Makalah Hukum internasional Doktrin Inte
Makalah Hukum internasional
Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
Dosen
: Holiwan SH. MH
Disusun oleh:
Daman huri
: NPM 10 - 192
Ferry moris
: NPM 10 - 028
Abduloh
: NPM 10 - 005
Yuliya
:
UNIVERSITAS SINGA PERBANGSA
KARAWANG
Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
I
Latar Belakang
Dalam khazanah hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan (Humanitarian
Intervention) telah menimbulkan perdebatan yang hangat. Perdebatan timbul karena doktrin
tersebut berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum international;
Prinsip kedaulatan negara dan Prinsip non-intervensi. Piagam PBB telah mengatur prinsip
kedaulatan negara dan non-intervensi dalam Pasal 2 (1) yang berbunyi :
“The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members.”
Pasal 2 (4) :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force
against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Pasal 2 (7) :
“Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene
in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall
require the Members to submit such matters to settlement under the present charter,
but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under
chapter VII.”
Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan
antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan
dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober
1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip
Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang
Berkaitan dengan Piagam PBB.
Namun, dalam praktek negara-negara dewasa ini, prinsip-prinsip tersebut kerap
“dilanggar” dengan alasan-alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan di Irak tahun 1991,
Somalia tahun 1992 dan Kosovo tahun 1999 dapat dijadikan bukti bahwa doktrin tersebut
telah dilakukan oleh negara-negara dalam hubungan internasionalnya.
Tindakan negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari
bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam
kedamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan dibentuknya PBB. Atas dasar
itulah mengapa beberapa negara mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak
melanggar ketentuan dalam hukum internasional.
Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi
manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hakhak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antarnegara. Indikasinya dapat terlihat
dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (1948) serta International Convenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR) 1966. Pada awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi
manusia, tiap-tiap negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar
adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Namun, dalam Deklarasi Wina
tahun 1993, tiap-tiap negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia itu bersifat
universal (universal), tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan
(interdependence), saling terkait (interrelated).
Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM dewasa ini dapat
dikatakan sudah melampaui batas teritorial (wilayah). Argumen tersebut menjadi lumrah jika
melihat sejarah perdaban manusia dan hubungan antarnegara. Tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh negara terhadap penduduknya telah memberikan pelajaran berharga,
bahwa kewenangan negara atas penduduknya harus dibatasi. Pembatasan tersebut tidak
dilahat sebagai pemangkasan kedaulatan negara, namun sebuah tindakan pencegahan agar
negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Kelanjutan pembatasan kewenangan itu di lain
pihak akan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat internasional untuk meningkatkan
kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan.
Dengan asumsi tersebut di atas, maka penerapan doktrin intervensi kemanusiaan dalam
hukum internasional publik menjadi sangat penting. Apalagi jika dilihat bahwa peristiwaperistiwa di dunia saat ini cukup banyak memperlihatkan bahwa pelanggaran atas hak asasi
manusia dalam yurisdiksi domestik negara kerap terjadi. Pembatasan kebebebasan hak sipil
dan politik yang terjadi di Myanmar, tragedi kemanusiaan di Sudan dan konflik yang terjadi
di Timor-Timur dapat dijadikan bukti bahwa dunia ini sangat rentan akan terpenuhinya
keamanan dan kedamaian. Oleh karena itu, peran negara juga organisasi internasional
menjadi sangat penting dalam pencampaian tujuan-tujuan global tersebut.
II.
Permasalahan
Dengan pembahasan dalam latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat
oleh penulis dalam tulisan ini adalah:
1. Apakah ada pengaturan intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional?
2. Apakah intervensi kemanusiaan bertentangan dengan prinsip hukum internasional?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan
Untuk mengawali pembahasan tentang intervensi kemanusiaan, maka penulis akan
mencoba untuk melacak beberapa pengertian tentang intervensi dan intervensi kemanusiaan.
Dalam Black’s Law Dictionary, intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara
dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan dengan negara lain dengan
menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan
sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi
pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar
kedaulatan negara tersebut
Parry dan Grant memberikan definisi yang sedikit berbeda, menurut mereka intervensi
adalah turut campur secara diktator oleh sebuah negara dalam hubungannya dengan negara
lain dengan tujuan untuk menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu. Turut campur
tersebut dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu mengenai
kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain, dan dari keseluruhan tersebut
memiliki dampak yang penting untuk negara tersebut dalam posisi internasional. Sedangkan
Intervensi kemanusiaan mereka artikan sebagai perlakuan sewenang-wenang sebuah negara
terhadap penduduknya, terutama minoritas, lebih tepatnya kekejaman dan kejahatan yang
mengagetkan kesadaran umat manusia. Kemudian, negara lain, yang biasannya negara
adikuasa, mengambil tindakan atas peristiwa tersebut dengan ancaman atau penggunaan
kekuatan dengan maksud untuk melindungi minoritas yang tertindas.
Lauterpach mengartikan intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu
negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau
mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.
Intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Hal tersebut biasa dilakukan
oleh negara adikuasa terhadap negara lemah. Tindakan tersebut dapat merupakan embargo
senjata, ekonomi ataupun keuangan. Peristiwa tersebut dapat dilihat dalam kasus Nikaragua
melawan Amerika.
Menurut Starke ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi negara terhadap negara
lain:
1) Intervensi Internal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan dalam
negeri negara lain.
2) Intervensi Eksternal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan luar
negeri sebuah negara dengan negara lain. Contoh : Pelibatan Italia mendukung Jerman
dalam Perang Dunia Kedua.
3) Intervensi Punitive : Intervensi sebuah negara terhadap negara lain sebagai balasan atas
kerugian yang diderita oleh negara tersebut.
Dengan pembagian tipologi intervensi tersebut, Starke tidak hendak mengatakan bahwa
intervensi negara atas kedaulatan negara lain sebagai tindakan legal. Ia berpendapat bahwa
terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum
internasional. Adapaun tindakan intervensi tersebut adalah:
1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB.
2) Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara
lain.
3) Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan
bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah : langsung (instant),
situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no
means), tidak ada waktu untuk menimbang ( no moment of deliberation). Syaratsyarat ini diadopsi dari kasus Caroline.
4) Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
5) Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas
hukum internasional
Jika mengikuti klasifikasi legalitas yang dipergunakan oleh Starke, maka doktrin
intervensi tidak sepenuhnya terlarang. Ada celah yang diberikan dalam mekanisme hukum
internasional dalam melegalisasi sebuah intervensi.
Dalam klasifikasi yang dibuat oleh Starke, intervensi kemanusiaan dapat dimasukkan
dalam klasifikasi yang terakhir. Apabila sebuah negara telah melanggar hak asasi manusia
( sistematis dan terstruktur), maka negara tersebut dapat dikategorikan telah melakukan
pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Perlindungan hak asasi manusia dalam
relasi antarnegara saat ini merupakan sebuah komitmen bersama.
Sedangkan menurut Teson, ada beberapa hal yang dianggap lazim dalam kebiasaan
internasional mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama; penggunaan kekuatan bersenjata
suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kedua; ada alasan kemanusian yang
digunakan sebagai justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata.
Dari pengertian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa kesamaan bahwa
intervensi biasanya melanggar kedaulatan negara tertentu, selain itu tindakan intervensi
biasanya menggunakan ancaman atau kekuatan. Sedangkan dalam definisi intervensi
kemanusiaan kemudian ditambahkan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena
adanya sebuah perlakuan kejahatan negara atas penduduknya.
B. Prinsip Non-Intervensi
Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional.
berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan
dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat
internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara nasional (nationstate) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan
dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara
lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain. Prinsip non-intervensi merupakan
kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam
negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip ini tidak jarang telah dilanggar dalam
praktek-praktek negara. Dalam kasus Corfu Channel , ICJ meneguhkan
prinsip non-intervensi dengan mengatakan, “ Between independent states, respect for
territorial sovereignty is an essential foundation of international relations. ”
Piagam PBB mencantumkan prinsip non-intervensi dalam pasal 2 (7). Pasal tersebut
menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk intervensi sesuatu yang berada dalam
yurisdiksi domestik suatu negara. Redaksi dalam pasal tersebut merupakan sebuah revisi dari
Pasal 15 (8) Konvenan Liga Bangsa-Bangsa. Bunyi pasal tersebut adalah;
“If disputes between the parties is claimed by one of them, and is found by the
council, to arise out of a matter which by international law is solely within domestic
jurisdiction of that party, the council shall so report, and shall make no
recommendations as to its settlement.”
Jika diperbandingkan antara kedua pasal tersebut, maka penggunaan istilah yurisdiksi
domestik tetap dipertahankan. Pengertian yurisdiksi domestik pun kemudian menjadi bahan
perdebatan dalam Konfrensi San Fransisco. Sebagian pihak menilai (Australia), bahwa
ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 (7) sangat jauh dari keinginan para peserta konfrensi.
Komentar tersebut dikemukakan karena dengan ketentuan tersebut telah membatasi
kewenangan PBB sebagai penjaga keamanan dan perdamaian. Namun, pada akhirnya
konfrensi tetap memberikan peluang terbatas, dengan menambahkan redaksi terakhir dalam
pasal 2 (7), bahwa prinsip non-intervensi PBB atas yurisdiksi domestik tidak meniadakan
penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII.
D’Amato juga mengkritisi pengertian yurisdiksi domestik tersebut, menurut ia bahwa
yurisdiksi domestik sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan hukum internasional. Ia
mencontohkan, bahwa apabila sebuah negara melakukan kekejaman (genosida, pelanggaran
hak asasi manusia) terhadap penduduknya dalam yurisdiksi domestiknya, apakah dengan
demikian hukum internasional tidak memiliki yurisdiksi atas peristiwa itu?.
Dengan adanya Konvensi tentang Genosida, maka kemutlakan yurisdiksi domestik
telah “tergerogoti”. Kejahatan genosida telah dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi
manusia yang bersifat ekstratetorial. Jadi, telah menjadi kewajiban setiap negara untuk
melakukan tindakan atas nama kemanusiaan.
Relasi antara prinsip non-intervensi dan yurisdiksi domestik dalam Pasal 2 (7)
sebenarnya dapat didamaikan dengan tidak melakukan pengabaian terhadap kewenangan
PBB untuk penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII. Namun, dalam
prakteknya, kekuatan dewan keamanan yang diatur dalam Bab VII cenderung kurang efektif
karena adanya hak veto dari anggota tetap untuk membatalkan sebuah resolusi. Untuk
mengurangi kebuntuan tersebut maka pada tanggal 3 November 1950 dikeluarkan sebuah
resolusi majelis umum no 377 (V) tentang, “Uniting For Peace Resolution”. Resolusi tersebut
dibuat untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam dewan keamanan tentang
penggunaan hak veto.
Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan
intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan derajat dan
bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (4). Pasal
tersebut berbunyi :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force
against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau
penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity),
kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB.
Redaksi kata yang kemudian menjadi multitafsir tersebut adalah apakah kriteria yang
disebutkan dalam ketentuan pasal tersebut merupakan pembatasan atas non-intervensi?
Apakah jika terjadi sebuah tindakan dari sebuah negara namun tidak memenuhi kriteria di
atas, dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan sebuah intervensi? Untuk itu
maka akan dilihat dalam praktek-praktek negara dan juga keputusan pengadilan mengenai
ketentuan pasal tersebut.
Perumusan redaksi tersebut harus dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu Pasal 10
Konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang berbunyi:
“To respect and preserve as against external aggression the territorial integrity and
existing political independence of all members of the league.”
Jika dibandingkan dengan bunyi konvenan di atas, maka terlihat ada beberapa
penambahan dan pengurangan redaksional. Dalam bunyi pasal 2 (4), istilah agresi dihapuskan
karena dalam konfrensi San Fransisco tidak didapati kesepahaman mengenai definisi agresi
itu sendiri. Bunyi pasal tersebut berubah menjadi, “against territorial integrity or political
independence of any state”. Usulan penggantian kalimat tersebut merupakan respon terhadap
suara-suara dari negara lemah untuk menjamin mereka terhadap penggunaan kekerasan
bersenjata yang biasa dilakukan oleh negara adikuasa. Tafsiran penggunaan kekuasaan (use
of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force).
Sedangkan penggunaan paksaan ekonomi atau psikologi tidak dapat dijadikan rujukan,
namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam pasal 39.
Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan
dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam
kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari
dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat
dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir
sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang
menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan
ditambah dengan aktivitis militer. Menurut beliau setiap negara bisa menggunakan
kekesarasan bersenjata (use of force) untuk menyelematkan aset nasionalnya dalam kerangka
pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun
hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan
negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebee. Konsep penggunaan kekerasan bersenjata
dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum internasional. Namun, penggunaan tindakan
tersebut harus dikaitkan dengan prinsip pembelaan diri (self defence) yang diatur dalam
piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi :
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self defence if an armed attack occurs
against a Member of the United Nations, until the Security Council
has taken measures necessary to maintain international peace and
security. Measures taken by Members in the exercise of this right of
self-defence shall be immediately reported to the Security Council
and shall not in any way affect the authority and responsibility of
theSecurity Council under the present Charter to take at any time
such action as it deems necessary in order to maintain or restore
international peace and security.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersurat
dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux preparatoires
dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat
(inherent). Pengaturan hak tersebut memiliki presedenya apabila
dikaitkan dengan Kellog-Briand Pact 1928. Dalam perjanjian tersebut hak
pembelaan tidak disebutkan secara tersurat, namun menurut Tuan Kellog,
sekretaris negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa hak membela diri
merupakan
sesuatu
yang
“inherent”
atau
melekat,
sehingga
penyebutannya dalam sebuah kata tidak lagi diperlukan.
Hak membela diri yang diatur dalam pasal tersebut dapat
dilakukan oleh negara dengan beberapa pembatasan. Pertama, hak
tersebut dapat dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata
(armed attack). Pemilihan kata “armed attack” dan tidak “forces” seperti
tersurat dalam pasal 2 (4) merupakan sebuah kemajuan. Dengan
menggunakan kata “armed attack” maka pengertiannya menjadi jelas dan
tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kedua, setelah dewan keamanan
mengambil tindakan yang perlu untuk memelihata perdamaian dan
keamanan internasional. Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh setiap
negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya.
Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4),
maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak
boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan
wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun
tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai
perdamain dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak
menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak
membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan
kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat
bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan
kekerasan bersenjata dalam kerangkan hak membela diri baik secara
individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan
itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta
mencapai keadilan sosial dan politik.
Hak membela diri menggunakan kekuatan bersenjata (armed force)
merupakan sebuah adopsi dari Kasus Kapal Caroline. Dalam kasus
tersebut terkenal sebuah pernyataan yang dikatakan oleh Daniel Webster,
seorang dari sekretariat Amerika Serikat. Beliau menyatakan keperluan
sebuah pembelaan diri harus memenuhi kriteria; instant (cepat),
overwhelming situation (mendukung), leaving no choices of means (tidak
ada cara lain), no moment for deliberation (tidak ada waktu untuk
menimbang). Syarat-syarat tersebut yang harus dapat dipenuhi oleh
sebuah atau sekelompok negara apabila ingin menegakkan hak-nya untuk
melakukan pembelaan diri dengan cara menggunakan kekerasan
bersenjata.
Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek
negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan
maknanya menjadi melindingi diri (self preservation). Bowett misalnya
mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk
membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada
hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak
ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru
dapat membela diri. Pendapat Bowett inilah kemudian yang memunculkan
doktrin anticipatory self-defence atau yang sering dipraktekan oleh
Amerika sebagai serangan pencegahan (pre-emptive strike) yang
dilakukan terhadap Afganistan dan Irak.
Ada dua pandangan mengenai hak membela diri. Pertama, adalah
Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan yang
dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah
keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut
dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan
serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut.
Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela
diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang
terus-menerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus
berlangsung. Tindakan inilah yang sering dijalankan oleh Israel terhadap
Palestina dan Libanon. Kedua, hak membela diri dilakukan apabila telah
terjadi sebuah serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi
pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51
tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan
secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak
membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut
tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan
lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri.
Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat
dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut
mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara
(individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan
sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian
dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang
melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk
dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan
diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak.
C. Intervensi Kemanusiaan Menurut Hukum Internasional
Sebagian pendapat dari para pakar hukum internasional
mengindikasikan bahwa doktrin intervensi kemanusiaan bertentangan
dengan hukum internasional. Hal ini dikarenakan doktrin tersebut
bertentangan dengan salah satu prinsip fundamental dalam hukum
internasional yaitu prinsip non intervensi.
Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai
pada tahap peremptory norm (jus cogens). Ketika sebuah prinsip dalam
hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip
tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens
dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk
menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam
hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens.
Menurut Schwarzerberger untuk membentuk jus cogens internasional, suatu aturan
hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas-asas yang
fundamental, misalnya asas-asas yang yang bersangkutan harus mempunyai arti yang luar
biasa dalam hukum internasional di samping arti penting istimewa dibandingkan dengan
asas-asas lainnya. Selain itu, asas-asas tersebut merupakan bagian esensial daripada sistem
hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari
hukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asas
fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu: kedaulatan, pengakuan, pemufakatan,
itikad baik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.
Sedangkan menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi
Jus Cogens hukum internasional yaitu:
1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional.
2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.
3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB.
Kemungkinan sebuah prinsip menjadi jus cogens sangat mungkin
dalam hukum internasional jika telah melewati tahapan yang diajukan
oleh beberapa pendapat para ahli tersebut. Namun, dalam perkembangan
hukum internasional, setiap ketentuan dan norma itu selalu berubah
sesuai dengan ketentuan zaman, lalu bagaimana menentukan sebuah
prinsip dapat dipertahankan sebagai sebuah norma yang tidak boleh
dikecualikan dalam praktek-praktek negara menurut hukum internasional.
Shen menyandarkan pendapatnya bahwa prinsip non intervensi
telah masuk dalam kategori jus cogens berdasarkan instrumen-instrumen
hukum internasional dan keputusan mahkamah internasional. Pasal 2(4)
Piagam PBB menurut beliau merupakan dasar utama yang
harus dirujuk ketika mengatakan bahwa prinsip non intervensi merupakan
sebuah jus cogens. Ketentuan piagam tersebut kemudian didukung oleh
deklarasi yang dibuat oleh majelis umum PBB tentang Declaration on the
Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their
Independence and Sovereignty ( G.A. Res. 2131/XX, 21 Desember 1965). Dalam paragraf
pertama deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap negara tidak memiliki hak untuk
melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun, di dalam
urusan dalam dan luar negeri sebuah negara.
Deklarasi tersebut diteguhkan kembali oleh masyarakat
internasional melalui deklarasi majelis umum PBB, yang dikenal dengan,
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations (G.A. Res. 2625
(XXV), 24 Oktober. 1970). Deklarasi tersebut tidak hanya mengutuk sebuah tindakan
intervensi, namun juga menyatakan bahwa tindakan intervensi merupakan sebuah
pelanggaran terhadap hukum internasional, sehingga perihal intervensi akan masuk dalam
sebuah tanggung jawab internasional.
Prinsip non intervensi kembali diteguhkan oleh mahkamah internasional (ICJ) dalam
memutus perkara antara Nikaragua Vs Amerika Serikat. Mahkamah menyatakan bahwa:
"Prinsip non-intervensi melibatkan hak setiap Negara berdaulat untuk melakukan
urusan tanpa campur tangan dari luar, meskipun contoh-contoh pelanggaran terhadap
prinsip ini tidak jarang terjadi, Mahkamah menilai bahwa itu adalah bagian dari
hukum kebiasaan internasional. Antara negara merdeka, menghormati kedaulatan
teritorial merupakan fondasi penting dari hubungan internasional dan hukum
internasional memerlukan integritas politik juga harus dihormati .... Keberadaan
opinio juris dalam States of prinsip non-intervensi didukung oleh praktek didirikan
dan substansial. Ini telah apalagi telah disajikan sebagai akibat wajar dari prinsip
kesetaraan kedaulatan Negara-negara ... "
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka prinsip non intervensi dapat dikategorikan
sebagai jus cogens. Namun, tidak semua pakar hukum internasional sepakat bahwa prinsip
non intervensi dapat dikategorikan sebagai sebuah jus cogens. Alasan mereka adalah bahwa
prinsip non intervensi bukanlah sesuatu yang absolut. Masih dimungkinkan menurut hukum
internasional untuk melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya
berdasarkan penafsiran atas pasal 2 (4) Piagam PBB. Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan
yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan
wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak
bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations). Menurut hasil penelitian D’Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika
sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi
kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara
permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.
Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan
tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara. Setiap
negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini intervensi
kemanusiaan tidak melanggar piagam PBB.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Teson, menurut beliau kekerasan bersenjata hanya
dilarang oleh PBB jika melanggar;
(a) when it impairs the territorial integrity of the target state; (ketika merusak integritas
wilayah negara target)
(b) when it affects its political
independensi politik, atau)
independence;
or
(ketika mempengaruhi
(c) when it is otherwise against the purposes of the United Nations. (bila sebaliknya
terhadap tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah apabila tidak melanggar batasan yang
ditentukan oleh ketentuan pasal 2(4). Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga
dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia (Pasal 1 (3) Piagam
PBB). Menurut D’Amato, sejak tahun 1945 dan lahirnya konvensi tentang pelarangan
genosida, deklarasi HAM universal, maka kewenangan negara untuk bertindak sewenangwenang atas warganya telah dibatasi. Batas teritorial sudah tidak menjadi permasalahan
dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.
Kedaulatan negara yang biasanya menjadi alasan bahwa intervensi kemanusiaan tidak
dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional secara kontekstual telah gagal. Pendapat
ini diberikan oleh Hans Kelsen, menurut beliau, bahwa tujuan adanya hukum internasional
adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri Sejak individu menjadi subyek hukum
internasional, maka sebenarnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang
mendelegasikan kewenangannya kepada negara. Jadi, ketika negara telah melanggar hak-hak
individu, maka para individu tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak lain (negara)
untuk memulihkan hak-hak mereka. Pada saat itulah intervensi kemanusiaan menjadi eksis
dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerjasama (bantuan) antara mereka untuk
melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia.
Praktek-praktek negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah preseden, bahwa
intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Intervensi
kemanusiaan merupakan sebuah kewajiban tiap-tiap negara. Doktrin tersebut bukan
merupakan hak seperti hak membela diri. Doktrin tersebut menjadi eksis ketika terjadi sebuah
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara
individual maupun kolektif.
Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi kemanusiaan hanya bisa
dilakukan secara kolektif melalui otoritas dewan keamanan dengan membentuk kerjasama
internasional. Hal ini didasarkan melalui piagam PBB bab VII, yang merupakan pasal tentang
pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata. Namun, yang masih menjadi perdebatan
adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan secara unilateral atau kolektif tetapi tanpa
adanya otoritas dari dewan keamanan.
Kritik yang sering disorot atas legitimisi penggunaan kekerasan atas nama intervensi
kemanusiaan adalah seringnya tindakan tersebut disalahgunakan oleh negara kuat untuk
menekan kebebasan dan kemerdekaan negara lemah. Shen menyatakan, intervensi
kemanusiaan bukanlah sebuah persoalan hukum, doktrin tersebut merupakan permasalahan
kepentingan (interest), kekuatan (power) dan dominasi (dominance). Kritik itu dihadapi oleh
pembela legitimasi intervensi kemanusiaan dengan sebuah analogi polisi dengan kantor
polisi. Jika ada seorang polisi yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, apakah
kemudian untuk meminimalisir penyelewengan tersebut kita harus menutup semua kantor
polisi?. jawabannya tentu tidak. Begitupun dengan intervensi kemanusiaan, tugas hukum
internasional dan masyarakat internasional adalah bagaimana melindungi dan
mempromosikan agar pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi, bukannya menghapus
intervensi kemanusiaan.
Praktek negara dalam intervensi kemanusiaan dapat ditemukan pada pasukan koalisi
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Irak pada tahun 1991. Koalisi tersebut menyambut
resolusi dewan keamanan 688 yang mengutuk tindakan pemerintahan Irak kepada suku
Kurdi. Dalam resolusi tersebut dewan keamanan tidak menyebutkan sebuah tindakan
bersenjata kolektif maupun intervensi menggunakan kekerasan senjata. Namun, beberapa
bulan kemudian tiga negara tersebut melakukan operasi “Safe Hands” di Irak Utara dengan
alasan kemanusiaan. Sekjen PBB, Perez de Cuellar, menyebutkan bahwa operasi tersebut
dapat melanggar kedaulatan Irak, apabila tidak ada izin dari pemerintahan Irak atau otorisasi
dari dewan keamanan. Namun, sekjen PBB juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas
dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirnya,
Irak memberikan izinya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan di Irak Utara.
Kasus di atas dapat dijadikan contoh intervensi kemanusiaan. Seperti apa yang
dikatakan pemerintah Inggris, bahwa intervensi yang dilakukan di Irak Utara memang pada
kenyataannya tidak diberikan mandat oleh PBB. Namun, kami bertindak di Irak Utara
berdasarkan prinsip intervensi kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan
internasional. Praktek intervensi kemanusiaan yang terjadi di Irak juga terjadi di Yugoslavia
dan Somalia pada tahun 1992. Meskipun, dewan keamanan mempunyai legitimasi untuk
menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan bab VII piagam PBB, namun yang terjadi
adalah bahwa negara atau sekelompok negara melakukan sebuah intervensi dengan alasan
kemanusiaan dan kemudian di legitimasi oleh resolusi dewan keamanan. Untuk menganalisa
intervensi kemanusiaan tersebut, menurut Dinstein harus dilihat beberapa keadaan yang
merupakan sebuah pengecualian; Pertama, kekuatan pasukan koalisi bertindak pada saat
tindakan permusuhan telah diberhentikan sementara melalui gencatan senjata. Kedua,
resolusi dewan keamanan mendasari putusannya bahwa tindakan yang terjadi merupakan
sebuah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasiona.
Tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi sebenarnya harus didasarkan landasan
yang kuat. Dengan adanya resolusi yang dikeluarkan oleh dewan keamanan, menandakan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi merupakan sebuah pengecualian dari
larangan penggunaan kekerasan bersenjata oleh negara secara unilateral maupun kelompok
tanpa otorisasi dewan keamanan. Praktek negara telah membuktikan sekali lagi membuktikan
bahwa intervensi kemudian merupakan sebuah pengecualian meskipun dalam piagam tidak
ditemukan pengaturan secara tegas tentang intervensi kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan memang tidak mendapatkan pengaturan yang eksplisit dalam
piagam PBB. Namun, ketentuan pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata yang diatur
dalam piagam PBB pun masih dapat ditafsirkan berbeda, apakah ia merupakan sebuah
pelarangan yang absolut atas penggunaan kekuatan bersenjata atau batasan dalam
penggunaan kekerasan bersenjata.
Putusan mahkamah juga tidak ada yang melegitimasi sebuah intervensi kemanusiaan.
Keputusan ICJ dalam kasus Nikaragua versus Amerika, membatalkan alasan Amerika yang
mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang ia lakukan merupakan sebuah tindakan legal atas
dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Namun, putusan ICJ tersebut tidak ditafsirkan bahwa intervensi kemanusiaan
bertentangan dengan hukum internasional. ICJ menolak alasan yang digunakan Amerika
karena sangat tidak masuk akal. Menurut ICJ penggunaan kekerasan bersenjata yang
digunakan dengan alasan kemanusiaan harus sesuai dengan peruntukkannya sedangkan apa
yang dilakukan Amerika adalah meledakkan dermaga, instalasi minyak yang tidak memiliki
korelasi dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Alasan itulah yang digunakan
untuk menolak argumen Amerika, ICJ tidak menyatakan secara eksplisit bahwa intervensi
kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional.
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan dalam Bab I serta pembahasan masalah
dalam Bab II, maka penulis dalam penulisan makalah ini mengambil beberapa simpulan
sebagai berikut :
1. Instrumen hukum internasional menyebutkan secara eksplisit bahwa prinsip non
intervensi merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 (1), 2 (4), (7) Piagam PBB. Selain itu Deklarasi
yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB ( Declaration On The Inadmissibility of
Intervention In The Domestic Affairs of State (G.A.R. 2131/ XX, 21 Desember 1965)
dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and
Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations
(G.A. Res. 2625/ XXV, 24 Oktober 1970), meneguhkan kembali bahwa prinsip non
intervensi merupakan sebuah prinsip fundamental dalam hukum internasional.
Putusan ICJ atas kasus Nikaragua versus Amerika, kembali meneguhkan prinsip
tersebut sebagai salah satu prinsip dasar hukum internasional. Namun, status prinsip
non intervensi sebagai jus cogens masih diperdebatkan oleh beberapa pakar hukum
internasional.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan hukum internasional,
intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya berdasarkan penafsiran Piagam
PBB, Pasal 1 (3) dan Pasal 2 (4). Prinsip intervensi kemanusiaan juga dapat dilihat
dari praktek-praktek negara dan kebiasaan hukum internasional kontemporer.
Sedangkan pengaturan secara eksplisit dalam hukum internasional mengenai
intervensi kemanusiaan tidak dapat penulis temukan.
1. Intervensi kemanusiaan tidak melanggar hukum internasional. Doktrin tersebut
merupakan pengecualian dari prinsip non intervensi. Masyarakat internasional sudah
mencapai sepakat mengenai bahwa tindakan intervensi kemanusiaan yang paling
utama adalah intervensi kemanusiaan kolektif dan mendapat otorisasi dari dewan
keamanan. Namun, yang mengenai intervensi kemanusiaan secara unilateral harus
dibuat aturannya oleh masyarakat internasional. Intervensi kemanusiaan tidak
melanggar hukum internasional karena sesuai dengan tujuan PBB (Pasal 1 ayat 3).
Intervensi kemanusiaan harus benar-benar didasarkan atas alasan-alasan kemanusiaan.
Meskipun alasan tersebut sering disalahgunakan oleh negara adikuasa terhadap negara
terbelakang, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bahwa intervensi
kemanusiaan melanggar hukum internasional.
1. Bila sebaliknya terhadap Perserikatan Bangsa-tujuan Bangsa.1965 (G.A.R. 2131 /XX)
2. Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 1970. (G.A.R. 2625/ XXV)
3. Piagam PBB., Pasal 1 ayat 1.
4. Deklarasi Wina, 1993, Pasal 5.
5. Bryan A. Garner ed, Hukum Kamus Black, Edisi Ketujuh, Buku 1, Grup
Barat, ST..
Paulus,Minh, 1999, hlm. 826
6. Parry dan Grant, Kamus ensiklopedik Hukum Internasional, Oceana Publikasi,
Inc, New York, 1986, hlm. 190-191.
7.
Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 31.
8. Philip C. Jessup, Sebuah Hukum Modern Bangsa-Sebuah Pengantar-,
Perusahaan MacMillan, New York, 1951, hlm. 172-173.
9. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, 3rd Edition, Butterworth & Co Ltd,
London, 1954, hlm. 89-90.
10. Ibid., hlm. 90.
11. Eric Adjei, The Legalitiy Intervensi Kemanusiaan, Tesis, University of
Georgia, 2005, hlm. 8.
12. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing,
Alumi, Bandung, 1999, hlm. 27.
13. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003, hlm.19.
14. 15 Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,
World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.
16. Antony D’Amato, “Domestic Jurisdiction1", Ensiklopedi Hukum Internasional
Publik,992, hlm.1090-1096.
17. D.J. Harris, op.cit., hlm. 968-969.
18. Goodrich dan Hambro, op.cit., hlm.103.
19 . Ibid.
20. Ibid., hlm. 104.
21. Philip C. Jessup, op.cit., hlm. 162.
22. Rosalyn Higgins,. Masalah dan Hukum Proses Internasional dan Bagaimana
Kami menggunakannya, Oxford University Press, Inggris 1994, hlm. 246
23. Ibid.
24. Goodrich and Hambro, op.cit., hlm.299.
25. Rosalyn Higgins, op.cit., hlm. 238.
26. J.L. Brierl, , Hukum Bangsa Clarendon Press, Great Britain, 1955, hlm. 316.
27. D.J. Harris, op.cit., hlm. 897.
28 Ibid., hlm. 898.
29. Ibid., hlm. 897.
30 Jianming Shen2, Prinsip Non Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan di
bawah Hukum Internasional, Teori Hukum Internasional,
31 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional (Bunga Rampai), P.T. Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 171.
32 Ibid., hlm. 176.
33 Jianming Shen, Ibid., hlm.
34 Yoram Dinstein, , Perang, Agresi dan Self-Pertahanan, Edisi Kedua,
Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm. 89.
35 Anthony D’Amato, 36 Eric Adjei, Ibid., hlm.29.
37 Anthony D’Amato, Ibid., hlm.21.
38 Ibid., hlm.20. Tidak ada Norma Intervensi atau Intervensi Non dalam
Hukum Internasional, Teori Hukum Internasional, Asil 2001, hlm.20.
39 Hans KelsenBee , Teori Umum Hukum dan Negara (Alih bahasa oleh
Somardi),Media, Jakarta, 2007, hlm.414-415
40 Jianming Shen, Ibid., hlm.9.
41 Eric Adjei, Ibid., hlm. 58.
42 Yoram Dinstein, Ibid., hlm. 91.
43 Jianming Shen, Ibid., hlm.12.
DAFTAR PUSTAKA
Brierly, J.L., Hukum Bangsa-Bangsa,Clarendon Press, Great Britain, 1955.
Dinstein, YoramSecond Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994.
D’Amato, Anth, Perang, Agresi dan Self-Pertahanan,ony, “Domestic Jurisdiction”,
Encyclopedia of Public International Law, Elsevier, North-Holland, Amsterdam, 1992.
Garner, A. Bryan. edGoodrich and Hambro, Charter of The United Nations Commentary and
Documents, World Peace Foundation Boston, 1949.
Harris, D.JFift, Kasus. Dan Bahan Hukum Internasional,h Edition, Sweet &
Maxwell, London, 1998..
Higgins, Rosalyn, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford
University Press, England 1994.
Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Jessup, C. Philip , Sebuah Hukum Modern Bangsa-Sebuah Pengantar The
MacMillan Company, New York, 1951.
Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara (alih bahasa oleh Somardi), Bee Media,
Jakarta, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Buku I), Cet II, Binacipta,
Bandung, 1977
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003.
Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication,
Inc., Newyork, 1986.
Starke, J.G., An Introduction To International Law, 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd,
London, 1954.
Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
Dosen
: Holiwan SH. MH
Disusun oleh:
Daman huri
: NPM 10 - 192
Ferry moris
: NPM 10 - 028
Abduloh
: NPM 10 - 005
Yuliya
:
UNIVERSITAS SINGA PERBANGSA
KARAWANG
Doktrin Intervensi Kemanusiaan Dalam Hukum Internasional
I
Latar Belakang
Dalam khazanah hukum internasional, doktrin intervensi kemanusiaan (Humanitarian
Intervention) telah menimbulkan perdebatan yang hangat. Perdebatan timbul karena doktrin
tersebut berhadapan langsung dengan prinsip-prinsip umum dalam hukum international;
Prinsip kedaulatan negara dan Prinsip non-intervensi. Piagam PBB telah mengatur prinsip
kedaulatan negara dan non-intervensi dalam Pasal 2 (1) yang berbunyi :
“The organization is based on the principle of the sovereign equality of all the members.”
Pasal 2 (4) :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force
against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Pasal 2 (7) :
“Nothing contained in the present charter shall autorize the United Nations to intervene
in matters which essentially within the domestic jurisdiction of any state or shall
require the Members to submit such matters to settlement under the present charter,
but the principle shall not prejudice the application of enforcement measures under
chapter VII.”
Ketentuan piagam tersebut dengan jelas menyatakan bahwa dalam hubungan
antarnegara tidak diperbolehkan adanya intervensi. Pengaturan tersebut semakin dikuatkan
dengan resolusi majelis umum PBB no 2625 (XXV) yang dikeluarkan tanggal 24 Oktober
1970, yang kemudian diterima sebagai Deklarasi Majelis Umum Tentang Prinsip-Prinsip
Hukum International Mengenai Hubungan Persahabatan dan Kerjasama Antarnegara yang
Berkaitan dengan Piagam PBB.
Namun, dalam praktek negara-negara dewasa ini, prinsip-prinsip tersebut kerap
“dilanggar” dengan alasan-alasan kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan di Irak tahun 1991,
Somalia tahun 1992 dan Kosovo tahun 1999 dapat dijadikan bukti bahwa doktrin tersebut
telah dilakukan oleh negara-negara dalam hubungan internasionalnya.
Tindakan negara-negara dalam melakukan intervensi kemanusiaan sering didasari
bahwa telah terjadi tragedi kemanusiaan yang luar biasa sehingga dapat mengancam
kedamaian dan keamanan internasional yang merupakan tujuan dibentuknya PBB. Atas dasar
itulah mengapa beberapa negara mengartikan bahwa intervensi yang mereka lakukan tidak
melanggar ketentuan dalam hukum internasional.
Perkembangan dalam hukum internasional juga telah mengindikasikan bahwa hak asasi
manusia merupakan salah satu isu penting dan universal sehingga perlindungan terhadap hakhak tersebut harus diutamakan dalam hubungan antarnegara. Indikasinya dapat terlihat
dengan lahirnya Universal Declaration of Human Rights (1948) serta International Convenant
on Civil and Political Rights (ICCPR) dan International Convenant on Economic, Social and
Cultural Rights (ICESCR) 1966. Pada awal penerimaan dan pemberlakuan hak asasi
manusia, tiap-tiap negara memiliki perbedaan yang mendasar. Perbedaan yang cukup besar
adalah mengenai universalitas hak asasi manusia itu sendiri. Namun, dalam Deklarasi Wina
tahun 1993, tiap-tiap negara telah berkomitmen bahwa setiap hak asasi manusia itu bersifat
universal (universal), tidak dapat dipisahkan (indivisible), saling ketergantungan
(interdependence), saling terkait (interrelated).
Komitmen masyarakat internasional atas perlindungan HAM dewasa ini dapat
dikatakan sudah melampaui batas teritorial (wilayah). Argumen tersebut menjadi lumrah jika
melihat sejarah perdaban manusia dan hubungan antarnegara. Tindakan sewenang-wenang
yang dilakukan oleh negara terhadap penduduknya telah memberikan pelajaran berharga,
bahwa kewenangan negara atas penduduknya harus dibatasi. Pembatasan tersebut tidak
dilahat sebagai pemangkasan kedaulatan negara, namun sebuah tindakan pencegahan agar
negara tidak dapat bertindak sesuka hatinya. Kelanjutan pembatasan kewenangan itu di lain
pihak akan menumbuhkan kesadaran dalam masyarakat internasional untuk meningkatkan
kerjasamanya dalam hal perlindungan dan penghormatan atas nama kemanusiaan.
Dengan asumsi tersebut di atas, maka penerapan doktrin intervensi kemanusiaan dalam
hukum internasional publik menjadi sangat penting. Apalagi jika dilihat bahwa peristiwaperistiwa di dunia saat ini cukup banyak memperlihatkan bahwa pelanggaran atas hak asasi
manusia dalam yurisdiksi domestik negara kerap terjadi. Pembatasan kebebebasan hak sipil
dan politik yang terjadi di Myanmar, tragedi kemanusiaan di Sudan dan konflik yang terjadi
di Timor-Timur dapat dijadikan bukti bahwa dunia ini sangat rentan akan terpenuhinya
keamanan dan kedamaian. Oleh karena itu, peran negara juga organisasi internasional
menjadi sangat penting dalam pencampaian tujuan-tujuan global tersebut.
II.
Permasalahan
Dengan pembahasan dalam latar belakang tersebut, maka permasalahan yang akan diangkat
oleh penulis dalam tulisan ini adalah:
1. Apakah ada pengaturan intervensi kemanusiaan dalam hukum internasional?
2. Apakah intervensi kemanusiaan bertentangan dengan prinsip hukum internasional?
PEMBAHASAN
A. Pengertian Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan
Untuk mengawali pembahasan tentang intervensi kemanusiaan, maka penulis akan
mencoba untuk melacak beberapa pengertian tentang intervensi dan intervensi kemanusiaan.
Dalam Black’s Law Dictionary, intervensi diartikan sebagai turut campurnya sebuah negara
dalam urusan dalam negeri negara lain atau dalam urusan dengan negara lain dengan
menggunakan kekuatan atau ancaman kekuatan sedangkan intervensi kemanusiaan diartikan
sebagai intervensi yang dilakukan oleh komunitas internasional untuk mengurangi
pelanggaran hak asasi manusia dalam sebuah negara, walaupun tindakan tersebut melanggar
kedaulatan negara tersebut
Parry dan Grant memberikan definisi yang sedikit berbeda, menurut mereka intervensi
adalah turut campur secara diktator oleh sebuah negara dalam hubungannya dengan negara
lain dengan tujuan untuk menjaga atau mengubah kondisi aktual tertentu. Turut campur
tersebut dapat dilakukan dengan hak ataupun tidak, namun hal tersebut selalu mengenai
kebebasan eksternal atau wilayah atau keunggulan negara lain, dan dari keseluruhan tersebut
memiliki dampak yang penting untuk negara tersebut dalam posisi internasional. Sedangkan
Intervensi kemanusiaan mereka artikan sebagai perlakuan sewenang-wenang sebuah negara
terhadap penduduknya, terutama minoritas, lebih tepatnya kekejaman dan kejahatan yang
mengagetkan kesadaran umat manusia. Kemudian, negara lain, yang biasannya negara
adikuasa, mengambil tindakan atas peristiwa tersebut dengan ancaman atau penggunaan
kekuatan dengan maksud untuk melindungi minoritas yang tertindas.
Lauterpach mengartikan intervensi sebagai campur tangan secara diktator oleh suatu
negara terhadap urusan dalam negeri lainnya dengan maksud baik untuk memelihara atau
mengubah keadaan, situasi atau barang di negeri tersebut.
Intervensi dapat menggunakan kekerasan ataupun tidak. Hal tersebut biasa dilakukan
oleh negara adikuasa terhadap negara lemah. Tindakan tersebut dapat merupakan embargo
senjata, ekonomi ataupun keuangan. Peristiwa tersebut dapat dilihat dalam kasus Nikaragua
melawan Amerika.
Menurut Starke ada tiga tipologi dalam melihat sebuah intervensi negara terhadap negara
lain:
1) Intervensi Internal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan dalam
negeri negara lain.
2) Intervensi Eksternal : Intervensi yang dilakukan sebuah negara dalam urusan luar
negeri sebuah negara dengan negara lain. Contoh : Pelibatan Italia mendukung Jerman
dalam Perang Dunia Kedua.
3) Intervensi Punitive : Intervensi sebuah negara terhadap negara lain sebagai balasan atas
kerugian yang diderita oleh negara tersebut.
Dengan pembagian tipologi intervensi tersebut, Starke tidak hendak mengatakan bahwa
intervensi negara atas kedaulatan negara lain sebagai tindakan legal. Ia berpendapat bahwa
terdapat kasus-kasus tertentu dimana tindakan intervensi dapat dibenarkan menurut hukum
internasional. Adapaun tindakan intervensi tersebut adalah:
1) Intervensi kolektif yang ditentukan dalam piagam PBB.
2) Untuk melindungi hak dan kepentingan, serta keselamatan warga negaranya di negara
lain.
3) Pembelaan diri. Jika intervensi dibutuhkan segera setelah adanya sebuah serangan
bersenjata (armed attack). Syarat-syarat pembelaan diri adalah : langsung (instant),
situasi yang mendukung (overwhelming situation), tidak ada cara lain (leaving no
means), tidak ada waktu untuk menimbang ( no moment of deliberation). Syaratsyarat ini diadopsi dari kasus Caroline.
4) Berhubungan dengan negara protektorat atas dominionnya.
5) Jika negara yang akan diintervensi dianggap telah melakukan pelanggaran berat atas
hukum internasional
Jika mengikuti klasifikasi legalitas yang dipergunakan oleh Starke, maka doktrin
intervensi tidak sepenuhnya terlarang. Ada celah yang diberikan dalam mekanisme hukum
internasional dalam melegalisasi sebuah intervensi.
Dalam klasifikasi yang dibuat oleh Starke, intervensi kemanusiaan dapat dimasukkan
dalam klasifikasi yang terakhir. Apabila sebuah negara telah melanggar hak asasi manusia
( sistematis dan terstruktur), maka negara tersebut dapat dikategorikan telah melakukan
pelanggaran berat terhadap hukum internasional. Perlindungan hak asasi manusia dalam
relasi antarnegara saat ini merupakan sebuah komitmen bersama.
Sedangkan menurut Teson, ada beberapa hal yang dianggap lazim dalam kebiasaan
internasional mengenai intervensi kemanusiaan. Pertama; penggunaan kekuatan bersenjata
suatu negara terhadap urusan domestik negara lain. Kedua; ada alasan kemanusian yang
digunakan sebagai justifikasi penggunaan kekuatan bersenjata.
Dari pengertian tersebut di atas kiranya dapat ditarik beberapa kesamaan bahwa
intervensi biasanya melanggar kedaulatan negara tertentu, selain itu tindakan intervensi
biasanya menggunakan ancaman atau kekuatan. Sedangkan dalam definisi intervensi
kemanusiaan kemudian ditambahkan alasan bahwa tindakan tersebut dilakukan karena
adanya sebuah perlakuan kejahatan negara atas penduduknya.
B. Prinsip Non-Intervensi
Prinsip non-intervensi sebagai salah satu fondasi dasar dalam hukum internasional.
berkaitan erat dengan prinsip kedaulatan negara. Kelahiran kedaulatan negara berkaitan
dengan lahirnya pejanjian Westhpalia 1648 yang meletakkan dasar-dasar masyarakat
internasional modern yang didasarkan atas negara-negara nasional. Negara nasional (nationstate) pasca Westhpalia memiliki kedaulatan penuh karena didasari oleh paham kemerdekaan
dan persamaan derajat sesama negara. Artinya bahwa negara berdaulat; bebas dari negara
lainnya dan juga sama derajatnya dengan yang lain. Prinsip non-intervensi merupakan
kewajiban setiap negara berdaulat untuk tidak melakukan tindakan mencampuri urusan dalam
negeri negara lain dalam relasi antarnegara. Prinsip ini tidak jarang telah dilanggar dalam
praktek-praktek negara. Dalam kasus Corfu Channel , ICJ meneguhkan
prinsip non-intervensi dengan mengatakan, “ Between independent states, respect for
territorial sovereignty is an essential foundation of international relations. ”
Piagam PBB mencantumkan prinsip non-intervensi dalam pasal 2 (7). Pasal tersebut
menyatakan bahwa pelarangan terhadap PBB untuk intervensi sesuatu yang berada dalam
yurisdiksi domestik suatu negara. Redaksi dalam pasal tersebut merupakan sebuah revisi dari
Pasal 15 (8) Konvenan Liga Bangsa-Bangsa. Bunyi pasal tersebut adalah;
“If disputes between the parties is claimed by one of them, and is found by the
council, to arise out of a matter which by international law is solely within domestic
jurisdiction of that party, the council shall so report, and shall make no
recommendations as to its settlement.”
Jika diperbandingkan antara kedua pasal tersebut, maka penggunaan istilah yurisdiksi
domestik tetap dipertahankan. Pengertian yurisdiksi domestik pun kemudian menjadi bahan
perdebatan dalam Konfrensi San Fransisco. Sebagian pihak menilai (Australia), bahwa
ketentuan yang tercantum dalam pasal 2 (7) sangat jauh dari keinginan para peserta konfrensi.
Komentar tersebut dikemukakan karena dengan ketentuan tersebut telah membatasi
kewenangan PBB sebagai penjaga keamanan dan perdamaian. Namun, pada akhirnya
konfrensi tetap memberikan peluang terbatas, dengan menambahkan redaksi terakhir dalam
pasal 2 (7), bahwa prinsip non-intervensi PBB atas yurisdiksi domestik tidak meniadakan
penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII.
D’Amato juga mengkritisi pengertian yurisdiksi domestik tersebut, menurut ia bahwa
yurisdiksi domestik sudah tidak sejalan lagi dengan perkembangan hukum internasional. Ia
mencontohkan, bahwa apabila sebuah negara melakukan kekejaman (genosida, pelanggaran
hak asasi manusia) terhadap penduduknya dalam yurisdiksi domestiknya, apakah dengan
demikian hukum internasional tidak memiliki yurisdiksi atas peristiwa itu?.
Dengan adanya Konvensi tentang Genosida, maka kemutlakan yurisdiksi domestik
telah “tergerogoti”. Kejahatan genosida telah dianggap sebagai kejahatan terhadap hak asasi
manusia yang bersifat ekstratetorial. Jadi, telah menjadi kewajiban setiap negara untuk
melakukan tindakan atas nama kemanusiaan.
Relasi antara prinsip non-intervensi dan yurisdiksi domestik dalam Pasal 2 (7)
sebenarnya dapat didamaikan dengan tidak melakukan pengabaian terhadap kewenangan
PBB untuk penggunaan kekuatan memaksa yang diatur dalam Bab VII. Namun, dalam
prakteknya, kekuatan dewan keamanan yang diatur dalam Bab VII cenderung kurang efektif
karena adanya hak veto dari anggota tetap untuk membatalkan sebuah resolusi. Untuk
mengurangi kebuntuan tersebut maka pada tanggal 3 November 1950 dikeluarkan sebuah
resolusi majelis umum no 377 (V) tentang, “Uniting For Peace Resolution”. Resolusi tersebut
dibuat untuk menghindari kebuntuan yang terjadi dalam dewan keamanan tentang
penggunaan hak veto.
Prinsip non-intervensi juga menentukan bahwa antarnegara tidak boleh melakukan
intervensi. Hal ini didasari bahwa hubungan antarnegara didasari dari persamaan derajat dan
bebas. Larangan untuk intervensi antarnegara diatur dalam Piagam PBB Pasal 2 (4). Pasal
tersebut berbunyi :
“All members shall refrain in their international relation from the threat or use of force
against the teritorial integrity or political independence of any state, or in any other
manner inconsistent with the purpose of the United Nations.”
Terdapat beberapa kata penting dalam bunyi pasal tersebut, yaitu ancaman atau
penggunaan kekuatan (threat or use of force), kesatuan wilayah (teritorial intergrity),
kebebasan politik (political independence), dan tidak selaras dengan tujuan PBB.
Redaksi kata yang kemudian menjadi multitafsir tersebut adalah apakah kriteria yang
disebutkan dalam ketentuan pasal tersebut merupakan pembatasan atas non-intervensi?
Apakah jika terjadi sebuah tindakan dari sebuah negara namun tidak memenuhi kriteria di
atas, dapat dikatakan bahwa tindakan tersebut bukan merupakan sebuah intervensi? Untuk itu
maka akan dilihat dalam praktek-praktek negara dan juga keputusan pengadilan mengenai
ketentuan pasal tersebut.
Perumusan redaksi tersebut harus dibandingkan dengan pendahulunya, yaitu Pasal 10
Konvenan Liga Bangsa-Bangsa yang berbunyi:
“To respect and preserve as against external aggression the territorial integrity and
existing political independence of all members of the league.”
Jika dibandingkan dengan bunyi konvenan di atas, maka terlihat ada beberapa
penambahan dan pengurangan redaksional. Dalam bunyi pasal 2 (4), istilah agresi dihapuskan
karena dalam konfrensi San Fransisco tidak didapati kesepahaman mengenai definisi agresi
itu sendiri. Bunyi pasal tersebut berubah menjadi, “against territorial integrity or political
independence of any state”. Usulan penggantian kalimat tersebut merupakan respon terhadap
suara-suara dari negara lemah untuk menjamin mereka terhadap penggunaan kekerasan
bersenjata yang biasa dilakukan oleh negara adikuasa. Tafsiran penggunaan kekuasaan (use
of force) dalam konfrensi adalah penggunaan kekerasan fisik atau bersenjata (armed force).
Sedangkan penggunaan paksaan ekonomi atau psikologi tidak dapat dijadikan rujukan,
namun penggunaan paksaan tersebut tetap dilarang dalam pasal 39.
Jessup menyatakan bahwa pelarangan kekerasan bersenjata (use of force) yang dinyatakan
dalam pasal 2 (4) tidaklah absolut, jika penggunaan kekerasan tersebut tidak mengancam
kesatuan wilayah atau kebebasan politik dari suatu negara. Syarat tersebut dapat menghindari
dari batasan yang digunakan dalam kalimat pertama pasal tersebut. Selanjutnya harus dapat
dipastikan bahwa tindakan tersebut tidak melanggar tujuan dari PBB. Pendapat yang hampir
sama juga dikemukakan oleh Higgins, kekerasan bersenjata (use of force) yang dilarang
menurut hukum internasional adalah ketika ada keinginan negara untuk bermusuhan
ditambah dengan aktivitis militer. Menurut beliau setiap negara bisa menggunakan
kekesarasan bersenjata (use of force) untuk menyelematkan aset nasionalnya dalam kerangka
pertahanan diri (self defence) jika kerugian yang dihadapi tampak nyata (imminent), namun
hal tersebut dapat dilakukan jika negara yang berdaulat tidak mampu melindungi kepentingan
negara lain. Hal ini terpenuhi dalam kasus Entebee. Konsep penggunaan kekerasan bersenjata
dapat dibenarkan menurut ketentuan hukum internasional. Namun, penggunaan tindakan
tersebut harus dikaitkan dengan prinsip pembelaan diri (self defence) yang diatur dalam
piagam PBB pasal 51. Pasal itu berbunyi :
“Nothing in the present Charter shall impair the inherent right of
individual or collective self defence if an armed attack occurs
against a Member of the United Nations, until the Security Council
has taken measures necessary to maintain international peace and
security. Measures taken by Members in the exercise of this right of
self-defence shall be immediately reported to the Security Council
and shall not in any way affect the authority and responsibility of
theSecurity Council under the present Charter to take at any time
such action as it deems necessary in order to maintain or restore
international peace and security.”
Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersurat
dalam bunyi pasal tersebut, namun dalam travaux preparatoires
dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat
(inherent). Pengaturan hak tersebut memiliki presedenya apabila
dikaitkan dengan Kellog-Briand Pact 1928. Dalam perjanjian tersebut hak
pembelaan tidak disebutkan secara tersurat, namun menurut Tuan Kellog,
sekretaris negara Amerika Serikat, menyatakan bahwa hak membela diri
merupakan
sesuatu
yang
“inherent”
atau
melekat,
sehingga
penyebutannya dalam sebuah kata tidak lagi diperlukan.
Hak membela diri yang diatur dalam pasal tersebut dapat
dilakukan oleh negara dengan beberapa pembatasan. Pertama, hak
tersebut dapat dilaksanakan jika telah terjadi sebuah serangan bersenjata
(armed attack). Pemilihan kata “armed attack” dan tidak “forces” seperti
tersurat dalam pasal 2 (4) merupakan sebuah kemajuan. Dengan
menggunakan kata “armed attack” maka pengertiannya menjadi jelas dan
tidak dapat ditafsirkan berbeda-beda. Kedua, setelah dewan keamanan
mengambil tindakan yang perlu untuk memelihata perdamaian dan
keamanan internasional. Persyaratan tersebut harus dipenuhi oleh setiap
negara yang akan melaksanakan hak pembelaan dirinya.
Pelaksanaan hak membela diri apabila dikaitkan dengan pasal 2(4),
maka akan terlihat bahwa negara dalam melaksanakan hak-nya tidak
boleh menggunakan ancaman atau kekuatan yang mengganggu kesatuan
wilayah dan kemerdekaan politik negara lain. Tindakan yang diambil pun
tidak boleh bertentangan dengan tujuan PBB itu sendiri yakni, mencapai
perdamain dan keamanan dunia. Bunyi pasal 51 memang tidak
menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak
membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan
kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat
bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan
kekerasan bersenjata dalam kerangkan hak membela diri baik secara
individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan
itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta
mencapai keadilan sosial dan politik.
Hak membela diri menggunakan kekuatan bersenjata (armed force)
merupakan sebuah adopsi dari Kasus Kapal Caroline. Dalam kasus
tersebut terkenal sebuah pernyataan yang dikatakan oleh Daniel Webster,
seorang dari sekretariat Amerika Serikat. Beliau menyatakan keperluan
sebuah pembelaan diri harus memenuhi kriteria; instant (cepat),
overwhelming situation (mendukung), leaving no choices of means (tidak
ada cara lain), no moment for deliberation (tidak ada waktu untuk
menimbang). Syarat-syarat tersebut yang harus dapat dipenuhi oleh
sebuah atau sekelompok negara apabila ingin menegakkan hak-nya untuk
melakukan pembelaan diri dengan cara menggunakan kekerasan
bersenjata.
Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek
negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan
maknanya menjadi melindingi diri (self preservation). Bowett misalnya
mengatakan bahwa pasal 51 diartikan untuk melindungi hak untuk
membela diri bukan untuk membatasinya. Menurutnya tidak ada
hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak
ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru
dapat membela diri. Pendapat Bowett inilah kemudian yang memunculkan
doktrin anticipatory self-defence atau yang sering dipraktekan oleh
Amerika sebagai serangan pencegahan (pre-emptive strike) yang
dilakukan terhadap Afganistan dan Irak.
Ada dua pandangan mengenai hak membela diri. Pertama, adalah
Teori kumulatif, teori tersebut menyebutkan bahwa serangan yang
dilakukan oleh gerilyawan di sekitar perbatasan dilihat sebagai sebuah
keseluruhan. Jadi, tindakan penyerangan terhadap gerilyawan tersebut
dapat dilakukan sebagai sebuah antisipasi terhadap kemungkinan
serangan berikutnya yang akan dilakukan oleh gerilyawan tersebut.
Serangan pencegahan dapat dijustifikasi dalam kerangka hak membela
diri antisipatif. Tindakan tersebut harus didasarkan atas serangan yang
terus-menerus serta keyakinan bahwa serangan tertentu akan tetap terus
berlangsung. Tindakan inilah yang sering dijalankan oleh Israel terhadap
Palestina dan Libanon. Kedua, hak membela diri dilakukan apabila telah
terjadi sebuah serangan bersenjata, pendapat ini sepaham dengan bunyi
pasal 51. Henkin menyatakan bahwa dalam draft penyusunan pasal 51
tidak ditemukan bahwa penafsiran atas hak membela diri dapat dilakukan
secara meluas. Bunyi pasal secara eksplisit menyatakan bahwa hak
membela diri timbul ketika terjadi serangan bersenjata. Pasal tersebut
tidak boleh diartikan bahwa negara dapat melakukan sebuah serangan
lebih dahulu atas asumsi melakukan pembelaan diri.
Konsep membela diri dalam ketentuan pasal 51 piagam PBB, dapat
dilakukan baik secara individual maupun kolektif. Ketentuan tersebut
mensyaratkan bahwa setiap tindakan bela diri yang dilakukan oleh negara
(individu maupun kolektif) harus dilaporkan kepada dewan keamanan
sebagai organ PBB yang memiliki otoritas untuk memulihkan perdamaian
dan keamanan internasional. Kewajiban yang dimiliki oleh pihak yang
melakukan tindakan bela diri tersebut dalam prakteknya sulit untuk
dilakukan, karena yang biasa terjadi adalah setelah serangan pembelaan
diri itu dilakukan, baru kemudian dilaporkan oleh para pihak.
C. Intervensi Kemanusiaan Menurut Hukum Internasional
Sebagian pendapat dari para pakar hukum internasional
mengindikasikan bahwa doktrin intervensi kemanusiaan bertentangan
dengan hukum internasional. Hal ini dikarenakan doktrin tersebut
bertentangan dengan salah satu prinsip fundamental dalam hukum
internasional yaitu prinsip non intervensi.
Prinsip non intervensi menurut sebagian pendapat ahli telah sampai
pada tahap peremptory norm (jus cogens). Ketika sebuah prinsip dalam
hukum internasional telah mencapai derajat Jus Cogens, maka prinsip
tersebut tidak dapat dikecualikan dalam keadaan apapun. Jus Cogens
dalam hukum internasional pun masih menjadi perdebatan. Sulit untuk
menentukan faktor apakah yang dapat menjadikan sebuah prinsip dalam
hukum internasional menjadi sebuah Jus Cogens.
Menurut Schwarzerberger untuk membentuk jus cogens internasional, suatu aturan
hukum internasional harus memiliki sifat-sifat yang universal atau asas-asas yang
fundamental, misalnya asas-asas yang yang bersangkutan harus mempunyai arti yang luar
biasa dalam hukum internasional di samping arti penting istimewa dibandingkan dengan
asas-asas lainnya. Selain itu, asas-asas tersebut merupakan bagian esensial daripada sistem
hukum internasional yang ada atau mempunyai karakteristik yang merupakan refleksi dari
hukum internasional yang berlaku. Apabila sifat-sifat ini diterapkan, akan timbul tujuan asas
fundamental dalam tubuh hukum internasional, yaitu: kedaulatan, pengakuan, pemufakatan,
itikad baik, hak membela diri, tanggung jawab internasional dan kebebasan di laut lepas.
Sedangkan menurut Vedross terdapat tiga ciri aturan atau prinsip yang dapat menjadi
Jus Cogens hukum internasional yaitu:
1) Kepentingan bersama dalam masyarakat internasional.
2) Timbul untuk tujuan-tujuan kemanusiaan.
3) Sesuai atau selaras dengan piagam PBB.
Kemungkinan sebuah prinsip menjadi jus cogens sangat mungkin
dalam hukum internasional jika telah melewati tahapan yang diajukan
oleh beberapa pendapat para ahli tersebut. Namun, dalam perkembangan
hukum internasional, setiap ketentuan dan norma itu selalu berubah
sesuai dengan ketentuan zaman, lalu bagaimana menentukan sebuah
prinsip dapat dipertahankan sebagai sebuah norma yang tidak boleh
dikecualikan dalam praktek-praktek negara menurut hukum internasional.
Shen menyandarkan pendapatnya bahwa prinsip non intervensi
telah masuk dalam kategori jus cogens berdasarkan instrumen-instrumen
hukum internasional dan keputusan mahkamah internasional. Pasal 2(4)
Piagam PBB menurut beliau merupakan dasar utama yang
harus dirujuk ketika mengatakan bahwa prinsip non intervensi merupakan
sebuah jus cogens. Ketentuan piagam tersebut kemudian didukung oleh
deklarasi yang dibuat oleh majelis umum PBB tentang Declaration on the
Inadmissibility of Intervention in the Domestic Affairs of States and the Protection of their
Independence and Sovereignty ( G.A. Res. 2131/XX, 21 Desember 1965). Dalam paragraf
pertama deklarasi tersebut disebutkan bahwa setiap negara tidak memiliki hak untuk
melakukan intervensi, langsung maupun tidak langsung, untuk alasan apapun, di dalam
urusan dalam dan luar negeri sebuah negara.
Deklarasi tersebut diteguhkan kembali oleh masyarakat
internasional melalui deklarasi majelis umum PBB, yang dikenal dengan,
Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and Cooperation among States in accordance with the Charter of the United Nations (G.A. Res. 2625
(XXV), 24 Oktober. 1970). Deklarasi tersebut tidak hanya mengutuk sebuah tindakan
intervensi, namun juga menyatakan bahwa tindakan intervensi merupakan sebuah
pelanggaran terhadap hukum internasional, sehingga perihal intervensi akan masuk dalam
sebuah tanggung jawab internasional.
Prinsip non intervensi kembali diteguhkan oleh mahkamah internasional (ICJ) dalam
memutus perkara antara Nikaragua Vs Amerika Serikat. Mahkamah menyatakan bahwa:
"Prinsip non-intervensi melibatkan hak setiap Negara berdaulat untuk melakukan
urusan tanpa campur tangan dari luar, meskipun contoh-contoh pelanggaran terhadap
prinsip ini tidak jarang terjadi, Mahkamah menilai bahwa itu adalah bagian dari
hukum kebiasaan internasional. Antara negara merdeka, menghormati kedaulatan
teritorial merupakan fondasi penting dari hubungan internasional dan hukum
internasional memerlukan integritas politik juga harus dihormati .... Keberadaan
opinio juris dalam States of prinsip non-intervensi didukung oleh praktek didirikan
dan substansial. Ini telah apalagi telah disajikan sebagai akibat wajar dari prinsip
kesetaraan kedaulatan Negara-negara ... "
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka prinsip non intervensi dapat dikategorikan
sebagai jus cogens. Namun, tidak semua pakar hukum internasional sepakat bahwa prinsip
non intervensi dapat dikategorikan sebagai sebuah jus cogens. Alasan mereka adalah bahwa
prinsip non intervensi bukanlah sesuatu yang absolut. Masih dimungkinkan menurut hukum
internasional untuk melakukan intervensi atas dasar kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya menurut para pendukungnya
berdasarkan penafsiran atas pasal 2 (4) Piagam PBB. Pasal 2 (4) bukanlah sebuah larangan
yang absolut, melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar kesatuan
wilayah (territorial integrity), kebebasan politik (political independence) dan tidak
bertentangan dengan tujuan PBB (in any other manner inconsistent with the Purposes of the
United Nations). Menurut hasil penelitian D’Amato, kesatuan wilayah dimaksudkan jika
sebuah negara kehilangan wilayahnya secara permanen sedangkan dalam intervensi
kemanusiaan pihak yang melakukan intervensi tidak mengambil wilayah negara secara
permanen, tindakan tersebut hanya untuk memulihkan hak asasi manusia.
Intervensi kemanusiaan tidak melanggar kebebasan politik sebuah negara. Tindakan
tersebut hanya bertujuan untuk memulihkan hak asasi manusia pada suatu negara. Setiap
negara dan penduduknya tetap memiliki kebebasan politik. Atas asumsi ini intervensi
kemanusiaan tidak melanggar piagam PBB.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Teson, menurut beliau kekerasan bersenjata hanya
dilarang oleh PBB jika melanggar;
(a) when it impairs the territorial integrity of the target state; (ketika merusak integritas
wilayah negara target)
(b) when it affects its political
independensi politik, atau)
independence;
or
(ketika mempengaruhi
(c) when it is otherwise against the purposes of the United Nations. (bila sebaliknya
terhadap tujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa).
Intervensi kemanusiaan dapat dikatakan sah apabila tidak melanggar batasan yang
ditentukan oleh ketentuan pasal 2(4). Legalitas intervensi kemanusiaan kemudian juga
dihubungkan dengan tujuan PBB untuk menghormati hak asasi manusia (Pasal 1 (3) Piagam
PBB). Menurut D’Amato, sejak tahun 1945 dan lahirnya konvensi tentang pelarangan
genosida, deklarasi HAM universal, maka kewenangan negara untuk bertindak sewenangwenang atas warganya telah dibatasi. Batas teritorial sudah tidak menjadi permasalahan
dalam pelaksanaan dan perlindungan HAM.
Kedaulatan negara yang biasanya menjadi alasan bahwa intervensi kemanusiaan tidak
dapat dibenarkan berdasarkan hukum internasional secara kontekstual telah gagal. Pendapat
ini diberikan oleh Hans Kelsen, menurut beliau, bahwa tujuan adanya hukum internasional
adalah untuk membatasi kedaulatan negara itu sendiri Sejak individu menjadi subyek hukum
internasional, maka sebenarnya kedaulatan negara itu diperoleh dari individu yang
mendelegasikan kewenangannya kepada negara. Jadi, ketika negara telah melanggar hak-hak
individu, maka para individu tersebut dapat meminta bantuan kepada pihak lain (negara)
untuk memulihkan hak-hak mereka. Pada saat itulah intervensi kemanusiaan menjadi eksis
dan timbul kewajiban negara untuk melakukan kerjasama (bantuan) antara mereka untuk
melindungi dan mempromosikan hak asasi manusia.
Praktek-praktek negara saat ini juga telah menimbulkan sebuah preseden, bahwa
intervensi kemanusiaan dapat dianggap sebagai kebiasaan internasional. Intervensi
kemanusiaan merupakan sebuah kewajiban tiap-tiap negara. Doktrin tersebut bukan
merupakan hak seperti hak membela diri. Doktrin tersebut menjadi eksis ketika terjadi sebuah
pelanggaran terhadap hak asasi manusia. Intervensi tersebut dapat dilakukan baik secara
individual maupun kolektif.
Masyarakat internasional telah bersepakat bahwa intervensi kemanusiaan hanya bisa
dilakukan secara kolektif melalui otoritas dewan keamanan dengan membentuk kerjasama
internasional. Hal ini didasarkan melalui piagam PBB bab VII, yang merupakan pasal tentang
pengecualian penggunaan kekerasan bersenjata. Namun, yang masih menjadi perdebatan
adalah intervensi kemanusiaan yang dilakukan secara unilateral atau kolektif tetapi tanpa
adanya otoritas dari dewan keamanan.
Kritik yang sering disorot atas legitimisi penggunaan kekerasan atas nama intervensi
kemanusiaan adalah seringnya tindakan tersebut disalahgunakan oleh negara kuat untuk
menekan kebebasan dan kemerdekaan negara lemah. Shen menyatakan, intervensi
kemanusiaan bukanlah sebuah persoalan hukum, doktrin tersebut merupakan permasalahan
kepentingan (interest), kekuatan (power) dan dominasi (dominance). Kritik itu dihadapi oleh
pembela legitimasi intervensi kemanusiaan dengan sebuah analogi polisi dengan kantor
polisi. Jika ada seorang polisi yang menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya, apakah
kemudian untuk meminimalisir penyelewengan tersebut kita harus menutup semua kantor
polisi?. jawabannya tentu tidak. Begitupun dengan intervensi kemanusiaan, tugas hukum
internasional dan masyarakat internasional adalah bagaimana melindungi dan
mempromosikan agar pelanggaran hak asasi manusia tidak terjadi, bukannya menghapus
intervensi kemanusiaan.
Praktek negara dalam intervensi kemanusiaan dapat ditemukan pada pasukan koalisi
Amerika Serikat, Inggris dan Perancis di Irak pada tahun 1991. Koalisi tersebut menyambut
resolusi dewan keamanan 688 yang mengutuk tindakan pemerintahan Irak kepada suku
Kurdi. Dalam resolusi tersebut dewan keamanan tidak menyebutkan sebuah tindakan
bersenjata kolektif maupun intervensi menggunakan kekerasan senjata. Namun, beberapa
bulan kemudian tiga negara tersebut melakukan operasi “Safe Hands” di Irak Utara dengan
alasan kemanusiaan. Sekjen PBB, Perez de Cuellar, menyebutkan bahwa operasi tersebut
dapat melanggar kedaulatan Irak, apabila tidak ada izin dari pemerintahan Irak atau otorisasi
dari dewan keamanan. Namun, sekjen PBB juga mengungkapkan pentingnya tindakan atas
dasar tujuan moral dan kemanusiaan. Untuk melegalisasi tindakan koalisi tersebut, akhirnya,
Irak memberikan izinya kepada PBB untuk mengirim bantuan kemanusiaan di Irak Utara.
Kasus di atas dapat dijadikan contoh intervensi kemanusiaan. Seperti apa yang
dikatakan pemerintah Inggris, bahwa intervensi yang dilakukan di Irak Utara memang pada
kenyataannya tidak diberikan mandat oleh PBB. Namun, kami bertindak di Irak Utara
berdasarkan prinsip intervensi kemanusiaan yang diatur dalam hukum kebiasaan
internasional. Praktek intervensi kemanusiaan yang terjadi di Irak juga terjadi di Yugoslavia
dan Somalia pada tahun 1992. Meskipun, dewan keamanan mempunyai legitimasi untuk
menggunakan kekuatan bersenjata berdasarkan bab VII piagam PBB, namun yang terjadi
adalah bahwa negara atau sekelompok negara melakukan sebuah intervensi dengan alasan
kemanusiaan dan kemudian di legitimasi oleh resolusi dewan keamanan. Untuk menganalisa
intervensi kemanusiaan tersebut, menurut Dinstein harus dilihat beberapa keadaan yang
merupakan sebuah pengecualian; Pertama, kekuatan pasukan koalisi bertindak pada saat
tindakan permusuhan telah diberhentikan sementara melalui gencatan senjata. Kedua,
resolusi dewan keamanan mendasari putusannya bahwa tindakan yang terjadi merupakan
sebuah ancaman terhadap keamanan dan perdamaian internasiona.
Tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi sebenarnya harus didasarkan landasan
yang kuat. Dengan adanya resolusi yang dikeluarkan oleh dewan keamanan, menandakan
bahwa tindakan yang dilakukan oleh pasukan koalisi merupakan sebuah pengecualian dari
larangan penggunaan kekerasan bersenjata oleh negara secara unilateral maupun kelompok
tanpa otorisasi dewan keamanan. Praktek negara telah membuktikan sekali lagi membuktikan
bahwa intervensi kemudian merupakan sebuah pengecualian meskipun dalam piagam tidak
ditemukan pengaturan secara tegas tentang intervensi kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan memang tidak mendapatkan pengaturan yang eksplisit dalam
piagam PBB. Namun, ketentuan pelarangan penggunaan kekuatan bersenjata yang diatur
dalam piagam PBB pun masih dapat ditafsirkan berbeda, apakah ia merupakan sebuah
pelarangan yang absolut atas penggunaan kekuatan bersenjata atau batasan dalam
penggunaan kekerasan bersenjata.
Putusan mahkamah juga tidak ada yang melegitimasi sebuah intervensi kemanusiaan.
Keputusan ICJ dalam kasus Nikaragua versus Amerika, membatalkan alasan Amerika yang
mendasari bahwa kekuatan bersenjata yang ia lakukan merupakan sebuah tindakan legal atas
dasar perlindungan terhadap hak asasi manusia.
Namun, putusan ICJ tersebut tidak ditafsirkan bahwa intervensi kemanusiaan
bertentangan dengan hukum internasional. ICJ menolak alasan yang digunakan Amerika
karena sangat tidak masuk akal. Menurut ICJ penggunaan kekerasan bersenjata yang
digunakan dengan alasan kemanusiaan harus sesuai dengan peruntukkannya sedangkan apa
yang dilakukan Amerika adalah meledakkan dermaga, instalasi minyak yang tidak memiliki
korelasi dengan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Alasan itulah yang digunakan
untuk menolak argumen Amerika, ICJ tidak menyatakan secara eksplisit bahwa intervensi
kemanusiaan bertentangan dengan hukum internasional.
KESIMPULAN
Berdasarkan permasalahan yang diungkapkan dalam Bab I serta pembahasan masalah
dalam Bab II, maka penulis dalam penulisan makalah ini mengambil beberapa simpulan
sebagai berikut :
1. Instrumen hukum internasional menyebutkan secara eksplisit bahwa prinsip non
intervensi merupakan salah satu prinsip fundamental dalam hukum internasional. Hal
tersebut dapat dilihat dalam Pasal 1 (1), 2 (4), (7) Piagam PBB. Selain itu Deklarasi
yang dikeluarkan oleh majelis umum PBB ( Declaration On The Inadmissibility of
Intervention In The Domestic Affairs of State (G.A.R. 2131/ XX, 21 Desember 1965)
dan Declaration on Principles of International Law concerning Friendly Relations and
Co-operation among States in accordance with the Charter of the United Nations
(G.A. Res. 2625/ XXV, 24 Oktober 1970), meneguhkan kembali bahwa prinsip non
intervensi merupakan sebuah prinsip fundamental dalam hukum internasional.
Putusan ICJ atas kasus Nikaragua versus Amerika, kembali meneguhkan prinsip
tersebut sebagai salah satu prinsip dasar hukum internasional. Namun, status prinsip
non intervensi sebagai jus cogens masih diperdebatkan oleh beberapa pakar hukum
internasional.
Meskipun tidak disebutkan secara eksplisit dalam ketentuan hukum internasional,
intervensi kemanusiaan mendapatkan legitimasinya berdasarkan penafsiran Piagam
PBB, Pasal 1 (3) dan Pasal 2 (4). Prinsip intervensi kemanusiaan juga dapat dilihat
dari praktek-praktek negara dan kebiasaan hukum internasional kontemporer.
Sedangkan pengaturan secara eksplisit dalam hukum internasional mengenai
intervensi kemanusiaan tidak dapat penulis temukan.
1. Intervensi kemanusiaan tidak melanggar hukum internasional. Doktrin tersebut
merupakan pengecualian dari prinsip non intervensi. Masyarakat internasional sudah
mencapai sepakat mengenai bahwa tindakan intervensi kemanusiaan yang paling
utama adalah intervensi kemanusiaan kolektif dan mendapat otorisasi dari dewan
keamanan. Namun, yang mengenai intervensi kemanusiaan secara unilateral harus
dibuat aturannya oleh masyarakat internasional. Intervensi kemanusiaan tidak
melanggar hukum internasional karena sesuai dengan tujuan PBB (Pasal 1 ayat 3).
Intervensi kemanusiaan harus benar-benar didasarkan atas alasan-alasan kemanusiaan.
Meskipun alasan tersebut sering disalahgunakan oleh negara adikuasa terhadap negara
terbelakang, namun hal tersebut tidak dapat dijadikan alasan bahwa intervensi
kemanusiaan melanggar hukum internasional.
1. Bila sebaliknya terhadap Perserikatan Bangsa-tujuan Bangsa.1965 (G.A.R. 2131 /XX)
2. Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional 1970. (G.A.R. 2625/ XXV)
3. Piagam PBB., Pasal 1 ayat 1.
4. Deklarasi Wina, 1993, Pasal 5.
5. Bryan A. Garner ed, Hukum Kamus Black, Edisi Ketujuh, Buku 1, Grup
Barat, ST..
Paulus,Minh, 1999, hlm. 826
6. Parry dan Grant, Kamus ensiklopedik Hukum Internasional, Oceana Publikasi,
Inc, New York, 1986, hlm. 190-191.
7.
Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 31.
8. Philip C. Jessup, Sebuah Hukum Modern Bangsa-Sebuah Pengantar-,
Perusahaan MacMillan, New York, 1951, hlm. 172-173.
9. J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, 3rd Edition, Butterworth & Co Ltd,
London, 1954, hlm. 89-90.
10. Ibid., hlm. 90.
11. Eric Adjei, The Legalitiy Intervensi Kemanusiaan, Tesis, University of
Georgia, 2005, hlm. 8.
12. Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Imunitas Kedaulatan Negara di Forum Pengadilan Asing,
Alumi, Bandung, 1999, hlm. 27.
13. Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003, hlm.19.
14. 15 Goodrich dan Hambro, Charter of The United Nations Commentary and Documents,
World Peace Foundation Boston, 1949, hlm. 110-121.
16. Antony D’Amato, “Domestic Jurisdiction1", Ensiklopedi Hukum Internasional
Publik,992, hlm.1090-1096.
17. D.J. Harris, op.cit., hlm. 968-969.
18. Goodrich dan Hambro, op.cit., hlm.103.
19 . Ibid.
20. Ibid., hlm. 104.
21. Philip C. Jessup, op.cit., hlm. 162.
22. Rosalyn Higgins,. Masalah dan Hukum Proses Internasional dan Bagaimana
Kami menggunakannya, Oxford University Press, Inggris 1994, hlm. 246
23. Ibid.
24. Goodrich and Hambro, op.cit., hlm.299.
25. Rosalyn Higgins, op.cit., hlm. 238.
26. J.L. Brierl, , Hukum Bangsa Clarendon Press, Great Britain, 1955, hlm. 316.
27. D.J. Harris, op.cit., hlm. 897.
28 Ibid., hlm. 898.
29. Ibid., hlm. 897.
30 Jianming Shen2, Prinsip Non Intervensi dan Intervensi Kemanusiaan di
bawah Hukum Internasional, Teori Hukum Internasional,
31 Yudha Bhakti Ardhiwisastra, Hukum Internasional (Bunga Rampai), P.T. Alumni,
Bandung, 2003, hlm. 171.
32 Ibid., hlm. 176.
33 Jianming Shen, Ibid., hlm.
34 Yoram Dinstein, , Perang, Agresi dan Self-Pertahanan, Edisi Kedua,
Cambridge University Press, Australia, 1994, hlm. 89.
35 Anthony D’Amato, 36 Eric Adjei, Ibid., hlm.29.
37 Anthony D’Amato, Ibid., hlm.21.
38 Ibid., hlm.20. Tidak ada Norma Intervensi atau Intervensi Non dalam
Hukum Internasional, Teori Hukum Internasional, Asil 2001, hlm.20.
39 Hans KelsenBee , Teori Umum Hukum dan Negara (Alih bahasa oleh
Somardi),Media, Jakarta, 2007, hlm.414-415
40 Jianming Shen, Ibid., hlm.9.
41 Eric Adjei, Ibid., hlm. 58.
42 Yoram Dinstein, Ibid., hlm. 91.
43 Jianming Shen, Ibid., hlm.12.
DAFTAR PUSTAKA
Brierly, J.L., Hukum Bangsa-Bangsa,Clarendon Press, Great Britain, 1955.
Dinstein, YoramSecond Edition, Cambridge University Press, Australia, 1994.
D’Amato, Anth, Perang, Agresi dan Self-Pertahanan,ony, “Domestic Jurisdiction”,
Encyclopedia of Public International Law, Elsevier, North-Holland, Amsterdam, 1992.
Garner, A. Bryan. edGoodrich and Hambro, Charter of The United Nations Commentary and
Documents, World Peace Foundation Boston, 1949.
Harris, D.JFift, Kasus. Dan Bahan Hukum Internasional,h Edition, Sweet &
Maxwell, London, 1998..
Higgins, Rosalyn, Problem and Process International Law and How We use it, Oxford
University Press, England 1994.
Huala Adolf, Aspek-Aspek negara dalam hukum internasional, cet ketiga, PT
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2002.
Jessup, C. Philip , Sebuah Hukum Modern Bangsa-Sebuah Pengantar The
MacMillan Company, New York, 1951.
Kelsen, Hans, Teori Umum Hukum dan Negara (alih bahasa oleh Somardi), Bee Media,
Jakarta, 2007.
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Buku I), Cet II, Binacipta,
Bandung, 1977
Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,
Bandung, 2003.
Parry and Grant, Encyclopaedic Dictionary of International Law, Oceana Publication,
Inc., Newyork, 1986.
Starke, J.G., An Introduction To International Law, 3rd Edition, Butterworth & Co. Ltd,
London, 1954.