mengkaji kearifan lokal pulau abang.pdf (1)

Nama

: Ira Ramayanti Adam

Nim

: L041171513

Prodi/Fakultas : Sosial Ekonomi Perikanan/Ilmu Kelautan Dan Perikanan
Dosen Pengampu Mata Kuliah : A. Muh. Yusuf, S.sos, M.Si

Topik : kehidupan masyarakat nelayan

Judul : “MENGKAJI KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT NELAYAN DI
PULAU ABANG, BATAM “
A. PENGANTAR

Komunitas pesisir dan pulau-pulau kecil yang tersebar di 387 kabupaten/kota atau
sebesar 78% di Indonesia mempunyai nilai budaya tentang pentingnya laut sebagai
sumber kehidupan. Mereka memiliki norma-norma untuk mengatur interaksi antas
sesama manusia dalam berbagai aktivitas mereka di laut, dalam pembentukan jaringanjaringan sosial, dan hubungan antar personal di antara warga masyarakat. Kehidupan

mereka dipersatukan oleh lautan bukan dipisahkan oleh lautan; laut sebagai pemersatu
bangsa (Hatta, 2004:62). hubungan antara kegiatan manusia dengan lingkungan alam
dijembatani oleh pola-polakebudayaan yang dipunyai manusia. Dengan kebudayaan itu
manusia beradaptasi dengan lingkungan untuk mendayagunakan nya agar tetap dapat
melangsungkan

kehidupan.Goedenough

(1964:36)

meyakinkan

pentingnya

keberpihakan pada kebudayaan ideasional yang dimiliki komunitas bukan kepada yang
bersifat material. Kebudayaansebagai model-model untuk mengklasifikasi lingkungan
yang dihadapi dan menegaskan pentingnya mengetahui hal-hal yang harus diketahui oleh
seseorang agar dia mampu mewujudkan perilaku atau melakukan sesuatu dengan cara
yang dapat diterima oleh pendukung kebudayaan. Fokus kajian ini adalah kearifan


komunitas nelayan Pulau abang, kecamatan galang kota batam provinsi kepulauan riau
dalam pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (selanjutnyadisingkat SDKP).
Kearifan komunitas adalah pengetahuan, keyakinan, dan nilainilai budaya komunitas
yang diwariskan dari generasi sebelumnya yang secara selektif dapat digunakan untuk
memahami dan menginterpretasi lingkungan yang dihadapi serta untuk mendorong
danmenciptakan tindakan-tindakan yang diperlukannya. Berdasarkan UU No 31 tahun
2004 tentang Perikanan, nelayan didefinisikan sebagai orang yang mata pencahariannya
melakukan penangkapan ikan.Panayotou mengelompokkan nelayan ke dalam empat
kelompok utama, yaitu subsistence, indigenous, commercial, dan recreation. Sementara
itu, nelayan komersial diklasifikasikan lagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan
artisanal dan nelayan industri (Panayotou, 1985:11-29).

Abdul Latif Bustami
download.portalgaruda.org/article.php?article=175227&val...
Jurnal LITERASI| Vol.1 | No. 1 | Juni 2011

Pulau Abang ini masih memiliki potensi sumberdaya laut yang besar dan dapat
dikembangkan bagi kepentingan ekonomi nelayan dan pariwisata. Terumbu Karang dan
ekosistem laut lainnya yang belum rusak parah di daerah ini merupakan tempat yang
subur bagi perkembangbiakan berbagai jenis ikan dan biota laut lainnya. Kebanyakan

penduduk di kelurahan ini umumnya hanya memiliki pendidikan formal sampai sekolah
dasar. Sarana dan prasarana yang ada untuk kesehatan, peribadatan, perekonomian,
komunikasi dan transportasi masih minim. Dengan kondisi tersebut di atas, diperlukan

perencanaan kebijakan dan program pengelolaan yang dalam pelaksanaannya diterima
dan didukung oleh semua pihak. Kearifan lokal yang ada perlu medapat perhatian dan
menjadi acuan dalam pengembangan perikanan dan pemanfaatan sumberdaya yang adil
dan lestari, sebagai amanat dari Undang-Undang No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

Tujuan saya menulis artikel ini adalah untuk mengkaji kearifan lokal menjadi perlu untuk
diharapkan dapat menjawab berbagai permasalahan yang ada di daerah ini termasuk
efektifitasnya dan pengaruh-pengaruh tradisi dan globalisasi/modernisasi terhadap nilainilai budaya lokal dan sumberdaya alam seiring dengan kemajuan teknologi.

https://dokumen.tips/documents/mengkaji-potensi-wilayah-pesisir-dan-lautan.html

B. METODE PENULISAN

Metode penulisan yang saya gunakan adalah mengumpulkan data-data dari internet
yaitu metode sekunder, saya hanya menggunakan metode sekunder karena waktu yang
tidak menentu sehingga saya belum bisa mengambil data secara langsung dengan

berkunjung ke wilayah tersebut

Saya mengambil topik ini karena waktu proses pembelajaran PIKP ( Pengantar Ilmu
Kelautan dan Perikanan ) di Fakultas saya, dosen saya menjelaskan tentang banyaknya
kearifan lokal

yangterjadi pada masyarakat nelayan yang kurangnya penggunaan

teknologi dan Pendidikan dan sarana dan prasarana yang masih kurang di daerah yang
memiliki potensi sumber daya laut yang sangat besar dimana masih banyaknya orang
orang-orang yang memperhatikanya .

Saya menggabungkan beberapa data atau informasi dari berbagai link, sehingga dapat
dijadikan artikel, mulai dari kita memberikan informasi tentang apa yang membuat artikel
ini menarik untuk dibaca, dan apa pentingnya artikel ini sehingga pentingnya kearifan local
dalam konsrvasi tersebut .

C.

PEMBAHASAN


1.

Pengelolaan Sumber Daya Berbasis Masyarakat

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia karena memiliki luas laut dan
jumlah pulau yang besar. Panjang garis pantai Indonesia mencapai 104 000 km dengan luas
wilayah laut yang mendominasi total luas teritorial Indonesia sebesar 7.7 juta km. Potensi
tersebut menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki kekayaan
keanekaragaman hayati dan non hayati yang tersebar di dunia kelautan terbesar (Data Pusat
Statistik KKP, 2011). Karakteristik geografis Indonesia serta struktur dan ekosistemnya yang
didominasi oleh lautan menjadikan Indonesia sebagai negara yang memiliki terbesar di
dunia, dan hal ini sekaligus merupakan justifikasi bahwa Indonesia merupakan salah satu
negara bahari terbesar di dunia (Dahuri, 2003). Diakses pada tanggal 23/11/17

Hal tersebut dapat diketahui bahwa masyarakat adat menjaga sumber daya laut, untuk
keberlanjutan kehidupan mereka, karena secara tidak langsung kehidupan mereka tergantung
dengan laut. Salah satu cara yang dikembangkan untuk melihat keberlanjutan dalam
pengelolaan sumber daya laut berbasis masyarakat adalah dengan metode tersebut yang
digunakan oleh penulis untuk menilai keberlanjutan di pulau abang tepatnya di batam , selain

itu perlu ada kajian dan beberapa hal yang perlu dipertimbangkan karena masih sedikitnya
Pengkajian kerifan local di tempat tempat yang mempunyai potensi sumber daya laut.

http://repository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/40265/1/Cover%202007aar.pdf

2.

FAKTOR INTERNAL DAN FAKTOR EKSTERNAL

Berdasarkan UU No 31 tahun 2004 tentang Perikanan, nelayan didefinisikan
sebagai orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
Panayotou mengelompokkan nelayan ke dalam empat kelompok utama,
yaitu subsistence, indigenous, commercial, dan recreation. Sementara itu, nelayan
komersial diklasifikasikan lagi menjadi dua kelompok, yaitu nelayan artisanal
dan nelayan industri (Panayotou, 1985:11-29). Berkes menjelaskan konsep nelayan
artisanal (skala kecil), nelayan industri (skala besar), dan subsisten dengan sejumlah
karakteristik, yaitu unit penangkapan, kepemilikan, komitmen waktu, kapal, tipe
peralatan, alat tangkap, investasi, hasil tangkapan, penjualan hasil tangkapan,
pengolahan, tingkat pendapatan pelaku, integrasi ekonomi, masa kerja, luas
pemasaran, kapasitas manajemen dari otoritas perikanan, unit manajemen, dan

pengumpulan data perikanan (Berkes,2001). Berdasarkan deskripsi tersebut,
nelayan Pulau Para bisa diklasifikasikan sebagai nelayan artisanal yang bersifat
komersial karena telah memasarkan hasilhasil tangkapan dan berusaha meskipun
dalam skala kecil.

Nelayan Pulau Para mempunyai kearifan komunitas berupa ehad (pantang berkala atas
kawasan-kawasan laut dangkal bagi kegiatan penangkapan ikan)
(Ulaen, 1998:118; Bustami & Arsyad, 2010), sekel atau kelase (organisasi nelayan yang
mengoperasikan alat tangkap tradisional dengan sistem penggiliran pengoprasian
dan lokasi penangkapan ikan) (Suparlan,1963; Sumarauw, 1981; Bustami & Arsyad,
2010). Daseng merupakan permukiman sementara berupa bangunan gubuk yang
didirikan nelayan di tempat-tempat tertentu di pulau yang sama dan pulau lainnya
terutama yang berdekatan dengan lokasi penangkapan ikan. Fenomena daseng yang
dilaksanakan oleh nelayan Pulau Para di Pulau Sanggaluhang secara berkala mengacu
aturan adat dengan pertimbangan Pulau Sanggaluhang merupakan wilayah yang
berdekatan dengan lokasi penangkapan ikan sehingga masyarakat menyebutnya
daseng Sanggaluhang. Dengan demikian, nelayan Pulau Para —dan juga para nelayan
lainnya— memiliki konstruksi kebudayaan yang lahir dari pemahaman terhadap
lingkungan tempat mereka mencari ikan.


Abdul Latif Bustami
http://download.portalgaruda.org/article.php?article=175227&val=6172&title=DASENG%
20SANGGALUHANG:%20A%20COMMUNITY%20WISDOM%20IN%20MANAGING
%20MARITIME%20AND%20FISHERIES%20RESOURCE
Jurnal LITERASI| Vol.1 | No. 1 | Juni 2011

berkurang yang ujungnya adalah adanya ketidakseimbangan ekosistem.
Pulau Sanggaluhang dipilih komunitas sebagai tempat singgah dengan pertimbangan
lokasinya dekat dengan tempat berkumpulnya ikan dan termasuk wilayah
inahe. Di samping itu, ada legitimasi mitos tentang Pulau Sanggaluhang dikaitkan
dengan leluhur komunitas Pulau Para yang
berpusat pada I Genggona Langi (Kuasa YangTertinggi). Penentuan tempat singgah di Pulau
Sanggaluhang menghasilkan kearifan yang menjadi acuan komunitas nelayan.
Penduduk yang mata pencahariannya sebagian besar nelayan memiliki kearifan lokal yang
masih terus dipatuhi. Kebanyakan penduduk di kelurahan ini umumnya hanya memiliki
pendidikan formal sampai sekolah dasar. Sarana dan prasarana yang ada untuk kesehatan,
peribadatan, perekonomian, komunikasi dan transportasi masih minim. Dengan kondisi
tersebut di atas, diperlukan perencanaan kebijakan dan program pengelolaan yang dalam
pelaksanaannya diterima dan didukung oleh semua pihak. Kearifan lokal yang ada perlu
medapat perhatian dan menjadi acuan dalam pengembangan perikanan dan pemanfaatan

sumberdaya yang adil dan lestari,
tradisi/adat, budaya, kearifan lokal dan pemanfaatan sumberdaya perikanan di Kelurahan
Pulau Abang yang kebanyakan penduduknya adalah suku Melayu yang beragama Islam.
Perilaku kehidupan yang masih terus dipertahankan adalah pemberian nama bayi, khitanan,
pendirian rumah, berduka cita, belah kampung dan dalam pemanfaatan sumberdaya
perikanan. Pola kehidupan masyarakat adalah sederhana misal rumah umumnya terbuat dari
bahan kaju dengan atap asbes dan lantai papan, kebutuhan air bersih diperoleh dari
sumur/kolam dan penerangan dengan listrik yang terbatas. Kegiatan perikanan di daerah ini
umumnya menggunakan kapal motor tempel kecil (pompong) yang dimiliki sendiri.
Penangkapan ikan biasanya dilakukan hampir sepanjang tahun di daerah perairan pantai
dengan menggunakan alat tangkap yang bervariasi seperti pacing, jaring karang, kelong dan
bubu. Penggunaan alat tangkap disesuaikan musim dengan memperhatikan tradisi dan
kearifan lokal. Nelayan di daerah ini seperti halnya di wilayah Kepulauan Riau pada

umumnya, masih mempunyai ketergantungan tinggi kepada ³ tauke´ untuk menjual ikan dan
untuk memenuhi kebutuhan operasional penangkapan ikan dan kebutuhan hidup sehari-hari.
. Kearifan lokal dan tradisi penangkapan ikan ramah lingkungan yang masih dipertahankan
antara lain ³memancing sotong (nyomek) ³ dan penggunaan ³kelong´ untuk menangkap ikan
dingkis. Keduanya memiliki criri-ciri khusus peralatan dan tatacara dalam pelaksanaannya.
Menyomek dilakukan pada malam hari di musim sotong yaitu musim barat. Pelaksanaannya

harus disiplin, terampil dan tertib. Mengenai areal penempatan kelong tidak sembarangan,
harus memiliki kesepakatan diantara pemiliknya. Kepemilikan lokasi kelong bersifat hak
guna pakai individu yang bisa turun-temurun dan bisa dijualbelikan atau disewakan. Tradisi
dan kearifan lokal yang ada, sekarang sudah tidak kental lagi dipatuhi seluruhnya. Namun
pengaruhnya telah menimbulkan rasa kesadaran tinggi di kalangan masyarakat terhadap
perlunya menjaga kelestarian sumberdaya perikanan khususnya terumbu karang dan
ekosistem terkait lainnya sebagai tumpuan matapencaharian mereka. Semua kondisi tersebut
di atas diharapkan dapat mendukung program kerja COREMAP dalam upaya pelestarian
terumbu karang di daerah ini. REKOMENDASI ‡ Perlu pembinaan dan pelestarian kearifan
lokal ‡ Pemerintah diharapkan membuat tanda batas wilayah penangkapan agar tidak terjadi
pelanggaran-pelanggaran yang menimbulkan keresahan masyarakat ‡ Diharapkan Dinas
Kelautan Perikanan dan Pertanian (DKP2) Kota Batam berupaya memberikan bantuan usaha
kepada kelompok nelayan dalam rangka peningkatan taraf hidupnya
‡ Perlu langkah penyelesaian benturan pelaksanaan program dalam pemberdayaan
masyarakat oleh Dana Amanah Kota Batam. Membaca Peluang Ekonomi Kabupaten Meranti
Oleh Suprapto Kabupaten Kepulauan Meranti merupakan salah satu kabupaten otonomi
baru, dibentuk berdasarkan UU No 12/2009. Merupakan daerah pemekaran dari Kabupaten
Bengkalis, memiliki 5 kecamatan dengan luas mencapai 3.707.84 km2. Kabupaten termuda
ini, secara geografis, berada di jalur pelayaran dan perdagangan internasional Selat Melaka
di dua negara yakni Malaysia dan Singapura, serta secara alamiah sudah menjadi daerah

hinterland kawasan Free Trade Zone (FTZ) Batam dan Tanjungbalai Karimun.

Elva Lestari dan Arif Satria, 2015 Hal-72
http://ejournal-balitbang.kkp.go.id/index.php/mra/article/download/2073/pdf
Buletin Ilmiah “MARINA” Sosek Kelautan dan Perikanan Vol. 1 No. 2 Tahun 2015: 67-76

D . PENUTUP
Sebagai garda terdepan untuk Provinsi Riau dalam membuat simpul ekonomi di kawasan
pesisir. Kabupaten Kepulauan Meranti bisa menjadi kabupaten yang memiliki peranan
penting sebagai hinterland jalur strategis antara Provinsi Riau, Kepulauan Riau dan negara
tetangga Malaysia dan Singapura. Dijadikan FTZ di dua kota di Kepri yakni Batam dan
Tanjungbalai Karimun, setidaknya menjadikan kawasan ini salah satu penunjang FTZ
tersebut, apalagi kawasan ini bisa menghubungkan jalur darat perdagangan dari Pulau
Sumatera dan Jawa. Untuk mewujudkanya, dengan posisi strategis sebagai kawasan
interkoneksi, maka ke depan perlu ditunjang infrastruktur perhubungan yang memadai.
Selain pelayaran, yang perlu disiapkan adalah jalur transportasi darat. Pengembangan
infrastuktur jalan darat menjadi alternatif penting untuk membuka isolasi daerah dan pulaupulau di Meranti. Jika ini berhasil, maka akan terbuka juga interkoneksi jalan darat lintas
provinsi antara Riau dan Kepulauan Riau. Jalan lintas provinsi dua kawasan ini
memungkinkan untuk diwacanakan menjadi jalan nasional. Posisi yang strategis untuk
membuka jalur lintas Riau dan Kepulauan Riau di masa yang akan datang. Sebenarnya, Balai
Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Provinsi Riau sudah mewacanakan untuk
penyatuan Pulau Sumatera, melalui Meranti sebagai jalur penghubung antara Provinsi Riau
dan Kepulauan Riau. Skenario untuk mempersatukan pulau ini sangat penting. Ini
berdasarkan kondisi Meranti yang merupakan rangkaian pulau, dan satu-satunya jalan adalah
menyatukan pulau,. Setidaknya di Meranti dibutuhkan pembangunan infrastruktur jembatan
dengan total panjang
15.100 meter. Dengan asumsi perlu lima jembatan penyeberangan. Di antaranya; jembatan
Sungai Rawa-Meng-kikip, panjang 5.500 meter; jembatan Kampung Balak-Meranti Bunting,
panjang 2.200 meter; jembatan Insit-Bantar, panjang 3.500 meter; jembatan Ketapang-

Pelantai, panjang 600 meter; jembatan Ketamputih (Bengkalis)-Dakal, panjang 3.500 meter.
Selain itu, interkoneksi pulau antara Riau dan Kepulauan Riau juga sudah ada. Melalui Desa
Tanjung Samak di Pulau Rangsang dengan Tanjungbalai Karimun. Kawasan ini bisa
dijadikan jalur lintas provinsi.
Implikasi Kebijakan Tingkat keberlanjutan sumber daya laut di,pulau abaan termasuk
kategori Good, walaupun Kacamatanadanya Sasi yang masyarakat lakukan membuat kondisi
sumber daya alam terjaga dengan baik. Pada dimensi ekonomi atribut yang sangat perlu di
prioritaskan demi keberlanjutan sumber daya alam adalah pemberdayaan nelayan dalam
bidang ekonomi/koperasi dan pemasukan lain selain melaut. Masyarakat beranggapan belum
adanya perhatian khusus dari pemerintah untuk mereka terutama dari segi pemenuhan
ekonomi, walaupun sumber daya alam laut di pulau abang Riau sangat baik dan melimpah.
Dimensi teknologi atribut yang perlu diprioritaskan untuk perbaikan menggunakan alat
tradisional yang masih masyarakat menggunakan bom atau sianida.Keberadaan kelompok
nelayan khusus perlu diperhatikan untuk mengawasi dan menjaga kawasan konservasi
perairan daerah,dan termasuk kawasan Sasi. Hal ini dilakukan untuk mengurangi kegiatan
negatif yang merusak sumber daya. Selain itu dengan adanya pengalokasian dana dari
pemerintah membantu masyarakat di sekitar kawasankonservasi perairan daerah bertujuan
agar kegiatan pengawasan konservasi dan kearifan lokalnya sendiri/patroli pengawasan oleh
kelompok masyarakat pengawasn berjalan baik.

DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Irwan. 2006. “Dari boundedSystem ke Borderless Society:
KrisisMetodeAntropologidalamMemahami Masyarakat Masa Kini,”dalam Jurnal
Antropologi Indonesia,No. 60, hlm. 185-192.
Alam, Bachtiar. 1998. “Globalisasi danPerubahan Budaya: PerspektifTeori Kebudayaan,”
dalam JurnalAntropologi Indonesia, No. 54, hlm.1-23.Abdullah,
M. Adli. S Tripa & Muttaqin,T. 2006. Selama Kearifan AdalahKekayaan Eksistensi
Panglima Laotdan Hukom Adat Laot di Aceh. BandaAceh: Lembaga Hukom Adat
laot/Panglima Laot Aceh dan YayasanKehati.Arsyad A. 2007. “Analisis SistemPengelolaan
Perikanan ArtisanalBerkelanjutan: Kasus KelurahanPulau Abang, Kota Batam
ProvinsiKepulauan Riau,” Disertasi. Bogor:Institut Pertanian Bogor.
As’ad, Talal. (Tanpa Tahun) “Anthro-pological Conceptions of Religion:Reflection on
Geertz,” Man 8 (2):237-259.