Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

(1)

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH

ITURI REPUBLIK KONGO

(Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

TENGKU DEVY MALINDA 110200209

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(2)

TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH

ITURI REPUBLIK KONGO

(Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan dalam Rangka Memenuhi dan Melengkapi Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana di Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh :

TENGKU DEVY MALINDA 110200209

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

Diketahui/ Disetujui Oleh :

KETUA DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

NIP. 195612101986012001 Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum.

PEMBIMBING I PEMBIMBING II

Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

NIP. 194712281979031001 NIP. 196403301993021002 Arif, S.H., M.Hum.


(3)

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan ke hadirat Allah SWT karena atas berkat rahmat dan hidayat-Nya yang telah memberikan kesempatan dan kesehatan kepada penulis dalam menyusun skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan baik.

Skripsi merupakan karya tulis ilmiah yang wajib disusun dan diajukan oleh mahasiswa dalam rangka memenuhi tugas akhir dan melengkapi salah satu syarat akademik untuk menyelesaikan progam studi S1 dan memperoleh gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.Oleh karena itu, penulis menyusun skripsi yang diberi judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.

Dalam penyusunan skripsi ini penulis tidak terlepas dari bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak. Maka dalam kesempatan izinkanlah penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-sebesarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara beserta seluruh jajaran pimpinan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Ibu Dr. Chairul Bariah, S.H., M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

3. Bapak Jelly Leviza, S.H., M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang membantu Penulis dan memberikan masukan serta ide dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Prof. Sulaiman Hamid, S.H., selaku Dosen Pembimbing I yang sangat membantu Penulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini dan bersedia memberikan bimbingan serta meluangkan waktu dan pikirannya.

5. Bapak Arif, S.H., M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II yang telah banyak membantu dan membimbing Penulis dengan tulus dalam penyusunan skripsi. Terimakasih Bapak telah meluangkan waktu juga memberikan masukan sehingga Penulis dapat menyempurnakan penulisan skipsi ini.

6. Seluruh dosen Departemen Hukum Internasional dan dosen pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang memberikan ilmu pengetahuan kepada Penulis selama duduk di bangku perkuliahan serta pegawai administrasi yang membantu dalam proses menuju sidang meja hijau.

7. Terkhusus untuk kedua orangtua yang Penulis cintai, Penulisucapkan banyak terimakasih untuk Ayahanda Tengku Ali Akbar, S.H., M.Hum. dan Ibunda Marlini yang telah membesarkan Penulis dan telah memberikan banyak pengorbanan materi dari kecil hingga kini Penulis menyelesaikan perkuliahan. Terimakasih atas semangat, dukungan, perhatian, dan doa yang tak hentinya kalian berikan,skripsi ini Penulis persembahkan untuk Mama dan Papa.


(5)

8. Abang dan Kakak yang Penulis sayangi yaitu Tengku Fuad Maulana, S.T. dan Tengku Dian Fahrani, S.H. yang memberikan motivasi agar Penulis selalu tetap bersemangat dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih atas bantuan-bantuan dan saran-saran yang sering kalian berikan kepada Penulis. 9. Seseorang yang sering memberikan kejutan dan selalu ada di sisi Penulis baik

dalam keadaan suka maupun duka yang memberikan semangat, kebahagiaan, dukungan, dan perhatian dengan tulus serta selalu menemani hari-hari Penulis dalam mengerjakan skripsi. Kepada Fachrindra, S.P. terimakasih atas segala hal yang telah diberikan selama ini.Our story will always in my memory. 10. Sahabat terbaik Penulis, Nida Syafwani Nasution, yang tidak pernah

meninggalkan Penulis dari awal perkuliahan hingga sama-sama menyelesaikan perkuliahan dan terus berada disamping Penulis dalam suka maupun duka.

11. Sahabat-sahabat Penulis semasa perkuliahan “Vouch” yang selalu memberikan canda dan tawa di hari-hari Penulis yaitu Lia, Viza, Intan, Desty, Daniel, Dendi, Wahjow, Harris, Inal, Imam, Fairuz, Adi, Ryan, Padel, Ricky Fauzan (Boteng), Nanda dan terkhususnya untuk Dyan Indriani yang merupakan sahabat terdekat Penulis dari awal bangku perkuliahan serta teman-teman yang berjuang bersama dengan Penulis dari awal memulai skripsi hingga terselesaikannya skripsi ini yaitu Feby Vidha, M. Febriyandri, dan Virsa. I hope our friendship will be last forever guys.

12. Sahabat Penulis yang memiliki sifat yang unik yaitu “Circle!” Nida Syafwani, Rizky Chairunisya Ramadhani, Putri Zulfita Maysari yang saling


(6)

menyemangati satu sama lain. Penulis berharap semoga kita berempat kelak menjadi orang yang sukses di masa depan dan persahabatan kita seperti lingkaran yang tidak akan pernah terputus dan juga “Penyu” Nida Syafwani Nasution, Astri Ramadhani Sipahutar, Nur Fairuz Diba Nasution, Ulfa Nabila.

13. Keluarga besar ILSA (International Law Student Association) 2011 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

14. Pengurus Himpunan Mahasiswa Islam (HmI) Fakultas Hukum USU Periode 2013 – 2014 yang Penulis anggap seperti keluarga sendiri yaitu Bang Hary Azhar, Kak Izma Suci, Kak Nurul Atika, Bang Ihsan An Auwali, Nida, Hadyan, Fito, Ibnu, Putri, Kiki, Pupimbiddi, Winaldi, Baktiaruddin, Ray, Anggie, Rafika serta keluarga besar Himpunan Mahasiswa Islam Fakultas Hukum USU baik senioren ataupun adik-adik HMI yang dekat dengan Penulis yang tidak bisa Penulis sebutkan satu per satu.

Akhir kata, dengan kerendahan hati Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kata sempurna oleh karenanya segala kritik dan saran yang bersifat membangun akan diterima oleh Penulis. Namun besar harapan Penulis skripsi ini dapat bermanfaat dan dapat berguna bagi yang membacanya.Atas perhatiannya Penulis ucapkan terimakasih.

Medan, Maret 2015

Penulis


(7)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR iii

DAFTAR ISI vii

DAFTAR SINGKATAN ix

ABSTRAKSI x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang 1

B. Rumusan Permasalahan 7

C. Tujuan Penulisan 7

D. Manfaat Penulisan 7

E. Keaslian Penulisan 8

F. Tinjauan Kepustakaan 9

G. Metode Penelitian 17

H. Sistematika Penulisan 19

BAB II PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat 22 B. Instrumen Hukum Internasional Tentang Pelanggaran HAM

Berat 26

C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan 34


(8)

BAB III TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA

A. Individu Sebagai Subjek Hukum Internasional 61 B. Paham “Impunity” Dalam Kejahatan Internasional 62 C. Kejahatan Kemanusiaan dalam Konflik Bersenjata 65 D. Pengaturan Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan

Kemanusiaan Berdasarkan ICC 77

BAB IV PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO

A. Latar Belakang Konflik Bersenjata di Republik Kongo 83 B. Penetapan Konflik Bersenjata di Republik Kongo Sebagai

Kejahatan Internasional oleh Dewan Keamanan PBB 89 C. Putusan ICC dalam Kejahatan Pelanggaran Kemanusiaan oleh

Germain Katanga 95

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan 97

B. Saran 99


(9)

DAFTAR SINGKATAN

CAR= Conflict Against Racist

CIMFTE= Charter of the Internatinal Military Tribunal For The Far East DRC= Democratic Republic of Congo

DUHAM= Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia FNI= Front des Nationalistes et Intégrationnistes FRPI= Force de Résistance Patriotique en Ituri ICC = International Criminal Court

ICRC= International Committee of the Red Cross ICTR= International Criminal Tribunal for Rwanda

ICTY= International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia ILC= International Law Comission

IMFTE= Internatinal Military Tribunal For The Far East OTP= Office of the Prosecutor

PBB= Perserikatan Bangsa Bangsa UN= United Nations


(10)

ABSTRAKSI Tengku Devy Malinda* Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

) **

Arif, S.H., M.Hum.

) ***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011 **

Dosen Pembimbing I ***

Dosen Pembimbing II

)

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat internasional.Bahkan sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan kesedihan di mata masyarakat internasional.Crimes against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan salah satu bentuk kekejaman yang menorehkan kesedihan tersebut.Kejahatan tidak dapat dihindari karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seperti kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga di wilayah Ituri tepatnya di desa Bogoro yang terletak di Republik Demokratik Kongo.Katanga yang merupakan seorang pemimpin kelompok milisi diduga memimpin dalam penyerangan yang terjadi di Bogoro.Dari peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan apakah seorang pemimpin bisa disalahkan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata; dan (3) bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo.

Dalam penulisan skripsi ini, metode penulisan yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal internet, instrumen hukum yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini.Mengenai kejahatan HAM berat sendiri disebutkan dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg (Piagam London) dan Statuta Roma. Dalam Piagam London yang merupakan kejahatan HAM berat ialah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sedangkan dalam Statuta Roma 1998 ialah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Agar setiap pelaku kejahatan tidak terlepas dari kejahatan yang dilakukannya maka dikenallah paham impunity yang menegaskan bahwa tidak boleh adanya sebuah imunitas terhadap setiap individu walaupun ia memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan yang sulit terjangkau hukum. Salah satu peristiwa yang terjadi di Republik Kongo ialah kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga yang pada akhirnya Katanga dibawa ke ICC dimana ia dihukum dengan hukuman penjara selama 12 tahun. Agar masyarakat internasional dapat merasakan perdamaian dan keamanan dunia maka setiap pelaku kejahatan harus dihukum karena dengan demikian maka hukum dapat ditegakkan dan tidak boleh adanya imunitas bagi setiap individu.


(11)

ABSTRAKSI Tengku Devy Malinda* Prof. Sulaiman Hamid, S.H.

) **

Arif, S.H., M.Hum.

) ***

*

Mahasiswa Fakultas Hukum USU 2011 **

Dosen Pembimbing I ***

Dosen Pembimbing II

)

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan sepenuhnya oleh masyarakat internasional.Bahkan sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan kesedihan di mata masyarakat internasional.Crimes against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) merupakan salah satu bentuk kekejaman yang menorehkan kesedihan tersebut.Kejahatan tidak dapat dihindari karena dapat terjadi kapan saja dan dimana saja seperti kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga di wilayah Ituri tepatnya di desa Bogoro yang terletak di Republik Demokratik Kongo.Katanga yang merupakan seorang pemimpin kelompok milisi diduga memimpin dalam penyerangan yang terjadi di Bogoro.Dari peristiwa tersebut menimbulkan pertanyaan apakah seorang pemimpin bisa disalahkan atas kejahatan yang dilakukan oleh anak buahnya.

Yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah (1) bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional; (2) bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata; dan (3) bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo.

Dalam penulisan skripsi ini, metode penulisan yang digunakan ialah metode penelitian kepustakaan yaitu dengan mengumpulkan bahan-bahan dari buku, jurnal internet, instrumen hukum yang berkaitan dengan maksud dan tujuan dari penyusunan skripsi ini.Mengenai kejahatan HAM berat sendiri disebutkan dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg (Piagam London) dan Statuta Roma. Dalam Piagam London yang merupakan kejahatan HAM berat ialah kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan sedangkan dalam Statuta Roma 1998 ialah kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Agar setiap pelaku kejahatan tidak terlepas dari kejahatan yang dilakukannya maka dikenallah paham impunity yang menegaskan bahwa tidak boleh adanya sebuah imunitas terhadap setiap individu walaupun ia memiliki posisi sebagai pemegang kekuasaan yang sulit terjangkau hukum. Salah satu peristiwa yang terjadi di Republik Kongo ialah kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga yang pada akhirnya Katanga dibawa ke ICC dimana ia dihukum dengan hukuman penjara selama 12 tahun. Agar masyarakat internasional dapat merasakan perdamaian dan keamanan dunia maka setiap pelaku kejahatan harus dihukum karena dengan demikian maka hukum dapat ditegakkan dan tidak boleh adanya imunitas bagi setiap individu.


(12)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk kewajiban-kewajiban sebagaimana tertuang dalam konvensi-konvensi yang mengatur tentang konflik bersenjata akan menimbulkan tanggung jawab negara bagi yang melanggar ketentuan tersebut. Hal ini karena dalam hukum internasional tidak ada satu pun negara yang dapat menikmati hak-haknya tanpa menghormati hak-hak negara lain. Setiap pelanggaran terhadap hak negara lain, menyebabkan negara tersebut wajib untuk memperbaiki pelanggaran tersebut. Dengan kata lain, negara tersebut harus mempertanggungjawabkannya.1

Selain menimbulkan Tanggung Jawab Negara (state responsibility), pelanggaran terhadap ketentuan dalam hukum internasional juga menimbulkan tanggung jawab individu.Hal ini karena kejahatan terhadap hukum internasional dilakukan oleh manusia, bukan oleh entitas abstrak, dan hanya dengan menghukum individu ysng melakukan kejahatan tersebut ketentuan hukum internasional bisa ditegakkan.Termasuk dalam kategori yang relevan dengan mana tanggung jawab individu diletakkan sebagai kejahatan terhadap perdamaian, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan.2

1

Hinggorani, Modern Iinternational Law, edisi ke-2, 1984, hlm 241, sebagaimana dikutip dari Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, Rajagrafindo Persada, Jakarta, 1990 hlm. 173.

2

Malcolm N Shaw, International law, Fourth Edition, Cambridge University Press, Cambridge, 1997, hlm. 185.


(13)

. Pada Peradilan Nuremberg3 ditunjukkan bahwa hukum internasional membebankan tugas dan tanggung jawab terhadap individu sebagaimana halnya terhadap negara. Disamping adanya pengakuan yang jelas terhadap tanggung jawab pidana individu untuk tindak kejahatan internasional, Peradilan Nuremberg juga merupakan suatu terobosan dengan menghilangkan imunitas pejabat negara dan mengakhiri doktrin tindakan negara sehingga tidak ada seorang pun dapat lolos dari tanggung jawab kriminal atas kejahatan internasional, bahkan seorang kepala negara sekalipun.4

Pada awalnya ICC dibentuk terdapat kekhawatiran oleh beberapa kalangan dimana mereka menganggap bahwa dengan meratifikasi Statuta Roma 1998 tentang ICC maka negara-negara harus menyetujui dan mengikatkan diri terhadap

Namun terdapat banyak kelemahan dan kekurangan dari Peradilan Nuremberg ini sehingga akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi-konferensi untuk mendirikan suatu Peradilan Pidana yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan Peradilan Internasional sebelumnya.Oleh karena itu, dibentuklah International Criminal Court

sebagaimana diatur dalam Statuta Roma 1998 yang telah diratifikasi oleh 122 negara.Perlu diketahui bahwa ICC merupakan peradilan yang independen dan bukan merupakan organ dari PBB karena dibentuk berdasarkan perjanjian multilateral.

3

Peradilan Nuremberg ialah peradilan ad hoc pertama dan merupakan rangkaian persidangan kasus-kasus yang berkaitan dengan para anggota utama dari kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi dari NAZI Jerman, dikutip dari Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Pustaka Yustisia, Yogyakarta, 2014, hlm. 154.

4

E van Shedgret, The Criminal Responsibilty of Individual For Violations of International Humanitarian Law, T.M.C., AsserPress, Den Haag, 2003, hlm. 2.


(14)

semua aturan Statuta Roma sehingga dapat mengintervensi sistem hukum suatu negara. Yang harus diketahui sebelumnya bahwa ICC mempunyai prinsip yang mendasar dari Statuta Romadimana ICC merupakan pelengkap bagi yurisdiksi pidana nasional sebagaimana yang tertulis dalam Pasal 1 Statuta Roma 1998.Prinsip ini mengartikan bahwa ICC tidak dimaksudkan untuk menggantikan sistem peradilan yang masih berfungsi, melainkan untuk menyediakan sebuah alternatif untuk mencegah impunity yang disebabkan karena sistem peradilan independen dan efektif tidak tersedia.5

Dalam bukunya, I Wayan Parthiana menuliskan bahwa meskipun HAM sudah diakui secara universal akan tetapi hal ideal tidak selalu terwujud dalam kehidupan nyata masyarakat. Pelanggaran-pelanggaran atas HAM dalam segala Pada prinsipnya ICC harus mendahulukan peradilan nasional kecuali jika suatu negara tidak mampu (unable) dan tidak bersedia (unwilling) untuk melakukan penyelidikan atau penuntutan atas kejahatan yang terjadi,maka barulah ICC dapat mengambil alih kejahatan tersebut. ICC memiliki yurisdiksi yang terbatas, hanya pada kejahatan paling serius yang menyangkut masyarakat internasional secara keseluruhan.Kejahatan internasional dan pelanggaran HAM berat dikategorikan sebagai kejahatan yang paling serius di mata hukum internasional.Tujuan ICC ialah untuk mewujudkan keadilan yang global, serta mengefektifkan kinerja mekanisme hukum nasional dalam menghukum pelaku kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang, dan genosida.

5

Mahkamah Pidana Internasional dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Statuta Roma: Mahkamah Pidana Internasional. Cetakan Pertama, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, 2000, hlm. xi.


(15)

bentuk dan macam tingkatannya mulai dari yang ringan sampai yang terberat masih saja dilakukan di dunia ini.6

Kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) merupakan salah satu dari empat bentuk Pelanggaran HAM Berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Disamping itu terdapat pelanggaran lainnya yaitu The Crimes of Genoside, War Crimes, dan The Crimes of Aggression.7

Salah satu kasus yang menjadi perhatian internasional ialah kejahatan yang dilakukan oleh Germain Katanga yang merupakan seorang mantan pemimpin Pasukan Perlawanan Patriotik di Ituri (Force de Résistance Patriotique en Ituri/ FPRI).Pada awal tahun 2003, Katanga muncul sebagai komandan senior FRPI dimana kelompok milisi ini terlibat dalam konflik di Ituri.Peristiwa ini berlangsung sejak tanggal 24 Februari 2003, Katanga diduga memimpin serangan terhadap desa Bogoro–desa di wilayah Ituri Republik Demokratik Kongo– vdengan pasukan yang di bawah perintahnya membunuh warga tanpa pandang bulu.Ia juga telah diduga membantu memimpin kejahatan lainnya termasuk

Pelanggaran-pelanggaran tersebut juga dapat dikategorikan sebagai

International Crimes karena mempunyai dampak terhadap pertanggungjawaban pidana.International Crimes didefinisikan sebagai kejahatan-kejahatan dimana tidak satu pun pelakunya boleh menikmati imunitas dari jabatannya dan tidak ada yurisdiksi yang digunakan untuk mencegah proses peradilan terhadapnya.

International crimes menganut asas universal jurisdiction.

6

I Wayan Parthiana, Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi, Yrama Widya, Bandung, 2003, hlm 89.

7

Kejahatan Kemanusiaan, 16 Desember 2014 Pukul 20.44 WIB.


(16)

pembantaian lebih dari 1.200 warga sipil dalam serangan di Rumah Sakit Nyakunde pada bulan September 2002.

Selama penyerangan terhadap desa Bogoro, sedikitnya terdapat 200 warga sipil yang meninggal dunia yang mana sebagian besar dari etnis Hema.Menurut laporan PBB, terdapat sekitar 260 orang meninggal dan 70 orang lainnya menghilang sedangkan yang selamat hanya 100 orang. Di antara para korban, 173 orang berada di bawah usia 18 tahun. Desa tersebut juga dijarah oleh anggota FRPI, perempuan dan gadis belia diculik dan dijadikan budak seksual oleh mereka.Beberapa korban yang selamat dari serangan dipenjara di sebuah bangunan yang penuh dengan mayat dan bahkan anak-anak dijadikan sebagai tentara dalam penyerangan tersebut.8

8

Amnesty International, DRC: All you need to know about the historic case against

Germain Katanga,http://www.amnesty.org/en/news/drc-all-you-need-know-about-historic-case-against-germain-katanga-2014-03-06 diakses 22 Desember 2014 Pukul 19.05 WIB.

Sungguh mengerikan peristiwa yang terjadi di wilayah tersebut.Bahkan sampai sekarang pun masih saja ditemukan kekejaman yang menorehkan kesedihan di mata masyarakat internasional, ternyata perdamaian dan keamanan belum dirasakan oleh semua orang.Dari sekilas peristiwa yang dipaparkan di atas dapat dirasakan betapa kejamnya perbuatan yang terjadi di desa tersebut.Perbuatan yang keji haruslah dibawa ke ranah hukum, pelakunya harus bertanggung jawab atas perbuatan yang telah dilakukannya dan diberikan hukuman yang setimpal agar tidak ada lagi terdapat korban jiwa sehingga masyarakat desa Bogoro dapat merasakan aman dan mendapatkan perlindungan hak asasi manusia.


(17)

Germain Katanga akhirnya ditahan dan dibawa ke pengadilan oleh pemerintah Republik Demokratik Kongo yang berwenang untuk ditindaklanjuti. Kasus ini dibawa ke International Criminal Court pada 17 Oktober 2007 dan proses pengadilan pun dimulai pada 24 November 2008.

Sudah sewajarnya Katanga bertanggung jawab secara pidana atas kejahatan yang telah diperbuatnya.Tidak boleh ada pengecualian hukuman bagi siapa pun walaupun Germain Katanga memiliki jabatan sebagai pemimpin FRPI.Aturan ini telah diatur dan dapat dilihat dalam Pasal 28 Statuta Roma dimana disebutkan bahwa “Seorang atasan baik militer maupun sipil harus bertanggung jawab secara pidana ketika terjadi kejahatan dalam yurisdiksi ICC yang dilakukan oleh anak buahnya”. Kejahatan dalam bentuk apa pun dan yang dilakukan oleh siapa pun tetap harus diadili agar ketentuan hukum internasional dapat ditegakkan.

Melihat peristiwa tersebut Penulis berminat ingin menelaah lebih dalam mengenai kejahataan yang terjadi di wilayah tersebut.Oleh karena itu, penulis

memilih judul “TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA DI WILAYAH ITURI REPUBLIK KONGO (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”. Skripsi ini akan menguraikan tentang kejahatan kemanusiaan yang terjadi di desa Bogoro, Ituri, Republik Demokrasi Kongo dan tanggung jawab yang dibebankan kepada Germain Katanga selaku pemimpin milisi atas kejahatan yang dilakukannya sesuai dengan putusan yang telah dikeluarkan oleh ICC.


(18)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas adapun menjadi rumusan masalah yang diangkat oleh Penulis dalam penulisan skripsi ini yaitu: 1. Bagaimana pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum

internasional?

2. Bagaimana tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata?

3. Bagaimana putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo?

C. Tujuan Penulisan

Suatu penulisan karya ilmiah tentunya memiliki tujuan.Adapun tujuan yang ingin dicapai Penulis dalam penulisan skripsi ini, antara lain:

1. Untuk mengetahui pengaturan pelanggaran HAM berat menurut hukum internasional.

2. Untuk mengetahui tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

3. Untuk mengetahui putusan ICC terhadap tanggung jawab individu dalam konflik bersenjata di Republik Kongo.

D. Manfaat Penulisan

Penulis berharap skripsi dapat bermanfaat. Adapun manfaat yang ingin penulis sampaikan antara lain:


(19)

a. Manfaat Teoritis

Sebagai bentuk penambahan pengetahuan dalam ilmu hukum khususnya bidang hukum internasional terutama mengenai tanggung jawab individu terhadapa kejahatan kemanusiaan dalam dalam konflik bersenjata dan upaya penyelesaian yang dilakukan oleh ICC (International Court Criminal).

b. Manfaat Praktis

Menjadi suatu pedoman atau bahan referensi pada perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara secara khusus dan pembaca pada umumnya serta dapat dijadikan bahan referensi bagi pihak akademisi dalam menambah wawasan mengenai masalah tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata.

E. Keaslian Penulisan

Penulisan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan memang telah banyak diangkat dan dibahas, seperti Tinjauan Yuridis Mengenai Kejahatan Kemanusiaan (Crime Against Humanity) Dalam KUHP dan Diluar KUHP, Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Pada Tawanan Perang Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia dan Konvensi Jenewa 1949, ataupun dalam makalah Kejahatan Terhadap Kemanusiaan Ditinjau Dari Penerapan Yuridiksi Universal. Namun disini penulis mengambil judul “Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata di Wilayah Ituri


(20)

Republik Kongo (Studi Kasus Atas Putusan ICC Pada Kejahatan Germain Katanga)”.

Judul dan permasalahan dalam skripsi ini murni merupakan ide dan pemikiran dari penulis sendiri.Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini, penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa belum ada atau belum terdapat judul ini di Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sehingga tulisan ini dijamin keasliannya.Dengan demikian tulisan ini dapat dipertanggungjawabkan keaslian judul maupun isinya.

F. Tinjauan Kepustakaan

1. International Crimes

International Crimes oleh Antonio Cassese diartikan sebagai pelanggaran tehadap ketentuan internasional yang memerlukan pertanggungjawaban individu dari individu terkait.9

Menurut Bassiouni, international crimes adalah setiap perbuatan yang mana ditetapkan sebagai kejahatan di dalam konvensi multilateral yang diikuti beberapa Negara peserta, dan di dalamnya terdapat salah satu dari sepuluh

Lebih lanjut lagi Cassese menyebutkan, bahwa international crimes terjadi karena pelanggaran terhadap aturan kebiasaan internasional termasuk diantaranya adalah ketentuan perjanjian internasional serta aturan yang bertujuan melindungi nilai-nilai penting dari keseluruhan masyarakat internasional dan konsekuensinya mengikat seluruh Negara dan individu.

9

Antonio Cassese, International Criminal Law,Oxford Universty Press Inc., New York, 2003, p. 3.


(21)

karakter pidana.10Bassiouni mengkualifikasikan 22 (dua puluh dua) perbuatan yang termasuk ke dalam international crimes yang berasal dari 312 instrumen dari tahun 1815 sampai dengan 1984.11

1) Aggression

Kedua puluh tindak pidana internasional tersebut antara lain:

2) War crimes

3) Unlawful use of weapons 4) Crimes against humanity 5) Genocide

6) Racial discrimination and apartheid 7) Slavery and related crimes

8) Torture

9) Unlawful human experimentation 10)Piracy

11)Aircraft hijacking

12)Threat and use of force against internationally protected persons 13)Taking of civilian hostages

14)Drug offenses

15)International traffic in obsence publicaitons 16)Destruction and/or theft of national treasures 17)Environmental protection

10

M. Cherif Bassiouni, International Criminal Law Volume I: Crimes, Transnational Publisher Inc., New York, 1986, p. 2-3

11

Romli Atmasamita, Pengantar Hukum Internasional, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 40.


(22)

18)Theft of nuclear materials 19)Unlawful use of the mails

20)Interfence with submarine cables 21)Falsification and counterfeiting 22)Bribery of foreign public official

Dalam Black’s Law Dictionary disebutkan pengertian dari international crimes sebagai berikut:12

(1) The criminal norm must derive either from a healthy concludent under international law or from customary international law, and must have diret binding force on individuals without intermediate provisions of municipal law;

A crime against international law, occurring when three condition are satisfied:

(2) The provision must be made for the prosecution of acts penalized ny international law in accordance with the principle of universal jurisdiction, so that the international character of the crime might show in the made of prosecution itself (e.g., before the international criminal court (3) A treaty establishing liability for the act must bind the great majority of

countries.

Terjemahan bebas:

Suatu kejahatan berdasarkan hukum internasional apabila memenuhi tiga kondisi sebagai berikut:

(1) Suatu tindakan sebagai kejahatan berdasarkan perjanjian di bawah hukum internasional atau hukum kebiasaan internasional dan mengikat individu secara langsung tanpa diatur dalam hukum nasional;”

(2) Ketentuan dalam hukum internasional yang mengharuskan penuntutan terhadap tindakan-tindakan yang dapat dipidana berdasarkan prinsip yurisdiksi universal, jadi karakter internasional dari kerjahatan tersebut adalah dalam bentuk penututannya seperti tindakan-tindakan yang dapat dituntut di penfgadilan pidana internasional; dan

(3) Suatu perjanijian yang menetapkan tindak pidana internasional tersebut harus mengikat banyak Negara.

12

Bryan A. Garner (Ed. In Chief), Black’s Law Dictionary-Seven Edition, West Group, St. Paul Minnesota, 1999, hlm. 821.


(23)

Sementara itu, Eddy O. S. Hiariej13

1. Dinyatakan sebagai kejahatan internasional, baik dalam konvensi internasional maupun hukum kebiasaan internasional; dan

berpendapat bahwa kejahatan internasional adalah “…tindakan yang oleh konvensi internasional atau hukum kebiasaan internasional aau kejahatan terhadap masyarakat internasional yang penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.”

Dari pendapat di atas, maka tampak bahwa dalam batasan tindak pidana internasional pada intinya mengandung hal-hal berikut:

2. Penuntutan dan penghukumannya berdasarkan prinsip universal.

2. Pelanggaran HAM Berat

Pelanggaran HAM Berat atau dikenal dengan “gross violation of human rights” atau “greaves breaches of human rights” sebagaimana disebut secara eksplisit dalam Konvensi Jenewa 1949 dan protokolnya. Di dalam Statuta Roma 1998 sebutan tersebut ada padanannya tetapi dengan istilah lain, yaitu “the most serious crimes of concern to the international community as a whole”. Yang tergolong dalam kategori pelanggaran HAM berat antara lain Crimes Against Humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), The Crimes of Genoside (kejahatan genosida), War Crimes (kejahatan perang), dan The Crimes of Aggression(kejahatan agresi)

13

Eddy O. S. Hiariej, Pengantar Hukum Pidana Internasional, Erlangga, Jakarta, 2009, hlm. 46.


(24)

3. Kejahatan Kemanusiaan

Istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (crimes against humanity)

dikembangkan sejak Petersburg Declaration 1868.Semula dikembangkan dalam konteks hukum perang berdasarkam Konvensi Den Haag 1907 (Hague Convention) yang merupakan kodefikasi dari hukum kebiasaan mengenai konflik bersenjata.14

Menurut Wiliam A. Schabas, kejahatan kemanusiaan pertama kali dipergunakan pada tanggal 24 Mei 1915 dalam deklarasi bersama antara pemerintah Perancis, Inggris, dan Rusia, ketiga Negara tersebut memutuskan untuk bereaksi secara keras dan kemudian membuat deklarasi pernyataan (joint declaration) atas tindakan Turki tersebut. Deklarasi bersama tiga negara ini ditujukan untuk mengutuk tindakan Turki atas kekejaman terhadap populasi Armenia di Turki, tindakan Turki tersebut dikatakan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban (crimes against humanity and civilization).15

Kejahatan kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 adalah perbuatan berikut ini apabila dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematik yang ditujukan kepada suatu kelompok penduduk sipil, dan kelompok penduduk sipil tersebut mengetahui akan terjadinya serangan itu:16

a) Pembunuhan; b) Pemusnahan;

14

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Pedoman Unsur-unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando, Jakarta, 2006, hlm. 19

15

Eddy O. S. Hiariej, Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM, Erlangga, Jakarta, 2010, hlm. 15.

16


(25)

c) Perbudakan;

d) Deportasi atau pemindahan paksa penduduk;

e) Pemenjaraan atau perampasan berat atas kebebasan fisik dengan melanggar aturan-aturan dasar hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Perkosaan, perbudakan seksual, pemaksaan prostitusi, penghamilan paksa, pemaksaan sterilisasi, atau suatu bentuk kekerasan seksual lain yang cukup berat;

h) Penganiayaan terhadap suatu kelompok yang dapat diidentifikasi atau kolektivitas atas dasar politik, ras, nasional, etnis, budaya, agama, gender sebagai didefinisikan dalam ayat 3, atau atas dasar lain yang secara universal diakui sebagai tidak diizinkan berdasarkan hukum internasional, yang berhubungan dengan setiap perbuatan yang dimaksud dalam ayat ini atau setiap kejahatan yang berada dalam jurisdiksi Mahkamah;

i) Penghilangan paksa; j) Kejahatan apartheid;

k) Perbuatan tak manusiawi lain dengan sifat sama yang secara sengaja menyebabkan penderitaan berat, atau luka serius terhadap badan atau mental atau kesehatan fisik.

Kejahatan terhadap kemanusiaan termasuk ke dalam yurisdiksi universal, dimana setiap pelaku kejahatan tersebut dapat diadili di negara mana pun tanpa memperdulikan tempat perbuatan dilakukan maupun warganegara pelaku ataupun


(26)

korban.Hal ini dimaksud untuk mewujudkan prinsip no safe heaven (tidak ada tempat berlindung) bagi pelaku kejahatan yang digolongkan ke dalam hastis humanis generis (musuh seluruh umat manusia).Untuk kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana kejahatan perang dan genosida tidak dikenal adanya daluawarsa.17

4. Tanggung Jawab Individu

Dari ketentuan tentang penggolongan kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Statuta Roma di atas dapat dilihat bahwa kejahatan ini tidak saja terjadi pada masa perang atau konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai dan pihak yang bertanggung jawab tidak terbatas kepada aparatur negara tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara.

Pertanggungjawaban individual (individual responsibility) merupakan prinsip yang diikuti sejak diperkenalkan dalam Peradilan Nuremberg. Ketika Pengadilan Nuremberg digelar, para terdakwa menyangkal bahwa mereka memiliki kewajiban di depan hukum internasional. Mereka menegaskan, bahwa sebagai individu, mereka hanya memiliki kewajiban kepada negara Jerman di bawah Nazi dan negara Jermanlah yang harus memikul pertanggungjawaban internasional.18

17

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 22.

18

Arie Siswanto, Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional, Ghalia Indonesia, Bogor, 2005, hlm. 44.

Namun, alasan itu ditolak karena Pasal 6 Piagam London menyatakan “…leaders, organizers, instigators, and accomplices participacing in the formulation or execution of a common plan or conspiracy tocommit any of the


(27)

foregoing crimes ares responsible for all acts performed by any persons in execution of such plan” (para pemimpin, penyelenggara, penghasut dan kaki tangan yang turut serta atau konspirasi untuk melaksanakan kejahatan yang sedang berlangsung, bertanggung jawab atas semua tindakan yang dilakukan oleh setiap orang dalam pelaksaan sebagaimana rencana yang dimaksud).

Indonesia merupakan salah satu negara yang juga menganut prinsip pertanggungjawaban individu sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengailan HAM pasal 1 (4) menyebutkan, “Setiap orang adalah orang perseorangan, kelompok orang, baik sipil, miiliter, maupun polisi yang bertanggung jawab secara individual”.19

5. International Criminal Court

The International Criminal Court (ICC atau ICCt) adalah sebuah organisasi antar pemerintah dan pengadilan internasional yang berkedudukan di Den Haag di Belanda.ICC memiliki yurisdiksi untuk mengadili individu untuk jenis kejahatan internasional seperti genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang dan mungkin suatu hari dapat melaksanakan yurisdiksi atas kejahatan agresi.

ICC mulai berdiri pada 1 Juli 2002, tepat pada saat Statuta Roma diberlakukan.Statuta Roma 1998 merupakan perjanjian multilateral yang berfungsi sebagai dasar dan mengatur dokumen ICC.Negara yang menjadi pihak pada Statuta Roma dapat menjadi anggota ICC dengan meratifikasi Statuta

19

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 22.


(28)

tersebut.Saat ini, sudah terdapat 122 negara yang menjadi pihak dalam Statuta Roma dan menjadi anggota ICC.

ICC diatur dalam Statuta Roma dan merupakan pengadilan pidana internasional pertama yang pemanen, memiliki perjanjian mendasar yang didirikan untuk membantu mengakhiri impunitas bagi para pelaku kejahatan paling serius yang menjadi perhatian masyarakat internasional.20

G. Metode Penelitian

Soerjono Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisasnya.Kecuali itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul dalam gejala yang bersangkutan.

Suatu karya tulis ilmiah harus dapat diuji dengan metode ilmiah agar kebenarannya dapat dipertanggungjawabkan.Metode penelitian yang dipergunakan dalam tulisan ini terdiri dari:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam menyusun skripsi ini adalah penelitian hukum normatif, hukum dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum tersebut dengan masyarakat.

20

http court.aspx diakses tanggal 23 Desember 2014 pukul 09.20 WIB.


(29)

Penelitian ini bersifat Deskriptif-Analitis, dimana penulis menggambarkan dan menjelaskan semua permasalahan dan kemudian menguraikannya lebih lanjut agar diperoleh keterangan dan jawaban yang jelas.

2. Bahan Hukum

Dalam penulisan skripsi ini, sumber data yang digunakan berupa data sekunder yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat yang menjadi landasan utama yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, seperti putusan ICC, Statuta Roma 1998, Konvensi Jenewa dan peraturan hukum lainnya.

b. Bahan hukum sekunder, bahan hukum yang mendukung dan memeberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku dan pendapat para ahli hukum,

c. Bahan hukum tersier, yakni bahan hukum yang dapat memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus, internet, jurnal hukum, surat kabar, dan sebagainya.

3. Alat Pengumpul Data

Dalam hal pengumpulan data untuk mendukung dan melengkapi penulisan skripsi ini penulis menggunakan cara kepustakaan atau Library Research, yaitu pengumpulan data yang diperlukan dengan melakukan penelitian dari berbagai


(30)

sumber buku yang terdapat di perpustakaan juga melalui jurnal hukum, internet, dan sebagainya yang erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini.21

4. Analisis Data

Untuk mengolah data yang didapatkan dari penelusuran kepustakaan, studi putusan, jurnal hukum dan sebagainya maka hasil penelitian ini menggunakan metode analisa kualitatif.Analisa kualitatif merupakan pemaparan tentang teori-teori yang dikemukakan sehingga teori-teori-teori-teori tersebut dapat ditarik beberapa hal yang dapat dijadikan kesimpulan dan pembahasan skripsi ini.

H. Sistematika Penulisan

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dimana tiap-tiap bab terbagi atas beberapa sub bab untuk mempermudah dalam memamparkan materi dari skripsi ini. Adapun sistematika penulisan ini dibuat dalam bentuk uraian yang digambarkan sebagai berikut:

BAB I: PENDAHULUAN

Bab ini adalah bab pengantar yang merupakan gambaran umum yang berisikan tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Permasalahan, Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian, serta Sistematika Penulisan.

21

Ronny Hatinjo Soemitro, Metodeologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia, 1990, hlm. 48.


(31)

BAB II: PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

Dalam bab ini akan dibahas mengenai pengaturan pelanggaran kejahatan HAM berat menurut hukum internasional. Bab kedua ini berisikan tentang sejarah dan latar belakang kejahatan HAM berat, instrumen hukum internasional dalam pelanggaram HAM berat, pengaturan kejahatan kemanusiaan, dan ICC Statuta Roma 1998 tentang kejahatan internasional.

BAB III: TANGGUNG JAWAB INDIVIDU TERHADAP

KEJAHATAN KEMANUSIAAN DALAM KONFLIK BERSENJATA

Pada bab ini penulis akan membahas mengenai tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan dalam suatu konflik bersenjata. Di dalam bab tiga ini akan dijelaskan secara terperinci tentang individu sebagai subjek hukum internasional, paham “Impunity” dalam kejahatan internasional, kejahatan kemanusiaan dalam konflik bersenjata, dan pengaturan tanggung jawab individu terhadap kejahatan kemanusiaan berdasarkan ICC.

BAB IV: PUTUSAN ICC TERHADAP TANGGUNG JAWAB

INDIVIDU DALAM KONFLIK BERSENJATA DI REPUBLIK KONGO

Dalam bab ini penulis akan menguraikan mengenai latar belakang terjadinya konflik bersenjata di Republik Kongo, penetapan konflik


(32)

bersenjata di Republik Kongo sebagai kejahatan internasional oleh Dewan Keamanan PBB, penetapan Germain Katanga sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan, serta putusan ICC dalam kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Germain Katanga.

BAB V: PENUTUP

Bab kelima ini merupakan bab penutup yang memuat kesimpulan dari keseluruhan materi dalam skripsi ini serta dilengkapi dengan saran-saran.


(33)

BAB II

PENGATURAN PELANGGARAN KEJAHATAN HAM BERAT MENURUT HUKUM INTERNASIONAL

A. Sejarah dan Latar Belakang Kejahatan HAM Berat

Situasi aman setelah berakhirnya Perang Dunia dapat dikatakan belum dirasakan oleh masyarakat internasional.Hampir setengah abad setelah Perang Dunia berakhir, masyarakat internasional kembali dikejutkan dengan praktek pembersihan etnis yang terjadi di Eropa yakni di negara bekas Yugoslavia, tindakan pembersihan etnis tersebut sangat mengancam perdamaian dan keamanan internasional.22

Setahun kemudian, konflik antar etnis di Rwanda pun kembali mengejutkan nurani dunia, dalam waktu singkat menelan korban jiwa sekitar 800.000 orang dan mengakibatkan pengungsian sekitar 2 juta orang.

Peristiwa tragis yang terjadi di negara tersebut menewaskan ribuan orang termasuk lebih dari dua ratus personil PBB dan anggota pasukan perdamaian PBB, serta mengakibatkan pengungsian lebih dari 2,2 juta orang.

23

Pasca berakhirnya Perang Dunia II memberikan dampak yang luar biasa di hadapan masyarakat internasional.Hukum Internasional Hak Asasi Manusia

Bahkan sampai sekarang pun juga masih ada terdapat kejahatan yang mengerikan yang terjadi di berbagai belahan dunia ini,

22

Roy Gutman and David Rief, Crimes of War; What Public Should Know, W.W Norton Company, New York-London, 1999, hlm. 53.

23

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM), Op.Cit., hlm. 20.


(34)

mengalami perkembangan yang pesat dan signifikan dengan sendirinya yang menjadi rujukan berbagai aktor seperti negara, organisasi internasional, masyarakat internasional dan individu ketika menanggapi banyak peristiwa pelanggaran Hak Asasi Manusia.

Kejahatan berat hak asasi manusia atau sebutan lain pelanggaran HAM berat dalam hukum internasional berkaitan dengan beberapa ketentuan yang berkembang pasca perang dunia kedua, yang dapat dilihat dalam Pengadilan Nuremberg yang meliputi genocide, War Crime, Crime Against Humanity, diatur dalam International Criminal Tribunal for the former Yugoslavia(ICTY) dan

International Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang meliputi War crimes,

Crimes against humanity, dan Genocide.

Istilah Kejahatan HAM Berat telah dikenal dan digunakan pada saat ini belum dirumuskan secara jelas, baik di dalam resolusi, deklarasi maupun perjanjian HAM. Kejahatan HAM Berat dipahami sebagai suatu perbuatan pelanggaran HAM yang membawa dampak buruk yang luar biasa dahsyat pada jiwa, raga dan peradaban manusia.

Cecilia Meidina Quiroga24

24

Andrey Sujatmoko,Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. Indonesia, Timor Leste, dan lainnya, Gramedia Widiasarana Indonesia, 2005, hlm. 71mengutip Cecilia MedinaQuiroga, The battle of Human Rights; Gross, Systematic Violation and the inter American system, Dordrech/Boston/London: Martinus Nijhoff Publishers, 1988, p 16.

menjelaskan istilah Pelanggaran HAM Berat sebagai suatu pelanggaran yang mengarah kepada pelanggaran-pelanggaran, sebagai alat bagi pencapaian dari kebijakan-kebijakan pemerintah, yang dilakukan dalam kualitas tertentu dalam suatu cara untuk menciptakan situasi hak untuk hidup, hak atas integritas pribadi atau hak atas kebebasan pribadi dari penduduk


(35)

suatu Negara secara terus menerus yang dilanggar atau diancam. Menurut Peter Baehr, pelanggaran berat hak asasi manusia akan menyangkut masalah-masalah yang meliputi the prohibiton of slavery, the right to life, torture and cruel, inhuman or degrading treatment or punishment, genocide, dissappearences and ethnic cleansing.

Berbagai bentuk kejahatan HAM berat tidak cukup diterangkan dalam satu definisi hukum. Kejahatan HAM Berat juga disebutkan di dalam Piagam Pengadilan Militer Internasional Nuremberg, kejahatan yang dikategorikan sebagai kejahatan HAM berat sebagai berikut:25

1. Kejahatan terhadap perdamaian (Crimes against peace). Termasuk kejahatan terhadap perdamaian ialah: merencanakan, mempersiapkan, memulai, atau menjalankan perang agresi, atau perang yang melanggar perjanjian-perjanjian internasional, persetujuan-persetujuan atau jaminan-jaminan; atau turut serta di dalam rencana bersama atau komplotan untuk mencapai salah satu daripada tujuan perbuatan-perbuatan tersebut di atas.

2. Kejahatan Perang (War Crimes). Yang termasuk dalam kejahatan perang ialah: pelanggaran terhadap hukum atau kebiasaan-kebiasaan perang, seperti pembunuhan (murder), perlakuan kejam terhadap penduduk sipil dengan mengasingkan mereka, memberlakukan kerja paksa, atau di wilayah pendudukan memperlakukan tawanan-tawanan perang dengan kejam, membunuh, atau memperlakukan orang yang

25


(36)

berada di laut secara demikian; merampas milik negara atau milik perseorangan, menghancurkan kota atau desa dengan berlebihan atau semena-mena, atau membinasakannya tanpa adanya keperluan militer. 3. Kejahatan terhadap Kemanusiaan (Crimes against humanity). Yang

termasuk kejahatan terhadap kemanusiaan ialah: pembunuhan (murder) membinasakan, memperbudak, mengasingkan dan lain-lain kekejaman di luar perikemanusiaan terhadap penduduk sipil, yang dilakukan sebelum atau sesudah perang; perkosaan hak-hak dasar berdasarkan alasan-alasan politik, ras atau agama. Pemimpin atau orang yang mengorganisir, menghasut dan membantu mereka yang turut serta dalam membentuk atau melaksanakan rencana bersama komplotan untuk melakukan kejahatan-kejahatan tersebut bertanggungjawab atas perbuatan orang-orang yang melakukan rencana tersebut.

International Criminal Court (ICC) yang dibentuk berdasarkan Statuta Roma 1998 mempunyai yurisdiksi atas kejahatan paling serius yang merupakan kejahatan HAM berat yaitu:26

1. Kejahatan genosida

2. Kejahatan terhadap kemanusiaan 3. Kejahatan perang

4. Kejahatan agresi.

26


(37)

Kejahatan HAM Berat termasuk kejahatan dalam yurisdiksi ICC dimana dalam Pasal 5 Statuta Roma disebutkan “the jurisdiction of the court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole…”.

B. Instrumen Hukum Internasional tentang Pelanggaran Ham Berat

Suatu kejahatan bisa dapat terjadi kapan saja dan dimana saja.Kejahatan maupun pelanggaran yang dilakukan tersebut haruslah diberikan hukuman bagi yang melakukannya.Namun masing-masing negara tentunya memiliki hukum nasional yang mengatur hal tersebut.Hal ini dapat menyebabkan ketidaksamaan hukum antara rakyat dari beraneka negara.Mengenai perbedaan dalam pengakuan dan perlindungan hak asasi manusia maka perlu ditafsirkan dan diterapkan perundang-undangan internasional yang seragam sebagai standar minimum oleh negara terhadap tiap individu.

Instrumen internasional merupakan alat yang berupa standar-standar pembatasanpelaksanaan dan mekanisme kontrol terhadap kesepakatan kesepakatan antar negara tentang jaminan HAM.Oleh karena dibutuhkan adanya pembatasan untuk melindungi HAM maka dibuat lah beberapa instrumen hukum internasional yang berlaku universal terbentuk atas kesepakatan antar negara sehingga dapat menjadi pedoman bagi suatu negara dalam menghukum pelaku kejahatan tersebut.

Instrumen hukum internasional bentuknya berupa kovenan (perjanjian) dan protokol.Kovenan,yaitu perjanjian yang mengikat bagi negara-negara


(38)

yangmenandatanganinya. Istilah covenant (kovenan) digunakan bersarnaandengan

treaty (kesepakatan) dan convention (konvensi/perjanjian).Sedangkan protokol merupakan kesepakatan dari negara-negara penandatangannya yang memiliki fungsi untuk lebih lanjut mencapaitujuan-tujuan suatu kovenan.

Terkait dengan pelanggaran HAM berat yang terjadi di belahan dunia maka negara dapat menganut aturan yang terdapat dalam instrumen-instrumen hukum internasional sebagai pedoman dalam menyelesaikan pelanggaran tersebut. Instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan pelanggaran HAM berat diantaranya:27

1. Deklarasi Universal tentang Hak-hak Asasi Manusia (1948)

Selama berumur lebih dari 40 tahun hampir tidak ada negara, pemegang kekuasaan atau organ lain apa pun dari masyarakat nasional atau internasional yang meragukan Deklarasi Universal. Deklarasi Universal merupakan instrumen hidup yang memaksa supaya orang memperhatikan ancaman baru terhadap martabat manusia dan kelangsungan hidup kemanusiaan, seperti persenjataan berlebihan dan senjata penghancur massal, dan juga bahaya potensial akibat manipulasi genetik28

Kembali ke isi Deklarasi Universal sendiri, prinsip kebebasan, persamaan, dan persaudaraan yang berasal dari Revolusi Perancis menjadi dasar untuk membangun Deklarasi Universal.Hak-hak kebebasan merupakan hal yang utama

27

United Nation Human Right,

diakses 15 Februari 2015.

28

The Universal Declaration of Human Rigths its significance in 1988; Report of the Maastricht Utrecht Workshop held from 8 to 10 December 1988 on the occasion of the 40th anniversary of the Universal Declaration, dalam SIM Special No. 9 Teks Pernyataan Maastricht/ Uutrecht 1988 hlm 85 dan seterusnya.


(39)

baik yang berhubungan dengan kebebasan integritas pribadi maupun hak-hak politik. Prinsip kebebasan terdapat dalam rumus non diskriminasi dan dalam persamaan di depan hukum.29

Selain ketiga prinsip di atas, Deklarasi Universal juga mengatur ketentuan-ketentuan lain yang berkaitan dalam pelanggaran HAM berat seperti larangan perbudakan, larangan penganiayaan, dan larangan diskriminasi.Di dalam Pasal 4 DUHAM disebutkan bahwa tidak seorang pun dapat diperbudak atau diperhambakan dan segala bentuk perdagangan budak harus dilarang. Sedangkan untuk ketentuan larangan penganiayaan terdapat dalam Pasal 5 DUHAM yang menyebutkan bahwa tidak seorang pun dapat dianiaya atau diperlakukan secara kejam dengan tak mengingat kemanusiaan atau pun cara perlakuan atau hukuman yang menghinakan. Negara berkewajiban mengekstradisi atau menuntut pelaku penganiayaan tanpa dibatasi oleh kewarganegaraan pelaku penganiayaan atau tempat pelanggaran yang dituduhkan.30

2. Charter of The United Nation (Piagam PBB)

Meskipun DUHAM telah diterima tetapi karena sifatnya sebagai deklarasi, maka tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, sehingga tujuan deklarasi sebagai pengakuan martabat manusia sulitdiwujudkan, Untuk itu supaya tujuan DUHAM, dapat menjadi kenyataandiperlukan alat/instrumen HAM internasional lainnya.

Piagam PBB ditandatangani pada tanggal 26 Juni 1945, di San Francisco, pada akhir Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional, dan mulai berlaku

29

Peter Baehr, Pieter Van Dijk, Adnan Buyung Nasution, Leo Zwaak, Instrumen Internasional Pokok Hak-Hak Asasi Manusia, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 1997, hlm. 62

30


(40)

pada tanggal 24 Oktober 1945. Statuta Mahkamah Internasional merupakan bagian integral Piagam tersebut.

Dalam mukadimah Piagam PBB disebutkan bahwa anggota PBB bertujuan untuk menyelamatkan generasi berikut dari bencana perang, yang dua kali dalam hidup kita telah membawa kesedihan yang tak terhitung bagi umat manusia, untuk menegaskan kembali iman dalam hak asasi manusia, dalam martabat dan nilai pribadi manusia, dalam kesetaraan hak laki-laki dan perempuan dan negara-negara besar dan kecil, untuk membangun kondisi dimana keadilan dan penghormatan terhadap kewajiban yang timbul dari perjanjian dan sumber hukum internasional dapat dipertahankan, danuntuk mempromosikan kemajuan sosial dan standar hidup yang lebih baik dalam kebebasan yang lebih besar.31

1. Untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional, dan untuk itu: untuk mengambil langkah-langkah kolektif yang efektif untuk pencegahan dan penghapusan ancaman terhadap perdamaian, dan untuk menekan tindakan agresi atau pelanggaran lain dari perdamaian, dan untuk membawa dengan cara damai, dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan dan hukum internasional, penyesuaian atau penyelesaian sengketa internasional atau situasi yang mungkin menyebabkan pelanggaran perdamaian;

Adapun tujuan dari organisasi ini ialah:

2. Untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa didasarkan pada penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib

31


(41)

sendiri rakyat, dan untuk mengambil tindakan yang tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian universal;

3. Untuk mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan masalah internasional karakter ekonomi, sosial, budaya, atau kemanusiaan, dan dalam mempromosikan dan mendorong penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan dasar bagi semua tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa, atau agama; dan

4. Untuk menjadi pusat harmonisasi tindakan negara dalam pencapaian tujuan tersebut umum.

3. Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial

Semua manusia pada dasarnya sama di hadapan hukum dan berhak atas perlindungan hukum sama terhadap diskriminasi dan terhadap hasutan apapun untuk diskriminasi. Adanya suatu diskriminasi antara manusia baik atas dasar ras, warna kulit, atau asal usul etnis merupakan suatu penghalang bagi hubungan persahabatan dan damai di antara bangsa-bangsa dan dapat mengganggu perdamaian dan keamanan antar negara.

Dengan demikian maka dibentuklah konvensi ini. Tujuan dari konvensi ini sendiri ialah untuk menghapus adanya diskriminasi rasial dalam segala bentuknya dan menjamin hak setiap orang tanpa membedakan ras, warna kulit, asal-usul kebangsaan atau etnis, persamaan di depan hukum dan khususnya menikmati hak-hak lainnya seperti hak-hak katas perlakuan yang sama di hadapan pengadilan, hak-hak


(42)

untuk kebangsaan, hak kemana pribadi dan perlindungan oleh negara terhadap kekerasan baik yang ditimbulkan oleh pejabat pemerintah atau kelompok indivdu atau lembaga, dan hak lainnya.

4. Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida

Genosida menimbulkan kerugian besar pada umat manusia dalam setiap periode sejarah.Dalam rangka untuk membebaskan umat manusia maka diperlukan kerjasama internasional yang akhirnya melahirkan konvensi ini.

Genosida dalam konvensi ini merupakan perbuatan yang dilakukan di masa damai atau pada saat perang. Genosida berarti setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan secara keseluruhan atau sebagian nasional, etnis, ras, atau kelompok agama seperti membunuh anggota kelompok, menyebabkan tubuh atau mental yang berat, membawa kehancuran fisik pada kondisi kehidupan kelompok, melakukan tindakan yang mencegah kelahiran di dalam kelompok, serta memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok ke kelompok lain.

Orang yang didakwa dengan genosida atau tindakan-tindakan lain akan diadili oleh pengadilan yang kompeten dari negara di wilayah dimana perbuatan itu dilakukan, atau dengan pengadilan pidana internasional seperti mungkin memiliki yurisdiksi terhadap pihak-pihak tersebut yang akan menerima yurisdiksinya.


(43)

5. Konvensi tentang Non-Berlakunya Hukum Keterbatasan untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan Terhadap Kemanusiaan

Dalam pembukaan konvensi ini disebutkan mengingat bahwa kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu kejahatan paling parah dalam hukum internasional.Tidak ada deklarasi khidmat, instrumen atau konvensi yang berhubungan dengan penuntutan dan penghukuman terhadap kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan ketentuan yang dibuat untuk jangka waktu terbatas.

Konvensi ini menyebutkan bahwa tidak ada batasan hukum yang berlaku bagi kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Konvensi ini berlaku untuk perwakilan dari otoritas negara dan individu swasta yang berpartisipasi atau langsung menghasut orang lain untuk setiap kejahatan tersebut.

6. Konvensi-Konvensi Jenewa dan Protokolnya

Jenis tindak pidana internasional atau pelanggaran hukum hak-hak asasi manusia dalam konflik bersenjata baik internasional maupun non internasional diatur dalam konvensi-konvensi Jenewa dan protokol, yaitu:32

a. Geneva Convention for The Amelioration of the condition of the wounded and sick in armed force in the field, of August 12, 1949, mengatur perbaikan kondisi yang luka dan sakit dalam pertempuran di darat, melindungi kombatan yang luka dan sakit serta orang-orang yang

32

Abdussalam, Adri Desasfuryanto, Hukum Pidana Internasional 2 Cetakan Ketiga Edisi Revisi, PTIK, Jakarta, 2012, hlm. 6-7.


(44)

menyertai mereka, bangunan dimana mereka berlindung serta peralatan yang dipakai mereka

b. Geneva Convention for the Amelfration of the Condition of wounded, sick and ship wrecked members of Armed forces at sea of August 12, 1949, mengatur mengenai perbaikan kondisi luka dan sakit dan korban karam anggota angkatan bersenjata di laut.

c. Geneva Convention relative to the Treatment of Prisoners of War, of August 12, 1949, mengatur mengenai perlakuan terhadap tawanan perang, melindungi anggota angkatan bersenjata yang menjadi tawanan perang. d. Geneva Convention relative to the Protection of Civilian Persons in Time

of War, of August 12, 1949, mengatur mengenai perlindungan penduduk sipil pada waktu perang.

e. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of International Armed Conflicts (Protocol I), mengatur mengenai perluasan perlindungan yang diberikan kepada penduduk sipil dan membatasi alat dan cara berperang dalam sengketa bersenjata internasional.

f. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949, and relating to the Protection of Victims of Non-International Armed Conflicts (Protocol II), mengatur mengenai perlindungan yang membatasi diri penduduk sipil dalam sengketa bersenjata non internasional.


(45)

g. Geneva Convention 10 Oktober 1980, berisikan tentang pelarangan konvensional tertentuyang dapat menimbulkan luka yang luar biasa atau akibat membabi buta.

Adapun pelanggaran berat terhadap konvensi Jenewa antara lain:33 1) Pembunuhan yang disengaja

2) Penganiayaan atau tindakan yang dapat merendahkan martabat umat manusia

3) Pemilikan dan perusakan harta benda secara meluas

4) Memaksa tawanan perang untuk mengabdi kepada penguasa perang 5) Menghilangkan hak tawanan perang atas peradilan yang jujur dan

teratur

6) Meniadakan atau mentransfer penduduk dengan paksa 7) Menjatuhkan hukuman kurungan

8) Melakukan penyanderaan

C. Pengaturan Kejahatan Kemanusiaan

Seperti yang telah diuraikan dalam bab sebelumnya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” dikemukakan pertama kali pada tahun 1915 melalui deklarasi pertama tiga negara Perancis, Inggris, Rusia. Namun ternyata istilah ini hanyalah sebuah perhatian jangka pendek dalam menyelesaikan permasalahan

33


(46)

politis, hal ini terlihat dalam kenyataannnya setelah deklarasi tersebut tidak ada upaya yang konkret dari deklarasi bersama tersebut.34

Pengaturan lebih tegas mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Piagam London. Kejahatan tersebut mencakup35

Kejahatan terhadap kemanusiaan juga diatur dalam Pasal 5 huruf c Statuta IMTFE yang menyatakan

namely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political, racial or religious grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrate”,

(pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, pemindahan secara paksa dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang ditujukan pada masayarakat sipil, sebelum atau selama perang, atau penindasan-penindasan politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau dalam hubungannya dengan kejahatan lain yang termasuk di dalam ruang lingkup pengadilan ini, apakah melanggar atau tidak hukum domistik negara dimana perbuatan dilakukan).

36

34

Tolib Effendi, Op.Cit., hlm. 100.

35

Ibid.

36

Ibid.

Crimes against humanityNamely, murder,extermination, enslavement, deportation, and other inhumane acts committed against any civilian population, before or during the war, or persecutions on political or racial grounds in execution of or in connection with any crime within the jurisdiction of Tribunal, whether or not in violation of the domestic law of the country where perpetrated. Leaders, organizers, instigators and accomplices participacing in the formulation or execution of a common plan or conspiracy to commit any of the foregoing crimes are responsible for all acts performed by any person in execution of such plan”,

(yang termasuk kejahatan kemanusiaan adalah pembunuhan, pemusnahan, pebudakan, deportasi dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap populasi sipil mana pun, sebelum dan selama perang, atau penindasan berdasarkan politik atau ras sebagai bagian atau dilakukan sehubungan dengan bentuk kejahatan lain yang masuk dalam yurisdiksi pengadilan ini, baik tindakan tersebut dianggap sebagai kejahatan atau tidak).


(47)

Kejahatan dalam kemanusiaan dalam Konvensi tentang Ketidakberlakuan Pembatasan Aturan Hukum untuk Kejahatan Perang dan Kejahatan terhadap Kemanusiaan, Resolusi Majelis Umum PBB 2391 (XXIII), 26 November 1968, tercantum dalam Pasal 1 (b):37

Dalam Statuta ICTY, kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Pasal 5 yang menyebutkan Pengadilan Internasional memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan selama konflik senjata berlangsung, yang bersifat internasional maupun internal dan ditujukan langsung terhadap penduduk sipil:

“Kejahatan-kejahatan kemanusiaan apakah dilakukan dalam waktu perang maupun dalam waktu damai seperti yang didefinisikan dalam Piagam Tribunal Militer Internasional, Nuremberg, 8 Agustus 1945 dan dikuatkan dengan resolusi-resolusi Majelis Umum PBB, 3 (1) 13 Februari 1946 dan 95 (1) 11 Desember 1946, pengusiran dengan bersejata, atau pendudukan dan perbuatan-perbuatan tidak manusiawi, yang diakibatkan dari apartheid dan kejahatan genosida, sekalipun perbuatan-perbuatan tersebut tidak merupakan kejahatan terhadap hukum domestik dari negara-negara tempat kejahatan-kejahatan dilakukan”.

Pengaturan mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan telah banyak dirumuskan dan dapat dilihat dari pengaturan yang telah disebutkan di atas.Selain itu, kejahatan ini juga dirumuskan dalam tiga statuta lainnya, yaitu Statuta ICTY, Statuta ICTR, dan Statuta Roma 1998.

38

a) Pembunuhan; b) Pemusnahan; c) Perbudakan; d) Pendeportasian;

37

Eddy Omar Sharif Hiariej.Op.Cit.,hlm. 62.

38


(48)

e) Penahanan; f) Penyiksaan; g) Pemerkosaan;

h) Penindasan berdasarkan politik, ras, dan agama; i) Tindakan tidak manusiawi lainnya.

Dalam Statuta ICTY, kejahatan yang disebutkan di atas haruslah dilakukan pada saat perang sejak tahun 1991, dan dilakukan di negara bekas Yugoslavia termasuk Macedonia dan Kosovo.39

Berbeda dengan Statuta ICTY, Statuta ICTR memberikan pengaturan tentang kejahatan kemanusiaan sedikit berbeda.Pengaturan kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 3 Statuta ICTR sebagai berikut “Pengadilan Internasional untuk Rwanda memiliki kemampuan untuk menuntut setiap orang yang bertanggung jawab atas kejahatan berikut ini yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang sistematis dan meluas terhadap penduduk sipil atas dasar kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.”40

a) Pembunuhan; b) Pemusnahan; c) Perbudakan; d) Pendeportasian; e) Penahanan; f) Penyiksaan; g) Pemerkosaan;

39

Ibid. hlm. 103.

40


(49)

h) Penindasan terhadap politik, ras, dan agama; i) Tindakan tidak manusiawi lainnya.

Perbedaan mendasar pengaturan mengenai kejahatan kemanusiaan dari kedua Statuta di atas dapat dilihat dari kondisi saat perbuatan tersebut dilakukan.Dalam Statuta ICTY ditegaskan bahwa syarat terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perbuatan tersebut dilakukan pada saat situasi konflik bersenjata baik bersifat internasional maupun bersifat internal.Sedangkan dalam Statuta ICTR, kejahatan kemanusiaan terjadi ketika perbuatan tersebut dilakukan sebagai bagian dari serangan yang bersifat meluas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama.

Perkembangan hukum internasional dalam memerangi kejahatan terhadap kemanusiaan mencapai puncaknya pada 17 Juli 1998. Konferensi Diplomatik PBB mengesahkan Statuta Roma tentang Pendirian Mahkamah Pengadilan Internasional, yang akan mengadili pelaku kejahatan yang paling serius dan menjadi perhatian masyarakat internasional, yaitu: Genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan agresi. Dimasukkannya kejahatan terhadap kemanusiaan ke dalam Statuta Roma mengokohkan konsep tersebut menjadi suatu treaty norm.41

Pengaturan yang paling lengkap mengenai kejahatan terhadap kemanusiaan terdapat dalam Statuta Roma 1998. Secara substantif pengaturan

41

Mahkamah Agung Republik Indonesia bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation dan Lembaga Studi dan Advokat Masyarakat (ELSAM),Op.Cit., hlm 23.


(50)

dalam Statuta ini hampir sama dengan kedua Statuta sebelumnya namun dalam Statuta Roma lebih dipertegas dan dilengkapi.

Kejahatan kemanusiaan diatur dalam Pasal 7 Statuta Roma dimana ayat (1) membahas tentang jenis perbuatan yang termasuk dalam kualifikasi kejahatan terhadap kemanusiaan serta ayat (2) dan (3) mengenai penjelasan terhadap istiliah yang terdapat dalam ayat (1).

(1) Untuk kepentingan dari statuta ini, kejahatan terhadap kemanusiaan berarti setiap tindakan berikut yang dilakukan sebagai bagian dari serangan meluas atau sistematis yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, dengan pengetahuan terhadap serangan:

a) Pembunuhan; b) Pemusnahan; c) Perbudakan;

d) Pendeportasian atau memindah secara paksa suatu penduduk;

e) Menahan atau bentuk lain dari perampasan kebebasan fisik yang melanggar aturan dasar dari hukum internasional;

f) Penyiksaan;

g) Pemerkosaan, perbudakan seksual, prostitusi secara paksa, penghamilan paksa, pemandulan paksa, atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lainnya yang sama beratnya;

h) Penindasan terhadap kelompok yang bisa diidentifikasi atau kelompok politis, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin


(51)

sebagaimana dijelaskan dalam ayat (3) atau kejahatan lain yang termasuk dalam yurisdiksi peradilan;

i) Penghilangan orang secara paksa; j) Kejahatan apartheid;

k) Tindakan tidak manusiawi lainnya dengan karakter yang sama secara sengaja menyebabkan penderitaan berat atau luka terhadap tubuh atau mental atau kesehatan fisik.

(2) Untuk kepentingan ayat (1):

a) Serangan yang ditujukan terhadap penduduk sipil diartikan sebagai perbuatan yang terdiri dari serangkaian tindakan sebagaimana disebutkan dalam ayat (1) terhadap penduduk sipil yang berkaitan dengan atau merupakan tindak lanjut dari kebijakan negara atau organisasi untuk melakukan penyerangan tersebut.

b) Pemusnahan diartikan sebagai tindakan yang termasuk di antaranya penerapan kondisi tertentu yang mengancam kehidupan secara sengaja antara lain menghambat akses terhadap makanan dan obat-obatan, yang diperkirakan dapat menghancurkan sebagian penduduk.

c) Perbudakan diartikan sebagai segala bentuk pelaksanaan hak milik terhadap objek yang berupa orang termasuk tindakan yang mengangkut objek tersebut, khususnya perempuan dan anak-anak. d) Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa diartikan sebagai


(52)

lainnya dari tempat dimana penduduk secara sah berada, tanpa dasar yang dibenarkan menurut hukum internasional.

e) Penyiksaan diartikan tindakan secara sengaja untuk memberikan rasa sakit atau penderitaan, baik fisik maupun mental, orang-orang yang ditahan atau di bawah kekuasaan pelaku. Kecuali penyiksaan teersebut tidak termasuk rasa sakit atau penderitaan yang hanya muncul secara inheren atau incidental dari pengenaan sanksi yang sah.

f) Penghamilan paksa berarti penyekapan secara tidak sah seorang perempuan yang dibuat hamil secara paksa, dengan maksud mempengaruhi komposisi etnis suatu populasi atau merupakan pelanggaran berat lainnya terhadap hukum internasional. Definisi ini tidak dapat ditafsirkan dapat mempengaruhi hukum nasional terkait kehamilan.

g) Penindasan diartikan penyangkalan keras dan sengaja terhadap hak-hak dasar dengan cara bertentangan dengan hukum internasional dengan alasan identitas sebuah kelompok atau kolektif.

h) Kejahatan apartheid diartikan tindakan tidak manusiawi dengan karakter yang serupa dengan tindakan-tindakan yang disebutkan dalam ayat (1), dilakukan dalam konteks penindasan sistematis yang dilakukan oleh suatu rezim dan dominasi satu kelompok ras tertentu


(53)

dari kelompok ras lainnya dengan maksud untuk mempertahankan rezim tertentu.42

i) Penghilangan orang secara paksa diartikan sebagai penangkapan, penahanan atau penculikan terhadap seseorang atas dasar wewenang, dukungan atau persetujuan suatu negara atau pun organisasi politik, yang kemudian diikuti oleh penolakan pengakuan kebebasan atau pemberian informasi tentang keberadaan orang-orang tersebut, dengan maksud untuk menghilangkan perlindungan hukum dalam waktu yang lama.

(3) Untuk tujuan statuta ini dapat dimengerti, istilah “gender” merujuk pada dua jenis kelamin, laki-laki dan perempuan dalam konteks masyarakat. Istilah “gender” tidak mengindikasikan adanya pengertian lain selain yang di atas.43

Jika dalam Statuta ICTY mensyaratkan bahwa tindakan kejahatan kemanusiaan dilakukan dalam konflik bersenjata, baik berskala internasional maupun internal, dan di dalam Statuta ICTR mensyaratkan adanya serangan secara luas dan sistematis serta perbuatan penyerangan tersebut dilakukan atas dasar diskriminasi kebangsaan, politik, etnis, ras, atau agama, maka dalam Statuta Roma 1998 memiliki syarat yang lebih lengkap dan rinci dibanding kedua Statuta sebelumnya. Syarat tersebut antara lain:44

42

Ketentuan mengenai Apartheid dapat dilihat secara lebih rinci dalam dokumen

International Convention on the Supression and Punishment of the Crime of Apartheid, yang diterima Majelis Umum PBB dengan Resolusi Nomor 3068 (XXVIII) tahun 1973.

43

Statuta Roma 1998

44


(54)

1. Luas dan sistematis.

Chesterman berpendapat bahwa istilah luas (widespread) merujuk pada banyaknya jumlah korban, sedangkan istilah sistematis (systematiche)

merujuk pada adanya kebijakan atau rencan untuk melakukan serangan yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.

2. Sebagai bagian dari serangan yang luas dan sistematis.

Perbuatan yang dimaksud sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan dalam Pasal 7 Statuta Roma 1998 harus merupakan bagian dari serangan yang luas dan sistematis.45

3. Dengan pengetahuan terhadap adanya serangan.

Istilah “with knowledge of the attack” dalam kalimat “…acts committed…with knowledge of the attack” mensyaratkan bahwa upaya dikatakan ada kejahatan terhadap kemanusiaan, pelaku yang melakukan tindakan yang dirinci sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan harus mengetahui bahwa di lingkungannya sedang terjadi serangan yang luas dan sistematis terhadap target kejahatan.

Dari ketentuan dalam Statuta di atas maka dapat dilihat bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan tidak saja terjadi dalam masa perang atau pada saat konflik bersenjata tetapi juga dapat terjadi pada masa damai.Pihak yang bertangggung jawab terhadap kejahatan ini tidak terbatas kepada aparatur negara (state actor) saja, tetapi juga pihak yang bukan dari unsur negara (non-state actors).

45


(55)

D. ICC Statuta Roma 1998 tentang Kejahatan Internasional

Salah satu latar belakang pendirian Statuta Roma adalah karena kelemahan keempat Peradilan Internasional ad hoc yang telah terbentuk sebelumnya yang ditujukan untuk menghukum pelaku kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, dan kejahatan terhadap perdamaian. Keempat Peradilan tersebut ialah Peradilan Nuremberg, Peradilan Tokyo, ICTY, dan ICTR. Kelemahan-kelemahan yang mendasar tersebut, antara lain:46

1. Victor’s Justice

Dari keempat peradilan internasional yang telah tebentuk semuanya mempunyai kesamaan, yaitu dianggap bertanggung jawab atas kejahatan yang terjadi adalah individu-individu dari negara yang kalah perang, sementara bagi negara-negara pemenang perang akan terbebas dari tanggung jawab. Istilah victor’s justice ini menggambarkan keadilan bagi pemenang.

2. Selective Justice

Kelemahan lain yang terdapat dari peradilan ad hoc ialah terjadinya keadilan tebang pilih (selective justice). Tidak semua kasus kejahatan internasional paling serius mempunyai kesempatan yang sama untuk dibentuk pengadilan internasional hanya kasus-kasus tertentu yang dianggap mempengaruhi stabilitas dan keamanan internasional saja yang akan diadili, dan hanya kasus yang melibatkan negara-negara penting yang mempunyai kesempatan untuk diselesaikan. Hal ini berarti akan ada pelaku yang tidak ditindak dan akan ada korban yang tidak mendapatkan keadilan dan kompensasi.

46

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional, Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional, Jakarta, 2009, hlm. 5 – 6.


(56)

3. Tidak adanya efek jera dan pencegahan di masa mendatang

Meskipun terdapat kemajuan yang pesat dari kedua peradilan pidana internasional pasca Perang Dunia II namun kedua peradilan tersebut masih memiliki keterbatasan yang sama diantaranya tidak adanya kerjasama dengan negara dimana kejahatan internasional yang serius terjadi, tidak bisa menghentikan konflik yang sedang berlangsung, serta jangkauan dari penuntutan terbatas pada kategori konflik yaitu konflik internal atau internasional.

4. Muatan Politis

Lebih dari setengah abad sejak peradilan Nuremberg dan Tokyo, banyak negara gagal membawa mereka yang bertanggung jawab atas kejahatan genosida, kejahatan kemanusiaan, dan kejahatan perang ke pengadilan.Hal ini disebabkan karena mekanisme pembentukan pengadilan internasonal ad hoc hanya bisa dilakukan melalui Dewan Keamanan PBB.Artinya, nasib keadilan sangat tergantung pada komposisi anggota Dewan Keamanan PBB dan penggunaan hak veto oleh anggota tetap Dewan Keamanan PBB. Dalam hal ini maka kepentingan politik akan kebih banyak berperan daripada pertimbangan hukum dan keadilan.

Berbagai kekurangan dan kegagalan dari peradilan-peradilan internasional

ad hoc di atas akhirnya menggerakkan PBB untuk melaksanakan konferensi pada tahun 1998 untuk mendirikan suatu Mahkamah Pidana yang permanen yang diharapkan dapat menyempurnakan peradilan-peradilan internasional sebelumnya.


(1)

Effendi, Tolib, S.H., M.H. Hukum Pidana Internasional. 2014. Yogyakarta: Pustaka Yustisia.

Gutman, Roy, David Rief. Crimes of War, What Public Should Know. 1999. New York- London: W.W. Norton Company.

Hiariej, Eddy O. S. Pengantar Hukum Pidana Internasional. 2009. Jakarta: Erlangga.

__________________. Pengadilan Atas Beberapa Kejahatan Serius Terhadap HAM. 2010. Jakarta. Erlangga.

Hinggorani. R. C. Modern International Law, edisi ke-2. 1984. India: Oceanan Publication, Inc.

Jacques, Genevieve. Beyond Impunity: An Ecumenical Approach to The Truth, Justice, and Reconciliation. 2000. Geneva: WWC Publication.

Koalisi Masyarakat Sipil untuk Mahkamah Pidana Internasional.Mengenal ICC Mahkamah Pidana Internasional. 2009. Jakarta.

Lee, Win-Chiat. Intermational Crimes and Universal Jurisdictin in Larry May and Zachary Hoskins (ed).International Criminal Law and Philosophy, 2010. Nnew Yok: Cambridge University Press.

Oberg, Marko Divac. The Legal Effect of Resolution of The UN Security Council and General Assembly in The Jurisprudence of The ICJ. 2006. 16 Eur.J.Int’l.L.

Parthiana, I Wayan.Hukum Pidana Internasional dan Ekstradisi. 2004. Bandung: Yrama Widya.


(2)

Mahkamah Pidana Internasional dan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM).Statuta Roma: Mahkamah Pidana Internasional. Cetakan Pertama, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM). 2000. Jakarta.

Mahkamah Agung Republik Indonesia Bekerjasama dengan Kedutaan Besar Kerajaan Denmark, The Asia Foundation, dan Lembaga Studi Advokasi Masyarakat (ELSAM).Pedoman Unsur-Unsur Tindak Pidana Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat dan Pertanggungjawaban Komando. 2006.

Schabas, William A. An Introduction to The International Criminal Court: Second Edition. 2004. New York: Cambridge University Press.

Shaw, Malcolm N. International Law, Fourth Edition. 1997. Cambridge: Cambridge University Press.

Shedgret, E. Van. The Criminal Responsibility of Individual For Violation of International Humanitarian Law. 2003. Den Haag: Asser Press.

Siswanto, Arie. Yurisdiksi Material Mahkamah Kejahatan Internasional. 2005. Bogor: Ghalia Indonesia.

Soemitro, Ronny Hartinjo. Metodeologi Penelitian Hukum. 1990. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Suarda, I Gede Widhiana, S.H., M.Hum..Hukum Pidana Internasional. 2012. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.

Suarda, I Gede Widhiana.Hukum Pidana Internasional (Sebuah Pengantar). 2012. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti.


(3)

Sujatmoko, Andrey. Tanggung Jawab Negara atas Pelanggaran Berat Hak Asasi Manusia. 2005: Gramedia Widiasana Indonesia.

Internet

Charter of The United Nation, h t t p:// www. un. org / en/ documents/ charter/ preamble.shtml

International Criminal Court, “Chronolgy of the Inernational Criminal Court”

Februari 2015.

International Criminal Court, http://www.icc-cpi.int/ enmenus/ icc/ about% 20th% 20court/ Pages/ about% 20the% 20court.aspx diakses 23 Desember 2014.

International Criminal Court Investigation, http:// en.wikipedia.org/ wiki/ International_Criminal_Court_investigations#cite_note-prosecutor-42

International Justice Monitor,Germain Katanga & Mathieu Ngudjolo Chui at the International Criminal Court

diakses 1 Maret 2015.


(4)

Wikipedia Ensiklopedia Bebas, Kejahatan Kemanusiaa wiki/Kejahatan_Kemanusiaan

, Genocidairés,

diakses 16 Desember 2014.

19 Maret 2015.

, Germain Katanga

, Republik Demokratik Kongo, http:// en.wikipedia.org/ wiki/ Democratic_Republic_of_the_Congodiakses 18 Maret 2015.

Artikel dan Jurnal

Amnesty International, DRC: All you need to know about the historic case against Germain Katanga,https://www.amnesty.org/en/articles/news/2014/03/drc-all-you-need-know-about-historic-case-against-germain-katanga/

Adwani, Jurnal Perlindungan Terhadap Orang-Orang dalam Daerah Konflik Bersenjata Menurut Hukum Humaniter Internasional, 2012.

Jurnal Hukum Jantera, Volume II No. 1. Pradjasto, Antonio. Konvensi Genosida Melindungi Hak Asasi Manusia-Memerangi Impuniats. 2004. Jakarta. Unpad Journal of International Law. Volume 5 No. 2: Urgensi Indonesia Untuk

Mengaksesi Rome Statute on The Establishment of The International Criminal Court. 2006. Departement of International Law Faculty of Law Padjadjaran University.


(5)

Charter of The International Military Tribunal for The Far East Charter of The United Nation

Convention on the Non-Applicability of Statutory Limitations to War Crimes and Crimes against Humanity

Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) 1948

International Convention on the Elimination of All Forms of Racial Discrimination

International Convention on the Supression and Punishment of the Crime of Apartheid

Konvensi Jenewa 1949 Piagam London

Protokol Tambahan II Konvensi Jenewa 1949 Statuta ICTR

Statuta ICTY Statuta Roma 1998

Sumber lain

Garner, Bryan A. Black’s Law Dictionary, Seventh Edition. 1999. St. Paul Minnesota: West Group.

Judgment in the case of The Prosecutor v. Germain Katanga, ICC-01/04-01/07 (original version in Francaís)


(6)

International Criminal Court, Summary of Trial Chamber II’s Judgment in the case of The Prosecutor v. Germain Katanga.

The Universal Declaration of Human Rigths its significance in 1988; Report of the Maastricht Utrecht Workshop held from 8 to 10 December 1988 on the occasion of the 40th anniversary of the Universal Declaration.

United Nations Security Council Resolution 1484 (30 May 2003) United Nations Security Council Resolution 1493 (28 July 2003) United Nations Security Council Resolution 1533 (12 March 2004) United Nations Security Council Resolution 1552 (27 July 2004) United Nations Security Council Resolution 1555 (29 July 2004)

United Nations Security Council, Special report on the events in Ituri, January 2002-December 2003, United NationsDocument S/2004/573 (16 July 2004) at DRC-OTP-00129-267 at 273

United Nations Security Council, Special report on the events in Ituri, January 2002-December 2003, United Nations Document S/2004/573 (16 July 2004) at DRC-OTP-00129-267 at 272

United Nations Security Council, Special report on the events in Itun, January 2002-December 2003, United Nations Document S/2004/573 (16 July 2004) at DRC-OTP-00129-267 at 274

United Nations Security Council, Special report on the events m Ituri, January 2002-December 2003


Dokumen yang terkait

Tinjauan Konvensi Jenewa 1949 Atas Dugaan Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Non Internasional di Suriah

2 80 104

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 15

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 1 2

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 27

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

2 3 40

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi) Chapter III V

0 0 54

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

1 6 7

Tanggung Jawab Individu Terhadap Penghancuran Benda Budaya Dalam Konflik Bersenjata Di Mali (Studi Kasus Atas Putusan Icc Tahun 2016 Pada Kejahatan Ahmad Al Faqi Al Mahdi)

0 0 30

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan hukum internasional, termasuk - Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada

0 0 21

Tanggung Jawab Individu Terhadap Kejahatan Kemanusiaan Dalam Konflik Bersenjata Di Wilayah Ituri Republik Kongo(Studi Kasus Atas Putusan Icc Pada Kejahatan Germain Katanga)

0 1 10