Di Tahun Politik Apa Beda Hakim Dan Poli

Di Tahun Politik, Apa Beda Hakim Dan Politisi
Oleh : JJ Amstrong Sembiring
(Praktisi Hukum/ Alumni Universitas Indonesia)
Coba anda bertanya ke orang lain, tahu kah mereka siapa tu hakim? Ini dia jawaban siapa
yang tidak kenal dengan profesi hakim, mereka semua mengenal dan sudah barang tentu
anda juga tahu hakim kan? Itu lho orang suka mengadili perkara di dalam ruang
persidangan yang penampilan mengenakan baju berwarna hitam gelap pekat. Saat
menjalankan tugasnya, kata orang baju kebesarannya itu memancarkan simbol
kepemimpinan memberikan kesan karisma, tegas, konsisten dan kaku, sekaligus angker. Apa
benar demikian? Ternyata tidak benar juga, warna hitam itu sebenarnya mempunyai hakikat
adalah sesuatu warna yang paling aman tidak kaku dan fleksibel.
Perhatikan, penggunaan warna adalah hal berhubungan dengan psikologis. Setiap warna memiliki
ciri khas-nya seperti halnya sifat. Feng Shui sendiri menganggap warna hitam adalah warna
yang memancarkan energi penuh semangat dan motivasi tinggi. Kostum hitam itu
memberikan tekanan pada lawan bicaranya, mengapa? karena warna hitam memancarkan
aura kekuasaan, di mana sang pemakai mempesona dan menciptakan nuansa segan pada
yang melihat.
Jika orang memakai warna hitam, dengan kata lain ya sejalan citra harus bijaksana, bukan bijaksana bijak-sini. Sebab esensi makna dari warna hitam itu tidak sukar, dan esensi dari warna
hitam itu tidak rumit, serta esensi dari warna hitam itu juga tidak sulit karena warna hitam
boleh dipadankan dengan segala jenis warna dan tidak kaku, memberikan kesan elegan dan
istimewa.

Warna hitam itu melambangkan suasana orang sedang kedukaan mempunyai “sense of ethics “
yang tinggi, mampu menjaga perilakunya. Citra harus diselaraskan, hakim selalu
mengenakan baju kebesaran berwarna hitam juga harus mempunyai “sense of ethics “ yang
tinggi pula, gambaran itu penting bagaimana mau dipercaya memutus perkara kalau
kelakuannya saja tidak benar, makna warna hitam harus dijaga dan dipelihara menjadi
suatu kebiasaan aktivitasnya, sehingga tidak menjelma jadi hakim hitam.
Warna hitam itu juga tidak nampak kotor. Warna hitam itu sederhana. Warna hitam itu sebagai
sesuatu yang nggak bisa ditebak. Dan warna hitam itu adalah hakikat, masih relevan jika
meminjam pemikiran Wakil Ketua Komisi Yudisial Imam Anshori Saleh, Seorang hakim
hakikatnya adalah seseorang yang memasuki dunia kesunyian. Hakim sangat terikat pada
kode etik dan pedoman perilaku yang membatasi pergaulannya dan tingkah lakunya sebagai
mahluk sosial. Pembatasan itu bertujuan agar kemuliaan profesi hakim tetap terjaga karena
hakim merupakan “Wakil Tuhan” yang dapat menentukan nasib seseorang melalui
putusannya. (sumber : www.komisiyudisial.go.id, 28 Maret 2013).

Eloknya orang menyebut hakim itu sebagai profesi yang mulia dan terhormat, oleh sebab itu
hakim dipanggil dengan sebutan ”Yang Mulia”. Hebatnya sebutan ini bahkan tidak dimiliki
oleh profesi lain, bisa dikatakan profesi hakim itu merupakan profesi yang tiada duanya.

Hakim itu profesi mulia, siapa takut? Hakim adalah pejabat memimpin persidangan yang berarti

"aturan, peraturan, kekuasaan". Ia memutuskan hukuman bagi pihak yang dituntut atau
mengadili perkara, keputusannya tidak dapat diganggu gugat. Dan hakim harus dihormati di
ruang pengadilan dan pelanggaran akan hal tersebut dapat menyebabkan hukuman. Pendek
kata, hakim lah yang paling berkuasa di ruangan persidangan.

Sebuah konsekuensi, dunia hukum juga banyak jargon, misal untuk oknum hakim, h-a-k-i-m
dengan jargon “Hubungan Aku Kalau Ingin Menang”, ada oknum Jaksa, j-a-k-s-a dengan jargon
“Jika Ada Kasus Suaplah Aku”, ada prinsip sebagian orang yang berprofesi sebagai pengacara
atau advokat dengan jargon “maju tak gentar, membela yang bayar”.
Di dunia peradilan (dunia hukum) sendiri amat terkenal juga dengan jargon ”Panglima hukum
sangat sulit ditegakkan. Terlebih, jika mengutamakan kekuasaan daripada hukum. Bahaya kalau
kekuasaan dulu, jika penguasa mengutamakan kekuasaannya dari pada hukum nanti amarah bisa
jadi hukum”, faktanya kerap hukum dijadikan komoditas dan hukum menjadi alat transaksionis.
Tebak-tebak manggis arahnya bisa dimaknai begini, jaksa, pengacara terutama hakim juga
manusia, apa yang dilakukan oleh hakim bisa juga adalah apa yang menurut ia sesuai dengan
kepentingan hukum siapa untuk siapa. Dan kepentingan pun bermacam ragam; pragmatis dan
oportunis baik kepentingan pribadi, kepentingan duit, kepentingan kelompok, golongan, partai,
hingga kepentingan bangsa dan negara pun bisa tergadaikan alias terjualnya martabat bangsa.
Celakanya, ini sesuai dengan kondisi realitas hukum yang ada, supremasi hukum cuma pemanis
bibir hakim sebagai penguasa ruang sidang. Kinerja institusi hukum, terutama lembaga peradilan

dimana banyak masyarakat pencari keadilan belum puas, jika seorang hakim mengambil
keputusan ngocol alias irasional yang ada di benaknya pastinya adalah berdasarkan kepentingan
atas siapa yang diwakilinya. Kata pepatah melayu mengatakan bila pergi ke Bandar Muar, terasa
penat mari bermalam, artinya “anda melihat hanya dari luar, tanpa lihat isi di dalam”.
Nelongso kata orang jawa, akibat lembaga tersebut terkesan lemah dan “kurang vitamin”
menahan runtuhnya supremasi hukum. Sebuah kondisi yang membuat kita serba salah untuk
melakukan sesuatu, dan itu sepertinya sedang berjalan kearah yang tidak sesuai dengan harapan
dan akhirnya itu membuat kita kebingungan harus berbuat apa. Dimana masyarakat pencari
keadilan menilai berbagai peristiwa hukum yang digelar hakim ruang persidangan tak lebih dari
rangkaian tontonan hukum semu an sich. Jadi, unsur subyektivitas relatif amat lekat dengan
putusan, ibarat pepatah melayu pepat di luar rancung di dalam, lahirnya bagaikan sahabat, tetapi
ternyata bathinnya musuh. Memuakkan memang kita dipertontonkan, antara ‘pejabat hukum’
dengan ‘penjahat hukum’ tampak beda tipis.
Menghilangkan akal sehat, kemunafikan menjadi andalan eksistensi hakim, semakin munafik,
semakin canggih berselancar dalam berkata-kata, semakin piawai, semakin membuat seorang
hakim disegani. Celakanya, semua apa yang diputus arahnya bermuara pada kepentingan untuk
siapa dan untuk tujuan apa. Dan yang pasti, semua urusan kepentingan hukum tersebut muara
tiada lain tiada bukan adalah uang. Ya begitulah terjadi ironis memang, itu juga ciri dari sebuah
negara mulai masuk ke ranah neoliberalisme, dan tentunya ekses yang ditimbulkan salah satunya
adalah pasar hukum.

Demikian itu sedang terjadi fenomena hukum sekarang ini, bila meminjam Kahlil Gibran didalam
kumpulan puisi dan buah renungan pernah mengungkapkan berbagai aspek kehidupan,

kemunafikan itu bakal terjadi selalu, sekalipun ujung jemarinya diwarnai dan dikilapkan; dan
penipuan tak’kan jera menikamkan paku, kendati sentuhannya gemulai dan penuh kelembutan.
Kepalsuan tiada’ kan pernah mengubah diri menjadi kebenaran, sekalipun kau dandani dengan
busana sutera dank au tempatkan dalam istana dan keserakahan mustahil menjelma kepuasan
batin, kejahatan tak mungkin berubah menjadi kebajikan.
Bahkan konon berdasarkan realitas hukum yang ada, hakim sebagai “wakil tuhan” tidak sedikit
juga terjerumus kedalam dunia hitam menjadi hakim hitam, contohnya ada hakim terlibat suap di
PN Mataram, PN Bandung dan PN Ternate, ada hakim terlibat selingkuh PN Tebo, Jambi, PTUN
Banjarmasin dan PTUN Surabaya, terlibat narkoba di PTUN Pekanbaru, ada hakim tidak serius
menyidangkan perkara dengan mainan handycam di PN Jakarta Barat, ada hakim sedang asik
tidur memimpin sidang di PN Surabaya Jawa Timur dan barangkali itu merupakan tabiat dasar.
Barangkali tanpa kenakalan itu juga hakim tidak akan eksis dan tak kan kaya, takut dengan
kemiskinan dan kesederhanaan, hilang eksistensi lenyap ditelan kejujurannya sendiri, tragis!
Hingga tidak ada menjadikan kejujuran sebagai panglima dalam menjalankan tugas dan
mengemban profesinya. Ironis memang!
Timbul pertanyaan, lantas bagaimana dengan politisi? Apa korelasi antara hakim dan politisi? Ini
dia jawaban, dan pertama-tama sebelum dijawab, anda pasti tahu politisi kan? Siapa yang tidak

kenal dengan profesi satu ini, aktor ini punya banyak penggemarnya bak selebritas dan tak
sedikit juga fanatik, Itu lho orang yang berkecimpung di arena dunia politik praktis. Politisi
sering juga disebut politikus, politikus adalah bentuk tunggalnya, sedangkan politisi adalah
bentuk jamaknya. Politisi itu adalah profesi yang mulia, seperti hal profesi hakim. Mengapa
demikian? Politisi itu adalah wakil tuhan, karena politisi dipilih oleh rakyat, sebagaimana
ungkapan latin ”Vox Populi Vox Dei”, berarti ”Suara Rakyat Suara Tuhan”. Oleh sebab itu
panggilan dirinya untuk melayani rakyat sebagai konstituen yang telah memilihnya. Meski tidak
sedikit juga politikus jadi-jadian yang duduk santai di parlemen akibatnya dunia politik menjadi
kacau carut marut, tidak tahu siapa membela siapa dan siapa yang mendukung mana. Kokretnya
perilaku kaya tikus!
Sebuah konsekuensi juga, di dunia politik itu amat terkenal dengan jargon “There is no eternal
enemy, there is no eternal friend, there is only eternal interest”. Ya, memang tak ada kawan atau
lawan yang abadi. Yang ada hanya kepentingan yang abadi. Artinya, apa yang dilakukan oleh
politisi itu adalah apa yang menurut mereka sesuai dengan kepentingan mereka. Dan kepentingan
pun bermacam ragam tak jauh berbeda; pragmatis dan oportunis baik kepentingan pribadi,
kepentingan duit, kepentingan kelompok, golongan, partai, hingga kepentingan bangsa dan
negara pun bisa tergadaikan alias terjualnya martabat bangsa.
Celakanya, ini sesuai dengan kondisi realitas politik yang ada, jika seorang politisi bicara, cuapcuap alias ngomong sana-sini yang ada di benak pastinya adalah berdasarkan kepentingan atas
siapa yang diwakilinya. Jadi, unsur subyektivitas relative juga amat lekat dengan cuap-cuap
omongan seorang politisi, sehingga wajarlah jika mereka berbicara tergantung kemana arah angin

bertiup tidak konsisten, mencla-mencle, bahkan jika perlu berbohong. Ibarat pepatah esok pagi
ayam goreng, sore berubah jadi ikan asin. Tanpa kebohongan seorang politisi tidak akan eksis, tak
kan bertahan lama beredar di kancah dunia politik di manapun, hilang lenyap ditelan
kejujurannya sendiri, tragis!
Bahkan konon– ini juga berdasarkan realitas politik, dimana politisi sebagai “wakil tuhan” tidak
sedikit juga terjerumus ke dalam dunia hitam menjadi politisi hitam dan tidak sedikit juga masuk
penjara, bahkan di tahun politik sekarang ini banyak lembaga masyarakat atau kalangan aktivis
pegiat demokrasi menginvertarisasi daftar caleg hitam 2014.

Politisi itu jualan daganganmya, retorika heroik, utopis dan moralistik menjadi andalan
eksistensinya. Semakin retorik, semakin canggih dalam berkata-kata, semakin piawai diplomasi
dan negosiasi, maka akan semakin membuat seorang politisi disegani, laku, dan awet. Celakanya,
semua apa yang diutarakan pastinya bermuara pada kepentingan untuk siapa dan untuk tujuan apa
dia cuap-cuap bicara. Dan yang pasti, semua urusan politik muaranya tiada lain tiada bukan
adalah orientasi kekuasaan. Barangkali ini juga disebut hukum keseimbangan alam, dan coba
bayangkan saja, di dunia itu jika semua orang jujur, politik akan menjadi mubazir.
Kemudian, Titik Singgung Hakim dan Politisi?
Dalam stratifikasi tertentu banyak hal terdapat perbedaan yang prinsipil antara kedua profesi
tersebut. Secara umum, hakim dapat didefinisikan sebagai orang yang mencurahkan waktu,
pikiran dan hidupnya menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan

yang hidup dalam masyarakat untuk mencari kebenaran berdasarkan kerangka metodologis
tertentu, sedangkan politisi adalah orang yang praktis bergerak dengan muatan politisnya
memiliki orientasi untuk mendapatkan sekaligus mempertahankan kekuasaannya untuk kekinian
maupun akan datang .
Kulminasinya, secara spesifik hanya ada dua kata yang membedakan hakim dan politisi, yakni
kata “bohong” dan “salah”. Pendek kata, seorang hakim itu boleh saja salah, tapi tak boleh
bohong. Politisi itu boleh saja bohong tapi tak boleh salah. Konstruksi dua kata ‘salah’ dan
‘bohong’ itu mempunyai arti penting berbeda namun bisa dipergunakan sebagai alat justifikasi
satu sama lain, dimana arti ‘salah’ itu adalah apa yang dikatakan salah oleh dalil, sementara arti
‘bohong’ adalah pernyataan yang salah dibuat oleh seseorang dengan tujuan pendengar percaya,
namun keduanya tidak bisa dikontruksikan dalam satu senyawa, karena saat sebagai hakim akan
berbohong, instrument hukumnya jelas akan melarangnya, tapi saat hakim akan memutus salah
tidak satu pun bisa melarangnya. Kemudian saat politisi akan berkata salah insan
kemanusiaannya akan melarangnya, tapi saat politisi akan berkata bohong tidak ada satu pun bisa
melarangnya, maka berkecamuk perang batin lah kau!
Hakim tidak mengenal kalah atau menang, tapi benar atau salah. Lazimnya saat memutus perkara,
kebenaran akan menguji hipotesis, hipotesis bisa diterima atau dianggap benar, jika datanya valid
mendukung. Pun sebaliknya, hipotesis ditolak, jika tak didukung data akurat (non-valid). Lain
hal, para politisi, kadang tidak memerlukan obyektivitas dan rasionalitas, yang mereka perlukan
adalah kuantitas jumlah dukungan. Oleh karena itu, mereka yang menang adalah yang paling

banyak mendapatkan dukungan itu. Sehingga bagi politisi kemampuan diplomasi, negosiasi,
orasi, provokasi dan agitasi untuk menarik perhatian dan membakar semangat 45, amatlah
penting dan jitu. Jamaklah jika demikian, dalam dunia politik terjadi permainan diagram,
tabel, data angka yang dibungkus kalkulasi statistik untuk membenarkan hipotesisnya, serta benar
atau tidaknya itu, wallahu a'lam !
Akhir pendek kata konklusi, seorang hakim itu tidak boleh berbohong, tapi boleh salah, embelembelnya jika perlu salah. Sementara, politisi tidak boleh salah, tapi boleh bohong, embelembelnya jika perlu harus bohong ! Ya begitulah !!