Silang Sengkarut Tata Kelola Pangan

Silang Sengkarut Tata Kelola Pangan
Oleh:
Caswiyono Rusydie Cakrawangsa
Ketua DKN Gerbang Tani
Wakil Sekretaris Jenderal PP GP Ansor
Seperti telah menjadi Dztradisidz tahunan, setiap bulan Ramadhan dan menjelang Idul Fitri selalu
terjadi kelangkaan dan kenaikan harga berbagai komoditas pangan. Salah satu yang sempat ramai
belakangan ini adalah harga daging. Pada Ramadhan kali ini, harga daging bahkan menembus Rp
145.000. Presiden menginstruksikan kepada para menteri untuk melakukan berbagai terobosan
dalam menurunkan harga daging, hingga di bawah Rp 80.000. Sayang, situasi ini dimanfaatkan
sebagai justifikasi untuk melakukan impor pangan, dalam hal ini komoditas daging.
Dalam rangka mengatasi kenaikan harga daging, pemerintah kembali mengeluarkan ijin
impor daging sapi beku. Selain menugaskan BUMN, pemerintah ikut melibatkan perusahaan
swasta dalam importasi daging sapi beku jenis secondary cut. Sejauh ini, sudah 27.400 ton daging
sapi yang izinnya telah dikeluarkan Kementerian Perdagangan (Kemendag). Padahal berdasarkan
Pasal 22 Peraturan Menteri Pertanian Nomor 58/Permentan/PK.210/11/2015 dan Pasal 8
Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 05/M-DAG/PER/1/2016, ijin impor daging secondary cut
hanya dapat diberikan kepada BUMN atau BUMD untuk mengatasi kekurangan daging dan
menjaha stabilitas harga.
Pengeluaran ijin, bahkan penugasan impor dengan alasan kelangkaan pangan atau kenaikan
harga ini bukanlah modus baru. Patut diingat beberapa bulan lalu pemerintah, melalui BULOG

melakukan impor beras di saat Indonesia sebenarnya sedang surplus beras. Sepanjang 2015-2016
saja, Indonesia tercatat telah mengimpor 1,5 juta ton beras dari Vietnam dan Thailand. Dalihnya
untuk mengantisipasi kelangkaan akibat El Nino. Padahal, beras petani banyak yang belum
terserap. Tidak hanya beras, Indonesia juga masih sering melakukan impor bahan pangan seperti
jagung, kedelai, cabe, bawang, gandum, tepung terigu, gula pasir, gula (raw sugar), garam dan lain
sebagainya.
Importasi pangan ini jelas sangat merugikan petani. Membanjirnya bahan pangan dari luar
negeri otomatis akan menggerus hasil pertanian dalam negeri. Oleh sebab itu, tak heran jika petani
semakin miskin karena hasil jerih payah dan usaha pertanian mereka tidak diserap dengan
optimal oleh pasar dalam negeri akibat derasnya kebijakan impor. Berbagai protes petani,
termasuk yang akhir-akhir ini dilakukan oleh petani bawang merah, petani tebu dan lain-lain
menunjukkan jeritan petani akibat kebijakan importasi oleh pemerintah. Importasi pangan
menunjukkan bahwa pemerintah tidak berpihak pada petani.
Visi kedulatan pangan yang diusung Presiden Joko Widodo tampaknya belum dilaksanakan
secara konsisten oleh pemerintah. Terbukti, untuk memenuhi kebutuhan pangan, pemerintah
lebih memilih melakukan impor ketimbang menyerap hasil pertanian dari petani sendiri.
Faktanya, pemerintah melakukan impor terhadap komoditas-komoditas yang sesungguhnya bisa
dipenuhi oleh pertanian dalam negeri. Dengan demikian, maka pemerintah telah melanggar janji
untuk mewujudkan kedaulatan pangan, sebagaimana visi Presiden Jokowi pada saat kampanye
Pilpres. Berbeda dengan konsep ketahanan pangan yang hanya berorientasi pada pemenuhan

kebutuhan pangan, kedaulatan pangan merupakan pemenuhan kebutuhan pangan yang berbasis
pada kemampuan sumberdaya pertanian dalam negeri.

Berangkat dari bukti miris tersebut, pemerintah seharusnya konsisten untuk melaksanakan
visi kedaulatan pangan yang telah digembar-gemborkan. Langkah ini hanya bisa dilakukan dengan
mereformasi tata kelola dan tata niaga pangan, menghentikan impor dan memberantas mafia
pangan, serta meningkatkan produktivitas pertanian dengan tetap memperhatikan kesejahteraan
petani. Harus diingat, itu semua merupakan janji sang presiden kala kampaye dulu.
Reformasi tata kelola pangan menjadi sangat mutlak dilakukan karena saat ini pengelolaan
pangan kita mengalami silang sengkarut yang luar biasa. Kebijakan di level hulu tidak nyambung
dengan level hilir. Berbagai lembaga yang berurusan dengan masalah pangan dijangkiti ego
sektoral yang sangat akut. Sebagai contoh, Menteri Pertanian menginginkan agar impor segera
dihentikan dalam rangka melindungi petani, namun Menteri BUMN dan Menteri Perdagangan
justru rajin mengeluarkan ijin impor. Masing-masing kementerian itu tidak memiliki blue print
yang sama tentang pengembangan sektor pangan, dan mungkin tidak punya visi tentang
kedaulatan pangan.
Contoh mutakhir adalah soal gula. Menteri Pertanian menyatakan bahwa saat ini stok gula
cukup, yakni sebanyak 772.800 ton gula, sementara kebutuhan hanya 544.500 ton. Namun,
Menteri BUMN mengeluarkan surat yang menugaskan PTPN X untuk melakukan impor raw sugar
sebanyak 381.000 ton. Jelas, kebijakan ini sangat aneh dan akan mematikan petani tebu di negeri

ini, terlebih saat ini merupakan masa giling tebu. Aroma mafioso sangat terasa dalam kebijakan
ini. Hal ini karena stok gula sebetulnya cukup, sehingga tidak perlu impor. Yang sebetulnya terjadi
adalah ulah pedagang dan pihak tertentu yang ingin mendapatkan hak impor yang memainkan
harga agar terkesan gula langka dan mahal.
Inilah salah satu bukti bahwa tata kelola dan tata niaga pangan kita bermasalah. Setiap
menteri dan pejabat yang berkaitan dengan pangan belum dapat memainkan peran yang memadai
untuk melaksanakan visi kedaulatan pangan itu. Menteri Pertanian terbukti belum berhasil
meningkatkan produktivitas pertanian yang merupakan level paling hulu dalam penyediaan
pangan. Perum BULOG, sebagai BUMN yang ditugaskan pemerintah untuk menyerap hasil
pertanian, juga belum berhasil menjaga ketersediaan pangan dengan menyerap sebanyak
mungkin bahan pangan dari petani. Menteri Perdagangan juga gagal menjaga stabilitas harga
pangan. Justru sebaliknya, lebih rajin mendatangkan pangan hasil impor yang menggempur
produk pangan dalam negeri.
Ada dua kemungkinan mengapa situasi ini terjadi. Pertama, para birokrat tersebut adalah
orang-orang yang tidak berkapasitas dan tidak mampu mengemban tugas penting itu. Dengan
melihat latar belakang dan pengalaman, kemungkinan ini sangat kecil. Kemungkinan kedua,
adanya cengkeraman mafia pangan yang mengendalikan setiap kebijakan dan para pejabatnya.
Cerita tentang mafia pangan ini bukanlah hal baru. Impor beras, bawang, gula, ikan, garam dan
impor daging yang kerap dapat disaksikan, bahkan dengan pelanggaran terhadap aturan yang
dibuatnya sendiri, patut diduga menjadi bagian dari skenario kartel pangan yang melibatkan

pengusaha, importir, dan tentu kalangan pejabat.
Berbagai kebijakan imortasi tersebut jelas tidak berpihak kepada petani dan berpotensi
melanggar Pasal 15 ayat (1) dan (2) Undang-undang No. 19 Tahun 2013 Tentang Perlindungan
dan Pemberdayaan Petani, yang menyatakan: (1) Pemerintah berkewajiban mengutamakan
produksi Pertanian dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional; (2) Kewajiban
mengutamakan produksi Pertanian dalam Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
melalui pengaturan impor Komoditas Pertanian sesuai dengan musim panen dan/atau kebutuhan
konsumsi dalam negeri. Importasi pangan tersebut juga bertentangan dengan Pasal 36 ayat (1)

dan (2) UU No. 18 Tahun 2012 Tentang Pangan yang menyatakan : (1) Impor Pangan hanya dapat
dilakukan apabila Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat
diproduksi di dalam negeri; (2) Impor Pangan Pokok hanya dapat dilakukan apabila Produksi
Pangan dalam negeri dan Cadangan Pangan Nasional tidak mencukupi.
Berdasarkan fakta di atas, Presiden Jokowi tampaknya belum serius membumikan visi
kedautan pangan yang menjadi salah satu visi dalam Nawacita. Jika Presiden serius, seharusnya
blue print pencapaian kedaulatan dibuat segera mungkin dan dilaksanakan secara konsisten.
Disamping itu, jika Presiden serius, seharusnya silang sengkarut tata kelola pangan dapat
diperbaiki dengan menyelaraskan langkah kebijakan semua stakeholder terkait. Lebih lanjut, jika
memang Presiden serius, seharusnya bukan hanya berteriak soal mafia pangan, tetapi
memberantasnya hingga tuntas. Last but not least, apabila memang Presiden serius, seharusnya

dapat membela, melindungi dan memberdayakan petani agar produktif dalam menyokong
kedaulatan pangan. Jika semua itu tidak dilakukan, maka kedaulatan pangan hanya akan menjadi
kata-kata indah.[]