MEMPREDIKSI BEHAVIOUR INTENTION MELALUI REPUTASI DAN FAILURE ATTRIBUTION

  

MEMPREDIKSI BEHAVIOUR INTENTION MELALUI

REPUTASI DAN FAILURE ATTRIBUTION

Nunung Ghoniyah

Fakultas Ekonomi Universitas Islam Sultan Agung Semarang

[email protected]

  

Abstrak

Perusahaan dengan reputasi yang sangat baik mengarahkan pada niat berperilaku yaitu keinginan pembelian ulang dan melakukan positive word of mouth. Namun bukti lain menunjukkan bahwa failure attribution (stability dan controlability) menjadi variabel moderating antara reputasi perusahaan dengan niat berperilaku. Jika kegagalan sering terjadi, penyebab kegagalan berasal dari internal perusahaan dan perusahaan tidak bertanggungjawab terhadap kegagalan tersebut, maka pengaruh antara reputasi dengan niat berperilaku akan melemah. Sebaliknya, jika kegagalan itu jarang terjadi, penyebab kegagalan itu berasal dari eksternal dan perusahaan memperlihatkan tanggungjawabnya terhadap kegagalan tersebut, maka pengaruh reputasi dengan niat berperilaku akan menguat.

A. PENDAHULUAN

  Tiap perusahaan, tidak memandang seberapa baiknya perusahaan tersebut, tetap membuat kesalahan-kesalahan pada saat memenuhi harapan- harapan konsumen yang sekarang ini cenderung lebih menuntut dan kurang loyal (Nikbin et al., 2011). Bitner (1993) menyatakan bahwa karena keunikan yang melekat pada jasa, sangatlah tidak mungkin untuk meyakinkan 100% penawaran jasa bebas dari kesalahan. Bahkan banyak perusahaan yang telah berorientasi pada konsumen dengan program kualitas pelayanan yang prima tidak mampu menghilangkan semua kegagalan penyampaian jasa (del Rio- Lanza et al., 2009). Jadi, kegagalan-kegagalan dalam penyampaian jasa merupakan tantangan yang cukup signifikan bagi tiap perusahaan jasa.

  Riset-riset sebelumnya menemukan bahwa kegagalan penyampaian produk dan jasa dapat mendatangkan konsekuensi yang tidak diharapkan, seperti kemarahan konsumen (Folkes et al., 1987), ketidakpuasan (Bitner at

  al., 1990; Hess et al., 2003; Tsiros et al., 2004), keinginan mengajukan

  komplain (Folkes et al., 1987), keinginan untuk menyakiti perusahaan

  Pada saat karyawan menyampaikan jasa, konsumen mengharapkan banyak hal dari organisasi jasa yang mempunyai reputasi yang baik dalam kualitas jasanya. Riset-riset sebelumnya menunjukkan bahwa reputasi perusahaan mempengaruhi respon konsumen, seperti pilihan produk dan jasa (Traynor, 1983), sikap (Brown, 1995), niat beli (Yoon et al., 1993) dan kepercayaan (Johnson dan Grayson, 2005). Hess (2008) menemukan bahwa reputasi perusahaan mempunyai pengaruh langsung dengan niat beli ulang dan rekomendasi dari mulut ke mulut.

  Meskipun variabel reputasi perusahaan telah diteliti, namun masih sangat sedikit riset yang menguji pengaruh reputasi perusahaan dalam konteks kegagalan jasa atau penanganan komplain (Hess, 2008).

  Sebagai tambahan, dalam bidang marketing terkini, penyebab- penyebab kegagalan jasa termasuk stability dan controllability telah ditekankan sebagai subyek penting. Riset menunjukkan bahwa konsumen sering mencari penjelasan penyebab dari kegagalan jasa (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990).

B. REPUTASI

  Reputasi perusahaan merupakan faktor strategis yang sangat penting bagi suatu organisasi. Hall (1992) menyatakan bahwa reputasi adalah aset strategis yang berpengaruh signifikan terhadap kesuksesan bisnis secara keseluruhan. Greyser (1999) juga menyatakan bahwa memanaj dan membangun reputasi dapat menghasilkan tiga manfaat bagi suatu perusahaan, yaitu: (1) meningkatkan daya tarik perusahaan dibandingkan dengan perusahaan sejenis, (2) mempertahankan perusahaan diwaktu krisis, (3) meningkatkan financial returns. Charles dan Siah (2002) menambahkan konsumen memiliki sedikit pengetahuan tentang pilihan produk.

  Reputasi perusahaan didefinisikan sebagai persepsi konsumen tentang bagaimana perusahaan memperhatikan konsumen dan memperhatikan tentang Reputasi juga didefinisikan sebagai nilai jangka panjang yang dibangun perusahaan bagi konsumennya (Chen dan Chen, 2009). Reputasi perusahaan ini sangat penting bagi pelanggan untuk memberikan gambaran terhadap kualitas produk yang dihasilkan (Brown dan Dacin, 1997). Reputasi perusahaan dapat dilihat dari kompetensi perusahaan tersebut dan keunggulan dibandingkan dengan kompetitornya (Herbig et al., 1994 dalam Margaretha, 2004).

  Reputasi perusahaan dibangun sepanjang waktu melalui proses sosial yang sangat kompleks yang melibatkan stakeholder internal maupun eksternal (Deephouse, 2000). Riset telah menunjukkan bahwa reputasi mempengaruhi pilihan produk (Traynor, 1983), sikap terhadap produk dan jasa (Brown, 1996), kepercayaan (Johnson dan Grayson, 2005) dan niat beli (Yoon et al., 1993).

C. BEHAVIOUR INTENTION C.1. Word of Mouth Intention.

  Banyak dari studi-studi marketing menjelaskan bahwa komunikasi dari mulut ke mulut mempunyai pengaruh terhadap keputusan pembelian.

  WoM communication merupakan pertukaran informasi baik positif

  maupun negatif yang dilakukan secara informal antar individual mengenai suatu produk atau jasa. Kegiatan ini dapat dilakukan melalui pertemuan langsung, melalui telpon atau internet. Menurut Lovelock, Wirtz, Keh dan Lu (2005) dalam Nikbin et al. (2011) komunikasi dari mulut merupakan rekomendasi yang berasal dari konsumen lain yang dipandang secara umum dapat dipercaya dibandingkan dengan promosi yang dilakukan perusahaan. lebih efektif dibandingkan dengan iklan di majalah dan surat kabar, empat kali lebih efektif dibandingkan dengan personal selling, dan dua kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan di radio dalam hal

  Lebih jauh, Day (1971) mengestimasi bahwaWoM sepuluh kali lebih efektif dibandingkan dengan iklan. Morin (1983) memperlihatkan bahwa rekomendasi dari orang lain tiga kali lebih efektif. Saat itu, Morin menggunakan sampel lebih dari 600 poduk yang berbeda.

  Banyak riset telah dilakukan untuk melihat efek komunikasi dari mulut ke mulut ini. Sebagian besar dari riset tersebut mengambil obyek produk, namun sebenarnya WoM ini lebih relevan diterapkan di industri jasa. Hal ini disebabkan karena jasa bersifat intangible, jadi keputusan pembeliannya penuh dengan risiko (Tjiptono, 2010). Oleh karena itu, pada umumnya konsumen jasa lebih mengandalkan dan lebih percaya pada WoM dibandingkan dengan iklan. Sebagai contoh, dalam industri jasa, konsumen membuat tiga kriteria dalam hal mengevaluasi jasa. Nelson (1970) menyatakan bahwa konsumen akan mengevaluasi search

  quality pada saat akan mengkonsumsi jasa, yaitu atribut jasa yang dapat

  dievaluasi sebelum membeli. Kedua, Nelson (1970) menyatakan bahwa konsumen akan mengevaluasi experience quality, yaitu atribut jasa yang dapat dievaluasi selama konsumen jasa, seperti kecepatan dan ketepatan janji. Darbi dan Karni (1973) menjelaskan tentang kriteria yang ketiga, yaitu credence quality, yaitu atribut jasa yang sulit dievaluasi meskipun telah membeli. Dalam hal ini konsumen hanya mengandalkan pada reputasi perusahaan. Harisson dan Walker (2001) menyatakan bahwa

  experience dan credence quality itulah yang menjadi bahan pembicaraan dalam WoM.

  Komunikasi dari mulut ke mulut dapat dijadikan sebagai kekuatan bertindak bagi konsumen yang puas dan yang tidak puas. Konsumen yang puas dengan kualitas produk dan jasa perusahaan akan bersedia merekomendasikan produk atau jasa tersebut kepada pihak- pihak lain yang kemudian akan berkembang menjadi informasi dari mulut ke mulut positif yang sangat bermanfaat bagi perusahaan (Fill, Carpenter dan Fairhust (2005) bahwa kepuasan konsumen akan secara positif mempengaruhi komunikasi dari mulut ke mulut dan mempengaruhi loyalitas konsumen. Schneider dan Bowen (1999) mengatakan bahwa konsumen yang terpuaskan akan akan berkeinginan untuk menceritakan tentang pengalamannya kepada orang lain. Blackwell et al. (2006) mengatakan bahwa kepuasan dan ketidakpuasan akan membentuk perkataan mulut (word of mouse). Perkataan mulut adalah proses dimana seseorang menceritakan pengalaman konsumen mereka dengan orang lain. Di zaman yang dipenuhi dengan teknologi seperti sekarang ini, internet merupakan salah satu sarana komplain dari konsumen. Oleh karena itu word of mouse perlu dicermati kemungkinan terjadinya, karena melalui internet ini kecepatan dan cakupan word of akan semakin tinggi dan semakin luas.

  mouse

  Sichtman (2007) menambahkan bahwa komunikasi dari mulut ke mulut juga dapat dipengaruhi oleh kepercayaan konsumen pada perusahaan. Dengan adanya kepercayaan, dapat mengurangi kekecewaan konsumen dan konsumen mempunyai perasaan senang dengan perusahaan sehingga bersedia melakukan komunikasi dari mulut ke mulut. Di lain pihak, komunikasi dari mulut ke mulut yang negatif berkaitan dengan penyebaran pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan yang dialami konsumen pada saat mengkonsumsi produk atau jasa sehingga berakibat negatif pula bagi perusahaan.

  Dengan adanya kekuatan komunikasi dari mulut ke mulut ini, banyak perusahaan membuat strategi untuk menciptakannya. Diantaranya adalah dengan mendorong konsumen terutama pihak-pihak yang dipercaya di dalam kelompoknya sebagai pemberi referensi pada orang penghargaan bagi konsumen bila mereka melakukan rekomendasi, misalnya gratis satu produk apabila maampu mengajak 10 orang. Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden sehubungan merekomendasikan jasa ini kepada teman-teman saya, (2) Jika teman saya sedang mencari jasa seperti ini, saya akan memberitahu mereka tentang jasa ini, (3) Saya akan mengatakan kepada teman-teman saya tentang hal-hal positif dari jasa ini.

  C.2. Minat Beli Ulang

  Minat beli adalah tahap kecenderungan konsumen untuk bertindak sebelum keputusan membeli benar-benar dilaksanakan, sedangkan minat beli ulang mengacu pada keinginan konsumen untuk mempertahankan hubungan dengan perusahaan tertentu (Jones dan Taylor, 2007). Minat beli juga didefinisikan sebagai pernyataan yang berkaitan dengan batin yang mencerminkan rencana dari pembeli untuk membeli suatu produk tertentu dalam suatu periode waktu tertentu (Howard et al., 1988) berdasarkan pengalaman pembelian sebelumnya serta harapan-harapan terhadap produk tersebut dimasa yang akan datang (Oliver, 1997). Menurut Kinnear dan Taylor (1995), minat beli adalah tahap kecenderungan konsumen untuk bertindak sebelum keputusan pembelian benar-benar dilaksanakan. Dodd, Moenroe dan Grewal (1991) mendefinisikan minat pembelian sebagai kemungkinan pembeli bermaksud membeli suatu produk.

  Minat beli merupakan bagian dari komponen perilaku dalam sikap konsumen. Sikap adalah perasaan seseorang terhadap suatu objek, yaitu berhubungan dengan masalah suka atau tidak suka terhadap sesuatu (Peter dan Olson, 1999). Sikap menggambarkan emosi dan perasaan seseorang (Schiffiman dan Kanuk, 1994; Engel Blackwell dan Miniard, 1993) menyebutnya sebagai “as primarily umum terhadap suatu produk, apakah produk itu disukai atau tidak disukai, atau apakah produk itu baik atau buruk.

  Teori-teori sikap mengemukakan bahwa sikap konsumen konsumen terhadap produk tersebut. Para pemasar berkepentingan untuk mengetahui sikap konsumen terhadap produk yang dipasarkannya kemudian merumuskan strategi untuk mempengaruhi sikap konsumen tersebut (Sumarwan, 2003). Meskipun merupakan pembelian yang belum tentu akan dilaksanakan pada masa mendatang, namun pengukuran terhadap minat pembelian umumnya dilakukan guna memaksimumkan prediksi terhadap pembelian aktual (Kinnear dan Taylor, 1995; Engel et al., 1995). Meurut teori reasion action yang dikemukakan oleh Fishbein (1975), niat berperilaku dan perilaku aktual mempunyai hubungan yang sangat dekat. Selain itu, dari berbagai hasil riset ditemukan bahwa semakin berminat seorang konsumen untuk melakukan pembelian ulang terhadap suatu produk, maka semakin ingin mereka melakukan pembelian aktual dan semakin ingin menjalin hubungan jangka panjang dengan perusahaan (Kim et

  al ., 2011).

  Mempertahankan konsumen saat ini sangatlah penting karena biaya untuk mendapatkan konsumen baru lebih tinggi dibandingkan dengan biaya mempertahankan konsumen yang sudah ada (Spreng et

  al. , 1995). Sebagai konsekuensi dari kepuasan dan ketidakpuasan,

  minat pembelian ulang merupakan faktor kritis yang mempengaruhi hubungan konsumen dengan perusahaan di masa datang dan mempengaruhi tingkat profitabilitas (Reichheld dan Sasser, 1990; Weun, 1997). Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden untuk mengukur niat beli ulang menurut Nikbin et al. (2011) adalah: (1) Saya akan terus menerus secara kontinyu menggunakan jasa ini, (2) Saya cenderung akan menggunakan jasa niat yang kuat untuk menggunakan jasa ini pada pembelian berikutnya.

D. FAILURE ATTRIBUTIONS

  Atribusi diartikan sebagai upaya-upaya dalam mengalihkan tanggungjawab sebuah kejadian. Riset menunjukkan bahwa ketika terjadi kegagalan, konsumen sering mencari penjelasan tentang penyebab kegagalan tersebut (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990) dan menghubungkan penyebab- penyebab kegagalan untuk meyakinkan mengapa kegagalan tersebut dapat terjadi (Welner, 2000). Atribusi dibuat untuk hasil yang positif maupun negatif, namun umumnya dibuat untuk kejadian yang negatif (Folkes, 1984).

  Weiner (1980) mengklasifikasikan failure attribution ke dalam tiga kategori, yaitu:

  1. Locus of Control Locus of control mengacu pada apakah penyebab kegagalan

  berasal dari konsumen atau produsen (Hess et al., 2003). Sebagai contoh, ketika kegagalan terjadi, seperti keterlambatan pengiriman, konsumen membuat atribusi dalam hal apakah kegagalan ini terjadi karena kesalahan karyawan atau bukan (Mellalieu, 2005). Dimensi locus ini diturunkan dari teori atribusi (Mellalieu, 2005).

  Walaupun locus attribution penting untuk banyak kondisi kegagalan, banyak peneliti meniadakan atribusi ini karena banyak kasus kegagalan dipersepsikan konsumen sebagai sesuatu yang berasal dari perusahaan, dan bukan kesalahan dari konsumen. Riset lain menemukan bahwa kegagalan suatu jasa dapat terjadi karena perilaku konsumen dan proses pengiriman jasa (Denham, 1998). Hal ini menjadikan locus attribution menjadi bermakna ganda dan menjadi tidak relevan untuk banyak situasi (Folkes et al., 1987; Bitner, 1990; Smith et al., 1999; Hess

  et al. , 2003).

  Stability mengacu pada apakah penyebab-penyebab kegagalan

  disebabkan sebagai sesuatu yang relatif permanen dan tidak dapat berubah atau sebagai sesuatu yang bersifat sementara dan berfluktuasi (Folkes, kegagalan yang terjadi, selanjutnya konsumen menilai bagaimana kejadian tersebut terjadi dan menghubungkan kejadian tersebut dengan kejadian lain yang bersifat stabil dan tidak stabil (Mallalieu, 2005). Kegagalan dengan penyebab-penyebab yang stabil, berulang lebih sering dibandingkan dengan kegagalan yang tidak stabil yang akhirnya menimbulkan masalah bagi organisasi. Atribusi untuk alasan-alasan yang tidak stabil mengarahkan pada ketidakpastian outcome di masa datang, sedangkan atribusi yang stabil mengarahkan seseorang untuk mengharapkan outcome yang sama di kemudian hari (Weiner, 2000). Jadi, kegagalan dengan penyebab yang stabil merupakan target yang jelas bagi pemecahan masalah bagi organisasi. Organisasi dengan tingkat kualitas jasa yang tinggi sebaiknya mencoba untuk menghindari kagagalan yang bersift stabil (Hess et al., 2003)

  3. Controllability Controllability mengacu pada derajat dimana kelompok fokal

  mempersepsikan bahwa penyebab kegagalan itu dapat dikontrol atau tidak (Hess et al., 2003). Atribusi ini meliputi kepercayaan konsumen tentang apakah perusahaan dapat menghalangi kegagalan yang terjadi (Hamilton, 1980; Weiner, 2000). Ketika konsumen merasa bahwa penyebab kegagalan bukan berasal dari internal perusahaan dan dapat dikontrol, mereka cenderung tidak menyalahkan. Namun, ketika penyebab kegagalan tersebut dapat dikontrol dan berasal dari internal, mereka akan menyalahkan perusahaan, marah dan mempunyai keinginan untuk menyakiti perusahaan (Folkes, 1984).

  Beberapa pertanyaan yang dapat diajukan kepada responden (2011) adalah: (1) Kegagalan terjadi secara permanen, (2) Kegagalan muncul terus menerus (stabil) sepanjang waktu, (3) Kegagalan sangat sering terjadi, (4) Kegagalan berada dalam kontrol perusahaan, (5) dapat ditangani sejak dini (preventif) oleh perusahaan, (7) kegagalan sebenarnya dapat dihindari oleh perusahaan.

E. Pengaruh Reputasi terhadap Niat Pembelian Ulang dan Word of Mouth

  Penelitian sebelumnya tentang kepuasan dan kualitas jasa telah menunjukkan bahwa pengalaman masa lalu dapat mempengaruhi respon terhadap persepsi jasa saat ini. Sebagai contoh, banyak peneliti telah memperlihatkan bahwaa kepuasan masa lalu secara signifikan mempengaruhi kepuasan saat ini (Labarbera dan Mazursky, 1983; Oliver, 1980; Woodruff et

  al ., 1983). Bolton dan Drew (1991) menemukan bahwa sikap sebelumnya,

  seperti sikap terhadap kualitas keseluruhan, mempunyai pengaruh langsung terhadap sikap konsumen saat ini (terhadap kualitas keseluruhan). Selanjutnya, Zeithaml et al. (1996) memperlihatkan bahwa kualitas jasa sebelumnya secara segnifikan mempengaruhi loyalitas konsumen, keinginan berpindah, dan keinginan komplain. Hess (2008) menemukan bahwa perusahaan dengan reputasi yang sangat baik mengarahkan pada keinginan pembelian yang lebih banyak dan tidak ingin melakukan negative word of

  mouth . Reputasi perusahaan secara langsung membentuk kepercayaan

  pelanggan terhadap produk sehingga akan mempengaruhi pertimbangan pelanggan dalam menentukan pilihan (Dick et al., 1990). Sulivan (1998) menyatakan bahwa jika dilihat dari sudut pandang pelanggan, reputasi perusahaan dapat dijadikan jaminan bagi pelanggan untuk menilai kualitas produk perusahaan tersebut.

  F. Failure Attribution sebagai Variabel yang Memoderasi antara Reputasi

  dan Niat Berperilaku

  niat berperilaku termasuk niat pembelian ulang dan rekomendasi dari mulut ke mulut (Hess, 2008). Jadi hubungan langsung antara reputasi perusahaandan niat berperilaku telah ditemukan. Namun bukti lain juga reputasi perusahaan dengan niat berperilaku (Vazquez-Casielles et al., 2007; Grewal et al., 22008; Tsiros et al., 2004). Vazquez-Casielles et al. (2007) menemukan bahwa hubungan positif antara kualitas jasa dan kepuasan konsumen keseluruhan (overall customer satisfaction) akan diperkuat ketika konsumen membuat low stability dan low controllability attribution. Senada dengan Vazquez-Casielles, Grewal et al. (2008) menyatakan bahwa kompensasi penting hanya ketika perusahaan bertanggungjawab atas kegagalan dan ketika kegagalan itu jarang terjadi. Jika kegagalan sering terjadi atau ketika perusahaan tidak bertanggungjawab, kompensasi tidak mempunyai pengaruh pada niat pembelian ulang. Selanjutnya Tsrios et al. (2004) menemukan bahwa hubungan positif antara kualitas dan kepuasan akan lebih kuat ketika persepsi konsumen ketika dimensi-dimensi penyebab atribusi rendah.

  Konsumen diharapkan menjadi lebih memaafkan atas kegagalan yang terjadi, khususnya jika ini disebabkan oleh perusahaan. Namun bagaimanapun, jika kegagalan tersebut stabil dan terjadi lagi dan perusahaan sudah tidak mampu lagi menangani masalah, kemudian konsumen meragukan reputasi perusahaan karena mereka percaya bahwa masalah yang terjadi secara terus menerus sebaiknya dikoreksi oleh perusahaan. Jadi, ketika masalah terjadi secara terus menerus (stabil), hubungan yang positif antara reputasi perusahaan dengan niat berperilaku menjadi lemah.

  SIMPULAN

  Tiap perusahaan, tidak memandang seberapa baiknya perusahaan tersebut, tetap membuat kesalahan-kesalahan pada saat memenuhi harapan- harapan konsumen yang sekarang ini cenderung lebih menuntut dan kurang tersebut, karena hal ini akan berpengaruh pada reputasi perusahaan yang akhirnya akan berpengaruh pada niat beli ulang dan rekomendasi dari mulut ke mulut.

DAFTAR PUSTAKA

  Bitner, M.J. (1990). “Evaluating Service Encounters: The Effects of Physical Surroundings and Employee Responses”. Journal of Marketing Research. 54, 2, 69-82 Bolton, R. And Drew, J. (1991). “A Longitudinal Analysis of The Impact of Service Changes on Customer Attitudes”. Journal of Marketing. 55, 1, 1-9 Brown, S. (1995).”The Moderating Affects of Insupplier/Outsupplier Status on Organization Buyer Attitudes”. Journal of the Academy of Marketing

  Science. 23, 3, 170-182

  Brown, T., Barry, T., Dacin, P. And Gunst, R. (2005). “ Spreading the Word: Investigating Antecedents of Consumers’ Positive Word of Mouth Intentions and Behaviour in a Retailing Concept”. Journal of the Academy of Marketing

  Science. 33, 2, 123-138

  Brown, Tom J., and Peter A. Dacin. (1997). “The company and the Product: Corporate Associations and Consumer Product Responses”. Journal of

  Marketing . January. 68-84

  Campbell, M. (1999). “Perceptions of Price Unfairness Antecedens and consequences”. Journal of Marketing Research. 38, 2, 187-199 Del-Rio-Lanza, A.B., Vazquez-Casielles, R., and Diaz-Martin, A.M. (2009).”Satisfaction with Sevice Recovery: Perceived Justice and Emotional Responses”. Journal of Business Research. 62, 8, 775-771 Dick, Alan, Dipankar Chakravarti and Gabriel Biehal. (1990). “Memory based Inference During Consumer Choice”. Journal of Consumer Research, 17, June, 82-93 Day G.S. (1971). Attitudechange, Media And Word Of Mouth . Journal Of Advertising Research .11, 6 , 31-40. Doney, P. And Cannon, J. (1997). “An Examination of the Nature of Trust in Buyer-Seller Relationship”. Journal of Marketing, 61, 2, 35-51 Dodds,K.B., Monroe, D., Grewal. (1991). “In Search of Value: How Price and Store Name Information Influence Buyer’s Product Perception”. The Journal of Service Marketing. Darby M.R. E. Karni (1973). “ Free Competition and the Optimal Amount of Fraud “. Journal Of Law And Economics, 16. 67-86.

  Engel, J.F., Blackwell, R.D.,and Miniard,P.W. (1995).”Consumer Behaviour”. 8th ed., Chicago: The Dryden Press. Folkes, V.S. (1984). “Consumer Reactions to Product Failure: A Attributional Approach”. Journal of Marketing. 10, 4, 398-409 Folkes, V.S. (1988). “Recent Attribution Research in Consumer Behaviour: A Review and New Directions”. Journal of Consumer Research, 14, 4, 548-585. Folkes, V.S., Koletsky S. And Graham, J. (1987). “A Filed Study of Causal Inferences and Consumer Reaction the View from the Airport”. Journal of

  Consumer Research. 13, 4, 534-539

  Fishbein, M. And Ajzen, I. (1975).”Belief, Attitude, Intentions, and Behaviour: An Introduction to Theory and Research. MA: Addison-Wesley. Grewal, D. Roggevean, A.L. and Tsiros, M. (2008). “The Affect of Compensation on Repurchase Intentions in Service Recovery”. Journal of

  Retailing. 84, 4, 424-434

  Hess, R.L., Ganesan, S. and Klein, N.M. (2003). “Service Failure and Recovery: The Impact of Relationship Factors on Customer Satisfaction”.

  Journal of the Academy of Marketing Science . 31, 2, 127-145 Howard, John A., Robert P. Shay and Christoper A. Green (1988).

  “Measuring The Effect of Marketing Information on Buying Intention”.

  Journal of Service Marketing . 2, 4, 27-36

  Harrison-Walker L.J. (2001).”The Measurement Of WOM Communication And An Investigation Of Service Quality And Consumer Commitment As Potential Antecedents” . Journal of Service Research. 4, 61-75.

  Kim, J.W., Kim E.J., Kim, S.M and Hong, H.G. (2011). “Effects of Fit with CSR Activities and Consumption value on Corporate Image and Repurchase Intention. International Journal of Business Strategy. 11,1,35-46 Kinnear, Thomeas C. And James, R. Taylor. (1996). “Marketing Research: An Applied Approach, 5th Edition, USA Johnson, D. And Grayson, K. (2006). “Cognitive and Affective Trust in Service Relationships”. Journal of Bussines Research. 58, 500-507

  Moureen Margaretha (2004). “Studi Mengenai Loyalitas Pelanggan pada Divisi Asuransi Kumpulan AJB Bumi Putra 1912”, Jurnal Sains Pemasaran

  Indonesia . 3, 3, 289-308

  Morin S.P. (1983). “Influentials Advising Their Friends to Sell Lots of High- Tech Gadgetry” . Wall Street Journal. 28. 30. Nelson P. (1970). “Information And Consumer Behavior” . Journal of Political Economy. 78(20). 311-329. Oliver, R.L. (1997). Satisfaction A Behavioral Perspective on Consumer. Boston, MA: Irwin,McGraw-Hill. Schneider B., and Bowen D. (1999). “Understanding Consumer Delight and Outrage”. Sloan Management Review, 41, 35-46 Selnes, Fred. (1993). “An Examination of the Effect of Product Performance on Brand Reputation, Satisfaction, and Loyalty. European Journal of

  Marketing . 27, 9, 19-35

  Sullivan, Mary W. (1998). “How Brand Names Affect the Demand for Twin Automobiles”. Journal of Marketing Research. 35, May, 154-165 Zeithaml, Valerie A. And Mary Jo Bitner. (1996).”Service Marketing”.

  McGraw Hill Companies Inc., New York