Incidence of Allergic Rhinitis with Acute Otitis Media Complication in 5 Years Old Child

  

Kejadian Rinitis Alergi dengan Komplikasi Otitis Media Akut pada

Anak Usia 5 Tahun

Rizqun Nisa

  

Fakultas Kedokteran, Universitas Lampung

Abstrak

  

Rinitis alergi merupakan kelainan pada hidung akibat inflamasi oleh reaksi alergi dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa

gatal dan hidung tersumbat. Disfungsi tuba eustachius dapat terjadi pada rinitis alergi dan menjadi dasar timbulnya otitis

media. Otitis media akut merupakan inflamasi akut telinga tengah yang berhubungan dengan nasofaring melalui tuba

eustachius, berlangsung kurang dari dua bulan. Anak laki-laki, usia sepuluh tahun diantar ke Rumah Sakit Abdul Moeloek

oleh keluarganya dengan keluhan rasa penuh di telinga dan penurunan pendengaran pada kedua telinga sejak satu minggu

yang lalu. Pasien sering bersin-bersin yang hilang timbul sejak empat tahun yang lalu. Keluhan disertai hidung sering gatal,

keluar cairan dari hidung berwarna bening dan encer, serta hidung tersumbat. Keluhan memberat dalam dua minggu

terakhir. Ibu pasien memiliki riwayat asma. Allergic salute (+). Pada pemeriksaan rinoskopi anterior, sekret sedang, encer

dan bening, konka inferior hipertrofi, livide, licin, edema (+). Pada pemeriksaan liang telinga, membran timpani suram dan

tampak kekuningan, intake, refleks cahaya (+), dan retraksi (+). Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada pasien ini

adalah timpanometri dan skin test. Diagnosis pasien ini adalah otitis media efusi et causa rinitis alergi persisten derajat

sedang-berat. Infeksi pada hidung dan tenggorokan dapat menyebabkan gangguan tuba eustachius, lalu menyebabkan

tekanan negatif pada telinga tengah, bermanifestasi sebagai rasa penuh pada telinga. Sumbatan tuba yang terus berlanjut

menyebabkan hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah. Terapi medikamentosa pada kasus ini adalah amoxicillin

3x500mg, pseudoefedrine HCL, cetirizine 1x10mg dan triamsinolone acetonide spray 2x1. Kesimpulannya, penegakkan

diagnosa dan penatalaksanaan telah sesuai dengan evidence based medicine.

  Kata kunci: anak, otitis media, pendengaran, rinitis alergi

Incidence of Allergic Rhinitis with Acute Otitis Media Complication in

  

Abstract

Allergic rhinitis is an inflammatory disorder of the nose due to allergic reactions with symptoms of sneezing, rhinorrhea,

itching and nasal congestion. Eustachian tube dysfunction may occur in allergic rhinitis and became the basis of the

incidence of otitis media. Acute otitis media is an acute inflammation of the middle ear associated with the nasopharynx via

the eustachian tube, less than two months. Boy, age 10, delivered to RS Abdul Moeloek by his family with a sense of

fullness in the ear and hearing loss in both ears since the last week. Patients often sneezes intermittent since 4 years ago. It

accompanied by nasal itching, clear and watery discharge, nasal congestion.

  It’s severe in the last 2 weeks. His mother had

an asthma. Allergic salute (+). On anterior rhinoscopy examination,there is watery secret, hypertrophy inferior konka, livide,

slippery, edema (+). On ear examination, tympanic membrane dingy and looked yellowish, intake, light reflex (+) and

retraction (+). Tympanometry and skin test are recommended for this patient. The diagnosis is otitis media with effusion et

causa allergic rhinitis persistent moderate-to-severe. Infections of the nose and throat can cause eustachian tube and cause

a negative pressure in the middle ear, manifests as a sense of fullness in the ear. Continue tuba blockage cause

hypersecretion of goblet cells in the mucosa of the middle ear. Medical treatment in this case are amoxicillin 3x500mg,

pseudoefedrine HCL, cetirizine 1x10mg and triamsinolone acetonide spray 2x1. Conclusion, the diagnosis and management

is appropiated to evidence-based medicine.

  Keywords: allergic rhinitis, child, hearing, otitis media

Korespondensi: Rizqun Nisa, S.Ked, alamat Jl. Soemantri Brojonegoro Pondok Arbenta Bandar Lampung, HP 082186556505,

e-mail rizqunn@yahoo.com

Pendahuluan on Asthma (WHO-ARIA), rinitis alergi adalah

  Rinitis alergi merupakan suatu penyakit suatu kelainan pada hidung dengan gejala inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat pada pasien atopi yang sebelumnya sudah setelah mukosa hidung terpapar alergen yang 1,2 tersensitasi dengan alergen yang sama, serta diperantarai oleh IgE. Rinitis alergi dapat dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi pada semua golongan umur, terutama terjadi paparan ulangan dengan allergen anak dan dewasa, namun berkurang dengan spesifik tersebut. Menurut World Health bertambahnya usia. Faktor herediter

  

Organization - Allergic Rhinitis and its impact mempengaruhi terjadinya rinitis alergi,

  J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |55

  sedangkan jenis kelamin, golongan etnis dan ras tidak berpengaruh terhadap kejadian rinitis alergi. 3 Rinitis alergi disebabkan oleh allergen, baik allergen inhalan maupun allergen ingestan. Pada anak-anak, sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Kejadian dapat diperberat oleh faktor non-spesifik, seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan yang tinggi.

  Reaksi hipersensitivitas merupakan dasar terjadinya rinitis alergi. Penyakit ini merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi atau reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari Immediate Phase Allergic Reaction, yang berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai satu jam setelahnya dan Late Phase

  Allergic Reaction yang berlangsung dua sampai

  empat jam dengan puncak enam hingga delapan jam setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Histamin merupakan mediator utama yang berperan dalam timbulnya gejala. Histamin merangsang reseptor III pada ujung nervus vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga menyebabkan hipersekresi dan peningkatan permeabilitas kapiler kelenjar mukosa dan sel goblet sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat, terjadi akibat vasodilatasi sinusoid. Gejala hiperaktif responsive hidung terjadi akibat peranan eosinofil dan mediator inflamasi seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosinohilic Derived Protein (EDP), Major

  Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO).

  Menurut WHO-ARIA, rinitis alergi diklasifikasikan sebagai berikut: 4 a. Intermitten: bila gejala kurang dari empat hari/minggu b.

  Persisten: bila gejala lebih dari empat hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.

  Sedangkan berdasarkan berat ringannya penyakit, terbagi atas: 4 a. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktivitas harian, bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, dan hal-hal lain yang mengganggu b.

  Gejala klinis pada rinitis alergi dapat berupa serangan bersin berulang lebih dari lima kali dalam satu kali serangan, rinore yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, serta kadang disertai lakrimasi.

  Gejala spesifik adalah bayangan gelap di daerah bawah mata (allergic shiner), akibat stasis vena sekunder karena obstruksi hidung. Anak sering menggosok-gosok hidung dengan punggung tangan (allergic salute). Kemudian, akan timbul garis melintang di dorsum nasi (allergic crease), serta sering disertai penyakit alergi lainnya seperti asma, urtikaria, atau eksim. Penelitian Lee CH et al menunjukkan bahwa pada rinitis persisten sedang-berat, gejal klinis bersin, rinore dan kongesti akan lebih berat dibandingkan rinitis intermiten ringan, persisten ringan dan intermiten sedang-berat. 5 Pada pasien dengan rinitis alergi persisten sedang-berat, biasanya juga disertai dengan berkurangnya penciuman, karena rinitis alergi kronik dapat mengakibatkan hipertrofi mukosa dan edem, sehingga dapat menghambat rangsang bau mencapai neuroepitel olfaktorius. Reseptor olfaktorius juga menjadi rusak akibat stress oksidatif yang terjadi bersamaan dengan setiap reaksi inflamasi alergi, mengakibatkan berkurangnya reseptor olfaktorius dan terjadi regenerasi epitel olfaktorius. Obstruksi nasal dapat mengakibatkan pasien tidur mendengkur dan dapat menimbulkan terjadinya apnea sementara saat tidur, sedangkan obstruksi dari ostium sinus dapat mengakibatkan sinusitis. Disfungsi tuba eustachius dapat terjadi pada rinitis alergi, hal ini menjadi dasar timbulnya otitis media. 5,6

  Otitis media akut (OMA) merupakan inflamasi akut telinga tengah, yaitu ruang di dalam telinga yang terletak antara membran timpani dengan telinga dalam, serta berhubungan dengan nasofaring melalui tuba eustachius yang berlangsung kurang dari dua bulan. Perjalanan OMA terdiri atas beberapa aspek yaitu efusi telinga tengah yang akan berkembang menjadi pus oleh karena adanya infeksi mikroorganisme, adanya tanda inflamasi akut, serta munculnya gejala otalgia, iritabilitas, dan demam. Otitis media efusi adalah peradangan di telinga tengah dengan pengumpulan cairan di rongga telinga tengah, tidak terdapat tanda infeksi akut, dan tidak ada perforasi. 7,8

Sedang-berat, bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas

  Gejala klinis OMA bergantung pada stadium penyakit serta usia pasien. Pada anak yang sudah dapat berbicara, keluhan utama adalah rasa nyeri di dalam telinga,dengan suhu tubuh yang tinggi. Biasanya, terdapat riwayat batuk pilek sebelumnya. Pada anak yang lebih besar atau pada orang dewasa, selain rasa nyeri, terdapat gangguan pendengaran berupa rasa penuh di telinga atau penurunan pendengaran. Gejala dan tanda otitis media efusi berupa rasa penuh di telinga dan kurang pendengaran. 9 Otitis media akut sering diawali oleh infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) atau alergi, sehingga terjadi kongesti dan edema pada mukosa saluran napas atas, termasuk nasofaring dan tuba eustachius. Tuba eustachius menjadi sempit, sehingga terjadi sumbatan tekanan negatif pada telinga tengah. Bila keadaan demikian berlangsung lama akan menyebabkan refluks dan aspirasi virus atau bakteri dari nasofaring ke dalam telinga tengah melalui tuba eustachius. Mukosa telinga tengah bergantung pada tuba eustachius untuk mengatur proses ventilasi yang berkelanjutan dari nasofaring. Jika terjadi gangguan akibat obstruksi tuba, akan mengaktivasi proses inflamasi kompleks dan terjadi efusi cairan ke dalam telinga tengah. Bila tuba eustachius tersumbat, drainase telinga tengah terganggu, mengalami infeksi serta terjadi akumulasi sekret di telinga tengah, kemudian terjadi proliferasi mikroba patogen pada sekret. Akibat dari infeksi virus saluran pernapasan atas, sitokin dan mediator-mediator inflamasi yang dilepaskan akan menyebabkan disfungsi tuba eustachius. Virus respiratori juga dapat meningkatkan kolonisasi dan adhesi bakteri, sehingga menganggu pertahanan imun pasien terhadap infeksi bakteri. Jika sekret dan pus bertambah banyak dari proses inflamasi lokal, pendengaran dapat terganggu karena membran timpani dan tulang- tulang pendengaran tidak dapat bergerak bebas terhadap getaran. Akumulasi cairan yang terlalu banyak akhirnya dapat merobek membran timpani akibat tekanannya yang meninggi. 10 Menurut penelitian oleh Kreiner, otitis media ditemukan memiliki hubungan dengan rinitis alergi. Otitis media efusi sering terjadi pada anak yang terlahir dari ibu riwayat asma. Adanya rinitis alergi pada pasien meningkatkan resiko terjadinya otitis media secara signifikan. 11 Rahmawati menemukan bahwa rinitis alergi persisten kelompok derajat sedang berat lebih banyak mengalami disfungsi tuba dibandingkan kelompok derajat ringan, dan pasien dengan lama sakit lebih dari 12 bulan mempunyai kecenderungan lebih besar untuk terjadinya disfungsi tuba, karena mukosa hidung menjadi 100% lebih hiperreaktif apabila dipapar ulang alergen spesifiknya. 12 Kasus

  Anak laki-laki, R, usia sepuluh tahun diantar ke Rumah Sakit Abdul Moeloek (RSAM) oleh keluarganya dengan keluhan rasa penuh di telinga dan penurunan pendengaran pada kedua telinga sejak ± satu minggu sebelum masuk rumah sakit. Keluhan ini baru pertama kali dirasakan. Pasien tidak mengeluhadanya nyeri telinga, panas badan maupun keluar cairan dari telinga. Sebelumnya, pasien sering bersin-bersin yang hilang timbul sejak ± empat tahun yang lalu. Keluhan memberat dalam dua minggu terakhir sebelum timbulnya keluhan di telinga. Pasien mengaku hidung sering gatal, keluar cairan dari hidung berwarna bening dan encer, serta hidung tersumbat. Bersin-bersin dirasakan terus-menerus, selama lebih kurang dua jam, setiap serangan lebih dari lima kali dan lebih dari empat hari dalam seminggu. Bersin-bersin didahului oleh hidung yang terasa gatal dan kemudian keluar ingus dengan konsistensi yang encer dari kedua lubang hidung yang berwarna bening, tidak berbau, tidak disertai darah, dan membasahi beberapa helai tissue dan terkadang tersumbat. Keluhan ini lebih sering muncul saat pagi hari setelah bangun tidur, cuaca dingin, dan terkena debu. Saat keluhan mucul, aktivitas pasien menjadi sedikit terganggu terutama saat belajar di sekolah. Pasien tidak memiliki riwayat alergi makanan, gatal-gatal, bentol pada kulit atau kaligata disangkal, sesak napas atau napas berbunyi menciut disangkal, namun ibu pasien memiliki riwayat asma. Ibu pasien mengatakan bahwa setiap flu, pasien berobat ke puskesmas dan diberikan obat, namun saat ini pasien belum mendapatkan pengobatan. Biasanya, keluhan bersin-bersin berkurang jika meminum obat, tetapi kambuh kembali.

  Pasien sering menggosokkan hidungnya keatas dan kebawah (allergic salute +). Ventilasi rumah cukup baik, dengan suhu lingkungan yang sedikit lembab dan sejuk karena tinggal di daerah perkebunan. Pasien memelihara binatang peliharaan dirumah yaitu kucing sebanyak lima ekor. Di rumah, pasien J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |57

  menggunakan karpet yang berbulu dan kasur busa.

  Pemeriksaan fisik pasien didapatkan kesadaran kompos mentis. Tekanan darah 100/70 mmHg, frekuensi nadi 76 x/menit, frekuensi pernapasan 20 x/menit, suhu 36,7ºC. Status generalis pasien didapatkan mulut, leher, jantung, dan paru pasien dalam batas normal. Pada pemeriksaanhidung luar, allergic

  shiners (+). Pada pemeriksaan rinoskopi

  anterior, cavum nasi cukup lapang, sekret sedang, encer dan bening, tidak berbau. Konka inferior hipertrofi, livide, licin, edema (+). Pemeriksaan telinga luar dalam batas normal. Pada pemeriksaan liang telinga, keadaan telinga lapang, warna menyerupai kulit, sekret (-), membran timpani suram dan berwarna kekuningan, intake, refleks cahaya (+), dan retraksi (+). Pemeriksaan faring, tonsil dan laring dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan pada pasien ini adalah timpanometri dan skin test.

  Dari anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang maka pada pasien ini dapat ditegakkan diagnosis yaitu otitis mediaefusiet causa rinitis alergi persisten derajat sedang-berat.

  Pembahasan

  Pada pasien ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari anamnesis, pasien mengeluh rasa penuh di telinga dan penurunan pendengaran sejak dua minggu yang lalu. Keluhan dirasakan setelah pasien mengalami bersin-bersin berulang, hidung gatal, keluar cairan bening dan encer, serta hidung tersumbat, hilang timbul berulang sejak empat tahun yang lalu dan memberat dalam dua minggu terakhir.

  Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis yang sudah dijelaskan sebelumnya, dimana pada pasien ini didapatkan bahwa penyakit yang muncul secara mendadak atau akut yaitu satu minggu setelah keluhan batuk pilek, ditemukannya ada tanda efusi yaitu rasa penuh di telinga dan penurunan pendengaran. Pasien juga menderita bersin-bersin hilang timbul sejak empat tahun yang lalu yang memenuhi kriteria diagnosis rinitis alergi.

  Infeksi pada hidung dan tenggorokan dapat menyebabkan gangguan tuba eustachius yang selanjutnya menyebabkan tekanan negatif pada telinga tengah, bermanifestasi sebagai rasa penuh pada telinga yang dirasakan pasien. Sumbatan tuba yang terus berlanjut menyebabkan hipersekresi sel goblet pada mukosa telinga tengah. Sekret merupakan media pertumbuhan bakteri yang baik, sehingga kemudian timbul proses infeksi pada telinga tengah. Hasil anamnesis menunjukkan proses perjalanan penyakit yang sesuai dengan perjalanan penyakit pada OMA, mulai dari stadium oklusi tuba, stadium hiperemis, stadium supurasi, dan stadium perforasi, namun pada kasus ini masih terbatas pada stadium efusi.

  Stadium perforasi ditandai oleh ruptur membran timpani sehingga sekret berupa nanah dengan jumlah banyak akan mengalir dari telinga tengah ke liang telinga luar. Kadang-kadang pengeluaran sekret bersifat pulsasi (berdenyut). Stadium ini sering disebabkan oleh terlambatnya pemberian antibiotik dan tingginya virulensi kuman. Setelah nanah keluar, anak berubah menjadi lebih tenang, suhu tubuh menurun dan dapat tertidur nyenyak. Jika mebran timpani tetap perforasi dan pengeluaran sekret atau nanah tetap berlangsung melebihi tiga minggu, maka keadaan ini disebut otitis media supuratif subakut. Jika kedua keadaan tersebut tetap berlangsung selama lebih satu setengah sampai dengan dua bulan, maka keadaan itu disebut otitis media supuratif kronik. 9 Berdasarkan klasifikasi rinitis alergi menurut WHO-ARIA, pasien digolongkan pada rinitis alergi persisten karena gejala yang timbul lebih dari empat hari/minggu, sedangkan untuk tingkat berat ringan penyakitnya digolongkan pada derajat sedang- berat, karena keadaan ini mengganggu aktivitas harian, berolahraga, sekolah, belajar, dan hal-hal lain yang dirasakan oleh pasien. Rinitis alergi bersifat kronik dan persisten sehingga dapat menyebabkan perubahan berupa hipertrofi dan hiperplasi epitel mukosa dan dapat menimbulkan komplikasi otitis media, sinusitis, dan polip nasi. Pada rinitis alergi, edema mukosa selain terjadi di kavum nasi juga meluas ke nasofarings dan tuba auditoria sehingga dapat mengganggu pembukaan sinus dan tuba auditoria.

  Dari pemeriksaan fisik, ditemukan bahwa terdapat kelainan pada telinga dan hidung pasien. Pemeriksaan fisik telinga, tampak membran timpani hiperemis dan retraksi. Pada pemeriksaan hidung luar, ditemukan allergic shiner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung dan allergic salute yakni garis horizontal di 1/3 dorsum nasal distal. Pada pemeriksaan rhinoskopi anterior didapatkan konkha inferior dekstra dan sinistra berwarna livide, membesar (hipertrofi) serta mengalami oedem. Ditemukan sekret pada meatus media dekstra dan sinistra berwarna bening, encer, dan volume sedang.

  Pada otitis media efusi, penatalaksanaan yang diberikan berupa antibiotik dan dekongestan. Antihistamin diberikan bila ada tanda rinitis alergi. Miringitomi dan pemasangan grommet bila penyakit menetap lebih dari dua bulan. 9 Sedangkan penanganan terbaik dalam kasus alergi adalah dengan menghindari alergen penyebab. 13 Walaupun secara evidenced

  based, menghindari allergen penyebab pada

  rinitis persisten sedang-berat tidak memiliki makna yang signifikan, tetapi hal ini masih menjadi rekomendasi ARIA. Pada pasien dengan persisten sedang-berat, kemungkinan alergen penyebab sudah multipel, sehingga akan sulit untuk menghindari alergen penyebab. 14 Kutu rumah ditemukan pada kondisi hangat, lembab, dan memakan kulit manusia. Antigen penyebabnya berupa kotoran kutu. Yang dapat dilakukan adalah eliminasi reservoir berupa karpet, hewan, menutupi bantal, dan tempat tidur dengan sarungnya. Bulu kucing harus dihindari dengan cara meletakkan kucing di luar rumah dan membersihkan karpet dan furniture, mandikan kucing dengan air hangat sekali seminggu. 13 Penatalaksanaan untuk pasien ini adalah penatalaksanaan medikamentosa dan non medikamentosa. Medikamentosa yang diberikan bertujuan untuk mengatasi otitis media efusi dan rinitis alergi. Pasien mendapatkan antibiotik amoxicillin 3 x 500mg dan pseudoefedrine HCL 3 x 20 mg , cetirizine 1 x 10mg, serta triamsinolone acetonide spray 2x1. Pasien dianjurkan untuk tetap menjaga kebersihan telinga dan tidak mengorek-ngorek liang telinga, antibiotik harus digunakan sampai habis walaupun gejala sudah hilang. Pasien disarankan untuk menghindari faktor- faktor pencetus seperti allergen (debu, udara dingin) dan menjaga daya tahan tubuh. Pasien dianjurkan untuk melakukan tes alergi untuk mengetahui faktor penyebab rinitis alergi, sehingga penanganan pasien dapat lebih terarah.

  Menurut American Academic of Pediatric (2004), amoksisilin merupakan first-line terapi dengan pemberian 80 mg/kgBB/hari sebagai terapi antibiotik awal selama lima hari. Amoksisilin efektif terhadap Streptococcus

  penumoniae. Jika pasien alergi ringan

  terhadap amoksisilin, dapat diberikan sefalosporin seperti cefdinir. Second-line terapi seperti amoksisilin-klavulanat efektif terhadap

  Haemophilus influenzae

  dan

  Moraxella catarrhalis, termasuk Streptococcus penumoniae. 10 Pasien diberikan cetirizine, merupakan

  antihistamin generasi II yang bekerja secara inhibitor kompetitif pada reseptor H1 sel target. Antihistamin berguna untuk mengatasi gejala pada respon cepat seperti rinore, bersin dan gatal. Selain itu, juga diberikan kortikosteroid spray untuk mengatasi inflamasi.

  Angka kejadian otitis media efusi dengan rinitis alergi >50% dan 21% pasien rinitis alergi menderita otitis media. Tuba auditoria memegang peranan penting sebagai fungsi regulasi tekanan udara di dalam telinga tengah. Mekanisme ini dihubungkan dengan patofisiologi penyebab obstruksi tuba, terutama akibat infek si atau inflamasi dari proses alergi. Rinitis dihubungkan sebagai etiologi otitis media dengan 2 cara yaitu: disfungsi tuba disebabkan oleh reaksi alergi dari mukosa nasal atau adanya fungsi mukosiliar yang terganggu. 8 Penelitian oleh Rambe menemukan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara tipe rinitis alergi intermiten dan persisten dengan disfungsi tuba eustachius. Terdapat 76,7% pasien mengalami gangguan fungsi tuba eustachius, dimana sebagian besar merupakan rinitis alergi persisten. Hal ini terjadi karena sebagian besar pasien membiarkan gejala dan tanda rinitis alerginya tanpa pengobatan yang adekuat sehingga inflamasi pada hidung dan tuba Eustachius terus berlangsung, kemudian tuba Eustachius tidak mampu menyeimbangkan tekanan pada telinga tengah. Kasus rinitis alergi mempunyai risiko gangguan fungsi tuba eustachius tiga kali lebih sering dibanding dengan kasus non rinitis alergi. 15 J Medula Unila|Volume 7|Nomor 1|Januari 2017 |59 Simpulan

  Telah ditegakkan diagnosis otitis media efusi et causa rinitis alergi persisten derajat sedang-berat pada pasien anak laki-laki usia sepuluh tahun berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan penunjang serta telah diberi penatalaksanaan yang sesuai dengan

  7. World health organization. Primary ear and hearing care training resource: advanced level. Geneva: WHO Press. 2006; 14-15.

  Management of persistent allergic rinitis: evidenced based treatment with levocetirizine. Ther Clin Risk Management. 2005; 1(4): 265-71.

  14. Mullol J, Bachert C, Bousquet J.

  906-9.

  13. Mabri RL. Allergic rhinitis. Dalam Cummings CW, editor. Otolaryngology head and neck surgery. Edisi Ke-3. New York: Mosby; 1999.

  Faktor risiko yang mempengaruhi disfungsi tuba eustachius pada penderita rinitis alergi persisten. ORLI. 2011; 41(2): 142-6.

  12. Rahmawati N, Suprihati, Muyassaroh.

  11. Kreiner ME, Chawes BL, Caye-Thomasen P, Bonnelykke K, Bisgaard H. Allergic rhinitis is associated with otitis media with effusion: a birth cohort study. Clin Exp Allergy. 2012; 42(11): 1615 –20.

  10. Kerschner JE. Otitis media. Dalam: Kliegman RM, Behman RE, Jenson HB, Stanton MBD, Zitelli BJ, Divis W. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18. USA: Saunders Elsevier; 2007. hlm 2632-46.

  9. Djaafar ZA, Helmi, Restuti RD. Kelainan telinga tengah. Dalam: Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala dan leher. Edisi ke-6. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2007.

  Eustachian tube dysfunction in allergic rhinitis. Otollaryngol Head Neck Surg. 2005; 132(4): 626-31.

  8. Lazo-saenz JG, Galvan-Aquilerra AA, Martinez-Ordaz VA, Velasco-Rodiquetines VM, Nieves-Renteria A, Rincon-astaneda C.

  Edisi Ke-16. Spain: BC Decker; 2003. hlm 708-31.

  evidence based medicine.

  Dalam: Snow JB, Ballenger JJ. Ballenger’s otorhinolaryngology head and neck surgery.

  6. Pinto JM, Naclerio RM. Allergic rhinitis.

  5. Lee CH, Jang JH, Lee HJ, Kim IT, Chu MJ, Kim CD, et al. Clinical characteristic of allergic rinitis according to allergic rinitis and its impact on asthma guidelines. Clin Exp Otorhinolaryngo. 2008; 1(4): 196-200.

  USA: Allergic Rinitis and its Impact on Asthma; 2007.

  4. Bosquet J, Reid J, Van WC, Baena CC, Demoly P, Denburg J et al. Management of allergic rinitis and its impact on asthma.

  Berlin: Springer Science; 2009. hlm 247-54.

  3. Krouse JH. Allergic rhinitis. Dalam: Stucker FJ, de Souza C, Kenyon GS, Lian TS, Draf W, Schick B. Rhinology and facial surgery.

  WHO; 2008. [Diakses pada 28 agustus 2016]. Tersedia di http://www.whiar.org.

  2. World Health Oganizatio. Allergic Rhinitis and its Impact to Asthma (ARIA) [internet].

  Skoner AR, Skoner KR, Skoner DP. Allergic rhinitis, histamine and otitis media. Allergy Asthma Proc. 2009; 30(5): 470-81.

  Daftar Pustaka 1.

  15. Rambe AYM, Fadhlia, Munir D, Haryuna TSH, Eyanoer PC. Hubungan rinitis alergi dan disfungsi tuba Eustachius dengan menggunakan timpanometri. ORLI. 2013: 43(1): 80-9.