tahun 2005, WEF atau Forum Ekonomi Dunia memulai dengan
pendekatannya yang luas terhadap determinan kompetitivitas dan peran kebijakan pemerintah. WEF
melihat dinamika keunggulan komparatif dan penempatan dinamika inovasi teknologi sebagai inti
pengembangan keunggulan. Kemampuan untuk mempertahankan tingkat pendapatan perkapita penduduk
(PDB) dan pertumbuhan ekonomi dalam dunia yang semakin mengglobal tergantung pada kemampuan
setiap negara untuk melakuka inovasi atau impor dan menggunakan teknologi yang diciptakan di tempat
lainnya.
Dalam upaya menyajikan laporan Indeks Kompetitif Global atau Growth Competitiveness Index
(GCI), WEF melakukan pengukuran terhadap dasar-dasar mikro-ekonomi mengenai kompetitivitas antar
negara. Pengukuran tersebut meliputi 3 (tiga) kategori indeks pengukuran yaitu : (1) Sub-indeks Syarat
Utama (Basic Requirement Subindex) yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar 1.
Lingkungan kelembagaan, Pilar 2. Infrastruktur, Pilar 3. Lingkungan makro-ekonomi, Pilar 4.
Kesehatan dan Pendidikan Dasar ; (2) Sub-indeks Tingkat Efisiensi (Efficiency Enhancers Subindex)
yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar 5. Pendidikan Tinggi dan Pelatihan, Pilar 6.
Efisiensi Pasar Barang, Pilar 7. Efisiensi Pasar Kerja, Pilar 8. Perkembangan Pasar Uang, Pilar 9.
Kesiapan Teknologi, dan Pilar 10. Ukuran Pasar ; serta (3) Sub-indeks Inovasi dan faktor kemudahan
(Innovation and sophistication factors subindex) yaitu, sub-indeks pengukuran yang mencakup Pilar
11. Kemudahan Berusaha dan Pilar 12. Inovasi. Secara diagram, pengukuran Indeks Kompetitif Global
dapat digambarkan sebagai berikut :
Gambar. Kerangka Pengukuran Indeks Kompetitif Global –
Forum ekonomi Dunia
GLOBAL COMPETITIVENESS INDEX
PEFFICIENCY ENHANCERS SUBINDEX
BASIC REQUIREMENTS
SUBINDEX
Pillar 5. Higher education and training
Pillar 6. Goods market efficiency
Pillar 1. Institutions
Pillar 2. Infrastructure
Pillar 3. Macroeconomic
environment
Pillar 4. Health and primary
education
KEY FOR FACTOR-DRIVEN
ECONOMIES
INNOVATION AND
SOPHISTICATION FACTORS
SUBINDEX
Pillar 7. Labor market efficiency
Pillar 8. Financial market development
Pillar 9. Technological readiness
Pillar 11. Business
Sophistication
Pillar 10. Market Size
Pillar 12. Innovation
3. METODE PENELITIAN
KEY FOR EFFICIENCY-DREIVEN
ECONOMIES
KEY FOR INNOVATION-DRIVEN
ECONOMIES
Metode analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini meliputi analisis data kuantitatif dan
kualitatif (analisis deskriptif dan SWOT)
Analisis deskriptif dimaksudkan untuk menyajikan atau mendeskripsikan hasil temuan lapangan berupa
data-data statistik dan pengukurannya yang telah tersaji secara komprehensif melalui berbagai hasil survei
dan pemilihan sampel dari sumber-sumber survei keteneagakerjaan baik dari narasumber dalam negeri yaitu
BPS, maupun dari lembaga survei internasional seperti halnya ILO, WEF, World Bank dan IMF.
Sedangkan analisis kualitatif dipresentasikan melalui Analisis SWOT digunakan untuk merumuskan
secara kualitatif dan holistik, baik menyangkut lingkungan internal maupun eksternal dari obyek yang
sedang diamati. Dalam lingkungan internal, analisis akan menjelaskan secara rinci aspek-aspek yang
menjadi kelemahan (Weakness) dan kekuatan (Strengh). Sementara itu dari lingkungan eksternal analisis ini
akan dijelaskan mengenai aspek-aspek peluang (Opportunity) dan kendala/ancaman (Threat). Gambar
berikut ini akan menjelaskan 4 (empat) arah mata angin Analisis SWOT ;
Gambar. Diagram Analisis SWOT
Kekuatan internal
(Strengh)
Berbagai peluang
(Opportunity)
Kuadran 3.
Mendukung
strategi turnaround
Kuadran 4.
Mendukung
strategi
Kelemahan internal defensif
(Weakness)
Kuadran 1.
Mendukung
strategi
agresif
Kuadran 2.
Mendukung
strategi
Berbagai ancaman
deversifikasi
(Ttreat)
Sumber : Rangkuti (2008)
Keterangan :
Kuadran 1
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang dan ditunjang dengan adanya potensi kekuatan internal, strategi
yang layak diterapkan dalam kondisi ini adalah strategi agresif.
Kuadran 2
Kondisi eksternal yang mengindikasikan berbagai ancaman ditunjang dengan adanya potensi kelemahan
internal, strategi yang layak diterapkan adalah startegi deversifikasi.
Kuadran 3
Kondisi eksternal yang menunjukkan berbagai peluang namun terdapat berbagai kelemahan interal, strategi
yang dipergunakan adalah strategi turn-around (meminimalisir kelemahan internal, membuka peluang pasar)
Kuadran 4
Kondisi eksternal memperlihatkan berbagai ancaman dengan berbagai kelemahan internal, strategi defensif
menjadi pilihan yang tepat.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
a. Kondisi Ekonomi Makro Indonesia Tahun 2013
Dampak inflasi terhadap perekonomian Indonesia pada tahun 2013 didominasi oleh penurunan
subsidi BBM dan diperburuk oleh kebijakan perdagangan yang terbatas serta fluktuasi musiman yang
terkait dengan perayaan hari raya keagamaan. Langkah kebijakan yang diambil emerintah Indonesia pada
tanggal 22 Juni 2013 untuk mengurangi subsidi solar sebesar Rp. 1.000,- per liter dan subsidi premium
sebesar Rp. 2.000,- per liter menyebabkan peningkatan inflasi yang cukup tajam dan penyesuaian harga
kemungkinan harus terus dilakukan oleh sektor industri hingga tahun-tahun selanjutnya.
Risiko inflasi yang berkelanjutan berdampak panjang terhadap sisi penawaran tenaga kerja berupa
tuntutan kenaikan Upah Minimum Regional (UMR). Besarnya tuntutan tenaga kerja atas kenaikan upah
tersebut membuahkan Instruksi Presiden No. 9/2013 yang berisi panduan tentang kenaikan upah
minimum yang ditujukan kepada dewan pengupahan tingkat provinsi dan kabupaten guna melakukan
penyesuaian besaran UMR berdasarkan daerah masing-masing. Instruksi ini berupaya mengatasi
masalah ketidakpastian kenaikan upah bagi sektor industri dan investor dengan memberikan panduan
tentang hubungan antara kenaikan upah minimum tahunan, inflasi dengan produktivitas.
Pada tanggal 24 Agustus 2013, Pemerintah Indonesia meluncurkan satu paket yang terdiri dari 4
(empat) paket kebijakan ekonomi untuk mendorong perekonomian Indonesia dan merespon penurunan
indikator ekonomi. Paket kebijakan ini mencakup :
1) Meningkatkan neraca transaksi berjalan dan menstabilkan mata uang (Rupiah)
2) Mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan daya beli
3) Menjaga stabilitas harga dan menekan laju inflasi
4) Mempercepat investasi
Paket kebijakan tersebut ternyata dalam perjalanannya belum mampu meredam laju inflasi yang
terus berfluktuasi seiring dengan berfluktuasinya harga minyak dunia. Kenaikan harga BBM bersubsidi
yang pada awalnya diperkirakan akan mampu menghemat pengeluaran Pemerintah Indonesia sebesar Rp.
13,1Trilyun pada tahun 2013 tersebut tidak terwujud disebabkan depresiasi nilai tukar Rupiah terhadap
Dollar AS yang cukup membuat Bank Indonesia harus terus mengintervensi pasar uang yang rentan
akibat kebijakan pengetatan finansial di Amerika Serikat.
Pendapatan Pemerintah Indonesia meningkat antara 12% hingga 18% per tahun sejak tahun 2013,
dimana sebagian besar keuntungan ini berasal dari pajak pertambahan nilai (PPn) dan pajak penghasilan
non migas (PPh). Nilai pendapatan dari kedua pajak tersubut diperkirakan mencapai lebih dari 60% atau
ari Rp. 937 Trilyun dari total pendapatan tahun 2013. Akan tetapi, penurunan pertumbuhan PDB nominal
dan depresiasi Rupiah dapat mempengaruhi realisasi pendapatan Pemerintah.
Pemerintah Indonesia mengalami defisit fiskal sejak tahun 2011, dimana diperkirakan defisit
mencapai 1,1 % dari PDB 2011 dan 1,9 % dari PDB tahun 2012. Pada tahun 2013, defisit fiskal
Pemerintah Indonesia telah mencapai 2,4% dari PDB yang sebagian besar dipengaruhi oleh penurunan
kondisi ekonomi pasca penghapusan subsidi BBM.
Kondisi ekonomi yang semakin sulit menyebabkan Pemerintah Indonesia harus mengembangkan
sistem perlindungan sosial yang mampu menyediakan manfaat tidak terbatas khususnya di bidang
layanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat yang hidup di garis kemiskinan. Program Bantuan
Langsung Tunai (BLT) dan Kartu Perlindungan Sosial (KPS)
diluncurkan pemerintah guna
mengantisipasi dampak sosial yang terjadi pada masyarakat miskin. Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2013, jumlah penduduk yang berada di bawah
garis kemiskinan adlah sebesar 11,4% dengan pengeluaran sebesar Rp. 271,626 milyar per bulan guna
pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan. Program-program tersebut, dalam jangka
pendek mungkin akan mampu mengimbangi pengurangan subsidi BBM dan mengendalikan dampak
inflasi, namun agaknya kurang berdampak pada distribusi dan ketidaksetaraan di berbagai sektor
pembangunan di Indonesia dalam jangka panjang karena program bantuan tunai dan perlindungan sosial
yang dilaksanakan hanya bersifat sementara sedangkan kelanjutan upaya untuk mmperluas program
perlindungan sosial yang lain, masih belum jelas.
b. Tren Ketenagakerjaan di Indonesia
Dampak kondisi perekonomian makro di Indonesia atas kebijakan penghapusan subsidi BBM
ternyata sanggup mempengaruhi penawaran pasar kerja industri. Tekanan inflasi, menyebabkan tenaga
kerja kehilangan daya tawar terhadap besaran upah yang disediakan oleh industri. Kebijakan UMR
melalui Inpres No. 9/2013 yang berisi panduan tentang kebijakan kenaikan upah minimum tahunan
ternayata belum direspon secara positif oleh seluruh pelaku industri dan investor. Ekonomi biaya tinggi
uatamanya pajak selalu menjadi alasan utama pelaku industri dan investor untuk menunda kenaikan upah
minimum, di samping kondisi Rupiah yang selalu berfluktuasi dan cenderung terus mengalami
depresiasi.
Berdasarkan data dari survei Sakernas Badan Pusat Statistik, tingkat pengangguran di Indonesia
lebih dipengaruhi oleh pendidikan dibandingkan dengan kemiskinan. Meskipun, jika ditilik lebih jauh,
tingkat pendidikan sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Semakin banyak masyarakat yang hidup
di bawah garis kemiskinan akan semakin besar kemungkinan rendahnya tingkat pendidikan yang mampu
dicapai oleh masyarakat.
Dari data Sakernas BPS tahun 2013 – 2014, diketahui bahwa jumlah pengangguran terbuka
berpendidikan lebih banyak pada lulusan SLTA dan SMK yaitu sebesar 22,45% (SMA) dan 25, 89%
(SMK) pada tahun 2013, serta 22,33% (SMA) dan 26,28% (SMK) pada tahun 2014. Kenaikan jumlah
angka pengagguran dari SMK relatif lebih tinggi dari SMA disebabkan berkurangnya pendapatan sektor
rumah tangga untuk menyediakan biaya pendidikan di SMA yang notabene relatif lebih tinggi dbanding
biaya pendidikan di SMK. Selain itu, SMK lebih banyak menjanjikan tenaga kerja siap pakai bagi dunia
industri setelah lulus sekolah. Berikut grafik yang menunjukkan profil ketenagakerjaan berdasarkan
tingkat pendidikan di Indonesia untuk tahun 2013 - 2014.
Tabel 1. Tingkat Pengangguran Terbuka Menurut Pendidikan (%)
Tahun 2013 – 2014
XTamatan
SD
SMP
SMA
SMK
DIPLOMA
UNIVERSITAS
Sumber : Sakernas BPS, 2014
2013
7,94%
17,53
%
22,45
%
25,89
%
13,74
%
12,45
%
2014
7,11%
16,72
%
22,33
%
26,28
%
14,36
%
13,21
%
Dari grafik di atas, dapat dilihat bahwa peta persoalan pengangguran belum mengalami perubahan
yang signifikan bahkan terjadi kecenderungan meningkat di masing-masing jenjang pendidikan,
termasuk pada tingkat pendidikan tinggi Diploma dan Universitas.Sedangkan di tingkat SD dan SMP
justru mengalami penurunan yang signifikan dari tahun 2013 ke 2014, hal ini dimungkinkan karena
tingginya minat sektor industri akan biaya tenaga kerja murah guna menekan biaya produksi.
Sedangkan tingkat pengangguran terbuka berdasarkan wilayah dapat dilihat dari hasil survei
Sakernas BPS berikut ini ;
Tabel 2. Tingkat Pengangguran Terbuka berdasarkan Wilayah
Tahun 2011 – 2014
Sumber ; Sakernas BPS, 2014
Dari grafik tersebut tampak jelas bahwa sejak tahun 2011 hingga tahun 2014, permasalahan
pengangguran terbuka lebih banyak terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Hal ini dimungkinkan terjadi
karen adanya faktor ; (1) Urbanisasi dari desa ke kota, dan (2) keterbatasan lapangan pekerjaan di
perkotaan. Namun, secara keseluruhan, tren ketenagakerjaan khususnya tingkat pengangguran terbuka di
Indonesia mengalami penurunan baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan.
c. Daya Saing Global Indonesia
World Economic Forum (WEF) adalah sebuah lembaga pemeringkatan daya saing ternama yang
mendefinisikan daya saing sebagai himpunan kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor yang
menentukan tingkat produktivitas suatu negara. WEF menggunakan metode atau pendekatan 12 Pilar
utama sebagai alat ukur daya saing masing-masing negara di dunia. Berikut ini adalah data yang berhasil
dipublikasikan oleh WEF tentang Laporan Indeks Daya Saing Global tahun 2014 – 2015.
Tabel 3. Skor Daya Saing Global – 12 Pilar Daya Saing Indonesia
Tahun 2014 – 2015
Tabel 4. Peringkat Indonesia – Skor Indeks Daya Saing Global 7 Negara Asia
World Economic Forum Tahun 2014 – 2015
d. Upaya Peningkatan Produktivitas dan Daya Saing Tenaga Kerja dalam Menunjang Penurunan
Tingkat Pengangguran Terbuka – Pendekatan 12 Pilar Daya Saing
Analisis SWOT
Berikut ini adalah penggabungan hasil skoring indeks Daya Saing Global Indonesia menurut 12
pilar daya saing yang diaplikasikan dalam diagram SWOT.
Gambar. Analisis SWOT dan distribusi skoring 12 Pilar Daya Saing Global Indonesia
Tahun 2014-2015
Pilar 1
Pilar 2
Pilar 8
Pilar 7
Pilar 9
Pilar 12
Pilar 3
Pilar 4
Pilar 10
Pilar 5
Pilar 6
Pilar 11
Sumber data ; diolah penulis, 2015
Kuadran 1
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang dan ditunjang dengan adanya potensi kekuatan internal, strategi
yang layak diterapkan dalam kondisi ini adalah strategi agresif
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global yang paling tinggi, yaitu :
a. Pilar 3, Lingkungan macro-ekonomi
skor GCI : 5,49 - Peringkat 34 dari 150 negara
b. Pilar 4, Kesehatan dan Pendidikan Dasar
skor GCI : 5,67 - Peringkat 74 dari 150 negara
c. Pilar 10, Ukuran Pasar
skor GCI : 5,34 - Peringkat 15 dari 150 negara
Kondisi ekternal yang menciptakan peluang :
1.
Lingkungan ekonomi makro
Secara makro-ekonomi, perekonomian Indonesia memiliki posisi yang menguntungkan dibandingkan
negara-negara lain di kawasan ASEAN. Tingkat pertumbuhannya lebih tinggi dari tingkat pertumbuhan
global dan rata-rata estimasi pertumbuhan PDB ASEAN, yaitu sekitar 4,5% sampai 6,5% selama 10
tahun terakhir. Ini artinya secara global, perekonomian Indonesia masih cukup baik dan kondusif untuk
dipacu perkembangannya. Ditunjang dengan kondisi geografis Indonesia yang sangat strategis dalam
jalur perdagangan internasional (Selat Malaka) menjadi faktor positif yang perlu menjadi pertimbangan
utama bagi pemerintah Indonesia untuk lebih memperhatikan pembangunan infrastruktur pembangunan
pelabuhan dagang, pelabuhan peti kemas dan bisnis penyimpanan atau sewa gudang / kilang minyak,
seperti halnya yang sudah dilakukan oleh Singapur yang sukses dengan bisnis tersebut.
2.
Kesehatan dan pendidikan dasar
Untuk tingkat kesehatan dan pendidikan dasar, Indonesia sudah cukup mampu meningkatkan standar
kesehatan masyarakat dan program pendidikan standar 9 tahun yang baik. Hal tersebut dibuktikan
dengan menurunnya angka kematian ibu dan bayi sejak 10 tahun terakhir yang rata-rata hanya kurang
dari 1% per tahun dari 1 juta kelahiran. Juga pemerataan pendidikan dasar yang telah berhasil
dicanangkan oleh pemerintah melalui Program Wajib Belajar 9 Tahun, Program Dana BOS, dan
Program Sekolah Gratis untuk Pendidikan Dasar 9 Tahun.
Ini artinya, syarat pertama untuk masuk ke jenjang pendidikan tinggi dan pengadaan tenaga kerja
terdidik telah terpenuhi dan pasar kerja Indonesia memiliki banyak potensi untuk dikembangkan ke arah
yang lebih spesifik pada bidang tertentu dan meningkatkan profesionalisme serta etos kerja yang sesuai
standar internasional.
3.
Ukuran Pasar
Yang dimaksud dengan ukuran pasar adalah pangsa pasar ekonomi Indonesia masih sangat luas dan
memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan kekayaan
suku dan bahasa, memiliki pasar domestik dan internasional yang cukup luas dalam menciptakan
perdagangan dunia yang yang menguntungkan.
Produk-produk terbaik dari hasil pertanian, pertambangan dan perkebunan, jika mampu dikembangkan
teknologinya akan sanggup menyaingi produk yang sama dari negara lain. Potensi ini seharusnya bisa
dikembangkan oleh pemerintah Indonesia dengan lebih maksimal dengan cara mendirikan asosiasi
petani atau asosiasi perusahaan pertambangan. Produk hasil pertanian yang masih mungkin
dikembangkan misalnya, padi, buah-buahan eksotik (durian, mangga, manggis, jeruk dan pisang),
kelapa sawit, karet, tembakau dan cengkeh. Sedangkan untuk hasil tambang, yang masih memiliki
banyak peluang dieksplorasi adalah batubara, batu alam (akik, giok, dlsbg), biji besi dan gas alam.
Strategi yang dapat diterapkan :
Strategi agresif untuk memperluas pasar produk-produk hasil pertanian, perkebunan dan pertambangan dan
melakukan pembenahan birokrasi ekspor, membangun infrastruktur kepelabuhanan yang cukup baik untuk
menunjang disribusi barang-barang hasil pertanian, perkebunan dan pertambangan. Membangun kerjasama
asosiasi yang mampu membuka saluran distribusi pemasaran internasional dan menjamin standar mutu
produk sesuai dengan standar internasional.
Membuka lapangan pekerjaan yang mampu menyerap lulusan pendidikan dasar di bidang pertanian,
perkebunan dan pertambangan melalui program pelatihan terpadu yang mampu menyediakan jenjang karir
bagi tenaga kerja terdidik yang baru memasuki dunia kerja dengan ijazah pendidikan dasar.
Dengan strategi yang demikian, diharapkan Indonesia mampu menjaga tingkat pertumbuhan PDB-nya
dengan cara membuat perencanaan program-program pembangunan di bidang ;
1). Teknologi pertanian, perkebunan dan pertambangan
2). Membuat regulasi yang mendukung perkembangan usaha pertanian, perkebunan dan pertambangan
3). Membuka lapangan kerja yang luas dan mampu menjanjikan jenjang karir yang baik.
4). Meregulasi pajak dan memangkas birokrasi ekspor
5). Mendirikan asosiasi dagang untuk hasil pertanian, perkebunan dan perdagangan di tingkat internasional
Kuadran 2
Kondisi eksternal yang mengindikasikan berbagai ancaman ditunjang dengan adanya potensi kelemahan
internal, strategi yang layak diterapkan adalah startegi deversifikasi.
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global skor kedua dari skor tertinggi, yaitu :
a. Pilar 5, Pendidikan Tinggi dan Pelatihan
skor GCI : 4,53 - Peringkat 61 dari 150 negara
b. Pilar 6, Efisiensi Pasar Barang
skor GCI : 4,54 - Peringkat 48 dari 150 negara
c. Pilar 11, Kemudahan Berusaha
skor GCI : 4,47 - Peringkat 33 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang menciptakan ancaman :
1) Pasar global WTO yang melarang negara-negara dunia melakukan pembatasan impor dan ekspor barang.
2) Kapitalisasi pasar uang dunia dan perkembangan pasar uang yang menjadikan Dollar AS sebagai
komoditas perdagangan.
3) Perkembangan pasar komoditas, yang mengacu pada bentuk pasar monopoli dan persaingan sempurna.
4) Perkembangan teknologi digital dan sistem informasi global menciptakan ketidakterbatasan informasi
antar negara.
Potensi kelemahan internal :
1) Kurang meratanya pendidikan tinggi dan pelatihan di seluruh Indonesia. Sampai saat ini, fasilitas mutu
pendidikan tinggi dan pelatihan yang terbaik, masih terkonsentrasi di Pulau Jawa dan Sumatera. Banyak
pelajar lulusan SMA yang berlomba-lomba melanjutkan studi di PTN atau PTS di Pulau Jawa hingga
hampir setiap tahun PTN di luar Pulau Jawa kekurangan siswa sedangkan di Pulau Jawa mengalami
kelebihan siswa.
2) Kemudahan berusaha di Indonesia cukup tinggi, artinya regulasi pemerintah sudah cukup baik dalam
memberikan kemudahan untuk mendirikan usaha dari mulai usaha kecil, home industry, usaha kecil
menengah, hingga usaha berbadan hukum. Namun, kemudahan usaha ini kurang ditunjang dengan
regulasi di sektor hukum dalam hal perlindungan konsumen dan hak-hak konsumen.
3) Efisiensi pasar barang di Indonesia juga sangat rentan terhadap perubahan selera pasar dan inflasi. Daya
saing produk-produk indusri Indonesia yang belum mampu bersaing dengan produk dari luar negeri
memberi banyak peluang menurunnya neraca perdagangan luar negeri. Di sisi lain, banyak produk hasil
industri dari Indonesia masih mengandalkan bahan baku impor, seperti misalnya produk-produk tekstil,
produk automotif dan elektronik. Hal ini tentunya mempengaruhi harga pokok produksi dan harga jual
produk yang mudah berfluktuasi akibat kebutuhan mata uang Dollar AS untuk belanja impor bahan
baku tersebut.
Strategi yang dapat diterapkan :
Strategi yang dapat diterapkan oleh pemerintah Indonesia yang mungkin bisa dilakukan adalah
mendiversifikasikan hasil produk-produk industri dan memperluas pasar domestik untuk produk-produk
industri lokal. Mempermudah penyaluran barang-barang industri dalam negeri ke seluruh pelosok Indonesia.
Meregulasi pajak agar memberikan keringanan bagi industri hulu untuk berkembang menunjang
industri hilir. Memperluas jangkauan pasar hingga ke luar negeri melalui misi-misi dagang internasional dan
membangun konsep kemitraan untuk alih teknologi dengan negara-negara maju.
Pemerataan pendidikan tinggi dan pelatihan dengan cara membangun fasilitas kampus yang setara
dengan PTN dan PTS di Pulau Jawa dan Sumatera. Membuka peluang bagi dosen-dosen di PTN dan PTS di
Pulau Jawa untuk bisa mengajar di berbagai PTS dan PTN di luar Jawa dan Sumatra dengan melalui
program studi banding dapat menjadi alternatif positif guna membangun kepercayaan masyrakat terhadap
pemerataan pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia.
Sedangkan strategi untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing tenaga kerja adalah dengan
membuka kesempatan usaha seluas-luasnya bagi masyarakat, menciptakan iklim ketenagakerjaan yang
profesional dengan cara menstandarisasi syarat pendidikan dan keahlian bagi tenaga kerja yang hendak
bekerja di sektor industri berbasis teknologi. Mensyarakatkan sertifikasi produk dan penjaminan mutu bagi
industri berskala multi-nasional dan keterbukaan informasi ketenagakerjaan agar terjadi persaingan tenaga
kerja dan terbukanya kesempatan kerja yang sama bagi semua pencari kerja yang memiliki standar keahlian
yang dibutuhkan.
Kuadran 3
Kondisi eksternal yang menunjukkan berbagai peluang namun terdapat berbagai kelemahan interal, strategi
yang dipergunakan adalah strategi turn-around (meminimalisir kelemahan internal, membuka peluang pasar)
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global skor ketiga dari skor yang tertinggi, yaitu :
a. Pilar 1, Lingkungan Kelembagaan
skor GCI : 4,11 - Peringkat 53 dari 150 negara
b. Pilar 2, Infrastrutur
skor GCI : 4,37 - Peringkat 56 dari 150 negara
c. Pilar 8, Perkembangan Pasar Uang
skor GCI : 4,45 - Peringkat 42 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang menciptakan peluang :
1) Secara kelembagaan, baik di sektor swasta maupun pemerintahan, Indonesia sudah menunjukkan tata
organisasi yang terstruktur dengan baik. Baik tatanan organisasi dan peraturan yang membentuk
birokrasi di pusat dan daerah serta tatanan organisasi di sektor swasta melalui tata kelola perusahaan
swasta (PT, CV, Firma, Koperasi dan Yayasan) telah memiliki hukum positif yang jelas.
2) Pembangunan infrastruktur juga berkembang cukup signifikan dalam mengakomodasi tuntutan
kebutuhan masyarakat akan akses komunikasi, distribusi barang dan kapitalisasi pasar.
3) Pasar uang di Indonesia yang sangat dinamis mampu memberikan daya tarik investor asing untuk
membuka pasar riil di Indonesia.
Berbagai kelemahan internal :
1) Kasus korupsi pejabat dan kurangnya undang-undang perlindungan konsumen menciptakan sentimen
negatif di pasar investasi.
2) Regulasi pajak yang kurang fleksibel dan birokrasinya memberikan dampak ekonomi biaya tinggi bagi
pelaku industri sehingga sulit mengendalikan harga.
3) Pasar uang yang dinamis namun rentan terhadap perubahan nilai Dollar AS, membuat kondisi
perekonomian makro Indonesia sangat mudah mengalami krisis ekonomi.
Strategi yang dapat dilakukan :
1) Memberantas korupsi dan mewajibkan bagi pejabat pemerintah dan perusahaan berbadan hukum untuk
secara rutin membuat laporan keuangan dan melaporkan kekayaan pribadi pejabat dan perusahaan
kepada lemabaga yang berwenang.
2) Menjaga independensi lembaga-lembaga hukum negara yang menjamin pelaksanaan hukum positif
publik dan menjaga terpenuhinya hak-hak asasi manusia.
3) Keberadaan dan pengaruh partai-partai politik seharusnya mampu menciptakan kondisi negara yang
memiliki kepastian hukum dan mengedepankan kesejahteraan masyarakat dibanding kepentingan partai.
4) Regulasi pajak secara terus-menerus harus mampu memberikan kemudahan akses dalam hal
perhitungan dan penyetoran pajak serta penerapan sanksi yang proporsional.
5) Independensi Bank Indonesia dalam mengendalikan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar serta menjaga
kecukupan uang beredar guna mengendalikan inflasi, sangatlah penting untuk menjaga kondisi
perekonoman agar tidak rentan terhadap krisis global.
6) Strategi peningkatan produktivitas dan daya saing tenaga kerja yang dapat diterapkan adalah
mempermudah perijinan untuk mendirikan usaha dan mempermudah persyaratan untuk mendapatkan
pembiayaan usah aatau kredit usaha di bank.
7) Membuat paket-paket pelatihan kewirausahaan berbasis ekonomi rakyat dengan pemberian modal hibah
manfaat dan membuat program “bapak angkat” bagi industri kecil yang sudah mampu memproduksi
dengan skala nasional. Program “bapak angkat” adalah program jejaring mitra industri yang
mengarahkan distribusi industri kecil menjadi pemasok utama bagi industri besar. Tujuan utama adalah
membantu industri besar agar sedikit demi sedikit menghilangkan ketergantungan terhadap bahan baku
import dan membantu industri kecil agar mampu secara berkesinambungan mengembangkan produknya
sesuai kebutuhan industri besar.
8) Pemerintah Indonesia harus konsisten menjaga iklim usaha yangkondusif menyangkut kestabilan nilai
tukar Rupiah terhadap Dollar AS dan secara bertahap memperbaiki regulasi pajak terutama Pajak
Penghasilan dan Pajak Pertambahan Nilai bagi dunia industri.
Kuadran 4
Kondisi eksternal memperlihatkan berbagai ancaman dengan berbagai kelemahan internal, strategi defensif
menjadi pilihan yang tepat.
Hasil pemindaian terhadap skor GCI (Tabel. 3), Kuadran 1 dapat diisi dengan skor dari 12 Pilar Daya Saing
Global yang skornya paling rendah, yaitu :
a. Pilar 7, Efisiensi Pasar Kerja
skor GCI : 3,81 - Peringkat 110 dari 150 negara
b. Pilar 9, Kesiapan Teknologi
skor GCI : 3,58 - Peringkat 77 dari 150 negara
c. Pilar 12, Inovasi
skor GCI : 3,93 - Peringkat 31 dari 150 negara
Kondisi eksternal yang memperlihatkan berbagai ancaman :
1) Tenaga kerja asing yang bekerj