BAB II TINJAUAN PUSTAKA - Composting Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) Dengan POA : Pengaruh Sirkulasi Tumpukan TKKS

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

  2.1 KELAPA SAWIT

  Kelapa sawit adalah salah satu komoditas perkebunan yang memiliki nilai ekonomis dan prospek yang cerah untuk dikembangkan secara luas yang mana data total areal perkebunan kelapa sawit dan produksinya dari tahun 2006

  • – 2010 dapat dilihat pada tabel 2.1. Pada tahun 2010, menurut BPS (2011) total areal perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah seluas 8.548.828 ha dengan total produksi minyak mentah sawit atau crude palm oil (CPO) sebesar 22.496.857 ton. Sebanyak 16.291.856 ton dari produksi CPO ini diekspor ke beberapa negara Asia seperti Jepang, India, Vietnam, Malaysia, Pakistan, Arab Saudi dan beberapa negara lainnya [12].

Tabel 2.1 Data luas areal perkebunan kelapa sawit, produksi CPO, dan kernel di

  Indonesia dari tahun 2006

  • – 2010 [12] Tahun Luas Areal (ha) Produksi CPO (ton) Produksi Kernel (ton) 2006 6.284.960 16.569.927 3.428.700 2007 6.853.916 17.796.374 4.017.477 2008 7.333.707 19.400.794 4.379.963 2009 8.548.828 21.390.326 4.829.123 2010 8.774.694 22.496.857 5.077.818

  Berdasarkan data di atas, dapat dilihat bahwa industri kelapa sawit di Indonesia semakin meningkat. Oleh karena itu, dengan meningkatnya pertumbuhan produksi kelapa sawit maka jumlah limbah yang dihasilkan baik limbah padat dan cair juga semakin besar. Upaya untuk mengatasi limbah padat, Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) melakukan teknologi pengomposan dengan memanfaatkan hasil limbah pabrik menjadi kompos yang memiliki nilai ekologi dan ekonomi yang tinggi.

  2.2 TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS)

  TKKS terdiri dari 45

  • – 50% selulosa dan memiliki kandungan senyawa organik yang tinggi. TKKS umumnya berbentuk serat, dan serat tersebut
berbentuk seperti tongkat yang secara keseluruhan membentuk ikatan pembuluh [13]. TKKS merupakan sampah residu yang dihasilkan dari industri kelapa sawit. Tandan tersebut disterilkan dalam sterilisasi uap horizontal untuk menonaktifkan enzim yang ada. Tandan disterilkan dengan cara dimasukkan ke drum perontok

  rotary untuk melepaskan buah dari tandan. TKKS berwarna cokelat kering dengan

  bentuk yang tidak seragam dan bobot rendah. Panjang dan lebar tergantung pada ukuran tandan buah segar dan dapat bervariasi dari panjang 17

  • – 30 cm dan lebar

  25

  • – 35 cm. Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) merupakan bahan organik yang mengandung: 42,8% C; 2,90% K O; 0,80% N; 0,22% P O ; 0,30% MgO dan

  2

  2

  5

  unsur

  • – unsur mikro antara lain 10 ppm B, 23 ppm Cu, dan 51 ppm Zn. Dalam setiap 1 ton tandan kosong kelapa sawit mengandung unsur hara yang setara dengan 3 kg urea, 0,6 kg RP, 12 kg MOP [14].

  Menurut Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Produktivitas TBS bila menggunakan bibit unggul akan menghasilkan TBS mencapai 20-25 ton TBS/ha/tahun [1] dan menurut Baharuddin et al.setiap satu ton total limbah TBS terdiri dari 23% TKKS, mesocarp fibre12%, cangkang 5% dan POME 60% [6].Sehingga dari data luas areal perkebunan kelapa sawit BPS 2011 dapat dikalkulasikan jumlah TBS dan TKKS pertahun [12].

Tabel 2.2 Data Jumlah Kalkulasi TBS dan TKKS di Indonesia dari 2006-2010

  Produksi TKKS Tahun Luas Areal (ha) Produksi TBS (ton)

  (ton) 2006 6.284.960 141.411.600 32.524.668 2007 6.853.916 154.213.110 35.469.015 2008 7.333.707 165.008.408 37.951.934 2009 8.548.828 192.348.630 44.240.185 2010 8.774.694 197.430.615 45.409.041

  Keunggulan kompos TKKS meliputi: kandungan kalium yang tinggi, tanpa penambahan starter dan bahan kimia, memperkaya unsur hara yang ada di dalam tanah, dan mampu memperbaiki sifat fisik, kimia, dan biologi. Menurut Sakiah (2012), kompos TKKS memiliki beberapa sifat yang menguntungkan antara lain: 1.

  Memperbaiki struktur tanah berlempung menjadi ringan 2. Membantu kelarutan unsur – unsur hara yang diperlukan bagi pertumbuhan tanaman

3. Bersifat homogen dan mengurangi risiko sebagai pembawa hama tanaman

  4. Merupakan pupuk yang tidak mudah tercuci oleh air yang meresap dalam tanah

5. Dapat diaplikasikan pada sembarang musim [15]

Gambar 2.1 Tandan Kosong Kelapa Sawit (TKKS) [14]

2.3 KOMPOS

  Kompos adalah hasil penguraian bahan organik melalui proses biologis dengan bantuan organisme pengurai. Proses penguraian dapat berlangsung secara aerob (dengan udara) maupun anaerob (tanpa bantuan udara) [16]. Kompos dari limbah padat organik semakin penting di seluruh dunia, dalam kerangka terpadu manajemen limbah padat dan khususnya pengalihan biodegradables dari penimbunan [17].

  Kompos merupakan produk dari proses dekomposisi limbah padat secara biologis di bawah keadaan aerobik untuk dijadikan pupuk pertanian (UNEP). Kompos juga didefinisikan sebagai kondisioner tanah organik yang telah distabilisasi sehingga menyerupai humus, bebas dari patogen bagi manusia dan tanaman, tidak mengandung biji tanaman, tidak menarik serangga atau vektor penyakit untuk hidup pada tanah tersebut, dan berguna bagi perkembangan tanaman. Menurut Haug (1993), fungsi dari kompos pada tanah adalah: 1.

  Kompos dapat digunakan sebagai sumber materi organik dalam humus pada tanah yang dibutuhkan dalam pembentukan struktur tanah dan kemampuan ikat air yang baik.

  2. Kompos dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman komersial dan rumahan.

  Kompos yang stabil dapat mengurangi patogen tanaman dan meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit tanaman.

  3. Kompos mengandung nutrien antara lain nitrogen, pospor, dan berbagai trace

elements lain yang dapat berguna sebagai pupuk dan soil conditioner [18].

  Menurut Budi et al (2009), fungsi utama kompos adalah membantu memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, aplikasi kompos pada tanah akan meningkatkan jumlah rongga sehingga tanah menjadi gembur. Sementara sifat kimia yang mampu dibenahi dengan aplikasi kompos adalah meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK) pada tanah dan dapat meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air (water holding capacity). Sedangkan untuk perbaikan sifat biologi, kompos dapat meningkatkan populasi mikroorganisme dalam tanah. Keunggulan kompos adalah kandungan unsur hara makro maupun mikronya yang lengkap. Unsur hara makro yang terkandung dalam kompos antara lain N, P, K, Ca, Mg, dan S, sedangkan Fe, Mn, Zn, Cl, Cu, Mo, Na, dan B [19].

2.4 COMPOSTING

  Menurut Haug (1993), composting adalah proses penguraian secara biologis dan stabilisasi materi organik dalam keadaan yang memungkinkan untuk perkembangan temperatur thermophilic sebagai hasil dari panas secara biologis untuk menghasilkan produk yang stabil, bebas patogen dan biji tanaman, dan dapat digunakan di tanah. Selain itu, composting juga dapat diartikan sebagai proses stabilisasi dari limbah yang membutuhkan kadar air dan aerasi dalam menghasilkan temperatur thermophilic. Temperatur thermophilic digunakan untuk membunuh patogen dan destruksi dari biji-biji tanaman yang ada dalam bahan kompos [18].

  Pengomposan adalah sarana mengubah berbagai limbah organik menjadi produk yang dapat digunakan secara aman dan menguntungkan sebagai pupuk hayati dan sumber nutrisi untuk memperbaiki struktur tanah [13]. Organisme yang bertanggung jawab untuk kompos memerlukan kondisi gizi dan lingkungan tertentu untuk bertahan hidup dan fungsi. Mereka membutuhkan jumlah yang cukup makro dan mikronutrisi, oksigen, dan air. Organisme ini mengalami tingkat pertumbuhan yang optimal hanya dalam suhu tertentu dan rentang pH [20].

  Pengomposan dapat terjadi secara alamiah maupun dengan bantuan manusia. Pengomposan secara alamiah yaitu dengan cara penumpukan sampah di alam, sedangkan pengomposan dengan bantuan manusia yaitu dengan cara menggunakan teknologi modern maupun dengan menggunakan bahan bioaktivator dan menciptakan kondisi ideal sehingga proses pengomposan dapat terjadi secara optimal dan menghasilkan kompos berkualitas tinggi. Untuk dapat membuat kompos dengan kualitas baik, diperlukan pemahaman proses pengomposan yang baik pula. Proses pengomposan secara sederhana dapat dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Selama tahap awal proses, oksigen dan senyawa

  • – senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik yang kemudian akan digantikan oleh bakteri

  termofilik . Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat, kemudian akan

  diikuti dengan peningkatan pH kompos. Suhu akan meningkat hingga mencapai 70 °C. Suhu akan tetap tinggi selama fase pematangan.

Gambar 2.2 Perubahan Suhu dan Pertumbuhan Mikroba Selama Proses

  Pengomposan [19] Mikroba mesofilik kemudian tergantikan oleh mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif pada suhu tinggi. Pada saat terjadi penguraian bahan organik yang sangat aktif, mikroba - mikroba yang ada di dalam kompos akan

  • +

    menguraikan bahan organik menjadi NH , CO, uap air dan panas melalui sistem metabolisme dengan bantuan oksigen. Setelah sebagian besar bahan telah terurai, maka suhu akan berangsur-angsur mengalami penurunan hingga kembali mencapai suhu normal seperti tanah. Pada fase ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30
    • – 50% dari bobot awal tergantung kadar air awal [19].

  2.5 WINDROW

Windrow merupakan metode tertua yang digunakan dalam pengomposan.

  Windrow dapat dibuat dengan membuat gundukan setinggi 8

  • – 10 ft dengan lebar 20
  • – 25 ft ft. Dimensi dari tumpukan ini dapat dipengaruhi oleh alat pengaduk komposnya. Pengadukan dilakukan untuk mendapatkan suplai udara yang berfungsi dalam pengaturan temperatur dan kelembaban. Pengadukan dapat juga menimbulkan timbulnya bau karena kemungkinan terjadinya proses anaerobik pada tumpukan kompos. Pengadukan tidak dilakukan terus menerus. Setela
  • – 4 minggu, kompos tidak perlu diaduk untuk mencapai periode curing. Pada periode ini residu materi organik akan didekomposisi oleh fungi dan actinomycetes. Periode ini berlangsung selama 3
  • – 4 minggu (Tchobanoglous, 1993). Adapun gundukan minimum yang disarankan Raabe (2007) pada pengomposan windrow berukuran 36" x 36" x 36" (0,9144 m x 0,9144 m x 0,9144 m) untuk mencegah kehilangan panas dalam pengomposan [9].

  2.6 FAKTOR – FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PROSES PENGOMPOSAN

  Nutongkaew et al (2011) menjelaskan bahwa proses pengomposan dipengaruhi oleh sejumlah faktor. Faktor yang paling penting termasuk suhu, kadar air, karbon-nitrogen rasio, tingkat laju aerasi, pH, dan fisik struktur bahan baku [21].

  Menurut Tchobanoglous (1993),untuk menghasilkan produk kompos yang bermutu tinggi, maka dalam proses composting harus juga memperhatikan faktor nutrisi dan faktor lingkungan. Faktor nutrisi mencakup makronutrien, mikronutrien, sedangkan faktor lingkungan dibagi menjadi temperatur dan kadar air, sedangkan faktor lain seperti ukuran partikel, C/N, pencampuran dengan bahan lain, penambahan air, penambahan mikroorganisme, kadar air, pengadukan, temperatur, kontrol patogen, udara, pH, derajat dekomposisi, dan lahan pengomposan harus dikontrol [22]. Berikut ini penjelasan dari beberapa faktor yang mempengaruhi proses pengomposan:

  2.6.1 Nutrisi

  Carbon (C), nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K) adalah nutrisi utama yang dibutuhkan oleh mikroorganisme yang terlibat dalam pengomposan, serta nutrisi utama untuk tanaman dan akan mempengaruhi kualitas kompos. Hampir semua bahan organik yang digunakan untuk kompos mengandung semua nutrisi ini di berbagai tingkatan yang menggunakan mikroorganisme untuk energi dan pertumbuhan. Sebuah pasokan nutrisi tidak mencukupi atau berlebihan dapat menyebabkan kompos berkualitas rendah. Tirado (2008) menjelaskan efek menguntungkan dari kompos terhadap pertumbuhan tanaman dikaitkan dengan peningkatan pasokan nutrisi bagi tanaman [23].

  2.6.2 Rasio C/N

  C/N adalah salah satu makronutrien dengan kebutuhan relatif dalam proses selulernya sebesar 25 : 1 [24]. Karbon dan nitrogen digunakan dalam metabolisme mikroorganisme dan sintesis membran sel. Pemakaian karbon di dalam pengomposan digunakan sebagai sumber energi. Karbon digunakan pada pembentukan membran, protoplasma dan dinding sel produk sintesis serta mengoksidanya menjadi karbon dioksida. Sedangkan nitrogen digunakan dalam sintesa protein. Nitrogen juga digunakan sebagai nutrien atau senyawa esensial pada protoplasma. Selain itu, bakteri mengandung 7-11% nitrogen dalam berat kering, sedangkan fungi mengandung 4-6% nitrogen dalam berat kering. Oleh karenanya, perbandingan pemakaian karbon akan lebih tinggi dibanding nitrogen sehingga kebutuhannya pun akan lebih banyak [25].

  Saat proses pengomposan, perbandingan C/N dari waktu ke waktu pengomposan akan terus mengalami penurunan seiring dengan aktivitas mikroba dalam menguraikan bahan organik yang ada dalam gundukan kompos. Pada awal pengomposan banyak nitrogen yang digunakan untuk sintesa protein sebagai bentuk aktifitas mikroorganisme dalam menguraikan material organik [25].

  2.6.3 Luas Permukaan dan Ukuran Partikel

  Ukuran partikel bahan kompos berkaitan dengan nutrien misalnya distribusi nutrien yang tergantung pada ukuran partikel sampah. Secara teoritis, laju dekomposisi akan meningkat dengan partikel organik yang semakin kecil [25]. Reduksi ukuran partikel dapat dilakukan dengan pencacahan. Ukuran partikel mempengaruhi drag force antara partikel sampah, internal friction, dan bulk

  density .

  Sebagian besar dari dekomposisi aerobik pengomposan terjadi pada permukaan partikel, karena oksigen bergerak mudah sebagai gas melalui ruang pori tapi jauh lebih lambat melalui bagian cair dan padat dari partikel. Partikel yang lebih kecil mengurangi porositas efektif. Kualitas kompos yang baik biasanya diperoleh ketika ukuran partikel berkisar dari rata-rata diameter 1/8-2 inci [23].

  Aktivitas mikroba berada diantara permukaan area partikel dan udara. Permukaan area yang lebih luas akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan organik dan proses dekomposisi akan berjalan lebih cepat. Ukuran partikel juga menentukan besarnya ruang antar bahan (porositas). Untuk meningkatkan luas permukaan dapat dilakukan dengan memperkecil ukuran partikel bahan tersebut [26].

  Semakin kecil ukuran material, proses pengomposan akan lebih cepat dan lebih baik karena mikroorganisme lebih mudah beraktivitas mengolah dan membentuk koloni pada bahan yang sudah lembut (substrat) daripada bahan dengan ukuran besar. Ukuran bahan yang dianjurkan untuk pengomposan aerobik berkisar 1-7,5 cm. Oleh karena itu, sebaiknya bahan dicacah dengan mesin sehingga mikroorganisme lebih mudah mencernanya. Pencacahan sebaiknya tidak terlalu lembut seperti bubur karena bahan justru akan mengeluarkan kandungan airnya [27].

  2.6.4 Temperatur

  Suhu adalah indikator proses yang baik. Pengomposan pada dasarnya berlangsung dalam dua rentang, dikenal sebagai mesofilik (10

  • –40 °C) dan

  termofilik (di atas 40 °C). Kebanyakan pengomposan berlangsung pada suhu

  antara 45 °C dan 65 °C. Suhu termofilik merupakan kondisi suhu yang menghasilkan dekomposisi yang lebih cepat [23].

  Peningkatan temperatur disebabkan oleh reaksi eksoterm dan aktifitas metabolisme mikroorganisme. Pada metode windrow, temperatur akan naik karena pengadukan dan hanya dapat dikontrol secara tidak langsung dengan pengukuran setelah pengadukan. Setelah pengadukan, biasanya temperatur akan turun 5

  • – 10°C, namun akan kembali naik setelah beberapa jam. Temperatur pada

  windrow turun 10

  • – 15 hari setelah oksidasi organik, suhu akan dapat berhenti naik pada hari ke 9 atau ke 10 sehingga aktifitas mikroorganisme pun menurun [22].

  2.6.5 pH

  Pengontrolan pH sangat penting seperti temperatur dalam mengevaluasi aktifitas mikroorganisme dan kestabilan sampah. pH pengomposan awal sampah organik berkisar antara 5 -7. Pada awal pengomposan, pH akan turun sampai 5 atau kurang dari itu karena organik akan berada pada temperatur ambien dan aktifitas mikroorganisme mesofil akan meningkat dalam menduplikasi diri sehingga produksi asam organik akan meningkat dan pH akan turun. Pada saat

  termofilik , temperatur akan naik dan terjadi aerobik proses sehingga pH akan naik

  sampai 8

  • – 8,5. Setelah kompos matang, pH akan turun menjadi 7 – 8 [22]. Pada pengomposan bahan dengan kandungan lignin yang tinggi dengan lumpur biologis, pH cenderung rendah yakni sekitar 5,1-5,5 [16].

2.6.6 Kadar Air

  Moisture diperlukan untuk mendukung proses metabolisme mikroba dan merupakan suatu paremeter penting untuk dikendalikan dalam pengomposan [23].

  Kelembaban yang optimum berkisar antara 50

  • – 60%. Kadar air dapat juga ditambahkan dengan penambahan air. Apabila kelembaban kompos kurang dari 40% maka reaksi akan melambat [22].

  Pada saat matang, kadar air yang disyaratkan oleh SNI 19-7030-2004 adalah kurang dari 50% [28]. Kadar air dalam kompos matang tidak baik apabila terlalu tinggi. Hal ini dikarenakan karena kadar air secar langsung berhubungan dengan nilai water holding capacity

  2.6.7 Penambahan Air, Mikroorganisme, dan Pencampuran Bahan Lain

  Dua faktor desain yang menentukan penambahan air, mikroorganisme, dan pencampuran dengan bahan lain yang mengandung C/N yang tinggi adalah kelembaban dan nilai C/N. Untuk dapat mencapai C/N yang optimum, kompos dapat juga dicampurkan dengan bahan-bahan yang mengandung sumber karbon yang tinggi seperti kertas, daun, kotoran hewan, dan lumpur dari instalasi pengolahan air limbah. Untuk mendapatkan kadar karbon dan nitrogen yang sesuai dengan standar kompos, maka diperlukan informasi mengenai kandungan karbon dan nitrogen awal.

  Kadar karbon dan nitrogen dapat diatur dengan melakukan pencampuran bahan-bahan kompos. Sebelumnya, bahan-bahan kompos ini telah diketahui kadar karbon dan nitrogen. Kemudian dilakukan perhitungan sebagai berikut :

  Dimana x adalah perbandingan atau rasio jumlah banyaknya bahan 2 dan bahan 1. Kandungan karbon dan nitrogen ini dihitung berdasarkan kadar kedua unsur tersebut dalam jumlah kering [22]. Pencampuran dengan bahan lain menyebabkan pengontrolan terhadap kelembaban. Penambahan mikroorganisme juga dapat dilakukan untuk menghasilkan dekomposisi yang cepat.

  2.6.8 Pengadukan

  Pengadukan dilakukan untuk menambah atau mengurangi kelembaban pada kompos agar sampai pada kelembaban yang optimum. Pengadukan juga dapat dilakukan untuk meratakan distribusi nutrien untuk mikroorganisme. Pengadukan merupakan faktor yang penting dalam mengontrol kelembaban, kebutuhan udara atau oksigen untuk keadaan aerob. Untuk kompos dengan menggunakan sampah organik membutuhkan 15 hari periode pengomposan dengan kelembaban 50 -60% dan pengadukan lebih baik dilakukan setelah hari ketiga dan dilakukan setelah hari itu sampai mendapatkan pengadukan 4

  • – 5 kali [22]. Menurut Schlosset al (1999), pengadukan sangat berpengaruh pada pencapaian suhu yang maksimum dan memperpanjang periode pengambilan oksigen. Pengadukan yang dilakukan dalam penelitiannya adalah setiap hari, 4 hari sekali, dan 8 hari sekali dimana pengadukan yang dilakukan setiap hari akan lebih mengurangi panas dalam gundukan karena proses penguapan. Penelitian tersebut juga menjelaskan bahwa
pengadukan 4 hari sekali relatif efektif dalam pencapaian suhu maksimum dan pengurangan kadar air [29].

  Menurut Tirado sistem pengomposan yang efisien sangat berkorelasi dari pengaruh pengadukan. Oksigen sangat dibutuhkan dalam proses pengomposan aerob. Oksigen dapat diberikan dari proses pengadukan atau suplai oksigen secara langsung melalui diffuser. Pemberian oksigen dilakukan untuk mencapai tiga tujuan yakni :

  1. Penguraian bahan organik (stoichiometric demands) Oksigen dibutuhkan oleh bahan organik dalam proses dekomposisi (stoichiometric demands). Penguraian bahan organik tersebut tergantung jenis bahan organik dalam bahan kompos. Kebutuhan oksigen tersebut dapat dihitung dengan menggunakan perhitungan stoikiometri.

  2. Pengurangan kadar air dalam kompos (drying demands) Pengurangan kadar air dalam kompos sangat penting terutama pada jenis pengomposan dengan bahan kompos basah seperti lumpur. Udara dapat dipanaskan oleh bahan kompos dan mengambil kandungan kadar air sehingga terjadi proses pengeringan.

  3. Pengurangan panas yang dihasilkan oleh proses degradasi bahan organik (heat demands) [23]. Pengurangan panas pada proses pengomposan akibat proses degradasi sangat penting dalam mengatur temperatur kompos. Pada temperatur yang tinggi, mikroorganisme mesofilik akan mati sehingga dapat mempengaruhi proses pengomposan. Oleh karenanya, suplai oksigen sangat penting dalam pengomposan [30] .

2.7 TANDAN KOSONG KELAPA SAWIT (TKKS) SEBAGAI KOMPOS DENGAN PENAMBAHAN PUPUK ORGANIK AKTIF (POA)

  Peningkatan proses pengomposan dapat dicapai dengan menambahkan bahan amandemen organik seperti kotoran hewan dan limbah pabrik kelapa sawit yang lain [11]. Menerapkan POME sebagai bahan amandemen dapat dianggap menguntungkan karena dapat mengurangi total aliran POME ke pengolahan air limbah.

  Banyak penelitian terdahulu dilakukan untuk pengolahan kompos dari TKKS. Zahrim dan Asis (2010) melakukan penelitian mengenai produksi semi-kompos tandan kosong kelapa sawit tanpa diparut dengan mencampurkan POME.

  Penelitian ini dilakukan tanpa memotong TKKS karena dengan memotong dan merobek TKKS dapat menyulitkan, dan limbah cair yang disemprotkan mudah tercuci dari tumpukan. Prosesnya dilakukan dengan metode open turned windrow dengan dimensi area panjang 4 m, tinggi 1,5 mdan lebar 40 m. Setiap windrow berisi sekitar 120 metrik ton TKKS dan 324 metrik ton POME. Setelah inokulasi dengan bakteri, TKKS disemprot dengan POME, proses pembalikan dilakukan dengan menggunakan traktor dilengkapi alat macerator untuk menghomogenkan kompos dan meningkatkan kemampuan aerasi. Proses pembalikan dilakukan pada hari ke-10, 20, 30 dan 40 dan pengambilan sampel untuk analisa dilakukan di sembilan titik pada unit widrow. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa total waktu pengomposan termasuk persiapan adalah sekitar 40-45 hari, temperatur selama pengomposan mengalami fluktuasi dimana suhu awal pengomposan adalah 53 °C. Setelah dua hari, suhu turun di bawah 50 °C, setelah dilakukan pembalikan pertama, terjadi peningkatkan suhu lebih dari 50 °C. Pada hari 10 sampai hari 25, suhu dipertahankan pada sekitar 45 sampai 55 °C dengan bantuan putar yang kecil, namun pembalikan pada hari ke 40 tidak terjadi peningkatan suhu dan untuk kandungan oksigen dipertahankan di atas 10%. Kompos yang dihasilkan memiliki kualitas pH 7,9 ; N 1,9%; P

  2 O 5 0,6 %; K

  2 O 2,0%; MgO 0,8 % dan rasio C/N 20 [11].

  Penelitian yang dilakukan oleh Raabe (2007) mengenai metode cepat pengomposan. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh informasi metode pengomposan yang baik dan efektif. Dari penelitian ini diperoleh informasi bahwa tinggi minimum untuk pengomposan adalah 36” x 36” x 36” (0,9144 m x 0,9144 m x 0,9144 m) [9].

  Penelitian yang dilakukan oleh Baharuddin et al., mengenai pengaruh dari

  3 POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m closed anaerobic methane digested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses

  pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok

  composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS:POME

  sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunakan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67

  C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [7].

  Penelitian yang dilakukan oleh Kananam et al. (2011) adalah untuk mengetahui perubahan biokimia pengomposan TKKS dengan lumpur decanter dan kotoran ayam sebagai sumber nitrogen. Pada penelitian ini juga dilakukan penambahan tanah merah yang mengandung Fe, berfungsi untuk acceptor elektron mikroorganisme dalam kondisi anaerobik, dan lumpur decanter yang digunakan berasal dari limbah pabrik kelapa sawit. Prosesnya divariasikan dalam kondisi aerobik dan anaerobik. Untuk kondisi aerobik pada penelitian ini ditambahkan benih mikroorganisme yang terdiri dari jamur (Corynascus sp.,

  Scytalidium sp.,Chaetomium sp., dan Scopulariopsissp.), belatung dan bakteri

  (Bacillus sp.), sedangkan untuk kondisi anaerobik benih mikroorganisme yang ditambahkan mengndung ragi (Saccharomyces sp.), bakteri asam laktat (Lactobacillus sp.), dan bakteri katabolisme protein (Bacillus sp). TKKS dipotong dengan ukuran 2-5 cm dengan mesin penggiling lalu dimasukkan ke dalam bak silinder, dimana untuk kondisi aerobik diberi lubang pada dinding untuk mengalirkan oksigen, selanjutnya setiap bak silender yang mengandung TKKS divariasikan komposisi penambahan lumpur decanter, kotoran ayam dan tanah merah. Benih mikroorganisme yang telah ditentukan, selanjutnya ditambahkan ke masing

  • –masing komposter baik kondisi aerobik maupun anaerobik. Untuk kondisi aerobik tumpukan dibasahi dengan air dan kelembaban dipertahankan 50-70%, sedangkan tumpukan anaerobik juga dibasahi dengan air dengan kelembaban dijaga lebih dari 80%. Hasil yang diperoleh penggunaan lumpur decanter dan kotoran ayam dalam kondisi aerob dapat diselesaikan dalam waktu 30 hari sedangkan pada kondisi anaerob waktu pengomposan gagal diselesaikan dalam waktu 90 hari. Suhu awal pengomposan semua tumpukan 28 °C dan mengalami peningkatan setelah 2 hari, pada kondisi aerobik berkisar 49-59 °C dan kondisi anaerobik berkisar 31-34 °C, pH yang diperoleh untuk kedua kondisi selama pengomposan adalah 7,50
  • – 8,60. Jumlah pertumbuhan mikroba untuk kondisi aerobik meningkat setelah 15 hari pengomposan dan kemudian secara bertahap menurun dan konstan sampai akhir pengomposan, sedangkan untuk kondisi anaerobik pertumbuhan mikroba tidak mengalami perubahan pada saat pengomposan sedangkan bahan organik, karbon organik yang terkandung serta rasio C/N untuk semua tumpukan dan kondisi secara bertahap menurun selama waktu pengomposan [8].

  Penelitian yang dilakukan oleh Samsu et al. (2010) mengenai pengaruh dari

  3 POME anaerobic sludge yang berasal dari 500 m closed anaerobic methane digested tank dengan TKKS yang telah ditekan dan dirobek pada proses

  pengomposan. POME anaerobic sludge yang digunakan berasal dari pengolahan biogas, limbah ini memiliki nutrisi dan sumber mikroba yang tinggi dan cocok digunakan untuk bahan tambahan proses pengomposan. Proses dilakukan pada unit composter berbentuk blok yang disusun dari batu bata dengan dimensi panjang 2,1 m, lebar dan tinggi 1,5 m. Pada penelitian ini TKKS ditekan dan dirobek dengan ukuran panjang 15 sampai 20 cm, lalu dicampur di blok

  composter dengan POME anaerobic sludge, rasio penambahan TKKS : POME

  sebanyak 1:1. Untuk mempertahankan kadar air tumpukan kompos, POME ditambahkan setiap tiga hari dengan menggunakan pompa dan penambahan POME dihentikan seminggu sebelum dilakukan panen, sedangkan pengadukan dilakukan tiga kali seminggu. Hasil yang diperoleh waktu pengomposan singkat, yaitu 40 hari dengan rasio C/N akhir 12,4. Suhu pengomposan selama pengolahan terjadi pada fase termofilik yaitu 60-67 °C, sedangkan pH tumpukan kompos hampir konstan selama proses berkisar 8,1-8,6. Kadar air kompos mengalami penurunan dari awal sampai akhir composting yaitu dari 64,5 % menjadi 52 % dan banyaknya jumlah nutrisi serta rendahnya tingkat logam berat yang terdapat pada kompos [10].

2.8 PUPUK ORGANIK AKTIF DARI EFFLUENT PENGOLAHAN LANJUT LIMBAH CAIR KELAPA SAWIT

  Effluent biogas adalah keluaran dari instalasi biogas yang merupakan by

product dari sistem pengomposan anaerob yang bebas bakteri patogen dan dapat

  digunakan sebagai pupuk untuk menjaga kesuburan tanah dan meningkatkan produksi tanaman. Effluent mengandung unsur makro yang penting untuk pertumbuhan tanaman seperti unsur N, P, K, dan unsur mikro yaitu Cu, Fe, Mg, S, dan Zn [31]. Effluent dari biogas jika dimanfaatkan sebagai pupuk untuk tanaman dapat meningkatkan hasil pertanian dan dapat memperbaiki kesuburan tanah.

  Menurut Junus (1998), effluent biogas yang keluar dari tangki pencerna (digester) terdiri dari dua komponen yaitu bagian padat dan cair. Limbah cair lebih banyak mengandung unsur N dan K sedangkan padatannya lebih banyak mengandung unsur P, seperti terlihat pada Tabel 2.3 [32].

Tabel 2.3 Kandungan Unsur Hara Limbah Biogas [32]

  Bahan N (%) P O (%) K O (%)

  2

  5

  2 Padat 0,64 0,22 0,24

  Cair 1,00 0,02 1,08 Pupuk organik yang baik memiliki beberapa ciri yaitu N harus berada dalam bentuk persenyawaan organik, tidak meninggalkan sisa asam organik di dalam tanah, dan mempunyai persenyawaan C yang tinggi. Persyaratan teknis minimal pupuk organik cair yang terdapat pada Peraturan Menteri Pertanian No.

  28/Permentan/SR.130/5/2009 diperlihatkan pada Tabel 2.4 [33].

Tabel 2.4 Persyaratan Teknis Minimal Pupuk Organik Aktif [33]

  No Parameter Satuan Kandungan

  1. C ppm

  • – Organik ≥ 40.000

  2. C/N Ratio

  • 3. Ph

  4,8

  4. Kadar Total N ppm < 20.000

  P

  2 O 5 ppm < 20.000

  K

  2 O ppm < 20.000

  5. Kadar Unsur Mikro Fe total ppm min 0, maks 800 Mn ppm min 0, maks 1.000

  Berikut ini data POA effluent dari pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU yang akan digunakan sebagai bahan tambahan proses pengomposan TKKS :

Tabel 2.5 Data POA Effluent Biogas dari Pengolahan LCPKS LP3M-Biogas USU

  No Parameter Satuan Kandungan

  1. Nitrogen % 0,10

  2. P

  2 O 5 total % 0,016

  3. K

  

2 O % 0,167

  4. MgO % 0,1

  5. CaO mg/l ≤ 0,001 6.

  C- Organik % 0,58 7. pH - 8,09

  • 8. Ratio C/N

  5,8

2.9 STANDAR KUALITAS KOMPOS DI INDONESIA

  Standar kualitas kompos di Indonesia merujuk pada SNI 19-7030-2004 tentang parameter kualitas kompos seperti yang ditampilkan pada tabel 2.4 [28]. Regulasi tersebut diperlukan sebagai pembatasan produk limbah (kompos) yang didesain sebagai perubah tanah organik atau pupuk dimana fokus utamanya adalah terletak pada pembatasan penggunaan dalam pertimbangan aspek konservasi lingkungan tanah.

Tabel 2.6. Standar Kualitas Kompos [28]

  No Parameter Satuan Minimum Maksimum

  • 1 Kadar Air %

  50

  2 Temperatur Temperatur ⁰C air tanah

  3 Warna Kehitaman

  4 Bau Berbau tanah

  5 Ukuran partikel Mm 0,55

  25

  6 Kemampuan ikat %

  58 air 7 pH 6,8 7,49

  • 8 Bahan asing % 1,5

  UnsurMakro

  9 Bahan organik %

  27

  58

  • 10 Nitrogen % 0,40

  11 Karbon % 9,80

  32

  • 12 Pospor % 0,10

  13 C/N rasio

  10

  20

  • 14 Kalium % 0,20

  UnsurMikro

  • 15 Arsen mm/kg

  13

  16 Kadmium mm/kg *

  3

  17 Kobal mm/kg *

  34

  • 18 Kromium mm/kg 210
  • 19 Tembaga mm/kg 100

  20

  • Merkuri mm/kg 0,8
  • 21 Nikel mm/kg

  62

  • 22 Timbal mm/kg 150

  23 Selenium mm/kg *

  2

  24

  • Seng mm/kg 500 Unsur lain

  25 Kalsium % 25,50 *

  • 26 Magnesium % 0,60

  27

  • Besi % 2,00

  28 Alumunium % 2,20 *

  • 29 Mangan % 0,10

  Bakteri

  30 Fecal Coli MPN/gr 1000

  31 Salmonella sp MPN/4 gr

  3

  2.10 KEMATANGAN KOMPOS

  Agar dapat digunakan sebagai pupuk bagi tanaman, kompos yang digunakan harus benar-benar stabil (matang). Menurut Sekarsari (2012) terdapat beberapa parameter yang digunakan sebagai indikator kematangan kompos yang terdapat pada tabel 2.7 [34].

Tabel 2.7. Parameter Kematangan Kompos [34]

  Parameter Indikator Suhu Stabil pH Alkalis

  Perbandingan C/N <20

  • -1

  Laju Respirasi <10 mg g kompos Warna Coklat Tua

  Bau Earthy (bau tanah)

  • 1

  Kemampuan Tukar Kation >60 me 100g abu

  2.11 PEMANFAATAN KOMPOS

  Pemanfaatan kompos memiliki banyak manfaat yang ditinjau dari beberapa aspek yaitu:

2.11.1. Aspek Bagi Tanah Dan Tanaman

  a. Memperbaiki produktivitas dan kesuburan tanah Pemakaian kompos dapat meningkatkan produktivitas tanah baik secara fisik, kimia maupun biologi tanah. Secara fisik, kompos dapat menggemburkan tanah, meningkatkan pengikatan antar partikel dan kapasitas mengikat air sehingga dapat mencegah erosi dan longsor serta dapat mengurangi tercucinya nitrogen terlarut dan memperbaiki daya olah tanah. Sedangkan secara kimia, kompos dapat meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), ketersediaan unsur hara dan ketersediaan asam humat. Asam humat akan membantu meningkatkan proses pelapukan bahan mineral.

  Secara biologi, kompos merupakan sumber makanan bagi mikroorganisme tanah, sehingga mikroorganisme akan berkembang lebih cepat dan dapat menambah kesuburan tanah [34].

  b. Menyediakan hormon,vitamin dan nutrisi bagi tanaman Setiap tanaman membutuhkan nutrisi (makanan) untuk kelangsungan hidupnya. Tanah yang baik mempunyai unsur hara yang dapat mencukupi kebutuhan tanaman. Berdasarkan jumlah yang dibutuhkan tanaman, unsur hara yang diperlukan tanaman dibagi menjadi 2 golongan yaitu:

  Unsur hara primer, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlahbanyak seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Sulfur (S),Kalsium (Ca), Magnesium (Mg)

  Unsur hara mikro, yaitu unsur hara yang dibutuhkan dalam jumlahsedikit, seperti Tembaga (Cu), Seng (Zn), Klor (Cl), Boron (B),Mangan (Mn) dan Molibdenum (Mo) [34]

  c. Memperbaiki struktur tanah Struktur tanah merupakan gumpalan kecil dari butir-butir tanah. Gumpalan struktur terjadi karena butir-butir debu, pasir dan liat terikat satu sama lain oleh suatu perekat seperti bahan organik dan oksida besi. Tanah tergolong jelek apabila butir-butir tanah tidak melekat satu sama lain atau saling merekat erat. Tanah yang baik adalah tanah yang remah dan granuler yang mempunyai tata udara yang baik sehingga aliran udara dan air dapat masuk dengan baik. Kompos merupakan perekat pada butir-butir tanah dan mampu menjadi penyeimbang tingkat kerekatan tanah. Selain itu, kehadiran kompos pada tanah menjadi daya tarik bagi mikroorganisme untuk melakukan aktivitas pada tanah. Dengan demikian, tanah yang semula keras dan sulit ditembus air maupun udara, kini dapat menjadi gembur akibat aktivitas mikroorganisme. Struktur tanah yang gembur amat baik bagi tanaman [34].

  d. Menambah kemampuan tanah untuk menahan air Tanah yang bercampur dengan bahan organik seperti kompos mempunyai pori-pori dengan daya rekat yang lebih baik sehingga mampu mengikat serta menahan ketersediaan air di dalam tanah. Kompos dapat menahan erosi secara langsung. Hujan yang turun deras mengenai permukaan tanah akan mengikis tanah sehingga unsur hara terangkut habis oleh air hujan. Dengan adanya kompos, tanah terlapisi secara fisik sehingga tidak mudah terkikis dan akar tanaman terlindungi. Kemampuan tanah untuk menahan air ini (water holding capacity) berhubungan erat dengan besarnya kadar air dalam gundukan kompos [34].

  2.11.2. Aspek Ekonomi

  a. Menghemat biaya untuk transportasi dan penimbunan limbah

  b. Mengurangi volume/ukuran limbah

  c. Memiliki nilai jual yang lebih tinggi dari pada bahan asalnya

  d. Proses pengomposan dapat meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan sampah [34].

  2.11.3. Aspek Lingkungan

  a. Membantu meringankan beban pengelolaan sampah

  b. Tidak menimbulkan masalah lingkungan. Penggunaan pupuk kimia ternyata berpengaruh buruk, tidak hanya meracuni tanah dan air saja, tetapi juga meracuni produk yang dihasilkan. Sebagai contoh, pupuk urea terbuat dari senyawa hidrokarbon yang juga digunakan untuk kendaraan bermotor. Senyawa ini akan berubah jadi Nitrit. Senyawa inilah yang kemudian menimbulkan efek jangka panjang berupa kanker atau keracunan langsung [34].

2.12 POTENSI EKONOMI

  Penelitian kompos ini dapat diterapkan dalam skala home industry ataupun dalam skala pabrik. Namun pada potensi ekonomi ini akan dihitung pada skala

  

home industry dengan pengolahan TKKS sebanyak 1.500 kg/hari. Dimana bahan

  baku TKKS yang digunakan berasal dari PKS Sei Mangke PTPN III dan POA yang berasal dari plant biogas LP2M Biogas USU, serta lokasi pembuatan kompos dilakukan pada LP2M USU. Rincian biaya ditunjukan dalam tabel 2.4 berikut

Tabel 2.8 Rincian Biaya Pembuatan Kompos

  No enis Biaya umlah Satuan @Harga (Rp) Biaya (Rp) 300.000 nsportasi 500.000 rja Harian 100.000 900.000

  Dari rincian biaya pembuatan kompos diatas, maka total biaya pembuatan kompos kg/hari adalah : Rp. 900.000 / 1.500 kg = Rp 600 /kg Dari pengolahan 1 kg TKKS menghasilkan ± 0,8 kg kompos, sehingga dari pengolahan 1.500 kg TKKS akan menghasilkan kompos sebanyak 1.500 kg x 0,8 = 1.200 kg/hari Harga 1 kg kompos TKKS yang dijual dipasaran adalah Rp 1.000/kg, maka dapat dihitung besar harga penjualan adalah sebagai berikut: 1.200 kg x Rp. 1.000 = Rp. 1.200.000 Sehingga keuntungan yang didapat perharinya adalah : Harga total penjualan Rp. 1.200.000 Biaya operasi Rp. 900.000

  Rp. 300.000 Maka total keuntungan penjualan kompos perhari adalah Rp. 300.000