Implikasi UU No. 23 Tahun 2014 Ttg Pemer

IMPLIKASI PASCA BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO.
23 TAHUN 2014 TENTANG PEMERINTAHAN DAERAH
TERHADAP TATA KELOLA PERTAMBANGAN MINERAL DAN
BATUBARA YANG BAIK DAN BENAR

DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI
PEMERINTAH KABUPATEN BANJAR

HOTEL NOVOTEL, 26 AGUSTUS 2015 YOGYAKARTA

I. Surat Sekretaris Jenderal ESDM Nomor 2115/30/SDB/2014 tanggal 16
Desember 2014, perihal Kewenangan Pengelolaan Pertambangan
Mineral dan Batubara.
1. Bahwa dengan telah berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah yang mulai berlaku efektif pada
tanggal 2 Oktober 2014.
2. Mengingat dalam UU No. 23 Tahun 2014 tidak mengatur masa
transisi terhadap permohonan baru, perpanjangan, atau
peningkatan tahap kegiatan di bidang pertambangan mineral dan
batubara, maka Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral
dalam waktu dekat akan menerbitkan produk hukum untuk

mengatur masa transisi terkait perizinan pertambangan mineral dan
batubara.
3. Terkait dengan permohonan :
a. Perubahan IUP Eksplorasi mineral bukan logam atau batuan
antara lain terkait jangka waktu dan /atau perubahan saham,
permohonan WIUP mineral bukan logam atau batuan,
permohonan IUP mineral bukan logam atau batuan termasuk
perpanjangan IUP serta peningkatan IUP Eksplorasi mineral bukan
logam atau batuan menjadi IUP Operasi Produksi mineral bukan
logam atau batuan.
b. Penerbitan IPR dalam wilayah Pertambangan Rakyat (WPR)
termasuk perpanjangan IPR; dan
c. Perubahan IUP Eksplorasi mineral logam atauu batubara antara
lain terkait jangka waktu dan /atau perubahan saham, serta
peningkatan IUP Eksplorasi mineral logam dan batubara menjadi
IUP- Operasi Produksi mineral logam dan batubara.
Yang diajukan kepada Bupati/Walikota oleh pemohon WIUP/IUP/IPR
dan pemegang IUP/IPR sebelum tanggal 2 Oktber 2014 dan telah
diproses oleh dinas teknis daerah Kabupaten/Kota, maka dapat
ditandatangani oleh BUpati/Walikota setelah tanggal 2 Oktober 2014

sesuai UU No. 4 Tahun 2009.
4. Terhadap permohonan sebagai mana dimaksud pada angka 3 yang
diterima Bupati/Walikota mulai tanggal 2 Oktober 2014, maka
Bupati/Walikota menyerahkan berkas permohonannya kepada
Gubernur untuk dievaluasi dan diproses penerbitn izinnya sesuai UU
No. 23 Tahun 2014.

II. Surat Edaran Menteri Dalam Negeri tanggal 16 Januari 2014 tentang :
Penyelenggaraan Urusan Pemerintah Setelah Ditetapkan UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
Dengan telah ditetapkannya undang-undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah terjadi beberapa perubahan mendasar
terkait dengna penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah,
untuk itu diminta perhatian Saudara hal sebagai berikut: (24
Pebruari 2015)
1. Pasal 404 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 menyatkan bahwa
serah terima personel, pendanaan, sarana dan prasarana, serta
dokumen (P3D) sebagai akibat pembagian urusan pemerintahan
antara Pemerintah Pusat, darah Propinsi dan daerah Kabupaten/Kota
yang diatur berdasarkan Undang-Undang ini dilakukan paling lama 2
(dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

Dengan memperhatikan ketentuan Pasal 404 di atas, siklus angaran
dalam APBN dan APBD, serta unuk menghindarI stagnasi
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang berakibat terhentinya
pelayanan kepada masyarakat, maka penyelenggaraan urusan
pemerintahan konkuren yang bersifat pelayanan kepada masyarakat
luas dan massif, yang pelaksanaanya tidak dapat ditunda dan tidak
dapat dilaksanakan tanpa dukungan P3D, tetap dilaksanakan oleh
tingkatan/susunan pemerintahan yang saat ini menyelenggarakan
urusan pemerintahan konkuren tersebut sampai dengan
diserahkannya P3D.
Adapun urusan pemerintahan konkuren tersebut meliput
penyelenggaraan sub urusan:
a. Pengelolaan pendidikan menengah;
b. Penelolaan terminal penumpang tipe A dan tipe B;
c. Pelakasanaan rehabilitasi di luar kawasan hutan Negara;
d. Pelaksanaan perlindungan hutan di hutan lindung dan hutan
produksi;
e. Pemebrdayaan masyarakat di bidang kehutanan;
f. Pelaksanaan penyuluhan di bidang kehutanan;
g. Pelaksanaan metrology legal berupa tera, tera ulang dan

pengawasan;
h. Pengelolaan tenaga penyuluh KB/petugas lapangan KB
(PKB/PLKB);
i. Pengelolaan tenaga pengawas ketenagakerjaan;
j. Penyelenggaraan penyuluhan perikanan nasional; dan

Penyediaan dana untuk kelompok masyarakat tidak mampu,
pembangunan sarana penyediaan tenaga listrik belum
berkembang, daerah terpencil dan perdesaan.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan konkuren di luar urusan
pemerintahan sebagaimana dimaksud pada angka 1 dilaksanakan
oleh susunan/tingkatan pemerintahan sesuai dengna pembagian
urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014.
Khusus penyelenggaraan perizinan dalam bentuk pemberian atau
pencabutan izin dilaksanakan oleh susunan/tingkatan pemerintahan
sesuai dengan pembagian urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 dengan mengutamakan kecepatan dan kemudahan proses
pelayanan perizinan serta mempertimbangkan proses dan tahapan

yang sudah dilalui.
Penataan/perubahan perangkat daerah untuk melaksanakan urusan
pemerintahan konkuren hanya dapat dilakukan setelah ditetapkannya
hasil pemetaan urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014.
Urusan pemerintahan umum sebagaiman dimaksud Pasal 25 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 dilaksanakan oleh Badan/Kantor
Kesbangpol dan/atau Biro/Bagian pada secretariat daerah yang
membidangi pemerintahan sebelum terbentuknyay instansi ertikcal
yang membantu gubernur dan bupati/walikota untuk melaksanakan
urusan pemerintahan umum tersebut.
Pelaksanaan tugas dan wewenang gubernur sebagai wakil
Pemerintahan Pusat sebagaimana dimaksud dalam pasal 91 UndangUndang Nomor 23 Tahun 2014 dibantu oleh SKPD Propinsi sampai
dengan dibentuknya perangkat gubernur sebagai Wakil Pemerintahan
Pusat.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, diminta kepada gubernur,
bupati dan walikmota sebagai berikut:
a. Menyelesaikan secara seksama inventarisasi P3D antar
tingaktan/susunan pemerintahan sebagai akibat pengalihan
urusan pemerintahan kokuren paling lambat tanggal 31 Maret
2016 dan serah terima personel, sarana dan prasarana serta

dokumen (P2D) paling lambat tanggal 2 Oktober 2016.
Hasil Inpentarisasi P3D tersebut menjadi dokumen dan dasar
penyusunan RKPD, KUA/PPAS dan Rancangan Peraturan Daerah
tentang APBD Propinsi/Kabupaten TA 2017.
k.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

b. Gubernur, bupati/walikota segera berkoordinasi terkait dengan
pengalihan urusan pemerintahan konkuren.

c. Melakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait yang
membindangi masing-masing urusan pemerintahan dan dapat
difasilitasi oleh Kementerian Alam Negeri.
d. Melakukan koordiansi dengan pimpinan DPRD masing-masing,
dan
e. Melakukan pelaksanaan Surat Edaran ini kepada Menteri Dalam
Negeri pada kesempatan pertama.
III. Surat Direktur Teknik dan Lingkungan Nomor 1116/37.02/DBT/2015
tanggal 13 April 2015 perihal Pengawasan Kegiatan Pertambangan di
Kabpaten/kota.
1. Sebelum penyerahan personil, pendanaan , saran dan prasarana
(P3D) dari Kabupaten/Kota ke Propinsi, Pengawasan aspek yang
menjadi kewenangan Inspektur Tambang masih dapat dilakukan
oleh Inspektur Tambang yang ada di Kbupaten/Kota berkoordiansi
dengan Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi.
2. Jika Kabupaten/Kota tidak melaksanakan kegiatan pengawasan
sebagaimana dimaksud pada ngka 1, maka kegiatan pengawasan
dilakukan oleh Inspektur Tambang yang ada di Propinsi.
3. Hasil pelaksanaan kegiatan pengawasan sebagaimana dimaksud
pada angka 1 dan 2 agar disampaikan kepada kami dan ditembuskan

kepada Kepala Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi.
IV. Hasil Konsultasi Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar ke
Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri tanggal 17 April
2015.
1. Sub urusan yang bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan
massif maka Pemerintah Kabupaten masih bisa melaksanakan
urusan tersebut sampai 2 Oktober 2016.
2. Masih banyak Sub urusan Energi, sumberdaya Mineral dan Batubara
urusan bersifat pelayanan kepada masyarakat luas dan massif tidak
tercantum dalam Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor
120/253/sj tanggal 16 Januari 2015.
3. Dirjen Otonomi Daerah, beralasan kenapa sub urusan bidang Energi,
sumberdaya mineral dan Batu Bara bersifat pelayanan kepada
masyarakat dan massif tidak tercantum dalam surat edaran
Mendagri, karena pihak Dirjen ESDM tidak menyampaikan usulan ke
Menteri Dalam Negeri.

V. Hasil Konsultasi Dinas Pertambangan dan Energi ke Dirjen Anggaran
Kementerian Dalam Negeri ( tanggal 29 April 2015).
1. Apakah yang sudah teranggarkan dalam APBD terutama Dokumen

Pelaksana Anggaran (DPA) Dinas Pertambangan dan Energi
Kabupaten Banjar yang telah mendapatkan pengesahan masih bisa
dilaksanakan untuk tahun 2015 secara penuh.
2. Pasal 18 PP No. 58 Tahun 2005, menyebutkan bahwa Pengeluaran
Daerah harus didukung dengan dasar hukum yang melandasi.
Pasal 27 PP 58 Tahun 2005 APBD harus didasarkan pada urusan,
organisasi, program dan kegiatan. APBD merupakan dasar belanja
daerah.
Penganggaran APBD Tahun 2015 didasarkan pada
Permendagri 37 Tahun 2014, dimana proses perencanaan dan
penganggaran sudah dimulai tahun 2014 sebelum UU No. 23
Tahun 2014 ditetapkan.
3. Untuk program dan kegiatan yang ada dalam APBD Tahun 2015
yang sifatnya terkait langsung dengan masyarakat tetap dapat
dilaksanakan, karena pemerintahan tidak bisa berhenti.
VI. Hasil konsultasi di Kantor Inspektorat Kabupaten Banjar.
Inspektorat Kabupaten Banjar memandang bahwa UU No. 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah hanya kewenangan
Bupati/Walikota dibidang perizinan yang tarik ke pemerintah
propinsi.

2. Dengan tidak adanya kewenangan Bupati/Walikota untuk bidang
perizina pertambangan Mineral dan Batubara bukan berarti Dinas
Pertambangan dan Energi bubar, karena masih banyak urusan yang
dilaksanakan Dinas Pertambangan dan energy yang secara langsung
terkait dengan masyarakat.
3. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota masih dapat
melaksanakan kegiatan pengawasan lingkungan, K3, produksi.
4. Berkaitan dengan Surat Edaran Direktur Jenderal ESDM Nomor
04.E/30/DJB/2015, Inspektorat menganggap bahwa kita hanya
tunduk kepada UU No. 23/2014 yang buat Mendagri.
1.

VII. Surat Edarat Direktur Jenderal ESDM Nomor 04.E/30/DJB/2015,
tanggal
30 April 2015 tentang Penyelengaraan Urusan
Pemerintahan di Bidang Pertambangan Mineral dan Batubara

Setelah Berlakunya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
tentang Pemerintahan Daerah
1. Bupati/Walikota tidak lagi mempunyai kewenangan dalam

penyelengaraan urusan pemerintahan di bidang pertambangan
mineral dan batubara terhitung sejak tanggal 2 Oktober 2014.
2. Dengan berlakunya UU Nomor 23 Tahun 2014, maka pasal-pasal
dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Nomor 4 Tahun 2009)
beserta peraturan pelaksanaannya yang mengatur kewenangan
Bupati/Walikota tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
3. Untuk memberikan kepastian hukum dan kepastian berusaha
kepada pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) mineral dan
batubara, Gubernur dan Bupati/Walikota segera melakukan
koordinasi terkait dengan penyerahan dokumen IUP mineral dan
batubara dalam rangka Penanaman Modal Dalam Negeri yang
telah dikeluarkan oleh bupati/walikota sebelum berlakunya UU
Nomor 23 Tahun 2014 sebagai tindak lanjut pengalihan
kewenangan penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang
pertambangan mineral dan batubara kepada Gubernur sebgaimana
dimaksud dalam UU Nomor 23 Thaun 2014
4. Dalam
rangka
pelaksanaan
peralihan
kewenangan
penyelenggaraan urusan pemerintahan di bidang pertambangan
mineral dan batubara sebagaimana dimaksud pada angka 3,
diminta kepada Bupati/Walikota untuk segera menyerahkan berkas
perzinan kepada Gubernur, antara lain berupa;
a. IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi mineral logam, mineral
bukan logam, batuan, dan batubara, dan/atau IPR yang telah
diterbitkan oleh Bupati/Walikota sebelum berlakunya UU
Nomor 23 Tahun 2014;
b. IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi mineral logam, mineral
bukan logam, batuan, dan batubara, dan/atau IPR yang
terlanjur diterbitkan oleh Bupati/Walikota setelah berlakunya
UU Nomor 23 Tahun 2014;
c. Rencana penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang
belum ditetapkan oleh Bupati/Walikota; dan
d. Permohonan;
1) Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) mineral bukan
logam dan batuan;
2) IUP Eskplorasi mineral bukan logam dan batuan;

3)

5.

Peningaktan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi
minieral logam, mineral bukan logam, batuan, dan
batubara;
4) Izin Pertambangan Rakyat (IPR);
5) Perpanjangn IPR;
6) Perpanjangan IUP Operasi Produksi logam, batubara,
mineral bukan logam dan batuan;
7) Perubahan jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam dan
batubara (sesuai dengan jangka waktu dalam UU Nomor 4
Tahun 2009);
8) Perubahan Penanaman Modal sebagimana dimaksud
dalam Peratauran Menteri Energi dan Sumber DAya
Mineral Nomor 27 Tahun 2013 tentang Tata Cara dan
Penetapan Harga Difestasi Saham serta Perubahan
Penanaman Modal di Bidang Usaha Pertambangan
Mineral dan Batubara (permen ESDM Nomor 27 Tahun
2013);
yang telah diajukan kepada Bupati/Walikota sebelum tanggal 2
Oktober 2014 yang saat ini masih diproses oleh Dinas Teknis
Kabupaten/Kota yang mempunyai tugas pokok dan fungsi di
bidang Pertambangan mineral dan batubara.
Dalam rangka pelaksanaan kewenangan Pemerintahan Daerah
Provinsi di bidang pertambangan mineral dan batubara
sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 23 Tahun 2014, diminta
kepada Gubernur untuk segera:
a. Memproses penerbitan atau pemberian persetujuan atas
berkas perizinan yang telah disampaikan oleh Bupati/Walikota
sebagaimana dimaksud pada 4 huruf d dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. Memeperbarui berkas perizinan yang telah disampaikan oleh
Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada angka 4 huruf b
(perubahan Keputusan pemberian IUP atau IPR oleh
Gubernur);
c. Memproses penetapan WPR;
d. Memproses permohonan yang diajukan kepada Gubernur,
antara lain berupa permohonan:
1) Perubahan jangka waktu IUP Eksplorasi mineral logam dan
batubara (sesuai dengan jangka waktu dalam UU Nomor 4
Tahun 2009)
2) Perubahan Penanaman Modal sebagaimana dimaksud
dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 27 Tahun 2013;

6.

7.

3) Peningkatan IUP Eksplorasi menjadi IUP Operasi Produksi
mineral logam, batubara ESDM Nomor 27 Tahun 2013;
4) Perpanjangan IUP Operasi Produksi logam, batubara,
mineral bukan logam dan batuan;
5) WIUP mineral bukan logam dan batuan untuk wilayah yang
berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota;
6) IUP Eksplorasi mineral bukan logam dan batuan; dan
7) IPR dan perpanjangannya.
Gubernur dapat melakukan evaluasi terhadap berkas perizinan
yang disampaikan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud
pada angka 4 huruf a dan huruf b.
Dalam hal hasil evaluasi terhadap berkas perizinan yang
disampaikan oleh Bupati/Walikota sebagaimana dimaksud pada
angka 4 huruf a dan huruf b tersebut di atas;
a. Terdapat ketidaksesuaian proses atau mekanisme penerbitan
(antara lain: tidak memenuhi persayaratan, tumpang tindih),
Gubernur dapat membatalkan IUP Eksplorasi, IUP Operasi
Produksi, atau IPR yang bersangkutan;
b. Pemegang IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, atau IPR tidak
memenuhi kewajiban, Gubernur dapat memberikan sanksi
administratif berupa:
1) Peringatan tertulis;
2) Penghentian sementara sebagian atau seluruh kegiatan
usaha; atau
3) Pencabutan IUP Eksplorasi, IUP Operasi Produksi, atau IPR
yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Dalam masa trasnsisi sebelum terbentuknya Unit Pelayanan
Teknik Inspektur Tambang di masing-masing Propinsi maka
Kepala Dinas Teknis Propinsi yang mempunyai tugas pokok dan
fungsi di bidang pertambangan mineral dan batuabra di seluruh
Indonesia secara ex officio selaku kepala Inspektur Tambang di
tngkat Propinsi wajib melaksanakan kegiatan pengawasan
terhadap pemegang IUP sebagaimana dimaksud pada angka 2
dan berkoordiansi dengan Direktur Teknik dan Lingkungan
Mineral dan Batubara secara ex officio selaku Kepala Inspektur
Tambang Pusat.

VIII. IMPLIKASI NEGATIF PASCA PELAKSANAAN UU NOMOR 23 TAHUN 2014
TENTANG
PEMERINTAHAN DAERAH TERHADAP
TATA KELOLA

PERTAMBANGAN

STAK.

YANG

BAIK

DAN

BENAR

MENJADI

BEBERAPA IMPLIKASI NEGATIF PASCA BERLAKUNYA UU NO. 23 TAHUN
2014 ANTARA LAIN :
1. PERIZINAN TERHAMBAT
Provinsi (SOP, peraturan, KP2P, Distamben, Kabag Ekonomi)
2. DAMPAK KERUSAKAN LINGKUNGAN AKAN LEBIH BESAR
Distamben Kabuapten/Kota memiliki DPA tetapi tidak dapat
dilaksanakan, sementara Propinsi dari segi anggaran belum ada,
personil terbatas, tidak mungkin melaksanakan tugasnya dengan baik.
3. PENERIMAAN NEGARA BUKAN PAJAK DARI SEKTOR MINERBA AKAN
TURUN YANG BERDAMPAK TERHADAP DANA BAGI HASIL UNTUK
KABUPATEN/KOTA.
Dana bagi hasil untuk yang diterima Kabupaten/Kota sangat
tergantung ada tidaknya data-data bukti setor royal, yang selama ini
Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten yang mengumpulkan
termasuk menagih royalty.
4. PENAMBANGAN TANPA IZIN (PETI) AKAN MARAK LAGI
Penambangan Batubara, emas dan Batuan mulai muncul kembali
setelah sekian lama hilang karena ketatnya pengawasan dari aparat
kepolisian maupun Dinas.
5. KINERJA SKPD DINAS PERTAMBANGAN DAN ENERGI RENDAH (JELEK)
DPA SKPD Dinas Pertambangan dan Energi telah disahkan oleh
Dewan, sementara dengan UU No.23/2014 DPA tersebut tidak dapat
dilaksanakan karena alasan kewenangan sudah tidak ada lagi. Maka
bagi SKPD yang tidak melaksanakan DPA, dapat penilaian kinerjanya
rendah.
6. SKP SEBAGAI PARAMETER PENGUKUR KINERJA AKAN RENDAH,
OTOMATIS NILAI DP3 PARA STAF, PEJABAT AKAN RENDAH YANG
BERIMPLIKASI TIDAK NAIK PANGKAT, CPNS SULIT MENJADI PNS
PENUH.
SEBAGAI BAGIAN ORANG PERTAMBANGAN YANG PEDULI
TERHADAP TATA KELOLA PERTAMBANGAN YANG BAIK DAN BENAR,
BERIKUT INI DIREKOMENDASIKAN BEBERAPA HAL :
a.

Selama penyerahan Personil, pendanaan, sarana dan prasarana
serta dokumen (P3D) dari Dinas Pertambangan dan Energi
Kabupaten/Kota ke Dinas Pertambangan dan Energi Propinsi belum

selesai agar Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten/Kota tetap
diberikan kewenangan melaksanakan sub urusan pertambangan
dan energi sesuai UU No. 04 tahun 2009 terkecuali perizinan dan
turunannya.
b.
Selambat-lambatnya Maret 2017 Dinas Pertambangan dan Energi
Provinsi sudah membentuk UPT atau Dinas pembantuan untuk
melaksanakan tugas-tugas pembinaan dan pengawasan terhadap
IUP-OP yang jumlahnya 873 buah IUP dan 17 buah PKP2B.
c.
Segera memetakan tenaga pengawas tambang yang memiliki
kompetensi yang ada di Kabupaten/Kota.
d. Perlunya asistensi oleh aparat Auditir keuangan bagi Dinas
Pertambangan di seluaruh Indonesia, sehingga meminimalisir
kesalahan penggunaan anggaran.
e. Perlu adanya petunjuk yang jelas terhadap mekanisme penyerahan
personel, khusus terhadap pegawai non teknis.
f. Perlu adanya kajian jika IUP mineral non logan dan Batuan diserahkan
ke Propinsi maka konsekuensi harus merubah UU No 28 Tahun 2009
tentang PDRD.
g. Perizinan pemanfaatan air tanah, Penetapan cekungan air tanah dan
penetapan nilai air tanah menjadi kewenangan propinsi sementara
pajak air tanah selama ini Kabupaten yang memungut.

DAFTAR ISIS
KATA PENGANTAR………………………………………………………………
SAMBUTAN…………………………………………………………………………
I.

PENDAHULUAN…………………………………………………………………
A. Otonomi Daera…………………………………………………………………
B. Kewenangan Daerah Pada Pertambangan Mineral dan Batubara……….
C. Kewajiban Pemegang Izin Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara…
D. Pengawasan Pertambanga Mineral dan Batubara………………………….

II. AUDIT BPK RI TAHUN 2008 DAN TIM OPN………………………………..
A. Dinas Pertambanga dan Energi Kabupaten Tapin……………………………
B. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar……………………….
C. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Laut………………….
D. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Tanah Bumbu……………….
E. Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Kota Baru…………………..
III. PROBLEM HASIL AUDIT BPK RI 2008 DAN IMPLIKASI KEBIJAKAN

i

A. Hasil Audit BPK RI 2008 Tidak Memiliki Kemampuan Memaksa……….
B. Hasil Audit Tim Optimalisasi Penerimaan Negara……………………………
C.
IV. TATA KELOLA PERTAMABNGAN ERA UNDANG-UNDANG NO. 04 TAHUN
2009…………………………………………………………………………………….
A. Perubahan Istilah Nama…………………………………………………………..
B. Terbitnya Kepmen 17 Tahun 2010……………………………………………….
C. Rekonsiliasi IUP Tahap Satu 2011……………………………………………….
D. Rekonsiliasi IUP Tahap Dua 2012……………………………………………….
E. Rekonsiliasi IUP Tahap Tiga 2013………………………………………………..
F. Rekonsiliasi IUP diserahkan ke Propinsi 2014……………………........................
V. KOORDINASI SUPERVISI DAN PENCEGAHAN KORUPSI KPK…………….
A. Korsupgah KPK 2013……………………………………………………………..
B. Korsupgah KPK 2014……………………………………………………………..
C. Upaya Penindakan KPK 2015……………………………………………………..
VI. TATA KELOLA PERTAMBANGAN MINERBA ERA UNDANG-UNDANG
NOMOR 23 TAHUN 2014……………………………………………………………
A. Penyerahan Kewenangan Bidang Pertamabngan Mineral dan Batubara serta Merta
Bukan By Proses……………………………………………………………………
B.
Penyerahan
Personil,
Dokumen……………………………….

Pendanaan,

….

Dan

C. Implikasi Kebijakan……………………………………………………………
VII. PENUTUP…………………………………………………………………………..

RENCANA USULAN PENELITIAN
I.

II.

JUDUL

: DISAIN KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN
KAWASAN
PASCA
TAMBANG
BATUBARA
BERKELANJUTAN (Studi Kasus Kabupaten Banjar Propinsi
Kalimantan Selatan).
Oleh : Ir. Sufrianto, MP.

PENDAHULUAN

1.1. Latara Belakang
Kalimantan Selatan merupakan salah satu propinsi yang kaya sumberdaya mineral
dan Batubara.

Aktifitas pertambangan terutama pertambangan Batubara di wilayah

Kalimantan Selatan dimulai sejak tahun 1995 yang waktu itu perizinan dikeluarkan oleh
Pemerintah Pusat dan yang diberikan konsesi adalah Koperasi Unit Desa (KUD) yaitu
izin kuasa pertambangan (KP), dan izin Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubara (PKP2B) yang diberikan kepada sektor swasta dengan badan hukum perseroan
terbatas dan sebagian besar pengusahanya berasal dari Jakarta.

Kuasa Pertambangan (KP) yang diberikan kepada Koperasi Unit Desa, ternyata
dimanfaatkan oleh penambang-penambang illegal (PETI) yang sebagian mereka adalah
pengurus KUD dan sebagian besar bukan pengurus KUD. Adanya penambang liar,
banyak lokasi-lokasi konsesi PKP2B

dilakukan penambangan secara illegal. Pada

tahun 2000 ada kebijakan pemerintah untuk memberantas kegiatan penambangn tanpa
izin (PETI) melalui Inpres Nomor 3 Tahun 2000. Berdasarkan Inpres tersebut dibentuk
Tim Terpadu Pencegahan dan Penanggulangan Penambangan Tanpa Izin ditingkat pusat,
daerah baik propinsi maupun kabupaten.

Kegiatan penambangan liar di Kalimatan

Selatan baru berkurang sangat signikan sejak tahun 2005 setelah dilakukan operasi PETI
tahun 2002 dan setelah era otonomi daerah yang diberikan untuk Pemerintah Kabupaten
dan Kota tahun 2001, dimana pemerintah pusat memberikan kewenangan kepada
Kabupaten dan Kota mengeluarkan izin kuasa pertambangan (KP) atau izin usaha
pertambangan (IUP). Berdasarkan data, bahwa eks penambangan tanpa izin (PETI),
banyak yang mengajukan izin usaha pertambangan (IUP) dan diakomudir oleh
pemerintah kabupaten dan diberikan pembinaan agar melakukan penambangan yang baik
dan benar (Good Mining Practice) dengan tujuan teknis suatu areal memiliki cadangan
terbukti (Mineable), secara ekonomi memberikan keuntungan bagi penambang,
pemerintah, masyarakat dan dari aspek lingkungan bahwa penambangan tersebut bisa
mengalokasin biaya untuk melakukan reklamasi yaitu menata (regrading), merekontur
(recounturing),

menebar tanah pucuk (spreading top soil) dan penanaman kembali

(revegetasi).
Propinsi Kalimantan Selatan tahun 2015 ini terdapat 17 buah pemegang konsesi
PKP2B yang dikeluarkan pemerintah pusat dan 870 buah Ijin Usaha Pertambangan (IUP)
yang sebagian besar adalah pertambangan batubara yang dikeluarkan pemerintah
kabupaten. Tambang Batubara tersebut terdapat di Kabupaten Banjar, Tapin, Tanjung,
Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kota Baru. Kalimantan Selatan merupakan salah satu
penghasil Batubara terbesar kedua setelah Kalimantan Timur. Sumberdaya dan cadangan
Batubara di Kalimatan Selatan sebesar 7.192.845.000 milliar metrik ton dan sebesar
3.598.400.000 milliar metrik ton (Atlas Pertambangan, 2003). Perkembangan produksi
Batubara dari 17 buah pemegang konsesi Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan
Batubra (PKP2B) dan 870 buah pemegangan Ijin Usaha Pertambangan Operasi Produksi
(IUP-OP) di Kalimantan Selatan

sejak tahun 2004 sampai tahun 2008 mengalami

peningkatan yang sangat signifikan akibat harga Batubara di pasar dunia cukup tinggi.
Produksi Batubara Kalimantan Selatan tahun 2008 sebesar

200.000.000 ton. Pada

Oktober 2008 terjadi penurunan harga Batubara, krisis harga ini sifatnya sementara
karena penurunan harga Batubara akibat adanya permainan para spekulan, sehingga
Oktober tahun 2009 sampai Juli 2012 harga Batubara dunia membaik, yang juga diikuti
dengan peningkatan produksi Batubara Kalimantan Selatan.
Salah satu penghasil Batubara terbesar di Propinsi Kalimantan Selatan untuk
kalori 6000 ke atas (6000 up) adalah Kabupaten Banjar. Produksi Batubara kalori tinggi
yang dihasilkan dari 7 pemegang PKP2B dan 5 IUP-OP sejak tahun 2004 sampai 2008
produksi tertinggi adalah 8,5 juta ton. Setelah krisis harga batubara yang terjadi pada
Oktober 2008, produksi Batubara Kabupaten Banjar mulai menurun, krisis ini tidak
berlangsung lama karena bulan Juli 2009 harga Batubara mulai membaik lagi sehingga
kegiatan produksi juga meningkat, namun pada bulan Juli 2012 akibat krisis eropa harga
batubara menurun kembali dan puncak harga tertekan terjadi pada bulan Mei 2015 dari
harga tertinggi sebelumnya sebesar 129 US Dollar per ton Batubara menjadi 61 US
Dollar per ton Batubara untuk jenis kalori tinggi (high calori), sedangkan Batubara kalori
rendah (low kalori) dari harga tertinggi 40 US Dollar menjadi 13,6 US Dollar per ton.
Akibatnya hampir semua perusahaan menurunkan produksi, padahal kalau tidak ada
masalah harga, maka tambang-tambang PKP2B Kabupaten Banjar diperkirakan
melakukan penutupan tambang sekitar tahun 2013 dan 2016. Karena ada perubahan target
produksi, rencana penutupan tambang dari beberapa PKP2B direvisi untuk dilakukan
penundaan dan diperkirakan penutupan tambang baru dimulai pada tahun 2016.
Tahun 2009 jumlah izin tambang Batubara Kabupaten Banjar adalah sebanyak
49 buah yang dikeluarkan Bupati dengan luas lahan….. Ha dan 7 buah izin PKP2B yang
dikeluarkan pemerintah pusat dengan luas…………… Ha.. Sedangkan pemegang IUPOP lain yang masih memiliki potensi cadangan cukup besar adalah pemegang IUP-OP
jenis batubara kalori rendah. Cadangan Batubara Wilayah Kabupaten Banjar per Januari
2015 untuk PKP2B dan IUP-OP untuk kalori tinggi (high calori) sebesar 28.000.000 MT,
dan untuk IUP-OP yang memiliki jenis kalori rendah (low calori) masih 150.000.000
MT (Dinas Pertambangan dan Energi Kabupaten Banjar, 2015).. Potensi sumberdaya
alam yang dimiliki Kabupaten Banjar tersebut membawa dampak cukup besar bagi
pertumbuhan perekonomian, penyerapan tenaga kerja, penerimaan Negara baik
pemerintah pusat, Kabupaten dan Kota dari sektor royalty (PNBP) dan pajak sejak tahun
2004 sampai sekarang. Berdasarkan struktur perekonomian Kabupaten Banjar sektor
pertambangan menempati urutan kedua, ini membuktikan bahwa sektor pertambangan
memberikan kontribusi yang cukup besar.

Meskipun

sektor pertambangan memberikan kontribusi yang cukup besar

terhadap penerimaan APBN dan APBD dan pertumbuhan perekonomian masyarakat
sekitar tambang, namun masyarakat tidak sedikit yang mengkawatirkan bahwa
penambangan yang tidak dikelola dengan baik akan berdampak negatif terhadap
pelaksanaan pasca tambang (mine closure).
Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara pasal 99 ayat (1) Setiap pemegang IUP dan IUPK wajib menyerahkan rencana
reklamasi dan rencana pascatambang pada saat mengajukan permohonan IUP Operasi
Produksi atau IUPK Operasi Produksi. (2)

Pelaksanaan reklamasi dan kegiatan

pascatambang dilakukan sesuai dengan peruntukan lahan pascatambang. (3) Peruntukan
lahan pascatambang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan dalam perjanjian
penggunaan tanah antara pemegang IUP atau IUPK dan pemegang hak atas tanah. Pasal
100 ayat (1) Pemegang IUP dan IUPK wajib menyediakan dana jaminan reklamasi dan
jaminan pascatambang.

(1)

Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan

kewenangannya dapat menetapkan pihak ketiga untuk melakukan reklamasi dan
pascatambang dengan dana jaminan sebagaimana dimaksud pada ayat (1). (3) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberlakukan apabila pemegang IUP dan IUPK
tidak melaksanakan reklamasi dan pascatambang sesuai dengan rencana yang telah
disetujui.
Berdasarkan Peratuaran pemerintaha Nomor 78 Tahun 2010 tentang Reklamasi
dan Pascatambang dinyatakan bahwa prinsip-prinsip reklamasi dan pascatambang
meliputi :
1.

Aspek Lingkungan

a.

Perlindungan terhadap kualitas air permukaan, air tanah, air laut dan tanah serta
udara;

b.

Perlindungan terhadap keanekaragaman hayati;

c.

Stabilitas dan keamanan timbunan batuan penutup, kolam tailing, lahan bekas
tambang, serta struktur buatan (Man-Made Structure) lainnya;

d.

Pemanfaatan bekas tambang sesuai peruntukannya;

e.

Menghormati nilai-nilai social dan budaya setempat dan

f.

Kuantitas air tanah.

2.

Aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerja

a.

Perlindungan keselamatan terhadap setiap pekerja;

b.

Perlindungan setiap pekerja dari penyakit akibat kerja;

3. Aspek Konservasi
a.

Pertambangan yang optimum dan penggunaan teknologi pengolahan efektif dan
efisien.

b.

Pengelolaan dan / atau pemanfaatan cadangan marginal kualitas rendah mineral
kadar rendah dan mineral ikutan.

c.

Pendataan sumberdaya mineral dan batubara yang tidak tertambang (yang tidak
mineable) serta sisa pengolahan pemurnian pemurnian.
Kegiatan konservasi perlu dilakukan sebagai upaya memacu pelaksanaan

reklamasi agar sebanding laju kegiatan penambangan serta untuk mengoptimalkan upaya
pemulihan lingkungan bekas tambang. Kegiatan konservasi diantara meliputi konservasi
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya, konservasi tanah, dan konservasi air.
Langkah-langkah tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya.

Model-model reklamasi

pascatambang batubara yang bisa ditawarkan kepada stakeholder, sampai saat ini diduga
belum ada yang berpihak pada pembangunan kawasan pascatambang batubara yang
berkelanjutan dengan menganut prinsip memanfaatkan, melindungi dan melestarikan
lingkungan.

Sementara itu, pelaksanaan reklamasi yang dilakukan sampai saat ini

sifatnya sekedar memenuhi tuntutan prosedur, yakni menjadikan reklamasi sebagai
bagian dari persyaratan pelaksanaan pertambangan, yang penting areal reklamasi dapat
dihijaukan dengan jenis-jenis tanaman cepat tumbuh (fast growing) yang sebagian besar
belum memadai.
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka perlu dilakukan penelitianpenelitian untuk mengetahui dampak pascatambang terhadap ekologi-fisik lingkungan,
ekonomi dan sosial masyarakat di sekitar kawasan pascatambang batubara Kabupaten
Banjar. Perlu diukur tingkat indeks keberlanjutan faktor ekologi, ekonomi dan social,
menganalisis berbagai kebijakan yang ada, serta kendala implementasinya di lapangan,
selain itu perlu diteliti factor-faktor lain yang mempengaruhi pengendalian pascatambang
batubara,

sehingga

dapat

disusun

arahan

alternatif

kebijakan

dan

strategi

implementasinya bagi pengelolaan kawasan pascatambang yang berkelanjutan.
1.2. Perumusan Masalah
Lahan-lahan pascatambang bisa memberikan manfaat optimal dan berkelanjutan
sangat tergantung pada sejauh mana pelaksana-pelaksana di lapangan dan komitmen
manajemen perusahaan terhadap pertambangan yang baik dan benar (Good Mining

Practice) yang meliputi teknis eksplorasi, penetapan cadangan, studi geoteknik, studi
hidrologi, teknis penambangan, pengangkutan, pengolahan. Teknis pertambangan yang
baik perlu diperhatikan antara lain : pemilihan metode penambangan yang tepat untuk
menambang semua cadangan, perencanaan tahapan penambangan dan penentuan urutan
blok penambangan, perencanaan penirisan, upaya pengamanan tanah pucuk, sinkronisasi
rencana backfilling, jadwal pelaksanaan reklamasi pada daerah yang telah selesai
ditambang.

Pengelolaan dan pemanfaatan lahan bekas penambangan batubara tidak

hanya meliputi aspek lingkungan, tetapi juga mencakup aspek ekonomi dan social
Proses penambangan batubara dengan cara membongkar tanah penutup (over
burden) baik menggunakan alat-alat mekanik maupun peledakan (blasting) dan
pemindahan tanah penutup merupakan metode penambangan secara terbuka (open pit).
Penambangan secara terbuka (open pit), maka bahan non tambang seperti batuan, batu
liat, sendstone, dan tanah lapisan atas atau tanah pucuk (top soil) akan berubah tempat,
yang semula lembah menjadi bukit, yang sebelumnya bukit menjadi lembah, bahkan
bukit menjadi lobang tambang (void). Bukit-bukit yang baru dari hasil penimbunan tanah
penutup dengan kemiringan (single slope) antara 200 – 600 dan untuk kemiringan secara
keseluruhan adalah 150 - 300, sedangkan lebar teras dan tinggi teras sangat tergantung
studi geoteknik.

Kondisi ini sangat rentan terhadap terjadinya erosi dan longsoran

(sliding). Penambangan terbuka akan merubah bentang alam terutama topografi dan
morfologi rona awal, sebagian besar akan berubah dan dapat dilihat pada pasca tambang.
Tanah bekas tambang berbeda dengan tanah yang terbentuk dan berkembang
secara alami. Perbedaan ini ditandai dengan adanya sifat-sifat negative yang ditimbulkan
oleh kerusakan pada saat reklamasi. Karakteristik tanah bekas tambang antara lain :
kualitas fisik jelek karena perusahaan tidak melakukan manajemen tanah pucuk dengan
baik, tanah pucuk terkadang sudah tidak terlihat lagi dan terlihat adalah berupa batuan
sehingga menjadi media tumbuh yang jelek; sifat kimia tanah bekas tambang kurang baik
dan kebanyakan adalah bersifat asam, termasuk di dalamnya kesuburan yang sangat
rendah, toksisitas dan keasaman yang tinggi, kualitas hidrologi yang jelek dicirikan
dengan daya pegang air (water holding capacity), percepatan aliran air permukaan (run
off) dan erosi serta rendahnya kualitas biologi tanah (Haigh, 2000) di dalam Nurita
Sinaga (2010). Kondisi tanah yang merupakan perpaduan sifat-sifat fisik, kimia dan
biologi tanah, merupakan salah satu factor yang menentukan keberhasilan revegetasi
lahan pascatambang. Index properties tanah seperti densitas, porositas, permiabilitas,
kadar air, kesuburan, dan ukuran butir merupakan parameter yang mempengaruhi

perbandingan setiap kandidat material, sehingga diperoleh material baru (artificial
substrate) yang mempunyai karakteristik optimal untuk media tumbuh tanaman.
Memerlukan waktu yang lama jika tanah pasca tambang batubara diharapkan kembali
pada keadaan semula, maka intervensi melalui kebijakan reklamasi menjadi alternatif
agar degradasi kulaitas lahan dapat diminimalkan.
Dari

aspek

ekonomi

masih

memerlukan

analisis

manfaat-biaya

untuk

membandingkan antara dana yang diperoleh jika dilakukan dilakukan penambangan
dibandingkan keuntungan yang melestarikan kawasan tambang. Sedangkan dari sudut
pandang sosial, masyarakat setempat perlu dipertanyakan manfaat keberadaan
pertambangan batubara di lokasi tempat tinggal, dan apakah lebih besar manfaatnya atau
dampak negatif yang ditimbulkan.
Berdasarkan evaluasi Tim rencana penutupan tambang (RPT) PD. Baramarta, PT.
Nusantara Citra Jaya Abadi, PT. Tanjung Alam Jaya, PT. Putra Bara Mitra dan CV.
Gunung Sambung tahun 2010, menjelaskan bahwa ada beberapa deskripsi rencana
program pascatambang tidak memadai seperti : (1) Rona awal meliputi status kemilikkan
lahan dan peruntukan lahan, kesesuaian peruntukan lahan, air permukaan dan air tanah.
(2) Rona akhir meliputi morfologi, air permukaan dan air tanah, biologi aquatik dan
terrestrial, uraian akuatik dan terrestrial. (3)

Hasil konsultasi dengan stakeholders

mengenai tanggapan, saran, pendapat dan pandangan dengan pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap rencana pascatambang termasuk rencana alih pengelolaan
Program pascatambang meliputi reklamasi, pemeliharaan dan perawatan, sosial ekonomi.
Keberadaan perusahaan pertambangan disamping berdampak positif juga diikuti
dampak negatif.

Dampak positif masuknya investasi di sektor pertambangan dapat

menggerakan perekonomian dan menjadikan pusat ekonomi baru untuk daerah-daerah
berkembang. Komoditas tambang yang yang saat ini masih menjadi primadona investasi
sekaligus menjadi penggerak primer perekonomian daerah. Perputaran perekonomian
tersebut diharapakan dapat berkelanjutan sehingga setelah komoditas tambang habis dan
berakhir, pertumbuhan ekonomi pembangunan di daerah tersebut masih dapat berlanjut
dengan sumber lain selain pertambangan. Aspek yang memberikan dampak positif
keberadaan tambang adalah kesempatan kerja dan berusaha, tumbuhnya ekonomi mikro
serta peningkatan pendapatan sepanjang operasi penambangan berlangsung sedangkan
dampak negatif seperti pelepasan tenaga kerja, sementara masyarakat yang belum
berdaya mengembangkan usaha lainnya. Permasalahan tersebut akan berlangsung dari
waktu ke waktu, dari kondisi yang demikian para pekerja tambang batubara lebih

memilih menunggu menjadi tenaga kerja atau buruh pada lokasi penambangan yang lain
dan pada saat kondisi seperti ini beban tanggungan keluarga meningkat.
Berdasarkan gambaran di atas, dalam penelitian ini dirumuskan lima
permasalahan penelitian yaitu :
1.

Terjadi kerusakan lingkungan pada kawasan pascatambang batubara seperti
menurunnya kemampuan lahan, dan air menjadi bersifat asam.

2.

Dimensi ekonomi dan sosial juga akan berdampak negatif.

3.

Implementasi

terhadap

aturan

dan

kebijakan

pengelolaan

kawasan

lahan

pascatambang batubara belum optimal dilaksanakan, atau aturan kebijakan yang ada
sesungguhnya belum mengakomudir kebutuhan stakeholders.
4.

Belum tersedianya disain kebijakan dan strategi untuk pengelolaan kawasan
pascatambang batubara yang berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder untuk
mengakomudir dimensi ekologi, ekonomi dan sosial budaya.

1.3. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah tersusunnya sebuah disain sebuah desain kebijakan dan
strategi pengelolaan kawasan pascatambang batubara berkelanjutan untuk meningkatkan
komitmen penambangan yang baik dan benar, kualitas lingkungan, ekonomi dan sosial
masyarakat di Kabuapaten Banjar. Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1.

Mengetahui komitmen perusahaan pertambangan terhadap penambangan yang baik
dan benar (good mining practice) untuk mencapai pascatambang berkelanjutan.

2.

Mengetahui kondisi saat ini faktor fisik lingkungan meliputi tanah, air dan vegetasi.

3.

Mengetahui indeks keberlanjutan kondisi saat pasca tambang batubara, berdasarkan
dimensi ekologi (fisik lingkungan), ekonomi dan social.

4.

Mengetahui faktor kunci pengelolaan kawasan pascatambang batubara yang
berkelanjutan.

5.

Mengetahui keterlibatan pemangku kepentingan seperti Bappeda, Dinas Pertanian,
Dinas Perkebunan, Dinas Pariwisata dan Kehutanan dan Badan Lingkungan Hidup
apakah sudah memiliki rencana strategis yang menjadi pedoman bagi perusahaan
dalam menyusun rencana pascatambang.

6.

Merumuskan arahan kebijakan dan strategi implementasi dalam pengelolaan
kawasan pascatambang batubara berkelanjutan.

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi :
1.

Memberikan sumbangan ilmu pengetahuan

aplikasi dibidang pengelolaan

kawasan pascatambang batubara berkelanjutan, untuk membantu menyelesaikan
permasalahan pengelolaan kawasan pascatambang khususnya di Kabupaten
Banjar dan wilayah-wilayah tambang di Indonesia pada umumnya.
2.

Semua pihak yang berkepentingan (stakeholder) yang terlibat dalam pengelolaan
kawasan pascatambang dapat memberikan alternatif dalam mengambil keputusan
sesuai rencana dan strategi daerah masing-masing.

3. Sebagai bahan bagi pemerintah pusat dan daerah , sebagai acuan dalam
menyusun kebijakan pengelolaan kawasan pascatambang batubara keberlanjutan
dengan strategi baru berbasis kebutuhan semua pihak.
1.5.

Kerangka Pemikiran
Kegiatan penambangan batubara dengan metode tambang terbuka (open pit)

adalah suatu kegiatan yang dapat merubah bentang alam, baik topografi dan morfologi.
Kawasan pascatambang batubara yang mencakup kegiatan perencanaan, pelaksanaan,
pengendalian dan evaluasi diharapkan mampu mengembalikan fungsi penggunaan pasca
tambang untuk tujuan produktif seperti pertanian, perkebunan, hutan tanaman industri
maupun untuk tujuan perbaikan lingkungan.
Kondisi saat ini (existing condition), sebelum adanya kegiatan penambangan
secara legal, banyak penambang-penambang batubara secara illegal terjadi di wilayah
Kabupaten Banjar. Kegiatan penambang illegal (PETI) terjadi ketika tahun 1995
pemerintah pusat memberikan izin kuasa penampangan (KP) kepada daerah-daerah yang
memiliki badan hukum Koperasi. Penambangan tanpa izin (PETI) berlangsung sampai
tahun 2005 di wilayah izin PKP2B, pemegang PKP2B, IUP-OP dan subkontraktor yang
bekerja di wilayah izin PKP2B dan IUP-OP yang tidak memperhatikan kaidah-kaidah
penambangan yang baik dan benar, kawasan hutan dimana kegitan tambang berada tidak
lagi berupa hutan, namun kebanyakan berupa tanaman jenis alang-alang dan jenis kayu
yang batangnya tidak besar seperti alaban. Kerusakan lingkungan pada masa operasi
penambangan secara umum dapat di lihat terjadinya pencemaran sungai adanya partikel
yang terbawa aliran air, rusaknya sistem tata air akibat terpotongnya akuifer-akuifer,
lambatnya perusahaan melakukan reklamasi bagi tambang yang selesai (mine out), squen
penambangan yang tidak sesuai karena mengejar target produksi, sistem pengedalian
erosi tidak seimbang dengan daerah tangkapan air (catchment area), tidak ada
pengamanan tanah pucuk terutama area disposal. Dokumen lingkungan yang masih

merekomendasikan jenis tanaman akasia untuk revegetasi di lahan bekas tambang di
kawasan area penggunaan lain (APL).
Dalam suatu kebijakan ada beberapa hal yang perlu di lihat yaitu : (1)
produknya atau substansinya, (2) implementasi dari kebijakan dan (3) pengendaliannya.
Dalam tataran operasionalnya, produk peraturan perundang-undangan dan kebijakan
yang ada mulai dari

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri,

Peraturan Daerah belum sepenuhnya dilaksanakan.

Kondisi ini dapat disebabkan

karena lemahnya substansi, atau substansi sudah memadai namun lemah dalam
implementasi dan pengendaliannya.
Kawasan Pasca Tambang Batubara
Kebijakan dan Strategi
Pengelolaan masa lau
-

Melakukan Good Mining
Practice
Tidak melakukan good
Good Mining Practice

Kondisi saat ini (existing
condition)
- Ekologi
- Sosial
- Ekonomi

Analisis Kebijakan : UU, PP, Kepmen, Perda,
SK Bupati.
(Mamadai / Tidak Memadai)
- Substansi
- Implementasi
- Pengendalian

Status Keberlanjutan saat ini

Faktor Kunci Pengelolaan Kawasan

Skenario dan arahan alternatif
Kebijakan
Disain Kebijakan dan Strategi
Pengelolaan Kawasan Pasca Tamang

Gambar 1.1. Kerangka Pemikiran Penelitian

1.6. Kebaharuan (Novelty) Penelitian
Penelitian ini adalah pengembangan dari beberapa penelitian sebelumnya
yangberhubungan dengan pengelolaan kawasan pasca tambang batubara. Kebaharuan
(Novelty) penelitian ini adalah :
Membangun disain kebijakan dan strategi pengelolaan kawasan pasca tambang batubara
berkelanjutan berbasis kebutuhan stakeholder dan faktor kunci utama (pemulihan lahan
pasca tambang, pengelolaan sumberdaya alam renewable sebagai ekonomi baru,
transformasi pasca tambang berupa pariwisata, peternakan, perikanan, penyerapan tenaga
kerja pasca tambang batubara) dengan memperhatikan nilai hasil Appraisal Post Coal
Mining Sustainable (APCMS)

II.

b.1.

TINJAUAN PUSTAKA
Penambangan yang Baik dan Benar (Good Mining Practice)
Kegiatan pertambangan telah memberikan sumbangan yang sangat penting dalam

pembangunan nasional, baik dalam penyediaan bahan baku industry dalam negeri,
sumber devisa, penyediaan lapangan pekerjaan maupun dalam pengembangan
pembangunan wilayah terutama di daerah terpencil. Selain sebagai sumber penerimaan
Negara dari pajak dan non pajak, kegiatan usaha pertambangan mempunyai potensi besar
untuk menciptakan momentum bagi berlangsungnya pembangunan secara umum,
terutama dalam menciptakan infrastruktur, peluang kesempatan berusaha dan
berlangsungnya transformasi teknologi, sosialdan budaya.

Kondisi tersebut memicu

dilakukannya kegiatan pertambangan secara besar-besaran di seluruh Indonesia, baik
secara legal maupun illegal. Sebagian kecil dari kegiatan pertambangan tersebut telah
dilakukan secara baik dan benar, namun sebagian besar diantaranya belum
melaksanakannya secara konsekuen sehingga banyak terjadi pemborosan bahan galian
sekaligus perusakan lingkungan sekitar tambang serta menimbulkan berbagai
permasalahan. Di lain pihak sumber daya bahan galian adalah merupakan sumber daya
yang tak terbarukan, sehingga strategi pemanfaatannya perlu dilakukan secara tetap
memelihara dan bahkan meningkatkan fungsi daya dukung lingkungan daerah tambang
dan sekitarnya.
Dengan diterapkan “Good Mining Practice” diharapkan kegiatan pertambangan
tersebut dapat menghasilkan benefit yang optimal serta tetap dapat memelihara dan
bahkan meningkatkan fungsi daya dukung lingkungan daerah tambang dan sekitarnya
serta meminimalkan permasalahan yang mungkin terjadi. Good Mining Practice adalah

pelaksanaan pertambangan yang baik dan benar, terdiri dari rangkaian komponen yang
harus dilakukan secara konsisten sehingga dapat menghasilkan manfaat yang oftimal
sekaligus memelihara fungsi daya dukung lingkungan serta meminimalkan permasalahan
yang terjadi, komponen tersebut adalah (1)

Penerapan Teknis Pertambangan

(2)

Penerapan Konservasi Bahan Galian (3) Peduli Lingkungan (4) Peduli Keselamatan
dan Kesehatan Kerja

(5)

Peningkatan Nilai Tambah

dan (6)

Penerapan Standar

Pertambangan. Jika komponen-komponen Good Mining Practice melibatkan partisipasi
dan harmonisasi masyarakat yang sejalan dengan peraturan perundangan maka akan
dicapai hasil yang optimal, efisien dan ekonomis yang pada akhirnya akan dicapai
pembangunan berkelanjutan.
Teknis eksplorasi meliputi (1) Penetapan cadangan (2) Studi Geoteknik (3)
Studi Hidrologi (4) Studi Kelayakan (5) Teknis Penambangan (6) Teknis Pengangkutan
dan (7) Teknis Pengolahan / Pemurnian. Peduli lingkungan, kegiatan pertambangan
mempunyai potensi meninmbulkan perubahan terhadap lingkungan, antara lain
pembukaan lahan, penimbunan batuan penutup, pembuangan limbah, perubahan kualitas
air dan pola penirisannya serta aspek social dan budaya masyarakat. Sebelum dilakukan
suatu kegiatan pertambangan maka setiap perusahaan wajib menyusun dokumen
AMDAL/UKL-UPL, terdiri dari dokumen Studi Andal, Rencana Pengelolaan
Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan yang harus mendapat persetujuan dari
pemerintah.

Dalam dokumen tersebut perusahaan berkomitmen untuk melakukan

penanganan masalah lingkungan serta memberikan jaminan Reklamasi.
b.2.

Tahapan Pasca Tambang
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 dan peraturan turunannya,

bahwa perusahaan selambat-lambatnya dua tahun sebelum penutupan tambang wajib
menyampaiakan dokumen rencana penutupan tambang kepada pemerintah, baik
Bupati/walikota, Gubernur dan Menteri dan mendapatkan persetujuan pemerintah.
Namun Peraturan Menteri Nomor 18 Tahun 2008 tentang Reklamasi dan Penutupan
Tambang, mensyaratkan bahwa perusahaan pertambangan mineral dan batubara wajib
menyampaikan dokumen Rencana Penutupan Tambang satu tahun sebelum dilakukan
penutupan tambang kepada pemerintah dan harus mendapatkan persetujuan. Sedangkan
Undang-Undang Nomor 04 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara,
bahwa semua perusahaan pertambangan mineral dan batubara

atau Ijin Usaha

Pertambangan Eksplorasi (IUP-Ekplorasi) yang akan ditingkatkan menjadi Ijin Usaha

Pertambangan Operasi Produksi (IUP-OP) disyaratkan menyusun dokumen Rencana
Reklamasi dan dokumen Renca Penutupan Tambang yang disampaikan ke pemerintah
dan mendapat persetujuan.
Dokumen Rencana Penutupan Tambang (RPT) harus mengikuti format penulisan
berdasarkan Peratuaran Menteri Nomor 09 Tahun 2014 tentang Reklamasi dan Pasca
Tambang yang meliputi (1) Pendahuluan yang menggambarkan latar belakang, yaitu
identitas perusahaan, uraian singkat mengenai peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan kegiatan penutupan tambang, uraian singkat mengenai status perizinan.
Maksud dan tujuan dan pendekatan dan ruang lingkup. (2) Profil wilayah mencakup
sekurang-kurangnya mencakup hal-hal sebagai: Lokasi kesampaian daerah, kepemilikan
dan peruntukan lahan, rona lingkungan awal, kegiatan lain di sekitar tambang.

(3)

Diskripsi kegiatan pertambangan, menggambarkan keadaan cadangan, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, fasilitas penunjang. (4) Gambaran rona akhir tambang,
menjelaskan keadaan cadangan, peruntukan lahan, morfologi, air permukaan dan air
tanah, biologi akuatik dan teresterial. (5) Hasil konsultasi dengan pemangku kepentingan
(stakeholders), mencakup tanggap

Dokumen yang terkait

Analisis Pengaruh Pengangguran, Kemiskinan dan Fasilitas Kesehatan terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia di Kabupaten Jember Tahun 2004-2013

21 388 5

PENGALAMAN KELUARGA DALAM MERAWAT ANGGOTA KELUARGA DENGAN GANGGUAN JIWA (SKIZOFRENIA) Di Wilayah Puskesmas Kedung Kandang Malang Tahun 2015

28 256 11

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

Aspek Normatif UU Kepailitan (Bagian I)

4 84 3

Analisis Pertumbuhan Antar Sektor di Wilayah Kabupaten Magetan dan Sekitarnya Tahun 1996-2005

3 59 17

Analisis tentang saksi sebagai pertimbangan hakim dalam penjatuhan putusan dan tindak pidana pembunuhan berencana (Studi kasus Perkara No. 40/Pid/B/1988/PN.SAMPANG)

8 102 57

ANALISIS YURIDIS TENTANG PENYELESAIAN SENGKETA MEREK AIR MINUM MINERAL "AQUA-versus-INDOQUALITY" (Studi Putusan Mahkamah Agung RI No. 04.PK/N/HaKI/2004)

2 65 91

DAMPAK INVESTASI ASET TEKNOLOGI INFORMASI TERHADAP INOVASI DENGAN LINGKUNGAN INDUSTRI SEBAGAI VARIABEL PEMODERASI (Studi Empiris pada perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) Tahun 2006-2012)

12 142 22

Hubungan antara Kondisi Psikologis dengan Hasil Belajar Bahasa Indonesia Kelas IX Kelompok Belajar Paket B Rukun Sentosa Kabupaten Lamongan Tahun Pelajaran 2012-2013

12 269 5

Peningkatan keterampilan menyimak melalui penerapan metode bercerita pada siswa kelas II SDN Pamulang Permai Tangerang Selatan Tahun Pelajaran 2013/2014

20 223 100