Pengembara Si Binatang Jalang Ingatan ad

Pengembara Si Binatang Jalang
“Ingatan adalah sebentuk pertemuan.”
(Chairil Anwar)
Sosok yang bernama Chairil Anwar memang tak pernah lekang oleh waktu. Ia menembus
segala tempat dan waktu yang ada. Terlalu banyak hal yang menarik dalam pribadi dan karyanya
sebagai seorang penyair. Yang entah kenapa, kita merasa sulit untuk lewati begitu saja.
Chairil Anwar bukan seorang yang suci seperti mahatma Gandhi, Syekh Siti Jenar dan
tokoh-tokoh lainnya. Ia hanya manusia biasa yang seperti kita semua. Tapi, Chairil mampunyai
sisi kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang lain. Di antaranya yaitu pada syair yang telah ia
buat.
Chairil anwar dengan mudah dapat merubah suasana dunia. Ketika ia gembira dan
mengusung tema syair bahagia pula, maka setiap lantunan bait yang ia susun akan membuat
dunia merasa bahagia juga. Tapi lain halnya ketika ia bersedih. Saat ia melantunkan irama syair
yang menyedihkan, maka seketika itu pula dunia akan dibuat beku dan bahkan hampa olehnya.
Karena kalau kita teliti, banyak dari karya dan juga hidupnya yang mempengaruhi
seniman kita saat ini. Selain itu juga kebudayaan modern Indonesia. Setiap anak sekolah di
Indonesia ini mungkin sudah kenal siapa Chairil Anwar. Paling tidak mereka mengenalnya
dengan keberadaan sajaknya.
Chairil Anwar lahir pada 26 juli 1922. Ia punya gaya hidup yang eksentrik. Selain dalam
karya sastranya, juga dalam sikap hidupnya, baik yang terlihat, maupun tidak. Banyak sekali dari
kita saat ini yang terpengaruh oleh sikap akal budi Chairil itu. Bahkan Rendra yang sebagai

sastrawan Indonesia, sempat marah besar kepada seniman-seniman muda Yogyakarta pada waktu
itu yang secara buta mengikuti gaya hidup Chairil Anwar.
Apakah Chairil benar menyuruh kita untuk menirunya? Tidak sama sekali. Chairil tidak
pernah mengajarkan kehidupan yang seperti itu kepada kita. Bahkan ia menyuruh kita untuk bisa
mengatasi nilai nihilisme. Kalau kata Nietzsche, dalam pandangannya terhadap adi manusia
yaitu mendobrak. Dengan arti lain mendobrak segala tradisi.
Hal itu diutarakan sendiri oleh Chairil dalam catatan hariannya pada tahun 1943. Dengan
jiwa yang penuh berapi-api terhadap Ida, kekasih khayalnya, Chairil berkata,

“Tapi pujangga di masa akan datang -pujangga sejati- memanjatnya, dan memotong
cabang-cabang yang merindang-merimbun tak perlu.” Di sini kita sendiri dapat mengartikan
bagaimana?
Dalam pemahaman saya, seorang pujangga sudah mesti benar memperhatikan keadaan
dirinya dan masanya pada waktu itu. Dan bagaimana ia bisa merangkum apa pemahamannya,
dan kemudian dibenturkan dengan realitas, hal ini bertujuan apa?
Lanjut Chairil, masih dalam catatan yang sama, “Adakah insap mereka. tujuanku: intan
yang dicanai kilatnya menyilaukan, mengedip-ngedipkan mata si penglihat.” Maka di sini
menjadi esensi, esensi adalah apa yang Chairil tuju dalam hidupnya. Esensi yang Chairil tuju
adalah semangat hidup, otentisitas, kreatifitas, keberanian, dan kemerdekaan.
Jadi merupakan aktivitas yang kurang baik bahkan menjadi kesalahan besar bagi seorang

seniman, apabila ia mengikuti kehidupan Chairil yang identik itu, bahkan sampai dimitoskan
dengan“kebinatangjalangannya!.”
Malah kita harus memikirkan ulang, lantas mencoba seakan menjaga jarak dalam
memahami Chairil Anwar, dan berlaku otentik sesuai kehendak kita sendiri, dan apa yang ingin
kita capai dalam itu.
Chairil memang sebagai seorang seniman. Dan merupakan salah satu penggagas
otentisitas manusia Indonesia modern. Otentisitasnya ini diutarakan oleh Sutan Takdir
Alisjahbana yang merupakan tokoh intelektual Indonesia sewaktu kemerdekaan,
“Bahwa Chairil Anwar bukan anak dari revolusi politik Indonesia tahun 1945, jelas bagi
kita apabila kita ketahui, bahwa sajak-sajaknya yang terkumpul dalam “Kerikil Tajam”,
diciptakan jauh sebelum Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tahun 1945, malahan sebelum
dapat diketahui di Indonesia bahwa Jepang akan kalah dalam perang. Dengan perkataan lain
terjadi atau tidaknya revolusi Indonesia 1945 tidak berpengaruh atas timbul atau tidaknya
revolusi Indonesia 1945. Tidak berpengaruh atas timbul tidaknya fenomenon sajak-sajak Chairil
Anwar. Dan sebaliknya bukanlah sajak-sajak Chairil Anwar yang mendorong revolusi 1945
(Penilaian Chairil Anwar kembali 1975).”
Dalam ini, kita bisa mengetahui sesuatu tentang kesuciannya syair-syairnya. Chairil benar
bereksistensi, dia existere dengan cara keluar dari zamannya. Dan di situlah kita bisa mengambil
kesimpulan dia seorang yang otentik. Hal yang seperti ini juga sependapat dengan Heidegger,
Filsuf Fenomenologi dan Eksistensialisme Jerman abad 19.


Memang benar. Chairil mati muda. Yaitu ketika ia berumur 27 tahun. Namun benar hidup
seribu tahun lagi, seperti deklarasinya dalam sajak “Aku”, Maret 1943. Ia mati mewariskan
beberapa karya yang menurut H. B. Jassin seorang kritikus sastra, dalam bukunya, demikian
Jassin,
“Dengan demikian maka sebagai ralat dapatkah dicatat, bahwa Chairil telah menulis 72
sajak asli (1 dalam bahasa Belanda), 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (1
dalam bahasa Belanda), dan 4 prosa terjemahan, sama sekali jadi 96 tulisan.”
Selain sajak, Chairil Anwar juga seorang penulis prosa yang cukup berhasil, “Chairil
juga seorang penulis prosa yang cukup berhasil, walaupun jumlahnya tidak sebanyak yang
dihasilkan dalam puisi. Ia menulis prosa asli, maupun terjemahan… Di samping “Hoppla”,
masih ada beberapa judul prosa Chairil antara lain Pidato Chairil Anwar 1943, Berhadapan
Mata, Pidato Radio 1946 dan lain-lainnya.”
A. Kehidupan Dini Khairil Anwar
Chairil Anwar dilahirkan oleh ibunya berada di kota Medan, Sumatera Utara. Lebih
tepatnya yaitu pada tanggal 26 Juli 1922. dan ia meninggal pada tanggal 28 April 1949, tepatnya
di ibu kota Indonesia yaitu Jakarta. Ia hanya bisa menikmati hidup pada umur 27 tahun. Tapi
lantaran hanya berumur 27 tahun, ia tidak hanya menjadi seorang yang biasa-biasa saja.
Melainkan menjadi sosok seseorang pujangga yang selalu dikenang oleh publik.
Ia dijuluki sebagai “Si Binatang Jalang” (dari karyanya yang berjudul Aku), ia adalah

penyair terkemuka yang berasal dari Indonesia. Ia diperkirakan telah menulis 96 karya, termasuk
70 puisi. Bersama Asrul Sani dan Rivai Apin. Dan ia juga dinobatkan oleh H.B. Jassin sebagai
pelopor Angkatan 45, sekaligus puisi modern Indonesia.
Ia merupakan anak satu-satunya dari pasangan Toeloes dan Saleha, yang keduanya berasal
dari kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat. Jabatan terakhir ayahnya adalah sebagai
Bupati Inderagiri, Riau. Ia masih punya pertalian keluarga dengan Soetan Sjahrir, Perdana
Menteri pertama di Indonesia.
Sebagai anak tunggal, orang tuanya selalu memanjakannya. Namun, Chairil cenderung
bersikap keras kepala dan tidak ingin kehilangan apa pun. Dan hal tersebut menjadi sedikit
cerminan dari kepribadian orang tuanya.
Chairil Anwar mulai mengenyam pendidikan di Holandsch-Inlandsche (HIS), sekolah
dasar untuk orang-orang pribumi pada masa penjajahan Belanda. Ia kemudian meneruskan

pendidikannya di Meer Uitgebreid lager Onderwijs (MULO). Saat usianya mencapai 18 tahun, ia
tidak lagi bersekolah. Chairil mengatakan bahwa sejak usia 15 tahun, ia telah bertekad menjadi
seorang seniman.
Pada usia 19 tahun, setelah perceraian orang tuanya, Chairil bersama ibunya pindah ke
Batavia (sekarang menjadi kota jakarta) dimana ia berkenalan dengan dunia sastra; walau telah
bercerai, ayahnya tetap menafkahinya dan ibunya. Meskipun tidak dapat menyelesaikan
sekolahnya, ia dapat menguasai berbagai bahasa asing seperti Inggris, belanda, dan Jerman.

Ia juga mengisi jam-jamnya dengan membaca karya-karya pengarang internasional
ternama, seperti: Rainer maria Rilke, W.H. Auden, Archibald Macleish, hendrik Marsman, J.
Slaurhoff dan Edgar du Perron. Penulis-penulis tersebut sangat memengaruhi tulisannya dan
secara tidak langsung terhadap tatanan kesusesteraan Indonesia.
B. Awal Cinta Sebagai Penyair
Nama Chairil mulai terkenal dalam dunia sastra setelah pemuatan tulisannya di Majalah
Nisan pada tahun 1942. Saat itu ia baru berusia 20 tahun. Hampir semua puisi-puisi yang ia tulis
merujuk pada kematian. Namun,Chairil saat pertama kali mengirimkan puisi-puisinya di
majalah Pandji Pustaka untuk dimuat, banyak yang ditolak karena dianggap terlalu
individualistis dan tidak sesuai dengan semangat Kawasan Kemakmuran Bersama Asia Timur
Raya.
Ketika menjadi penyiar radio Jepang di Jakarta, Chairil jatuh cinta pada Sri Ayati tetapi
hingga akhir hayatnya Chairil tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya. Puisipuisinya beredar di atas kertas murah selama masa pendudukan jepang di Indonesia dan tidak
diterbitkan hingga tahun 1945.
Kemudian ia memutuskan untuk menikah dengan Hapsah Wiraredja pada tanggal 6
Agustus 1946. Mereka dikaruniai seorang putri bernama Evawani Alissa, namun bercerai pada
akhir tahun 1948.
Di sinilah sosok Chairil Anwar selalu dikaitkan dengan seorang kritikus sastra H.B Jassin.
Melalui penilaian Jassin, karya-karya Chairil yang konon tidak lebih dari 100 itu cukup
mempengaruhi kepenyairannya. Tak jarang Chairil mengirim puisinya untuk dimuat di majalah

mingguan Mimbar Indonesia yang terbit pada 1940-an.

Di mata kawannya yang dekat dengan Chairil Anwar, dalam sebuah buku yang ditulis
Nasjah Djamin, yang juga seorang sastrawan seangkatannya, Chairil diibaratkan laiknya tokoh
Anwar, yang sembrono dan kurang ajar dalam roman Achdiat Kartamihardja, Atheis. Nasjah
punya kenangan tersendiri saat pertama kali bertemu “Si Binatang Jalang” itu.
Nasjah bertemu Chairil Anwar di kota Yogyakarta pada 1947 ketika semangat revolusi
masih berkobar. Saat Nasjah bersama seniman lukis di sanggar Seniman Indonesia Muda (SIM)
seperti Zaini, A. Wakidjan, Nashar dan lainnya, Charil mampir dengan seorang wanita bule.
Dia ingat betul Chairil mengenalkan wanita itu sebagai seorang wartawan. Keduanya
berbicara bahasa Belanda cukup pasih. Chairil juga sempat mengenalkan S. Soedjojono pada
perempuan bule itu sebagai Bapak Seni Lukis Indonesia Baru.
Dalam kisah tersebut, Nasjah lebih mengedepankan penjelasan kehidupan Chairil selama
berkesenian dengan para seniman sezamannya. Gayanya yang bebas ekspresi, seolah ingin
keluar dari kemapanan hidup yang dilakoninya.
Selain dikenal sebagai penyair, Chairil juga tahu banyak seluk beluk sastra dan seni dunia.
Pengetahuannya di bidang seni bisa dilihat ketika Chairil berapi-api berbicara tentang kesenian
dengan rekannya sesama seniman.
Dia juga merupakan seorang yang rajin berkunjung ke ruang Balai Pustaka. Tepatnya di
ruang redaksi yang dipimpin pelukis Baharudin. Di percetakan Balai Pustaka, Chairil menguasai

laiknya rumah sendiri. Dia datang seenaknya sendiri, duduk, bicara ngalor-ngidul hingga marahmarah.
Di ruang itulah, yang menjadi sasaran pertama adalah Baharudin. Chairil kerap meminjam
uang kepada Baharudin jika dirinya sedang tidak punya uang. Beruntung, Chairil selalu diberi
pinjaman sekadar untuk makan. Sekalipun Baharudin sedang kempes, Chairil terus membuat
seribu alasan agar Baharudin meminjamkan uangnya.
Kelakuan sehari-hari Chairil memang banyak ditonjolkan dalam buku Hari-hari Akhir Si
Penyair, yang dicetak untuk kedua kalinya ini. Buku ini terbit pertama kali pada 1982. Nasjah,
sang penulis, banyak menggambarkan sosok Chairil melalui pandangan mata ketika sedang
bersamanya dan rekan seniman lainnya.

C. Binatang Jalang Dari Batavia
Kali ini kita akan menceritakan mengenai masa hidup Chairil Anwar ketika masih di kota
lama Batavia, yaknidimana ia hijrah setelah Bapaknya Tulus, bercerai dengan Ibunya, Hapsah.
Chairil hijrah ke Batavia sekitar tahun 1942.
Meski cita-cita ini memang telah jauh terpendam dalam diri Chairil, seperti menurut
paparan Syamsul Ridwan, .”..dia (Chairil) memang telah lama mendengar Batavia dan dia
ingin pindah ke kota itu.” Namun dengan perceraian kedua orang tuanya itu, nampaknya hal
tersebut makin menjadi dorongan yang besar lagi.
Gambaran kepindahan Chairil dari Medan ke Batavia ini betapa indahnya dilukiskan oleh
Sjuman Djaya, melalui syair //Ombak Laut Cina Selatan/ menghantam butiran sebuah kapal

pasasi/ dengan bengisnya/ di geladak mana, berdiri sang remaja kita/ dia tidak peduli pada
hempasan ombak/ yang sampai menampar muka dan badannya/ tidak peduli juga pada badai
angin yang/ mengais-ngais rambutnya/ wajah remaja itu dengan serta merta menjadi/ dewasa
menghadapi ombak dan badai lautan/ ombak dan badai dirinya sendiri/ dia bahkan menolak
ajakan sang ibu/ yang mengikutinya, ketika yang terakhir ini/ mengajaknya masuk ke dalam
kabin: “Biarkan aku sendiri, ibu,” katanya kepada ibunya. “Yang ini bukan apa-apa, karena
aku tahu, aku masih akan menghadapi gelombang dan badai yang seribu kali lebih besar. Dan
mungkin… sejuta kali juga lebih sunyi!”//
Chairil pindah ke Batavia bersama ibunya, Saleha. Di Batavia, Chairil dan ibunya Saleha
tinggal bersama di sebuah pondok. Ibunya Saleha mengusahakan membuka warung makan di
daerah Jatinegara. Yang kemudian diberikan penekanan, yang hanya diterangi dengan lampu
teplok. Seperti penuturan Syamsul Ridwan,“Demikian Chairil bersama ibunya pindah ke
Jakarta dengan maksud melanjutkan sekolah MULO-nya.”
Menurut Arief Budiman ketika Di Batavia, Chairil hidup seperti di Medan. Dia bergaul
dengan semua orang. Mula-mula, dia meneruskan sekolahnya di MULO, tapi “Karena
pengaruh perang dunia kedua ketika itu, sekolahnya sudah tidak teratur lagi, dia lebih banyak
berfoya-foya daripada belajar…”
Di Batavia inilah sosok Chairil Anwarmendapatkan sesuatunya secara otodidak. Mulai
dari buku-buku Sutan Syahrir yang sebagai pamannya sendiri. Di situlah ia sering
meminjambuku-buku untuk dibaca, sampai buku H. B. Jassin, kawannya sendiri.


Kemampuannya berbahasa yang sudah sejak di Medan ia kuasai. Sehingga banyak membantunya
untuk mengembangkan diri melalui berbagai buku tersebut.
Di Batavia, Chairil Anwar sering sekali berselisih dengan ibunya sendiri Saleha.
Perselisihan ini dikarenakan perkara sikap hidup Chairil Anwar yang gemar sekali berfoya-foya,
sama seperti di Medan dulu.
Seperti disuratkan dengan indah oleh Sjuman Djaya, “Maka Ibu nampak jadi menahan
sesuatu yang sangat pedih, dan berkata lagi: “Sudah terjual semua, Nak…! Untuk sewa rumah,
untuk makan, untuk bayar sekolahmu, buku-bukumu, juga dansa-dansa dan kesenangankesenanganmu… Selama ini!”
Tulis Sjuman lagi, ”Sang anak jadi termangu sekarang, sambil membanting buku di
tangannya ke atas meja…” Begitulah sosok Chairil, pemuda beranjak dewasa, yang sedari
kecilnya selalu dituruti. Dan ketika ia tidak dituruti lagi, kita bisa melihat betapa kecewanya ia.
Chairil tetap tinggal bersama ibunya Saleha di Batavia. Namun, Chairil bukan orang yang
duduk diam di Batavia, melainkan melanglang buana kemana-mana. Kadang ia kembali ke
kampung di Medan, tepatnya di Kampung Brandan.
Hal ini seperti diutarakan oleh adik tirinya, Chairani, dalam buku tulisan Dra. Sri
Sutjiatiningsih, “Kalau Chairil pulang ke Medan, dia sering jalan dengan Ibu Ramadhana (ibu
tiri Chairil). Sehingga kami pun akrab juga dengan Bang Nik ini. Hanya waktu itu kami masih
kecil, sehingga tidak banyak yang bisa diingat.”
Ia pernah kembali ke Medan yaitu ke tempat pamannya Sutan Sjahrir. dan ke Taman

Siswa, Batavia, Gedung Juang Menteng Tiga Satu, tempat para pemuda revolusioner Indonesia
berkumpul, Yogyakarta, pada serangan umum 11 Maret, Karawang-Bekasi. Bahkan sampai ke
Peron, Madiun dengan niat menemui Sumirat, gadis yang ia sukai, yang ia sebut sebagai
tunangan.
Di sini boleh kita katakan Pulau Jawa dan Pulau Sumatera telah ia telusuri dalam masa
hidupnya yang singkat, yaitu selama 27 tahun, dengan kondisi transportasi yang masih belum
terlalu canggih seperti saat ini. Hal ini menjadi mungkin karena Chairil sendiri menganut
hidup bohemian. Yaitu dengan pengertian bebasnya hidup yang mengelana, tak bertempat,
mungkin sesuatu dengan prinsip Chairil sendiri “melepas bebas” yang tidak terikat.
Chairil tidak tinggal bersama ibunya lama-lama bersama di Batavia. Karena kita
mengetahui bahwa sebelum Chairil menghembuskan nafas terakhirnya pada 28 April 1949, H. B.

Jassin sempat mengirimi surat kepada keluarga Chairil di Medan termasuk kepada ibunya.
Berarti ada beberapa waktu, Chairil tinggal sendirian di Batavia tanpa keluarga rumah.
Chairil adalah orang yang selalu hidup dalam kegembiraan. Meskipun hatinya
sebenarnya murung, dan gelisah, jadi dirinya dipenuhi berbagai pertentangan. Hal inilah juga
yang diutarakan Asrul Sani,
“Chairil sendiri, menurut Asrul Sani, setiap saat jiwanya mengalami perbenturan.
Perbenturan pada ketenangan yang besar, tetapi pada waktu yang bersamaan ia menyadari,
bahkan sampai yakin bahwa ia tidak mungkin hidup seperti itu… Pada mulanya

menggambarkan keinginan untuk hidup tenang, tetapi pada akhirnya ia kemukakan
ketidaksanggupannya untuk hidup seperti itu.”
Sebagai seniman, Chairil Anwar lebih mengedepankan rasa hatinya ketimbang intellek.
Seperti kaum Stoa di Yunani kuno dulu, yang tujuan hidupnya adalah apatheia, mengatasi rasa,
tidak begitu perlakuan Chairil dalam menghidupi karyanya.
Dalam menghadapi dan menghidupi karyanya, ia bukan orang yang percaya sebuah karya
yang langsung jadi, atau yang ia sebut sebagai Ange’ ange’ ciri’ ayam. Dalam pidato Chairil
Anwar 1943, ia mengungkapkan mesti dulu dilalui dengan segenap pikiran yang sangat tajam,
mendalam, hingga tercipta sebuah karya yang baik.
Jadi dalam menghidupi dan menghadapi karyanya, ia tetap saja menggunakan
intelleknya. Seperti menurut penuturunnya dalam sebuah prosanya Pidato Chairil Anwar 1943,
demikian katanya,
“Kita mesti menimbang, memilih, mengupas, dan kadang-kadang sama sekali
membuang. Sudah itu baru mengumpul-satukan. Jika kerja setengah-setengah saja, mungkin
satu waktu nanti kita jadi impropisator. Sungguh pun impropisator besar! Tapi hasil seni
impropisasi tetap jauh di bawah dan rendah dari hasil seni-cipta. Soal hidup dan matilah yang
ia!! Jangan, jangan Ida picingkan mata cipit Ida-danau kaca jernih tempatku tenggelam-curiga
aku melebih-lebihi. Percayalah adikku, tidak ada yang lebih benar dari ini...”
Jadi sudah jelas di sini, sikap total Chairil sebagai seniman, juga total dalam
menghasilkan karya-karyanya.
Sajak Chairil dan hidupnya tidak bisa terpisahkan begitu saja. ia saling menghidupkan
satu sama lain. Seperti pengakuan Chairil Anwar sendiri, dalam prosa yang bertajuk Pidato
Radio 1946, ia mengatakan,

“Jalan, ketumbuhan, proses dari penciptaan kembali ini, datangnya, keluarnya,
tersemburnya dari konsepsi si penyair, penglihatannya (visie), cita-citanya (ideal-ideaal),
perasaan, dan pergeseran hidupnya, pandangan hidupnya, dasar pikirannya… bahan pokok
yang besar ini haruslah sesuatu yang dialami, dijalani (dalam jiwa, cita, perasaan, pikiran, atau
pengalaman hidupnya sendiri).”
Menurut Iwan Simatupang, “Kelebihan Chairil Anwar dari manusia yang lain, ialah ia
jadikan deritanya jadi sumber pengucapan yang berfungsi justru menempiaskan dan
membatalkan segala derita dari segala manusia.”
Seperti juga yang kembali ditegaskan oleh Dra. Sri Sutjiatiningsih, “Chairil Anwar
membawa suatu aliran seni yang menghendaki kedekatan pada sumber asal pikiran dan
keinsyafan. Pikiran dan keinsyafan dalam pertumbuhan yang pertama, belum lagi diatur dan
disusun, dipengaruhi pikiran dan keinsyafan dari luar, pengolahan dan pembetulan dari luar.
Dalam ekspresionisme pikiran dan keinsyafan dalam tingkat pertama itu masih sangat kental
sangat dekat pada perasaan dan jiwa asal, dan itulah yang sejelasnya dilontarkan atau lebih
tepatnya melontar dalam hasil ciptaan, Demikianlah buah ciptaan bukan lukisan kesan pada
jiwa, teriakan jiwa itu sendiri.”
Sikap hidup dalam karya-karya Chairil Anwar bisa kita lihat dalam catatan harian, atau
prosa Chairil sendiri di tahun 1943, dengan sedikit ia mengungkapkan, “Ida! Vitalisme. Tenaga
hidup! Api hidup! Mata Ida bertanya kulihat. Kalau-kalau vitalisme ini mungkin diresapkan
dalam seni? Mengapa tidak adik. Bahkan sifat ini tidak mungkin dihilangkan, atau ditiadakan.”
Lanjutnya, “Dalam seni: vitalitas itu chaotisch voorstadium, keindahan kosmich
eindstadium.” Dalam prosa “Kawan dan Aku”, hal ini kembali ditegaskan, “Pesan kepada
generasi muda: wijsheid + inzicht tidak cukup, musti stimulerende kracht + enthousiasme.”
Kesedihan dan kegembiraan dalam diri Chairil Anwar bukanlah suatu hal yang membuat
kita harus memicingkan mata. Karena di sini ia adalah seorang seniman, manusia yang
mengedepankan aesthetic, rasa, dalam hidupnya.
Dirinya yang punya sikap hidup berani, memang wajar sekali diterpa oleh gelombang
jiwa yang demikian rupa. Dari sinilah kita tahu satu hal yang memungkinkan kekayaan dia
dalam karya kepenyairannya.
Di sini kita menanyakan apa yang membuat Chairil Anwar menjadi pembaharu sastra
Indonesia pada masanya? Selain ia konsisten bersikap dalam hidup bohemian, sesuatu yang

menyalahi stereotype sastrawan Pujangga Baru yang parlente. Seperti Sutan Takdir Alisjahbana,
dalam berbahasa ia juga melakukan pembaharuan.
Kata Asrul Sani,“Puisi-puisi Chairil yang sebenarnya justru mengandung nilai yang
dalam, kata Asrul. Nilai baru yang tidak bisa diketemukan sebelumnya, banyak gambarangambaran baru tentang sekeliling hidup kita, ada gambaran baru yang bisa dipungut dari puisi
itu hingga kita bisa mengerti banyak hal tentang manusia.”
Menurut Jassin sendiri dalam wawancaranya dengan reporter Thohir DA, H, “Chairil
berjasa dalam penggunaan bahasa yang langsung. Pengungkapan masalah-masalah kehidupan
secara langsung, singkat dan tegas, tapi berbobot. Kebanyakan kata-kata Chairil diambil dari
kata sehari-hari, kemudian dengan sadar dipergunakannya.”
Pembaharuan dalam bahasa ini dipaparkan oleh Dra. Sri Sutjiatiningsih juga melalui:
1. Penghematan bahasa. Bahasa yang melambung-lambung dan berlebih-lebihan
ditolak. Berbicara seperlunya saja. Retorik berkurang. Perulangan dalam kalimat
dihilangkan.
2. Pemakaian ungkapan dan perbandingan usang dihindari. Keaslian selalu diutakaman.

Individualisme makin menonjol. Kebebasan pribadi.
3. Berpikir lebih kritis dan dinamis. Persoalan lebih beraneka warna. Lebih luas
orientasinya (berlainan dengan Pujangga Baru yang menjadi orientasi utama Negeri
Belanda). Keberanian mengemukakan visi. Aturan yang kaku disingkirkan.
Chairil Anwar menciptakan sajak dengan beragam tema. Tapi yang jelas, tema yang
terbanyak adalah tentang perempuan. Dan selain itu disusul ada tema seperti religiusitas,
pemberontakan, kemerdekaan. Keberagaman tema dalam sajak-sajak Chairil Anwar ini
merupakan suatu luapan jiwa Chairil Anwar yang unik, yang terbentuk dalam masa yang lama,
dalam dinamika yang fluktuatif.
Sosok Chairil Anwar dalam suci kepenyairannya banyak dipengaruhi oleh sasrawan
Eropa. Sebut saja misalnya mereka Du Peron, Gide, Slauerhoff. Atau dari beberapa sastrawan
Indonesia, misal S. T. Alisjahbana, Amir Hamzah, dan masih banyak yang lainnya.
Pengaruh di sini bukan hanya berarti memberi dampak bagi bentuk dan isi kepuisian
Chairil, namun juga dari sikap hidup dan prinsipnya sebagai sastrawan, sekaligus sebagai sosok
manusia yang seutuhnya.

D. Tuduhan Plagiator Dan Cleptomania
Chairil sebagai seorang pemuda yang berprinsip hidup bebas. Dari sifatnyalah, Ia banyak
digemari oleh kawan-kawan dan wanita. Tapi disisi lain, iabanyak sekali mendapatkan nama
buruk, seperti plagiator, cleptomania, dan lain sebagainya.
Di sini kita akanmengerti secara singkat bagaimana seorang Chairil dianggap sebagai
plagiator. Tapi, sebelum kita tahu hal-hal plagiator dari seorang Chairil, apa yang disebut sebagai
plagiator?
Plagiator adalah meniru secara literal atau ilegal karya oranglain atau dalam bahasa lain
menyadurnya. Apa benar Chairil menyadur secara sengaja, ataukah itu hanya semacam
terpengaruh oleh seniman lain?
Ada 2 (dua) pendapat yang setidaknya kita temukan dari studi literasi yang terbatas.
Pertama ia tidak sengaja meniru. Karena ia memang tipe seseorang yang punya banyak bacaan.
Dan yang kedua ia sengaja meniru untuk memenuhi kebutuhan hidupnya belaka.
Mengenai hal ini, seakan-akan kita selalu ingin mengajukan pandangan sendiri. Menurut
catatan dan banyak kutipan yang ada, kalaupun ia meniru atau menyadur, ia meniru dan
menyadur karya yang sama sekali baru, sesuai nafas hidupnya.
Karena kalau melihat kebutuhan hidupnya untuk dihidupi oleh sajak-sajaknya seperti
dugaan kedua rasanya tidak mungkin. Sebab dalam keseniannya, ia sama sekali bukan menaruh
kesenian sebagai tempat cari makan.
Seperti halnya yang telah dituturkan oleh Ajip Rosidi, sastrawan Indonesia, yang
diuraikan oleh Dra. Sri Sutjiatiningsih,
“Lebih penuh pemaparan lagi adalah komentar Ajip Rosidi kepad seorang mahasiswa
Prancis yang bermana Monique Lajombret. Menurut Ajip memang banyak terbuki sajaksajaknya yang merupakan salinan atau saduran, walaupun dia lupa apakah maksud Chairil
sebenarnya. Apakah ia butuh uang ataukah ia ingin memberikan contoh dengan puisi yang baik.
Barangkali dari kesemua ini dapat disimpulkan setelah mengenal Chairil lebih jauh bahwa
sebenarnya Chairil tidaklah berpretensi sungguh-sungguh berbuat pekerjaan yang tercela itu.
Tidak dapat diidentikan sebagai sikapnya yang asli, kecuali sejenis dari “kenakalan” yang
selalu diperbuatnya. Seperti istilah Sujati S. A. kepada Mimbar “Nakal dalam kejujuran, atau
jujur dalam kenakalan.”

Memang banyak sekali,tanpa mengenal proses kepenyairannya lebih dalam, banyak
pihak yang sama sekali mengecap Chairil sebagai seorang plagiator. Maka dari itu, H. B. Jassin
yang sebagai kritikus sastra mencoba meluruskan hal itu.
Bukan karena ia orang yang diuntungkan atas pembelaannya, melainkan ia memang
orang yang kenal dekat dengan Chairil dan tahu secara dalam proses kepenyairan Chairil Anwar.
Dalam pendahuluan buku H. B. Jassin yang berjudul “Chairil Anwar pelopor Angkatan 45”,
diuraikan secara panjang-lebar tentang pembelaan tersebut. Di situ membahas tuntas bahwa
Chairil bukan sosok yang plagiator atau cleptomania. Secara detailnya yaitu dari halaman 47-52.
Secara singkat, kita akan tahu tentang adanya fakta tersebut. Seperti penuturan Jassin
dalam bukunya itu, ia pribadi membagi ke dalam beberapa orang yang memberikan sanggahan
terhadap puisi Chairil yang katanya sebagai saduran.
Orang-orang itu adalah Mundingsari yang menggugat sajak “Rumahku”, yang katanya
mirip dengan sajak Slauerhoff, “Woninglooze”, dalam ceramahnya “Sekali lagi Chairil
mempertahankan rumahku sebagai sajak asli.”
Menurut Jassin, gugatan Mundingsari itu berdasarkan “keduanya karya tersebut ada
perkataan yang sama, yaitu “rumah” (woning) dan sajak (gedichten). Tapi selebihnya menjurus
ke lain arah. Lebih jauh lagi Jassin memaparkan,
“Dari analisa Mundingsari memang kita bisa membayangkan bahwa Chairil berdiri
tegak menghadapi Slauerhoff, seolah dalam percakapan mereka Chairil mengiyakan beberapa
pendapatnya tapi selain itu mengemukakan pula pendapatnya sendiri berdasarkan
pengalamannya sendiri. Dengan kata-kata Mundingsari: Slauerhoff ”menggambarkan
fatalitasnya, sedang Chairil menonjolkan keyakinanya yang kuat.”
Kemudian setelah itu, Jassin mencoba untuk menuturkan lagi melalui, “Orang berdua”
(“Dengan Mirat”) adalah sajak asli yang keras dipengaruhi oleh “De Gescheidenen”
Marsman. Sajak-sajak lain, “Kepada Peminta-minta” dan “Karawang-Bekasi”, menurut Jassin,
persamaan dengan sajak-sajak asli yang bersangkutan terlalu nyata untuk bisa disangkal.”
Di sini Jassin mempunyai alasan bahwa, “isi dan jiwnya khas pernyataan Chairil Anwar.”
Lain dari Mundingsari adalah Pater R. H. Lomme, yang menemukan kemiripan sajak “Isa”
dengan sajak Gerard Wijdeveld, Het Voorschot, sekitaran pada tahun 1939-1940.
Jassin menuturkan dalam bukunya sebagai berikut, “Pertengahan tahun 1956
menyampaikan pada saya sajak “Het Lam” yang katanya mengingatkan pada sajak Chairil

“Isa”, tapi perbandingan kedua sajak tidak memberi kesan pada saya bahwa di sini ada
penerjemahan atau penyaduran, karena sajak Chairil punya jalan pikiran sendiri, diksi sendiri,
pembayangan sendiri, gaya, dan nafas sendiri.” Tambah Jassin, “Perlu saya tambahkan bahwa
“Isa” dan “Doa” dipersembahkan Chairil pada W. J. S. Purwadarminta yang dianggapnya
sebagai Nasrani sejati dan pemeluk teguh di masa Jepang.”
Ada juga lagi dia yang bernama A. Rosadi Sani, seorang wartawan dan pengarang muda
dari Makassar (Ujung Pandang). Rosadi menduga ada persamaan sajak “Persetujuan Bung
Karno” dengan sajak Ezra Pound, yang berjudul “A Pact.” Sajak tersebut diambil dari The
Pocket Book Verse, an Anthology, edited by Oscar Williams.
Tapi di sini Rosadi menduga itu semua lahir, “karena ada persamaan pemilihan kata
antara “pact” dengan “perjanjian” atau “persetujuan” dan “we have one sap and one root”,
yang dapat diterjemahkan dengan: “kita punya satu zat satu urat.”
Jadi secara tekstual, disini sudah memberikan kejelasan. Meskipun ada sedikit kemiripan
dengan berbagai karya asing, Chairil bukanlah seorang plagiator. Ia hanya mengambil tema dari
sebuah sajak, lantas membentuknya menjadi sajak baru yang disesuaikan dengan getaran jiwanya
sendiri.
Inilah yang menjadikan Chairil Anwar tetap otentik.Dan sebagai orang pembaharu dalam
persajakan Indonesia.
Selain Jassin, seperti penuturan Dra. Sri Sutjitianingsih dalam bukunya yang membela
sikap Chairil terhadap sajak, “Beberapa temannya mencoba membela dengan memberikan
alasan ekonomi dan keuangan, antara lain, ia memerlukan uang untuk biaya pengobatan
sakitnya. Pembelaan kawan-kawannya tersebut tidak dapat menutupi perbuatan Chairil, tetapi
orang juga tidak bisa membantah peranan dan jasa Chairil terhadap sastra Indonesia.
Pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia tak dapat dipungkiri. Sehubungan
dengan ini, dalam salah satu tulisan S. M. Ardian mengatakan bahwa lebih baik diselidiki dan
diakui plagiat-plagiat yang dilakukan oleh Chairil, dan bukan dibantah atau dibela. Sebab
dengan demikian Chairil akan dibersihkan dari dosa-dosanya.”
Beberapa diantara sajak Chairil yang merupakan saduran itu, seperti diuraikan oleh H. B.
Jassin, “Beberapa sajak Chairil yang jelas saduran tapi pula saduran yang puitis
ialah”Rumahku”, “Kepada Peminta-minta”, “Orang Berdua” (“Dengan Mirat”) yang sudah

dibicarakan di atas, “Karawang-Bekasi.” Bisa kita golongkan terjemahan sajak-sajak “Datang
Dara Hilang Dara” dan “Fragmen” (“Tiada lagi yang diperikan”).
Danperlu kita ketahui, selain pencipta sajak, Chairil juga menyebut dirinya sendiri
sebagai seorang improvisator. Salah satu sajak improvisasinya yang sebenarnya merupakan
gabungan dari beberapa sajak penyair Eropa, adalah sajak “Kepada Kawan.”
H. B. Jassin menguraikan sajak “Kepada Kawan” sebagai berikut, “Sajak “Kepada
Kawan” memperlihatkan pengaruh-pengaruh kentara sekali dari Marsman (“De Hand van den
Dichter”, “Doodsstrijd”, “Don Juan”, “Verzet”, “Drie Verzen voor een Doode”(3),
“Ontmoetig

in

het

Donker”),

dan

Slauerhoff

(“In

Memoriam

Mijzelf”).”

Begitulah sosok Chairil yang sebagai kontoversi. Hal ini dilakukan bukan saja pada
zamannya, melainkan juga hingga kini, ia masih terus jadi pembicaraan. Hal yang menarik lain
untuk dibicarakan adalah dugaan bahwa Chairil seorang cleptomania.
Sebagai seorang yang hidup sulit, memang sangat tidak bisa ia pungkiri untuk menuruti
kehendak pribadinya yang sudah biasa dituruti selagi kecil. Dan juga kebutuhannya sebagai
seniman yang luar biasa banyak. Mungkin hal inilah yang menjadikan Chairil Anwar seorang
yang “enteng tangan.”
E. Epilog Suci Si Binatang Jalang: Hapsah, Evawany Dan Mati
Sudah terlalu lama Chairil merasakan hidup di Batavia. Di situ juga ia sudah merasakan
bentuk pemikiran yang sedikit demi sedikit mulai dewasa. Dan akhirnya Chairil pun menikah
dengan wanita yang bernama Hapsah. Si gadis Karawang.
Chairil Anwar bertemu Hapsah di sebuah perjalanan. Ketika itu Batavia dikepung Belanda.
Para pemuda dipaksa untuk pergi ke luar kota dengan amat serius. Dan di Karawanglah tempat
yang ia tuju. Danketika itulah mereka bertemu.
Sesuatu yang tidak bisa disebut sebagai kebetulan. Siapa yang bisa membantah ada seorang
gadis di pemukiman manusia? Siapa bisa membantah kepercayaan diri Chairil terhadap
perempuan?
Jadi ini bukan sebuah kebetulan.Ilustrasi menarik datang dari sosok Sjuman Djaja yang
mengenai pertemuan sang binatang dengan “binatang.” Chairil menyebut Hapsah sebagai
“gajah”, karena ukuran tubuhnya yang besar.

Begini ilustrasi yang Sjuman Djaya gambarkan: // …Dia belum lagi sampai ke jalan raya,
baru/ sampai di pertengahan, ketika dia melihat tanah perladangan kering sebelahnya, seorang/
gadis manis yang agak kegemukan bersama/ ayahnya. keduanya sedang memetik hasil
ladangnya/ tidak dinyana, perempuan berkain kebaya yang agak kegemukan ini menyingkapkan
kerudung/ yang menutupi sebelah wajahnya dan menampak/
Chairil yang sedang berjalan seenaknya. Chairil/ yang parlente dengan pakaian serba
putih dan/ bersetrika/ agaknya terlalu lama Chairil memandangi/ perempuan ini sambil terus
berjalan, sampai/ kakinya terpleset dan sebelah kaki itu masuk/ ke dalam paya yang dipenuhi
oleh kembang/ kembang teratai putih dan kuning/ perempuan itu jadi tertawa melihatnya. Dia
juga masih/ tertawa ketika sang ayah menariknya pergi meninggalkan tempat itu// tapi esok
harinya, Chairil ternyata sudah tegak di ladang yang sama, memakai topi putih/ menanti dia di
sana dengan gigih, yakin/ perempuan gemuk yang manis itu pasti akan/ datang di tempat itu/ dia
benar, karena tiba-tiba dari arah kampung di sebelah depan, datang perempuan itu membawa
bakul untuk tempat sayuran.
Perempuan ini/ menjadi terhenti langkahnya di tengah pematang/ seketika dia melihat
Chairil menantinya. Dia/ bahkan kemudian berbalik dan melarikan diri/ dari tempat tegak/
Chairil terkejut melihat ini, tapi dia tidak putus/ akal dia pun lari mengejarnya/ maka terjadilah.
main kejaran di tengah tegalan, sampai akhirnya/ Chairil berhasil melampaui perempuan iu
dan/ menghadangnya di depan. Ternyata perempuan/ gemuk ini cukup garang, karena masih
terengah-engah-/dia sudah membentak:
“Siapa kamu, dan mau apa kamu?”/ Chairil mencopot topinya dan berkipas-kipas dia
dengan toipi itu sambil perayu sekali menjawab: “Heran! Ini badan yang selama berjaga. Habis
hangus di api matamu. Kau kayak tidak tahu saja!”/ perempuan itu membentak lagi: “Kamu
lagi bicara apa sih? Minggir!!”/ Chairil semakin merayu mendekat: “Sudahlah, kau datang
untuk jumpa denganku, ya toh? Kau sudah juma! Terus kenapa aku harus minggir?” “Bah, aku
kemari untuk petik sayuran, tau?! Sekarang minggir aku mau pulang!” ”Ayolah biar kuantar
Adik pulang, sambil kupeluk garis pinggangmu!”/
Chairil memberi jalan dan perempuan itu pun/ cepat maju berjalan ke depan. Chairil ikut/
berjalan mendampinginya ketika perempuan/ sampai di sebelahnya. Chairil bahkan terus
merealisir kata-katanya, dengan benar memeluk/ pinggang perempuan. Tentu saja sang/

perempuan memprotes dengan menepiskan tangan Chairil: “ih, gelo sia!” “Ya, gila dibakar api
matamu!”
Hanya sekitar 1 tahun ia menikah dengan Hapsah. Dalam pernikahannya, awalnya mereka
tinggal di Karawang, dan kemudian pindah ke Jakarta. Dan dalam pernikahannya itu juga,
mereka berdua memang telah menikmati masa hidup pernikahan yang berbahagia.
Seperti pengakuan Hapsah sendiri, “Masa yang indah bagi seorang gadis memasuki hidup
perkawinannya, tetapi sekaligus masa yang berat harus saya jalani bersamanya..” Masa yang
berat itu dikarenakan mereka sangat berkekurangan dalam hal ekonomi. Chairil tidak mau kerja
tetap, ia seniman dan hanya memikirkan cita-citanya: memerbaharui kebudayaan Indonesia.
Setelah masa kenalan selama 3 (tiga) bulan, Chairil menikahi Hapsah pada 6 September
1946. Seperti yang dituturkan oleh Dra. Sri Sutjiatiningsih,
“Memang setelah melangsukan perkawinan dengan Chairil, Hapsah menghadapi masa
yang berat, karena hidup Chairil yang tidak mau terikat. Chairil hanya tahu mengarang dan
membaca, yang dilakukan sepanjang hari tanpa mempedulikan mereka punya beras atau tidak.
Chairil tidak peduli bahwa sajak dapat menghidupi keluarganya. Sajak bagi Chairil bukan alat
untuk mencapai cita-citanya.”
Pernikahan Chairil yang kacau dan ricuh ini diilustrasikan dengan baik oleh Sjuman
Djaja, “Selamat sekali!” Sebab begitu kita masuki rumah pengantin baru ini di Karawang,
Hapsah sedang dalam keadaan marah besar. Seisi rumah nyaris jadi kacau awut-awutan
dibuatnya. Dan Chairil seolah tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menghindar masuk kamar,
dan menguncinya dari dalam.”
Dari pernikahan Chairil dengan Hapsah, Chairil dianugrahi seorang anak perempuan,
yang diberi nama “Evawani.” Lebih tepatnya ia lahir pada 4 Oktober 1947. Seperti pengakuan
Evawani sendiri,
“Pada mulanya Eva tidak tahu kalau ia adalah puteri Chairil. Baru ketika ia berumur 8
tahun, ia diberi tahu gurunya. Guru itu mengetahui dari sebuah karangan H. B. Jassin, dimana
di samping gambar Chairil Anwar terpampang juga gambar Eva ketika berusia 6 tahun. Oleh
Eva kemudian ditanyakan kepada ibunya, tetapi ibunya mengatakan bahwa itu salah cetak.
Namun akhirnya diberitahu juga.”

Di akhir menjelang pernikahannya itu, Chairil telah jatuh sakit. Memang ia telah lama
menjangkit beberapa penyakit. Di karenakan gaya hidupnya yang terlalu bebas dan tidak teratur.
Seperti penuturan Dra. Sri Sutjiatiningsih, “Ketika sakit itu Chairil sering marah-marah.
Dia sering pusing, suka muntah-muntah, malas, hingga tak pernah mandi. Dalam buku Dra. Sri
Sutjiatiningsih, H. B. Jassin ketika itu ingin sekali mengetahui sakit apa yang diderita Chairil,
setelah kematiannya,
“Ia menghubungi dokter Sartono Kertopati yang mengobati Chairil selama di CSB dan
Dokter Bahder Djohan Direktur RSUP. Bahder Djohan yang bertanggal 18-8-1954 hanya
menyatakan bahwa Chairil Anwar yang dirawat pada RSUP sejak tanggal 22/28 April 1949
menderita penyakit thypus.”
Masa sakit Chairil Anwar ini digambarkan oleh Sjuman Djaya dalam bukunya yang
berjudul “Aku”,
// di tempat tidur berseprei putih, Chairil/ berkeringat dan menggigil mengatasi sakit
yang/ sangat di sekujur tubuhnya dan di dalam/ perutnya. Kamar itu sendiri nampak telah/
dibenahi, dan buku-buku serta kopor-kopor/ Chairil sudah berantakan di sana/ Chairil tiba-tiba
terbatuk keras sambil/ memegangi dadanya/ sesudah itu seolah ada/ yang nyeri sekali di dalam
perutnya.
Dia/ memejam menahan sakit dan nyeri. Tapi tiba-/ tiba mata itu terbuka lagi, dan dia
bahkan/ nampak sekali memberontak melawan sakit/ yang serba sakit itu. Dia tegak, melompat
turun/ dari tempat tidur dan berlari ke kamar mandi/ yang ada dalam kamar mandi itu/ di dalam
kamar mandi, di atas kaca, kelihatan/ beberapa botol obat. Diraupnya obat yang/ macammacam ini dan ditelannya dengan/ bantuan air yang didapatnya dari keran.
Sehabis/ minum obat, kelihatan dia mau muntah. Tapi/ tidak keluar muntah ini dan dia
jadi jatuh/ terduduk di atas kloset di dalam kamar mandi/ itu. Dia mengeram, memejam, dan
keringat/ alangkah besar-besarnya memenuhi wajahnya/ teraniaya sekali wajah itu ketika dia
menarik handle kloset.
Suara air yang berat seolah/ menderu keluar dari tangki atas. Tapi Chairil/ masih
berhasil tegak dari sana dan jalan ke luar/ walau terhuyung-huyung/ keluar dari kamar mandi,
Chairil seolah jatuh/ saja terjerembab di atas kursi depan meja/ tulisnya.
Keringat main dahsyat terperas dari/ kening dan wajahnya. Tangannya kelihatan/
gemetar meraih kertas dan pena di atas meja/ dan matanya seolah berdarah dan bernanah/

menahan maut, nanap, gemetar, gelisah/ memandang ke jendela kamar/ di luar nampak
bayangan pucuk-pucuk cemara/ yang menghitam dalam kelamnya malam/ melihat itu Chairil
jadi kelihatan memicing/ mata.
Maka di mata yang berdarah dan/ bernanah itu seolah tampil sesuatu yang ganjil/ tibatiba; sesuatu yang lembut seolah memanggil-manggil, tapi juga sesuatu yang/ mengerikan.
Sesuatu yang terasa akrab, tapi/ juga sesuatu yang tidak diinginkan atau teramat/ sangat
kepingin ditolaknya. Sesuatu yang ingin/ dilawannya habis-habisan, tapi juga sesuatu/ yang tak
kuasa dihindarkan/ jadi mata itu seolah menjadi sayu, geram/ pasrah, dendam, penasaran,
putus asa/ menyerah, semua bercampur menjadi satu/ dan di hadapan mata itu, di depan jendela
yang/ kelam, tiba-tiba pula berbaur gambaran pohon-/ pohon cemara yang menghitam.
Lantas/ bayangan prosesi sosok jenazah yang/ diturunkan ke liang lahat, lantas jajaran
batu/ nisan di sebuah tanah perkuburan luas yang/ gelap, dingin dan sunyi/ Lantas sebuah
narasi: //kelam dan angin mempesiang diriku/ menggigil juga ruang di mana dia yang kuingin/
malam bertambah merasuk, rimba jadi/ semati tugu di Karet/ di Karet (daerahku yang akan
datang)/ sampai juga deru angin…// tapi tiba-tiba/ di sebuah kandang kuda, seekor kuda putih/
yang sangat kita kenal, terlihat meringkik keras/ menghentakkan tali yang mengikatnya/
terenggutkan tali itu, dan sang kuda binal/ berlari ke luar kandang, menembus malam/ di dalam
kamarnya, Chairil terlonjak bangun/ segala pedih dan nyeri seolah berhasil dia/ lawan dan
punahkan [93]//
Ada seminggu Chairil dirawat di rumah Suharto. Kemudian karena sakitnya semakin
berat, akhirnya ia dibawa oleh Rivai Apin keCentraal Burgerlijk Ziekenhuis (yang sekarang
menjadi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo).
Lanjutnya, “Selama sakit, teman-teman dekatnya yang mengurusi Chairil antara lain, M.
Balfas, Rivai Apin, H. B. Jassin, dan lain-lainnya. Mereka bergantian menjenguk Chairil. H. B.
Jassin kemudian mengirim surat kepada kakak ipar dan ibu Chairil yang waktu itu sudah
tinggal di Medan. Isi suratnya antara lain minta agar mereka mengusahakan membawa Chairil
ke Medan agar lebih terawat. Tetapi sebelum maksud itu terlaksana Chairil telah meninggal
dunia di Jakarta tanggal 28 April 1949, pukul 14.30 dalam usia 27 tahun.”
Chairil Anwar dimakamkan di Pekuburan Karet, Jakarta, tanggal 29 April 1949. Dalam
upacara perkuburannya itu, banyak sekali orang yang memperhatikan, tulis Dra. Sri

Sutjiatiningsih,“Upacara pemakamannya mendapat perhatian besar dari masyarakat Ibukota
terutama pemudanya. Dalam upacara itu, Sutan Syahrir, paman Chairil, berpidato antara lain
sebagai berikut: “Dengan gaya hidupnya yang serba aneh itu, Chairil Anwar adalah pejuang
revolusioner Indonesia.”