PEMAHAMAN HADIS-HADIS RUKYAT HILAL DAN RELASINYA DENGAN REALITA ISBÂT RAMADHAN DI INDONESIA

PEM AH AM AN H AD I S-H AD I S RU K YAT H I LAL D AN RELASI N YA D EN G AN REALI T A I SBÂT RAM AD H AN D I I N D O N ESI A

Muhamad Rezi

Fakultas Syariah IAIN Bukittinggi, rezineddin@gmail.com

Diterima: 23 Maret 2016

Direvisi : 3 Mei 2016

Diterbitkan: 15 Juni 2016

Abstract

It has become customary that every Muslim anywhere in the world are obliged to fast during Ramadan. One of the annual problems that always appear at the Ramadan is the determination of the beginning and end of Ramadan by sighting the moon. On the orders of the Prophet Muhammad, the determination of Ramadan should be done at the end of the month of Sha'ban. The beginning and end of Ramadan is determined by the appearance of the crescent moon. Such activity is known by rukyat hilal. In its history, the Prophet explained that the methodology of the determination of the beginning and end of Ramadan is sighting the crescent moon with eyes. If sight is obstructed by natural phenomena such as cloud cover, the day of the month of Sha'ban accomplished to 30 days. Contemporary, classic visual method has been carried out with the use of modern tools. Problems often arise because of differences in the understanding the passages of sunnah related to this. Some considered that the hilal rukyat commanded by the Prophet Muhammad is rukyat fi'liyyah while others considered that it is more accurate to use rukyat 'Ilmiyyah with the arithmetic method of calculation (hisab). In Indonesia, the different interpretation and understanding that always makes a difference in executing the fasting and Idul Fitri.

Keywords: Hadith, Hilal, Rukyat, Hisab.

Abstrak

Sudah menjadi adat setiap umat Islam di belahan dunia manapun untuk diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan. Salah satu masalah tahunan yang selalu muncul pada bulan Ramadhan adalah penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan dengan melihat bulan. Berdasarkan perintah Nabi Muhammad, penetapan bulan Ramadhan harus dilakukan di akhir bulan Sya’ban. Aktivitas penetapan awal dan akhir bulan Ramadhan ditentukan berdasarkan kemunculan bulan sabit. Aktivitas tersebut dikenal degnan rukyat hilal. Dalam sejarahnya, Rasulullah menerangkan bahwa metodologi penetapan awal dan akhir Ramadhan adalah dengan penampakan bulan sabit dengan mata kepala. Jika penglihatan terhalang fenomena alam seperti tertutup awan maka hari bulan Sya’ban digenapkan 30 hari. Masa kini, metode penglihatan klasik tersebut sudah dilakukan dengan penggunaan alat modern. Permasalahan kerap muncul karena perbedaan pemahaman terkait hadis-hadis yang menerangkan hal ini. Beberapa menilai bahwa rukyat hilal yang diperintahkan Nabi Muhammad adalah rukyat fi’liyyah dan sebagian lain menilai bahwa lebih akurat untuk menggunakan rukyat ‘ilmiyyah dengan metode perhitungan ilmu hisab. Di Indonesia, perbedaan penafsiran dan pemahaman tersebut selalu membuat perbedaan pelaksanaan puasa dan hari raya Idul Fitri.

Kata Kunci: Hadis, Hilal, Rukyat, Hisab

PENDAHULUAN

hadis, perintah kewajiban puasa pada bulan Ibadah puasa pada bulan ramadhan

ramadhan banyak tertera dengan kategori dalil merupakan suatu kewajiban umat Islam di yang zhâhir dan muhkam sehingga membuat seluruh dunia. Baik dalam Alquran maupun ramadhan banyak tertera dengan kategori dalil merupakan suatu kewajiban umat Islam di yang zhâhir dan muhkam sehingga membuat seluruh dunia. Baik dalam Alquran maupun

pikiran untuk sekedar menentukan awal dan Sesuai dengan perhitungan hari pada

akhir bulan puasa. Pada masa Nabi yang bulan qamariyyah (atau belakangan lebih dikenal notabene masih dalam masa peradaban dengan kalender hijriyyah) yang berkisar pada tertinggal, penentuan awal dan akhir puasa angka 29 dan 30, membuat jumlah hari pada hanya dapat ditentukan dengan metode rukyat bulan ramadhan terkadang juga bervariasi tradisional yaitu dengan melihat munculnya setiap tahunnya. Hal ini berbeda dengan hilal dari ketinggian. Jika terlihat maka perhitungan kalender masehi (syamsiyyah) yang dipastikan keesokan harinya puasa ramadhan berkisar di angka 30 dan 31 kecuali bulan dimulai, sedangkan jika tidak, Rasulullah pebruari. Selain itu, perhitungan kalender memerintahkan untuk memastikannya dengan syamsiyyah atau masehi berpatokan pada menggenapkan bulan sya’ban menjadi 30 hari. perhitungan rotasi matahari terhadap bumi,

Hingga masa kini, penentuan awal dan sedangkan kalender qamariyyah berpatokan akhir puasa selalu hangat dibahas karena setiap pada rotasi bulan terhadap bumi.

tahun selalu ada perselisihan paham yang Atas dasar perhitungan bulan tersebut,

berujung perbedaan awal puasa dan awal hari maka Rasulullah saw memberikan petunjuk raya. Khususnya di Indonesia yang sudah lebih kepada umatnya untuk memperhatikan

dari satu dekade selalu menyajikan perbedaan munculnya hilal (bulan sabit) sebagai tanda tersebut. Perbedaan tersebut dimulai dari pergantian bulan khususnya bulan ramadhan setuju atau tidaknya para ulama untuk dan syawwal sebagai penanda awal dan akhir mensahkan perhitungan ilmu hisab dan lebih berpuasa pada bulan ramadhan. Cukup banyak mengutamakannya dari perhitungan rukyat hadis yang menerangkan permasalahan tradisional seperti yang dilakukan oleh tersebut.

kalangan Nahdhatul Ulama (NU) dan Tetapi permasalahan baru muncul

peribadatan lain beberapa abad ketika peradaban umat Islam meskipun dengan gaya yang berbeda. Pasalnya, berkembang sangat pesat di bawah kekuasaan jika dengan mudah disahkan, maka dinasti

beberapa

komunitas

dimulainya dikhawatirkan akan menghapus validitas penerjemahan buku-buku filsafat dan sebagian teks hadis yang berisi perintah untuk pemikiran Yunani dan adopsi teknologi Cina menggenapkan bulan sebelumnya. Tetapi di serta arsitektur India, peradaban dan sisi lain, para pengguna ilmu hisab seperti pemikiran di tubuh umat Islam terus kalangan

Abbasiyyah.

Sejak

Muhammadiyyah juga berkembang hingga melahirkan ilmuan-ilmuan mengintegrasikan

penggunaan ilmu ternama baik dalam bidang ilmu agama atau perhitungan waktu tersebut dengan banyak bidang sains dan teknologi seperti al-Jabar, Ibn dalil baik dari al- Qur’an maupun hadis. Sîna, al-Khawarizmî, dan lain sebagainya. Dengan mengandalakan penjelasan bahwa Perkembangan keilmuan tersebut menggiring rotasi matahari dan bulan pada orbitnya adalah umat Islam kepada permasalahan integrasi dan suatu

eksak dan bisa relevansi. Dalam permasalahan ini, mulailah dipertanggungkawabkan karena Allah sudah dikenal ilmu astronomi dan perbintangan yang menjelaskannya baik dalam surat Yunus ayat 5, mengajarkan manusia untuk menghitung Yâsin ayat 38, dan beberapa ayat lainnya. kalender baik masehi ataupun hijriyah.

perhitungan

Tulisan tidak membahas metode hisab Dengan ilmu astronomi yang saat itu

dan rukyat, tetapi mengulas dan memahami dikuasai oleh bangsa Moor, Spanyol, umat makna-makna yang tersurat dan tersirat dalam Islam tidak perlu bersusah payah dan hadis-hadis tentang rukyat hilal dan dan rukyat, tetapi mengulas dan memahami dikuasai oleh bangsa Moor, Spanyol, umat makna-makna yang tersurat dan tersirat dalam Islam tidak perlu bersusah payah dan hadis-hadis tentang rukyat hilal dan

hilâl

1 2 ( 3 للاه) , ghumma ( مغ) , dan ra’a (ىأر) . Dari ketiga kategori tersebut ditemukan banyak

METODE PENELITIAN indikator terkait hadis-hadis rukyat dengan Penelitian ini bersifat penelitian riwayat dari seluruh kutub al- tis`’ah. pustaka dengan mancari dan mengkaji teks-

Setelah diteliti lebih lanjut dengan teks hadis terkati permasalahan penentuan melacak akurasi keberadaan hadis dalam awal dan akhir bulan puasa. Artikel ini lebih sumber aslinya, hadis-hadis terkait rukyat hilal menekankan pembahasan tentang pemahaman dapat ditemukan dalam Shahîh al-Bukhârî-Kitâb hadis (fikih hadis) karena hadis-hadis yang al-Shawm , Shahîh Muslim-Kitâb al-Shiy âm, al- dipahami telah melalui proses penjaringan dan Musnad Imam Ahmad ibn Hanbal , al- Muwaththa’ penyaringan dan dipilih yang memiliki derajat Imam Mâlik , Sunan Abî Dâwud-Kitâb al-Shawm, sahih.

Sunan Ibn Mâjah-Kitâb al-Shiyâm , Sunan al- Metode pemahaman dan penjelasan hadis Tirmidzî-Kitâb al-Shawm , Sunan al- Nasâ’î-Kitâb dilakukan dengan mengklasifikasi hadis-hadis al-Shiyâm , Sunan al-Dârimî-Kitâb al-Shawm. yang

Beberapa hadis tentang rukyat hilal keabsahannya untuk kemudian dihimpun ke hanya dipilih yang memiliki derajat maqbûl

sudah disaring dan

divalidasi

dalam satu tema besar yaitu rukyat hilal dan dengan tingkat validitas sahih khususnya kemudian mengklasifikasikannya sesuai dengan hadis-hadis yang didapat dari selain kitab substansinya. Berdasarkan klasifikasi, dilakukan Shahîh al-Bukhârî dan Shahîh Muslim baik dalam pembedahan

dengan Kutub al-Sunan , Muwaththa’, dan Musnad. pendekatan linguistik dan komparasi makna

secara

tekstual

mengandalkan kekuatan dan konteksutal dengan pendekatan historis, validitas kitab Shahîhayn, membuat penilaian

Dengan

sosiologis, dan fenomenologis. terhadap hadis-hadis lainnya menjadi relatif mudah karena matan dan sanad-nya tidak jauh berbeda. Selain itu, penilaian juga dibantu

PENJARINGAN DAN VALIDASI

dengan beberapa penilaian ulama yang sudah

HADIS

lebih dulu men-tahqîq (koreksi ulang) hadis- hadis tersebut seperti Al-Albânî, Al- Arna’uth,

Penjaringan dilakukan dengan melacak dan lainnya. Meskipun terkesan instan, tetapi hadis-hadis terkait permasalahan rukyat hilal. dapat dipastikan bahwa hadis-hadis tentang

Hadis-hadis tersebut terbagi kedalam beberapa rukyat hilal yang tertera di atas seluruhnya kalsifikasi pembahasan seperti melihat hilal maqbûl dan dapat dijadikan hujjah (argumen). sebagai awal dan akhir pergantian bulan Bukan berarti hanya hadis-hadis tersebut yang qamariyyah yang berdampak langsung kepada ada dan dinilai maqbûl terkait masalah rukyat penetapan awal dan akhir berpuasa pada bulan hilal, tetapi masih banyak terdapat dengan ramadhan. Selain itu, ada juga hadis yang sanad yang variatif yang juga sahih dan menjelaskan tentang cukupnya rukyat satu beberapa yang dinilai sanad-nya dha’îf tetapi orang dengan sumpah dan kesaksian. tidak dicantumkan dalam tulisan ini. Pelacakan hadis-hadis tentang rukyat

dalam pembahasan ini hanya menggunakan

satu buku berkategori ensiklopedi hadis yaitu al- Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-Hadîs karya

1 Wensink, al- Mu’jam al-Mufahras li Alfâzh al-

Wensink dan tidak menggunakan buku Hadîs , (Laden: Maktabah Breill, 1936), Jil.7, 97. ensiklopedi

2 Ibid., Jil. 4, 558 3 Ibid., Jil. 2, 200

KLASIFIKASI HADIS

Rukyat Hilal Sebagai Penanda Utama

Puasa Ramadhan dan Hari Raya 4 – للها لوسر لاق لاق ىعبر نع روصنم نع ةاطرأ نب جاجلحا هومتيأر اذإو اوموصف للالها متيأر اذإ « - ملسو هيلع للها ىلص

نبا نع ليقع نع ثيللا نىثدح لاق يركب نب يىيح انثدح للالها اورت نأ لاإ ينثلاث نابعش اوتمأف مكيلع مغ نإف اورطفأف - امهنع للها ىضر - رمع نبا نأ ٌلماس نىبرخأ لاق باهش كلذ لبق للالها اورت نأ لاإ ينثلاث ناضمر اوموص ثم كلذ لبق

» مكيلع مغ نإف ، اورطفأف هومتيأر اذإو ، اوموصف هومتيأر Informasi dari Muhammad ibn Hâtim, dari Hibbân, dari Abdullah, dari al-Hajjâj ibn Arthâh, dari .» هل اوردقاف

اذإ « لوقي - ملسو هيلع للها ىلص - للها لوسر تعسم لاق

Manshûr, dari Rab’a, Rasulullah Saw. bersabda: Diinformasikan dari Yahya ibn Bukayr, informasi “Jika kalian melihat hilal maka (mulailah) berpuasa,

dari al- Lays, dari ‘Uqayl, dari ibn Syihâb, informasi dan jika melihatnya maka berbukalah, jika kalian dari Sâlim bahwa Ibn ‘Umar Ra. berkata; “Aku ragu maka genapkanlah bulan Sya’bân 30 hari mendengar Rasulullah Saw. bersabda”: “Jika kalian kecuali kalian melihat hilal sebelum itu, kemudian

melihatnya (hilal) maka (mulailah) berpuasa, dan berpuasalah bulan Ramadhan 30 kecuali kalian jika melihatnya (lagi di bulan baru) maka melihat hilal sebelum itu” berbukalah (berhari raya), dan jika (pandangan)

kalian terhalang maka genapkanlah (bulan itu 30

Satu Bulan Dua Puluh Sembilan Hari

hari) .

هيلع للها ىلص - بىنلا لاق لوقي - هنع للها ىضر - ةريره

هيلع للها ىلص - للها لوسر نأ - امهنع للها ىضر - رمع

« - ملسو هيلع للها ىلص - مساقلا وبأ لاق لاق وأ - ملسو

لاو ، للالها اورت تىح اوموصت لا « لاقف ناضمر ركذ - ملسو

Informasi dari Abdullah ibn Maslamah, dari Mâlik. Informasi dari Adam, dari Syu’bah, dari Dari Nâfi’, dari Abdullah ibn ‘Umar, Rasulullah Muhammad ibn Ziyâd, dari Abû Hurayrah Ra. Saw. bersabda terkait Ramadhan: “Jangan kalian berkata bahwa (Abû Qâsim) Nabi Saw. bersabda:

(mulai) berpuasa sampai kalian melihat hilal, dan “(Mulailah) berpuasa setelah melihatnya (hilal) dan jangan berbuka (mengakhiri bulan puasa) sampai

berbukalah setelah melihatnya (lagi), jika kalian melihatnya kembali, jika (pandangan) kalian

(pandangan) kalian terhalang maka genapkanlah terhalang ma ka genapkanlah (menjadi 30 hari)”.

bulan Sya’ban 30 hari.

4 Abdullah Ibn Isma’il al-Bukhari, al- Jâmi’ al-

للها ىضر - ةملس مأ نع نحمرلا دبع نب ةمركع نع ىفيص

Shahîh al-Mukhtashar , (Beirut: Dar Ibn Kasir, 1987), Jil. II, 671-674. Muslim Ibn al-Hajjâj, al- Jâmi’ al-Shahîh,

هئاسن نم لىآ - ملسو هيلع للها ىلص - بىنلا نأ - اهنع

(Beirut: Dar Ihya’ al-Turas, T.Th.), Jil. II, 759. Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, (Kairo: Muassasah Qurtûbah,

T.Th), Jil. 2, 63, 145. Malik Ibn Anas, Muwaththa’ al- Imâm Mâlik ma’a Kitâb al-Ta’lîq al-Mumajjid li al-Kanawî,

(Damaskus: Dar al-Qalam, 1991), Cet. I, Jil. II, 154.

Sulaymân Ibn al- Asy’as Abu Dâwud, Sunan Abî Dâwud,

(T.Tm: Dâr al-Fikr, T.Th), Jil. 1, 711. Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, (Beirut: Dar al- Ma’rifah, 1420 H), Cet. V, Jil. 4, 440. Muhammad Ibn

5 Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, ‘Îsa al-Tirmidzî, al- Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Timidzî,

…, Jil. 4, 442.

(Beirut: Dar Ihya’ al-Turas, T.Th.), Jil. 3, 72. Abdullah 6 Abdullah Ibn Isma’il al-Bukhari, al- Jâmi’ al- Ibn Abdurrahman Al-Dârimî, Sunan al-Dârimî, (Beirut:

Shahîh al-Mukhtashar ,…, Jil. II, 671-674 Dar al-Kitab al- ‘Arabiy, 1407 H), Jil. 2, 6.

7 Ibid.

Informasi dari Abû ‘Âshim, dari Ibn Jurayj, dari

Yahya ibn Abdullah ibn Shayfiy, dari ‘Ikrimah ibn

Abdurrahman, dari Ummu Salamah Ra, Nabi Saw

pernah berpisah ranjang (îylâ’) dengan istri-istinya Informasi dari Abdullah, dari Ahmad ibn Hanbal, (karena menuntut perbaikan ekonomi) selama 1 dari Hasan, dari Abu Lahî’ah, dari Abû al-Zubayr bulan, setelah 29 hari, Rasulullah kembali kepada bertanya kepada Jâbir apakah dia pernah mendengan istri-istrinya, kemudian beliau diingatkan bahwa Rasulullah Saw bersabda; “Janganlah kalian sumpahnya adalah 1 bulan, kemudian Rasulullah berpuasa sampai kalian melihat hilal, jika

menanaggapi; “sesungguhnya bulan itu 29 hari” pandangan kalian terhalang (melemah) maka genapkanlah (bulan Sya’ban) 30 hari”, Jâbir

نع عفان نع بويأ نع ليعاسمإ انثدح برح نب يرهز نيثدحو menambahkan bahwa Nabi Saw pernah berpisah و هيلع للها ىلص للها لوسر لاق لاق هنع للها يضر رمع نبا ranjang dari istri-istrinya selama sebulan dan kembali

setelah 29 hari dan berkata bahwa bulan itu 29 hari.

Informasi dari Zuhayr ibn Harb, dari Ayûb, dari - بىنلا نع - امهنع للها ىضر - رمع نبا عسم هنأ ورمع نب

Nâfi’, dari Ibn ‘Umar Ra, Rasulullah Saw.

لاو بتكن لا ، ٌةيمأ ٌةمأ انإ « لاق هنأ - ملسو هيلع للها ىلص

bersabda: “Sesungguhnya bulan (qamariyyah) 29 hari, jangan kalian berpuasa sampai kalian

melihatnya (hilal) dan jangan kalian berbuka sampai

11 melihatnya, jika pendangan kalian terhalang maka

genapkanlah bulan tersebut”. Informasi dari Adam, dari Syu’bah, dari al-Aswad ibn Qays, dari Sa’îd ibn ‘Amr bahwa dia mendengar

Ibn ‘Umar Ra. bahwa Nabi Saw bersabda;

باهش نبا نع دعس نب ميهاربإ انبرخأ يىيح نب يىيح انثد ح “sesungguhnya kita adalah ummat (komunitas) لاق لاق هنع للها يضر ةريره بيأ نع بيسلما نب ديعس نع ummiyah (buta huruf), kita tidak menulis dan

berhitung, bulan itu begini dan begini”, maksudnya

اوموصف للالها متيأر اذإ : ملس و هيلع للها ىلص للها لوسر terkadang 29 terkadang 30 hari.

Informasi dari Yahya ibn Yahya, dari Ibrâhîm ibn

Sa’îd, dari Ibn Syihâb, dari Sa’îd ibn al-Musayyab,

نب دوسلأا نع نايفس انثدح لاق - قرزلأا نىعي - قاحسإو

dari Abû Hurayrah Ra, Rasulullah Saw. bersabda: “Jika kalian melihatnya (hilal) maka berpuasalah

للها ىلص - بىنلا نع رمع نبا نع ورمع نب ديعس نع سيق

dan jika kalian melihatnya (kembali) maka رهشلا بسنح لاو بتكن لا ٌةيمأ ٌةمأ انإ « لاق - berbukalah, dna jika pandangan kalian terhalang ملسو هيلع maka berp uasalah 30 hari.”

12 ةثلاثلا فى همابهإ سبحو تارم ثلاث هيدي قبطو قاح سإ يربزلا وبأ انث ةعيله نب انث نسح انث بيأ نيثدح للها دبع انثدح Informasi dari Abdullah, dari Ahmad ibn Hanbal,

ملس و هيلع للها ىلص للها لوسر تعسم له ارباج تلأس لاق dari Abdurrahman, dari Sufyân, dari Ishâq (al- اوتمأف مكيلع يفخ نإف للالها اورت تىح اوموصت لا : لوقي Azraq), dari Sufyân, dari al-Aswad ibn Qays, dari

Sa’îd ibn ‘Amr, dari Ibn ‘Umar Ra, Nabi Saw

10 Ahmad Ibn Hanbal, al- Musnad …, Jil. III, 341. Al- Arna’uth menilai sanad hadis ini dha’îf dan derajatnya menjadi hasan li ghayrihi.

11 Abdullah Ibn Isma’il al-Bukhari, al- Jâmi’ al- 8 Muslim Ibn al-Hajjâj, al- Jâmi’ al-Shahîh, …, Jil.

Shahîh al-Mukhtashar ,…, Jil. II, 671-674. Sulaymân Ibn II, 762.

al- Asy’as Abu Dâwud, Sunan Abî Dâwud …, Jil. 1, 709. 9 Ibid. Ahmad Ibn Hanbal, al- Musnad …, Jil. II,

Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, …, Jil. 4, 263. Ahm

ad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, …,

Jil. 4, 442. 12 Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, Jil. II, 252.

bersabda; “sesungguhnya kita adalah ummat

ummiyah (umat yang buta huruf) kita tidak menulis Jika Hilal Terlihat Pada Siang Hari

dan berhitung, bulan itu begini, begini, dan begini”. Ishâq menjelaskan bahwa Nabi Saw memperagakan

نع رشب بيأ نع ةبعش انث رفعج نب دممح انث بيأ نيثدح للها دبع انثدح dengan mengembangkan kesepuluh jarinya hingga 3

ملس و هيلع للها ىلص بينلا باحصأ نم هتمومع نع سنأ نب يرمع بيأ kali dan melipat ibu jarinya pada peragaan yang

ketiga. هوأر منهإ اودهشف ملس و هيلع للها ىلص بينلا لىإ بكر ءاج هنأ :

Cukupnya Rukyat Hilal Oleh Beberapa

Orang.

رماع نب ديعس نيثدح لاق يقرودلا ميهاربإ نب بوقعي انثدح Informasi dari Abdullah, dari Ahmad ibn Hanbal,

dari Muhammad ibn Ja’far, dari Syu’bah, dari Abû

بينلا دنع اودهش هل ةمومع نا : سنأ نع ةداتق نع ةبعش نع Basyar, dari Abû ‘Umayr ibn Anas, dari اورطفي نا سانلا رمأف للالها ةيؤر ىلع ملس و هيلع للها ىلص kebanyakan Shahabat Nabi Saw memberitahukan

bahwa seseorang datang kepada Nabi Saw dan

13 دغلا نم مهديع لىإ اوجريخ ناو bersaksi bahwa pada hari sebelumnya telah melihat

Informasi dari Ya’qûb ibn Ibrâhîm al-Dawraqiy, dari hilal, kemudian Nabi Saw memerintahkan untuk Sa’îd ibn ‘Âmir, dari Syu’bah, dari Qatâdah, dari mengakhiri puasa dan berhari raya esok harinya.

Anas berkata bahwa mayoritas Shahabat bersaksi Syu’bah menambahkan bahwa dia melihat kejadian kepada Nabi Saw telah melihat hilal, kemudian tersebut pada siang hari. beliau menyuruh untuk mengakhiri bulan Ramadhan

dan berhari raya esok harinya.

Setiap Wilayah Memiliki Rukyatnya

لااق ليعا Sendiri سمإ نب دممحو ىدولأا للها دبع نب ورمع انثدح لاق ( رجح نباو ةبيتقو بويأ نب يىيحو يىيح نب يىيح انثدح

للها ىلص - بىنلا لىإ بىارعأ ءاج لاق سابع نبا نع ةمركع نع مأ نأ : بيرك نع ) ةلمرح بيأ نبا وهو ( دممح نع ) رفعج

لا نأ دهشتأ « لاقف .ةليللا للالها ترصبأ لاقف - ملسو هيلع

Informasi dari ‘Amr ibn Abdullah al-Awda dan Muhammad ibn Ismâ’îl, dari Abû Usâmah, dari

Zâidah ibn Qudâmah, dari Sammâk ibn Harb, dari

‘Ikrimah, dari Ibn ‘Abbas Ra beliau bercerita bahwa orang Arab Baduy mendatangai Nabi Saw dan

melaporkan bahwa dia telihat melihat hilal pada malam sebelumnya, kemudian Nabi Saw bertanya;

“apakah kamu bersaksi bahwa tiada sembahan

selain Allah dan Muhammad adalah Utusan- Nya?”,

dia menjawab; “iya”, kemudian Nabi Saw berkata;

“berdirilah Bilâl, umumkan kepada masyarakat untuk berpuasa besok”

15 Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad …, Jil. V, 58. 13 Ahmad Ibn Hanbal, al- Musnad …, Jil. III,

Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, …, Jil. 3, 279, Al- Arna’uth menilai hadis ini shahîh li ghayrihi.

14 Ahmad Ibn Syu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- 16 Muslim Ibn al-Hajjâj, al- Jâmi’ al-Shahîh, …, Nasa’î, …, Jil. 4, 437. Muhammad Ibn ‘Îsa al-Tirmidzî,

Jil. II, 765. Ahmad Ibn Hanbal, al-Musnad, Jil. I, 306. al- Jâmi’ al-Shahîh Sunan al-Timidzî, …, Jil. 3, 74. Sulaymân

Ahmad Ibn S yu’ayb al-Nasa’i, Sunan al- Nasa’î, …, Jil. 4, Ibn al- Asy’as Abu Dâwud, Sunan Abî Dâwud, …, Jil. 1,

436. Muhammad Ibn ‘Îsa al-Tirmidzî, al- Jâmi’ al-Shahîh 711, Al-Albânî menilai hadis ini dha’îf.

Sunan al-Timidzî , …, Jil. 3, 76.

Informasi dari Yahya ibn Yahya dan Yahya ibn telah memasuki tanggal 1. Namun demikian, Ayyûb dan Qutaybah dan Ibn Hajar, (dalam tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang

informasi lain dari Ismâ’îl Ibn Ja’far), dari waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Muhammad Ibn Abî Qutaybah, dari Karîb

Matahari terlalu pendek, maka menceritakan; “Ummu al-Fadhl bint al-Hâris secara mengutusku ke Syâm untuk menemui Mu’âwiyah, ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena sampai di Syâm dan selesai dengan segala urusan atas iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram perintahnya, aku mandapati awal Ramadhan (di dibandingkan dengan

"cahaya langit" Syâm) setelah melihat hilal pada malam jum’at, sekitarnya. Hilal dapat terlihat tanpa alat bantu

kemudian kembali ke Madinah pada akhir bulan. jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Kemudian Abdullah ibn ‘Abbâs Ra bertanya

Bulan-Matahari sebesar 7 derajat. 17 kepadaku tentang hilal; “kapan kalian melihat

hilal?” aku menjawab; “malam jum’at”, kemudian Hisab secara harfiah adalah perhitungan. ditanya lagi; “(benarkah) kamu melihatnya?”, aku Dalam dunia Islam istilah hisab sering

menjawab; “iya benar, dan yang lain juga melihatnya digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk kemudian memulai puasa (Ramadhan) begitu juga memperkirakan posisi Matahari dan bulan

dengan Mu’âwiyah”, kemudian Ibn ‘Abbas berkata; terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi “tetapi kami melihatnya pada hari sabtu, dan kami penting karena menjadi patokan umat Islam

tidak memulai puasa sampai kami menggenapkan dalam menentukan masuknya waktu salat. (Sya’ban) 30 hari atau kami melihatnya”, aku

tanya; “tidak cukupkah dengan rukyat dan awal Sementara posisi bulan diperkirakan untuk

ber

puasa Mu’âwiyah (masyarakat Syâm)?” beliau mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda menjawab; “tidak, beginilah Rasulullah Saw masuknya periode bulan baru dalam kalender mengajarkan kami”.

Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim

REALITA HISAB DAN RUKYAT DI mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta

INDONESIA

awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Rukyat atau dalam bahasa aslinya

Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 (bahasa arab) dimaknai dengan melihat adalah

Dzulhijjah).

salah satu cara atau metode untuk menentukan Dalam Al-Qur'an surat Yunus (10) ayat

awal dan akhirnya waktu ibadah tertentu

5 dikatakan bahwa Allah memang sengaja seperti umrah, haji, shalat, dan puasa. Metode

menjadikan Matahari dan bulan sebagai alat rukyat di masyarakat umum Indonesia lebih

menghitung tahun dan perhitungan lainnya. dikenal ketika penentuan awal dan akhir puasa

Juga dalam Surat Ar-Rahman (55) ayat 5 ramadhan.

disebutkan bahwa Matahari dan bulan beredar Dalam beberapa pembahasan modern,

menurut perhitungan. Hal ini adalah salah satu rukyat

pokok pembahasan di dalam bidang astronomi mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan

dan perbintangan. Karena ibadah-ibadah bulan sabit yang pertama kali tampak setelah

dalam Islam terkait langsung dengan posisi terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan

benda-benda langit (khususnya Matahari dan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu

bulan) maka sejak awal peradaban Islam optik seperti teleskop. Secara umum, aktivitas

menaruh perhatian besar terhadap astronomi. rukyat dilakukan pada saat menjelang

Astronom muslim ternama yang telah terbenamnya Matahari pertama kali setelah

mengembangkan metode hisab modern adalah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di

Al Biruni (973-1048 M), Ibnu Tariq, Al ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah

Khawarizmi, Al Batani, dan Habash. terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat,

maka pada petang (Maghrib) waktu setempat

17 Wikipedia.org/Hisab dan Rukyat//. Diakses pada 7 Oktober 2013 08.00 WIB

Secara umum, penentuan bulan puasa mencolok dari komunitas Islam lainnya dalam dilakukan dengan beberapa teori seperti wujûd memulai bulan puasa. al-hilâl , imkanur rukyat, dan rukyat global.

Dalam sejarahnya, Muhammadiyyah Wujûd al-hilâl adalah kriteria penentuan awal

telah melalui perjalanan yang sangat panjang bulan

dalam menetapkan metode yang diterapkan menggunakan dua prinsip: Ijtima’ (konjungsi) saat ini. Setelah melalui beberapa kali sidang telah terjadi sebelum Matahari terbenam dan musyawarah, berdasrkan Munas Tarjih ke (ijtima' qabl al-ghurûb), dan Bulan terbenam

26 di Padang tahun 2003, Muhammadiyyah setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); menilai bahwa Hisab mempunyai fungsi dan maka pada petang hari tersebut dinyatakan kedudukan yang sama dengan rukyat sebagai sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa pedoman penetapan awal bulan Ramadan, melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Syawwal dan Zulhijjah. Selain itu, Hisab yang Bulan saat Matahari terbenam. Sedangkan

digunakan oleh Majelis Tarjih dan Imkân al- Ru’yat adalah kriteria penentuan awal Pengembangan Pemikiran Islam (sekarang bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan Majelis Tarjih dan Tajdid) PP Muhammadiyah berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri ialah Hisab Hakiki dengan kriteria Wujûd al- Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Hilâl . Tambahan lagi, Mathla’ yang digunakan Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan adalah mathla’ yang didasarkan pada Wilâyat al-

dipakai secara resmi untuk penentuan awal 19 Hukm (Indonesia). bulan Hijriyah pada Kalender Resmi

Dalam penerapannya, Muhammadiyah Pemerintah. Sedangkan Rukyat Global adalah menggunakan hisab saja untuk menentukan kriteria penentuan awal bulan (kalender) awal bukan qamariah, termasuk Ramadan, Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika Syawal, dan Zulhijah. Hal ini didasarkan pada satu penduduk negeri melihat hilal, maka semangat Putusan Tarjih Wiradesa 1972. penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti Penggunaan hisab lebih praktis karena dapat luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) menentukan tanggal jauh hari sebelumnya dan

meski yang lain mungkin belum melihatnya. 18 dapat menentukan hari depan secara lebih Di Indonesia, ketiga metode dasar

pasti, sehingga persiapan-persiapan dapat tersebut digunakan oleh beberapa Ormas dilakukan secara lebih tepat. Selain sebagai berbeda dan berkomitmen dengan keyakinan pencerminan kepercayaan Muhammadiyah metodenya. Muhammadiyyah yang dikenal terhadap ilmu pengetahuan, Muhammadiyyah kental dengan penggunaan ilmu Hisab-nya juga menilai bahwa hisab adalah metode yang secara konsisten meyakini metode wujudul hilal akurat dan merupakan bentuk integrasi konsep

dengan perhitungan matematis adalah bentuk 20 tradisional Islam dengan kemajuan teknologi. rukyat hilal bil ‘ilmi dan lebih akurat.

Bagi Muhammadiyyah, metode hisab Sedangkan NU memiliki kriteria tersendiri yang saat ini telah menggunakan komputer dengan rukyat bil fi’li teori istikmâl yang memiliki tingkat presisi dan akurasi yang diyakini. Ada juga komunitas peribadatan tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang tradisional seperti Tarekat Syatthariyyah yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali hanya menentukan dengan rukyat dengan mata digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah sampai terlihat tanpa teori istikmâl dan bantuan satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtima ’ alat apapun sehingga sering terjadi perbedaan

19 ` http://kediri.muhammadiyah.or.id/artikel- 488-detail-awal-bulan-versi-

uhammadiyah.html, diakses pada 10 Oktober 2016, 13.35 WIB

18 Ibid.

20 Ibid.

terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi Rukyat adalah metode ilmiah. Rukyat berada dalam posisi sebidang atau disebut pula atau

pengamatan/penelitian/observasi konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terhadap benda-benda langit melahirkan ilmu terjadi pada saat matahari dan bulan berada di hisab. Tanpa rukyat tidak akan ada ilmu hisab. posisi bujur langit yang sama jika diamati dari Sebagai konsekwensi dari prinsip ta’abbudiy, bumi. Ijtimâ’ terjadi 29,531 hari sekali, atau

NU tetap menyelenggarakan rukyatul hilal bil disebut pula satu periode sinodik. 21 fi’li di lapangan, betapa pun menurut hisab

hilal masih di bawah ufuk atau di atas ufuk tapi Muhammadiyyah, NU juga telah melewati ghairu imkanir rukyat yang menurut rentetan musyawarah sejak beberapa dekade pengalaman, hilal tidak akan kelihatan. Hal silam. NU menilai bahwa penentuan awal demikian ini dilakukan agar pengambilan bulan qamariyah, khususnya awal bulan keputusan istikmal itu tetap didasarkan pada Ramadlan, Syawal, dan Dzulhijjah didasarkan sistem rukyat di lapangan yang tidak berhasil pada sistem rukyat sedang hisab sebagai melihat hilal, bukan atas dasar hisab. Rukyat pendukung. Bagi NU, rukyat adalah melihat yang diterima sebagai dasar adalah hasil rukyat dan mengamati hilal secara langsung di di Indonesia (bukan rukyat global) dengan lapangan pada hari ke 29 (malam ke 30) dari wawasan satu wilayah hukum NKRI. Sehingga bulan yang sedang berjalan; apabila ketika itu apabila salah satu tempat di Indonesia dapat hilal dapat terlihat, maka pada malam itu menyaksikan hilal, maka hasil rukyat demikian dimulai tanggal 1 bagi bulan baru atas dasar ini menjadi dasar itsbât al- âm yang berlaku bagi rukyatulhailal; tetapi apabila tidak berhasil umat Islam di seluruh Indonesia. melihat hilal, maka malam itu tanggal 30 bulan

Tidak jauh

berebeda

dengan

Untuk mewujudkan rukyat yang yang sedang berjalan dan kemudian malam berkualitas, maka NU menggunakan ilmu berikutnya dimulai tanggal 1 bagi bulan baru hisab dan menerima kriteria imkân al-rukyah

atas dasar istikmâl. 22 sebagai pendukung proses pelaksanaan rukyat. Bagi NU, Pengamatan terhadap benda- Hisab sebagai pendukung rukyat. Bukan

benda langit termasuk bulan adalah bagian dari sebagai dasar penentuan awal bulan qamariyah, melaksanakan perintah untuk memikirkan khususnya awal bulan Ramadlan, Syawal, dan ciptaan Allah agar lebih dalam mengetahui Dzulhijjah karena ia sebagai ilmu yang kemahabesaran Allah, sehingga memperkuat dihasilkan oleh rukyat. Untuk mendukung iman. Rukyat atau pengamatan hilal akan proses pelaksanaan rukyat, maka NU memilih menambah kekuatan iman. Pengamatan metode yang tingkat akurasinya tinggi agar terhadap benda-benda langit termasuk bulan memperoleh hasil yang berkualitas. Dalam adalah bagian dari melaksanakan perintah konteks ini, NU pun menerima kriteria untuk memikirkan ciptaan Allah agar lebih imkanur rukyat. dalam mengetahui kemahabesaran Allah,

Kriteria imkân al-rukyah hanyalah sebagai sehingga

Rukyat instrumen untuk menolak laporan adanya mempunyai nilai ibadah jika digunakan untuk rukyatul hilal, sedangkan para ahli hisab telah penentuan waktu ibadah seperti puasa , ‘id, bersepakat, bahwa hilal masih di bawah ufuq gerhana, dan lain-lain.

memperkuat

iman.

atau di atas ufuq tapi ghairu imkân al-rukyah. Jadi kriteria imkân al-rukyah tidak digunakan untuk menentukan awal bulan qamariyah.

21 Ibid.

Jelasnya apabila menurut hitungan hisab

bahwa hilal sudah imkân al-rukyah, tetapi

Perspektif NU_nuonline.com, diakses pada 10 Oktober 2016, 14.00 WIB.

kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil kenyataan di lapangan hilal tidak berhasil

tertutup. Dengan akurasi perhitungan hisab, berikut kriteria imkân al-rukyah bersifat tidak ada celah untuk meragukan posisi hilal ta’aqquliy sebagai sarana untuk mendukung karena hasil perhitungan bisa saja bersifat eksak proses penyelenggaraan rukyat.

(pasti) sedangkan metode rukyat langsung bisa Disamping itu, ada juga metode rukyat

saja dikategorikan sebagai zhannî (perkiraan). global yang diperkenalkan oleh Hizbut Tahri Namun demikian, banyak kalangan konservatif Indonesia (HTI) yaitu ketetapan hilal cukup Islam yang menentang bahkan menilai bahwa dengan penglihatan satu atau beberapa orang. penggunaan metode hisab dan astronomi Hal ini didasari dari hadis yang bercerita adalah sebuah kejahatan syari’ah (bâthil) dan tentang seorang sahabat yang bersaksi dan tidak diterima puasanya. bersumpah bahwa dia telah melihat hilal dan

penglihatannya disetujui untuk dijadikan FIKIH HADIS pedoman bersama. Bagi HTI, jika di belahan Rukyat Hilal Klasik

dunia manapun sudah ada yang melihat dan Jika dilihat dari zhâhir teks hadis, maka bersaksi telah melihat hilal, maka ditetapkan secara jelas yang diajarkan Rasulullah adalah awal dan akhir bulan puasa.

dengan melihat hilal langsung dengan mata Bagi komunitas Tarekat, mereka dan jika meragukan (karena tertutup awan atau memiliki metode tersendiri yang terlihat sedikit masalah lainnya) maka genapkanlah bilangan berbeda dengan metode lain tetapi bulan Sya’ban menjadi 30 hari atau menghasilkan perbedaan pelaksanaan ibadah diperkirakan (faqdurû lahu). Pemahaman puasa waktu yang cukup mencolok. Di tekstual ini senada dengan istilah hisab ‘urfi Sumatera Barat terkenal dua aliran Tarekat klasik yang menghitung bulan dengan hitungan yaitu Naqsyabandiyyah dan Syatthariyyah. bulan ganjil dan genap, jika ganjil maka 30 hari Kedua alairan tersebut sering kali berbeda dan jika genap maka 29 hari, dengan demikian, sekitar 2 hari dari waktu awal dan akhir bulan bulan Ramadhan sejatinya bejumlah 30 hari. puasa yang ditetapkan Pemerintah Indonesia.

Adala hal yang maklum bahwa pada Naqsyabandiyyah 2 hari labih awal sedangkan zaman Rasulullah Saw belum ada alat-alat Syatthariyyah 2 hari lebih akhir. Keduanya pembantu penglihatan jauh yang canggih dan mengaku memiliki metode penentuan awal ilmu perhitungan yang mapan dan ilmu dan akhir bulan masing-masing. Salah satunya perbintangan yang luas. Rukyat yang dilakukan Syatthariyyah di daerah Pariaman, Agam, dan Nabi adalah rukyat dengan mata kepala dan Sijunjung. Aliran ini memakai metode maliek tanpa bantuan alat apapun. Memang tidak bulan , yaitu rukyat hilal harus dilakukan dengan digunakan ilmu Hisab yang berkembang mata telanjang tanpa bantuan alat apapun. seperti ini, tetapi Nabi Saw mengajarkan di Aliran ini juga mengaku memiliki metode beberapa kesempatan bahwa bilangan bulan hisab tersendiri untuk menghitung waktu Ramadhan adalah 29 hari melalui indikator

melakukan rukyat, bukan untuk rukyat hilal. 23 gerakan tangan dan pernyataan langsung, Metode hisab yang muncul belakangan

namun terkadang jumlahnya 30 hari ketika dengan segudang kelebihan dan akurasi yang beliau memberi pilihan jika pandangan terhalang karena cuaca. Metode rukyat yang

23 Adlan Sanur Tarihoran, Ru’yatul Hilal

diterapkan pada masa Rasulullah secara umum

Jama’ah Tareqat Syatthariyah di Sumatera Barat, (Bukittinggi, P3M STAIN Bukittinggi, 2012), 93 Jama’ah Tareqat Syatthariyah di Sumatera Barat, (Bukittinggi, P3M STAIN Bukittinggi, 2012), 93

mengindikasikan bahwa makna syahida dalam Selain itu, rukyat hilal untuk penentuan

ayat ini bisa saja masih bersifat umum ( ‘âm) awal dan akhir bulan dilakukan berdasarkan dan hadis-hadis tentang rukyat datang selain daerah atau (wilayat al-hukmi) masing-masing. sebagai sebagai bayân taqrîr, tetapi juga sebagai Rukyat global sulit untuk dipraktekkan jika bayân mujmal yang merinci tata cara syahadat al- berdasar kepada Hadis yang telah disebutkan syahr baik dengan rukyat atau nazhr. di atas terkait perbedaan puas a Mu’awiyah di

Kata Ra’a, Nazhara, dan Bashara, Syiria dengan Ibn ‘Abbas di Arab. Dalam ketiganya dapat diartikan dengan melihat.

Hadis lain juga dijelaskan bahwa cukupnya Tetapi sejatinya memiliki perbedaan kecil yang rukyat hilal oleh sedikitnya dua orang yang dapat memberikan dampak yang realtif besar. tersumpah. Untuk itu, dapat dihimpun korelasi Seperti yang terlihat pada ayat-ayat di bawah bahwa setiap Negara harusnya memiliki ini: rukyatnya masing-masing dan dalam satu

Negara harus memiliki lebih dari satu pelaku

Apakah kamu (Muhammad) tidak melihat ketika rukyat hilal tersumpah, tidak mengikuti Negara Ibrahim berhaji... (al-Baqarah: 258)

tertentu seperti Kerajaan Arab Saudi dan

lainnya. Rukyat yang dimiliki setiap daerah bisa

Ya Rabb-ku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana saja berdasarkan aksi langsung ( fi’liy) atau hasil Engkau menghidupkan yang mati... (al-Baqarah: pemikiran metod ologis (‘ilmiy).

Antara Syahida, Ra’a, Nazhara, dan

...lihatlah (Uzayr) kepada makanan dan

Bashara

munimanmu... (al-Baqarah: 259) Keempat kata syahida (menyaksikan), ra’a

(memandang), nazhara (melihat), dan bashara

Dan dalam diri kalian (terdapat pelajaran), apakah (memperhatikan) adalah kata-kata yang biasa kalian tidak melihatnya (al-Dzâriyât: 21)

digunakan dalam nash untuk menjelaskan

tentang melihat. Kata syahida yang sering Pada surat al-Baqarah ayat 258, yang dibahasa Indonesiakan dengan menyaksikan merupakan rentetan kisah Nabi Ibrahim yang memiliki makna yang luas. Kata tersebut bisa diceritakan kepada Nabi Muhammad, saja berarti mempersaksikan. Seperti dalam digunakan kata alam taro ( رت ملا) yang artinya

ayat: “tidakkah kamu melihat” dengan khithâb

(lawan bicara) adalah Nabi Muhammad. Jika ...Siapa di antara kalian yang menyaksikan (hilal) dipahami dengan perintah Allah untuk melihat

bulan ramadhan maka (mulailah) berpuasa... (al- dalam konteks sebenarnya, yaitu melihat yang Baqarah: 185) adalah dengan mata, maka hal tersebut

Ayat ini adalah dasar hukum pertama mungkin mustahil karena jarak masa hidup dalam penentuan awal bulan puasa Ramadhan. yang cukup jauh antara kedua Nabi tersebut. Allah menggunakan kata syahida yang berarti

Pada ayat 260, diceritakan bahwa Nabi mennyaksikan. Dengan demikian ayat di atas Ibrahim minta diperlihatkan kepada Allah

dapat mengandung makna menyaksikan hilal perihal menghidupkan yang mati. Dalam hal (dengan penglihatan mata), atau bersaksi ini digunakan dasar kata yang sama dengan bahwa

atau pola kata perintah/permintaan ( fi’l amr) mempersaksikan bahwa hilal tersebut sudah “ariniy” yang artinya “perlihatkan kepadaku”.

hilal telah

terlihat,

Allah tidak langsung mengabulkannya dengan diartikan dengan “tidakkah kalian melihatnya”. satu keajaiban mata manusia, tetapi Berbeda dengan konteks ayat-ayat sebelumnya memperlihatkannya dengan prosesi, yang di atas, pada ayat 21 surat al-Dzâriyât dalam kisah ini Nabi Ibrahim diperintahkan konteksnya adalah peringatan atau informasi untuk menyebar empat potongan-potongan bahwa terdapat banyak pelajaran di bumi burung mati dengan jarak yang juah yaitu di (ardh) dan dalam diri manusia, bahkan pada puncak-puncak gunung, kemudian Allah masa sekarang, yang dapat dilihat langsung memerintahkan untuk memanggil keempat dengan mata untuk dipelajari. Hal ini potongan burung tersebut dan kemudian akan mengindikasikan bahwa makna melihat dalam mendatangi Nabi Ibrahim. Jika dilihat dengan kata bashara mirip dengan kata nazhara yang seksama kisah tersebut, Allah tidak mengharuskan kontak mata dalam mengambil memperlihatkan secara ajaib di depan mata pelajaran. Meskipun terkadang bashîrah Nabi Ibrahim bagaimana Allah menghidupkan dipahami sebagai penglihatan (seperti dalam yang mati. Hal ini bisa saja dipahami sebagai mimpi), tetap saja seakan melihat dengan mata. konsekunsi dari permintaan dengan kata dasar

Pengunaan kata ra’a dalam hadis ra’a yang memberikan kesan makna lebih menimbulkan aplikasi konsep multitafsir yang kepada melihat dengan pengetahuan bahkan melahirkan makna ra’a sebagai melihat yang tidak dengan kontak mata.

tidak hanya menggunakan mata melainkan bisa Berbeda dengan ayat 259 dalam surat al- 24 juga dengan hati dan pikiran. Berbeda

Baqarah, ketika Allah juga memperlihatkan dengan nazhara yang secara harfiyah juga keajaiban penghidupan yang mati kepada Nabi memiliki arti melihat atau memandang, nazhara ‘Uzayr. Dalam ayat tersebut Allah menjelaskan hanya diperuntukkan melihat menggunakan dengan kata unzhur yang merpukan pola kata mata dan penglihatan (bashar). Begitu juga perintah dari kata nazhara yang artinya juga dengan bashara yang melihat dengan mata melihat. Allah mengulang hingga beberapa kali 25 kepala. Maka makna nazhariyyah (teori) dan

setiap kali memperlihatkan bukti-bukti bashîrah (pandangan) adalah hasil ekstraksi kebesaran Allah yang dalam ayat tersebut penglihatan mata dalam bentuk hasil penelitian. adalah proses penghidupan kembali keledai Sedangkan ra’yu yang juga kerap diartikan yang telah mati di depan mata kepala Nabi pandangan dan pendapat tidak mengharuskan ‘Uzayr tersebut. Dengan penggunaan kata penggunaan mata kepala dalam menghasilkan

nazhara pada ayat tersebut sedangkan ayat suatu pemikiran dalam bentuk teorinya. sebelumnya dan setelahnya digunakan kata ra’a Dengan demikian, penggunaan kata ra’a dalam yang juga dalam konteks memperlihatkan hadis rukyat hilal mengindikasikan bahwa penghidupan yang mati, maka secara tersirat menentukan bulan tidak hanya dengan mata terdapat perbedaan yang cukup mendasar di kepala tetapi bisa juga dengan ilmu antara dua kata “melihat” tersebut. dapat pengetahuan berkembang dan keduanya dinilai dipahami bahwa nazhara adalah melihat yang setara. harus melibatkan penglihatan mata kepala.

Kata bashara, lebih banyak digunakan

Makna Ummat Ummiy

untuk penegas dalam beberapa ayat Alquran. M enanggapi pernyataan “sesungguhnya salah satu contohnya adalah surat al-Dzâriyât kita adalah kaum yang ummiy, tidak menulis dan ayat 21 di atas yang menerangkan bahwa tidak menghitung ”, huruf lâ dalam hadis tersebut terdapat ayat Allah atau pelajaran di bumi dan adalah lâ al-nâfiyah (peniadaan) yang meskipun di dalam diri manusia, kemudian Allah

24 mengunci dengan kata afalâ tubshirûn yang Fairuz Abadi, al-Qâmûs al-Muhîth, Jil. III, 422

25 Ibid., 25 Ibid.,

sementara karena menjelaskan tentang hâl dari Ghumma yang diartikan sebagai awan khabar inna dan menggunakan dhamîr dari kata mendung manjadi salah satu kendala utama nahnu (kita/kami). Terlebih lagi, dalam teks

dalam pelaksanaan rukyat hilal. Secara hadis tersebut juga disertakan sifat atau 27 etimologi, ghumma berarti tertutup dan gelap.

keadaan kata ummat dengan ummiyyah yang Dalam Hadis, istilah fa in ghumma ‘alykum dapat diartikan dengan komunitas yang tidak secara umum dapat dipahami bahwa jika hilal (pandai) menulis dan berhitung. Dengan tidak terlihat karena kepekatan awan adanya sifat atau keterangan keadaan semacam disebabkan gejala-gejala alam yang biasa itu, dapat dipahami sebagai hal yang terjadi. Dalam Hadis yang senada juga sementara. Hal serupa juga dilakukan Nabi digunakan kata fa in khufiya yang dapat ketika melarang menuliskan hadis. Pernyataan dipahami dengan makna yang serupa dengan tersebut bisa jadi dilontarkan Nabi karena ghumma . Secara tekstual, pernyataan Nabi realita umat Islam saat itu memang belum tersebut adalah syarat untuk menggunakan menguasai ilmu-ilmu terapan dasar seperti langkah alternatif dalam penentuan awal dan membaca dan berhitung. Tambahan lagi, akhir bulan puasa yaitu dengan menggenapkan secara kultural, penduduk Madinah masih jumlah hari dalam satu bulan. sangat tradisional karena kondisi alam yag

Aktifitas melihat bulan dengan mata masih sangat natural dan peradaban mereka baik dengan mata telanjang atau dengan yang belum berkembang layaknya Mekkah bantuan alat selalu bergantung kepada kondisi yang notabene adalah sentra perdagangan alam. Kata ghumma merepresentasikan sabuah

internasional. 26 kondisi alam yang mempengaruhi kegiatan Anak kalimat dalam hadis (sesungguhnya rukyat, bukan penentuan awal dan akhir bulan.

bulan begini dan begini…) tidak serta merta Kata in sebagai adat al-syarth dan fa sebagai menjadi landasan dasar bahwa jika tidak bisa jawab al-syarth pada kata faqdurû lahu adalah satu dengan dilihat dengan mata maka genapkanlah anak kalimat yang menempel kepada kalimat bulan sebelumnya. Hal ini karena beberapa sebelumnya yaitu tentang pelaksnaan rukyat

sebab, diantaranya; (1) Terdapat perbedaan hilal. Penggunaan kata in atau jika, riwayat yang sama-sama dinilai valid dan maqbûl mengindikasikan adanya pilihan dalam bahwa disebutkan jumlah hari adalah 30 dan pelaksanaan satu perintah atau larangan. Maka riwayat lain 29, kemudian al-Bukhârî

jika hilal sudah terlihat dengan aktifitas rukyat mengambil

dengan baik fi’liy atau ‘ilmiy, anak kalimat ini tidak menjelaskan bahwa bulan bisa saja 29 atau 30. harus dilaksanakan dengan catatan bulan (2) Jika hadis ini dinilai sebagai larangan Sya’ban tidak lebih dari 30 hari. istighrâqî (umum) bagi umat Islam maka hal

langkah

tengah

tersebut adalah pembodohan di tubuh umat Makna faqdurû lahu dan faakmilû ‘iddat

Islam sendiri. (3) Dalam menyikapinya dapat Pernyataan Nabi dengan kata “faqdurû

diberlakukan kaedah al- ‘ibratu bi khushûsh al- lahu ” yang dalam bahasa Indonesia dapat sabab lâ bi ‘umûm al-lafzh.

dialihbahasakan

menjadi “maka perkirakanlah/tentukanlah” menjadi indikator bahwa penentuan penanggalan atau dalam hal

ini penentuan awal dan akhir puasa tidak harus

26 Cyrill Glasse, The Concise Encyclopedia of Islam, 27 Muhammad ibn Makram ibn Manzhûr, terjemahan Ghufran A. Mas’udi, (Jakarta: Grafindo

Lisân al- ‘Arb, (Beirut: Dâr al-Shâdir, T.Th.), Cet. I, Jil. Persada, 1999), Cet II, 241.

XII, 441.

dengan teori istikmâl atau penyempurnaan puasa setara dengan rukyat fi’liyyah bilangan bulan sebelumnya menjadi 30 hari.

mengingat penggunaan kata ra’a dalam Meskipun beberapa pendapat mengatakan

seluruh redaksi hadis terkait masalah ini bahwa kata tersebut disinkronkan dengan

dan keterbatasan peradaban umat Islam redaksi hadis yang menyebutkan penggunaan

masa itu.

teori istikmâl, tidak menutup kemungkinan jika

5. Penggunaan ilmu hisab atau rukyat bil redaksi hadis yang mencantumkan “faqdurû

‘ilmi pada isbât Ramadhan bisa saja lahu” dinilai dapat berdiri sendiri dan

ditakwilkan dengan penggunaan ilmu hisab. dilakukan secara langsung seperti yang teraplikasi pada metode wujûd al-hilâl

dengan tafsiran kata ra’a dan bisa juga dikombinasikan dengan rukyat bil fi’li

KESIMPULAN

Dari banyak hadis-hadis rukyat hilal ketika terhalang oleh gejala alam yang menerangkan sekelumit masalah

(ghumma) berdasarkan takwilan kalimat penetapan waktu bulan puasa dan berlebaran,

faqdurû lahu .

dapat disimpulkan kedalam beberapa poin penting sebagai berikut:

1. Hilal (bulan sabit yang pertama muncul) adalah landasan utama pergantian bulan qamariyyah yang dalam hal ini termasuk bulan ramadhan dan syawwal.