MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN METODOLOGI QIYAS SEBAGAI UPAYA PENETAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

MAJELIS ULAMA INDONESIA (MUI); STUDI ATAS PENGGUNAAN METODOLOGI QIYAS SEBAGAI UPAYA PENETAPAN HUKUM ISLAM DI INDONESIA

1 NASRULLAH

1 STAI Auliaurrasyidin Tembilahan Nasrullah.arul73@gmail.com

Abstrak

MUI is one of the competent organizations in seeking Islamic legal solutions to legal events occurring in the country. In implementing the function of providing legal fatwa, MUI uses a set of methodologies before its solution in the form of a fatwa. Qiyas is one method that serves as an extension of laws that have not existed, or irrelevant to use in the Indonesian context. This paper provides an overview of the use of qiyas methodology by MUI. With the qualitative method, this research can be seen the confusion of legal decision due to inconsistency of qiyas use. This is not because of the unmanaged methodology or the quality of the individual in operation, but more because of the weakness of courage in the business aspect.

Katakunci: MUI, qiyas, hukum islam

PENDAHULUAN

norma-norma yang diakui, seperti Keputusan

budaya, sosial, dan agama. ditetapkan melalui ijtihad adalah

hukum

yang

Tradisi penetapan hukum yang cerminan dari masalah yang berisifat

berlandaskan shari’at agama Islam lokal

dilakukan dalam disiplin ilmu Fiqh. pencarian/penggalian

dan temporal.

Artinya,

Disiplin ini menyediakan kaidah- keputusan hukum belum akan

atas

satu

kaidah yang dinamis dan elastis dilakukan

guna mengakomodir permasalahan kepentingan,

dalam berbagai setting tempat dan peristiwa hukum yang menghendaki

masalah,

atau

terhimpun dalam untuk

waktu, yang

cabang ilmu ushul al-fiqh (legal pembenaran atas nama hukum,

diberikan

pembenaran-

theory) dan al-qawaid al-fiqhiyyah pada masa dan atau tempat tertentu.

(legal maxim).Ushul al-Fiqh sebagai Pembenaran

sebuah ilmu, berisi metodologi- tersebut diproduksi berdasarkan

perumusan dan

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

penetapan hukum yang beroperasi mapan dan akomodatif terhadap dan terkait erat dengan teks-teks

keragaman tempat dan waktu di shari’at, sedangkan al-qawa’id al-

hukum diproduksi.Tradisi Fiqhiyyah

mana

hukum Islam kaidah penalaran induktif yang

telah memiliki dioperasikan untuk menghasilkan

sesungguhnya

perangkat metodologi ijtihad yang hukum dari keputusan-keputusan

canggih dalam menghadapi setiap yang telah ada (yurisprudensi),

permasalah pada berbagai zaman setelah ditemukan kaidah-kaidah

dan tempat, diantaranya adalah umum

dari kodifikasi-kodifikasi

Qiyas.

putusan hukum tersebut.Fungsi Pengoperasian motodologi praktis dari kedua cabang ilmu fiqh

qiyas dalam tradisi pemikiran hukum ini adalah untuk menyediakan

Islam harus dilakukan oleh orang- perangkat pencarian dan penetapan

orang yang memiliki kualitas tertentu hukum atas kasus-kasus baru yang

dengan sebutan belum terjadi pada masa lalu atau

yang dikenal

Mujtahid. Syarat yang ditetapkan belum pernah ada ketetapannya. Di

oleh para Yuris Muslim -dalam samping itu, keduanya juga menjadi

tingkatnya yang tertinggi- sangat alat uji atas keputusan yang telah –

ketat, sehingga disinyalir tidak dan validasi atas keputusan yang

banyak orang yang memilikinya sedang dan akan- dibuat (baca:

pada setiap zaman.Beberapa solusi epistemologi).

dalam pemenuhan syarat tersebut Indonesia -sebagai tempat

kemudian diajukan oleh beberapa produksi hukum Islam- memiliki

ulama tradisional, agar solusi hukum ragam segmen sosial, yang terdiri

terus berlanjut sementara tidak dari beragam suku, budaya, ras,

terpenuhinya syarat mujtahid secara bahasa, agama dan kepercayaan.

utuh. Dewasa ini di Indonesia, para Dalam hal agama, Islam bahkan

ahli hukum beranggapan bahwa bukanlah yang pertama. Ia telah

ijtihad kolektif adalah langkah yang didahului oleh tradisi keberagamaan

paling strategis untuk kepentingan Hindu-Budha, dan kepercayaan-

tersebut. MUI (Majelis Ulama kepercayaan. Untuk memproduksi

adalah salah satu sebuah hukum yang berdasarkan

Indonesia)

lembaga yang melakukan ijtihad syari’at Islam, setidaknya, hendaklah

secara kolektif, untuk memberikan tidak

putusan-putusan hukum Islam di konfrontatif

keragaman tersebut. Dengan kata Penelitian ini secara khusus lain, hukum yang diproduksi –untuk

akan membicarakan tentang MUI kemudian diumumkan dalam bentuk

dalam hal menggunakan qiyas fatwa- memiliki sifat toleran.Untuk

sebagai metodologi menggali hukum kepentingan tersebut, diperlukan

yang solutif bagi peristiwa-peristiwa seperangkat

metodologi

yang

hukum yang terjadi di Indonesia.

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

A. Metodologi Qiyas dalam deretan urutan dalil dalam Istilah Qiyas biasa digunakan

cabang ilmu ini, yaitu al-sama’ atau dalam beberapa disiplin kajian

al-riwayah, ijma’, dan qiyas. Fungsi keislaman

hal ini untuk antaranya hukum Islam, bahasa,

memperluas kalam Arab dengan kalam/teologi, dan logika/filsafat.

cara mengqiyaskan pada pola Dalam kajian hukum Islam, qiyas

bahasa yang ada. Ibn Anbari (w. 557 ditempatkan pada posisi keempat

H) mendefinisikan qiyas sebagai dari urutan dalil hukum, al-Qur’an,

“membawa (haml) far’” kepada asl sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Qiyas lahir

karena ada ‘illat dan memberlakukan paling

hukm ashl kepada cabang tersebut. sebagai prinsip, dasar atau sumber

(Kamaluddin, 1987). Dengan kata hukum yang

keempat, seperti lain ketetapan hukum bagi kasus sumber-sumber lainnya. Sebenarnya

cabang (far’) didasarkan pada qiyas adalah salah satu cara ijtihad

ketetapan hukum kasus pokok (ashl) dan bukan sebagai sumber hukum

ada sifat yang seperti yang digambarkan pada

karena

menghubungkan (washf jami’) keempat perangkat teori hukum di

antara keduanya. Definisi Ibn Anbari atas. Alasannya adalah ia bukan

ini terkesan mirip dengan definisi hujjah (otoritas) dan bukan pula

yang umum dalam ilmu Hukum sumber yang berdiri sendiri. Ia

Islam, seperti yang diungkapkan al- merupakan proses ijtihad yang

al-Amidi, dengan mengutip pendapat sistematis

Husain al-Bashri, ketetapan hukum. Ia sepenuhnya

mengemukakan definisi qiyas bergantung pada sumber hukum

sebagai “penerapan hukum ashl yang lain, baik al-Qur’an maupun

kepada far’ karena ada kesamaan sunnah. Terkadang ia didasarkan

‘illat antara keduanya” (Saifuddin, pada Ijma’, yang juga mencari

dukungan pada kedua sumber Walaupun secara teknis tidak tersebut. Dengan demikian semua

sama persis, kemiripan qiyasdalam sumber tersebut saling terkait dan

ilmu logika juga terlihat jelas dengan pada dasarnya merujuk pada satu

pandangan dua disiplin di atas. sumber, yaitu al-Qur’an. Sedangkan

Dalam ilmu logika, yang merupakan fungsi qiyas dalam ushul al-fiqh

salah satu cabang filsafat, qiyas untuk memperluas hukum yang

sebagai “menetapkan secara tekstual tidak terdapat dalam

dipahami

sesuatu serupa dengan sesuatu al-Qur’an dan sunnah. Karena tidak

yang lain” (Ahmad). Dalam ruang semua persoalan yang terjadi ada

yang lebih teknis, ia beroperasi pada penjelasannya secara tekstual di

penetapan terhadap sesuatu yang dalam al- Qur’an dan sunnah.

inderawi, yang diperoleh dari dua Qiyas, dalam disiplin bahasa

premis. Pada setiap premis tersebut Arab, ditempatkan pada posisi ketiga

harus ada petunjuk yang sama,

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

sehingga dapat ditarik hukum gandum dengan ukuran berat yang afirmatif

tidak sama, merupakan kasus asal Pembuktian yang meyakinkah hanya

ataupun

negatif.

(ashl). Al-Syaukani mendefinisikan dapat

sebagai nash yang membuat penalaran berdasarkan

diperoleh dengan

cara

ashl

menunjukkan penentuan ketetapan qiyas yang akurat (Muhammad,

hukum dalam objek kesepakatan. 2007)

Pendapat ini dipegang oleh Qadi Al-Syafi’I

Abu Bakral-Baqilani dan Mu’tazilah. menjadi dua macam. Pertama, qiyas

membagi

qiyas

Alasannya adalah karena nash yang tingkat kemiripan antara kasus

menjadi sandaran bagi yang lain cabang dengan kasus asal sangat

dan yanglainmenyandarpadanash, identik dalam esensinya. Kedua,

karena itu nash disebut ashl qiyas yang memiliki keserupaan

1986). Pendapat dengan beberapa cabang. Untuk

(Muhammad,

lainmengatakan kasus asal berarti yang disebut terakhir ini yang akan

ketetapan hukum yang ditunjuk oleh dijadikan patokan adalah yang

nash. Seperti tidak bolehnya minum paling banyak tingkat kemiripannya.

khamr dan larangan tukar-menukar Pembagian

jenis barang yang sama dengan memperlihatkan bahwaia berusaha

seperti

ini

ukuran yang tidak sama, yang sedapat mungkin untuk menjaga

ditunjukkan oleh nash masing- konsistensi dalam persoalan qiyas

masing. Pendapat ini dipegang oleh ini.

Husainal-Bashridan Unsur utama pembentuk qiyas

Abu

Fakhruddinal-Razi. Untuk dalam ushul al-fiqhatau struktur

pandangan ini pembentuknya ada empat, yaitu,

mendukung

ditegaskan bahwa ashl adalah Hukumasal, cabang(far’), asal(ashl)

sesuatu di mana sesuatu yang lain dan‘illat. Mana kala membahas

kepadanya, dan struktur qiyas dalam ushulal-fiqh ini,

bergantung

pengetahuan tentang hal tersebut hukum asal tidak dibahas secara

sangat penting untuk mengetahui khusus, cukup disertakan dengan

yang lainnya. Sifat seperti ini dapat pembahasan ketiga unsur lainnya,

ditemukan dalam hukum yang karena tidak terlalu signifikan.

ditunjuk oleh nash, seperti larangan minum khamr di atas. Karena itu ia

1.Kasus Asal harus disebut ashl. Kasus asal merupakan salah

Menurut al-Amidi perbedaan satu dari empat unsur pembentuk

pendapat seputar masalah ini qiyas. Terjadi perbedaan pendapat

hanyalah perdebatan soal kata-kata ulama tentang definisi kasusasal.

(khilaflafzi). Sesungguhnya, hal itu Menurut para teolog, ashl berarti

sangat terkait dengan makna kata nash. Misalnya,ayat al-Qur’an yang

ashl itu sendiri. Ashl berarti sesuatu melarang minuman khamr atau

yang menjadi landasan bagi yang hadith yang melarangtukar menukar

lain. Karena itu, Ketetapan hukum

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

dapat menjadi ashl, karena hukum

tetap dan terbatas dalam kasus cabang didasarkan

tekstual

jumlahnya. Adalah tidak mungkin padanya. Jika hukum merupakan

menyelesaikan yang tidak terbatas ashl dalam kasus pelarangan

oleh yang terbatas (abu, 1979). minum khamr, maka nash yang

Karena itu, penggunaan ra’y dan dengannya

qiyas dimaksudkan untuk mencari merupakan ashl bagi ashl yang lain

hukum

diketahui

jawaban bagi masalah- masalah (ketetapan hukum). Atas dasar ini,

yang tidak diungkap oleh hukum- dengan cara apapun hukum tentang

hukum tekstual tersebut. Kasus- minum khamr diketahui, baik

situasi dan masalah- melalui Ijma’ atau lainnya, ia dapat

kasus,

masalah baru yang tidak dijawab menjadi ashl (Saifuddin, 2003).

secara langsung oleh hukum nas Lebih jauh al-Amidi berpendapat

secara teknis disebut far’ (cabang) bahwa objek hukum lebih tepat

atau maqis (kasus yang diungkap dianggap

melalui qiyas). Adalah sulit untuk ketetapan hukum maupun nash

ashl, Karena

baik

melacak asal-usul far’ atau maqis menuntut keberadaannya, namun

dalam literatur hukum klasik. Tidak tidak sebaliknya, karena objek tidak

ditemukan kata far’ yang digunakan selalu memerlukan nash atau

Al-Shafi’I dalam pengertian kasus hukum (Saifuddin, 2003).

baru yang selaras dengan kasus yang diungkap oleh hukum nash.

2. Kasus Cabang Untuk kasus yang serupa dengan Kehidupan selalu dinamis,

kasus asal ia menggunakan kata kondisi selalu berubah, situasi

shay’ (sesuatu atau objek) (Al- bervariasi dan masalah berubah

Syafi’I, 1921). Tentu saja ia sejalan dengan perubahan sosial.

menggunakan istilah maqis‘alaih Perintah-perintah tekstual yang ada

(kasusasal). Kemungkinan besar ia dalam al-Qur’an atau sunnah

dan menyadari secara teknis dikenal dengan

memahami

istilah maqis nushush, bentuk tunggalnya nash.

penggunaan

(kasuscabang). Namun Abu Keputusan hukum yang didasarkan

Bakaral-Jashshas (w. 270 H) sering pada kesepakatan ummat Islam

menggunakan istilah far’ untuk arti masalalu, yang juga merupakan

kasus cabang (Abu, 1979). Ini sumber hukum otoritatif yang

menunjukkan bahwa istilah far’ nilainya

telah digunakan oleh para ahli fiqh tidaklah cukup untuk menjawab

sama dengan

nash,

pada abad ke-3 dan ke-4 Hijrah. masalah-masalah dan perubahan-

Tetapi tidak diketahui dengan pasti perubahan yang muncul dalam

orang pertama yang masyarakat yang selalu berubah.

siapa

menggunakan istilah ini. Masalah-masalah kehidupan yang

Definisi far’, seperti juga selalu berubah sesungguhnya tak

definisi ashl, diperdebatkan oleh terbatas, sedangkan hukum-hukum

ahli fiqh. Mereka yang berpendapat

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

bahwa hukum kasus asal disebut turunan sebaga ifar’, dan bukan ashl menegaskan bahwa hukum

objeknya itu sendiri seperti diakui kasus cabang adalah far’. Misalnya

oleh fuqaha’ (Abu, 1982) jika hukum minum khamr disebut

Pada abad-abad kemudian, asl, hukum minum nabidz (minuman

definisi baru tentang asl dan far’ yang terbuat dari kurma) disebut

muncul sebagai akibat kontroversi far’. Kelompok lain mengatakan

sebelumnya. Fuqaha’ bahwa objek (mahall) adalah asl

masalah

titik kesepakatan dan far’, dan bukan hukum.

menyebut

(mahallal-wifaq) dengan ashl dan Dalam contoh diatas, nabidz

titik perbedaan (mahall al-khilaf) adalah far’ dan bukan hukum

(Muhammad al tentangnya. Al-Amidi berpendapat

denganfar’

Syaukani, tt)

lebih baik menyebut hukum turunan Namun demikian, tetap tidak tentang objek dengan far’ dan

jelas apakah objek benar-benar far’ objeknya sendiri dengan asl. Lebih

atau hukum tentangnya. Titik baik menyebut khamr dengan asl

(mahallal-ittifaq) ketimbang

kesepakatan

berarti objek atau kasus yang tidak dengan far’, karena khamr adalah

menyebut

nabidz

diketahui atau diperdebatkan. Ini kasus asal. Sebaliknya nabidz

menunjukkan bahwa objek adalah adalah objek asal yang berlaku

far’ dan bukan hukum tentangnya. baginya hukum turunan, dan bukan hukum

pembentuk qiyas Al-Bashri memberikan definisi

Unsur

adalah ‘illat. Al- far’ menurut fuqaha’. Para teolog

berikutnya

Bazdawidanal-Syarakhsi menyebut member

‘illat dengan unsur esensial qiyas sebagai ketetapan hukum yang

definisi tentang

far’

(ruknal-qiyas). Dengan member harus ditetapkan melalui sebab-

judul bab “Fashlfial-Rukn” atau akibat,

“Babal-Rukn” (bab tentang unsur melakukan perbuatan zina. Fuqaha’

seperti

keburukan

esensial), yang mereka maksudkan mendefinisikan far’ sebagai kasu

mungkin adalah bahwa ‘illat itu satau objek yang hukumnya dicari

sendiri adalah qiyas, sedangkan melalu qiyas. Far’ juga didefinisikan

unsur-unsur lain berperan sebagai sebagai kasus yang hukumnya

syarat-syarat untuk menentukan diperluas dari kasus lain, atau objek

hukum. Al-Bazdawi yang hukumnya diketahui ditingkat

ketetapan

mengatakan unsure yang mendasar sekunder. Ia disebut far’ karena

(ruknal-qiyas) adalah kualitas yang ketetapan hukumnya diambil dari

ditunjuk sebagai penanda bagi hukum kasuslain. Tetapi al-Basri

ketetapan hukum nash, di antara sendiri lebih menyukai pendapat

kualitas-kualitas yang dikandung para teolog yang menganggap

oleh nas, danyang menjadi dasar ketetapan hukum atau hukum

bagi ketetapan hukum tersebut

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

berlaku bagi kasus cabang karena Berikut ini akan diterapkan adanya

makna-mana ‘illat di atas pada didalamnya

definisi ‘illat yang diterapkan dalam Sharakhsi, 1954). Ketika Sharakhsi

(Abu

Bakaral-

konteks hukum. Menurut makna menjelaskan hal ini, ia melihat

pertama, kualitas yang bahwa unsure mendasar (rukn)

yang

mempengaruhi ketetapan hukum sesuatu itu adalah dasar bagi

disebut ‘illat, karena kondisi hukum tegaknya sesuatu

tekstual berubah olehnya dari yang dibangun di atas kualitas ini (yakni,

dan

qiyas

keumum. Sebelum ‘illat dan sebab) (Abu Bakaral-

khusus

menentukan ‘illat, ketetapan hukum Sharakhsi, 1954)

terbatas hanya pada kasus yang Secara literal ‘illat berarti

disebutkan dalam nash. Tetapi aksiden (‘aridh) yang dengannya

setelah ditemukan kualitas yang kualitas suatu objek berubah dari

mempengaruhi ini, ketetapan suatu kondisi kekondisi lain ketika

hukum yang terkandung dalam ia diterapkan, seperti perubahan

nash secara eksternal berubah dari dari sehat ke sakit dan dari kuat ke

yang khusus ke umum. Sekarang lemah. Dengan katalain, ‘illat

ketetapan hukum yang sama akan merujuk pada sebab perubahan

berlaku pada kasus lain jika ‘illat pada kondisi sesuatu. Karena itu

yang sama ditemukan pada kasus aksiden (‘aridh)

lain itu. Menurut makna yang Pendapat lain menegaskan bahwa

disebut

‘illat.

kedua, kualitas ini disebut ‘illat ‘illat berasal dari kata ‘alal yang

karena ketetapan hukum ditentukan berarti minum air kedua kalinya

secara eksternal oleh makna ini, yang dilakukan oleh

dan ketetapan hukum berulang setelah sebelumnya ia minum.

binatang

dengan perulangan kualitasini. Jelasnya, ‘illat berarti minum air

seorang ahli hukum berulang-ulang.

Karena

memikirkan secara berulang-ulang berikutnya menyatakan bahwa ‘illat

Pandangan

masalah yang berkaitan dengan adalah

qiyas, tindakan berpikirnya tentang mempengaruhi sesuatu yang lain,

sesuatu

yang

alas anlogis penetapan hukum itu apakah yang dipengaruhi itu

disebut ‘illat. Menurut makna yang kualitas atau esensi dan apakah ia

ketiga, kualitas ini disebut ‘illat, ia mempengaruhi

dalam penetapan diamnya sesuatu. Misalnya, sifat

perbuatan atau

berpengaruh

hukum apakah dalam kasus asal memabukkan

dalamk asus cabang datangnya hukum haram bagi

(Muhammad, 1290) khamar. Penyakit disebut ‘illat

Istilah ‘illat secara teknis telah karena ia mempengaruhi kesehatan

secara beragam seseorang yang menjadikannya

didefinisikan

seperti berikut : (1) Ideataudasar lemah dan menghalangi seseorang

(ma’na) yang menuntut (yaqtadhi) melakukan berbagaikegiatan.

atau menentukan ketetapan hukum;

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

(2) Sesuatu yang berperan sebagai

konsep-konsep, atau tanda (‘alam) bagi ketetapan hukum

teori,

pernyataan-pernyataan tertulis para nas; (3) Sesuatu yang menunjukkan

ahli berkenaan dengan masalah (mu’arrif) ketetapan hukum, yakni

yang dibahas, yang disajikan dalam indikator

bentuk deskriptif, untuk kemudian perintah;

(dalil) bagi

adanya

dianalisis menggunakan metode mempengaruhi (mu’atsir) dalam

(4) Sesuatu

yang

berfikir deduktif dan induktif. ketetapan hukum, yakni yang

Dengan demikian ia juga merupakan mempengaruhi adanya ketetapan

penelitian dengan metode penelitan hukum; (5) Sesuatu yang berperan

kualitatif (Lexy, 1996). sebagai motif (baits) bagi ketetapan hukum,

bukan dengan

jalan

HASIL DAN PEMBAHASAN

mewajibkan (ijab), tetapi sebagai

4.1 MAJELIS ULAMA

kebijakan (hikmah) atau kebaikan

INDONESIA (MUI)

umum (mashlahah)

yang

4.1.1 Sekilas Sejarah MUI

ditunjukkan oleh pemberi hukum ketika

Majelis Ulama Indonesia (MUI) hukum;

memberikan

ketetapan

merupakan wadah musyawarah meniscayakan ketetapan hukum

(6) Sesuatu

yang

ulama, zu’ama, dan dengan sendirinya (mujiblial-hukm),

para

cendikiawan muslim serta menjadi pendapat ini dianut oleh Mu’tazilah;

pengayom bagi seluruh muslim (7) Sesuatu yang mengharuskan

Indonesia (MUI, 2011). Sejarah ketetapan hukum, bukan dengan

mencatat bahwa sendirinya, tetapi

resmi

MUI

organisasi ini lahir pada 26 Juli 1975 otoritas

berdasarkan

bertepatan dengan 7 Rajab 1395 H Sesuatu

yang meniscayakan (Majelis Ulama Indonesia, 2011), ketetapan hukum, karena watak

sebagai hasil dari pertemuan dan atau kebiasaannya. Pendapat ini

musyawarah ulama (Mohammad dianut oleh Fakhruddinal-Razi.

Atho Mudzhar, 1993) yang datang dari berbagai penjuru Indonesia.

METODOLOGI

Peserta yang dimaksud adalah wakil Agar

26 orang wakil dari 26 Provinsi, 10 terarah,

penelitian

menjadi

orang ulama yang merupakan unsur metodologi penelitian. Penelian ini

diperlukan

sebuah

dari ormas-ormas Islam tingkat merupakan penelitian kepustakaan

pusat, yaitu, NU, Muhammadiyah, (Library

Syarikat Islam, Perti. Al Washliyah, dioperasikan untuk mengeksplorasi

Research),

yang

Math’laul Anwar, GUPPI, PTDI, DMI dan mengenerallisasikan dokumen-

dan al Ittihadiyyah, 4 orang ulama dokumen yang berkenaan dengan

dari Dinas Rohani Islam, AD, AU, AL teori-teori seputar qiyas, keputusan-

13 orang keputusan hukum oleh lembaga-

tokoh/cendekiawan yang merupakan lembaga hukum, yang berupa teori-

tokoh perorangan. 53 orang peserta

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

menandatangani piagam pendirian menandatangai sebuah deklarasi

tersebut, di akhir

Muktamar

MUI.

yang dikenal dengan “Piagam

tekanan yang Berdirinya MUI” (Muhammad atho,

Kedua,

dilakukan pemerintah agar partai 1993)

Islam menanggalkan atribut Islam Berdirinya MUI tidak serta

dan mendesakkan fusi ke dalam merta dipahami sebagai langkah

satu partai berdasarkan kesamaan maju eksistensi Islam di Indonesia.

orientasi; Nasionalis, Protestan, dan Sebagian

digabung dalam PDI, bahkan tetap

Partai-Partai Islam sebagai alat bagi kepentingan politik

kontestan pemilu 1971 digabung dan kekuasaan, meskipun posisi

dalam PPP. Kenyataan ini adalah MUI bukan merupakan lembaga

bentuk nyata pemerintah untuk pemerintah. Setidaknya ada tiga

membatasi gerakan Umat Islam, peristiwa penting sebelum berdirinya

yang dalam hubungannya dengan MUI, yang menjadi indikator penting

pembentukan MUI adalah paradox. dugaan unindependensi MUI dalam

Ketiga, peristiwa besar tentang hubungannya dengan pemerintah;

rancangan UU Perkawinan yang pertama,

menimbulkan perlawanan besar dari kemunduran politik umat Islam

berhubungan

dengan

yang beranggapan Indonesia yang kalah pada Pemilu

masyarakat

bahwa Rancangan tersebut adalah 1971, di mana setahun sebelumnya

upaya sekularisasi dan pencideraan (1970), gagasan pendirian majelis

terhadap Hukum Islam. Reaksi ulama

tersebut kemudian ditanggapi serius lokakarya Pusat Dakwah Islam.

telah dilontarkan

saat

oleh pemerintah dan bersedia Gagasan ini kemudian diyakini

merubah beberapa pasal yang sebagai strategi pemerintah untuk

menimbulkan gejolak. Pada kasus memecahkan

ini, hubungan dengan terbentuknya Muslimin

perhatian

kaum

MUI, setidaknya dipahami sebagai pemerintah

dan campur

tangan

upaya pemerintah untuk menetralisir ulama dengan masyarakat muslim.

terhadap

hubungan

masyarakat yang Hal ini lebih nyata terlihat pada

pandangan

mayoritas Muslim dalam rangka lokakarya 1974, atas saran dan

Pemilu yang persetujuan presiden, agar segara

menghadapi

dijadwalkan 1976 (Muhammad atho, memulai dengan membentuk Majelis

Ulama tingkat daerah. Pembentukan Ketiga peristiwa sebagaimana tersebut berjalan cepat karena

di atas, pada gilirannya berpengaruh keterlibatan pemerinatah. Semua

penerimaan masyarakat perwakilan majelis ulama yang

pada

Indonesia terhadap fatwa atau dibentuk pemerintah inilah yang

nasehat keagamaan oleh MUI, kemudian

bahkan hingga sekarang. Seperti Muktamar

tanggapan Hizbut Tahrir Indonesia

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

yang dilakukan berkenaan dengan menggunakan hak pilih dalam

terhadap Fatwa MUI

tentang

fungsi pemberi fatwa ini dijelaskan pemilihan Umum, Tanggapan HTI

dalam pasal 6 (3) “memberikan terdiri dari 6 point yang pada

peringatan, nasehat dan fatwa dasarnya

mengenai masalah keagamaan dan keyakinan

mewakili

ideologi/

kemasyarakatan kepada masyarakat organisasi ini. Namun yang menjadi

garis

perjuangan

pemerintah dengan bijak sorotan di sini adalah tanggapan

dan

(hikmah) dan menyejukkan”. terhadap

Ada tiga istilah yang digunakan penetapan hukum, di mana HTI

hal teknis

dalam

dalam merespons permasalahan di menganggap hukum ‘wajib-haram’

yaitu memberi oleh MUI tidak dapat diterima bila

dalam

MUI,

peringatan, Nasehat dan fatwa. tidak

Namun pada prakteknya, setiap kulifikasi wajib kifa’ai/kolektif atau

ditetepkan

bersamanya

keputusan baik berupa jawaban dari ‘aini/perorangan.;

pertanyaan, peringatan, nasehat tahrir.or.id/2009/01/29/tanggapan-

(http://hizbut-

atau fatwa, ditetapkan dengan hizbut-tahrir-indonesia-terhadap-

fatwa. Dalam item fatwa-mui-tentang-golput/,

sebutan

semua bentuk Tentang hal ini, komnas HAM

keputusannya,

respons hanya ditetapkan dengan bahkan memberikan

dua diktum; yaitu menyebutkan yang

tanggapan

substansi hukum yang difatwakan, http://www.hukumonline.com/berita/b

lebih

keras.

dan jika dipandang perlu, diberikan aca/hol21080/komnas-ham-kecam-

rekomendasi dan/atau jalan keluar fatwa-golput-haram, 2015) di mana

(Majelis Ulama Indonesia, 2011). MUI menetapkan bahwa memilih

Tidak ada klassifikasi khusus untuk pemimpin

fatwa terhadap masalah-masalah bertakwa, jujur (siddiq), terpercaya

yang beriman

dan

fiqhi-‘amali, atau masalah I’tiqadi, (amanah),

Oleh karena itu, (tabligh), mempunyai kemampuan

aktif dan

aspiratif

serta ‘aqli.

berdasarkan perspektif yang telah (fathanah), dan memperjuangkan

dibangun di bab sebelumnya, maka kepentingan umat Islam hukumnya

keputusan, fatwa, nasehat, usulan, adalah wajib, dan tidak memilih

rekomendasi MUI yang hukumnya haram. (Majelis Ulama

atau

respons terhadap Indonesia, 2011)

merupakan

pemikiran/aliran-aliran, atau masalah-masalah

I’tikad, harus

4.1.2 Fatwa dalam MUI

diabaikan.

perkembangan diantaranya adalah sebagai ‘pemberi

MUI memiliki beberapa fungsi,

Terdapat

struktur dalam penetapan fatwa di fatwa kepada Umat Islam dan

MUI sejak 1999, yang berkenaan Pemerintah, baik diminta maupun

dengan masalah-masalah ekonomi, tidak

yang dalam rumusan kajian fiqh Indonesia, 2011). Sedangkan Usaha

diminta’ (Majelis

Ulama

disebut dengan fiqh mu’amalah.

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

Struktur tersebut diberi nama Dewan Mu’amalah. Logika ini akan kita Syari’ah Nasional Majelis Ulama

dalam pembahasan Indonesia (DSN-MUI). Dalam hal

terapkan

lanjutan dalam melihat qiyasdi MUI. memberikan keputusan hukum yang

sebelumnya, perlu berkenaan

Namun

dipaparkan terlebih dulu prosedur ekonomi, perbankan dan keuangan,

dengan

kegiatan

penetapan Fatwa oleh MUI, untuk juga diberikan dalam bentuk fatwa.

melihat adakah teori ijtihad tertentu Bentuk keputusan lain yang

yang diyakini dan kecenderungan- juga ditetapkan dengan mekanisme

kecenderungan pemikiran fatwa adalah penetapan fatwa halal

hukumnya.

yang diiringi dengan penerbitan sertifikat halal bagi perusahaan obat

4.1.3 Prosedur Penetapan Fatwa

dan makanan yang meminta. Dalam

Pedoman dan hal ini, sepanjang berkenaan dengan

Dalam

Prosedur Penetapan Fatwa MUI, perbuatan dan diduga melalui

pasal ketentuan umum bab 2 pasal 7 proses

disebutkan bahwa fatwa adalah dipertimbangkan sebagai data untuk

penalaran

qiyas,

“jawaban atau penjelasan Ulama mengidentifikasi bentuk penggunaan

mengenai masalah keagamaan dan qiyas oleh MUI.

berlaku umum” (Majelis Ulama Dengan demikian diketahui

Indonesia, 2011). Sedangkan fatwa bahwa fatwa MUI adalah segala

yang dilakukan oleh MUI dijelaskan pendapat final yang ditetapkan oleh

dalam pasal berikutnya (pasal 8) Organisasi MUI melalui jalur-jalur

yaitu “fatwa MUI tentang suatu organisatoris

masalah keagamaan yang telah segala masalah yang dianggap perlu

tertentu

terhadap

disetujui oleh anggota Komisi dalam ditetapkan dengan sudut pandang

rapat”. Bagian pertama adalah teori ajaran Islam.

Keumuman dan umum tentang fatwa yang tidak keluasan cakupan fatwa dalam

hanya berlaku pada masalah- organisasi ini tidak menghalangi

fiqh-amali dengan kajian ini untuk mengidentifikasi dan

masalah

menganalisis dalil-dalil shari’at yang menganalisis

zhanni, tetapi berkenaan dengan metodologis

karakteristik

seluruh permasalahan yang perlu sebagai salah satu metode ijtihad

penggunaan

qiyas

dan patut direspons dengan kaca MUI, karena system penalaran yang

mata Agama Islam. Sedangkan yang menjadi focus penelitian ini adalah

kedua berkenaan dengan fatwa penalaran

yang secara teknis dilakukan oleh pendapat yang dijadikan objek kajian

MUI, yang menyangkut prosedur berkenaan dengan masalah fiqh

dan metode penalaran serta teknis saja. Secara umum kajian fiqh dibagi

pengambilan keputusan. berdasarkan tema-tema

Fatwa yang dilakukan MUI yang secara garis besar dibagi

tertentu

harus melewati menjadi dua, yaitu Ibadah dan

secara

teori

serangkaian prosedur organisatoris

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

dan juga penalaran (ijtihad). Secara dalam buku Himpunan Fatwa tahun organisatoris, fatwa secara khusus

2011, seperti pemindahan Mayat, menjadi tugas komisi fatwa. Namun

dan Bunga bank. Sedangkan fatwa pengumumannya

tentang buku Amran Hambri yang dilakukan oleh komisi fatwa sendiri

terkadang

dianggap controversial, tuntunan atau

bersembahyang dalam kaset, Permasalahan yang

–dan bersama-

MUI.

olahraga tinju, dan Gerhana (bulan dalam MUNAS umumnya langsung

dibicarakan

dan Matahari), tetap tidak ada dalam diumumkan melalui komisi C bidang

Himpunan Fatwa 2011 Fatwa. DSN-MUI,

buku

(Mohammad Atho Mudzhar, 1993). telah disebutkan, sejak tahun 1999

sebagaimana

Sedangkan fatwa yang diterbitkan dibentuk oleh MUI -secara khusus

DSN-MUI setidaknya untuk mengamati masalah-masalah

melalui

terdapat 53 fatwa hingga tahun 2006 ekonomi, keuangan, dan perbankan-

(Dewan Syari’ah Nasional MUI, mulai tahun 2000 juga memiliki

kewenangan untuk menerbitkan

mengumumkan fatwa, nasehat, peringatan, usulan,

Sebelum

pendirian finalnya, MUI terikat atau rekomendasi, terkait dengan

prosedur penetapan bidang garapannya.

dengan

keputusan hukum, yang tertuang Permasalahan yang ditanggapi

dalam Pedoman dan Prosedur dan dicarikan keputusan hukumnya

Penetapan Fatwa. Pedoman yang adalah segala persoalan yang

merupakan aturan pokok penalaran dihadapi masyarakat, baik diajukan

MUI dihasilakan ke MUI atau tidak. Dalam hal ini MUI

hukum/ijtihad

melalui ijtima’ Ulama’ Komisi Fatwa menjalankan fungsinya mewakili

se-Indonesia tahun 2003. Langkah- kepentingan umat Islam untuk

langkah penalaran hukum/ijtihad mengawal segala peristiwa yang

MUI dibicaraan dalam bab 2 dan bab terjadi di Indonesia agar tidak

3. Bab 2 mengenai dasar umum dan bertentangan dengan shari’at Islam

sifat fatwa terdiri dari 3 pasal, yaitu: sebagai agama yang paling banyak

1. Penetapan fatwa didasarkan dianut masyarakat. Sejak tahun

pada Al-Qur’an, Sunnah (hadis), 1975 hingga 2011 MUI telah

Ijma’, dan Qiyas serta dalil lain menerbitkan 14 fatwa bidang Akidah

yang mu’tabar. dan Aliran keagamaan, 37 fatwa

penetapan fatwa yang digolongkan bidang Ibadah, 86

2. Aktivitas

dilakukan secara kolektif oleh fatwa dalam bidang lain selain

suatu lembaga yang dinamakan aqidah dan ibadah (Himpunan Fatwa

Komisi Fatwa. MUI, 2011). Beberapa fatwa yang

fatwa bersifat disebutkan

3. Penetapan

proaktif, dan Mudzhar tidak dimuat dalam buku

Himpunan Fatwa tahun 1984 yang menjadi rujukannya, sebagian ada

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

Sedangkan bab 3 tentang metode ‘ammah) dan maqashid al- penetapan fatwa berisi 5 pasal,

syari’ah.

yaitu:

Dasar penetapan fatwa MUI, hendaklah ditinjau lebih dahulu

1. Sebelum fatwa

ditetapkan

sebagai mana disebutkan dalam bab pendapat para imam mazhab

II pasal 1 pedoman dan Prosedur dan

ulama yang mu’tabar Penetapan Fatwa adalah Al-Qur’an, tentang masalah yang akan

Sunnah (Hadith), Ijma’, dan Qiyas difatwakan

serta dalil lain yang mu’tabar. seksama berikut dalil-dalilnya.

tersebut,

secara

Gambaran ini menetapkan alur

ijtihad yang digunakan MUI sebelum hukumnya

2. Masalah yang

telah

jelas

mengumumkan keputusan disampaikan

hendaklah

hukumnya. Terhadap dua dalil adanya.

sebagaimana

pertama, komisi fatwa menjelaskan:

3. Dalam masalah yang terjadi “Ketentuan ayat ini merupakan khilafiah di kalangan mazhab,

kesepakatan dan keyakinan umat maka,

Islam bahwa setiap fatwa harus

a. Penetapan fatwa didasarkan berdasarkan pada kedua sumber pada hasil usaha penemuan

telah disepakati titik temu di antara pendapat-

hukum

yang

tersebut. Fatwa yang bertentangan pendapat

atau tidak didasarkan dengan melalui metode al-Jam’u wa

Ulama

Mazhab

keduanya dipandang tidak sah, al-taufiq; dan

bahkan

dipandang sebagai

b. Jika usaha penemuan titik tahakum dan perbuatan dusta atas temu tidak berhasil dilakukan,

nama Allah yang sangat dilarang penetapan fatwa didasarkan

agama.”

pada hasil tarjih melalui Ijma’, diakui sebagai dalil metode muqaranah dengan

hukum di bawah Al-Qur’an dan menggunakan kaidah-kaidah

Sunnah. Artinya, ijma’ hanya boleh Ushul Fiqh Muqaran.

terjadi bila tidak ada ketetapan dari

4. Dalam masalah yang tidak keduanya. Namun otoritas Ijma’ ditemukan pendapat hukumnya

sangat kuat, bersifat absolut dan di kalangan mazhab, penetapan

berlaku universal. Oleh karenanya, fatwa didasarkan pada hasil

penerimaan terhadap ijma’ adalah ijtihad Jama’I (kolektif) melalui

mutlak. Akibatnya, bila terdapat metode bayani, ta’lili (qiyasi,

yang tidak terdapat istihsani, ilhaqi), istishlahi, dan

peristiwa

petunjuknya dari al-Qur’an dan al- sadd al-zari’ah.

Sunnah, dan terdapat satu pendapat

yang diakui atau tidak dibantah oleh senantiasa

5. Penetapan Fatwa

harus

lain, maka tidak kemaslahatan umum (mashalih

memperhatikan

orang

diperkenankan untuk melanjutkan ijtihad dengan metode-metode lain

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

dan fatwa hanya boleh diumumkan bermazhab ini, bisa dilihat dari berdasarkan pendapat tersebut.

mazhab-mazhab Khusus tentang Qiyas dan

pandangan

Sunni yang dijadikan dasar dalil-dalil

penetapan fatwa. Khusus dalam penggunaannya

lain setelah

Ijma’,

bidang ibadah, di mana terdapat sebenarnya

oleh

MUI

hampir di semua lembar fatwa, metodologis yang tidak serta merta

menempati

posisi

disertakan pandangan mazhab- dilakukan setelah istinbat dengan al-

mazhab tersebut. Meskipun pada Qur’an, Sunnah, dan Ijma’. Ada

sebagian keputusannya, MUI metode lain yang menjembataninya,

mendasarkan keputusan pada yaitu apa yang disebut dengan

pandangan Zahiri, yang secara Ijtihad

teoritis adalah mazhab yang tidak sebagai memilih pendapat para

Intiqa’I, yang

diartikan

popular di kalangan sunni, dalam ulama terdahulu setelah dikaji

konteks “tertentu”. Karena inilah, secara komprehenship. Pengkajian

Mohammad Atho Mudzhar, dalam terhadap pendapat-pendapat para

menyimpulkan ulama, jika memungkinkan dilakukan

kajiannya

kecenderungan inkonsistensi dengan mekanisme al-jam’ wa al-

metodologis dalam fatwa MUI taufiq. Yaitu sebuah usaha untuk

(Mohammad Atho Mudzhar, menggabungkan

Bentuk lebih teknis dalam pendapat yang berbeda. Namun bila

pendapat-

kajian Qiyas yang diterima oleh tidak ditemukan keseragaman dan

mayoritas yuris mazhab-mazhab titik temu, maka dilakukan dengan

Sunni adalah keberlakuan qiyas mekanisme tarjih. Setelah sama

dalam masalah-masalah ibadah. sekali

sepanjang penyelidikan keputusan

tidak ditemukan

dalam

MUI,

tidak memunculkan terdahulu/yurisprudensi, atau tidak

kata qiyas dalam dapat diterima dalam

satupun

konsideran fatwanya. Namun Indonesia, maka metode ijtihad yang

konteks

beberapa petunjuk independens dilakukukan dengan

demikian,

dapat digunakan untuk melihat asas jama’I (kolektif).

keberlakuan qiyas dalam fatwa MUI bidang ibadah, dengan cara

4.1.4 Qiyasdalam Bidang Ibadah

melakukan analisa terhadap dalil,

penalaran pendapat- dalam Bidang Ibadah

1. Penerimaan MUI terhadap Qiyas

alur

pendapat yang dijadikan dasar, MUI meyakini bahwa “Umat

kaidah-kaidah fiqh/legal Islam Indonesia menganut paham

dan

yang digunakan, ahlus sunnah wal jama’ah dan

maxim

sebagaimana yang akan kita mayoritas bermazhab Syafi’i”.

sajikan dalam sub di bawah ini. Akomodasi

2. Karakteristik Dalil masyarakat

atas

pendirian

Indonesia

dalam

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

Atho Mudzhar, disebutkan dalam konsideran

Kata ‘qiyas’

fatwa MUI. Demikian juga Dalil Di antara dalil Al-Qur’an yang nash al-Qur’an, hadith, dan ijma’

menunjukkan penggunaan qiyas yang digunakan MUI dalam

oleh MUI dalam bidang Ibadah mencari ‘illat (maslak al-‘illah)

adalah fatwa no. 1 tahun 2001 sebagai bentuk istinbath hukum

tentang Haji bagi Narapidana. melalui qiyas, juga tidak banyak

Dalam fatwa ini, ayat yang muncul dalam fatwanya. Hal ini

digunakan sebagai dasar adalah dikarenakan

Q.S. Al ‘Imran: 97. direspons memang tidak selalu

masalah

yang

“kesanggupan melakukan berkenaan dengan hukum yang

perjalanan” merupakan syarat layak dan harus ditetapkan

ibadah haji. berdasarkan qiyas, atau terdapat

kewajiban

Sedangkan “kesanggupan” itu kecenderungan

sendiri juga merupakan alasan pada pendapat-pendapat tokoh-

mendasarkan

hukum yang tampak dari nash. tokoh mazhab yang mungkin

Alasan hukum ini disebut dengan menggunakan

penalaran hukumnya, sehingga Dalam kasus orang yang akan lebih mudah dan praktis

terkurung seperti demi kepentingan mendesak agar

badannya

narapidana dan sebagainya, yang kepastian

memiliki kesanggupan biaya, MUI diumumkan kepada masyarakat.

hukum

segera

memutuskan bahwa orang Secara organisatoris hal ini tentu

tersebut tidak memiliki istitha’ah saja tidak bisa disimpulkan

berakibat pada tidak sebagai

yang

terpenuhinya syarat wajib haji. metodologis,

sebuah

kelemahan

Pandangan ini sejalan dengan dasarnya-

karena

–pada

Imam Malik dan mengkaji

Hanafi, yang pendapat mazhab-mazhab yang

memperluas jangkauan istitha’ah dianggap sesuai untuk dijadikan

tidak hanya pada ongkos (zad) dasar penetapan hukum telah

kendaraan (al-rahilah). melewati

dan

terdapat penggalan organisatoris, yang berhak untuk

kesepakatan

Namun

fatwa yang diapresiasi oleh semua pihak.

redaksi

mengharuskan kita mengkaji Namun di sisi lain, kajian ilmiah

penalaran metodologis lebih jauh, yang membaca secara objektif

yaitu “ia wajib membiayai orang tentang mekanisme penetapan

lain yang sudah menunaikan haji hukum satu lembaga/organisasi

untuk menghajikannya”. juga layak untuk dipertimbangkan

Kewajiban di atas tampak sebagai

sebuah

kebenaran

kontradiktif dengan penetapan istitha’ah sebagai syarat, di mana

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

ketiadaan syarat mengakibatkan halangannya karena sakit, maka ketiadaan hukum, sebagaimana

menunda sampai yang diyakini Imam Malik dan

ia

boleh

Artinya kewajiban Hanafi. Adapun ibadah haji

sembuh.

melaksanakan sendiri tetap ada dilakukan oleh orang lain, maka ia

karena syarat telah terpenuhi. Al- adalah peristiwa hukum lain yang

Syafi’I dan pengikutnya berada berbeda, yang merupakan varian

dalam posisi penalaran bentuk ini. dari masalah hukum tatkala

Kedua, kemampuan badan seseorang tidak ada harapan lagi

syarat istitha’ah. untuk menunaikan ibadah haji

merupakan

kemampuan harta (seperti

Apabila

(ongkos dan kendaraan) dan mengidap penyakit akut yang

badan (sehat dan bebas) telah tidak ada harapan sembuh), atau

terpenuhi, maka telah datang telah meninggal dunia.

kewajiban haji. Namun bila tidak Penetapan

terpenuhi, berakibat pada tidak narapidana dengan mewajibkan

hukum

bagi

adanya kewajiban. Dengan tidak ia membayar orang lain untuk

adanya kewajiban haji, maka melaksanakan hajinya memiliki –

tidak akan datang kewajiban setidaknya-

membayar orang lain untuk metodologi. Pertama,

tiga

masalah

menggantikan pekerjaan yang ia permasalahan

bahwa

tidak wajib berkenaan

mengerjakannya. Ketegasan tahqiq/pengukuhan

dengan

Imam Malik yang menunjukkan istitha’ah yang berarti zad dan

makna

konsistensi penalaran bentuk rahilah,

kedua ini juga dirujuk MUI dalam harta. Dalam hal seseorang

keduanya

berbentuk

referensi yang memiliki keduanya, maka ia telah

lampiran

digunakan, yaitu tatkala beliau memenuhi syarat istitha’ah dan

berpendapat bahwa orang yang telah

lumpuh (al-ma’dub) tidak wajib kewajiban

datang

kepadanya

haji dan tidak wajib digantikan pelaksanaan kewajiban tersebut,

haji.

Halangan

orang lain.

kasus narapidana cara sesuai dengan keadaan

diselesaikan dengan berbagai

Ketiga,

bukan lagi masalah istitha’ah, yang ada, seperti bila mana

namun ia berhubungan dengan halangannya

orang yang sakit akut, tua, atau berjalan karena tidak memiliki

tidak

mampu

telah meninggal. Kasus ini, kaki, maka ia boleh mengajak

meskipun dipertimbangkan untuk orang

mengisi makna istithaah, namun mematuhinya

memiliki ashl tersendiri dalam membayar- untuk

–atau

dengan

hukum, yaitu hadith ibn ‘abbas pelaksanaan dengan tandu, kursi

membantu

tentang seorang wanita dari roda atau sebagainya; apa bila

Khath’am yang bertanya kepada

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

Rasulullah SAW, apakah ia boleh

demikian, dalam menunaikan haji untuk bapaknya

Dengan

kasus narapidana perlu dilihat yang telah renta dan tidak mampu

dahulu sandaran –bahkan-

terlebih

‘illat-nya. Jika kendaraan.

yang divonis Sandaran (manath) ‘illat yang

narapidana

hukuman mati –misalnya- maka dikukuhkan dalam kasus serupa

di saat datang bulan haji sebelum ini adalah orang tua yang tidak

eksekusi, ia wajib meminta atau mampu karena sifat tuanya yang

mengupah orang lain untuk permanen. Konteks permanen ini

menghajikannya. Namun bisa diluaskan pada orang yang

narapidana yang masih ada sakit akut, yang diduga tidak ada

harapan bebas, tidak dalam harapan sembuh. Sifat halangan

yang layak untuk yang permanen ini menegasikan

kondisi

disamakan dengan orang tua perluasan hukum pada yang

renta.

sifatnya temporal. Bahkan al- Fatwa MUI dalam kasus Syafi’i –setelah menyitir ucapan

narapidana, berikut penjelasan ‘Ali bin Abi Thalib kepada seorang

dalil yang diajukan, tampak jompo “jika anda mau, anda boleh

sebagai upaya membiayai orang lain untuk

sekilas

menggabungkan pendapat- menghajikan anda”- menegaskan:

pendapat yang berbeda dari “jika orang tua

mazhab-mazhab fiqh. Namun membiayai orang lain untuk

tersebut

kemudian usaha ini menjadi aksi menghajikannya,

pencampur-adukan penalaran diduga suatu ketika datang

kemudian

yang bahkan ditolak oleh seluruh kondisi di mana ia mampu

yuris yang pendapatnya dijadikan berkendara untuk berhaji, maka

dasar fatwa. Al-Syafi’i akan tidak diperkenankan orang lain

menerima redaksi fatwa point (a), menghajikannya,

“orang yang sudah menunaikan sendiri. Apa bila ia

biaya untuk meninggal

mempunyai

menunaikan ibadah haji, tetapi mengerjakannya, atau keadaan

sebelum

sempat

badannya tidak ‘sanggup’ tersebut berubah lagi

kondisi

memungkinkan untuk menjadi tidak sanggup, maka ia

melaksanakan ibadah haji sendiri, wajib dihajikan atau mengutus

baik karena sudah terlalu tua mengirim orang

maupun karena suatu penyakit, menghajikannya. Karena hajinya

lain untuk

dipandang telah memenuhi syarat dianggap tunai dikerjakan oleh

istitha’ah. Karena itu, ia sudah orang lain hanya setelah ia tidak

berkewajiban haji ”, namun al- menemukan ‘jalan’ (لﯾﺑﺳﻟا دﺟﯾ ﻻ نا

Syafi’i –juga Hambali- akan ) . Bila masih ada jalan, ia wajib

menolak ketetapan lanjutannya menunaikan sendiri”.

“orang tersebut tidak dibolehkan

Nasrullah; Majelis Ulama Indonesia (MUI); Studi Atas Penggunaan Metodologi Qiyas sebagai Upaya Penetapan Hukum Islam Di Indonesia

melaksanakan haji sendiri tetapi nisab dan haul” (Majelis Ulama ia wajib membiayai orang lain

Indonesia, 2011). yang sudah menunaikan haji

Pada tahun 2003, secara untuk menghajikannya”, karena

MUI memfatwakan haji adalah ibadah personal yang

khusus

tentang zakat penghasilan, yaitu hanya dapat digantikan dalam

Fatwa no.3 tahun 2003. Dalam keadaan tertentu yang bersifat

fatwa ini disebutkan hukum ‘wajib’ kasuistik

secara tegas: Membawa

dan

pengecualian.

“semua bentuk penghasilan menggunakan ‘illat dari kasus

kasus

dengan

halal wajib dikeluarkan zakatnya pengecualian adalah qiyas yang

dengan syarat telah mencapai fasid. Adapun Malik dan Hanafi

nisab dalam satu tahun, yakni akan

senilai emas 85 gram” (Majelis kewajiban haji bagi yang tidak

langsung

menolak

Ulama Indonesia, 2011). memenuhi syarat kemampuan

Kewajiban zakat telah ma’lum harta dan badan.

diketahui dalam syari’at secara Kasus di atas memperlihatkan

dharuri, tetapi tentang harta apa karakteristik penggunaan qiyas

saja yang wajib dikenakan zakat, yang tidak mandiri dan rentan

upaya istidlal kritik.

memerlukan

terhadap dalil dan istinbath penalaran yang pada dasarnya

Sedangkan

dukungan

Harta zakat yang berseberangan satu sama lain

hukum.

para fuqaha memperlihatkan kecenderungan

diidentifikasi

berdasarkan nash ataupun eklektis dalam metodologinya.

berbagai metode Bentuk lain yang mungkin

melalui

terhimpun dalam dapat mempertegas pencarian

penalaran

beberapa jenis; perhiasan (emas terhadap

dan perak), tanaman, buah- penggunaan

karakteristik

dan biji-bijian, memberlakukan penalaran qiyas

perniagaan, ternak, galian dan dalam fatwa MUI adalah tentang

Adapun perluasan zakat penghasilan dan jasa.

temuan.

hukum kepada jenis harta lain, Tentang penghasilan dan jasa,

metodologis harus MUI menetapkan fatwa bahwa

secara

melewati serangkaian penalaran setiap

yang dianggap sah dalam teori- dikenakan zakat. Fatwa tentang

penghasilan

wajib

teori hukum Islam. ini muncul dua kali, pertama pada

Dalil yang digunakan MUI tahun 1982 tentang intensifikasi

fatwa intensifikasi pelaksanaan zakat. Pada point 1

dalam

pelakasanaan zakat tahun 1982 berbunyi:

M, setelah ayat dan hadith “Penghasilan dari jasa dapat

tentang kewajiban zakat, adalah dikenakan zakat apabila sampai

beberapa hadith tentang jenis harta yang dizakatkan. Pertama,

Al-Fikra: Jurnal Ilmiah Keislaman, Vol. 16, No. 2, Juli – Desember, 2017 (332 – 353)

tidak lagi diiringi dengan pandangan tokoh-

jenis buah-buahan dan biji-bijian,

tampaknya

menggunakan dasar-dasar hadith tokoh mazhab:

tentang jenis-jenis harta zakat,

a. Imam Malik dan al-Syafi’i yang kecuali satu hadith tentang ‘budak berpegang pada ijma’ hasil

dan kuda tunggangan’ yang tanaman tertentu dan biji-

disertakan dengan penjelasan bijian. Selain itu, hukum harus

Imam Nawawi yang menyebutkan diperluas melalui qiyas dengan

bahwa sifat kedua harta tersebut ‘illat ‘makanan pokok’ atau sifat

adalah untuk dipakai bukan untuk mengenyangkan ( ت و ﻘ ﻟ ا ), dan

dikembangkan. Dalil lebih tahan

untuk memberikan disimpan.

muatan makna ‘ghina’ (kaya),

b. Jumhur fuqaha’ Maliki, Syafi’i, yang dikuatkan dengan mengutip dan

pandangan Yusuf al-Qardawi; menyepakati

Hambali

yang

“zakat hanya wajib pada harta sebagian jenis tanaman yang

terdapat

yang sampai nishab, bebas dari ada pada masa Rasulullah

hutang, dan merupakan kelebihan SAW namun tidak dikenakan

dari keperluan dasar. Ketentuan zakat, yaitu sayur-sayuran dan

tersebut (berguna) agar nyata buah-buahan.

makna “kaya”, yang karenanya Kedua, jenis ternak gembala.

zakat menjadi wajib” (Majelis Dalam hal ini hanya diajukan satu

Ulama Indonesia, 2011). hadith tentang tidak wajib zakat

Penetapan kewajiban zakat pada kepemilikan harta berupa

dengan dasar makna ghina budak dan binatang tunggangan

(kaya) berikut semua makna yang (Majelis Ulama Indonesia, 2011).