BAB II PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Da

BAB II PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum

  dirasakan oleh masyarakat internasional.Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang terjadi di Eropa yakni di negara bekas Yugoslavia, tindakan pembersihan etnis tersebut sangat mengancam perdamaian dan

  

  keamanan internasional. Peristiwa tragis yang terjadi di negara tersebut menewaskan ribuan orang termasuk lebih dari dua ratus personil PBB dan anggota pasukan perdamaian PBB, serta mengakibatkan pengungsian lebih dari 2,2 juta orang.

  Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali mengejutkan nurani dunia, dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar

  

  800.000 orang dan mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang. Bahkan sampai sekarang pun juga masih ada terdapat kejahatan yang mengerikan yang terjadi di berbagai belahan dunia ini,

  Pasca berakhirnya Perang Dunia II memberikan dampak yang luar biasa di hadapan masyarakat internasional.Hukum Internasional Hak Asasi Manusia 22 mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan dengan sendirinya yang menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, masyarakat internasional dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia.

  Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM berat dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang dapat dilihat dalam Pengadilan Nuremberg yang meliputi genocide, War Crime, Crime Against Humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia(ICTY) dan

  

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes,

Crimes against humanity , dan Genocide.

  Istilah Kejahatan HAM Berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi maupun perjanjian HAM. Kejahatan HAM Berat dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia.

24 Cecilia Meidina Quiroga menjelaskan istilah Pelanggaran HAM Berat

  sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk suatu Negara secara terus menerus yang dilanggar atau diancam. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibiton of slavery, the right to life, torture and cruel,

  

inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, dissappearences and

ethnic cleansing.

  Berbagai bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu definisi hukum. Kejahatan HAM Berat juga disebutkan di dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, kejahatan yang dikategorikan

  

  sebagai kejahatan HAM berat sebagai berikut: 1.

  Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan- perbuatan tersebut di atas.

  2. Kejahatan Perang (War Crimes). Yang termasuk dalam kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, memberlakukan kerja paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan berada di laut secara demikian; merampas milik negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan berlebihan atau semena-mena, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer.

  3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Yang termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut.

  International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta

  Roma 1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan

  

  kejahatan HAM berat yaitu: 1.

  Kejahatan genosida 2. Kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Kejahatan perang 4. Kejahatan agresi. Kejahatan HAM Berat termasuk kejahatan dalam yurisdiksi ICC dimana dalam Pasal 5 Statuta Roma disebutkan “the jurisdiction of the court shall be

  limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole…” .

B. Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran Ham Berat

  Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan hukuman bagi yang melakukannya.Namun masing-masing negara tentunya memiliki hukum nasional yang mengatur hal tersebut.Hal ini dapat menyebabkan ketidaksamaan hukum antara rakyat dari beraneka negara.Mengenai perbedaan dalam pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia maka perlu ditafsirkan dan diterapkan perundang-undangan internasional yang seragam sebagai standar minimum oleh negara terhadap tiap individu.

  Instrumen internasional merupakan alat yang berupa standar-standar pembatasanpelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM.Oleh karena dibutuhkan adanya pembatasan untuk melindungi HAM maka dibuat lah beberapa instrumen hukum internasional yang berlaku universal terbentuk atas kesepakatan antar negara sehingga dapat menjadi pedoman bagi suatu negara dalam menghukum pelaku kejahatan tersebut. yangmenandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaandengan

  

treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian).Sedangkan protokol

  merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapaitujuan-tujuan suatu kovenan.

  Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia maka negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam instrumen-instrumen hukum internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut. Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat

  

  diantaranya:

1. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)

  Selama berumur lebih dari 40 tahun hampir tidak ada negara, pemegang kekuasaan atau organ lain apa pun dari masyarakat nasional atau internasional yang meragukan Deklarasi Universal. Deklarasi Universal merupakan instrumen hidup yang memaksa supaya orang memperhatikan ancaman baru terhadap martabat manusia dan kelangsungan hidup kemanusiaan, seperti persenjataan berlebihan dan senjata penghancur massal, dan juga bahaya potensial akibat

  

  manipulasi genetik Kembali ke isi Deklarasi Universal sendiri, prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis menjadi dasar untuk membangun Deklarasi Universal.Hak-hak kebebasan merupakan hal yang utama 27 United Nation Human Right,

   baik yang berhubungan dengan kebebasan integritas pribadi maupun hak-hak politik. Prinsip kebebasan terdapat dalam rumus non diskriminasi dan dalam

   persamaan di depan hukum.

  Selain ketiga prinsip di atas, Deklarasi Universal juga mengatur ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam pelanggaran HAM berat seperti larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan larangan diskriminasi.Di dalam

  Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorang pun dapat diperbudak atau diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang. Sedangkan untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dianiaya atau diperlakukan secara kejam dengan tak mengingat kemanusiaan atau pun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau

   tempat pelanggaran yang dituduhkan.

  Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia sulitdiwujudkan, Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataandiperlukan alat/instrumen HAM internasional lainnya.

  Charter of The United Nation (Piagam PBB) 2.

  Piagam PBB ditandatangani pada tanggal 26 Juni 1945, di San Francisco, pada tanggal 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional merupakan bagian integral Piagam tersebut.

  Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan untuk menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung bagi umat manusia, untuk menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan negara- negara besar dan kecil, untuk membangun kondisi dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian dan sumber hukum internasional dapat dipertahankan, danuntuk mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar.

   1.

  Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk itu: untuk mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk membawa dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan pelanggaran perdamaian; Adapun tujuan dari organisasi ini ialah: 2.

  Untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa didasarkan sendiri rakyat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian universal;

  3. Untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional karakter ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama; dan 4. Untuk menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian tujuan tersebut umum.

  

3. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk

Diskriminasi Rasial

  Semua manusia pada dasarnya sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum sama terhadap diskriminasi dan terhadap hasutan apapun untuk diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras, warna kulit, atau asal usul etnis merupakan suatu penghalang bagi hubungan persahabatan dan damai di antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu perdamaian dan keamanan antar negara.

  Dengan demikian maka dibentuklah konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini sendiri ialah untuk menghapus adanya diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal-usul untuk kebangsaan, hak kemana pribadi dan perlindungan oleh negara terhadap kekerasan baik yang ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau kelompok indivdu atau lembaga, dan hak lainnya.

4. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

  Genosida menimbulkan kerugian besar pada umat manusia dalam setiap periode sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia maka diperlukan kerjasama internasional yang akhirnya melahirkan konvensi ini.

  Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan di masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau mental yang berat, membawa kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

  Orang yang didakwa dengan genosida atau tindakan-tindakan lain akan diadili oleh pengadilan yang kompeten dari negara di wilayah dimana perbuatan itu dilakukan, atau dengan pengadilan pidana internasional seperti mungkin memiliki yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut yang akan menerima yurisdiksinya.

  

5. Konvensi tentang Non-Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk

Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

  Dalam pembukaan konvensi ini disebutkan mengingat bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu kejahatan paling parah dalam hukum internasional.Tidak ada deklarasi khidmat, instrumen atau konvensi yang berhubungan dengan penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan ketentuan yang dibuat untuk jangka waktu terbatas.

  Konvensi ini menyebutkan bahwa tidak ada batasan hukum yang berlaku bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi ini berlaku untuk perwakilan dari otoritas negara dan individu swasta yang berpartisipasi atau langsung menghasut orang lain untuk setiap kejahatan tersebut.

6. Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya

  Jenis tindak pidana internasional atau pelanggaran hukum hak-hak asasi manusia dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non internasional

  

  diatur dalam konvensi-konvensi Jenewa dan protokol, yaitu: a.

  Geneva Convention for The Amelioration of the condition of the wounded

  and sick in armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur

  perbaikan kondisi yang luka dan sakit dalam pertempuran di darat, melindungi kombatan yang luka dan sakit serta orang-orang yang menyertai mereka, bangunan dimana mereka berlindung serta peralatan yang dipakai mereka b.

  Geneva Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick

  and ship wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949 ,

  mengatur mengenai perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam anggota angkatan bersenjata di laut.

  c.

  Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of

  August 12, 1949 , mengatur mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota angkatan bersenjata yang menjadi tawanan perang.

  d.

  Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time

  of War, of August 12, 1949 , mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil pada waktu perang.

  e.

  Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and

  relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur mengenai perluasan perlindungan yang diberikan

  kepada penduduk sipil dan membatasi alat dan cara berperang dalam sengketa bersenjata internasional.

  f.

  Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and

  relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), mengatur mengenai perlindungan yang membatasi diri

  penduduk sipil dalam sengketa bersenjata non internasional. g.

  Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat membabi buta.

   Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:

  1) Pembunuhan yang disengaja

  2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat manusia

  3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas

  4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang

  5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan teratur

  6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa

  7) Menjatuhkan hukuman kurungan

  8) Melakukan penyanderaan

C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan

  Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dikemukakan pertama kali pada tahun 1915 melalui deklarasi pertama tiga negara Perancis, Inggris, Rusia. Namun ternyata istilah ini hanyalah sebuah perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan politis, hal ini terlihat dalam kenyataannnya setelah deklarasi tersebut tidak ada

  

  Pengaturan lebih tegas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat

  

  dalam Piagam London. Kejahatan tersebut mencakup “namely, murder,extermination, enslavement, deportation, and

  other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrate ”,

  (pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masayarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan-penindasan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan lain yang termasuk di dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah melanggar atau tidak hukum domistik negara dimana perbuatan dilakukan).

  Kejahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam Pasal 5 huruf c Statuta

36 IMTFE yang menyatakan

  “Crimes against humanityNamely, murder,extermination,

  enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political or racial grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and accomplices participacing in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan ”,

  (yang termasuk kejahatan kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil mana pun, sebelum dan selama perang, atau penindasan berdasarkan politik atau ras sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lain yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan ini, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak).

  Kejahatan dalam kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968,

  

  tercantum dalam Pasal 1 (b): “Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam

  Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersejata, atau pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid dan kejahatan genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara- negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”. Pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan telah banyak dirumuskan dan dapat dilihat dari pengaturan yang telah disebutkan di atas.Selain itu, kejahatan ini juga dirumuskan dalam tiga statuta lainnya, yaitu Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Statuta Roma 1998.

  Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam

  Pasal 5 yang menyebutkan Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama konflik senjata berlangsung, yang bersifat internasional maupun

  

  internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil:

  a) Pembunuhan;

  b) Pemusnahan;

  c) Perbudakan; e) Penahanan;

  f) Penyiksaan;

  g) Pemerkosaan;

  h) Penindasan berdasarkan politik, ras, dan agama; i)

  Tindakan tidak manusiawi lainnya. Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah dilakukan pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas Yugoslavia

   termasuk Macedonia dan Kosovo.

  Berbeda dengan Statuta ICTY, Statuta ICTR memberikan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan sedikit berbeda.Pengaturan kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTR sebagai berikut “Pengadilan Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil atas dasar

  

  kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.”

  a) Pembunuhan;

  b) Pemusnahan;

  c) Perbudakan;

  d) Pendeportasian;

  e) Penahanan;

  f) Penyiksaan; h) Penindasan terhadap politik, ras, dan agama; i)

  Tindakan tidak manusiawi lainnya. Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari kedua Statuta di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan tersebut dilakukan.Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat situasi konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat internal.Sedangkan dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.

  Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pengadilan Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep tersebut

   menjadi suatu treaty norm.

  Pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Statuta Roma 1998. Secara substantif pengaturan dalam Statuta ini hampir sama dengan kedua Statuta sebelumnya namun dalam Statuta Roma lebih dipertegas dan dilengkapi.

  Kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma dimana ayat (1) membahas tentang jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan serta ayat (2) dan (3) mengenai penjelasan terhadap istiliah yang terdapat dalam ayat (1).

  (1) Untuk kepentingan dari statuta ini, kejahatan terhadap kemanusiaan berarti setiap tindakan berikut yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan terhadap serangan: a)

  Pembunuhan;

  b) Pemusnahan;

  c) Perbudakan;

  d) Pendeportasian atau memindah secara paksa suatu penduduk;

  e) Menahan atau bentuk lain dari perampasan kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar dari hukum internasional; f)

  Penyiksaan;

  g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa, penghamilan paksa, pemandulan paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang sama beratnya;

  h) Penindasan terhadap kelompok yang bisa diidentifikasi atau kelompok sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kejahatan lain yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan; i)

  Penghilangan orang secara paksa; j) Kejahatan apartheid; k)

  Tindakan tidak manusiawi lainnya dengan karakter yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik. (2)

  Untuk kepentingan ayat (1):

  a) Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil diartikan sebagai perbuatan yang terdiri dari serangkaian tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut.

  b) Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk.

  c) Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang termasuk tindakan yang mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak.

  d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai lainnya dari tempat dimana penduduk secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional.

  e) Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan atau di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali penyiksaan teersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau incidental dari pengenaan sanksi yang sah.

  f) Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan dapat mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan.

  g) Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak- hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif.

  h) Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tertentu.

  

  i) Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara atau pun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.

  (3) Untuk tujuan statuta ini dapat dimengerti, istilah “gender” merujuk pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat.

  Istilah “gender” tidak mengindikasikan adanya pengertian lain selain yang di atas.

43 Jika dalam Statuta ICTY mensyaratkan bahwa tindakan kejahatan

  kemanusiaan dilakukan dalam konflik bersenjata, baik berskala internasional maupun internal, dan di dalam Statuta ICTR mensyaratkan adanya serangan secara luas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama, maka dalam Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci dibanding kedua Statuta sebelumnya. Syarat tersebut antara lain:

  

  42

  1. Luas dan sistematis.

  Chesterman berpendapat bahwa istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematis (systematiche) merujuk pada adanya kebijakan atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

  2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis.

  Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam

  Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan yang

   luas dan sistematis.

  3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan.

  Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts

  committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya

  dikatakan ada kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku yang melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan harus mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang luas dan sistematis terhadap target kejahatan.

  Dari ketentuan dalam Statuta di atas maka dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada saat konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai.Pihak yang bertangggung jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor) saja, tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors).

  D.

  ICC Statuta Roma 1998 tentang Kejahatan Internasional

  Salah satu latar belakang pendirian Statuta Roma adalah karena kelemahan keempat Peradilan Internasional ad hoc yang telah terbentuk sebelumnya yang ditujukan untuk menghukum pelaku kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan terhadap perdamaian. Keempat Peradilan tersebut ialah Peradilan Nuremberg, Peradilan Tokyo, ICTY, dan ICTR.

   Kelemahan-kelemahan yang mendasar tersebut, antara lain: 1.

   Victor’s Justice

  Dari keempat peradilan internasional yang telah tebentuk semuanya mempunyai kesamaan, yaitu dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab.

  Istilah victor’s justice ini menggambarkan keadilan bagi pemenang.

2. Selective Justice

  Kelemahan lain yang terdapat dari peradilan ad hoc ialah terjadinya keadilan tebang pilih (selective justice). Tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Hal ini berarti akan ada pelaku yang tidak ditindak dan akan ada

  3. Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua peradilan pidana internasional pasca Perang Dunia II namun kedua peradilan tersebut masih memiliki keterbatasan yang sama diantaranya tidak adanya kerjasama dengan negara dimana kejahatan internasional yang serius terjadi, tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung, serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.

  4. Muatan Politis Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang ke pengadilan.Hal ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasonal ad hoc hanya bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB.Artinya, nasib keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini maka kepentingan politik akan kebih banyak berperan daripada pertimbangan hukum dan keadilan.

  Berbagai kekurangan dan kegagalan dari peradilan-peradilan internasional

  

ad hoc di atas akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada

  tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana yang permanen yang

  Aspirasi untuk mendirikan International Criminal Court (ICC) sebenarnya telah muncul di era 1980an. Pada tahun 1989, Trinidad dan Tobago mengajukan rancangan proposal pembentukan ICC di forum Majelis Umum PBB.Namun, gagasan tersebut tidak terlalu mendapatkan tanggapan sampai akhirnya muncul kembali tindakan-tindakan yang dikualifikasikan sebagai tindak pidana internasional berat pada tahun 1990an yang secara luas namun terpisah menyebar di Eropa, Afrika dan Asia. Pasca dibentuknya ICTY dan ICTR yang masih berlangsung kinerjanya sampai saat ini dan beberapa peradilan campuran, kebutuhan akan adanya ICC semakin terasa. Pada tahun 1994, Majelis Umum PBB memutuskan untuk berusaha mewujudkan berdirinya ICC dengan membawa rancangan statuta dari Komisi Hukum Internaional sebagai dasar.Rancangan

   tersebut berisi aspek substantif, administratif dan prosedural dari ICC.

  Pada malam tanggal 17 Juli 1998 sebuah statuta untuk membentuk ICC akhirnya mencapai tahap penentuan di hadapan Konferensi Diplomatik PBB di Roma, yang telah berlangsung sejak 15 Juni 1998. Dengan hasil penghitungan suara dimana 120 diantaranya mendukung, 7 menentang, dan 21 abstain. Tujuh Negara yang menentang tersebut adalah Amerika, Cina, Irak, Israel, Yaman, Qatar, dan Libya sedangkan 21 negara abstain adalah negara-negara Arab dan negara-negara Islam serta beberapa yang lainnya dari negara-negara

48 Karibia. Negara yang tidak memberikan tanda tangannya pada saat konferensi

  kemudian menjadi negara peratifikasi adalah Republik Dominika, Afganistan,

  Juni 2013 tercatat 122 negara yang telah meratifikasi statuta tersebut dengan sebaran, 34 negara Afrika, 18 negara Asia-Pasifik, 27 negara Amerika Latin dan Karibia, 18 dari Eropa Timur dan 25 dari Eropa Barat dan Negara-negara lainnya. Senegal adalah Negara pertama yang meratifikasi Statuta Roma 1998 yaitu pada tanggal 2 Februari 1999 dan diikuti oleh Trinidad & Tobago dua bulan

   berikutnya.

  Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 126 Statuta Roma 1998, bahwa Statuta Roma mulai berlaku (entry into force) setelah diratifikasi oleh 60 negara. Pada bulan April 2002, jumlah ratifikasi tercapai dan dengan demikian sejak tahun 2002 Statuta Roma 1998 dinyatakan berlaku dan ICC mulai berdiri.

  ICC merupakan pengadilan yang permanen yang berkedudukan di Den Haag.peradilan ini hanya menangani tindak kejahatan yang terjadi setelah diberlakukannya Statuta Roma 1998. ICC bukan merupakan bagian atau organ dari PBB karena diberlakukan atas dasar statuta multirateral.Namun kedua organisasi ini mempunyai hubungan yang formal. ICC dibentuk di bawah Statuta Roma 1998 dan merupakan pelengkap dari jurisdiksi pidana nasional atas kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional secara keseluruhan.

  Pada awal pembentukan ICC terdapat kekhawatiran dari beberapa kalangan bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma tentang ICC maka negara harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap semua aturan dalam Statuta hukum nasional suatu negara terhadap pengadilan atau sistem hukum suatu negara. Hal tersebut tidak akan terjadi jika memahami prinsip komplementer

50 ICC. Prinsip komplementaritas menggarisbawahi bahwa ICC tidak dimaksudkan

  untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan yang independen dan efektif yang tersedia. Hal ini menunjukkan bahwa ICC harus mendahulukan sistem nasional kecuali jika sistem nasional yang ada benar-benar tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyidikan atau menuntut tindak kejahatan yang terjadi, maka akan diambil alih menjadi di bawah yurisdiksi ICC sebagimanan yang terdapat dalam Pasal 17 Statuta Roma.

  Standar untuk membuktikan ketidakmauan (unwillingness) untuk menyelidiki dan menuntut pelaku cukup tinggi, misalnya langkah-langkah hukum atau keputusan berdasarkan hukum nasional telah diambil suatu negara dengan tujuan untuk melindungi pelaku dari tanggung jawab pidana atas kejahatan yang berada dalam yurisdiksi pengadilan (Pasal 17 ayat (2) a Statuta Roma), adanya penundaan (unjustified delay) dalam proses persidangan yang memperlihatkan bahwa pihak penguasa memang enggan untuk mengadili pelaku, dan proses persidangan tidak dilaksanakan secara independen dan imparsial. Demikian juga dalam hal pembuktian ketidakmampuan (inability) dimana negara tidak mampu untuk menahan pelaku, mengumpulkan barang-barang bukti yang diperlukan, tidak hanya didasarkan pada sistem hukumnya yang sudah collapse namun juga bisa disebabkan hukum nasionalnya yang tidak mendukung seperti adanya hukum

   amnesti serta tindak pidana yang sudah daluarsa.

  Melihat dari penjelasan di atas maka ICC dapat juga berperan sebagai katalis dalam proses investigasi dan pemberian hukuman kejahatan negara-negara yang dilakukan baik dalam wilayah atau oleh bangsa. Suatu kasus dapat diajukan ke ICC melalui anggota Statuta Roma, Jaksa Penuntut dan Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksinya jika negara tempat kejahatan atau kebangsaan yang tertuduh merupakan peserta Statuta sedangkan negara-negara bukan peserta dapat menerima yurisdiksi di tingkat ad

  

hoc atau ketika suatu masalah diajukan Dewan Keamanan PBB maka barulah ICC

  akan membuat yurisdiksi tanpa memandang negara tersebut merupakan peserta

   perjanjian Peradilan Pidana Internasional atau bukan.

  ICC mempunyai larangan atas yurisdiksinya apabila pengadilan nasional sedang mengadili kejahatan yang sama dan kasusnya sedang diselidiki atau dituntut oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut, kasusnya telah diselidiki oleh suatu negara yang mempunyai yurisdiksi atas kasus tersebut dan negara telah memutuskan untuk tidak menutut, kasusnya tidak cukup gawat untuk membenarkan tindakan lebih lanjut oleh ICC (Pasal 17 Statuta Roma), dan orang yang bersangkutan telah dihukum atau dibebaskan atas kejahatan yang sama melalui pengadilan dan layak dan adil (Pasal 17 (c) dan 20

53 Statuta Roma).

  Menurut Pasal 4 ayat (1) Statuta Roma 1998 ICC memiliki kepribadian hukum internasional (international legal personality).Hal ini berarti, bahwa ICC berkedudukan sebagai subjek hukum internasional dengan kemampuannya memiliki hak-hak dan memikul kewajiban-kewajiban berdasarkan hukum internasional dalam ruang lingkup tugas dan kewenangannya serta maksud dan tujuannya. Atas dasar itu ICC memiliki kemampuan hukum (legal capacity) untuk melakukan hubungan-hubungan hukum sepanjang dibutuhkan dalam pelaksanaan kekuasaaa, tugas dan fungsinya serta untuk memenuhi apa yang merupakan maksud dan tujuannya.Selain memiliki karakter international legal personality dala, Pasal 4 ayat (2) Statuta Roma, ICC juga memiliki national legal personality yang memungkinkan ICC untuk melaksanak tugas dan fungsinya di dalam

   wilayah negara pihak maupun di negara bukan pihak Statua Roma 1998.

  Sebagai subjek hukum internasional, ICC bukanlah lembaga yang berada di bawah organ PBB walaupun kenyatannya berdirinya ICC tidak lepas dari prakarsa PBB. ICC berada setara dengan PBB, hal ini terlihat dari bunyi Pasal 2 Statuta Roma yang menyebutkan bahwa hubungan ICC dengan PBB melalui sebuah persetujuan yang telah disetujui. ICC dan PBB adalah dua lembaga yang terpisah secara sistem dan berkedudukan sederajat.

  Sebagai sebuah lembaga, ICC memiliki organ-organ yang dapat personil-personil yang terlibat dalam lembaga ICC terdiri dari tiga kategori, yaitu hakim-hakim (the judges), penuntun umum (prosecutor), serta staf lain yang mengurusi hal yang berkaitan dengan operasional. Secara struktural, ICC terdiri dari Kepresidenan (Precidency), Divisi Banding, Divisi Peradilan, dan Divisi Pra Peradilan (an Appeals Division, a Trial Division, and Pre Trial Division), Penuntut (the Office of the Prosecutor), dan Kepaniteraan (the Registry).

  Ketentuan mengenai organ-organ ICC diatur dalam bagian IV Statuta Roma 1998,

   Komposisi dan Administrasi Mahkamah (ICC), Pasal 34 – 52.

  Sebagai salah satu instrumen penegak hukum, dalam konteks keadilan ICC memiliki fungsi umum yang ada pada hukum pidana sebagaimana disampaikan

  

  oleh LaFave yang dikutip oleh Arie Siswanto: a.

  Retribution, yang mengandung arti bahwa hukum pidana dipergunakan untuk memberikan balasan dan penderitaan yang setimpal bagi pelaku tindak pidana berdsarkan prinsip eye for an eye.

  b.

  Deterrence, yang berarti mencegah orang lain atau pelaku untuk melakukan (lagi) tindak pidana.

  c.

  Denunciation, yakni menegaskan bahwa tindak pidana yang telah dilakukan oleh pelakunya adalah tindakan salah.

  d.

  Incapacitation, menjaga (melalui lembaga penahanan) supaya pelaku tidak mampu lagi melakukan tindak pidana.

  e.

  Rehabilitation, memperbaiki pelaku tindak pidana. Walaupun dinyatakan berlaku (entry into force) pada 1 Juli 2002, namun

  ICC melaksanakan sidang untuk pertama kali dalam kasus terdakwa Thomas

   Lubanga Dyilo dari Republik Kongo pada tanggal 26 Januari 2009.

  Adapun hukuman yang dapat dibebankan terhadap pelaku kejahatan dalam

  ICC diatur dalam Statuta Roma 1998 yang terdapat dalam Bagian 7 dari Pasal 77

  • – 80 yaitu penjara seumur hidup, pemenjaraan selama kurun waktu tertentu, dan denda, di antara hukuman-hukuman lain. ICC sendiri tidak mengenal adanya hukuman mati.

1. Yurisdiksi ICC

  Secara singkat dan sederhana, yurisdiksi dapat diartikan sebagai kepunyaan seperti apa yang ditentukan atau ditetapkan oleh hukum atau dengan singkat dapat diartikan “kekuasaan atau kewenangan hukum” atau “kekuasaan atau kewenangan berdasarkan hukum”. Di dalamnya tercakup “hak”, “kekuasaan”, dan “kewenangan”.Yang paling penting adalah hak, kekuasaan, dan kewenangan tersebut didasarkan atas hukum, bukan atas paksaan, apalagi berdasarkan kekuasaan.

  Setiap peradilan tentu mempunyai sebuah yurisdiksi.Demikian pula dengan ICC lembaga peradilan kriminal internasional tersebut pun memiliki yurisdiksi tersendiri. Berbicara mengenai yurisdiksi yang dimiliki oleh ICC maka peradilan tersebut mempunyai 4 yurisdiksi yang akan dipaparkan sebagai berikut: a.

  Yurisdiksi Teritorial

  Secara umum, yurisdiksi teritorial ICC berlaku di negara-negara peratifikasi Statuta Roma 1998.Berbicara mengenai yurisdiksi ini termasuk hal yang rumit karena tidak semua negara meratifikasi Statuta Roma 1998, sehingga tidak semua Negara mengakui yurisdiksi yang dimiliki oleh ICC. Mengenai yurisdiksi territorial ICC dibahas dalam Statuta Roma 1998 mulai dari Pasal 12 sampai dengan Pasal 15. Ketentuan mengenai yurisdiksi territorial ICC adalah sebagai berikut:

1) Yurisdiksi territorial ICC adalah di negara-negara pihak ICC.

  2) Tindak pidana yang dilakukan di dalam suatu wilayah negara atau atas kapal laut atau pesawat terbang yang didaftarkan di negara tersebut, dan negara tersebut adalah negara pihak dalam Statuta Roma atau telah menerima yurisdiksi ICC. Negara yang menerima yurisdiksi ICC disamakan kedudukannya sama seperti negara pihak.

  3)

  ICC dapat menjalankan yurisdiksinya ketika negara pihak meminta kepada Penuntut untuk menyelidiki terjadinya tindak pidana di wilayah teritorinya, dan atas permintaan tersebut Penuntut melakukan penyelidikan sampai akhirnya dilimpahkan ke ICC, yang meminta dilakukan penyelidikan adalah negara pihak. 4)

  Memberikan kesempatan bagi ICC untuk memutus rantai impunitas dengan dalih bukan bagian dari yurisdiksi territorial ICC. Dalam Pasal 11 Statuta Roma 1998 mengatur bahwa ICC memiliki yurisdiksi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan setelah statuta dinyatakan berlaku.ICC berlaku di negara pihak atau di negara-negara yang dijelaskan dalam bagian yurisdiksi territorial terhadap kejahatan yang termasuk dalam yurisdiksi material ICC setelah tanggal 1 Juli 2002. Terhadap kejahatan-kejahatan yang dilakukan sebelumnya maka hukum nasional negara masing-masinglah yang akan menyidangkan perkaranya dan apabila negara tersebut tidak mampu atau tidak mau maka dapat membentuk peradilan pidana internasional ad hoc.

  Namun jika suatu negara menjadi negara pihak dari Statuta Roma 1998 setelah dinyatakan berlaku maka ICC dapat menjalankan yurisdiksinya tetapi hanya terhadap kejahatan yang dilakukan setelah statuta ini dinyatakan berlaku di negara tersebut. Hal ini sesuai dalam Pasal 11 ayat (2) yang terdapat dalam Statuta Roma.Dalam yurisdiksinya, ICC tidak memiliki batasan kadaluwarsa dalam menuntut setiap perkara yang terjadi, baik di negara pihak maupun di negara- negara yang meratifikasi setelah ICC dinyatakan berlaku.

  c.

  Yurisdiksi Personal Pada Pasal 1 Statuta Roma 1998 sudah dinyatakan bahwa, “Dengan ini

  Mahkamah Pidana Internasional (ICC) didirikan. ICC merupakan lembaga permanen dan memiliki kekuatan untuk melaksanakan yurisdiksinya terhadap individu untuk tindak pidana yang paling serius mendapatkan perhatian

  (1), “ICC memiliki yurisdiksi terhadap kodrat pribadi menurut statuta ini”.Ayat (2) yang berbunyi, “Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana termasuk dalam yurisdiksi ICC harus bertanggung jawab secara individu dan dapat dihukum berdasarkan statuta ini”. Dengan ketentuan yang terdapat dalam