MAKALAH TUGAS MANAJEMEN PASCAPANEN ANA

TUGAS KULIAH MANAJEMEN PASCAPANEN

ANALISIS RANTAI NILAI KEDELAI

Dini Nur Hakiki
Sazli Tutur Risyahadi
Rozana

(F152120021)
(F152120041)
(F152120061)

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013

I. PENDAHULUAN
Kedelai merupakan komoditas tanaman pangan terpenting ketiga setelah padi dan jagung.
Selain itu, kedelai juga merupakan tanaman palawija yang kaya akan protein yang memiliki arti
penting dalam industri pangan dan pakan. Kedelai berperan sebagai sumber protein nabati yang

sangat penting dalam rangka peningkatan gizi masyarakat karena aman bagi kesehatan dan
murah harganya. Kebutuhan kedelai terus meningkat seiring dengan pertumbuhan jumlah
penduduk dan kebutuhan bahan industri olahan pangan seperti tahu, tempe, kecap, susu kedelai,
tauco, snack, dan sebagainya. Zakiah (2012), menyatakan bahwa pasokan kedelai di Indonesia
cenderung semakin tidak dapat dipenuhi dari hasil produksi dalam negeri sendiri. Sekalipun kedelai
dapat ditanam dengan cara yang paling sederhana, produktivitas dan produksi kedelai dalam
negeri, hampir tidak dapat memenuhi permintaan yang semakin meningkat.
Saat ini produksi kedelai di Indonesia hanya mencukupi sekitar 35 persen kebutuhan,
selebihnya dipenuhi melalui impor. Sekitar 20 tahun terakhir di Indonesia masih terus melakukan
impor kedelai, terutama dari Amerika Serikat, sehingga tidak heran apabila kedelai impor telah
mendominasi sebagai bahan baku olahan pangan (Adisarwanto 2008). Ini merupakan sebuah
fenomena yang mengkhawatirkan, dimana persentase jumlah impor terhadap konsumsi,
menunjukkan persentase yang semakin meningkat. Besarnya angka impor tersebut merupakan
salah satu indikator betapa besar kebutuhan kedelai untuk memenuhi kebutuhan penduduk melalui
berbagai jenis produk olahan (Zakiah 2012).
Saluran pemasaran kedelai yang terlalu panjang, dan kebijakan harga yang tidak
mendukung petani, mengakibatkan keuntungan yang diperoleh petani sangat sedikit. Ini
mengakibatkan kebanyakan petani memilih untuk mengalih fungsikan lahan kedelai mereka ke
komoditi tanaman lainnya. Masih lemahnya nilai tawar petani dan sistem informasi serta lemahnya
kelembagaan kelompok tani menyebabkan daya saing petani kedelai lokal sangat lemah

(Rachman et al 2008).
Kendala internal berdasarkan aspek pemasaran adalah: (1) daya tawar petani lemah, (2)
sistem informasi pasar lemah, dan (3) belum adanya tarif impor. Sedangkan kendala eksternalnya
antara lain adalah: (1) tingginya impor kedelai dengan harga murah, (2) rantai pemasaran yang
panjang sehingga tidak efisien, dan (3) biaya transportasi yang mahal.
Panjangnya rantai dari produsen sampai kepada konsumen menyebabkan tidak efektifnya
proses pemasaran. Memperbaiki dan memperpendek simpul mata rantai dari produsen ke
konsumen perlu dibentuk dan difungsikan sebagaimana mestinya sehingga dapat efektif dan
efisien dalam pendistribusian produk. Sistem informasi pasar belum terbentuk sehingga titik temu
antara produsen dan konsumen sering tidak ketemu. Hal ini yang menyebabkan nilai jual produk
berfluktuatif dan cenderung menurun. Harga komoditas kedelai hampir tidak tersentuh oleh
kebijakan pemerintah. Harga kedelai ditentukan oleh mekanisme pasar, yang ditentukan oleh
permintaan dan persediaan (Demand and Supply).
Belum digunakannya jenis benih unggul oleh semua petani, juga menyebabkan rendahnya
produktivitas kedelai lokal. Hingga kini penggunaan varietas unggul baru mencapai 20% dan
penggunaan benih yang bersertifikat hanya 10%. Ditambah lagi dengan teknologi pascapanen
yang belum memadai menambah alasan rendahnya produksi kedelai lokal. Persaingan
penggunaan lahan dengan komoditi lainnya, seperti jagung yang merupakan komoditi alternative
unggulan setelah beras, diduga juga menjadi penyebab turunnya areal panen kedelai. Dalam hal
ini kenaikan harga jagung akan mendorong petani untuk menanam komoditas tersebut, yang

konsekuensinya akan mengurangi areal tanam kedelai (Zakiah 2012).

Rendahnya produksi kedelai local menyebabkan ketidakcukupan kedelai local memenuhi
permintaan industry pengolahan kedelai. Hal ini menyebabkan semakin tergantungnya industriindustri pengolahan kedelai pada kedelai impor (Zakiah 2011). Selain itu rendahnya kualitas
kedelai lokal dari segi kebersihan dan kadar air menyebabkan industri-industri pengolahan kedelai
cenderung memilih kedelai impor yang tingkat kebersihannya lebih tinggi dan kadar air yang lebih
rendah rendah (Nurmeyda 2010).
Kendala dalam aspek panen dan pascapanen adalah: (1) kehilangan hasil tinggi, (2)
penerapan teknologi panen dan pascapanen belum memadai, dan (3) modal untuk membeli
alsintan sangat terbatas. Selain itu, ancaman eksternalnya adalah: (1) belum ada insentif harga
yang memadai bagi produk bermutu, (2) makin meningkatnya biaya operasional alsintan, dan (3)
tenaga kerja pengolah relatif terbatas. Kehilangan hasil kedelai pada saat panen maupun
prosesing masih cukup besar. Sistem panen yang dijemur di lapangan tanpa lantai jemur dan alas
menyebabkan biji tercecer cukup banyak dan menyebabkan kehilangan hasil cukup tinggi. Alat
pengering dinilai masih cukup mahal bagi petani kedelai. Belum berlakunya tarif impor
menyebabkan jumlah kedelai impor semakin banyak, sehingga harga kedelai di dalam negeri jatuh
dan petani enggan menanam kedelai.
Penerapan teknologi panen dan pascapanen belum memadai, umumnya petani melakukan
pemanenan dan prosesing masih dengan cara tradisional. Panen dengan menggunakan sabit dan
proses pengeringan sebagian besar masih di lapang. Sedangkan pemakaian alat mesin untuk

panen dan pengeringan, sebagian besar petani belum menggunakan. Keterbatasan modal,
menyebabkan petani kedelai tidak mampu untuk membeli alat mesin. Hal ini yang menyebabkan
kehilangan hasil panen cukup besar dan proses produksi menjadi tidak efisien.
Salah satu alat analisis manajemen biaya yang dapat digunakan untuk memberikan
informasi guna membuat keputusan strategis dalam menghadapi persaingan bisnis adalah analisis
value chain. Shank dan Govindarajan (2000), mendefinisikan Value Chain Analyisis, merupakan
alat untuk memahami rantai nilai yang membentuk suatu produk. Rantai nilai ini berasal dari
aktifitas-aktifitas yang dilakukan mulai dari bahan baku sampai ke tangan konsumen, termasuk
juga pelayanan purna jual. Selanjutnya Porter (1985) menjelaskan, Analisis value-chain merupakan
alat analisis stratejik yang digunakan untuk memahami secara lebih baik terhadap keunggulan
kompetitif. Value chain dapat mengidentifikasi dimana value pelanggan dapat ditingkatkan atau
penurunan biaya, dan untuk memahami secara lebih baik hubungan perusahaan dengan
pemasok/supplier, pelanggan, dan perusahaan lain dalam industri (Blocher et al. 1999). Value
chain mengidentifikasikan dan menghubungkan berbagai aktivitas stratejik diperusahaan (Hansen,
Mowen 2000). Sehingga dapat disimpulkan bahwa analisis rantai nilai merupakan suatu alat yang
digunakan untuk menciptakan nilai bagi pelanggannya untuk mencapai suatu keunggulan yang
kompetitif.
Demi keunggulan kompetitif, dengan perilaku para konsumen yang makin berkembang,
seperti menghendaki produk-produk yang lebih beraneka ragam dengan mutu serta pelayanan
serba prima dan harga yang terjangkau dalam era globalisasi ini harus ditanggapi dengan

meniadakan ketidakekonomisan (diseconomies) yang terjadi yang cenderung menghambat
kelancaran arus proses penciptaan nilai tambah dari para pemasok sampai ke para konsumen
sepanjang value chain. Untuk itu, perlu diidentifikasi dan ditiadakan biaya yang diakibatkan dari
aktivitas-aktivitas yang tidak memberikan nilai tambah sepanjang pelaksanaan analisis value
chain.

II. ANALISIS PASAR
Kedelai merupakan komoditas pangan yang strategis. Permintaan kedelai di Indonesia
terus meningkat dari tahun ke tahun. Terlihat dari volume impor yang semakin meningkat tiap
tahunnya (Tabel 6). Kedelai di Indonesia digunakan sebagai pangan, pakan, dan bahan baku
industri. Konsumsi kedelai 95 persen dalam bentuk olahan, 4 persen dikonsumsi langsung dan 1
persen untuk benih (Sarwono, 2004). Bentuk olahan kedelai antara lain:
(1) Produk hasil fermentasi : kecap, tauco, natto, tempe, dan soyghurt.
(2) Produk non-fermentasi : tahu dan produk olahannya, limbah tahu (pakan ternak), susu kedelai,
tepung dan bubuk kedelai, isolat protein, konsentrat protein, daging tiruan, serat kedelai,
minyak kedelai kasar, dan tauge.
(3) Dari minyak kedelai kasar dapat dihasilkan :
a. Aplikasi produk pangan : minyak salad, minyak goreng, mayonnaise,margarin, shortening,
dan lesitin (pangan, non pangan, kosmetik, dan obat-obatan sebagai pengemulsi, penstabil,
pelembut, pembasah, dan lain-lain).

b. Aplikasi produk non-pangan/bidang teknik : lapisan pelindung, pengenyal, cat, semir,
desinfektan, dan lain-lain.
Dari berbagai produk olahan tersebut, sekitar 57 persen kedelai di Indonesia dikonsumsi
dalam bentuk tempe, 38 persen dalam bentuk tahu, dan sisanya dalam bentuk kecap, taoco,
kembang tahu, dan lain-lain. Berdasarkan survei SUSENAS oleh Biro Pusat Statistik setiap enam
tahun sekali, konsumsi kedelai dalam bentuk biji dan olahan terus meningkat. Tahu dan tempe
merupakan produk kedelai yang dominan dikonsumsi penduduk desa maupun kota. Rata-rata
konsumsi tahu dan tempe penduduk kota lebih tinggi dari penduduk desa.
Industri tempe di Indonesia lebih menyukai biji kedelai yang berwarna kuning dan
berukuran besar (+ 12 gram atau lebih/100 biji). Industri tahu lebih menyukai biji kedelai
yangberukuran kecil (8-10 gram/100 biji) hingga sedang (10-12 gram/100 biji) (Sumarno, dan
Harnoto dalam Dian Handayan, 2007). Untuk tahu, bahan baku kedelai harus memenuhi
persyaratan sbb:
(1) Kedelai masih baru dipanen dan cukup umur. Jika terlalu lama disimpan ataupanen muda,
rendemen rendah. Selain itu, tahu yang dihasilkan akan lembek dan tidak tahan lama disimpan.
Kedelai panen muda ditandai dengan bijinya keriput.
(2) Kadar air maksimal 13 persen. Bila kadar airnya mencapai 15 persen, jamur mudah tumbuh
selama penyimpanan. Namun bila kadar airnya 9 persen atau kurang, maka biji kedelai akan
mudah pecah dan rendemen tahu akan menurun.
(3) Biji kedelai harus utuh karena enzim-enzim lipoksidase akan aktif bila kedelai pecah, sehingga

menyebabkan kandungan minyak dalam biji akan tengik dan bau tahu kurang enak.
(4) Kedelai harus bebas berbagai kotoran (kerikil, pasir, dan sisa tanaman) yang akan
membutuhkan waktu dan biaya membersihkannya serta dapat merusak alat penggiling.
Konsumsi yang besar serta pengembangan prduk olahan kedelai tidak didukung dengan
kemampuan produksi Indonesia. Produksi nasional kedelai per tahunnya hanya sekitar 700 –850
ribu ton. Kebutuhan/konsumsi nasional terhadap komoditas ini mencapai 2,5 juta ton per tahun,
sehingga sampai dengan saat ini kekurangannya masih harus dipasok dari impor. Setiap tahun
Indonesia mengimpor kedelai dari Amerika Serikat (AS) dan Brazil yang mencapai 70-80% dari
total kebutuhan (Kemendag, 2013).

Bila dibandingkan dengan kedelai impor, kandungan protein kedelai lokal lebih tinggi
dibandingkan impor, sehingga jika diolah untuk tahu, maka rendemen lebih banyak dihasilkan dari
kedelai lokal dan memiliki cita rasa yang khas. Kedelai impor memiliki ukuran biji besar, seragam
dan kadar airnya rendah, sehingga lebih disukai industri tempe karena volume biji impor
mengembang lebih banyak dan bobot tempe yang diperoleh lebih banyak.
Secara nasional, kita memiliki benih berbiji besar seperti varietas Argomulyo dan
Burangrang (untuk kebutuhan benih 50 kg/ha) tidak jauh berbeda dengan benih kedelai Amerika
(59,7 kg/ha), namun varietas ini masih belum lama dilepas dan perlu banyak dikembangkan,
sehingga sebagian besar petani masih menggunakan benih berbiji kecil (40 kg/ha). Untuk industri
kecap, biji kedelai hitam lokal lebih disukai dari impor, karena memiliki cita rasa khas dan kecap

yang dihasilkan lebih gurih (Handayani D 2007).
Tabel 6. Volume Impor Komoditas Tanaman Pangan Indonesia, 2009 – 2012 (dalam ton)

III. PEMETAAN (MAPPING)
Aktor dan Volume
Pemasaran kedelai dari petani sampai konsumen akhir melibatkan beberapa pelaku
pemasaran yaitu pedagang pengumpul (tengkulak), pedagang besar kecamatan, pedagang besar
kabupaten, pedagang besar propinsi, dan pedagang pengecer. Pada saat panen banyak pedagang
pengumpul yang datang ke tempat petani sehingga petani dapat menjual kedelai di rumah atau di
sawah tanpa harus mengangkut ke tempat pembeli.
Meryani (2008) telah melakukan kajian tataniaga kedelai dengan Studi Kasus di
Kecamatan Ciranjang Cianjur. Sebagian besar petani melakukan penjualan kedelai langsung
kepada tengkulak. Hal ini disebabkan oleh lokasi petani yang jauh dari pedagang besar kecamatan
sehingga penjualan ke pasar akan menambah biaya dan keterbatasan waktu. Tetapi di Desa
Ciranjang, selain cara penjualan yang demikian ada pula petani yang membawa sendiri dan
menjualnya pada pedagang besar kabupaten yang berada di pasar. Saluran tataniaga kedelai
yang ada di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, ada dua saluran tataniaga yaitu saluran
tataniaga kedelai polong muda (Gambar 1) dan saluran tataniaga kedelai polong tua (Gambar 2).

Gambar 1. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Muda.

Gambar 1 diatas menginformasikan bahwa saluran tataniaga kedelai polong muda
mempunyai dua tujuan, yaitu dari petani kedelai (100 persen) dibawa ke pedagang pengumpul,
kemudian kedelai tersebut (100 persen) dibawa ke pedagang Pasar Induk Parung. Di pedagang
pasar induk, 80 persen kedelai diserap oleh pedagang pengecer dan 20 persen langsung diserap
oleh konsumen akhir.
Kecamatan Ciranjang terdapat delapan saluran tataniaga yang digunakan petani dalam
menyampaikan kedelai polong tua ke konsumen (Gambar 2). Pada saluran kesatu sampai kelima
petani menjual kedelai (73.33%) ke pedagang pengumpul. Saluran kesatu dari pedagang
pengumpul kedelai dijual ke pedagang kecamatan (42.77%) lalu diserap langsung oleh pengrajin
tahu/tempe (10.69%). Saluran kedua dan ketiga kedelai dari pedagang pengumpul dijual ke
pedagang kabupaten (30.56%), lalu diserap langsung oleh pengrajin tahu/tempe (5.72%) melalui
saluran kedua. 8.58 persen kedelai dari pedagang kabupaten diserap oleh pedagang pengecer
kemudian dijual ke konsumen akhir melalui saluran ketiga. Saluran keempat dan kelima sama
seperti saluran kesatu, tetapi dari pedagang kecamatan (42.77%) kedelai dijual langsung ke

pedagang propinsi (32.08%) lalu diserap pengrajin tahu/tempe (6.14%) melalui saluran keempat.
10.23 persen diserap pedagang pengecer untuk dijual ke konsumen akhir melalui saluran kelima.

Gambar 2. Saluran Tataniaga Kedelai Polong Tua
Saluran keenam sampai kedelapan petani menjual kedelai langsung ke pedagang

kabupaten (26.67%).Pada saluran keenam kedelai dari pedagang kebupaten dijual ke pedagang
pengecer (8.58%) lalu ke konsumen akhir, sedangkan saluran ketujuh dan kedelapan, kedelai dari
pedagang kebupaten dijual ke pedagang propinsi (4.58%). Kedelai diserap langsung oleh pengrajin
tahu/tempe (6.14%) melalui saluran ketujuh dan diserap oleh pedagang pengecer (10.23%) melalui
saluran kedelapan untuk dijual ke konsumen akhir.

Pada dasarnya petani memiliki kebebasan untuk menentukan saluran mana yang akan
dipilih. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden, penjualan kedelai ke saluran 1, 2
dan saluran 3 lebih banyak dipilih (73.33 persen) karena banyaknya jumlah pedagang pengumpul
lokal yang mendatangi petani, lokasi petani yang jauh dari pedagang kabupaten, sehingga tidak
ada alternatif lain bagi petani untuk menjual hasil panennya. Volume kedelai banyak melalui
saluran tiga (57.23 persen) karena petani tidak mau mengambil resiko kerugian biaya transportasi.
Saluran 6-8 hanya dipergunakan oleh petani responden (26.67persen) yang berdekatan dengan
pasar Ciranjang seperti Desa Ciranjang dan Desa Cibiuk.
Nilai
Pemetaan nilai dilakukan dengan memetakan nilai yang terjadi pada setiap aktor. Disini
dipetakan nilai margin dan R/C ratio. Marjin tataniaga diartikan melalui selisih harga di tingkat
produsen dengan harga di tingkat pedagang pengecer yang diperoleh dengan satuan rupiah per
kilogram kedelai. Marjin tataniaga dalam penelitian ini dihitung berdasarkan kedelapan saluran
tataniaga yang terbentuk. Marjin tataniaga menjelaskan perbedaan harga dan tidak memuat

pernyataan mengenai jumlah komoditi yang dipasarkan. Penghitungan marjin meliputi biaya
tataniaga dan keuntungan lembaga yang terlibat dalam saluran tataniaga tersebut. Biaya tataniaga
merupakan seluruh biaya yang dikeluarkan oleh lembaga tataniaga dalam memasarkan kedelai
dari petani sampai ke konsumen akhir. Biaya tataniaga tersebut meliputi biaya transportasi, tenaga
kerja, pengemasan dan retribusi. Keuntungan pemasaran merupakan selisih antara harga jual
dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan. Secara umum
petani menyalurkan kedelai melalui dua lembaga saluran tataniaga, yaitu pedagang pengumpul
dan pedagang besar kabupaten. Pembahasan mengenai sebaran marjin tataniaga dibagi menjadi
sebaran marjin melalui pedagang pengumpul dan sebaran marjin melalui pedagang besar
kabupaten. Saluran tataniaga kedelai yang melalui pedagang pengumpul yaitu saluran satu sampai
saluran lima (Tabel 1) dan saluran tataniaga yang melalui pedagang besar kabupaten yaitu saluran
enam sampai saluran delapan (Tabel 2).
Tabel 1 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Satu, Dua, Tiga, Empat dan Lima di Kecamatan
Ciranjang

Tabel 2 Marjin Tataniaga Kedelai Saluran Enam, Tujuh dan Delapan di Kecamatan Ciranjang

Pangsa dan Net Marjin
Berdasarkan sebaran marjin tataniaga kedelapan saluran tataniaga di atas,maka dapat
dilihat persentase pangsa marjin (Tabel 3) dan persentase net marjin (Tabel 4) yang diperoleh
setiap pelaku pasar untuk masing-masing saluran tataniaga. Pangsa marjin digunakan untuk
melihat besarnya marjin yang diperoleh pelaku pasar untuk setiap saluran tataniaga, pangsa marjin
diperoleh dari marjin tataniaga masing-masing lembaga dibagi total marjin tataniaga dalam bentuk
persen. Net marjin digunakan untuk mengetahui penyebaran marjin keuntungan pada setiap
pelaku pasar, net marjin dihitung dari keuntungan tiap lembaga tataniaga dibagi total keuntungan
tataniaga dalam bentuk persen. Saluran tataniaga yang efisien ditunjukkan oleh perolehan marjin
yang merata di setiap pelaku pasar.
Tabel 3 menginformasikan pangsa marjin terbesar terdapat pada saluran tataniaga satu
dan saluran tataniaga dua dengan tujuan pengrajin tahu/tempe di Kabupaten Cianjur yang
diperoleh pedagang kecamatan dan pedagang kabupaten yaitu masing-masing sebesar 59.745
persen. Pada saluran tataniaga satu dan dua terdapat dua pelaku pasar yaitu pedagang
pengumpul dan pedagang kecamatan/kabupaten. Pada saluran tataniaga ini merupakan pangsa
marjin terbesar dari kedelapan saluran tataniaga yang dibahas dan diperoleh pedagang kecamatan
dan pedagang kabupaten.
Tabel 3 Persentase Pangsa Marjin Setiap Pelaku Tataniaga

Tabel 4 menginformasikan sebaran net marjin pada saluran tataniaga satu dan dua
cenderung belum merata, terlihat dari pedagang pengumpul memperoleh 39.24 persen dan
pedagang kecamatan 60.76 persen pada saluran satu. Sebaran net marjin pada saluran tiga,
enam dan tujuh cenderung sudah merata. Saluran tataniaga lima yang merupakan saluran
terpanjang, net marjin terendah diperoleh pedagang pengumpul sebesar 10.19 persen, dan
tertinggi pedagang kecamatan dan pedagang propinsi sebesar 43.29 persen.

Tabel 4 Persentase Net Marjin Setiap Pelaku Tataniaga

Rasio Keuntungan dan Biaya
Tingkat efisiensi tataniaga dapat juga diukur melalui besarnya rasio keuntungan terhadap biaya
tataniaga yang dikeluarkan oleh masing-masing lembaga tataniaga. Nilai rasio dapat dilihat pada
Tabel 5, nilai yang tinggi artinya keuntungan yang diperoleh semakin tinggi . Rasio keuntungan dan
biaya tataniaga paling tinggi terdapat pada saluran tataniaga tujuh dan delapan pada lembaga
pedagang kabupaten yaitu sebesar 14.87. Nilai rasio ini memberikan arti bahwa setiap satu rupiah
perkilogram biaya tataniaga yang dikeluarkan akan menghasilkan keuntungan sebesar Rp 14.87
per kilogram. Rasio keuntungan terendah terdapat pada saluran tataniaga tiga pada tingkat
pedagang pengecer yaitu sebesar 5.49.
Pemetaan informasi
Informasi pasar dan harga telah terjalin antar aktor dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Petani
Informasi harga tidak diketahui oleh petani karena umunya pedagang pengumpul langsung
mendatangi sawah dan rumah petani dengan penawaran harga terterntu. Sistem ini memberikan
kemudahan bagi petani tetapi petani tidak memiliki akses terhadap informasi pasar dan harga.
Namun ada pula beberapa petani yang menjual langsung ke pedagang besar di pasar.
2. Pedagang pengumpul
Kedelai yang dijual ke pedagang pengumpul sebanyak 77,33% dari keseluruhan hasil
produksi kedelai di Ciranjang. Pedagang pengumpul mengetahui akses pasar dan harga.
3. Pedagang kecamatan
Pedagang kecamatan umumnya mendapatkan dari pedagang pengumpul yang telah
menerima bantuan modal darinya namun ada pula petani yang langsung menjual ke pedagang
kecamatan. Pedagang kecamatan memiliki informasi yang akurat tentang harga yang terjadi
karena berhubungan langsung dengan pedagang besar provinsi.
4. Pedagang besar kabupaten
Pedagang kabupaten mendapatkan kedelai dari pedagang pengumpul atau pedagang
kabupaten yang lain seperti pedagang dari Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pedagang besar
umunya mengetahui informasi harga yang akurat.
5. Pedagang besar propinsi
Pedagang besar propinsi ini berada di Bandung dan menerima pasokan kedelai dari
beberapa pedagang besar kabupaten Cianjur (di Kecamatan Ciranjang), Subang, Karawang,
Sukabumi Selatan, Garut, Tasik, Majalengka, dan Banjar, serta dari Jawa Tengah, Jawa Timur,
Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi. Informasi harga yang dimiliki adalah inforasi harga terbaru

karena pedagang besar berhubungan langsung ke pengrajin tahu/tempe dan pedagang pengecer
di daerah Bandung.
6. Pedagang pengecer
Pedagang pengecer menerima pasokan kedelai dari pedagang besar untuk dijual langsung
kepada konsumen akhir. Pedagang pengecer dengan konsumen menghadapi struktur pasar
persaingan karena banyaknya pedagang pengecer dan dan banyaknya konsumen pembeli.
Tabel 5 Rasio Keuntungan dan Biaya Lembaga Tataniaga Kedelai di Kecamatan Ciranjang, Tahun
2008

IV. SALURAN PEMASARAN IMPOR
Bagan Biaya dan Harga Jual Kedelai Impor melalui Distributor

Bagan Biaya dan Harga Jual Kedelai Impor melalui Distributor

Pemetaan R/C Saluran Pemasaran Kedelai Impor

V. PERBAIKAN
Peluang pengembangan kedelai berdasarkan aspek panen dan pascapanen meliputi: (1)
tuntutan terhadap hasil panen bermutu, (2) jenis olahan beragam, dan (3) industri produk olahan
berbahan baku kedelai makin berkembang. Mutu hasil panen kedelai saat ini masih perlu
ditingkatkan.
Preferensi konsumen terhadap mutu kedelai semakin meningkat. Industri pengolahan
produk berbahan baku kedelai membutuhkan jenis kedelai yang bermutu tinggi sesuai dengan
produk yang akan dihasilkan. Sebagian besar konsumen menghendaki biji besar/sedang, warna
kuning mengkilap dan kebersihan biji. Varietas kedelai sesuai dengan kehendak konsumen dan
sesuai dengan bahan baku industri telah tersedia, biji besar/sedang, warna kuning mengkilap
(Argomulya, Burangrang, Anjasmoro, Kaba) bahkan kedelai hitam yang sesuai dengan industri
kecap juga telah tersedia (Merapi, Cikuray, dan Malika).
Peluang pengembangan kedelai berdasarkan aspek distribusi dan pemasaran meliputi: (1)
industri pengolahan kedelai berkembang, (2) jaringan transportasi memadai, dan (3) permintaan
kedelai terus meningkat. Berbagai macam produk olahan berbahan baku kedelai berkembang
dengan pesat. Industri pengolahan bahan pangan (tahu, tempe, tauco, kecap, snack), farmasi
(obat-obatan), aplikasi dalam bidang teknik (industri) dan sebagai pakan ternak menyebabkan
kebutuhan akan kedelai semakin meningkat.
Di Indonesia konsumsi tertinggi adalah untuk bahan industri tahu dan tempe. Berdasarkan
perhitungan, konsumsi kedelai untuk tahu dan tempe pada tahun 2002 mencapai 1,776 juta ton
atau 88% dari total kebutuhan dalam negeri. Sedang 12% sisanya dipergunakan berbagai
keperluan makanan olahan lain dan bahan baku industri lainnya. Jaringan transportasi sudah baik
dan ditunjang oleh alat angkut yang memadai, sehingga memudahkan mobilitas bahan baku
kedelai dari produsen ke konsumen.
Saluran pemasaran
Bila melihat saluran pemasarn yang terjadi dari saluran pemasaran satu hingga delapan,
maka saluran enam yaitu dari petani ke pedagang kabupaten ke pengecer dan terakhir ke
konsumen merupakan saluran yang direkomendasikan karena memiliki perolehan total margin
yang paling rendah yaitu 1000, dan meperlihatkan pangsa margin dan net margin yang merata
merata di tiap tingkat lembaga.
Meningkatkan R/C ratio Petani
Data BPS tahun 2011, menunjukan Indonesia memproduksi kedelai 851,29 ribu ton biji
kering. Namun dari jumlah produksi ini tidak semuanya termanfaatkan. Masih tingginya susut yang
terjadi tiap tahapan penanganan komoditas dalam baik secara kualitatif dan kuantitatif. Susut
kuantitatif yang terjadi adalah susut hasil akibat tertinggal selama proses panen dan pascapanen
sedangkan kualitatif adalah penurunan mutu hasil akibat kerusakan material (butir rusak,
berkecambah, biji keriput, biji belah, dan lain sebagainya). Petani memegang peran penting
sebagai penghasil kedelai. Petani akan melakukan rangkaian kegiatan pascapanen kedelai mulai
dari panen, penjemuran, perontokan, dan pengangkutan Aktivitas yang dilakukan petani antara lain
panen, penjemuran, perontokan, pengankutan, dan penjualan. Susut pascapanen terjadi dalam
setiap rangkaian aktivitas ini. Dan susut dari perontokan erupakan susut terbesar yaitu mancapai
7% (Purwadaria, 1989). Bila susut ini mampu ditekan mejadi 4% denga penambahan thresher

maka nilai tambah kedelai bagi petani dapat ditingkatkan. Sebagai contoh peningkatan R/C ratio
petani yang terjadi pada saluran pemasaran no 6.

Harga Rp. 3500
Produksi
Panen
Pengeringan
Perontokan
Pengangkutan

Harga Rp. 4000
Pembelian
Penjualan
Penyimpanan
Pengangkutan

Harga Rp. 4500
Pembelian
Penjualan
Penyimpanan

Pembelian

1. Petani
Keadaan awal dengan susut perontokan 7%
Kegiatan

Input

Produk
Teknologi
Susut (%)
Biaya (Rp/kg)

Panen

Petani
Pengeringan

Perontokan

Kabupaten
Transport

Manual

Manual

Manual

Angkutan

Pengecer
Transport
Kedelai pecah kulit
Angkutan

7
2056,75

72

65

2301,75
3500
1198,25
1,52

3572
4000
428
1,12

4065
4500
435
1,10

Petani
Pengeringan

Perontokan

Kabupaten
Transport

Manual

Thresher

Angkutan

Nilai loss

245

Total biaya
Harga jual
Keuntungan
R/C

Keadaan akhir dengan susut perontokan 4%
Kegiatan

Input

Produk
Teknologi
Susut (%)
Biaya (Rp/kg)
Nilai loss
Total biaya
Harga jual
Keuntungan
R/C

Panen
Manual

Pengecer
Transport
Kedelai pecah kulit
Angkutan

4
2056,75

80

72

65

3572
4000
428
1,12

4065
4500
435
1,10

140
2276,75
3500
1198,25
1,54

Distribusi informasi
Dilihat dari distribusi informasinya , petani memiliki sedikit akses informasi pasar dan harga.
Pedagang besar yag memiliki akses kuat dalam inforasi. Oleh karenya diperlukan akses petani
terhadap informasi pasar dan harga salah satunya dengan membuats sistem informasi pasar dan
harga yang bisa diinisiasi oleh pemerintah Kabupaten Ciranjang.

VI. KESIMPULAN
1. Saluran pemasaran kedelai impor memberikan nilai R/C ratio yang lebih merata di
banding kedelai lokal. Sehingga dalam pengembangan kedelai lokal diharapkan memiliki
saluran pemasaran yang lebih pendek sehingga lebih efisien.
2. Perbaikan pascapanen dapat dilakukan dengan menggunakan thresher yang dapat
meningkatkan R/C ratio.

DAFTAR PUSTAKA
Adisarwanto, T. 2009. Kedelai. Penebar Swadaya. Jakarta. Http:\\www.litbang.deptan.co.id.
ACIAR. 2012. Membuat Rantai Nilai Lebih Berpihak pada Kaum Miskin. ACIAR. Australia
Blocher/Chen/Lin, 1999. Diterjemahkan oleh A. Susty Ambarriani, 2000. Manajemen Biaya. Jilid
1. Penerbit Salemba: Empat Jakarta.
Handayani D. 2007. Simulasi Kebijakan Daya Saing Kedelai Lokal Pasar Domestik. Tesis. Sekolah
Pascasarjana IPB
http://www.kemendag.go.id/files/pdf/2013/09/20/gambaran-harga-kedelai-di-setiap-titik-rantaipasok-id0-1379647151.pdfan
Hansen, and Mowen, 2000. Management Biaya; Akuntansi dan Pengendalian, alih bahasa
Tim Salemba Empat: Jakarta.
Nurmeyda, 2010. Permintaan Industri Tempe Terhadap Kualitas Bahan Baku Kedelai diKota
Banda Aceh. Skripsi Fakultas Pertanian Unsyiah, Banda Aceh.
Meryani N. 2008. Analisis Usahatani dan Tataniaga Kedelai Di Kecamatan Ciranjang, Kabupaten
Cianjur, Jawa barat
Porter, Michael E. 1985. Competitive Advantage – Creating a Sustaining Superior
Performance, New York: The Free Press.
Sarwono B. 2004. Membuat Tempe dan Oncom. Penebar Swadaya. Jakarta.
Shank, Jhon K., Govindarajan Vijay. 2000. Strategic Cost Management and the Value
Chain., Thomson Learning: USA.
UNIDO. 2011. Pro-Poor Value Chain Development. UNIDO. Austria
Zakiah. 2012. Preferensi dan Permintaan Kedelai pada Industri dan Implikasinya terhadap
Manajemen Usaha Tani. MIMBAR, Vol. XXVIII, No. 1 (Juni, 2012): 77-84.