PROPOSAL TESIS (5) id. docx
PROPOSAL TESIS
Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan
Pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Kontribusinya Terhadap Pajak
Daerah
Oleh :
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...….i
BAB I Pendahuluan …………………………………………………………………….…...1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………….…….1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….……………...4
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………4
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………….….…..4
1.5 Batasan Masalah ……………………………………………………….………..5
BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………….......6
2.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) ……………………………...6
2.2 Pajak …………………………………………………………….……………......7
2.2.1 Fungsi Pajak ……………………………………………………….…..8
2.2.2 Macam-macam Tarif Pajak ……………………………..……….......9
2.2.3 Klasifikasi Pajak ………………………………………………….…..10
2.2.4 Pajak Kendaraan Bermotor ………………………………..………..12
2.2.5 Nilai Jual Kendaraan Bermotor …………………………….………14
2.3 Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan Penerimaan Pajak
Kendaraan
Bermotor
…………………………………………………………….
…..15
2.4 Konsep Produk Domestik Regional Bruto ...…………………………………..15
2.5 Hubungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dengan
Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor ..............................................................16
2.6 Penelitian terdahulu ……………………………………………………….…….17
2.7 Hipotesis ……………………………………………………………………….…17
1
2.8 Kerangka Analisis ……………………………………………………….…...…18
BAB III Metode Penelitian …................................................................................19
3.1 Lokasi Penelitian ………………………………………………………………..19
3.2 Objek Penelitian ……………………………………………….…………..……19
3.3 Identifikasi Variabel …………………………………………………..………..19
3.4 Jenis dan Sumber Data ……………………………………………….………..19
3.5 Metode Pengumpulan Data ……………………………………………………20
3.6 Analisis Data …………………………………………………………………….20
3.7 Sistematika Pembahasan ………………………………………………….……20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….19
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Untuk melaksanakan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung
jawab tolak ukur yang paling penting untuk menentukan tingkat
kemampuan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (Aziz,1997).
Prinsip-prinsip keterbukaan, tanggung jawab terhadap masyarakat
dan partisipasi masyarakat merupakan tanggung jawab dan kewenangan
daerah otonom. Pemberian otonomi ini memiliki dasar prinsip berdasarkan
pertimbangan dimana semua kebutuhan dan standar pelayanan bagi
masyarakat daerah hanya daerah tersebut yang lebih mengetahui. Untuk
menyemangati pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
pemberian otonomi daerah merupakan pengharapan dari pertimbangan ini.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat,
martabat, kualitas, serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat
(Sumitro,1995). Untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang berjalan secara
berkesinambungan maka pembangunan merupakan suatu rangkaian proses
pertumbuhan.
Untuk
meningkatkan
kemampuan
daerah
dalam
mewujudkan peningkatan kesejahteraan bangsa dan negara secara merata
dan adil, dan juga untuk mendapatkan kehidupan yang sejajar dari daerah
yang lebih maju. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
yang adil dan merata kepada rakyat, alternatif yang dapat meningkatkan
peran yang nyata dan kemandirian daerah dapat berupa pemberian
otonomi kepada daerah tersebut.
Sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, Sebagai
Negara yang berkembang dan giat melaksanakan pembangunan disegala
1
bidang yang bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Diperlukan dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan pembangunan.
Untuk memenuhi peningkatan pembangunan pemerintah memperoleh dana
dari luar negeri berupa pinjaman dan penjualan hasil alam dan produksi,
serta penerimaan dari sktor pajak dari dalam negeri.
Sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dari dalam
negeri. Sumber dana terbesar yang berasal dari mayarakat merupakan
salah satunya ialah pajak. Salah satu tulang punggung penerimaan negara
ialah pajak dimana semakin menurunnya penerimaan pemerintah dari
sektor migas.
Dengan menyadari taat membayar pajak masyarakat mengetahui
betapa pentingnya pajak bagi pembagunan nasional dan masyarakat dapat
sadar bahwa mereka dapat ikut berperan dalam pembangunan nasional.
Sejak tahun 1984 pajak mulai dipungut, dan sesuai degan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1983 menganut Self Assesment System secara penuh, untuk
membayar
pajak
masyarakat
hendaknya
berperan
aktif
untuk
berpartisipasi. Aurbech dan Husset (1992) berpendapat dimana kebijakan
pajak bertujuan untuk membangun menjaga kondisi perekonomian pada
saat kesempatan kerja penuh. Di Indonesia pajak dikelmpokkan menjadi
dua, yaitu Pajak Daerah dan Pajak Pusat. Pajak pusat dan pajak daerah
merupakan suatu sistem perpajakan di Indonesia yang pada dasarnya
merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan
tersebut dapat memberikan beban yang adil kepada masyarakat (Acmad
Lutfi, 2006).
Salah satu kewajiban negara ialah dengan mewajibkan membayar
pajak sesuai Undang-Undang 1945, undang-undang menetapkan bahwa
2
rakyat memiliki beban seperti pajak, dan lain-lain. Pembinaan Pajak
daerah saat ini dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional, dimana
akan saling melengkapi sehingga akan dilakukan terus menerus
pembinaaan mengenai tarif pajak dan objek pajak.
Menurut Zaenal (1985) PAD yang antara lain berupa Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
daerah
untuk
meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian daerah mampu melaksanakan otonomi yaitu mampu mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Begitu pula berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, APBD bersumber dari PAD dan Penerimaan
berupa Dana Perimbangan yang bersumber dari APBN.
Semakin meningkatnya pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, ini
sesuai pula dengan disertai meningkatnya komunikasi dan teknologi,
begitu pula dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi. Dana yang
dibutuhkan tidaklah sedikit untuk mewujudkan pembangunan, dan dapat
dari berbagai sumber dana atau pendapatan. Berdasarkan uraian diatas,
maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul :
“Analisis
Faktor
-
faktor
yang
mempengaruhi
peningkatan
pendapatan pajak kendaraan bermotor dan kontribusinya terhadap
pajak daerah”
1.2
Rumusan Masalah
3
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan, maka
rumusan masalahnya:
1.
Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi pedapatan pajak kendaraan
2.
bermotor?
Kendala Apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan
3.
bermotor ?
Bagaimana kontribusi pajak kendaraan bermotor dalam pajak daerah ?
1.3
Tujuan
Tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang masalah dan
pokok permasalahannya ialah :
1.
Untuk mengetahui Faktor- faktor apa saja yang mempengaruh pendapatan
2.
pajak kendaraan bermotor.
Untuk mengetahui Kendala Apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak
3.
kendaraan bermotor.
Untuk mengetahui persentase kontribusi pajak kendaraan bermotor pada
pajak daerah.
1.4
1.
Manfaat Penilitian
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran, pemahaman dan
wawasan yang lebih luas tentang sumber-sumber penerimaan daerah yang
berasal dari pajak serta proses penetapannya, khususnya Pajak Kendaraan
2.
Bermotor (PKB) dalam organisasi sektor publik.
Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan masukan kepada pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah dan Dinas
Pendapatan Provinsi Jambi mengenai pajak Kendaraan Bermotor.
1.5
Batasan Masalah
4
Penelitian ini hanya sebatas mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan bermotor, untuk mengetahui
kendala apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan
bermotor, dan mengetahui persentase kontribusi pajak kendaraan bermotor
pada pajak daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan definisi
otonomi daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Asas penting dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
otonomi daerah yang perlu dipahami, antara lain:
1. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5
2.
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
3.
instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
4.
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu
sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta
pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan
dengan
kewajiban
penyelenggaraan
dan
pembagian
kewenangan
tersebut,
kewenangan
termasuk
serta
tata
cara
pengelolaan
dan
pengawasan keuangannya.
Otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi
perekonomian daerah. Beberapa indikator ekonomi atas keberhasilan suatu daerah
dalam melaksanakan otonomi daerah adalah (Wenny, 2012):
1. Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riel, sehingga
2.
pendapatan per kapita akan terdorong.
Terjadinya kecenderungan peningkatan investasi, baik investasi asing maupun
3.
4.
domestik.
Kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/usaha di daerah.
Adanya kecenderungan meningkatnya kreativitas pemda dan
masyarakatnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Keuangan Daerah
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah
6
daerah
dalam
membiayai
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Keuangan daerah secara
sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang
maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki dan dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta
pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundangan yang
berlaku (Halim, 2007:230).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 1 ayat 5,
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan dan aset tak berwujud.
Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian
pemerintah
dalam
keuangan
membiayai
daerah
sendiri
menunjukkan
kegiatan
kemampuan
pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
7
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah
(Halim, 2002:128). Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi
tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen PAD.
Kemandirian keuangan daerah dapat diukur menggunakan rasio
kemandirian. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah,
tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama
pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan sebaliknya (Halim,
2004:150).
Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli
Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah
tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil
ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri
dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.1
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
8
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
operasional keuangan pemerintah daerah, dimana di satu pihak
menggambarkan
perkiraan
pengeluaran
setinggi-tingginya
guna
membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun
anggaran tertentu, dan pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan
dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaranpengeluaran yang dimaksud (Halim, 2007:20).
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Pasal 1 (b), Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah sesuai keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 29Tahun 2002 mengenai pedoman pengurusan.
Besarnya pendapatan dan pengeluaran dapat diukur dengan
menentukan APBD. APBD pun merupakan dokumen anggaran tahunan
dimana seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah
yang dicatat dalam APBD selama pelaksanaan satu tahun anggaran. Demi
menghasilkan APBD yang sangat dibutuh masyarakat sesuai dengan
potensi daerah masing-masing dan dapat memenuhi tuntunan terciptanya
anggaran daerah yang berorientasi pada akuntan publik dan kepentingan.
Untuk menyelenggarakan fungsi daerah otonom maka APBD merupakan
rencana kerja keuangan yang sangat penting. Menurut Mardiasmo
(2002:28), pentingnya penyusunan APBD di suatu daerah berguna bagi
9
peningkatan kesejahteraan daerahnya dimana hal tersebut dapat dilihan
antara lain:
1) Menentukan jumlah pungutan pajak dan retribusi daerah serta pengutan lainnya
yang dilakukan kepada masyarakat.
2) Merupakan sarana mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab.
3) Memberikan isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya
dan kepada daerah yang khususnya, karena APBD menggambarkan seluruh
kebijakan pemerintah daerah.
4) Merupakan sarana untuk melakukan pengawasan terhadap daerah dengan cara
yang lebih mudah dan berhasil guna.
5) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melakukan
penyelenggaraan keuangan daerah di dalam batas- batas tertentu.
2.2
Pajak
Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945
yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus
berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini mengandung konsekuensi
secara mendalam terhadap negaratatkala memerlukan pajak untuk
membiayai tujuannya sebagaimana tercantum dalamalinea keempat
pembukaan UUD 1945. pajak yang diperlukan itu harus berdasarkan
undang-undang, berarti pemungutan pajak yang tidak di dasarkan pada
undang-undang tidak boleh dilakukan. Sebenarnya pasal 23 ayat 2 UUD
1945 tersiratlegalitas tidak membenarkan pemungutan pajak kalau belum
ada undang-undang yang mengaturnya.Setelah UUD 1945 diamandemen,
pasal 23 ayat 2 UUD 1945 diganti dengan pasal 23A UUD 1945 yang
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
10
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara tegas
memisahkan antara pajak dengan pungutan lain yang bersifat memaksa.
Menurut Rochmat Sumitro (2000), pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public Saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment.sedangkan
menurut Ilyas dan Burton (2001:5), bahwa ada lima unsur yang melekat
dalam pengertian pajak, yaitu :
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.
2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak.
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh Negara baik oleh pemerintah pusat ataupun
daerah ( tidak boleh dipungut oleh swasta), dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin
dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
2.2.1 Fungsi Pajak
Menurut IIyas dan Burton (2001 : 8), terdapat empat fungsi pajak
yaitu:
1. Fungsi Budgeter yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak
banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktunya akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara baik untuk
pengeluaran rutin ataupun pembangunan. Pajak berfungsi sebagai sumber dana
yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Contoh : Dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam
negeri.
2. Fungsi Regulerend yaitu pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Pajak berfungsi sebagai alat
11
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang social dan ekonomi.
Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras,
sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan, demikian pula terhadap
barang mewah.
3. Fungsi Demokrasi yaitu suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan
pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
4. Fungsi Distribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataaan
dan keadilan dalam masyarakat. Wajib pajak harus membayar pajak, pajak
tersebut digunakan sebagai biaya pembangunan dalam segala bidang.
Pemakaian pajak untuk biaya pembangunan tersebut, harus merata ke seluruh
pelosok tanah air agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya
bersama.
2.2.2 Macam-macam tarif Pajak
Tarif pajak merupakan salah satu unsur keadilan dalam
pemungutan pajak bagi wajib pajak. Ilyas dan Burton (2001 : 26)
berpendapat :
1. Tarif Degresif : Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang
persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak
semakin besar.
2. Tarif Progresif : Tarif Progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin
besar jika yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Contoh
Tarif progresif adalah tarif penghasilan.
12
3. Tarif Tetap : Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya
tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh Tarif tetap adalah tarif bea materai.
4. Tarif Proposional : Tarif Proposional adalah tarif pemungutan yang
menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak. Contoh tarif pajak proposional adalah tarif pajak
pertambahaan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
5. Tarif Spesifik : Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas
suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis tertentu atau suatu satuan
jenis barang tertentu.
6. Tarif Advalorem : Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu
yang dikenakan atau ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
2.2.3 Klasifikasi pajak
Menurut Soemitro (2000), pajak dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok yaitu:
1. Pengelompokan pajak menurut golongan dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu:
a. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak
penghasilan. Hal ini juga diungkap oleh Eddy Suratman (2009) dimana pajak
penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun penuh.
b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
13
2. Pengelompokan Pajak menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu:
a. Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada obyeknya,
tanpa memperhatikan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
b. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya,
dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan.
3. Pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutan pajak dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Pajak Daerah yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan
berdasarkan perauturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Hal ini juga diungkap oleh Charney Alberta (1983) dimana pajak daerah juga
dikumpulan oleh kotamadya dalam rangka mendanai pemerintah daerah.
b. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan dipungut
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mawah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Pajak Bea Materai.
2.2.4 Pajak kendaraan Bermotor
14
Pajak kendaraan bermotor merupakan pajak atas kepemilikan
kendaraan bermotor. Dalam hal ini kendaraan bermotor yang dimaksud
ialah kendaraan beroda dua atau lebih yang dapat digunakan di jalan darat,
yang digerakkan dengan tenaga bermotor atau tenaga yang dapat
mengubah suatu sumber daya energi terntu menjadi tenaga gerak.
Kendaraan yang dimaksud bisa juga berupa alat-alat besar yang dapat
bergerak. Dengan menghitung hasil kali dari nilai jual kendaraan bermotor
dan bobot yang mencerminkan secara relative kedar kerusakan jalan dan
pencemaran lingkungan akibat kendaraan bermotor itni merupakan dasar
perhitungan pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Masing-masing kendaraan bermotor dikenakan pajak sebesar 1,5% untuk
kendaraan pribadi, sedangkan kendaraan bermotor umum dikenakan pajak 1,0%
dan alat-alat berat atau alat-alat besar dikeakan pajak 0,5%.
- Istilah-istilah umum (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
1. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
menjadi
tenaga
gerak
kendaraan
bermotor
tertentu
yang bersangkutan,
termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak;
2. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap kendaraan bermotor yang
dipergunakan untuk pelayanan angkutan umum penumpang maupun
barang yang dipungut bayaran dengan menggunakan Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor plat dasar kuning serta huruf dan angka hitam;
15
3. Kendaraan Bermotor alat-alat berat atau alat-alat besar adalah alat-alat
yang dapat bergerak / berpindah tempat dan tidak melekat secara
permanen;
4. Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan
dengan kendaraan bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti
kepemilikan atau dokumen yang sah termasuk Buku Pemilikan Kendaraan
Bermotor (BPKB);
5. Penguasaan adalah penggunaan dan atau penguasaan fisik kendaraan
bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah
menurut ketentuan perundangan yang berlaku.
- Subjek Pajak (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
Yang menjadi subjek PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) adalah Orang
pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan
bermotor.
- Dasar Pengenaan Pajak (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
1 DPP PKB adalah perkalian antara Nilai Jual Kendaraan Bermotor
. dengan Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan
dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
2 Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran
. umum
3 Apabila harga pasaran umum diketahui, maka Nilai Jual Kendaraan
. Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor :
a. Isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor;
b. Penggunaan kendaraan bermotor, yang dihitung berdasarkan faktor
tekanan gandar, jenis bahan bakar, jenis, penggunaan, tahun
pembuatan, ciri-ciri kendaraan bermotor;
c. Jenis kendaraan bermotor;
16
d. Merek kendaraan bermotor;
e. Tahun pembuatan kendaraan bermotor;
f. Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang
diizinkan;
g. Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu.
2.2.5 Nilai jual kendaraan bermotor
Harga pasaran umum (HPU) merupakan harga rata-rata yang didapat
dari sumber terpercaya (perusahaan pemegang merek dan asosiasi penjual
kendaraan bermotor) terhadap Nilai Jual Kendaraan Bermotor berbagai
tipe ( jenis jeep, motor, mobil, mini bus, bus, pick up, truk, alat berat dll).
2.3
Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan Penerimaan Pajak
Kendaraan Bermotor
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sangat mempengaruhi Penerimaan
Pajak Kendaraan bermotor karena pusat pegenaan dari Pajak Kendaraan
Bermotor adalah Niali Jual Kendaraan Bermotor. Sehingga akan ada
hubungan yang positif antara Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
dengan Nilai Jual kendaraan Bermotor, karena ketika pajak kendaraan
bermotor itu naik maka Nilai Jual Kendaraan Bermotor juga akan
mengalami kenaikan.
1. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan
tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun retribusi), karena
hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya
akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah
diantisipasi dalam UU No.18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000 dan
17
UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan
bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang
dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip- prinsip umum
perpajakan daerah
yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus
memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
• prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah
naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
• adil dan merata secara vertikal
artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
•
administrasi yang fleksibel
artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan
memuaskan bagi si wajib pajak .
•
secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
•
Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang
hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya
setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan su atu beban baik bagi
konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan
daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud,
khususnya yang terjadi
di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
•
pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
18
•
relatif stabil, artinya penerimaan pajak nya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
•
tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit)
dan kemampuan untuk membayar (ability to pay ).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ot onomi daerah, maka
pemberian kewenangan untuk mengadakan
pemungutan pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku
secara
umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak
sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan
mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka
pembiayaan desentralisasi.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang
diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat
Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
1) Pajak yang dimaksudkan untuk tuj uan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk
tujuan distribusi pendapatan seharus nya tetap menjadi tanggungjawab
Pemerintah Pusat.
2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”.
Pajak daerah yang sangat
“mobile”
akan mendorong pembayar pajak
merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang
beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “ mobile”
akan mempermudah daerah
untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda
sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak
komsumsi di bany ak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena
pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada).
Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama
untuk
mempertahankan
di
tingkat
pemerintah
yang
lebih
tinggi
(Pusat/Propinsi).
19
3)
Basis pajak yang distribusinya
sangat timpang antar daerah, seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
4) Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas
bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihi tung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai
untuk menghindari ketimpangan fi skal vertikal yang besar. Hasil penerimaan,
idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu
berfluktuasi.
7)
Pajak yang diserahkan kepada d aerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara
ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data , seperti identifikasi jumlah
pembayar pajak, penegakkan hukum (law- enforcement) dan komputerisasi.
8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya
pada
semua
tingkat
pemerintahan,
namun
penyerahan
kewenangan
pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat
dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
2.4
Konsep Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regonal Bruto merupakan gambaran kemampuan
dari suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan pada variabel produksi
di daerah tersebut. Sedangkan menurut Arsyad(1999: 10), Produk
Domestik Regional Bruto adalah jumlah seluruh nilai tambah yang
20
dihasilkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan
kegiatan/usahanya di daerah/wilayah tertentu tanpa memperhatikan
kepemilikan atas faktor produksi. Sehingga dapat disimpulkan yang
dimaksud dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
adalah salah satu tolak ukur untuk tingkat kesejahteraan suatu daerah
dengan menggunakan pendapatan rata-rata penduduk.
2.5
Hubungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita
dengan Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
Indeks pembangunan di bidang perekonomian dapat menggunakan
Pertumbuhan PDRB per kapita, denngan kata lain apabila daya beli
masyarakat terhadap kendaraan bermotor dan jumlah kendaraan bermotor
bertambah itu berarti terdapat peningkatan PDRB perkapita atau
peningkatan pendapatan penduduk. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dengan PDRB
per kapita, karena apabila Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor itu
mengalami peningkatan begitu juga dengan PDRB per kapita juga
mengalami peningkatan.
2.6
Penelitian terdahulu
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Trisnadewi (2007) dengan
judul Analisis Tingkat Efesiensi dan Efektivitas Penerimaan Pajak dan
Retribusi Daerah dalam peningkatan PAD Kabupaten Badung tahun
anggaran 2000-2004. Permasalahan dalam penelitian ini bagaimanakah
kinerja keuangan penerimaan pajak, dan retribusi daerah dilihat dari rasio
21
pertumbuhan, rasio efesiensi, rasio efektivitas, dan kontribusi masingmasing sumber penerimaan pajak daerah terhadap peningkatan PAD tahun
anggaran 2000-2004. Hasilnya ialah pertumbuhan pajak, retribusi dan
PAD mengalami fluktuasi, rasio pertumbuhan pajak dan retribusi daerah
tahun 2002-2003 mengalami penurunan. Untuk kontribusi PAD, pajak
daerah memberikan kontribusi yang lebih besar dari komponen PAD
lainnya termasuk retribusi daerah. Bila dilihat dari efektivitas penerimaan
pajak dan rasio efisiensi, efektivitas diatas 100% dan efisiensi di bawah
60% ini merupakan kinerja baik dari retribusi daraerah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada
objeknya menggunakan pajak kendaraan bermotor dan perbedaan yang
lain terletak pada lokasi dan waktu penelitian dan variabel .
Sedangkan penelitian Radini (2011) dengan judul Analisis
Efektivitas, Efesiensi, dan Prospek Penerimaan Pajak Hiburan di
Kabupaten Badung Tahun 2001-2010. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui tingkat efektivitas, efesiensi dan prospek penerimaan
pajak hiburan di Kabupaten Badung Tahun 2001-2010. Dari hasil yang
didapat bahwa tingkat efektivitas, efesiensi dan prospek penerimaan pajak
hiburan di Kabupaten Badung mengalami peningkatan dan dapat
dikategorikan sangat efesien. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah pada objeknya menggunakan pajak kendaraan
bermotor dan perbedaan yang lain terletak pada lokasi dan waktu
penelitian.
22
2.7
Hipotesis
1. Untuk mengetahui Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi
pedapatan pajak kendaraan bermotor.
2. Diduga terdapat Kendala yang mempengaruhi pendapatan pajak
kendaraan bermotor.
3. Kontribusi pajak kendaraan bermotor pada pajak daerah Provinsi Jambi.
2.8
Kerangka Analisis
Faktor-faktor mempengaruhi
pendapatan pajak kendaraan
bermotor
Peningkatan Pendapatan
Pajak Kendaraan
Bermotor Provinsi Jambi
Kendala yang mempengaruhi
pendapatan pajak kendaraan
bermotor
Kontribusi pajak kendaraan
bermotor terhadap pajak daerah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi, pemerintah provinsi
berkewajiban memungut pajak Kendaraan Bermotor.
3.2
Objek Penelitian
Pada penelitian kali ini objeknya adalah peraturan dan tata cara
Pelaksanaan Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor Provinsi Jambi.
Pendapatan daerah Provinsi Jambi yang berasal dari pajak kendaraan
bermotor.
3.3
Identifikasi Variabel
23
1.
2.
3.
4.
5.
Nilai Jual Kendaraan Bermotor
Biaya Balik Nama
Pajak Kendaraan 5 Tahunan
Pajak Tahunan Kendaraan Bermotor
Pendapatan daerah dari pajak
3.4
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu :
1.
Jenis Data Menurut Sumbernya :
Data ini berupa data sekunder, data yang dikumpulkan dari berbagai sumber
terkait.
Jenis data menurut sifatnya :
Data yang digunakan ialah data kuantitatif, mengacu pada biaya dan
2.
pendapatan dari pembayaran pajak kendaraan bermotor.
3.5
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara :
-
Metode Literatur
Yaitu mendapatkan data dengan cara mengumpulkan, mengindentifikasi,
mengolah data tertulis dan metode kerja yang digunakan. Data tertulis bisa
juga didapatkan dari instansi-instansi yang terkait.
3.6
Analisis Data
Data pajak kendaraan bermotor, berdasarkan variabel-variabel yang telah
disebutkan sebelumnya, akan dianalisis menggunakan alat bantu pengolahan
SPSS.
3.7
Sistematika Pembahasan
Tesis ini terbagi dalam lima bab dan pada tiap bab terbagi dalam
sub bab-sub bab dengan urutan pembahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, ruang
lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, dan metodologi penelitian serta
24
BAB II
sistematika pembahasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dibahas teori-teori yang melandasi pembahasan
dalam tesis yang meliputi pengertian PKB, pendapatan daerah, pajak
daerah, kontribusi pajak terhadap PDRB dan lainnya.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam penyelesaian Tesis.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan dan evaluasi
terhadap Pajak Kendaraan Bermotor dan kontribusinya berdasarkan
landasan teori yang dijelaskan dalam Bab II .
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis mengambil kesimpulan berdasarkan hasil
pembahasan pada Bab IV. Dan atas dasar kesimpulan tersebut penulis
mencoba mengemukakan beberapa alternatif pemecahan masalah yang
dipandang cukup relevan dengan pembahasan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Eriadi. 2004. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Suatu tinjauan Terhadap
Perubahan Regulasi Keuangan Daerah). Tesis, Medan.
Florida, Asha. 2007. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Tesis,
Medan
Ghozali, I. 2006, Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS, Cetakan
Keempat. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
25
Harianto, D dan Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum,
Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Asli daerah.
Proceeding SNA X. Makassar.
Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga. Jakarta
Maimunah, M.2006. Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap
Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Proceeding
SNA IX. Padang
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit
ANDI.
Nuarisa, SA. 2013. Pengaruh PAD, DAU dan DAK Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal. Accounting Analysis Journal. Vol.1. Pp. 8995.
Nugroho, Fajar dan Abdul Rohman. 2012. Pengaruh Belanja Modal Terhadap
Kinerja Keuangan Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah sebagai
Variabel Intervening. Diponegoro Journal of Accounting.Vol. 1. Pp. 114.
Prasnanugraha, P. 2007. Analisis Pengaruh Rasio-Rasio Keuangan Terhadap
Kinerja Bank Umum di Indonesia. Tesis diterbitkan. Universitas
Diponegoro. Semarang
Putro, N S. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
Diponegoro Journal of Accounting.
Sumitro, Rohmat. 1990. Azas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT Eresco.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Sekretariat Negara. Jakarta
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sekretariat
Negara. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
26
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 27 tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar
Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor Tahun 2012. Jambi
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 17 tahun 2012 tentang Tata Cara
Penghapusan/Pengurangan, Dan Pembatalan Ketetapa, Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak Dan Bea Balik Nama Kendaran Bermotor
Dan Sanksi Administrasi.Jambi
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 16 tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemungutan Pajak Daerah.Jambi
Sasana, H. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal.
Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 18. Pp. 46-58.
Setiaji, W dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah
Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran ?. Proceeding SNA X.
Makassar.
Sudarsana, H S. 2O13. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Dan Temuan
Audit BPK Terhadap Kinerja Keuangan Daerah. Diponegoro Journal of
Accounting.
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sularso, Havid dan Restianto, Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan
Terhadap Alokasi belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Ekonomi. Purwokerto.
Vol.1. Pp.109-124.
Wenny, CD. 2012. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap
Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Propinsi
Sumatera Selatan. Forum Bisnis Dan Kewirausahaan Jurnal Ilmiah
STIE MDP. Vol.2. Pp. 39-51.
Wertianti, I G A Gede dan A.A.N.B. Dwirandra. 2013. Pengaruh pertumbuhan
ekonomi pada belanja modal dengan PAD dan DAU sebagai variabel
moderasi. E-jurnal akuntansi universitas udayana. Pp.567-584
www.id.wikipedia.org/wiki/Pajak
www.jhohandewangga.wordpress.com/2012/02/27/pengertian-dan-macammacam-pajak-daerah/
27
Yovita, F M. 2011. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
Diponegoro Journal of Accounting.
28
Analisis Faktor - Faktor Yang Mempengaruhi Peningkatan
Pendapatan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Kontribusinya Terhadap Pajak
Daerah
Oleh :
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………...….i
BAB I Pendahuluan …………………………………………………………………….…...1
1.1 Latar Belakang Masalah ………………………………………………….…….1
1.2 Rumusan Masalah ……………………………………………….……………...4
1.3 Tujuan ……………………………………………………………………………4
1.4 Manfaat Penelitian ……………………………………………………….….…..4
1.5 Batasan Masalah ……………………………………………………….………..5
BAB II Tinjauan Pustaka ……………………………………………………………….......6
2.1 Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) ……………………………...6
2.2 Pajak …………………………………………………………….……………......7
2.2.1 Fungsi Pajak ……………………………………………………….…..8
2.2.2 Macam-macam Tarif Pajak ……………………………..……….......9
2.2.3 Klasifikasi Pajak ………………………………………………….…..10
2.2.4 Pajak Kendaraan Bermotor ………………………………..………..12
2.2.5 Nilai Jual Kendaraan Bermotor …………………………….………14
2.3 Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan Penerimaan Pajak
Kendaraan
Bermotor
…………………………………………………………….
…..15
2.4 Konsep Produk Domestik Regional Bruto ...…………………………………..15
2.5 Hubungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita dengan
Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor ..............................................................16
2.6 Penelitian terdahulu ……………………………………………………….…….17
2.7 Hipotesis ……………………………………………………………………….…17
1
2.8 Kerangka Analisis ……………………………………………………….…...…18
BAB III Metode Penelitian …................................................................................19
3.1 Lokasi Penelitian ………………………………………………………………..19
3.2 Objek Penelitian ……………………………………………….…………..……19
3.3 Identifikasi Variabel …………………………………………………..………..19
3.4 Jenis dan Sumber Data ……………………………………………….………..19
3.5 Metode Pengumpulan Data ……………………………………………………20
3.6 Analisis Data …………………………………………………………………….20
3.7 Sistematika Pembahasan ………………………………………………….……20
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………….19
2
3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Untuk melaksanakan otonomi daerah secara nyata dan bertanggung
jawab tolak ukur yang paling penting untuk menentukan tingkat
kemampuan daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (Aziz,1997).
Prinsip-prinsip keterbukaan, tanggung jawab terhadap masyarakat
dan partisipasi masyarakat merupakan tanggung jawab dan kewenangan
daerah otonom. Pemberian otonomi ini memiliki dasar prinsip berdasarkan
pertimbangan dimana semua kebutuhan dan standar pelayanan bagi
masyarakat daerah hanya daerah tersebut yang lebih mengetahui. Untuk
menyemangati pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat,
pemberian otonomi daerah merupakan pengharapan dari pertimbangan ini.
Pembangunan pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan harkat,
martabat, kualitas, serta kesejahteraan segenap lapisan masyarakat
(Sumitro,1995). Untuk mewujudkan tujuan-tujuan yang berjalan secara
berkesinambungan maka pembangunan merupakan suatu rangkaian proses
pertumbuhan.
Untuk
meningkatkan
kemampuan
daerah
dalam
mewujudkan peningkatan kesejahteraan bangsa dan negara secara merata
dan adil, dan juga untuk mendapatkan kehidupan yang sejajar dari daerah
yang lebih maju. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran
yang adil dan merata kepada rakyat, alternatif yang dapat meningkatkan
peran yang nyata dan kemandirian daerah dapat berupa pemberian
otonomi kepada daerah tersebut.
Sesuai yang diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945, Sebagai
Negara yang berkembang dan giat melaksanakan pembangunan disegala
1
bidang yang bertujuan untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Diperlukan dana yang tidak sedikit dalam meningkatkan pembangunan.
Untuk memenuhi peningkatan pembangunan pemerintah memperoleh dana
dari luar negeri berupa pinjaman dan penjualan hasil alam dan produksi,
serta penerimaan dari sktor pajak dari dalam negeri.
Sektor pajak merupakan salah satu sumber penerimaan dari dalam
negeri. Sumber dana terbesar yang berasal dari mayarakat merupakan
salah satunya ialah pajak. Salah satu tulang punggung penerimaan negara
ialah pajak dimana semakin menurunnya penerimaan pemerintah dari
sektor migas.
Dengan menyadari taat membayar pajak masyarakat mengetahui
betapa pentingnya pajak bagi pembagunan nasional dan masyarakat dapat
sadar bahwa mereka dapat ikut berperan dalam pembangunan nasional.
Sejak tahun 1984 pajak mulai dipungut, dan sesuai degan Undang-Undang
Nomor 6 tahun 1983 menganut Self Assesment System secara penuh, untuk
membayar
pajak
masyarakat
hendaknya
berperan
aktif
untuk
berpartisipasi. Aurbech dan Husset (1992) berpendapat dimana kebijakan
pajak bertujuan untuk membangun menjaga kondisi perekonomian pada
saat kesempatan kerja penuh. Di Indonesia pajak dikelmpokkan menjadi
dua, yaitu Pajak Daerah dan Pajak Pusat. Pajak pusat dan pajak daerah
merupakan suatu sistem perpajakan di Indonesia yang pada dasarnya
merupakan beban masyarakat sehingga perlu dijaga agar kebijakan
tersebut dapat memberikan beban yang adil kepada masyarakat (Acmad
Lutfi, 2006).
Salah satu kewajiban negara ialah dengan mewajibkan membayar
pajak sesuai Undang-Undang 1945, undang-undang menetapkan bahwa
2
rakyat memiliki beban seperti pajak, dan lain-lain. Pembinaan Pajak
daerah saat ini dilakukan secara terpadu dengan pajak nasional, dimana
akan saling melengkapi sehingga akan dilakukan terus menerus
pembinaaan mengenai tarif pajak dan objek pajak.
Menurut Zaenal (1985) PAD yang antara lain berupa Pajak Daerah
dan Retribusi Daerah diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan
penyelenggaraan
pemerintahan
dan
pembangunan
daerah
untuk
meningkatkan dan memeratakan kesejahteraan masyarakat. Dengan
demikian daerah mampu melaksanakan otonomi yaitu mampu mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri. Begitu pula berdasarkan UndangUndang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah, APBD bersumber dari PAD dan Penerimaan
berupa Dana Perimbangan yang bersumber dari APBN.
Semakin meningkatnya pelaksanaan tugas-tugas pemerintah, ini
sesuai pula dengan disertai meningkatnya komunikasi dan teknologi,
begitu pula dengan Pemerintah Daerah Provinsi Jambi. Dana yang
dibutuhkan tidaklah sedikit untuk mewujudkan pembangunan, dan dapat
dari berbagai sumber dana atau pendapatan. Berdasarkan uraian diatas,
maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul :
“Analisis
Faktor
-
faktor
yang
mempengaruhi
peningkatan
pendapatan pajak kendaraan bermotor dan kontribusinya terhadap
pajak daerah”
1.2
Rumusan Masalah
3
Berdasarkan dari latar belakang yang telah diuraikan, maka
rumusan masalahnya:
1.
Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi pedapatan pajak kendaraan
2.
bermotor?
Kendala Apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan
3.
bermotor ?
Bagaimana kontribusi pajak kendaraan bermotor dalam pajak daerah ?
1.3
Tujuan
Tujuan penelitian ini berdasarkan latar belakang masalah dan
pokok permasalahannya ialah :
1.
Untuk mengetahui Faktor- faktor apa saja yang mempengaruh pendapatan
2.
pajak kendaraan bermotor.
Untuk mengetahui Kendala Apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak
3.
kendaraan bermotor.
Untuk mengetahui persentase kontribusi pajak kendaraan bermotor pada
pajak daerah.
1.4
1.
Manfaat Penilitian
Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran, pemahaman dan
wawasan yang lebih luas tentang sumber-sumber penerimaan daerah yang
berasal dari pajak serta proses penetapannya, khususnya Pajak Kendaraan
2.
Bermotor (PKB) dalam organisasi sektor publik.
Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
dan masukan kepada pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah dan Dinas
Pendapatan Provinsi Jambi mengenai pajak Kendaraan Bermotor.
1.5
Batasan Masalah
4
Penelitian ini hanya sebatas mengetahui faktor-faktor apa saja yang
mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan bermotor, untuk mengetahui
kendala apa saja yang mempengaruhi pendapatan pajak kendaraan
bermotor, dan mengetahui persentase kontribusi pajak kendaraan bermotor
pada pajak daerah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Otonomi Daerah
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menjelaskan definisi
otonomi daerah, yaitu hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom
untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan
kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Asas penting dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
otonomi daerah yang perlu dipahami, antara lain:
1. Asas desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
5
2.
Asas dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh
pemerintah kepada gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada
3.
instansi vertikal di wilayah tertentu.
Tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau
desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
4.
pemerintah kabupaten kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah adalah suatu
sistem pembiayaan pemerintahan dalam kerangka negara kesatuan, yang
mencakup pembagian keuangan antara pemerintah pusat dan daerah serta
pemerataan antar daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan
dengan memperhatikan potensi, kondisi, serta kebutuhan daerah, sejalan
dengan
kewajiban
penyelenggaraan
dan
pembagian
kewenangan
tersebut,
kewenangan
termasuk
serta
tata
cara
pengelolaan
dan
pengawasan keuangannya.
Otonomi daerah akan memberikan dampak positif di bidang ekonomi bagi
perekonomian daerah. Beberapa indikator ekonomi atas keberhasilan suatu daerah
dalam melaksanakan otonomi daerah adalah (Wenny, 2012):
1. Terjadi peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) riel, sehingga
2.
pendapatan per kapita akan terdorong.
Terjadinya kecenderungan peningkatan investasi, baik investasi asing maupun
3.
4.
domestik.
Kecenderungan semakin berkembangnya prospek bisnis/usaha di daerah.
Adanya kecenderungan meningkatnya kreativitas pemda dan
masyarakatnya.
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
Keuangan Daerah
Kemampuan pemerintah daerah dalam mengelola keuangan daerah
dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang
langsung maupun tidak langsung mencerminkan kemampuan pemerintah
6
daerah
dalam
membiayai
pelaksanaan
tugas-tugas
pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan sosial masyarakat. Keuangan daerah secara
sederhana dapat diartikan sebagai semua hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang
maupun barang yang dapat dijadikan kekayaan daerah sepanjang belum
dimiliki dan dikuasai oleh negara atau daerah yang lebih tinggi serta
pihak-pihak lain sesuai dengan ketentuan atau peraturan perundangan yang
berlaku (Halim, 2007:230).
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58
Tahun 2005 Tentang Pengelolaan Keuangan Daerah Pasal 1 ayat 5,
keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintah daerah yang dapat dinilai dengan uang
termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan
hak dan kewajiban daerah tersebut, dalam rangka Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah (APBD).
Belanja Modal
Menurut PP Nomor 71 Tahun 2010, belanja modal merupakan
pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap dan aset lainnya yang
memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Belanja modal
meliputi belanja modal untuk perolehan tanah, gedung dan bangunan,
peralatan dan aset tak berwujud.
Kemandirian Keuangan Daerah
Kemandirian
pemerintah
dalam
keuangan
membiayai
daerah
sendiri
menunjukkan
kegiatan
kemampuan
pemerintahan,
pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat yang telah membayar
7
pajak dan retribusi sebagai sumber pendapatan yang diperlukan daerah
(Halim, 2002:128). Kemandirian keuangan daerah juga menggambarkan
tingkat partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah. Semakin tinggi
tingkat kemandirian keuangan suatu daerah berarti semakin tinggi
partisipasi masyarakat dalam membayar pajak dan retribusi daerah yang
merupakan komponen PAD.
Kemandirian keuangan daerah dapat diukur menggunakan rasio
kemandirian. Rasio kemandirian menggambarkan ketergantungan daerah
terhadap sumber dana ekstern. Semakin tinggi rasio kemandirian daerah,
tingkat ketergantungan terhadap bantuan pihak ekstern (terutama
pemerintah pusat dan provinsi) semakin rendah, dan sebaliknya (Halim,
2004:150).
Pendapatan Asli Daerah
Menurut UU No. 33 Tahun 2004, Pendapatan Asli Daerah adalah
penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber di dalam
daerahnya sendiri yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pendapatan Asli
Daerah merupakan sumber penerimaan daerah asli yang digali di daerah
tersebut untuk digunakan sebagai modal dasar pemerintah daerah dalam
membiayai pembangunan dan usaha-usaha daerah untuk memperkecil
ketergantungan dana dari pemerintah pusat. Pendapatan Asli Daerah terdiri
dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah
yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah.
2.1
Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
8
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) adalah rencana
operasional keuangan pemerintah daerah, dimana di satu pihak
menggambarkan
perkiraan
pengeluaran
setinggi-tingginya
guna
membiayai kegiatan-kegiatan dan proyek-proyek daerah dalam satu tahun
anggaran tertentu, dan pihak lain menggambarkan perkiraan penerimaan
dan sumber-sumber penerimaan daerah guna menutupi pengeluaranpengeluaran yang dimaksud (Halim, 2007:20).
Pertanggungjawaban dan Pengawasan Keuangan Daerah serta Tata
Cara Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, Pelaksanaan
Tata Usaha Keuangan Daerah dan Penyusunan Perhitungan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Pasal 1 (b), Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang
ditetapkan berdasarkan peraturan daerah sesuai keputusan Menteri Dalam
Negeri Nomor 29Tahun 2002 mengenai pedoman pengurusan.
Besarnya pendapatan dan pengeluaran dapat diukur dengan
menentukan APBD. APBD pun merupakan dokumen anggaran tahunan
dimana seluruh rencana pengeluaran dan penerimaan pemerintah daerah
yang dicatat dalam APBD selama pelaksanaan satu tahun anggaran. Demi
menghasilkan APBD yang sangat dibutuh masyarakat sesuai dengan
potensi daerah masing-masing dan dapat memenuhi tuntunan terciptanya
anggaran daerah yang berorientasi pada akuntan publik dan kepentingan.
Untuk menyelenggarakan fungsi daerah otonom maka APBD merupakan
rencana kerja keuangan yang sangat penting. Menurut Mardiasmo
(2002:28), pentingnya penyusunan APBD di suatu daerah berguna bagi
9
peningkatan kesejahteraan daerahnya dimana hal tersebut dapat dilihan
antara lain:
1) Menentukan jumlah pungutan pajak dan retribusi daerah serta pengutan lainnya
yang dilakukan kepada masyarakat.
2) Merupakan sarana mewujudkan pelaksanaan otonomi daerah yang nyata dan
bertanggung jawab.
3) Memberikan isi dan arti kepada tanggung jawab pemerintah daerah umumnya
dan kepada daerah yang khususnya, karena APBD menggambarkan seluruh
kebijakan pemerintah daerah.
4) Merupakan sarana untuk melakukan pengawasan terhadap daerah dengan cara
yang lebih mudah dan berhasil guna.
5) Merupakan suatu pemberian kuasa kepada kepala daerah untuk melakukan
penyelenggaraan keuangan daerah di dalam batas- batas tertentu.
2.2
Pajak
Awalnya, pengaturan pajak diatur dalam pasal 23 ayat 2 UUD 1945
yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara harus
berdasarkan undang-undang. Ketentuan ini mengandung konsekuensi
secara mendalam terhadap negaratatkala memerlukan pajak untuk
membiayai tujuannya sebagaimana tercantum dalamalinea keempat
pembukaan UUD 1945. pajak yang diperlukan itu harus berdasarkan
undang-undang, berarti pemungutan pajak yang tidak di dasarkan pada
undang-undang tidak boleh dilakukan. Sebenarnya pasal 23 ayat 2 UUD
1945 tersiratlegalitas tidak membenarkan pemungutan pajak kalau belum
ada undang-undang yang mengaturnya.Setelah UUD 1945 diamandemen,
pasal 23 ayat 2 UUD 1945 diganti dengan pasal 23A UUD 1945 yang
menegaskan bahwa pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
10
keperluan negara diatur dengan undang-undang. Ketentuan ini secara tegas
memisahkan antara pajak dengan pungutan lain yang bersifat memaksa.
Menurut Rochmat Sumitro (2000), pajak adalah peralihan
kekayaan dari pihak rakyat kepada kas Negara untuk membiayai
pengeluaran rutin dan surplusnya digunakan untuk Public Saving yang
merupakan sumber utama untuk membiayai Public Investment.sedangkan
menurut Ilyas dan Burton (2001:5), bahwa ada lima unsur yang melekat
dalam pengertian pajak, yaitu :
1. Pembayaran pajak harus berdasarkan undang-undang.
2. Sifatnya dapat dipaksakan.
3. Tidak ada kontra-prestasi (imbalan) yang langsung dapat dirasakan oleh
pembayar pajak.
4. Pemungutan pajak dilakukan oleh Negara baik oleh pemerintah pusat ataupun
daerah ( tidak boleh dipungut oleh swasta), dan
5. Pajak digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran pemerintah (rutin
dan pembangunan) bagi kepentingan masyarakat umum.
2.2.1 Fungsi Pajak
Menurut IIyas dan Burton (2001 : 8), terdapat empat fungsi pajak
yaitu:
1. Fungsi Budgeter yaitu fungsi untuk mengumpulkan uang pajak sebanyak
banyaknya sesuai dengan undang-undang yang berlaku pada waktunya akan
digunakan untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran Negara baik untuk
pengeluaran rutin ataupun pembangunan. Pajak berfungsi sebagai sumber dana
yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah.
Contoh : Dimasukkannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam
negeri.
2. Fungsi Regulerend yaitu pajak sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan
tertentu yang letaknya diluar bidang keuangan. Pajak berfungsi sebagai alat
11
untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang social dan ekonomi.
Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang tinggi terhadap minuman keras,
sehingga konsumsi minuman keras dapat ditekan, demikian pula terhadap
barang mewah.
3. Fungsi Demokrasi yaitu suatu fungsi yang merupakan salah satu penjelmaan
atau wujud sistem gotong royong, termasuk kegiatan pemerintah dan
pembangunan demi kesejahteraan masyarakat.
4. Fungsi Distribusi yaitu fungsi yang lebih menekankan pada unsur pemerataaan
dan keadilan dalam masyarakat. Wajib pajak harus membayar pajak, pajak
tersebut digunakan sebagai biaya pembangunan dalam segala bidang.
Pemakaian pajak untuk biaya pembangunan tersebut, harus merata ke seluruh
pelosok tanah air agar seluruh lapisan masyarakat dapat menikmatinya
bersama.
2.2.2 Macam-macam tarif Pajak
Tarif pajak merupakan salah satu unsur keadilan dalam
pemungutan pajak bagi wajib pajak. Ilyas dan Burton (2001 : 26)
berpendapat :
1. Tarif Degresif : Tarif degresif adalah tarif pemungutan pajak yang
persentasenya semakin kecil bila jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak
semakin besar.
2. Tarif Progresif : Tarif Progresif adalah tarif pajak yang persentasenya semakin
besar jika yang dijadikan dasar pengenaan pajak juga semakin besar. Contoh
Tarif progresif adalah tarif penghasilan.
12
3. Tarif Tetap : Tarif tetap adalah tarif pemungutan pajak yang besar nominalnya
tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan dasar pengenaan pajak.
Contoh Tarif tetap adalah tarif bea materai.
4. Tarif Proposional : Tarif Proposional adalah tarif pemungutan yang
menggunakan persentase tetap tanpa memperhatikan jumlah yang dijadikan
dasar pengenaan pajak. Contoh tarif pajak proposional adalah tarif pajak
pertambahaan nilai, pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak atas
tanah dan bangunan.
5. Tarif Spesifik : Tarif Spesifik adalah tarif dengan suatu jumlah tertentu atas
suatu jenis barang tertentu atau suatu satuan jenis tertentu atau suatu satuan
jenis barang tertentu.
6. Tarif Advalorem : Tarif advalorem adalah suatu tarif dengan persentase tertentu
yang dikenakan atau ditetapkan pada harga atau nilai suatu barang.
2.2.3 Klasifikasi pajak
Menurut Soemitro (2000), pajak dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa kelompok yaitu:
1. Pengelompokan pajak menurut golongan dapat dibedakan menjadi 2 kelompok
yaitu:
a. Pajak Langsung yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan
tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak
penghasilan. Hal ini juga diungkap oleh Eddy Suratman (2009) dimana pajak
penghasilan dikenakan terhadap orang pribadi dan badan berkenaan dengan
penghasilan yang diterima atau diperoleh selama 1 tahun penuh.
b. Pajak tidak langsung yaitu pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau
dilimpahkan kepada orang lain. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
13
2. Pengelompokan Pajak menurut sifatnya dapat dibedakan menjadi dua kelompok
yaitu:
a. Pajak Objektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada obyeknya,
tanpa memperhatikan diri wajib pajak. Contoh: Pajak Pertambahan Nilai dan
Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
b. Pajak Subjektif yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subyeknya,
dalam arti memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh: Pajak
Penghasilan.
3. Pengelompokan pajak menurut lembaga pemungutan pajak dapat dibedakan
menjadi dua yaitu:
a. Pajak Daerah yaitu iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan
kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang yang dapat dipaksakan
berdasarkan perauturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan
untuk membiayai pengeluaran pemerintah daerah dan pembangunan daerah.
Hal ini juga diungkap oleh Charney Alberta (1983) dimana pajak daerah juga
dikumpulan oleh kotamadya dalam rangka mendanai pemerintah daerah.
b. Pajak Pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan dipungut
untuk membiayai rumah tangga Negara. Contoh: Pajak Penghasilan, Pajak
Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Atas Barang Mawah, Pajak Bumi dan
Bangunan, dan Pajak Bea Materai.
2.2.4 Pajak kendaraan Bermotor
14
Pajak kendaraan bermotor merupakan pajak atas kepemilikan
kendaraan bermotor. Dalam hal ini kendaraan bermotor yang dimaksud
ialah kendaraan beroda dua atau lebih yang dapat digunakan di jalan darat,
yang digerakkan dengan tenaga bermotor atau tenaga yang dapat
mengubah suatu sumber daya energi terntu menjadi tenaga gerak.
Kendaraan yang dimaksud bisa juga berupa alat-alat besar yang dapat
bergerak. Dengan menghitung hasil kali dari nilai jual kendaraan bermotor
dan bobot yang mencerminkan secara relative kedar kerusakan jalan dan
pencemaran lingkungan akibat kendaraan bermotor itni merupakan dasar
perhitungan pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB).
Masing-masing kendaraan bermotor dikenakan pajak sebesar 1,5% untuk
kendaraan pribadi, sedangkan kendaraan bermotor umum dikenakan pajak 1,0%
dan alat-alat berat atau alat-alat besar dikeakan pajak 0,5%.
- Istilah-istilah umum (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
1. Kendaraan Bermotor adalah semua kendaraan beroda dua atau lebih
beserta gandengannya yang digunakan di semua jenis jalan darat, dan
digerakkan oleh peralatan teknik berupa motor atau peralatan lainnya
yang berfungsi untuk mengubah suatu sumber daya energi
menjadi
tenaga
gerak
kendaraan
bermotor
tertentu
yang bersangkutan,
termasuk alat-alat berat dan alat-alat besar yang bergerak;
2. Kendaraan Bermotor Umum adalah setiap kendaraan bermotor yang
dipergunakan untuk pelayanan angkutan umum penumpang maupun
barang yang dipungut bayaran dengan menggunakan Tanda Nomor
Kendaraan Bermotor plat dasar kuning serta huruf dan angka hitam;
15
3. Kendaraan Bermotor alat-alat berat atau alat-alat besar adalah alat-alat
yang dapat bergerak / berpindah tempat dan tidak melekat secara
permanen;
4. Kepemilikan adalah hubungan hukum antara orang pribadi atau badan
dengan kendaraan bermotor yang namanya tercantum di dalam bukti
kepemilikan atau dokumen yang sah termasuk Buku Pemilikan Kendaraan
Bermotor (BPKB);
5. Penguasaan adalah penggunaan dan atau penguasaan fisik kendaraan
bermotor oleh orang pribadi atau badan dengan bukti penguasaan yang sah
menurut ketentuan perundangan yang berlaku.
- Subjek Pajak (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
Yang menjadi subjek PKB (Pajak Kendaraan Bermotor) adalah Orang
pribadi atau Badan yang memiliki dan/atau menguasai kendaraan
bermotor.
- Dasar Pengenaan Pajak (PERGUB Nomor 17 Tahun 2012)
1 DPP PKB adalah perkalian antara Nilai Jual Kendaraan Bermotor
. dengan Bobot yang mencerminkan secara relatif kadar kerusakan jalan
dan pencemaran lingkungan akibat penggunaan kendaraan bermotor.
2 Nilai jual kendaraan bermotor diperoleh berdasarkan harga pasaran
. umum
3 Apabila harga pasaran umum diketahui, maka Nilai Jual Kendaraan
. Bermotor ditentukan berdasarkan faktor-faktor :
a. Isi silinder dan atau satuan daya kendaraan bermotor;
b. Penggunaan kendaraan bermotor, yang dihitung berdasarkan faktor
tekanan gandar, jenis bahan bakar, jenis, penggunaan, tahun
pembuatan, ciri-ciri kendaraan bermotor;
c. Jenis kendaraan bermotor;
16
d. Merek kendaraan bermotor;
e. Tahun pembuatan kendaraan bermotor;
f. Berat total kendaraan bermotor dan banyaknya penumpang yang
diizinkan;
g. Dokumen impor untuk jenis kendaraan bermotor tertentu.
2.2.5 Nilai jual kendaraan bermotor
Harga pasaran umum (HPU) merupakan harga rata-rata yang didapat
dari sumber terpercaya (perusahaan pemegang merek dan asosiasi penjual
kendaraan bermotor) terhadap Nilai Jual Kendaraan Bermotor berbagai
tipe ( jenis jeep, motor, mobil, mini bus, bus, pick up, truk, alat berat dll).
2.3
Nilai Jual Kendaraan Bermotor (NJKB) dengan Penerimaan Pajak
Kendaraan Bermotor
Nilai Jual Kendaraan Bermotor sangat mempengaruhi Penerimaan
Pajak Kendaraan bermotor karena pusat pegenaan dari Pajak Kendaraan
Bermotor adalah Niali Jual Kendaraan Bermotor. Sehingga akan ada
hubungan yang positif antara Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
dengan Nilai Jual kendaraan Bermotor, karena ketika pajak kendaraan
bermotor itu naik maka Nilai Jual Kendaraan Bermotor juga akan
mengalami kenaikan.
1. Prinsip dan Kriteria Perpajakan Daerah
Kebijakan pungutan pajak daerah berdasarkan Perda, diupayakan
tidak berbenturan dengan pungutan pusat (pajak maupun retribusi), karena
hal tersebut akan menimbulkan duplikasi pungutan yang pada akhirnya
akan mendistorsi kegiatan perekonomian. Hal tersebut sebetulnya sudah
diantisipasi dalam UU No.18 Tahun
1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah sebagaimana diubah dengan UU No.34 Tahun 2000 dan
17
UU No. 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
dimana dinyatakan dalam Pasal 2 ayat (4) yang antara lain menyatakan
bahwa objek pajak daerah bukan merupakan objek pajak pusat.
Sementara itu, apabila kita perhatikan sistem perpajakan yang
dianut oleh banyak negara di dunia, maka prinsip- prinsip umum
perpajakan daerah
yang baik pada umumnya tetap sama, yaitu harus
memenuhi kriteria umum tentang perpajakan daerah sebagai berikut:
• prinsip memberikan pendapatan yang cukup dan elastis, artinya dapat mudah
naik turun mengikuti naik/turunnya tingkat pendapatan masyarakat.
• adil dan merata secara vertikal
artinya sesuai dengan tingkatan kelompok
masyarakat dan horizontal artinya berlaku sama bagi setiap anggota kelompok
masyarakat sehingga tidak ada yang kebal pajak.
•
administrasi yang fleksibel
artinya sederhana, mudah dihitung, pelayanan
memuaskan bagi si wajib pajak .
•
secara politis dapat diterima oleh masyarakat, sehingga timbul motivasi dan
kesadaran pribadi untuk membayar pajak.
•
Non-distorsi terhadap perekonomian : implikasi pajak atau pungutan yang
hanya menimbulkan pengaruh minimal terhadap perekonomian. Pada dasarnya
setiap pajak atau pungutan akan menimbulkan su atu beban baik bagi
konsumen maupun produsen. Jangan sampai suatu pajak atau pungutan
menimbulkan beban tambahan (extra burden) yang berlebihan, sehingga akan
merugikan masyarakat secara menyeluruh (dead-weight loss).
Untuk mempertahankan prinsip-prinsip tersebut, maka perpajakan
daerah harus memiliki ciri-ciri tertentu. Adapun ciri-ciri dimaksud,
khususnya yang terjadi
di banyak negara sedang berkembang, adalah sebagai berikut:
•
pajak daerah secara ekonomis dapat dipungut, berarti perbandingan antara
penerimaan pajak harus lebih besar dibandingkan ongkos pemungutannya.
18
•
relatif stabil, artinya penerimaan pajak nya tidak berfluktuasi terlalu besar,
kadang-kadang meningkat secara drastis dan adakalanya menurun secara tajam.
•
tax basenya harus merupakan perpaduan antara prinsip keuntungan (benefit)
dan kemampuan untuk membayar (ability to pay ).
Dalam kaitannya dengan pelaksanaan ot onomi daerah, maka
pemberian kewenangan untuk mengadakan
pemungutan pajak selain
mempertimbangkan kriteria-kriteria perpajakan yang berlaku
secara
umum, seyogyanya, juga harus mempertimbangkan ketepatan suatu pajak
sebagai pajak daerah. Pajak daerah yang baik merupakan pajak yang akan
mendukung pemberian kewenangan kepada daerah dalam rangka
pembiayaan desentralisasi.
Menurut Teresa Ter-Minassian (1997), beberapa kriteria dan pertimbangan yang
diperlukan dalam pemberian kewenangan perpajakan kepada tingkat
Pemerintahan Pusat, Propinsi dan Kabupaten/Kota, yaitu :
1) Pajak yang dimaksudkan untuk tuj uan stabilisasi ekonomi dan cocok untuk
tujuan distribusi pendapatan seharus nya tetap menjadi tanggungjawab
Pemerintah Pusat.
2) Basis pajak yang diserahkan kepada daerah seharusnya tidak terlalu “mobile”.
Pajak daerah yang sangat
“mobile”
akan mendorong pembayar pajak
merelokasi usahanya dari daerah yang beban pajaknya tinggi ke daerah yang
beban pajaknya rendah. Sebaliknya, basis pajak yang tidak terlalu “ mobile”
akan mempermudah daerah
untuk menetapkan tarip pajak yang berbeda
sebagai cerminan dari kemampuan masyarakat. Untuk alasan ini pajak
komsumsi di bany ak negara yang diserahkan kepada daerah hanya karena
pertimbangan wilayah daerah yang cukup luas (seperti propinsi di Canada).
Dengan demikian, basis pajak yang “mobile” merupakan persyaratan utama
untuk
mempertahankan
di
tingkat
pemerintah
yang
lebih
tinggi
(Pusat/Propinsi).
19
3)
Basis pajak yang distribusinya
sangat timpang antar daerah, seharusnya
diserahkan kepada Pemerintah Pusat.
4) Pajak daerah seharusnya “visible”, dalam arti bahwa pajak seharusnya jelas
bagi pembayar pajak daerah, objek dan subjek pajak dan besarnya pajak
terutang dapat dengan mudah dihi tung sehingga dapat mendorong
akuntabilitas daerah.
5) Pajak daerah seharusnya tidak dapat dibebankan kepada penduduk daerah
lain, karena akan memperlemah hubungan antar pembayar pajak dengan
pelayanan yang diterima (pajak adalah fungsi dari pelayanan).
6) Pajak daerah seharusnya dapat menjadi sumber penerimaan yang memadai
untuk menghindari ketimpangan fi skal vertikal yang besar. Hasil penerimaan,
idealnya, harus elastis sepanjang waktu dan seharusnya tidak terlalu
berfluktuasi.
7)
Pajak yang diserahkan kepada d aerah seharusnya relatif mudah
diadministrasikan atau dengan kata lain perlu pertimbangan efisiensi secara
ekonomi berkaitan dengan kebutuhan data , seperti identifikasi jumlah
pembayar pajak, penegakkan hukum (law- enforcement) dan komputerisasi.
8) Pajak dan retribusi berdasarkan prinsip manfaat dapat digunakan secukupnya
pada
semua
tingkat
pemerintahan,
namun
penyerahan
kewenangan
pemungutannya kepada daerah akan tepat sepanjang manfaatnya dapat
dilokalisir bagi pembayar pajak lokal.
2.4
Konsep Produk Domestik Regional Bruto
Produk Domestik Regonal Bruto merupakan gambaran kemampuan
dari suatu daerah dalam menghasilkan pendapatan pada variabel produksi
di daerah tersebut. Sedangkan menurut Arsyad(1999: 10), Produk
Domestik Regional Bruto adalah jumlah seluruh nilai tambah yang
20
dihasilkan oleh berbagai sektor/lapangan usaha yang melakukan
kegiatan/usahanya di daerah/wilayah tertentu tanpa memperhatikan
kepemilikan atas faktor produksi. Sehingga dapat disimpulkan yang
dimaksud dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) per kapita
adalah salah satu tolak ukur untuk tingkat kesejahteraan suatu daerah
dengan menggunakan pendapatan rata-rata penduduk.
2.5
Hubungan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Per Kapita
dengan Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor
Indeks pembangunan di bidang perekonomian dapat menggunakan
Pertumbuhan PDRB per kapita, denngan kata lain apabila daya beli
masyarakat terhadap kendaraan bermotor dan jumlah kendaraan bermotor
bertambah itu berarti terdapat peningkatan PDRB perkapita atau
peningkatan pendapatan penduduk. Dapat disimpulkan bahwa terdapat
hubungan antara Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor dengan PDRB
per kapita, karena apabila Penerimaan Pajak Kendaraan Bermotor itu
mengalami peningkatan begitu juga dengan PDRB per kapita juga
mengalami peningkatan.
2.6
Penelitian terdahulu
Penelitian sebelumnya yang dilakukan Trisnadewi (2007) dengan
judul Analisis Tingkat Efesiensi dan Efektivitas Penerimaan Pajak dan
Retribusi Daerah dalam peningkatan PAD Kabupaten Badung tahun
anggaran 2000-2004. Permasalahan dalam penelitian ini bagaimanakah
kinerja keuangan penerimaan pajak, dan retribusi daerah dilihat dari rasio
21
pertumbuhan, rasio efesiensi, rasio efektivitas, dan kontribusi masingmasing sumber penerimaan pajak daerah terhadap peningkatan PAD tahun
anggaran 2000-2004. Hasilnya ialah pertumbuhan pajak, retribusi dan
PAD mengalami fluktuasi, rasio pertumbuhan pajak dan retribusi daerah
tahun 2002-2003 mengalami penurunan. Untuk kontribusi PAD, pajak
daerah memberikan kontribusi yang lebih besar dari komponen PAD
lainnya termasuk retribusi daerah. Bila dilihat dari efektivitas penerimaan
pajak dan rasio efisiensi, efektivitas diatas 100% dan efisiensi di bawah
60% ini merupakan kinerja baik dari retribusi daraerah.
Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah pada
objeknya menggunakan pajak kendaraan bermotor dan perbedaan yang
lain terletak pada lokasi dan waktu penelitian dan variabel .
Sedangkan penelitian Radini (2011) dengan judul Analisis
Efektivitas, Efesiensi, dan Prospek Penerimaan Pajak Hiburan di
Kabupaten Badung Tahun 2001-2010. Tujuan dari penelitian ini adalah
untuk mengetahui tingkat efektivitas, efesiensi dan prospek penerimaan
pajak hiburan di Kabupaten Badung Tahun 2001-2010. Dari hasil yang
didapat bahwa tingkat efektivitas, efesiensi dan prospek penerimaan pajak
hiburan di Kabupaten Badung mengalami peningkatan dan dapat
dikategorikan sangat efesien. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian
sebelumnya adalah pada objeknya menggunakan pajak kendaraan
bermotor dan perbedaan yang lain terletak pada lokasi dan waktu
penelitian.
22
2.7
Hipotesis
1. Untuk mengetahui Faktor- faktor apa saja yang mempengaruhi
pedapatan pajak kendaraan bermotor.
2. Diduga terdapat Kendala yang mempengaruhi pendapatan pajak
kendaraan bermotor.
3. Kontribusi pajak kendaraan bermotor pada pajak daerah Provinsi Jambi.
2.8
Kerangka Analisis
Faktor-faktor mempengaruhi
pendapatan pajak kendaraan
bermotor
Peningkatan Pendapatan
Pajak Kendaraan
Bermotor Provinsi Jambi
Kendala yang mempengaruhi
pendapatan pajak kendaraan
bermotor
Kontribusi pajak kendaraan
bermotor terhadap pajak daerah
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Provinsi Jambi, pemerintah provinsi
berkewajiban memungut pajak Kendaraan Bermotor.
3.2
Objek Penelitian
Pada penelitian kali ini objeknya adalah peraturan dan tata cara
Pelaksanaan Pembayaran Pajak Kendaraan Bermotor Provinsi Jambi.
Pendapatan daerah Provinsi Jambi yang berasal dari pajak kendaraan
bermotor.
3.3
Identifikasi Variabel
23
1.
2.
3.
4.
5.
Nilai Jual Kendaraan Bermotor
Biaya Balik Nama
Pajak Kendaraan 5 Tahunan
Pajak Tahunan Kendaraan Bermotor
Pendapatan daerah dari pajak
3.4
Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua yaitu :
1.
Jenis Data Menurut Sumbernya :
Data ini berupa data sekunder, data yang dikumpulkan dari berbagai sumber
terkait.
Jenis data menurut sifatnya :
Data yang digunakan ialah data kuantitatif, mengacu pada biaya dan
2.
pendapatan dari pembayaran pajak kendaraan bermotor.
3.5
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dilakukan dengan cara :
-
Metode Literatur
Yaitu mendapatkan data dengan cara mengumpulkan, mengindentifikasi,
mengolah data tertulis dan metode kerja yang digunakan. Data tertulis bisa
juga didapatkan dari instansi-instansi yang terkait.
3.6
Analisis Data
Data pajak kendaraan bermotor, berdasarkan variabel-variabel yang telah
disebutkan sebelumnya, akan dianalisis menggunakan alat bantu pengolahan
SPSS.
3.7
Sistematika Pembahasan
Tesis ini terbagi dalam lima bab dan pada tiap bab terbagi dalam
sub bab-sub bab dengan urutan pembahasan sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Dalam bab ini akan dibahas mengenai latar belakang, ruang
lingkup, tujuan dan manfaat penelitian, dan metodologi penelitian serta
24
BAB II
sistematika pembahasan.
TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab ini dibahas teori-teori yang melandasi pembahasan
dalam tesis yang meliputi pengertian PKB, pendapatan daerah, pajak
daerah, kontribusi pajak terhadap PDRB dan lainnya.
BAB III METODE PENELITIAN
Dalam bab ini dijelaskan mengenai metode penelitian yang
digunakan dalam penyelesaian Tesis.
BAB IV PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis akan melakukan pembahasan dan evaluasi
terhadap Pajak Kendaraan Bermotor dan kontribusinya berdasarkan
landasan teori yang dijelaskan dalam Bab II .
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Dalam bab ini penulis mengambil kesimpulan berdasarkan hasil
pembahasan pada Bab IV. Dan atas dasar kesimpulan tersebut penulis
mencoba mengemukakan beberapa alternatif pemecahan masalah yang
dipandang cukup relevan dengan pembahasan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
Eriadi. 2004. Analisis Perbandingan Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah
Sebelum dan Setelah Otonomi Daerah (Suatu tinjauan Terhadap
Perubahan Regulasi Keuangan Daerah). Tesis, Medan.
Florida, Asha. 2007. Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kinerja
Keuangan Pemerintah Dan Kota di Propinsi Sumatera Utara. Tesis,
Medan
Ghozali, I. 2006, Aplikasi Analisis Multivariat Dengan Program SPSS, Cetakan
Keempat. Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Semarang.
25
Harianto, D dan Adi, Priyo Hari. 2007. Hubungan antara Dana Alokasi Umum,
Belanja Modal, Pendapatan Asli Daerah dan Pendapatan Asli daerah.
Proceeding SNA X. Makassar.
Mahmudi. 2010. Manajemen Keuangan Daerah. Erlangga. Jakarta
Maimunah, M.2006. Dana Alokasi Umum dan Pendapatan Asli Daerah Terhadap
Belanja Daerah Pada Kabupaten/Kota di Pulau Sumatera. Proceeding
SNA IX. Padang
Mardiasmo. 2009. Akuntansi Sektor Publik. ANDI. Yogyakarta
Mardiasmo. (2002). Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah. Yogyakarta:
Penerbit
ANDI.
Nuarisa, SA. 2013. Pengaruh PAD, DAU dan DAK Terhadap Pengalokasian
Anggaran Belanja Modal. Accounting Analysis Journal. Vol.1. Pp. 8995.
Nugroho, Fajar dan Abdul Rohman. 2012. Pengaruh Belanja Modal Terhadap
Kinerja Keuangan Daerah dengan Pendapatan Asli Daerah sebagai
Variabel Intervening. Diponegoro Journal of Accounting.Vol. 1. Pp. 114.
Prasnanugraha, P. 2007. Analisis Pengaruh Rasio-Rasio Keuangan Terhadap
Kinerja Bank Umum di Indonesia. Tesis diterbitkan. Universitas
Diponegoro. Semarang
Putro, N S. 2009. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
Diponegoro Journal of Accounting.
Sumitro, Rohmat. 1990. Azas dan Dasar Perpajakan. Bandung: PT Eresco.
Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah. Sekretariat Negara. Jakarta
Undang Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sekretariat
Negara. Jakarta
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 58 Tahun 2005 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2008 tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah. Sekretariat Kabinet RI. Jakarta
26
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 27 tahun 2012 tentang Penghitungan Dasar
Pengenaan Pajak Kendaraan Bermotor Dan Bea Balik Nama Kendaraan
Bermotor Tahun 2012. Jambi
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 17 tahun 2012 tentang Tata Cara
Penghapusan/Pengurangan, Dan Pembatalan Ketetapa, Pengembalian
Kelebihan Pembayaran Pajak Dan Bea Balik Nama Kendaran Bermotor
Dan Sanksi Administrasi.Jambi
Peraturan Gubernur Jambi Nomor 16 tahun 2012 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pemungutan Pajak Daerah.Jambi
Sasana, H. 2011. Analisis Determinan Belanja Daerah Di Kabupaten/Kota
Provinsi Jawa Barat Dalam Era Otonomi dan Desentralisasi Fiskal.
Jurnal Bisnis dan Ekonomi. Vol. 18. Pp. 46-58.
Setiaji, W dan Priyo Hari Adi. 2007. Peta Kemampuan Keuangan Daerah Sesudah
Otonomi Daerah : Apakah Mengalami Pergeseran ?. Proceeding SNA X.
Makassar.
Sudarsana, H S. 2O13. Pengaruh Karakteristik Pemerintah Daerah Dan Temuan
Audit BPK Terhadap Kinerja Keuangan Daerah. Diponegoro Journal of
Accounting.
Sugiyono, 2008, Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung :
Alfabeta.
Sularso, Havid dan Restianto, Yanuar E. 2011. Pengaruh Kinerja Keuangan
Terhadap Alokasi belanja Modal dan Pertumbuhan Ekonomi
Kabupaten/Kota di Jawa Tengah. Media Riset Ekonomi. Purwokerto.
Vol.1. Pp.109-124.
Wenny, CD. 2012. Analisis Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) Terhadap
Kinerja Keuangan Pada Pemerintah Kabupaten dan Kota Di Propinsi
Sumatera Selatan. Forum Bisnis Dan Kewirausahaan Jurnal Ilmiah
STIE MDP. Vol.2. Pp. 39-51.
Wertianti, I G A Gede dan A.A.N.B. Dwirandra. 2013. Pengaruh pertumbuhan
ekonomi pada belanja modal dengan PAD dan DAU sebagai variabel
moderasi. E-jurnal akuntansi universitas udayana. Pp.567-584
www.id.wikipedia.org/wiki/Pajak
www.jhohandewangga.wordpress.com/2012/02/27/pengertian-dan-macammacam-pajak-daerah/
27
Yovita, F M. 2011. Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah,
Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Belanja Modal.
Diponegoro Journal of Accounting.
28