Pemikiran dan aktivisme Islam Abu Jibril: mengkaji wacana Islam radikal di era reformasi

(1)

PEMIKIRAN DAN AKTIVISME ISLAM ABU JIBRIL: MENGKAJI WACANA ISLAM RADIKAL DI ERA REFORMASI

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Meutia Rachmawati

109033200013

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2013


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

vi

ABSTRAKSI

Skripsi ini menganalisis pemikiran dan aktifisme Islam Abu Jibril dan mencoba mengkaji lebih dalam wacana Islam Radikal di era reformasi. Tumbangnya rezim Orde Baru di tahun 1998 telah memberikan peluang bagi munculnya kelompok-kelompok Islam Radikal sebagai kekuatan baru politik Islam di Indonesia. Kemunculan kelompok-kelompok Islam Radikal ditandai dengan maraknya aksi-aksi yang melibatkan massa dalam skala massif. Kendati ada perbedaan dari segi pandangan politik maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu hal, yaitu menghendaki penetapan syariat (hukum) Islam di Indonesia sebagai sistem hukum dan kenegaraan. Wacana penetapan syariat Islam sebagai sistem baru pengganti demokrasi digulirkan karena para tokoh Islam Radikal beranggapan bahwa demokrasi yang sekuler telah gagal membawa umat Islam menuju kesejahteraan dan keadilan sosial.

Menjamurnya organisasi gerakan Islam Radikal yang muncul pasca runtuhnya Orde Baru memang tidak terlepas dari kondisi sosial politik Indonesia yang kala itu mengalami krisis multidimensi yang membuat umat Islam kecewa dan kehilangan kepercayaan terhadap sistem maupun rezim yang ada. Dan di tengah rasa kekecewaan tersebut, Abu Jibril tampil untuk menawarkan Syariat Islam sebagai jalan keluar untuk mengatasi segala masalah sosial yang menimpa Indonesia. Minat Abu Jibril pada Syariat Islam bukan hal baru. Sejak mahasiswa, Abu Jibril aktif di organisasi pemuda Islam dan terbiasa dengan wacana keIslamana terutama Syariat Islam.

Tapi sayangnya, keinginan untuk mengartikulasikan aspirasi keIslamannya menghadapai jalan buntu karena tekanan politik yang gencar dari rezim Orde Baru. Ketika itu, Orde Baru mengehendaki negara yang stabil dengan memberlakukan ideologi tunggal Pancasila sebagai satu-satunya asas semua organisasi massa dan politik. Dan siapapun yang berseberangan dituduh subversif. Abu Jibril pernah terjaring dalam pasal subversif Orde Baru ketika ia dan kelompoknya berusaha melanggarnya. Antara tahun 1979-1981, ia dipenjarakan dengan alasan subversif selama kurang lebih 2,5 tahun. Selepas dari tahanan, Abu Jibril masih tetap dicurigai dan karenanya terus diawasi rezim penguasa. Dalam konteks politik Orde Baru yang represif inilah Abu Jibril mulai melakukan pengembaraan untuk memperkuat wacana dan aktifisme Islamnya. Sejak itu ia menyingkir. Pada tahun 1986 mengembara ke Afghanistan, tempat yang penuh gejolak dan tempat dia untuk mengalami, memahami dan memaknai jihad secara lebih faktual. Afghanistan kemudian menginspirasinya untuk melakukan gerakan secara radikal dengan jihad untuk mewujudkan masyarakat yang lebih Islami melalui penerapan syariat Islam. Islam di mata aktifis Islam Radikal seperti Abu Jibril bukan lagi sekadar agama yang mengajarkan kebaikan dan bakti kepada Sang Pencipta melalui jalan peribadatan. Tapi lebih dari itu, Islam dimaknai sebagai suatu wacana yang lebih luas. Para aktifis Islam menggulirkan syariat sebagai suatu wacana tandingan terhadap sistem sosial ala Barat yang dianggap telah gagal mensejahterakan umat. Dalam konteks inilah penelitian ini mengungkap proses-proses yang membuat seorang aktifis Muslim menjelma menjadi aktifis dan tokoh Islam Radikal.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Assalaamu'alaikum wr. wbr

Segala puji kami panjatkan kehadirat Allah Tuhan Yang Maha ESA, karena berkat karunia-Nya lah penulis dapat menyelesaikan skripsi. Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan yang harus ditempuh dalam menyelesaikan program study Strata Satu ( S1) Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi ini kami beri judul: "Pemikiran Dan Aktivisme Islam Abu Jibril: Mengkaji Ideologi Islam Radikal Di Era Reformasi"

Penulis sangat menyadari akan keterbatasan pengetahuan dan wawasan, sehingga dalam penyusunan skripsi masih jauh dari sempurna, untuk itu dibutuhkan kritik dan saran dari pembaca untuk memperbaiki penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada :

1. Allah SWT, yang telah memberikan kekuatan, kesabaran dan kesehatan dalam proses penyusunan Skripsi ini.

2. Yang tercinta Papa (almarhum) dan Mama, serta adikku Teguh, yang selalu berdoa, sabar dan tidak henti-hentinya memberikan semangat dan dukungan. Semoga bisa membuat kalian bangga.

3. Bapak Chaider Bamualim, M.A selaku dosen pembimbing atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung, dan mengarahkan penulis. Terima kasih banyak atas bimbinganya.

4. Bapak Dr. Ali Munhanif, M.A dan Bapak M Zaki Mubarak, M.Si terimakasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.

5. Bapak Dr. Sirojuddin Aly, MA selaku penguji, terima kasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.

6. Bapak Dr. Sya’ban Muhammad, MA selaku penguji, terima kasih atas kesediaannya memberikan masukan terhadap skripsi ini.


(8)

viii 7. Ustad Abu Jibril yang bersedia meluangkan waktu di sela-sela kesibukan untuk menjadi narasumber. Terima kasih atas keramahan Ustad dan keluarga yang bersedia berbagi pengalaman dengan penulis. 8. My beloved Fahmi Abadiah, thank you for everything ciku.

9. Tante Ifwani dan om Alan Mc Clymont, terima kasih atas supportnya dan bantuan yang sangat berharga bagi penulis.

10.Rekan-rekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Jakarta khususnya pada prodi Ilmu Politik angkatan 2009 atas supportnya yang sangat berharga bagi penulis.

11.Sahabat-Sahabati PMII Ciputat dan Pengurus BEMF FISIP masa bakti 2012, terima kasih atas dukungan semangat dan keceriaan sahabat-sahabat

12.Riski mel, Arif, Ayu, Riski, Algi, Bayhaqi, Novi, Amizar, Eko, Amin, princes Eny, Ifah, Dwi, Rangga, Liloy, Piko, Oday, Lina, kanda Dedi, bang Ervan, Ismet, Herman, Rahmat, Ardi, Adi, Rowi, Rafsan, sahabat seperjuangan di keseharian kehidupan penulis, terima kasih atas segalanya.

13.Teman-teman PHD JK-PIN yang selalu membawa keceriaan dan semangat, terima kasih.

14.Terima kasih seluruh dosen dan staf Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Semoga Allah Swt selalu melimpahkan Rahmat atas kebaikan dalam membantu penyusunan skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini bisa memberikan manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan.

Wassalaamu'alaikum wr. wbr

Jakarta, 24 Desember 2013


(9)

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL : ... i

LEMBAR PERSETUJUAN : ... ii

PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME : ... ..iii

PENGESAHAN PANITIA UJIAN : ... iv

ABSTRAK : ... v

KATA PENGANTAR : ... vi

DAFTAR ISI : ... viii

BAB I : PENDAHULUAN A.Latar Belakang Masalah ... 1

B.Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 10

C.Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

D.Tinjauan Pustaka ... 11

E.Metode Penelitian ... 13

F. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II : ISLAM RADIKAL DAN ISLAMISME A. Islam Radikal ... 16

B. Islamisme: Upaya Memperjuangkan Islam Sebagai Sistem Politik ... ... 18

C. Islam Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru ... 25

BAB III : ABU JIBRIL DAN AKTIFITAS GERAKAN ISLAM A. Riwayat Hidup ... 37

B. Latar Belakang Pendidikan ... 39

C. Aktifitas Sosial, Dakwah, dan Politik ... 43


(10)

x

BAB IV : JIHAD DAN UPAYA PENEGAKAN SYARIAT ISLAM

A. Jihad . ... 55

1. Makna Jihad ... 55

2. Jihad Sebagai Tugas Bersama Seluruh Umat Islam ... 58

3. Jihad sebagai Jalan Utama Tegaknya Islam ... 61

4. Jihad dan Terorisme ... 62

B. Penegakan Syariat Islam ... 69

1.Makna Syariat Islam ... 69

2.Penegakan Syariat Islam Demi Berdirinya Daulah Islamiyah Politik ... ... 72

C. Menegakan Syariat Islam dan Pluralisme Masyarakat Indonesia ... 77

D. Penolakan Terhadap Demokrasi dan Pancasila………....80 BAB V : PENUTUP ... 86

A. Kesimpulan ... 86

B. Saran ... 90


(11)

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Runtuhnya rezim Soeharto pada Mei 1998 telah membuka kesempatan

bagi segenap rakyat Indonesia untuk menikmati proses demokratisasi di

Indonesia. Masyarakat yang mulai merasakan kebebasan berkespresi dan

berpolitik dalam iklim Demokrasi yang baru saja datang. Kebebasan berkespresi

dan berpolitik tampak jelas dari sikap masyarakat yang berani berkumpul,

berdiskusi, mengutarakan pendapat, serta ikut berpartisipasi dalam kehidupan

sosial politik. Dalam situasi kebebasan berpolitik seperti itu, berbagai gerakan

Islam semakin berani menyampaikan aspirasinya, termasuk berbagai aspirasi yang

selama masa pemerintahan Soeharto dianggap subversif, misalnya tuntutan

pemberlakuan syariat Islam oleh kelompok Islam Radikal.1

Kehadiran kelompok Islam Radikal yang dengan segala upaya

menawarkan suatu sistem baru atas nama syariat Islam secara otomatis

melahirkan problema tersendiri bagi keberlangsungan demokrasi di Indonesia.

Sepak terjang kelompok-kelompok Islam Radikal patut dicermati mengingat

perjuangan kelompok-kelompok ini bukan hanya berskala lokal saja, tapi juga

terkait dengan jaringan internasional.

Kenyataan bahwa Islam merupakan agama yang sempurna dan

komprehensif membuat kelompok Islam Radikal menuntut pemberlakuan syariat

1 M Zaki Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan


(12)

2 Islam sebagai hukum positif di Indonesia. Islam diyakini memiliki konsep

kenegaraan dan politik secara luas. Sejarah Islam dipenuhi dengan kejayaan

pemerintahan masa Nabi Muhammad SAW hingga masa pimpinan para sahabat

Nabi, terutama di masa Khulafa Rasyidin. Kenyataan ini membuat aktifis Islam

Radikal berpandangan bahwa Islam merupakan agama yang terkait erat dengan

politik kenegaraan. Ungkapan “Islam adalah agama dan negara” (al-Islam din wa daulah), telah mengisyaratakan keterkaitan yang erat antara agama dan negara.2

Islam tidak hanya berkembang sebagai suatu gerakan keagamaan, tetapi

juga berkembang sebagai gerakan politik dimana agama menyatu dengan negara

dan masyarakat. Kaum Muslim percaya bahwa keimanan dan politik dalam Islam

bersumber pada kitab yang merupakan wahyu ilahi, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Para pemikir Islam Radikal asal Pakistan seperti Abul A’la al-Maududi berpandangan bahwa Islam adalah suatu agama yang paripurna, lengkap dengan

petunjuk untuk mengatur semua segi kehidupan manusia, termasuk kehidupan

politik.3 Maka keduanya secara langsung memiliki keterkaitan erat satu sama lain

yang tidak bisa dengan mudah dipisahkan.

Walaupun Islam bukanlah agama politik namun secara historis politik

tidak terpisahkan dari umat Islam. Perjalanan umat Islam diberbagai negara tetap

saja diwarnai oleh gejolak politik setempat. Begitupun maju mundurnya umat

2 Musdah Mulia, Negara Islam (Depok: Kata Kita, 2010), 14.

3 Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta:


(13)

3 Islam dari kancah pergaulan internasional juga dipengaruhi oleh percaturan politik

yang berkembang.4

Secara historis, usaha-usaha untuk mendirikan negara Islam di Indonesia

sudah berlangsung sejak lama.5 Bahkan hingga saat ini, isu pembentukan negara

Islam belum tuntas sepenuhnya. Negara Islam dicita-citakan untuk dibentuk

dengan tujuan keselamatan manusia dalam menjalankan perintah Allah SAW.

Banyak organisasi masa yang tetap bersikukuh menginginkan Indonesia

berdasarkan syariat Islam tanpa sedikitpun ada unsur demokrasi didalamnya,

sebut saja organisasi seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), hingga Laskar Jihad (LJ).6

FPI misalnya muncul sebagai reaksi atas maraknya kemaksiatan yang

makin tak terjangkau oleh hukum.7 MMI tampil untuk merespons kondisi

ekonomi dan politik yang kian tidak berdaya menghadapi kekuatan asing

(khususnya AS).8 HTI merespon ketidakadilan tata hubungan antar bangsa yang

makin didominasi imperialisme AS.9 Sedangkan munculnya LJ lebih merupakan

reaksi atas ketidak mampuan pemerintah pusat mengatasi konflik di Ambon.10

4 Moh. Mufid, Politik Dalam Perspektif Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004), 1.

5 Al-Chaidar, Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S.M

Kartosoewirjo: Mengungkap Manipulasi Sejarah Darul Islam/DI-TII Semasa Orde Lama dan Orde Baru (Jakarta: Darul Falah, 1999), ix-xiv.

6 Endang Turmudi dan Riza Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia (Jakarta:

LIPI Press, 2005), 5.

7 Lihat Chaider S Bamualim, “Islamic Militancy and Resentment against Hadhramis in

Post-Suharto Indonersia: A Case Study of Habib Rizieq Syihab and His Islamic Defenders Front”,

Comparative Studies of South Asia, Africa and the Middle East, Vol. 31, No. 2, 2011, hal. 267-281.

8 Irfan Suryahadi Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah

Islam (Yogyakarta: Wihdah Press, 2001), xvii-xxviii

9 Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, Vii.

10 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia


(14)

4 Bangkitnya gerakan-gerakan keagamaan ini ditandai dengan maraknya

aksi-aksi yang melibatkan massa dalam skala massif yang dimotori kelompok

Islam Radikal tersebut. Kendati ada perbedaan dari segi pandangan politik

maupun strategi perjuangan, umumnya mereka memiliki persamaan dalam satu

hal, yaitu menghendaki penetapan syariat (hukum) Islam di Indonesia. Para aktifis

politik Islam memperjuangkan kebangkitan Islam melalui legalitas negara Islam

yang terinspirasi dari pengembalian nilai-nilai ajaran Islam yang murni. Islam

dimaknai bukan hanya sekedar agama yang terdiri dari ritual tertentu semata,

tetapi juga sebagai jalan hidup yang mencangkup segala hal.11

Gagasan untuk mendirikan negara Islam berpijak pada anggapan bahwa

sistem pemerintahan yang berasal dari Barat seperti demokrasi, sosialisme,

kapitalisme, sekularisme, dan nasionalisme, yang merupakan sistem buatan

manusia, dianggap telah gagal untuk memajukan dan mensejahterakan umat

Muslim. Umat Muslim menderita dan kecewa dengan terus menerus berada dalam

suatu krisis yang berkepanjangan akibat sistem pemerintahan yang

mengesampingkan Islam sebagai unsur penting dalam identitas dan ideologi

nasional. Islam yang ada saat ini tampak seperti terlalu tergantung kepada Barat,

maka alternatif politik Islam disinyalir akan menjadi suatu daya tarik baru untuk

umat.12

Dari proses kebangkitan kaum Muslim di seluruh dunia, maka kemudian

muncul istilah-istilah seperti fundamentalisme, radikalisme, renaisans Islam,

militan dan sebagainya. Terlepas dari kontroversi mengenai istilah-istilah tersebut,

11 Jenggis P, Kebangkitan Islam (Yogyakarta: NFP Publishing, 2011), 2.


(15)

5 kelompok ini, baik terorganisasi maupun tidak, bertujuan mengganti sistem

kenegaraan sekuler yang tidak Islami dengan tatanan sosial politik Islami. Islam

dan politik kini dipandang sebagai kesatuan yang tidak terpisahkan. Sistem politik

sekuler dipandang telah gagal mengangkat harkat kaum Muslim. Sistem politik

Islam diyakini sebagai satu-satunya alternatif untuk menangkis hegemoni dunia

barat.13

Salah satu sosok yang namanya kerap kali diidentikan dengan gerakan

Islam Radikal di Indonesia yang bersikap keras dalam memperjuangkan syariat

Islam adalah Ustad Muhammad Abu Jibril yang secara resmi bernama

Muhammad Iqbal Abdurahman. Abu Jibril merupakan aktifis Majelis Mujahidin

Indonesia (MMI). MMI adalah organisasi yang dilahirkan melalui Konggres

Mujahidin I yang diselenggarakan di Yogyakarta tanggal 7 Agustus 2000.

Tujuannya adalah untuk bersama-sama berjuang menegakkan Syariat Islam dalam

segala aspek kehidupan, sehingga Syariat Islam menjadi rujukan tunggal bagi

sistem pemerintahan dan kebijakan kenegaraan secara nasional maupun

internasional. Yang dimaksudkan dengan Syari’at Islam disini adalah segala aturan hidup serta tuntunan yang diajarkan oleh agama Islam yang bersumber dari

al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad SAW.14

MMI mempunyai pendirian yang erat dengan negara Islam (Daulah

Islamiyah atau Islamic state). Bagi mereka, sesungguhnya Islam adalah agama dan negara (al-Islām dīn wa daulah), yang mengisyaratakan keterkaitan yang erat

13 Azyumardi Azra, Pergolakan Politik Islam: Dari Fundamentalisme, Modernisme

Hingga Post-Modernisme (Jakarta: Penerbit Paramadina, 1996), 18-19

14 Abu Bakar Baasyir “Majelis Mujahidin Indonesia” tersedia di


(16)

6 antara agama dan negara. Adapun maksud dan tujuan diselenggarakanya kongres

mujahidin adalah: Pertama, memajukan perjuangan para mujahidin dalam

menegakan syariat Islam. Kedua, membangun satu kesatuan shaf mujahidin yang

kokoh dan kuat, baik dalam negeri, regional, maupun internasional. Ketiga,

terbentuknya institusi mujahidin. Dan keempat, mewujudkan dewan

kepemimpinan umat sebagai Khalīfatullāh fī al-Ardhi.15

Sosok Abu Jibril berkali-kali diidentikkan dengan aksi terorisme yang

beberapa tahun belakangan terjadi di Indonesia. Sikapnya yang keras dalam hal

jihad, dan juga syariat Islam, mudah menjadi pembenar tuduhan semacam itu.

Kenyataan bahwa pada pertengahan 1980-an Abu Jibril sempat berjihad ke

Afghanistan mungkin juga menguatkan pendapat tersebut. Abu Jibril juga pernah

ditahan di Malaysia dengan tuduhan melakukan kegiatan yang membahayakan

keamanan Malaysia karena dituduh aktif dalam organiasi Mujahidin Malaysia.

Atas dasar Akta Keamanan dalam Negeri (ISA), Abu Jibril ditahan di Penjara

Kemunting Perak pada 21 juni 2001.16

Beberapa hari sesudah bom meledak di Hotel Ritz Carlton dan JW Marriot

pada 17 Juli 2009, putra Abu Jibril, Muhammad Jibril, ditahan karena dituduh

terlibat dalam pemboman tersebut. Nama Abu Jibril juga kembali terdengar saat

penembakan Dulmatin di Pamulang, Tangerang Selatan, pada 9 Maret 2010,

apalagi lokasi penembakan Dulmatin tidak jauh dari kediaman Abu Jibril di

komplek Witanaharja, Pamulang. Mantri Fauzi, warga Pamulang yang

menampung Dulmatin, juga merupakan murid pengajian Abu Jibril. Karenanya

15 Awwas, ed., Risalah Kongres Mujahidin I dan Penegakan Syariah Islam, XXVIII.

16 Haris Firdaus ”Abu Jibril” tersedia di http://rumahmimpi.net/2010/04/abu-jibril/ Internet; diunduh 21 september 2012.


(17)

7 isu keterlibatan Abu Jibril dengan terorisme kembali menjadi bahan pembicaraan.

Hal ini juga disebabkan karena pengajiannya di Masjid Al-Munawwaroh

dianggap eksklusif dan mengajarkan kekerasan.17

Abu Jibril dikenal gigih dalam memperjuangkan tegaknya syariat Islam.

Menurutnya, perkembangan Islam saat ini tidak mengarah pada penegakan syariat

Islam. Masing-masing kelompok punya kepentingan dan membaca Islam dengan

cara yang tidak semestinya. Islam menghendaki umat mengikuti syariat yang

lurus, mengikuti perintahNya, menjauhi laranganNya. Janganlah mengikuti

tatanan hidup lain, karena melepaskan syariat Islam dalam sendi kehidupan

manusia, maka hal itu dengan sendirinya akan menjauhkan umat Muslim dari

Islam. Islam tidak boleh dikaitkan dengan istilah lain misalnya Islam moderat,

Islam madani, dan sebagainya. Yang ada hanya satu Islam, yaitu Islam yang

mengikuti Al-Qur’an dan Sunnah.18

Islam merupakan sistem yang komperehensif yang mengatur segala segi

kehidupan, baik ruhani maupun praktikal, serta mengatur urusan-urusan manusia

dalam kehidupanya di dunia dan akhirat sesuai dengan undang-undang dan

nilai-nilai akhlak yang harus dituruti.19

Abu Jibril menegaskan bahwa, Islam adalah satu-satunya undang-undang

kehidupan dan peraturan hidup yang hakiki bagi manusia dan diridhoiNya. Oleh

karena itu, barang siapa yang menjalankan syariat Islam dalam hidupnya maka

akan mendapatkan jaminan kehidupan yang mulia di dunia dan akhirat dari Allah

17 Haris Firdaus ”Abu Jibril” tersedia di http://rumahmimpi.net/2010/04/abu-jibril/ Internet; diunduh 21 september 2012.

18 “Abu Jibril: Ulama Sekarang Mewakili Penguasa” tersedia di http://abujibriel.com/ Internet; diunduh 21 september 2012.


(18)

8 SWT. Untuk menjaga kesucian agama Islam, Allah SWT telah mengirimkan

orang-orang yang berupaya mengembalikan syariat sesuai dengan yang

diturunkan oleh Allah SWT dan membumikan sunnah-sunnah yang diwariskan

Rasulullah SAW kepada umat saat ini. Mereka dijadikan oleh Allah SAW sebagai

wali di muka bumi untuk tetap mengawal umat sehingga tidak berbelok ke arah

yang berseberangan dengan jalan Islam.20

Abu Jibril secara tegas menolak sistem demokrasi yang dalam

pandanganya tidak sesuai dengan syariat Islam. Demokrasi sejatinya merupakan

suatu bentuk pemerintahan yang ditata dan diorganisasikan berdasarkan

prinsip-prinsip kedaulatan rakyat, kesamaan politik, konsultasi atau dialog dengan rakyat

dan berdasarkan pada aturan suara mayoritas.21

Keseriusan Abu Jibril dalam memperjuangkan tegaknya Syariat Islam

dapat dilihat dari sikap konsisten beliau dalam berdakwah dan memimpin MMI.

MMI dibawah kepemimpinan Abu Jibril bertekad meneruskan

kebijakan-kebijakan sebelumya, antara lain berfungsi sebagai motivator umat untuk

penegakan syariat Islam dalam lingkup keluarga, masyarakat, dan pemerintahan

negara, serta membuat fatwa tentang kasus-kasus tertentu mengenai ajaran-ajaran

yang menyimpang dari Islam seperti ajaran Ahmadiyah,22Syi’ah23 yang dianggap sesat dan menyesatkan.

20Abu Jibril “Berilmu Dahulu, Beramal Kemudian” tersedia di http://abujibriel.com/ internet; diunduh 26 september 2012.

21 Trubus Rahardiansyah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma dan

Pendekatanya (Jakarta: Universitas Trisakti, 2006), 121.

22 Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza

Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Jemaat Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan yang bersifat Internasional yang telah tersebar di lebih dari 200 negara di dunia. Salah satu bentuk pengkhidmatan Jemaat Ahmadiyah Internasional adalah menterjemahkan Al-Quran ke dalam


(19)

9 Abu Jibril dan MMI selalu berupaya untuk memperkenalkan sekaligus

memperkuat ingatan umat tentang syariat Islam melalui jalan dakwah. Abu Jibril

sebagai Amir MMI tidak henti-hentinya mendakwahkan betapa pentingnya syariat

Islam bagi keberlangsungan kehidupan sosial bangsa Indonesia menuju kehidupan

yang lebih baik.

Sejarah Islam di masa modern ini merupakan interaksi terus-menerus

antara ajaran-ajaran Islam dan gerakan-gerakan perubahan. Namun kenyataanya,

kekuatan dan interaksi Islam dalam pembaharuan sosial dan politik sering tidak

diperhatikan atau kurang mendapat perhatian. Sejatinya, kebangkitan Islam bukan

merupakan akibat dari perasaan keterasingan massal atau penolakan terhadap

modernisasi, akan tetapi munculnya Islam kembali sebagai bagian penting dari

ideologi politik.24

Cita-cita Abu Jibril untuk mewujudkan tegaknya Syariat Islam di

Indonesia tentu bukanlah hal mudah, mengingat Indonesia merupakan negara

bahasa-bahasa besar di dunia dan penerjemahan Al-Quran sudah hampir mencapai 100 bahasa di

dunia. Tersedia di http://www.ahmadiyya.or.id/index.php/artikel/sejarah-jemaat-ahmadiyah.

Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia. Pada tahun 1980 Majelis Ulama Indonesia telah mengeluarkan fatwa bahwa Ahmadiyah adalah aliran yang sesat dan menyesatkan. Di Indonesia aliran ini bermarkas di Parung, Bogor yang memiliki kampus yang dinamakan Kampus MUBARAK untuk mencetak kader mubaligh

Ahmadiyah. Tersedia di, http://ahmadiyah.20m.com/. Internet; diunduh 21 september 2012.

23 Syiah dalam pengertian bahasa, adalah Pengikutan, Pembelaan atau menyatu untuk

pembelaan dan kepentingan seseorang, atau sesuatu perkara, pada mulanya kata itu adalah umum tidak spesifik untuk sesuatu golongan;' tetapi kemudian kata Syiah itu menjadi spesifik untuk mereka yang menamakan din pengikut Ali dan keluarganya. Syiah lmamiyah Itsna Asyariyah, Ja'fariyah ; sekte Syiah inilah yang merupakan mayoritas di kalangan Syiah di seluruh Dunia, mereka berada di Iran, Irak, Libanon, sebagian kecil di India, Pakistan dan negeri-negeri Teluk Mereka menamakan diri mereka Imamiyah atau Itsna Asyariyah, karena mereka percaya bahwa sesudah Rasulullah S.A.W. yang boleh ada sebagai Khalifahnya hanya Dua belas Imam yang bersifat Ma'shum seperti halnya Nabi. Sekitar 90% umat Muslim sedunia merupakan kaum Sunni, dan 10% menganut aliran Syi'ah. Hubungan antara Sunni dan Syi'ah telah mengalami kontroversi sejak masa awal terpecahnya secara politis dan ideologis antara para pengikut Bani Umayyah dan

para pengikut Ali bin Abi Thalib. Tersedia di,

http://www.syiah.net/2007/10/agama-syiah-dan-landasan-kepercayaannya-bag-1.html Internet; diunduh 21 september 2012.

24 Jhon L. Esposito, Identitas Islam: Pada Perubahan Sosial-Politik (Jakarta: Bulan


(20)

10 yang kaya akan keanekaragaman suku bangsa, budaya, hingga agama. Namun

harapan untuk menumbuhkan semangat penegakan syariat Islam tidak pernah

pupus dari benak Abu Jibril.

Berdasarkan latar belakang yang telah penulis paparkan di atas, maka

dalam penulisan skripsi ini penulis ingin mengkaji lebih jauh mengenai konteks

spesifik dan makro yang telah mendorong bangkitnya radikalisme baik itu sebagai

pemikiran dan gerakan yang menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus dalam

penelitian ini.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Studi ini menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus, seorang aktifis

Muslim yang menjelma menjadi tokoh Islam Radikal yang kontroversial yang

berkeinginan untuk merubah tatanan sosial politik Indonesia yang dituduhnya

sekuler menjadi tatanan sosial yang lebih Islami. Untuk memudahkan penelitian

ini, maka penulis membatasi masalah pada pemikiran dan gerakan politik Islam

Radikal Abu Jibril. Adapun rumusan masalahnya dapat dirinci dalam bentuk

pertanyaan sebagai berikut:

1. Apa faktor dan konteks spesifik yang memungkinkan seorang aktifis

Islam seperti Abu Jibril menjelma menjadi pemikir dan aktifis Islam

Radikal?

2. Apa saja wacana dominan Islam Radikal yang digagas dan

diobsesikan Abu Jibril? Dan apa yang menginspirasi Abu Jibril untuk


(21)

11 3. Bagaimana cara Abu Jibril mewujudkan wacana tersebut secara

konkret ke dalam masyarakat Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami secara jelas

mengenai faktor dan konteks spesifik yang memungkinkan berubahnya aktifisme

Islam yang normal menjadi Radikal yang juga berarti merubah aktifisnya menjadi

aktifis Islam Radikal. Penelitian ini mencermati bagaimana proses-proses dan

konteks yang membuat seorang aktifis Muslim menjelma menjadi aktifis dan

tokoh Islam Radikal. Dalam studi ini akan juga dilihat apa saja wacana dominan

yang diobsesikan oleh aktifis Islam Radikal dan bagaimana cara mereka

mewujudkannya dalam masyarakat.

Sedangkan manfaat penelitian ini adalah untuk memperkaya wacana

politik Islam, terutama kajian politik Islam Radikal. Penulis berharap agar

penelitian ini secara khusus bermanfaat dalam membantu untuk memahami

bagaimana seorang aktifis Islam berubah menjadi aktifis Islam Radikal serta

agenda yang mereka perjuangkan dan bagaimana cara mewujudkannya dalam

masyarakat.

D. Tinjauan Pustaka

Telah terdapat banyak studi yang mengkaji gerakan Islam Radikal di

Indonesia. Studi-studi yang membahas mengenai pergerakan politik


(22)

12 Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek Demokrasi (2008). Buku ini membahas mengenai transisi demokrasi di Indonesia yang pada

perkembanganya telah menimbulkan ekses yang membuat makin subur dan

berpengaruhnya elemen Islam Radikal yang dari segi doktriner tidak bersahabat

dengan demokrasi. Kelompok Islam garis keras ini seringkali muncul menjadi

kelompok penekan terhadap pemerintah yang berkuasa.

Kajian lain tentang Islam Radikal adalah karya Noorhaidi Hasan berjudul

Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (2008). Buku ini memberi kontribusi amat penting untuk memahami Islam Radikal di Indonesia sebagai bentuk ekspansi Islam politik dalam perpolitikan di

Indonesia pasca-Orde Baru. Menurutnya, “fenomena pergeseran aksi pergerakan dari gerakan salafi menuju aktifisme politik dan militansi tidak terlepas dari

ambisi-ambisi politik para pemimpin gerakan yang melihat perubahan cepat

dalam perpolitikan di Indonesia yang justru mempermudah untuk membangun

aksi-aksi kolektif.”25

Kajian lainnya adalah “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan Strategi Wacana”, juga oleh Noorhaidi Hasan.26 Dalam artikel ini Noorhaidi membahas seberapa dalamnya pengaruh Islam Radikal di Indonesia. Dalam

tulisan ini, Noorhaidi juga menjelaskan hubungan erat antara Islam Radikal

dengan Islamisme. Menurutnya, Radikalisme dan Islamisme bertujuan untuk

“menuntut reposisi peran Islam dalam ruang diskursif dan landskap politik,

25 Noorhaidi Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia Pasca-Orde Baru (Jakarta: LP3ES, 2008)l, hal.

26 Noorhaidi Hasan, “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan Strategi

Wacana,”Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon, Ternate, dan Jayapura (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 45-70.


(23)

13 ekonomi, sosial, dan budaya.” Sedangkan Islamisme menurut Noorhaidi “Bagaikan titik patahan dalam rentang panjang sejarah, yang terkait erat dengan gejala perubahan sosial, politik dan ekonomi yang diakibatkan oleh persentuhan

dunia Islam dengan modernisasi dan globalisasi.”27

Berdasarkan literatur-literatur yang penulis paparkan di atas, maka bisa

dilihat bahwa tidak ada unsur kesamaan antara hasil penelitian penulis dengan

literatur-literatur tersebut.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah tipe kualitatif.

Prosedur penelitian ini menghasilkan data yang deskriptif, yaitu

menggambarkan dan menjabarkan hal-hal yang berkaitan dengan masalah yang

sedang diteliti, dalam hal ini mengenai politik Islam Radikal. Penelitian ini

akan mengkaji lebih jauh mengenai konteks spesifik dan makro yang telah

mendorong bangkitnya radikalisme baik itu sebagai pemikiran dan gerakan

yang menjadikan Abu Jibril sebagai studi kasus dalam penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:

a. Wawancara mendalam. Wawancara ini upaya pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara tanya-jawab dengan responden (Abu Jibril) dengan

mengajukan beberapa pertanyaan yang tidak berstruktur. Teknik ini

27 Noorhaidi Hasan, “Mendiskusikan Radikalisme Islam: Definisi dan Strategi

Wacana,”Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon, Ternate, dan Jayapura (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011), hal. 48.


(24)

14 berguna untuk mendapatkan informasi dari orang pertama secara langsung

sehingga nilai informasi itu dapat disebut penting dan terpercaya.

b. Observasi. Yaitu pengamatan yang penulis lakukan secara langsung

terhadap aktivitas Abu Jibril dengan mengikuti pengajian yang

dipimpinnya selama beberapa kali.

c. Studi literature dan dokumentasi. Yaitu mencari dan mengumpulkan data

mengenai masalah-masalah yang bersangkutan melalui sumber-sumber

bacaanberupa buku, surat kabar, internet dan lain-lain yang berkaitan

dengan objek yang sedang diteliti.

3. Teknik Analisa Data

Adapun teknik analisa yang digunakan dalam penelitian ini adalah

deskriptif analisis, yaitu suatu pembahasan yang bertujuan untuk membuat

gambaran terhadap data-data yang terkumpul dan tersusun dengan cara

memberikan interpretasi secara hati-hati terhadap data-data tersebut. Dengan

menggunakan teknik penelitian ini berharap dapat memberikan gambaran yang

sistematis, faktual, aktual, dan akurat mengenai fakta-fakta seputar politik Islam

Radikal, khususnya mengenai menjelmanya seorang aktifis Muslim menjadi

aktifis Islam Radikal, agenda-agenda yang diimpikannya serta cara mereka

memperjuangkan agenda tersebut. Untuk pedoman penulisan ini penulis

menggunakan buku terbitan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta sebagai Panduan Penyusunan Proposal dan Skrispi yang

diterbitkan oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah


(25)

15

G. Sistematika Penulisan

Skripsi ini terdiri dari lima bab yang akan diuraikan secara ringkas, dari

masing-masing bab sebagai berikut:

Bab pertama, berisi pendahuluan yang terdiri dari sub-sub bab yang

menjelaskan latar belakang masalah, pembatasan masalah dan perumusan

masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoretis dan

sistematika penulisan.

Bab kedua, membahas mengenai Islam Radikal dan Islamisme. Dalam bab

ini akan dipaparkan mengenai konsep Islam Radikal, Islamisme sebagai upaya

memperjuangkan Islam sebagai sistem politik. Dan Islam Radikal pasca

runtuhnya Orde Baru.

Bab ketiga, berisi mengenai Profil Abu Jibril. Dimulai dari riwayat hidup

serta latar belakang pendidikanya. Dalam bab ini juga akan dibahas mengenai

aktifitas sosial politik Abu Jibril.

Bab keempat, dalam bab ini membahas pemikiran politik Islam Abu Jibril

mengenai jihad dan upaya penegakan syariat Islam. Pembahasan ini mengajak

kita untuk memahami jihad dalam pandangan kelompok Islam Radikal yang

diwakili oleh Abu Jibril. Juga akan dibahas lebih mendalam mengenai

usaha-usaha penegakan syariat Islam di Indonesia. Dan Penolakan Abu Jibril terhadap

Demokrasi dan Pancasila.

Bab kelima, adalah bab terakhir yang berisikan kesimpulan, saran dan


(26)

16

BAB II

ISLAM RADIKAL DAN ISLAMISME A. Islam Radikal

Kata radikal atau radic secara bahasa berarti mengakar. Perubahan radikal

berarti perubahan mendasar karena hal itu menyangkut upaya penggantian

dasar-dasar yang berubah tadi.28 Istilah radikalisme sebenarnya bukanlah konsep asing

dalam ilmu sosial. Disiplin politik, sosial, dan sejarah sejak lama telah

menggunakan terma ini untuk menjelaskan fenomena sosial tertentu. Kata radikal

digunakan sebagai indikator sikap penolakan total terhadap seluruh kondisi yang

sedang berlangsung.29

Radikalisme sendiri merupakan suatu bentuk gerakan yang berusaha untuk

merombak secara total tatanan sosial politis yang ada dengan menggunakan

kekerasan.30 Maka dari itu, radikalisme selalu dihubung-hubungkan dengan

benturan tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan dengan tatanan nilai yang

telah mapan saat itu. Radikalisme merupakan respon terhadap suatu kondisi yang

dianggap tidak sesuai dengan keinginan sehingga menimbulkan suatu

bentuk-bentuk penolakan atau perlawanan. Dengan demikian, Islam Radikal adalah suatu

bentuk gerakan yang berusaha untuk merombak secara total tatanan sosial politik

yang ada dengan menggunakan kekerasan untuk menawarkan alternatif sistem

pemerintahan yang lebih Islami yang diyakinnya dapat mewujudkan kesejahteraan

lahir batin bagi seluruh rakyat Indonesia.

28 Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, 281.

29 Bahtiar Effendy dan Hendro prasetyo, ed., Radikalisme Agama (Jakarta: PPIM-IAIN,

1998),xvii.

30 Zainuddin Fananie, dkk, Radikalisme Keagamaan dan Perubahan Sosial (Surakarta:


(27)

17 Kemunculan para aktifis Islam Radikal mengindikasikan bahwa mereka

menolak secara menyeluruh tertib sosial yang sedang berlaku. Dengan kata lain,

perubahan pola pikir sebagian kecil masyarakat yang diwujudkan dalam aktifisme

kelompok radikal keagamaan, barangkali merupakan upaya yang diusahakan

sebagian masyarakat untuk ikut menyelesaikan masalah-masalah sosial melalui

penegakan nilai-nilai keagamaan secara ketat dan sifatnya mendesak. Namun,

aksi-aksi yang dilancarkan kelompok-kelompok radikal seringkali menimbulkan

ketegangan di tengah-tengah masyarakat dalam setiap kemunculanya.

Justifikasi radikal diberikan oleh masyarakat karena kelompok-kelompok

ini umumnya bersifat intoleran.31 Munculnya pandangan negatif masyarakat

terhadap kelompok radikal barangkali dikarenakan kemunculan kelompok radikal

selain melalui proses yang panjang, biasanya kelompok ini cenderung bersifat

eksklusif. Masyarakat baru mengetahui suatu kelompok radikal jika kelompok ini

secara langsung terlibat dalam satu aktifitas di ruang publik yang bisa dilihat

langsung oleh masyarakat. Jadi, tidak mengherankan jika kemunculan kelompok

radikal sering disalahtafsirkan.

Namun yang patut dicermati bahwa radikalisme sebenarnya bukanlah

suatu masalah sejauh ia hanya bersarang dalam pemikiran para penganutnya.

Tetapi, ketika radikalisme pemikiran bergeser menjadi gerakan-gerakan radikal,

maka jelas akan menimbulkan masalah, terutama ketika cita-cita radikal tersebut


(28)

18 dihalangi dan mendapat tentangan dari pihak lain, maka situasi yang muncul

adalah radikalisme yang diiringi oleh kekerasan.32

B. Islamisme: Upaya Memperjuangkan Islam Sebagai Sistem Politik

Islamisme berangkat dari dasar yang meyakini bahwa Islam merupakan

agama yang di dalamnya terkandung norma-norma beserta ajaran yang bersifat

komperehensif dan unggul. Oleh karena itu, Islam patut untuk dijadikan sebagai

pedoman utama bagi manusia guna mawujudkan kehidupan yang tertib dan

teratur.

Islamisme merupakan sebuah proyek yang kegiatanya terfokus pada

negara. Islamisme berusaha untuk mencari tatanan politik yang lebih sempurna

dengan cara mendirikan lembaga-lembaga negara, atau berusaha untuk

mengendalikan yang sudah ada sehingga Islam dapat mendominasi segala aspek

kehidupan untuk dapat mencapai keadilan dan menjaga integritas umat Muslim.33

Islam Radikal memiliki kaitan dengan Islamisme yang bertujuan menuntut

reposisi umat Islam. Islamisme bagaikan titik patahan dalam rentang panjang

sejarah, yang terkait erat dengan gejala perubahan sosial, politik dan ekonomi

yang diakibatkan oleh persentuhan dunia Islam dengan modernisasi dan

globalisasi.34

Pergerakan Islamisme terbagi dalam tiga arus utama di antaranya dakwah,

politik, dan jihad. Ketiga arus tersebut bersifat dinamis, maksudnya bersifat

32 Turmudi dan Sihbudi, ed., Islam dan Radikalisme di Indonesia, 5.

33 Ricklefs, M.C, Islamisation and its opponents in Java: a political, social, cultural, and

religious history, (Singapore: NUS Press,2012), 515.

34 Noorhaidi Hasan. dkk, Masjid dan Pembangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso,


(29)

19 dinamis karena asal mula dari Islamisme politik bisa saja adalah gerakan dakwah,

dan pada perkembanganya gerakan dakwah dapat pula berubah menjadi suatu

gerakan yang bersifat politis, dan pelebaran pola perjuangan pada giliranya dapat

melahirkan sebuah transformasi gerakan politis menuju gerakan jihadis.

Transformasi yang berlangsung tergantung dari kondisi yang terjadi saat itu.

Gerakan Islamis sendiri tidak serupa satu dengan lainya, semua tergantung dari

strategi perjuangan masing-masing kelompok.35

Arus Islamisme yang pertama ialah Islamisme politik kontemporer yang

dapat dibagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah kelompok yang

menerima demokrasi dan mendukung konstitusi. Umumnya kelompok ini

cenderung terbebas dari stigma radikal, karena Islamisme politik ini bergerak

dengan pendekatan damai dan akomodatif. Kelompok Islamis tipe ini senantiasa

mendukung konstitusi yang berlaku, mereka cenderung untuk menjauhi jalan

revolusioner dalam mencapai tujuanya. Misi Islamis yang diembanya biasanya

disampaikan dalam bentuk pengajuan perubahan konstitusi melalui partai Islam

yang terlibat dalam proses pemerintahan.36

Arus Islamisme yang kedua ialah dakwah salafi, merupakan kelompok

Islamisme politik yang biasanya secara terang-terangan menolak sistem

pemerintahan demokratis dan konstitusional, dan dalam aksinya mereka kerap

mempropagandakan Islam sebagai sistem pemerintahan alternatif yang ideal dan

jauh lebih baik. Salafi atau salaf yang berarti para pendahulu. Secara terminologis

35 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus

Jakarta dan Solo, 12

36 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus


(30)

20 berarti mereka adalah para pengikut generasi Islam terdahulu, seperti para sahabat

nabi, Tabi’in (pengikut sahabat nabi), dan Tabi’un (para pengikut Tabi’in).37 Di Indonesia pengaruh dakwah salafi cukup kuat. Kelompok ini cenderung

mananggapi dengan sikap positif suatu rezim yang tegak dibawah pemimpin

Muslim. Para pengiikut salafi tidak menggunakan kekerasan dalam aksi

perrjuangan mereka. Kekerasan hanya boleh dilakukan semata-mata sebagai

perang melawan musuh-musuh Islam demi tujuan dakwah.

Dan arus Islamisme yang ketiga adalah kelompok Islamisme jihadis, yaitu

kelompok Islamisme yang seringkali diidentikan dengan aksi kekerasan, teror,

dan tindak anarki yang berbahaya, oleh karena itu stigma radikal sangat melekat

kuat pada kelompok ini. Islamisme jihadis-radikal (menolak sama sekali untuk

berpartisipasi didalam kerangka sistem demokrasi) yang sering didefinisikan

sebagai kelompok perjuangan bersenjata Islam yang muncul dalam tiga bentuk,

pertama, internal ( memerangi rezim Muslim yang dianggap sesat atau thoghut). Kedua, iredentist (berperang untuk merebut wilayah yang diperintah oleh kaum non-Muslim). Ketiga, global (memerangi dominasi barat).38

Dari ketiga arus Islamisme di atas, dapat ditarik satu kesimpulan bahwa

kelompok-kelompok Islamis dimanapun keberadaanya selalu berusaha untuk

mengganti sistem dan aturan sosial politik yang ada dengan aturan sosial dan

norma yang didasarkan pada Islam. Karena memang tujuan perjuangan mereka

adalah pendirian negara Islam atau pemberlakuan sistem Islam sebagai aturan

37 al-Makassary dan Gaus AF, ed., Benih-Benih Islam Radikal di Masjid: Studi Kasus

Jakarta dan Solo, 15.

38 International Crisis Group (ICG), “Understanding Islamism”. Lihat,Burhanuddin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah (Jakarta: Gramedia, 2012), 49.


(31)

21 sosial utama dalam kehidupan masyarakat. Perjuangan dengan jalan damai

ataupun kekerasan yang dipilih semua dikembalikan lagi pada nilai yang diyakini

para aktor Islamis dalam kegiatan aktifisme Islam yang dijalani kelompoknya.

Perjuangan para Islamis umumnya dipengaruhi teologi salafi yang

ajaranya menganjurkan untuk kembali kepada al-qur’an, sunnah, dan hukum syariat. Hal ini karena dalam pandangan Islamisme, Islam diyakini sebagai suatu

sistem kehidupan yang lengkap dan bersifat universal. Maka dari itu, penerapan

syariat dianggap sebagai hal penting yang harus segera terlaksana. Gerakan

Islamis memandang bahwa masyarakat yang terdiri dari orang-orang Islam saja

tidak cukup, tapi harus Islami dalam landasan maupun strukturnya.39

Argumentasi-argumentasi Islamisme semacam itu secara bertahap telah

mampu melahirkan transformasi pergerakan kaum Islamis menuju ranah politik.

Perubahan iklim politik tersebut dinilai akan mempermudah gerakan-gerakan

Islamis dalam memperjuangkan visi misi Islam yang diembanya. Perubahan

politik dan terbukanya kesempatan telah menumbuh suburkan berbagai gerakan

Islamis yang dahulu kala pergerakanya hanya sampai di bawah tanah kini berani

tampil terbuka untuk mempromosikan Islam sebagai sistem pemerintahan

alternatif paling ideal.

Lahirnya gerakan sosial sebenarnya merupakan suatu aksi kolektivitas

yang bertindak untuk mendorong atau mencegah terjadinya perubahan dalam

masyarakat atau kelompok dimana mereka menjadi bagian didalamnya. Sebagai

suatu bentuk aksi kolektif, gerakan sosial merupakan suatu tindakan yang telah

39 M Imdadun Rahmat, Arus Baru Islam Radikal : Transmisi Revivalisme Islam Timur


(32)

22 membentuk pola tingkah laku, identitas, kepentingan yang khas sebelum

mengorganisasikan diri dan memobilisasi sumber daya untuk mencapai

tujuanya.40

Eksistensi gerakan sosial membutuhkan proses mobilisasi politik yang

bertujuan menguatkan basis organisasi gerakan dengan memobilisasi masa

melalui bentuk pengkaderan. Mobilisasi umumnya disertai dengan pengerahan

golongan masyarakat awam dalam upaya mencoba menggunakan kekuatan

melawan golongan elit, penguasa dan kelompok lawan. Mobilisasi sumber daya

merupakan gerakan kolektif sebagai aksi-aksi rasional, bertujuan, dan

terorganisasi.41

Keberhasilan mobilisasi sumber daya yang dipengaruhi beberapa faktor

internal dan eksternal. Faktor internal biasanya berasal dari organisasi dan

kepemimpinan. Sedangkan faktor eksternal biasanya dipengaruhi oleh peluang

politik yang ada serta lembaga politik yang menunjangnya.42

Kepemimpinan memegang peranan inti dalam gerakan sosial. Dalam

membentuk karakter seorang individu untuk dimobilisasi kedalam aktifitas

gerakan sosial, biasanya para pemimpin mengidentifikasi perasaan ketidakadilan

yang dialami individu yang terangkum dalam kelompok, membangun identitas

kolektif, serta memfasilitasi pengembangan strategi dan pelaksanaan aksi kolektif

40 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:

Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Darmawan Triwibowo,

ed., Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi (Jakarta: LP3ES, 2006), 157. 41 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:

Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi , 157.

42 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:

Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan


(33)

23 dengan memanfaatkan peluang politik yang tersedia. Peranan pemimpin

menduduki posisi penting dalam membangkitkan ketidakpuasan menjadi sebuah

gerakan protes.43

Dalam memobilisasi sumber daya, faktor lain yang mempengaruhi adalah

struktur peluang politik yang tersedia. Faktor ini merujuk pada kondisi sistem

politik yang bisa memfasilitasi namun bisa juga menghambat pertumbuhan

gerakan sosial. Namun, struktur peluang politik yang ada tidaklah bersifat tetap

dan tantangan bagi gerakan sosial adalah mengidentifikasikan serta

mendayagunakanya secara optimal. Karakter kelembagaan politik yang ada juga

menentukan keberhasilan proses mobilisasi.44

Dalam hal ini, tiga konsep gerakan sosial yang penting diantaranya,

struktur peluang politis (political opportunity), siklus penentangan (cycles of

contention), dan pembikaian (framing).45

Konsep struktur peluang politis menjelaskan bahwa kebangkitan gerakan

sosial seringkali dipicu oleh perubahan besar yang terjadi dalam struktur politik.

Perubahan drastis semacam ini membuka banyak peluang yang menyediakan

keuntungan-keuntungan bagi aktor sosial untuk memprakarsai fase-fase baru

politik penentangan dan mendorong masyarakat untuk ikut mengambil peluang.

Seiring dengan terbukanya peluang politik, gerakan sosial menjadi suatu siklus

43 Mubarak, Genealogi Islam Radikal di Indonesia: Gerakan, Pemikiran dan Prospek

Demokrasi, 27.

44 Darmawan Triwibowo dan Moh. Syafi’ Alielha, “Mengangankan Perubahan Sosial:

Analisis Perkembangan Bantuan Hukum Struktural di Indonesia” dalam Triwibowo, ed., Gerakan Sosial: Wahana Civil Society Bagi Demokratisasi, 158.

45 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia


(34)

24 kehidupan, dari tahap perencanaan, ke tahap pembentukan, dan konsolidasi.46

Dari tahapan-tahapan inilah seorang awam bertransformasi menjadi aktifis

gerakan sosial, yang mana siklus kehidupan membawa seorang aktifis pergerakan

berubah menjadi ideolog sesuai dengan peluang politis yang ada.

Keberlangsungan suatu gerakan sosial banyak ditentukan oleh seberapa lama

peluang politik tersedia.

Kemunculan para aktifis Islam Radikal sebetulnya dipengaruhi oleh

kejatuhan rezim Orde Baru yang secara dramatis telah mengakibatkan perubahan

politik besar-besaran di Indonesia. Perubahan politik tersebut ditandai dengan

adanya kebebasan politik yang menimbulkan efek bagi seluruh anggota

masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam segala bentuk aksi-aksi politik.

Kondisi semacam ini telah melahirkan berbagai kelompok identitas dan

kelompok-kelompok kepentingan yang beramai-ramai mengisi ruang-ruang

publik yang tersedia.

Bagian penting lainya dari kelahiran gerakan sosial adalah siklus

penentangan. Siklus penentangan lahir dari sekelompok orang yang tidak

memiliki kuasa apapun namun berusaha melakukan aksi penentangan melawan

pemerintahan yang ada. Aksi penentangan terjadi dikarenakan adanya

tuntutan-tuntutan baru yang memaksa untuk segera direalisasikan. Siklus penentangan

tumbuh demi untuk mewujudkan tujuan-tujuan kolektif yang dilatarbelakangi oleh

rasa solidaritas para anggota kelompok.47

46 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia

Pasca-Orde Baru, 132.

47 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia


(35)

25 Kondisi penting lainya yang melatarbelakangi kemunculan gerakan sosial

adalah pembingkaian. Proses pembingkaian terjadi ketika aktor gerakan sosial

mengemukakan wacana-wacana di tengah masyarakat yang akan dijadikan target

mobilisasi.48 Pembingkaian sebenarnya merupakan suatu proses yang dilakukan

dengan cara menampung berbagai aspirasi, keluhan dan permasalahan

berdasarkan arah pembingkaian yang telah ditentukan.

Para pelaku gerakan sosial merupakan individu-individu atau kelompok

yang tengah mengembangkan strategi untuk dapat mencapai tujuan dasar mereka.

Perasaan diskriminasi dan ketidakadilan yang dirasakan sebetulnya hanyalah

perasaan yang sifatnya tidak langsung dalam suatu gerakan sosial, tapi hal

tersebut suatu waktu bisa berubah wujud menjadi gerakan sosial bila terdapat

sumber daya yang memadai untuk dimobilisasi serta adanya peluang besar untuk

menggerakan aksi-aksi kolektif.

C. Islam Radikal di Indonesia Pasca Orde Baru

Sepak terjang gerakan radikal selalu menimbulkan ketakutan tersendiri

bagi masyarakat. Gerakan Islam Radikal telah menjadi isu politik di tengah

masyarakat seiring dengan serangkaian aksi peledakan bom di beberapa tempat di

Indonesia antara tahun 1990 hingga menjelang tahun 2000. Kecurigaan publik

mengarah langsung kepada kelompok-kelompok Islam Radikal yang dituduh

sebagai pihak-pihak paling bertanggung jawab dari aksi kekerasan yang telah

menghilangkan ratusan nyawa tersebut. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah

48 Hasan, Laskar Jihad: Islam, Militansi, dan Pencarian Identitas di Indonesia


(36)

26 bagaimana kelompok Islam Radikal bisa tumbuh dan berkembang di tengah

masyarakat Indonesia yang dikenal ramah dan cinta damai? Apa penyebab

utamanya? Dan sikap subversif rezim Orde Baru kepada para aktifis Islam

Radikal disebut-sebut sebagai salah satu penyebab tumbuh suburnya

gerakan-gerakan ini.49 Dan pergerakan kelompok Islam Radikal semakin terlihat nyata dan

terbuka pada kondisi Indonesia setelah ditinggalkan kekuasaan Orde Baru, ketika

reformasi mengalirkan demokratisasi ke tengah-tengah publik.

Runtuhnya rezim Orde Baru diikuti dengan munculnya rasa trauma

terhadap Pancasila. Ketakutan terhadap Pancasila ini merebak karena dasar negara

itu dianggap identik dengan rezim Orde Baru. Pancasila seakan menandakan

adanya semacam trauma terhadap dasar negara yang menjadi ideologi tunggal dan

satu-satunya sumber nilai kebenaran itu.50

Keutamaan Pancasila sebagai ideologi tunggal negara membuatnya kerap

kali berbenturan dengan norma-norma atau ideologi lain yang hidup ditengah

masyarakat, bahkan benturanya dengan ajaran-ajaran agama juga tidak terelakan.

Benturan itu tidak hanya pada level gagasan, bahkan melebar menjadi benturan

sosial politik. Contohnya, pemaksaan asas tunggal bagi partai politik (parpol) dan

organisasi masyarakat (ormas), penangkapan mereka yang tidak setuju asas

tunggal, dan sebagainya.51

Hampir sepanjang pemerintahan Orde Baru, semua organisasi yang

mendukung penerapan hukum Islam dipandang sebagai ancaman politik, dan

49As’ad Said Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, (Jakarta: LP3ES, 2009), 50.

50 Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 50.


(37)

27 negara melakukan upaya-upaya untuk mendepolitisisasi Islam. Kondisi ini

mendesak banyak orang yang mendukung penerapan hukum Islam untuk

menyingkir dan menuju pergerakan-pergerakan bawah tanah.

Bagi para aktifis Muslim, tentu sangat menyulitkan menerima adanya asas

tunggal, karena Pancasila yang merupakan buatan manusia, ditempatkan diatas

Al-qur’an dan Islam yang berasal langsung dari Tuhan. Banyaknya permasalahan dan konflik yang menimpa Indonesia dengan ideologi pancasilanya, membuat

para aktifis Muslim berani mengusulkan syariat Islam sebagai visi alternatif bagi

masyarakat.

Banyak aktifis Muslim menganggap politik asas tunggal sebagai upaya

untuk mendepolitisisasi otoritas Islam. Orde Baru berusaha melemahkan dan

mendepolitisisasi Islam politik untuk menghapuskan kemampuannya

menghadirkan oposisi efektif terhadap rezim itu. Namun tentu bukan hal yang

mudah bagi para aktifis Muslim untuk dapat merealisasikan cita-cita Islamis

mereka. Ketiadaan jalur institusional untuk berpartisipasi adalah penghambat bagi

pergerakan mereka. Ketiadaan akses justru malah membuat mereka semakin

termarginalisasi, diasingkan, dan akhirnya berubah radikal.

Kebijakan Orde Baru “menyembunyikan” Islam politik demi melenyapkan gerakan-gerakan tersebut justru semakin membuat pergerakan Islamis bawah

tanah menjadi gerakan konservatif yang kuat berakar dan sama sekali tidak


(38)

28 meradikalkan para aktifis Muslim yang bercita-cita menjadikan Islam sebagai

sistem alternatif ideal untuk masyarakat.52

Sampai saat ini hubungan antara Islam dan negara modern memang

problematis, hal ini bisa kita lihat dari masih banyak pandangan dan mazhab yang

tidak mudah dipertemukan apalagi disatukan. Dan realita yang terjadi, banyak

timbul konflik di tengah masyarakat lantaran ambisi sebagian orang yang

memimpikan berdirinya negara Islam, dan sejarah modern tidak pernah sepi dari

wacana Islamisme tersebut. Gelombang reformasi telah memunculkan kembali

wacana penyatuan agama-negara yang diikuti dengan berdirinya partai-partai

politik Islam dan agenda Perda Syariah yang mulai di isukan di beberapa daerah.

Mengamati fenomena gerakan Islam dirasakan tepat bila menempatkan

negara sebagai faktor penting yang turut serta menumbuh suburkan

gerakan-gerakan Islam. Hal ini dikarenakan kemunculan gerakan-gerakan keagamaan pada

umumnya, kendatipun tidak semuanya, merupakan reaksi terhadap negara, atas

apa yang dipunya atau dilakukan negara, baik dalam kaitannya dengan sistem

pemerintahan, kebijakan, alokasi sumberdaya, kesediaan untuk

mengakomodasikan berbagai kepentingan yang berkembang di masyarakat, dan

lain sebagainya. Tidak hanya terbatas pada kemunculannya, bentuk, isi, pola

maupun strategi yang diadopsi oleh gerakan-gerakan keagamaan itu pun pada

dasarnya merupakan hasil penyesuaian terhadap sikap dan perilaku negara.53

52 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum

Islamis di indonesia, Malaysia, dan Turki, (Jakarta: freedom Institute, 2011), xx.

53Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum


(39)

29 Walaupun mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam, tapi

kenyataanya negara tidak menempatkan Islam sebagai sumber hukum utama.

Namun, negara tetap bersedia menerapkan syariat Islam walau hanya dalam

hukum-hukum tertentu, seperti hukum waris, perkawinan, hibah, dan

sebagainya.54

Di masa Orde Baru hubungan politik antara Islam dan negara tidak

berjalan baik. Kecurigaan negara terhadap para aktifis gerakan Islam sangatlah

kuat, para aktifis Islam dianggap sebagai musuh negara yang sewaktu-waktu

dapat menjadi bumerang tersendiri untuk negara.

Runtuhnya rezim Orde Baru setelah 32 tahun berkuasa, maka secara

drastis negara berubah menjadi demokratis. Demokratisasi ini direspon baik oleh

kalangan Islamis, banyak aktifis-aktifis Muslim yang bergabung dengan partai

pemerintah, dan banyak juga yang mendirikan partainya sendiri, semua itu

dilakukan demi memperjuangkan hukum Islam sebagai hukum positif utama

dalam UUD kenegaraan. Wacana mewujudkan kembali Piagam Jakarta seketika

kembali terdengar. Namun, perjuangan menegakan syariah Islam tidak selalu

melalui aksi di parlemen, karena banyak juga aktifis-aktifis Muslim yang

menunjukan keenggananya ikut serta dalam proses demokratis, namun tetap

mempromosikan sistem pemerintahan Khilafah Islamiyah. Intinya, bagi kelompok

Islamis, syariat Islam tidak akan mampu berjalan maksimal bila syariat Islam

tidak dilibatkan langsung dalam sistem kenegaraan.55

54 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum

Islamis di indonesia, Malaysia, dan Turki, xx.

55 Bahtiar Effendy, pengantar dalam Hwang, Umat Bergerak: Mobilisasi Damai Kaum


(40)

30 Persoalan lainya pasca runtuhnya Orde Baru adalah, hampir tidak ada

batasan yang mampu menghambat penyebaran ideologi di Indonesia.56

Penyebaran ideologi di Indonesia semakin kuat seiring dengan terjadinya aksi

peledakan bom di beberapa daerah di Indonesia beberapa tahun silam yang

menjadi indikasi kuat bahwa pertarungan ideologi tidak lantas berhenti dengan

berakhirnya perang dingin.

Dalam konteks Islam, ideologisasi muncul belakangan ketika beberapa

wilayah Islam harus berhadapan dengan modernisme barat yang ditegaskan

melalui kolonialisme. Hampir seluruh pranata intelektual Islam saat ini tidak

memiliki pemikiran tandingan yang dapat dipakai untuk menghadapi barat. Pada

awal abad ke-20 munculah para konseptualisasi atau ideologisasi Islam.

Jamaludin al-Afgani57 (1839-1897) adalah perintis awal yang

mengonseptualisasikan ajaran Islam sebagai sebuah semangat perlawanan

terhadap kolonialisme dengan membentuk partai politik Hizbul Wathon di Mesir.

Melalui partai itu Afgani mulai bersikap keras terhadap penguasa Islam

tradisional dan mulai melakukan perlawanan terhadap barat. Menurut Afgani,

tersisihkanya Islam jika dibandingkan dengan barat semata-mata karena tidak

56Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 290.

57 Jamaluddin al-Afgani dilahirkan dalam tahun1838. Ia merupakan seorang pemikir

Islam, aktifis politik, dan jurnalis terkenal. Afghani, penganjur pembaharuan Islam dan penentang yang gigih terhadap penyimpangan yang dilakukan oleh para penganut tarikat. Kebencian al-Afgani terhadap kolonialisme menjadikannya perumus dan agitator paham serta gerakan nasionalisme dan pan-Islamisme yang gigih, baik melalui pidatonya maupun tulisan-tulisannya. Karenanya di tengah kemunduran kaum Muslimin gejolak kolonialisme bangsa Eropa di negeri-negeri Islam, al-Afgani menjadi seorang tokoh yang amat mempengaruhi perkembangan pemikiran dan aksi-aksi sosial pada abad ke-19 dan ke-20. pada tahun 1876 ia melihat adanya campur tangan Inggris dalam soal politik di Mesir. Kondisi tersebut mendorong al-Afgani untuk terjun ke dalam kegiatan politik di Mesir. Ia bergabung dengan perkumpulan yang terdiri atas orang-orang politik di Mesir. Lalu pada tahun 1879, al-Afgani membentuk partai politik dengan nama Hizb al-Watani (Partai Kebangsaan). Dengan partai ini ia berusaha menanamkan kesadaran nasionalisme dalam diri orang-orang Mesir. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990).


(41)

31 adanya persatuan dalam Islam, Islam yang ada tercerai-berai sehingga menjadi

lemah. Maka munculah gagasan Pan Islamisme, yaitu gagasan yang

mengutamakan pentingnya persatuan Islam. Walau gagasanya tidak begitu

berkembang, tapi melalui gagasan ini justru telah melahirkan gagasan

nasionalisme Islam. Nasionalisme tidak boleh mengabaikan pentingnya

persaudaraan sesama muslim yang mungkin bersifat lintas nasional.

Gagasan-gagasan al-Afgani kemudian di sistematisasi dan dilanjutkan Mohammad Abduh58

(1849-1905) dan Rasyid Ridla59 (1865-1935), serta beberapa pengikut lainya,

yang kelak menginspirasi lahirnya nasionalisme di timur tengah.60

Namun, Islam yang berdampingan dengan nasionalisme perlahan-lahan

memudar, lantaran tidak mampunya negara-negara Islam di timur tengah dalam

58 Muhammad Abduh lahir di Delta Nil 1849, ia dilahirkan dari keluarga petani di Mesir

Hilir. – meninggal di Iskandariyah (kini wilayah Mesir), 11 Juli 1905 pada umur 55/56 tahun)

adalah seorang pemikir Muslim dari Mesir, dan salah satu penggagas gerakan modernisme Islam. Ia belajar tentang filsafat dan logika di Universitas Al-Azhar, Kairo, dan juga murid dari Jamaluddin al-Afghani. Abduh percaya betul bahwa hanya melalui reformasi dalam bidang pendidikan umat Islam disatu sisi akan mendapatkan kebebasan dan kemampuan berfikir serta tahu hak-haknya, dan di sisi lain meningkatkan kesadaran akan tanggung jawab dan kewajibanya. Lihat, Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran (Jakarta: UI-Press, 1990).

59 Muhammad Rasyid bin Ali Ridha bin Syamsuddin bin Baha'uddin Qalmuni

Al-Husaini (dikenal sebagai Rasyid Ridha; 1865-1935) adalah seorang intelektual Muslim dari Suriah yang mengembangkan gagasan modernisme Islam yang awalnya digagas oleh Jamaluddin al-Afghani dan Muhammad Abduh. Ridha mempelajari kelemahan-kelemahan masyarakat Muslim saat itu, dibandingkan masyarakat kolonialis Barat, dan menyimpulkan bahwa kelemahan tersebut antara lain kecenderungan umat untuk mengikuti tradisi secara buta (taqlid), minat yang berlebihan terhadap dunia sufi dan kemandegan pemikiran ulama yang mengakibatkan timbulnya kegagalan dalam mencapai kemajuan di bidang sains dan teknologi. Ia berpendapat bahwa kelemahan ini dapat diatasi dengan kembali ke prinsip-prinsip dasar Islam dan melakukan ijtihad dalam menghadapi realita modern.Kiprah Rasyid Ridha dalam dunia politik secara nyata dapat dilihat dalam aktivitasnya. Ia pernah menjadi Presiden Kongres Suriah pada tahun 1920, menjadi delegasi Palestina-Suriah di Jenewa tahun 1921. Ia juga pernah menjadi anggota Komite Politik di Kairo tahun 1925, dan menghadiri Konferensi Islam di Makkah tahun 1926 dan di Yerusalem tahun 1931. Ridha menerbitkan surat kabar yang bernama Al-Manar. Banyak kalangan ulama yang tertarik untuk membaca majalah Al-Manar dan mengembangkan ide yang diusungnya. Nama

besarnya terus dikenang hingga ia wafat pada Agustus 1935. Lihat, Nidia Zuraya “Hujjatul Islam: Rasyid Ridha, Tokoh Reformis Dunia Islam” tersedia di

http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/khazanah/12/03/09/m0m63s-hujjatul-islam-rasyid-ridha-tokoh-reformis-dunia-islam-5habis Internet; diunduh 20 Juni 2013.


(42)

32 menemukan solusi dari ketegangan sosial politik dan intelektual, serta kegagalan

negara-negara nasional yang dipimpin umat Islam untuk menghalau dominasi

barat di negara mereka.

Maka munculah Hasan al-Bana61 yang menawarkan alternatif ajaran

Islam. Gagasanya doktrin Islam kafah. Al-Bana dengan Ikhwanul Muslimin

mengakui Daulah Islamiyah sebagai instrument penting dalam mewujudkan

pemberlakuan syariat. Sejak awal, al-Bana percaya dengan universalitas Islam

sehingga sebaran dakwahnya tidak tersekat teritori negara.62

Secara doktrin gagasan al-Bana memang mengandung militansi yang kuat.

Aspek inilah yang kemudian dielaborasi lebih dalam oleh Sayyid Qutb,63 pemikir

61 Hassan al-Banna dilahirkan pada tanggal 14 Oktober 1906 di desa Mahmudiyah

kawasan Buhairah, Mesir. Ia adalah seorang mujahid dakwah, peletak dasar-dasar gerakan Islam sekaligus sebagai pendiri dan pimpinan Ikhwanul Muslimin (Persaudaraan Muslimin). Ia memperjuangkan Islam menurut Al-Quran dan Sunnah hingga dibunuh oleh penembak misterius yang oleh banyak kalangan diyakini sebagai penembak 'titipan' pemerintah pada 12 Februari 1949 di Kairo. Didorong oleh fenomena yang disaksikanya sendiri di Kairo, berupa munculnya tradisi permissivisme dan jauhnya kehidupan dari akhlak Islam, yang seperti juga terjadi di berbagai tempat di dunia. menurut al- Bana, Islam adalah agama Allah yang satu, yang diwahyukan kepada para rasul dan nabi-Nya sejak dimulai risalah samawiyah hingga risalah penutupnya dengan

kehadiran Nabi Muhammad SAW. Di dalamnya terkandung satu aqidah dengan syari’ah beragam:

ibadat dan muamalat. Pemikiran Hassan al-Banna dikenal memiliki dampak yang besar dalam pemikiran Islam modern. Untuk membantu meluruskan tatanan Islam, al-Banna menyerukan melarang semua pengaruh Barat dari pendidikan dan memerintahkan semua sekolah dasar harus menjadi bagian dari mesjid. Dia juga menginginkan larangan partai politik dan lembaga demokrasi lainnya dari Syura (Islam-dewan) dan ingin semua pejabat pemerintah menjadikan agama sebagai pendidikan utama. Hassan al-Banna melihat Jihad sebagai strategi defensive, yaitu telah menjadi

kewajiban individual. Lihat, “Hasan Al Banna: Mengeja Islam Secara Kaffah” tersedia di

http://www.hasanalbanna.com/kategori/peradaban/pemikiran-islam/ Internet; diunduh 20 Juni 2013.

62 Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 292.

63 Sayyid Qutb lahir di Musha pada Oktober 1906. Beliau merupakan anggota utama

Ikhwanul Muslimin Mesir pada era 1950 hingga 1960. Di tahun 1966 dia dituduh terlibat dalam rencana pembunuhan presiden Mesir Gamal Abdel Nasser dan dieksekusi dengan cara digantung. Sayyid qutb pernah menetap selama dua tahun di AS sekitar 1948-1950. Setelah kembali ke Mesir, ia mengundurkan diri dari pekerjaannya di Direktorat Pendidikan dan mengabdikan dirinya untuk gagasan demi membawa perubahan total dalam sistem politik Mesir. Ikhwan memperoleh vitalitas ideologis ketika Sayyid Qutb dalam sel penjaranya menulis sebuah buku di mana ia merevisi pemikiran Hassan al-Banna yaitu keinginan mendirikan sebuah negara Islam di Mesir setelah negara itu benar-benar mengislamkan seluruh lapisan kehidupan. Sayyid Qutb merekomendasikan bahwa pelopor revolusioner harus terlebih dahulu mendirikan negara Islam


(43)

33 kedua setelah al-Bana. Bagi Sayyid Qutb, Islam sebagai agama kaffah dapat

dijadikan ideologi alternatif terhadap kapitalisme maupun sosialisme. Untuk bisa

mewujudkanya harus ditarik garis pemisah yang tegas dengan ideologi-ideologi

sekuler tersebut. Dalam konteks ini, jalan jihad adalah mulia, sebagaimana

diajarkan dalam Islam.64 Qutb mengembangkan doktrim hakimiyyah, sebagai

doktrin kunci yang mengajarkan tentang kedaulatan mutlak Tuhan. Tidak ada

satupun undang-undang dan sistem kehidupan yang bisa diterima kecuali yang

bersumber dari Allah SWT. Qutb berpendapat penguasa dan mereka yang

menolak hukum Allah berarti telah jatuh kedalam kekafiran. Negara yang

diperintah otomatis berubah menjadi dar al-harb, dimana jihad dalam pengertian

perang menjadi sebuah keniscayaan. Inilah doktrin takfir yang dikembangkan

Qutb yang mengilhami munculnya gerakan-gerakan Islam Radikal.65

Seiring perkembanganya, terdapat perkawinan gagasan lebih intensif

antara Ikhwan, terutama pemikiran Sayyid Qutb, dengan salafi. Sintesis gagasan

itu melahirkan sebuah gerakan yang lebih radikal, yaitu Jamaah Jihadi.

Sosok-sosok penting yang memadukan kedua paham itu ialah Mullah Umar66 dan

dan kemudian, dari atas memberlakukan Islamisasi pada masyarakat Mesir yang telah melenceng

ke ideologi nasionalisme Arab. Lihat, Ahmed El-Kadi, MD “Sayyid Qutb” tersedia di

http://www.islam101.com/history/people/century20/syedQutb.htm Internet; diunduh 20 Juni 2013.

64 Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 295.

65 Hasan. dkk, Masjid dan Pwmbangunan Perdamaian: Studi Kasus Poso, Ambon,

Ternate, dan Jayapura, 49-50.

66 Mullah Mohammed Omar adalah pemimpin spiritual Taliban. Omar lahir di provinsi

tengah Uruzgan pada tahun 1962. Omar belajar di beberapa sekolah Islam di luar Afghanistan (Quetta, Pakistan) sebelum bergabung dengan pasukan Jihad melawan pendudukan Rusia pada 1980-an. Di tahun 1996 sampai akhir 2001, Omar memegang gelar Komandan Mukminin Imarah Islam Afghanistan (Amir-ul-Mukminin), yang diakui oleh hanya tiga negara: Pakistan, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab. Dia dianggap sebagai salah satu tokoh paling misterius dalam politik Afghanistan. Bahkan banyak yang meragukan keberadaannya. Mullah Omar memiliki hubungan erat dengan tokoh lain yang populer dalam politik dunia Afghanistan, yaitu Osama bin Laden. Pemerintah AS mengajukan permintaan padanya untuk menyerahkan Osama bin Laden karena


(44)

34 Abdullah Azzam.67 Lahirnya Jamaah Jihad mendapatkan momentum sehubungan

dengan invasi Uni Soviet ke Afganistan.68 Bagaimanapun peristiwa itu merupakan

panggilan jihad bagi seluruh umat Islam. Jalur jihad itu dirintis oleh Kadungga69

(mantan eksponen Darul Islam) dan digarap serius oleh Abdullah Sungkar.70 Basis

operasinya terdapat di Malaysia. Pilihaan itu adalah pertimbangan logis

mengingat represi Orde Baru yang sangat kuat terhadap mantan aktifis Darul

tuduhan terorisme, Mullah Omar menolak dan menyatakan bahwa dirinya adalah tamu bangsa

Afghanistan. Keberadaannya saat ini tidak diketahui. Lihat, “Mullah Muhammad Omar” tersedia di http://www.afghan-web.com/bios/today/momar.html Internet; diunduh 20 Juni 2013.

67 Dr. Abdullah Yusuf Azzam (19411989), juga dikenal dengan nama Syekh Azzam,

adalah seorang figur utama dalam perkembangan pergerakan Islam. Ia seorag doctor dalam ilmu hukum dari universitas Al-Azhar di Cairo. Ia berpengalaman dalam gerakan Klandestin (bawah tanah dan rahasia) sebelumnya yang bernama Ikhwanul Muslimn di Mesir. Ia mendirikan Baitul Anshar, sebuah lembaga yang menghimpun bantuan untuk para mujahid Afghan. Ia juga menerbitkan sebuah media Ummah Islam. Lewat majalah inilah ia menggedor kesadaran ummat tentang jihad. menurutnya, jihad di Afghan adalah tuntutan Islam dan menjadi tanggung jawab ummat Islam di seluruh dunia. Seruannya itu tidak sia-sia. Jihad di Afghan berubah menjadi jihad universal yang diikuti oleh seluruh ummat Islam di pelosok dunia. ia dibunuh pada 24 November

1989. Lihat, Hendropriyono, Terorisme Fndamentalis, Kristen, Yahudi, Islam (Jakarta: Kompas,

2009).

68 Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 298.

69 Abdul Wahid Kadungga, tokoh Islam asal Sulawesi Selatan. Dirinya sempat

disebut-sebut sebagai petinggi Jamaah Islamiyah (JI) karena ia dekat dengan Abu Bakar Ba’asyir saat

masih di Kuala Lumpur, Malaysia, pada 1985. Namun dia mengaku tak mengenal organisasi tersebut. Kadungga adalah menantu almarhum Kahar Mudzakkar, Panglima Hisbullah Makassar dan pemimpin Darul Islam/Tentara Islam Indonesia. Saat itu, Kadungga baru datang dari Belanda

sementara Ba’asyir baru melarikan diri dari Indonesia. Saat dirinya kembali ke Indonesia, salah satu kegiatannya adalah bekerja untuk dakwah di Dewan Dakwah Islam Indonesia. Kadungga

yang sempat menjadi sekretaris pribadi M. Natsir. Lihat, Choirul Aminuddin “Abdul Wahid

Kadungga, Tokoh Islam Asal Sulawesi Selatan Tutup Usia” tersedia di

http://www.tempo.co/read/news/2009/12/12/058213459/Abdul-Wahid-Kadungga-Tokoh-Islam-Asal-Sulawesi-Selatan-Tutup-Usia. Internet; diunduh 20 Juni 2013.

70Abdullah Sungkar, lahir tahun 1937 di Solo, berasal dari keluarga ternama pedagang

batik, berketurunan Arab Yaman. Ia ikut mendirikan Pondok Ngruki (Pesantren al-Mukmin) di Solo, Jawa Tengah dan Pesantren Luqmanul Hakiem di Johor, Malaysia. Ditahan beberapa waktu tahun 1977 kerana mempengaruhi masyarakat untuk golput (golongan putih: tidak mengundi dalam pilihanraya), kemudian ditangkap bersama Abu Bakar Ba'asyir pada tahun1978 atas tuduhan subversif, kerana didakwa terbabit dengan kumpulan Komando Jihad/Darul Islam, dipenjarakan selama tiga setengah tahun. Beliau kemudian lari ke Malaysia tahun 1985, kerana dituduh menghasut orang ramai menolak Pancasila yang mengakibatkan terjadinya peristiwa Tanjung Priok tahun 1984. Setelah kejatuhan rejim Soeharto, Sungkar pulang ke Indonesia dan

wafat di Indonesia pada bulan November 1999. Lihat “Indonesia Backgrounder: How The Jemaah Islamiyah Terrorist Network Operates”, ICG (International Crisis Group) Asia Report, No.43, 11

Desember 2002, h. 32. Tersedia di


(45)

35 Islam. Sementara itu, Malaysia menyediakan tempat bagi operasi gerakan

tersebut.71

Secara kontinyu Sungkar mengirim kader-kader baru dari Indonesia untuk

dilatih di Pesyawar, tepi Pakistan, yang selanjutnya diterjunkan ke medan perang

Afghanistan, dan dari situlah mereka bertemu dengan Jaringan Jihadi

internasional. Hal yang perlu digarisbawahi dari perang Afganistan adalah

lahirnya gerakan-gerakan baru berciri lebih radikal dan fundamentalis dari pada

gerakan Islam berbasis nasionalisme (DI/TII).72

Bagaimanapun kemunculan kelompok Islam radikal tidak bisa dipisahkan

dari krisis multidimensi yang melanda Indonesia setelah jatuhnya rezim Soeharto

dan tidak menentunya arah reformasi. Kemunculan dan perkembangan kelompok

Islam Radikal diakibatkan dari negara yang cenderung lemah, kesenjangan sosial

di tengah masyarakat, krisis ekonomi, dan lemahnya penegakan hukum. Kondisi

ini telah memberikan harapan bagi sejumlah individu dan kelompok tertentu

untuk membentuk gerakan alternatif dengan menggunakan simbol-simbol agama

Islam yang mengusung syariat Islam sebagai wacana utama. Apabila

pemerintahan yang ada gagal membangun Indonesia menuju bangsa adil,

demokratis, dan sejahtera maka kelompok-kelompok Islam Radikal dan

gerakan-gerakan sejenisnya akan berkembang dengan subur dan tuntutan kepada

pelaksanaan syariat akan terus bergulir, dan tentunya mengancam kedamaian

pluralisme di Indonesia. Ketidakadilan sosial, konflik-konflik berkepanjangan,

71Ali, Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa, 202.


(46)

36 lemahnya hukum yang berlaku, tentu akan melahirkan kondisi sosial yang justru

mempermudah tumbuh-suburnya radikalisme.

Tulisan di Bab selanjutnya akan kita lihat bagaimana studi mengenai salah

satu tokoh Islam Radikal yang mencoba untuk memperjuangkan terwujudnya satu

tatanan kehidupan sosial islami yang sempurna dengan cara mempromosikan

wacana-wacana Islam seperti revitalisasi jihad yang bagi umat Islam merupakan

instrument untuk mewujudkan pemberlakuan syariat Islam dalam sistem sosial


(47)

37

BAB III

ABU JIBRIL DAN

AKTIFITAS GERAKAN ISLAM

A. Riwayat Hidup

Muhammad Iqbal Abdul Rahman, yang lebih dikenal dengan Abu

Muhammad Jibril atau Abu Jibril, lahir pada tanggal 17 Agustus 1956 di sebuah

kota kecil bernama Desa Tirpas yang terletak di kabupaten Lombok timur Nusa

Tenggara Barat (NTB). Ibunya bernama Wilis dan ayahnya bernama H. Nashrah

Awwas, dengan pangilan sehari-hari Amak (ayah). Kedua orang tuanya

sama-sama berasal dari Lombok timur.73

Semasa kecilnya, Iqbal, atau Abu Jibril kecil, dibesarkan di lingkungan

keluarga yang berpegang teguh pada nilai-nilai keagamaan. Karenanya, tidak

heran, ia mendapatkan pendidikan agama dari kedua orang tuanya sejak usia dini.

Iqbal pandai mengaji dan pandai bergaul dan tumbuh menjadi anak yang cerdas di

lingkungannya. Tapi secara umum, Iqbal tetap saja hidup dalam fitrahnya sebagai

anak-anak yang tidak berbeda dengan anak-anak kebanyakan.

Menginjak dewasa, kepribadian Iqbal mulai terbentuk. Perangainya

lembut tapi kepribadiannya kuat dan tegas. Ia suka berpegang teguh pada prinsip,

dan tidak mudah menyerah. Ia menjadi aktifis dakwah dan dikenal dengan nama

Abu Jibril. Perjalanan dakwahnya dimulai saat Abu Jibril duduk di bangku kuliah,

sekitar tahun 1977, namanya mulai dikenal dikalangan mahasiswa sejak

73 Wawancara dengan Abu Jibril, Masjid Al-munawarah, Pamulang Tanggerang Selatan,


(48)

38 memimpin organisasi pemuda Islam, Himpunan Angkatan Muda Masjid

(HIMAMUMAS) di tahun 1980. Iqbal Abdurahman mulai disapa dengan

panggilan Abu Jibril sejak kelahiran putra pertamanya Muhammad Jibril di tahun

1989.

Tahun 1980, Abu Jibril menikah dengan Fatimah Zahra yang berasal dari

Kalimantan. Keduanya bertemu saat sedang menempuh pendidikan tinggi di

Jogjakarta. Fatimah mengagumi sifat Abu Jibril yang lembut dan menjadikan

Islam sebagai jalan hidup utamanya. Dari pernikahanya ini, Abu Jibril dikaruniai

sepuluh orang anak.74

Selama ini dakwah Abu Jibril kerap kali dinilai berhaluan radikal.

Seringkali di sela-sela ceramahnya Abu Jibril menyelipkan ajaran mengenai jihad,

dan tidak segan untuk berkata keras mengenai kewajiban umat Muslim untuk

memerangi kaum kafir dan menyebut bahwa Muslim yang menolak syariat untuk

diterapkan sebagai dasar negara dan hukum positif sama saja dengan kaum kafir,

dan umat Islam wajib hukumnya menolak sistem atau pandangan yang berasal

dari barat seperti demokrasi, liberalisasi, sekularisasi, nasionalisme, dan bahkan

seruanya agar umat Muslim Indonesia menolak pancasila. Mungkin karena isi

maupun tema ceramah Abu Jibril tersebut membuat dirinya kerap kali dipandang

sebagai ulama yang berhaluan radikal. Bahkan pengajianya di masjid

Al-Munawarah dianggap eksklusif dan mengajarkan kekerasan.

Sekalipun ditimpa berbagai tuduhan dan kecaman yang kerap kali

menimpa dirinya dan keluarganya, Abu Jibril tidak pernah merasa takut. Ia tidak

74 Wawancara dengan Abu Jibril, Masjid Al-munawarah, Pamulang Tanggerang Selatan,


(1)

109 Foto-foto suasana pengajian yang di pimpin Abu Jibril di Masjid al-Munawarah


(2)

110 Foto-foto suasana pengajian yang di pimpin Abu Jibril di Masjid al-Munawarah


(3)

111 Foto-foto suasana pengajian yang di pimpin Abu Jibril di Masjid al-Munawarah

Pamulang, Tanggerang Selatan

Foto-foto suasana pengajian yang di pimpin Abu Jibril di Masjid al-Munawarah Pamulang, Tanggerang Selatan


(4)

112 Foto-foto suasana pengajian yang di pimpin Abu Jibril di Masjid al-Munawarah


(5)

113 Foto peneliti dengan Abu Jibril dan istri selepas wawancara pada 29 April 2013


(6)

114 Foto peneliti dengan Abu Jibril dan istri selepas wawancara pada 29 April 2013