makalah pemerolehan bahasa kedua. docx

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Bahasa merupakan bagian sentral dalam kehidupan. Manusia
menggunakan bahasa tidak hanya sebatas survival layaknya binatang.
Manusia menggunakan bahasa untuk berbagai segi dalam kehidupan.
Oleh karena itu, manusia dibekali LAD (Language Acquisition Devicion)
sehingga mampu mengembangkan diri dalam berbahasa.
Penggunaan bahasa ini tidak terlepas dari proses pemerolehan
bahasa yang dialami manusia dari masa kanak-kanak hingga dewasa.
Bahasa yang digunakan anak dari masa kanak-kanaknya dan menjadi alat
yang paling banyak digunakan dalam interaksi sosialnya adalah bahasa
pertamanya. Jika ada istilah pertama tentu ada istilah bahasa kedua.
Bahasa pertama (B1) merupakan bahasa yang paling dikuasai dan paling
sering digunakan oleh seseorang, sedangkan bahasa kedua merupakan
bahasa yang diperoleh melalui pembelajaran dan cenderung dipelajari
dengan sengaja. Bahasa kedua bukan berarti sebatas bahasa kedua,
tetapi bahasa lain yang dipelajari oleh seseorang entah itu satu bahasa,
dua, maupun lebih dari itu.
Untuk pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua, kita tentunya
harus mengetahui lebih dalam mengenai pengenalan dan berbagai

hipotesis mengenai permasalahan tersebut. Oleh karena itu, dalam
makalah ini akan dibahas mengenai hipotesis dan penjabaran mengenai
pemerolehan dan pembelajaran bahasa kedua (B2).
1.2 RUMUSAN MASALAH
1. Apa itu pemerolehan bahasa kedua?
2. Apa saja variabel yang memengaruhi pemerolehan dan
pembelajaran Bahasa kedua?

1

3. Di mana dan seperti apa wilayah serta generalisasi mengenai
pembelajaran bahasa kedua?
4. Bagaimana teori dan hipotesis pembelajaran bahasa kedua?
1.3 TUJUAN PENULISAN
Makalah ini ditulis untuk memenuhi tugas mata kuliah Metode
Pengajaran Bahasa dan Sastra. Selain itu, untuk memberikan
informasi mengenai pemerolehan bahasa kedua.
1.4 MANFAAT PENULISAN
Makalah ini diharapkan dapat menambah pengetahuan mengenai
bagaimana pemerolehan bahasa kedua dan memberikan informasi

mengenai teori-teori yang mendukung untuk pembelajarannya.

BAB II

2

PEMBAHASAN
2.1 HAKIKAT PEMEROLEHAN BAHASA KEDUA
Sebelum membahas lebih jauh mengenai apa itu pemerolehan
bahasa kedua, ada baiknya kita memahami lebih dulu apa itu bahasa
kedua. Bahasa kedua sendiri didefinisikan dalam pengertian-pengertian
yang luas. Bahasa kedua secara sederhana dianggap sebagai bahasa
yang diperoleh atau dipelajari setelah anak menguasai bahasa pertama. 1
Pengertian lain yang lebih jauh mengungkapkan bahwa bahasa
kedua merupakan bahasa resmi atau dominan secara sosial yang
biasanya dibutuhkan untuk pendidikan, pekerjaan, dan tujuan lainnya.
adapun bahasa asing diartikan sebagai salah satu bahasa yang tidak
banyak digunakan oleh pembelajarnya dalam konteks sosial yang
mungkin dapat digunakan untuk perjalanan masa depan atau komunikasi
lintas budaya, namun tidak terlalu diperlukan dan aplikasi praktik

langsung.2
Ketika bahasa pertama dianggap sebagai bahasa yang diperoleh
tanpa upaya sadar, bahasa kedua ini memiliki karakteristik tersendiri
dalam proses dan kondisi pemerolehannya. Terlebih, bahasa kedua tidak
hanya terbatas pada bahasa yang dipelajari oleh anak, melainkan
mencakup pemeroleh yang lebih heterogen dalam berbagai segi.
Jadi dapat diartikan bahwa bahasa kedua adalah bahasa yang
diperoleh setelah bahasa pertama dikuasai dan dipelajari untuk tujuan
yang variatif.
Berangkat pada hakikat pemerolehan bahasa kedua, ada baiknya
kita memahami lebih dulu apa itu pemerolehan. Menurut Krashen,
pemerolehan adalah sebuah proses bawah sadar dan intuitif dalam
1 Rod Ellis, Second Language Acquistion (New York: Oxford University Press, 2003), h. 8.
2 Muriel Saville Troike, Introducing Second Language. (Cambridge: Cambridge University Press,
2006). h.4.

3

pengembangan sistem sebuah bahasa, tidak beda dengan proses
seorang anak untuk “belajar begitu saja sebuah bahasa. 3

Dalam pengembangan bahasa kedua Krashen berpendapat bahwa
bahasa kedua ini diperoleh dengan dua cara, yaitu:
(1) Pemerolehan

(acquisition),

merupakan

proses

subconcious

bawah sadar yang mengarah pada pengembangan kompetensi dan
tidak bergantung pada kaidah gramatika.
(2) Pembelajaran (learning) mengacu pada consious kesadaran
belajar dan pengetahuan kaidah gramatika.
Pemerolehan

bahasa


kedua

(SLA)

juga

mengacu

pada

pembelajaran sebuah bahasa sasaran (Target Language) baik oleh
individu maupun kelompok untuk tujuan bahasa dan tujuan pembelajaran
tertentu. Ruang lingkup SLA mencakup pembelajaran informal B2 yang
terjadi secara naturalistik, pembelajaran formal B2 di ruang kelas, maupun
campuran dari pengaturan dan keadaan tersebut. 4
Sebelumnya telah disebutkan bahwa pemerolehan bahasa kedua
berbeda dengan pemerolehan bahasa pertama, B2 melibatkan proses dan
kondisi yang tentunya berbeda. Oleh karena itu, pemerolehan ini
melibatkan variabel-variabel yang seperti digambarkan oleh Yorio, di
antaranya:5

1) Usia
Usia mencakup 3 bagian. Yaitu, kanak-kanak, remaja, dan dewasa.
Pada kanak-kanak pembelajaran dipengaruhi oleh faktor biologis,
faktor kognitif, dan faktor sosial yang mencakup pengaruh Orang
Tua, sekolah, maupun tekanan kawan sebaya. Pada remaja,
dipengaruhi oleh faktor biologis yang memang sedang mengalami
masa kritis serta faktor sosial yang juga dipengaruhi oleh orang tua,
3 H.Doughlas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa. (Pearson Education, 2007). H.
322.
4 Muriel Saville Troike. Op.Cit. H.2.
5 Yorio, C. Discussion of “Explaining sequence and variation in second language acquisition.” (S

4

sekolah dan kawan sebaya. Adapun pada tahap dewasa faktor
yang mempengaruhi adalah faktor biologis yang mencakup masa
kritis, tekanan kawan sebaya, kontek belajar/mengajar, dan bahasa
keduanya itu sendiri.
2) Kognisi
Kognisi ini mencakup kecerdasan umum dan bakat bahasa

seseorang.
3) Bahasa Asli
Bahasa asli ini mempengaruhi transfer pada bahasa kedua bak dari
segi fonologis, gramatikal, maupun semantik.
4) Masukan
Masukan dalam hal ini berkaitan dengan pembelajarnya sendiri.
Yaitu pembelajar bebas dan pembelajar terbimbing. Pembelajar
bebas bergantung pada konteks pengajaran yang mencakup
tempat

belajar

(lingkungan

bahasa

asing,

bahasa


kedua,

dwibahasa), jenis kontak bahasa, lingkungan bahasa keluarga dan
lingkungan

bahasa

kawan

sebaya.

Pembelajar

terbimbing

bergantung pada konteks pembelajaran yang mencakup tipe
bimbingan (formal, informal serta intensif/tidak intensif). Lamanya
bimbingan, materi bimbingan, dan sumber bimbingan.
5) Wilayah Afektif
Wilayah afektif ini berkenaan dengan faktor sosial budaya, faktor

egosentris, dan faktor motivasi.
6) Latar belakang pendidikan
Beberapa contoh faktor yang berkenaan dengan ini adalah buta
huruf, melek huruf serta keprofesionalitasannya.

2.2 WILAYAH DAN GENERALISASI DALAM PENGAJARAN BAHASA
KEDUA

5

Pengajaran bahasa kedua mencakup ke dalam beberapa ranah.
Pertama, mencakup pemahaman, secara umum, tentang apa itu bahasa,
apa itu pembelajaran, dan untuk konteks ruang kelas, apa itu pengajaran.
Kedua, pengetahuan tentang pembelajaran bahasa pertama pada anakanak memberikan wawasan untuk memahami SLA.
Ketiga,

bagaimana,

sejumlah


perbedaan

esensial

antara

pembelajaran anak-anak dan orang dewasa dan antara pemerolehan
bahasa pertama dan bahasa kedua harus disampaikan secara hati-hati.
Keempat, pembelajaran bahasa kedua adalah bagian dari dan mengikuti
prinsipa-prinsip umum pembelajaran dan kecerdasan manusia. Kelima,
terdapat variasi besar pada gaya kognitif di antara para pembelajara dan
juga pemilihan strategi berbeda pada setiap pembelajar.
Keenam, kepribadian, cara orang melihat dirinya sendiri dan
mengungkapkan dirinya sendiri dalam komunikasi akan mempengaruhi
kualitas

maupun

kuantitas


pembelajaran

bahasa

kedua.

Ketujuh,

mempelajari budaya kedua sering bertumpang tindih dengan mempelajari
bahasa kedua. Kedelapan, pemerolehan kompetensi komunikatif dalam
banyak hal adalah sosialisasi bahasa, dan merupakan tujan utama bagi
para pembelajar saat mereka berurusan dengan fungsi, kemampuan
mencerna, gaya, dan aspek-aspek nonverbal dari interaksi antarmanusia
dan negosiasi politik. Kesembilan yaitu kontras-kontras linguistik antara
bahasa asli dan bahasa sasaran menciptakan pangkal kesulitan dalam
mempelajari bahasa kedua. Namun proses kreatif pembentukan sistem
antarbahasa mendorong pembelajar untuk menggunakan banyak sumber
dan kecakapan yang memudahkan. Dalam proses ini, kekeliruan
merupakan aspek tak terhindarkan, namun dari sini pembelajar dan
pengajar bisa memperoleh wawasan lebih mendalam.

2.3 HIPOTESIS DAN KLAIM

6

Teori mengenai bahasa kedua merupakan seperangkat hipotesis
atau klaim yang saling berkaitan mengenai bagaimana orang menjadi
cakap dalam bahasa kedua. Lightbown membuat beberapa klaim
mengenai bahasa kedua. Di antaranya:
1. Orang dewasa dan anak remaja bisa “memperoleh” bahasa kedua.
2. Para pembelajar menciptakan antarbahasa yang sistematis yang
sering

ditandai

dnegan

kesalahan-kesalahan

yang

sama

sistematisnya dengan kesalahan kanak-kanak yang mempelajari
bahasa tersebut sebagai bahasa pertama, dan juga orang-orang
lain yang mendasarkan diri pada bahasa asli mereka sendiri.
3. Ada bagian yang bisa digunakan dalam pemerolehan sehingga
struktur-struktur tertentu harus diperoleh sebelum yang lainnya bisa
dipadukan.
4. Praktek belum tentu menjadikan sempurna.
5. Mengetahui kaidah bahasa bukan berarti orang akan bisa
menggunakan bahasa itu dalam interaksi yang komunikatif.
6. Koreksi kesalahan secara eksplisit dan terpisah biasanya tak efektif
dalam mengubah perilaku bahasa.
7. Bagi

kebanyakan

pembelajar

dewasa,

pemerolehan

berhenti-“memfosil”- sebelum pembelajara meraih kecakapan
dalam bahasa sasaran yang mendekati kefasihan penutur asli.
8. Orang tidak bisa mencapai pemahaman menyeluruh pada bahasa
kedua yang mendekati penutur asli bahasa tersebut dengan satu
jam sehari.
9. Pembelajar memikul beban berat karena bahasa sangat kompleks
10. Kemampuan seorang pembelajar untuk memahami makna bahasa
menurut

konteksnya

memperluas

kemampuannya

untuk

memahami bahasa yang dilepaskan dari konteks dan untuk
memproduksi bhasa yng kompleksitas dan akurasinya setara.6
6 Patsy LightBown, Great Expectations: Second-Language Acquisition Research and Classroom
Teaching. (Oxford: Applied Linguistics, 1985).hh. 176-180.

7

Adapun pernyataan lain yang dibuat oleh LightBown dan Spada
mengenai bahasa kedua ini. Di antaranya:
1. Pada umumnya, bahasa dipelajari melalui peniruan
2. Biasanya orang tua mengoreksi kanak-kanak ketika mereka
membuat kesalahan
3. Orang dengan IQ tinggi adalah pembelajar bahasa yang baik
4. Semakin dini bahasa kedua diperkenalkan di sekolah, semain
besar kemungkinan berhasilnya dalam pembelajaran
5. Kesalahan terbanyak yang dibuat oleh para pembelajar bahasa
kedua adisebabkan oleh tumpang tindihnya dengan bahasa
pertama
6. Kekeliruan-kekeliruan pembelajara seharusnya dikoreksi saat itu
juga demi menghindarkan terbentuknya kebiasaan buruk. 7
2.4 TEORI KOMPLEKSITAS
Untuk

menggiring

pada

pengetahuan

mengenai

komponen-

komponen jitu bagi teori bahasa kedua, dapat dikaitkan dengan teori
kompleksitas

yang

dijabarkan

oleh

Diana

Larsen-Freeman

yang

memaparkan mengenai kesamaan antara teori khaos dan bahasa kedua.
Bahasa kedua dianggap sebagai sistem yang dinamis, kompleks, dan tak
linier, tak beda dengan fisika, biologi, dan ilmu-ilmu pengetahuan lainnya.
Jalur-jalur yang ditempuh oleh para pembelajar untuk meraih keberhasilan
adalah berbeda dan terkadang amat berbeda satu sama lain.

8

Brown kemudian membuat ikhtisar dari paparan Diane Larsen
Freeman mengenai rancangan teori bahasa kedua yang berhubungan
dengan teori kompleksitas.
1. Hati-hatilah terhadap dikotomi-dikotomi yang menyesatkan. Cari
hubungan

antarbagian

(complementarity),

keterjangkauan

(inclusiveness), dan ruang bersama (antarmuka, interface).
7 Patsy Lightbown and Nina Spada. How Languages Are Learned. (USA: Oxford University Press,
2013). Hh.11-116.
8 Diane Larsen Freeman. Chaos/Complexity Science and Second Language Acquisition. (Oxford:
Apllied Linguistics)h.142.

8

2. Hati-hatilah terhadap pendekatan sebab-akibat linier yang
digunakan dalam membangun teori.
3. Hati-hatilah terhadap generalisasi yang berlebihan. Perhatikan
detail. Faktor-faktor terkecil yang kelihatannya remeh bisa
menjadi faktor penting dalam mempelajari bahasa kedua.
4. Sebaliknya,

hati-hatilah

terhadap

pemikiran

yang

terlalu

menyederhanakan. Dengan sistem yang kompleks dan kacau,
niscaya sangat menggiurkan untuk membuat penyederhanaan
dengan

memngambil

beberapa

bagian

kecil

dan

mengeluarkannya dar keseluruhan sistem.9
2.5 PEMBELAJARAN EKSPLISIT DAN IMPLISIT
Pembelajaran eksplisit dalam SLA (Second Language Acquisition)
melibatkan kesadaran dan niat yang disengaja. Pembelajaran eksplisit
diartikan sebagai pemrosesan masukan untuk menemukan apakah
informasi mengandung keteraturan dan, jika demikian, untuk menyusun
konsep dan kaidan yang dengannya keteraturan-keteraturan bisa
ditangkap.
Pembelajaran

implisit

diartikan

sebagai

pembelajaran

tana

perhatian sengaja atau kesadaran. Pembelajaran implisit dan eksplisit ini
juga berhubungan dengan pembelajaran intensional dan insidental yang
saling berkaitan.10
2.6

PEMBELAJARAN SADAR DAN BAWAH SADAR
Topik panas lain yang terkait dalam SIA adalah sampai sejauh

mana kemahfuman merupakan faktorsignifikan yang punya andil untuk
pemerolehan. Kemahfuman untuk beberapa waktu, mungkin dianggap
analog pembelajaran sadar (vs. bawah sadar), di mana pembelajar secara
sengaja mengontrol perhatian mereka kepada sejumlah aspek masukan
atau keluaran. Gagasan pikiran sadar ini bermasalah karena sulitnya
9 H.Douglas Brown. Op.Cit. h.318.
10 Ibid., h.320

9

membuat definisi berkenaan dengan kompleksitas akar sejarahnya pada k
Freud, Jung, dan psikologpsikolog lain era mereka. Sebagian karena
permasalahan pendefinisian ini, Mclaughlin (1978) dan para psikolog
kognitif lain (Slavin, 2003, misalnya) menghindar dari isu pikiran sadar ini
dan lebih menekankan perhatian pusat dan periferal atau pinggiran.
Dalam usulan Schmidt (1990) tentang hipotesis menyimak, dibahas
singkat di bab sebelumnya, ia mengendalikan peran utama bagi perhatian
pusat, yang berawal dari kemafhuman, supaya seorang pembelajar
menyimal masukan bahasa.11 Menurur Schmidt dan yang lainnya
(Robinson, 2003; Ellis, 1997; Leo, 2000), menyimak, atau memperhatikan
sungguh-sungguh kepada sebuah unsur linguistik dalam sebuah masukan
pembelajar, mungkin merupakan prasyarat esensial bagi kemampuan
pembelajar untuk mengubah masukan menjadi asupan (intake), terutama
masukan yang diniatkan sebagai umpan balik atas bentuk. (lihat bagian
berikut untuk definisi dan diskusi masukan vs. asupan.) Kemafhuman
sekarang sudah menjadi nama sebuah jurnal profesional, Language
Awareness, dan topik ini terus menarik perhatian peneliti (Williams, 2005;
Rosa & Leow & 2004; simard & Wong, 2004; Leow, 2000).
Seperti topik sebelumnya, debat mengenai tingkat kemafhuman
yang dipersyaratkan dalam SLA adalah hal yang kompleks, dan menurut
kecermatan menetapkan kondisi-kondisi sebelum kesimpulan diajukan.
Timbul tenggelam di sepanjang sejarah pengajaran bahasa yang berubahubah, orang memproklamasikan bahwa bahasa seharusnya jangan
pernah diperajari di bawah kondisi kemafhuman yang disadari (terhadap
bentuk-benruk bahasa, misalnya)- Krashen dekat dengan klaim semacam
itu dan mereka yang tetap berkeras tentang betapa pentingnya
kemafhuman (akan bentul-bentuk) dalam SLA. Tugas anda, sebagai
kreator teori Anda sendiri tentang SLA adalah menetapkan konteks secara
cermat dan kemudian mengambil tindakan pedagosis yang sejalan.
11 R. Scmidt , 1990. The Role of consciousness in Second Language Learning. Applied
Linguistics,11: h. 129-158

10

Agaknya sangat bermanfaat bagi para pembelajar untuk menjadi mafhum
akan kekuatan dan kelemahan mereka sendiri dan secara sadar terlibat
dalam

bentuk-bentuk

bahasa

sasaran,

sampai

tingkatan

bahwa

kemafhuman terhadap jalinan bentuk tersebut menghalangi kemampun
mereka untuk fokus pada makna. Kita akan menyimak konsep
pembelajaran sadar dan bawah sadar dalam pembahasan selanjutnya
tentang model Mclaughlin.
Masukan dan Keluaran
Suatu topik yang pernah kontroversial, tetapi kian berkurang
kadarnya, adalah hubungan antara masukan dan keluaran dalam SLA.
Masukan tak lain adalah proses memahami bahasa (mendengar dan
membaca) dan keluaran adalah produksi (bicara dan menulis). Sekalipun
tidak selaiu, sekarang tampak jelas bahwa baik masukan :laupun keluaran
merupakan proses yang penting pada tingkatnya masing.masing dalam
perjalanan linguistik pembelajar bahasa. Tetapi seperti yang akan kita lihat
di bagian selanjurnya, proporsi oprimal dari setiap moda sudah mendapat
berbagai rekomendasi. Lebih lanjut, masih ada pcrdebatan sengit
mengenai apa yang disebut kualitas optimal masukan dan keluaran.
2.7

Frekuensi
Tak akan pas mendaftar topil-topik panas dalam SLA tanpa

meninjau ulang frekuensi, atau berapa kali kata, struktur, atau unsur
bahasa lain yang spesifik menarik perhatian seorang pembelajar. maka
cukup dikatakan di sini bahwa para peneliti telah membangkitkan kembali
isu ini (N. Ellis, 2002), dan memberi kita pengertian bahwa frekuensi
mungkin lebih penting daripada yang semula kita pikir. Meskipun saliensi
(saliency) pentingnya masukan yang dipahami dan sampai sejauh mana
seorang pembelajar menyimak masukan masih tampak lebih kuat sebagai
prediktor ketimbang frekuensi

para guru tak bisa mengabaikan begitu

11

saja kemungkinan bahwa yang disebut belakangan itu boleh ladl adalah
faktor penyebab pemerolehan.
2.8

12

HIPOTESIS MASUKAN KRASHEN
Salah satu perspektif teoretis paling kontroversial dalam SLA pada

25 tahun terakhir abad kedua puluh disodorkan oleh Stephen Krashen
(1977,1981, 1982, 1985, 1992, 1997) dalam sebuah himpunan artikel dan
buku. Hipotesis Krashen mempunyai nama-nama yang berbeda. Dalam
tahun-tahun

awal,

“Model

Monitor”

dan

“Hipotesis

Pemerolehan-

Pembelajaran” adalah nama-nama yang lebih popular; dalam tahun-tahun
terakhir “Hipotesis Masukan” digunakan untuk menyebut satu set yang
terdiri atas lima hipotesis yang saling berkait. Masing-masing dirangkur di
bawah
Lima Hipotesis
1. Hipotesis

Pemerolehan-Pembelajaran.

Krashen

menyatakan

bahwa pembelajaran bahasa kedua dewasa punya dua cara untuk
menyerap bahasa sasaran. Pertama adalah “pemerolehan”,
sebuah proses bawah sadar dan intuitif dalam pengembangan
sistem sebuah bahasa, tidak beda dengan proses seorang anak
untuk “belajar begitu saja” sebuah bahasa. Cara kedua adalah
sebuah proses

"pembelajaran" sadar di mana pembelajar

memperhatikan bentuk, memahami aturan, dan secara umum
mafhum

akan

proses

mereka

sendiri.

Menurut

Krashen,

"kecakapan dalam performa bahasa kedua seiring dengan apa
yang sudah kita peroleh, bukan apa yang kita pelajari". Oleh
karenanya, orang dewasa harus memperoleh sebanyak mungkin
agar bisa mencapai kecakapan komunikatif; bila
akan

berhenti

memperhatikan

pada
secara

tidak, mereka

pembelajaran

aturan

dan

terlalu

sadar

bahasa

dan

terlalu

bentuk

12 R. Ellis, 1997. SLA research ang Language Taching. Oxford University Press.

12

mengawasi kemajuan mereka sendiri. Lebih lanjut, Proses
pembelajaran sadar kita dan proses pemerolehan bawah sadar kita
berdiri sendiri-sendiri: pembelajar tak bisa "menjadi" pemerolehan.
Klaim mengenai "tak adanya titik singgung antara pemerolehan
dan pembelajaran ini dipakai untuk memperkuat argument bagi
perekomendasian dosis yang lebih besar aktivitas pemerolehan di
ruang kelas, dengan sedikit saja peran keil untuk pembelajaran. 13
2. Model Monitor "Monitor" ada dalam pembelajaran, bukan
pemerolehan.

Ia

adalah

alat

untuk

seseorang, untuk menyunting dan

"memantau"

keluaran

membuat perubahan atau

mengoreksi ketika keluaran-keluaran itu dipikiran secara sadar.
Pembelajaran yang eksplisit dan intensional semacam itu, menurut
Krashen, harus dihindari jauh-jauh, karena dianggap merintangi
pemerolehan.

Hanya

begitu

kecakapan

mapan,

barulah

pemantauan atau penyuntingan yang cukup digunakan. Hipotesis
mengenai pemantau(monitor) pembelajaran berfungsi sebagai
pemantau. Pembelajaran tampil untuk menggantikan bentuk ujaran
sesudah ujaran dapat diproduksi berupa sistem. Penerapan
pemantau

dapat

menghasilkan

efektifitas

jika

pemakai

B2

memusatkan perhatian pada bentuk yang benar. Mc.Laughlin
menyatakan bahwa monitor jarang dipakai dalam kondisi normal
pemakaian dan dalam pemerolehan B2 dan monitor secara teoritis
3.

merupakan konsep yang tak berguna.
Hipotesis Urutan Alamiah. Menyusul studi-studi awal urutan
morfem dari Dulay dan Burt (1974b, 1976) dan yang lainnya,
Krashen menyatakan bahwa kita memperoleh kaidah-kaidah

bahasa dalam sebuah urutan yang bisa diprediksi atau "alamiah".
4. Hipotesis Masukan. Menurut Krashen masukan yang bisa dipahami
adalah “satu-satunya alasan bagi pemerolehan bahasa kedua. 14
13 S. Kreshen. 1982. Principles and practice in second Language acquisition. Oxford: Pergamon
Press. h. 10-11
14 S. Kreshen. 1984. Immersion: Why it Work and what it has taught us. Languege and society, h.
61

13

“Hipotesis Masukan menyatakan bahwa “kondisi bagi terwujudnya
pemerolehan bahasa adalah ketika si pembelajar memahami
(melalui mendengarkan atau membaca) masukan yang strukturnya
mengandung hal yang “sedikit merampaui” tingkat kompetensinya
saat ini.... Jika pembelajar berada di tingkat i, masukan yang ia
pahami seharusnya berisi i + 1" . 15 Dengan kata lain bahasa yang
dipaparkan kepada para pembelajar semestinya sedikit di atas
kompetensi mereka dan masih bisa mereka pahami, tetapi tetap
menantang mereka untuk berkembang. yang harus diperhatikan
adalah bahwa masukan ini tidak boleh terlalu jauh di luar jangkauan
sehingga mereka kewalahan (misalnya saja i + 2) atau terlalu dekat
dengan tingkat mereka saat ini yang menyebabkan mereka ddak
tertantang sama sekah (i + 0).
Bagian penting dari Hipotesis Masukan ini adalah rekomendasi
Krashen bahwa percakapan jangan diajarkan langsung atau terlalu
dini di ruang kelas. Kecakapan wicara akan "muncul" ketika
pembelajar telah mengembangkan pemahaman yang memadai
terhadap masukan (i + 1), sebagaimana kita lihat dalam Bab 3
dalam pembahasan tenrang Pendekatan Alamiah.
5. Hipotesis Saringan Afektif. Krashen lebih lanjut menyatakan bahwa
pemerolehan terbaik akan terjadi dalam lingkungan yang tingkar
kecemasannya rendah dan tidak ada sikap defensil arau, daiam
istilah Krashen, dalam konteks di mana “filter afekti” rendah.

BAB III
KESIMPULAN
15 S. Kreshen. 1984.Second Language acquisition and second language learning. oxford:
Pragamon Press, h. 100

14

Pemerolehan bahasa kedua beriringan dengan pembelajaran
bahasa kedua. Keefektifan pembelajaran bahasa kedua dipengaruhi oleh
beberapa variabel seperti faktor usia, juga termasuk sosial dan kultural.
Terdapat

banyak

hipotesis

mengenai

bagaimana

seharusnya

pembelajaran bahasa kedua, dimulai dari generalisasi LightBown
mengenai

keharusan

dan

kenyataan

SLA dalam

pandangannya,

perumpaan/analogi Larsen teori chaos dengan pembelajaran SLA, serta
beberapa

pandangan

pembelajaran

dari

sudut

kesadaran,

pusat

perhatian, hingga pada konstruktivisme sosial. Semua sudut pandang
tersebut dikembalikan lagi pada hakikat ketergantungan gaya dan
rancangan pembelajaran untuk pemerolehan bahasa kedua.

DAFTAR PUSTAKA

15

Ellis, Rod. Second Language Acquistion. New York: Oxford University Press,
2003.
Freeman, Diane Larsen. Chaos/Complexity Science and Second Language
Acquisition. (Oxford: Apllied Linguistics. 1997.
H.Doughlas Brown. Prinsip Pembelajaran dan Pengajaran Bahasa.Pearson
Education.2007.
Kreshen, S. Principles and practice in second Language acquisition. Oxford:
Pergamon Press. 1982.
_________. Second Language acquisition and second language learning. oxford:
Pragamon Press. 1984.
LightBown, Patsy . Great Expectations: Second-Language Acquisition Research
and Classroom Teaching.Oxford: Applied Linguistics. 1985.
Lightbown, Patsy and Nina Spada. How Languages Are Learned. USA: Oxford
University Press, 2013.
Scmidt , R.. The Role of consciousness in Second Language Learning. Applied
Linguistics 1990.
Troike, Muriel Saville. Introducing Second Language. (Cambridge: Cambridge
University Press, 2006.

16