Kata-kata kunci : Stres Kerja, Motivasi Kerja, Kinerja Guru ABSTRACT - Hubungan Tingkat Stres dan Motivasi dengan Kinerja

HUBUNGAN ANTARA STRES KERJA DAN MOTIVASI KERJA DENGAN KINERJA GURU SMK NEGERI DI KOTA SAMARINDA INTISARI

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stres kerja dan motivasi kerja dengan kinerja guru. Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh guru SMK Negeri di kota Samarinda berstatus PNS (Pegawai Negeri Sipil) sejumlah 346 dari sekolah SMK Negeri 1 Samarinda, SMK Negeri 2 Samarinda, SMK Negeri 3 Samarinda, SMK Negeri 4, SMK Negeri 5 Samarinda, SMK Negeri 6 Samarinda, SMK Negeri 7 Samarinda, SMK Negeri 8 Samarinda, SMK Negeri 9, SMK Negeri 10 Samarinda. Sebagai sampel 30% dari jumlah populasi 346 yaitu 100 responden, teknik pengambilan sampel menggunakan porpotional random sampling . Analisis regresi menunjukkan hasil sebagai berikut: tidak ada hubungan

antara stres kerja dengan kinerja guru. rx 1 y=0,036 dengan p = 0,361 (p>0,05); ada hubungan yang positif antara motivasi kerja dengan kinerja guru. rx 2 y= 0,319 dengan p=0,001 (p<0,001); ada hubungan yang positif antara stres kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kinerja guru. Dengan nilai F hitung = 5,703 dengan p=0,000 (p<0,01).

Kata-kata kunci : Stres Kerja, Motivasi Kerja, Kinerja Guru

ABSTRACT

The purpose of this research was to know the relation between job stress and work motivation with teacher performance. Subject in this research are all teachers in SMK Negeri Samarinda who have PNS status there are 346 teachers from SMK Negeri 1 Samarinda, SMK Negeri 2 Samarinda, SMK Negeri 3 Samarinda, SMK Negeri 4, SMK Negeri 5 Samarinda, SMK Negeri 6 Samarinda, SMK Negeri 7 Samarinda, SMK Negeri 8 Samarinda, SMK Negeri 9, SMK Negeri 10 Samarinda. As sampel 30% from amount of population 346 there are 100 respondents, technique intake of sampel use propotional random sampling. Result of research is: there have not relation of job stress with teacher performance. rx1y= 0,036 with p = 0,361 (p>0,05); there are positive relation of work motivation with teacher performance. rx2y= 0,319 with p=0,001 (p<0,001); there are positive relation of job stress and work motivation together with teacher performance. With F value = 5,703 with p=0,000 ( p<0,01).

Key words : Job Stress, Work Motivation, Teacher Performance.

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan

Pendidikan dalam arti luas mencakup seluruh proses hidup dan segenap bentuk interaksi individu dengan lingkungannya, baik secara formal, non formal maupun informal, sampai dengan suatu taraf kedewasaan tertentu. Sedangkan secara terbatas, pendidikan diartikan sebagai proses interaksi belajar mengajar dalam bentuk formal yang dikenal sebagai pengajaran.

Bersamaan dengan lajunya arus reformasi dalam dunia pendidikan berbagai upaya pembenahan sistem pendidikan dan perangkatnya di Indonesia terus dilakukan, akibatnya muncul beberapa peraturan pendidikan untuk saling melengkapi dan penyempurnaan peraturan-peraturan yang sudah tidak relevan lagi dengan kebutuhan saat ini. Hal ini dapat dilihat dengan berlakunya Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Upaya meningkatkan kualitas pendidikan terus menerus dilakukan tetapi berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukan peningkatan yang berarti. Upaya untuk meningkatkan mutu pendidikan itu sebenarnya dapat dilakukan salah satunya melalui peningkatan produktivitas kerja guru dalam menyongsong era tinggal landas. Untuk itu, guru diharapkan dapat meningkatkan kemampuan profesionalnya baik secara perseorangan melalui pendidikan dan pelatihan, maupun secara bersama-sama melalui kegiatan penataran.

Pendidikan merupakan faktor utama dalam pembentukan pribadi manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik atau buruknya pribadi manusia menurut ukuran normatif. Menyadari akan hal tersebut, pemerintah sangat serius menangani bidang pendidikan, sebab dengan sistem pendidikan yang baik diharapkan muncul generasi penerus bangsa yang berkualitas dan mampu menyesuaikan diri untuk hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Reformasi pendidikan merupakan respon terhadap perkembangan tuntutan global sebagai suatu upaya untuk mengadaptasikan sistem pendidikan yang mampu mengembangkan sumber daya manusia untuk memenuhi tuntutan zaman yang sedang berkembang. Melalui reformasi pendidikan, pendidikan harus berwawasan masa depan yang memberikan jaminan bagi perwujudan hak-hak azasi manusia untuk mengembangkan seluruh potensi dan prestasinya secara optimal guna kesejahteraan hidup di masa depan.

Menurut Djamarah (2002), guru adalah salah satu unsur manusia dalam proses pendidikan.Dalam proses pendidikan di sekolah, guru memegang tugas ganda yaitu sebagai pengajar dan pendidik. Sebagai pengajar guru bertugas menuangkan sejumlah bahan pelajaran ke dalam otak anak didik, sedangkan sebagai pendidik guru bertugas membimbing dan membina anak didik agar menjadi manusia susila yang cakap, aktif, kreatif, dan mandiri. Djamarah berpendapat bahwa baik mengajar maupun mendidik merupakan tugas dan tanggung jawab guru sebagai tenaga profesional. Oleh sebab itu, tugas yang berat dari seorang guru ini pada dasarnya hanya dapat dilaksanakan oleh guru 1 yang memiliki kompetensi profesional yang tinggi.

Guru memegang peranan sentral dalam proses belajar mengajar, untuk itu mutu pendidikan di suatu sekolah sangat ditentukan oleh kemampuan yang dimiliki seorang guru dalam menjalankan tugasnya. Menurut Aqib (2002), guru adalah faktor penentu bagi keberhasilan pendidikan di sekolah, karena guru merupakan sentral serta sumber kegiatan belajar mengajar. Lebih lanjut dinyatakan bahwa guru merupakan komponen yang berpengaruh dalam peningkatan mutu pendidikan di sekolah. Hal ini menunjukkan bahwa kinerja dari seorang guru sangat menentukan mutu pendidikan.

Kinerja guru merupakan perwujudan kerja yang dilakukan oleh seorang guru yang biasanya dipakai sebagai dasar penilaian terhadap guru atau sekolah. Kinerja guru yang baik merupakan suatu langkah untuk menuju tercapainya tujuan pendidikan.

Menurut Dahrin (2000), kinerja guru dan tenaga kependidikan masih belum memadai utamanya dalam hal bidang keilmuannya. Misalnya, guru Biologi dapat mengajar Kimia atau Fisika. Ataupun guru IPS dapat mengajar Bahasa Indonesia. Memang jumlah tenaga pendidik secara kuantitatif sudah cukup banyak, tetapi kualitas dan kinerjanya belum sesuai dengan harapan. Banyak di antaranya yang tidak berkualitas dan menyampaikan materi yang keliru sehingga mereka tidak atau kurang mampu menyajikan dan menyelenggarakan pendidikan yang benar-benar berkualitas.

Mengenai kinerja guru yang perlu diperhatikan, bukan sekedar kemampuan atau kelayakan secara formal melalui jenjang formal yang diperolehnya, melainkan juga aspek metodologi di samping aspek penampilannya, cara berpakaian dan berperilaku sehari-hari yang semuanya harus menunjukkan dan memberi corak sebagai sosok yang perlu diteladani. Sampai saat ini masih banyak ditemukan sosok guru yang berpakaian seenaknya, melaksanakan tugas ala kadarnya asal bisa memenuhi jam mengajarnya, tak peduli apakah pelajaran yang disampaikannya bisa dicerna dan mampu membelajarkan murid, serta cukup hanya dengan nilai yang diberikan saat ulangan.

Data Pusat Statistik Pendidikan Balitbang Depdiknas 2000/2001 menunjukkan bahwa persentase guru yang layak mengajar terhadap jumlah guru yang ada secara nasional adalah 63,79%. Artinya masih terdapat sekitar 36,21% guru yang tidak layak mengajar baik dilihat dari kompetensi maupun kualifikasi pendidikannya.

Perhatian yang belum sungguh-sungguh terhadap sumber daya pendidikan khususnya guru-guru baik dalam hal peningkatan mutu, kesejahteraan, dan kedudukan sosialnya, proses pendidikan dan perkembangan masyarakat akan lebih memperlebar kesenjangan kualitas guru-guru itu sendiri. Di masyarakat, jabatan guru tidak sepopuler jabatan seorang dokter, demikian juga pendapat seorang guru. Tidaklah mengherankan jika calon mahasiswa yang unggul lebih memilih perguruan tinggi (universitas/institut) favorit daripada LTPK. Calon mahasiswa dengan mutu yang rendah pada akhirnya akan mempengaruhi pula mutu luaran LTPK itu sendiri.

Kinerja guru merupakan sarana penentu dalam mencapai tujuan sekolah, sehingga perlu diupayakan untuk meningkatkan kinerjanya. Namun hal ini tidak mudah dilakukan, sebab banyak faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kinerja guru. Rendahnya kinerja guru antara lain disebabkan oleh motivasi kerja, tidak punya etos kerja yang tinggi, dan tidak produktif, sebagaimana dikemukakan oleh Sudarminta (2001) antara lain tampak dari gejala-gejala berikut : (1) lemahnya penguasaan bahan yang diajarkan; (2) ketidaksesuaian antara bidang studi yang dipelajari guru dan yang dalam kenyataan lapangan yang diajarkan; (3) kurang efektifnya cara pengajaran; (4) kurangnya wibawa guru di hadapan murid; (4) lemahnya motivasi dan dedikasi untuk menjadi pendidik yang sungguh-sungguh; semakin banyak yang kebetulan menjadi guru dan tidak betul-betul menjadi guru; (6) kurangnya kematangan emosional, kemandirian berpikir, dan keteguhan sikap dalam cukup banyak guru sehingga dari kepribadian mereka sebenarnya tidak siap sebagai pendidik; kebanyakan guru dalam hubungan dengan murid masih hanya berfungsi sebagai pengajar dan belum sebagai pendidik; (7) relatif rendahnya tingkat intelektual para mahasiswa calon guru yang masuk LPTK (Lembaga Pengadaan Tenaga Kependidikan) dibandingkan dengan yang masuk Universitas.

Perlu kita ketahui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) semenjak menggunakan kurikulum 1994 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah banyak membebani guru. Guru di SMK tidak hanya mengajar dengan mentransfer ilmu pengetahuan, namun mempersiapkan anak didik untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena Perlu kita ketahui SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) semenjak menggunakan kurikulum 1994 hingga Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), telah banyak membebani guru. Guru di SMK tidak hanya mengajar dengan mentransfer ilmu pengetahuan, namun mempersiapkan anak didik untuk memasuki dunia kerja. Oleh karena

Adanya tugas sebagai guru di SMK dengan beban yang berat tersebut bisa menimbulkan ketidakpuasan kerja guru ini bisa terjadi dimana fungsi guru berubah dari fungsi yang sebenarnya sebagaimana dikemukakan oleh Malik Fajar di atas. Ini bisa terjadi disebabkan oleh faktor beban kerja guru yang berat tidak sebanding dengan besarnya gaji, kurangnya penghargaan dan pengakuan dari pimpinan, iklim organisasi yang tidak kondusif adanya tekanan kerja (stres) yang timbul dari akibat pekerjaan di sekolah, dan penyebab lain.

Banyak faktor yang diduga berhubungan dengan kinerja guru, antara lain: pengelolaan stres kerja, pengalaman kerja, keterampilan teknis, tingkat pendidikan, pengetahuan administrasi pembelajaran, motivasi kerja, gaya kepemimpinan kepala sekolah, dan kecerdasan emosional.

Tuntutan hidup demikian besar pada satu sisi, sementara pada sisi lain tanggung jawab dan beban moral yang dipikul sebagai seorang pengajar dan pendidik sangat besar sering mengakibatkan stres kerja/tekanan mental akibat dari kerja pada guru. Belum lagi jika guru menjadi sasaran kritik atas gagalnya suatu proses pendidikan yang dialami oleh anak didiknya. Tak jarang guru akhirnya mengambil sikap apatis terhadap profesinya di tengah dilema tanggung jawab serta tuntutan sosial ekonomi.

Stres kerja, oleh para ahli perilaku organisasi, telah dinyatakan sebagai agen penyebab dari berbagai masalah fisik, mental, bahkan output organisasi. Stres kerja tidak hanya berpengaruh terhadap individu, tetapi juga terhadap biaya organisasi dan industri. Banyak studi yang menghubungkan stres kerja dengan berbagai hal, misalnya stres kerja dihubungkan dengan kepuasan kerja, kesehatan mental, ketegangan, ketidak hadiran, dan sering juga dihubungkan dengan kinerja. Sebagai contoh, tingginya level stres kerja dipersepsikan berhubungan secara negatif dengan kepuasan kerja. Tingginya level stres kerja juga dipersepsikan berhubungan secara negatif dengan kesehatan mental.

Salah satu alasan penting mempelajari stres pada guru adalah bahwa berdasarkan pengalaman, stres pada guru dapat mempunyai efek yang merugikan pada diri guru, siswa dan lingkungan kerjanya. Stres tersebut dapat berbentuk kelelahan fisik, emosi, sikap yang negatif terhadap siswa, dan keinginan untuk mengurangi tugas-tugas personal (Schwab dan Jackson, 1986). Konsekuensi dari kelelahan fisik dan emosi ini bisa berbentuk ketidakhadiran guru, sehingga bisa jadi mendorong ketidakhadiran siswa dan tidak adanya prestasi akademis.

Stres pada guru mungkin bisa ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti tidak sabaran, baik dalam sosialisasi maupun saat menghadapi siswa di kelas, lekas marah, sensitif atau mudah tersinggung, bersikap apatis, kurang dapat konsentrasi dalam mengajar, pelupa, peka terhadap kritik yang ditujukan pada dirinya, atau bisa muncul efek organisatoris/kelembagaan yaitu sering absen (tidak masuk) kerja dengan berbagai alasan. Menghindari tanggung jawab, produktivitas kerja/mengajar rendah atau turun, dan justru sering dihinggapi rasa benci terhadap pekerjaan sebagai gejala yang ekstrim.

Menurut Sullivan dan Bhagat (1992), dalam studi mereka mengenai stres kerja (yang diukur dengan role ambiguity, role conflict, dan role overload) dan kinerja, pada umumnya ditemukan bahwa stres kerja berhubungan secara negatif dengan kinerja.

Kerja guru merupakan kumpulan dari berbagai tugas untuk mencapai tujuan pendidikan. Motivasi dalam menjalankan tugas merupakan aspek penting bagi kinerja atau produktivitas seseorang, ini disebabkan sebagian besar waktu guru digunakan untuk bekerja. Guru akan berusaha mencapai kinerja tertentu sesuai dengan yang dikehendaki sekolah, jika merasa senang dan puas dengan pekerjaannya. Setiap guru yang merasa puas akan bekerja pada tingkat kapasitas penuh.

Keinginan yang timbul dalam diri guru untuk bekerja atau biasa disebut dengan motivasi kerja akan mendorong guru untuk selalu memberikan yang terbaik bagi sekolah tempat ia bekerja. Guru tersebut akan berusaha mencari cara dan melakukan hal-hal yang dapat meningkatkan kualitas kerja dan mutu sekolahnya. Guru yang termotivasi, tidak akan puas dengan apa yang didapat/dicapainya, dalam dirinya ada keinginan untuk meningkatkan apa yang sudah dicapai. Guru juga akan selalu berusaha terus untuk mendapatkan apa yang diinginkan, dengan berusaha meningkatkan mutu secara terus- menerus maka berarti pula meningkatkan kinerja dari guru tersebut. Guru yang mempunyai motivasi kerja akan dapat meningkatkan kinerjanya.

Oleh karena itu dalam upaya peningkatan kinerja guru, menarik untuk dikaji lebih lanjut mengenai stres kerja dan motivasi kerja pada guru-guru SMK khususnya yang berada di kota Samarinda.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut :

a. Adakah hubungan antara stres kerja guru dengan kinerja guru?

b. Adakah hubungan antara motivasi kerja dengan kinerja guru?

c. Adakah hubungan antara stres kerja dan motivasi kerja guru secara bersama-sama terhadap kinerja guru?

C. Keaslian Penelitian

Beberapa penelitian sebelumnya tentang kinerja guru telah dilakukan, di antaranya Nunung Herlina (2004), yang meneliti kinerja perawat dikaitkan dengan motivasi dan gaya kepemimpinan, Dwi Wahyuningsih (2004), meneliti tentang kinerja dikaitkan dengan kepercayaan diri.

Sedangkan penelitian tentang stres kerja telah dilakukan, diantaranya Falah Yunus (2003), yang meneliti tentang hubungan antara stres kerja dengan kepuasan kerja guru, Iswanto (2003), meneliti tentang hubungan antara stres kerja, kepribadian dan kinerja manajer bank.

. Penelitian tentang motivasi dilakukan Turin (2000) yang mengaitkan motivasi kerja dan performansi mengajar. Hasilnya terdapat hubungan positif antara motivasi kerja dengan performansi mengajar. Penelitian Sri Hardjo dan Badjuri (2000) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara motivasi berprestasi terhadap prestasi belajar.

Mengkaji beberapa penelitian yang telah dilakukan terdahulu, penulis belum pernah menemukan adanya penelitian yang khusus tentang hubungan kinerja guru dalam kaitannya dengan stres kerja dan motivasi kerja. Oleh karena itu, penelitian yang penulis lakukan ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya.

D. Manfaat Penelitian

Dalam kajian Penelitian ini diharapkan dapat menemukan faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kompetensi profesional guru. Selanjutnya kajian ini diharapkan dapat dimanfaatkan sebagai masukan (urun rembug) kepada dunia pendidikan dalam kerangka meningkatkan kinerja guru.

Jika hasil penelitian ini ternyata terbukti dengan pembuktian secara empirik dimana ada hubungan yang positif antara stres kerja dan motivasi kerja baik dengan kinerja guru, baik secara bersama-sama maupun secara parsial, maka hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai masukan bagi Dinas Pendidikan Kota Samarinda maupun Pemerintah Kota Samarinda dalam merancang program yang berkaitan dengan peningkatan kinerja guru.

Hasil penelitian ini juga diharapkan berguna bagi „Stakeholder‟ yaitu pihak dunia industri/dunia kerja sebagai partner Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dalam program

„Pendidikan Sistem Ganda‟, serta „Masyarakat‟ sebagai pelanggan dan pengguna Sekolah, sebagai masukan bagai mereka untuk merancang program-program yang berkaitan dengan peningkatan kinerja dan motivasi kerja guru, maupun manajemen stres kerja.

E. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan di atas, tujuan dari penelitian ini adalah menghimpun bahan dan informasi secara sistematis dan terencana mengenai hubungan antara stres kerja dan motivasi kerja dengan kinerja guru.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui tentang:

a. Hubungan antara stres kerja dengan kinerja guru

b. Hubungan antara motivasi kerja dengan kinerja guru.

c. Hubungan antara stres kerja dan motivasi kerja secara bersama-sama dengan kinerja guru.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA, DASAR TEORI DAN HIPOTESIS

A. Tinjauan Pustaka

1. Kinerja Guru

a. Pengertian Kinerja

Kinerja merupakan penampilan hasil kerja pegawai baik secara kuantitas maupun kualitas. Kinerja dapat berupa penampilan kerja perorangan maupun kelompok (Ilyas, 2002). Kinerja organisasi merupakan hasil interaksi yang kompleks dan agregasi kinerja sejumlah

organisasi. Pengertian kinerja menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke 2, terbitan Balai Pustaka tahun 1993, adalah (1) sesuatu yang dicapai, (2) prestasi yang diperlihatkan, dan (3) kemampuan kerja. Kinerja adalah pengalihbahasaan dari kata bahasa Inggris performance . Bernardin dan Russel dalam Ruky (2001) memberikan definisi tentang performance sebagai hasil atau apa yang keluar (outcomes) dari sebuah pekerjaan dan kontribusi mereka pada organisasi. Seiring dengan ini, Dharma (1985) berpendapat bahwa kinerja adalah sesuatu yang dikerjakan atau produk/jasa yang dihasilkan atau diberikan oleh seorang atau sekelompok orang. Hal ini sesuai dengan pendapat Suprihanto (1988) yang mengemukakan bahwa hasil kerja seorang karyawan selama periode tertentu dibandingkan dengan berbagai ukuran misalnya standar, target/sasaran atau kriteria yang telah ditentukan terlebih dahulu dan telah disepakati bersama. Sedangkan As'ad (2003) memberikan pengertian kinerja sebagai hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Senada dengan pengertian kinerja tersebut di atas, Moenir (1998) mendefinisikan kinerja sebagai hasil kerja seseorang pada kesatuan waktu atau ukuran tertentu.

individu

dalam

Lain halnya Whitmore (1997) yang mendefinisikan kinerja sebagai pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang, tetapi itu kedengarannya seperti melakukan kebutuhan yang paling minim untuk berhasil. Kinerja yang nyata jauh melampaui apa yang diharapkan; kinerja menetapkan standar-standar tertinggi orang itu sendiri, selalu standar- standar yang melampaui apa yang diminta atau diharapkan orang lain. Hal ini tentu saja merupakan ekspresi potensi seseorang. Ini mendekati arti kinerja yang kedua sebagaimana didefinisikan oleh Whitmore adalah suatu perbuatan, suatu prestasi, suatu pameran umum keterampilan.

Melengkapi pendapat di atas, Prawirosentoso (1999) berpendapat bahwa performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing dalam rangka mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja adalah hasil karya atau kerja yang diperoleh karyawan dalam usaha dalam pencapaian tujuan atau pemenuhan tugas tertentu berdasarkan ukuran yang berlaku dan dalam waktu yang telah ditetapkan organisasi.

b. Penilaian Kinerja

Kinerja mempunyai hubungan erat dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja di suatu organisasi merupakan hal penting. Karena melalui penilaian kinerja, hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik Kinerja mempunyai hubungan erat dengan masalah produktivitas karena merupakan indikator dalam menentukan bagaimana usaha untuk mencapai tingkat produktivitas yang tinggi dalam suatu organisasi. Sehubungan dengan hal tersebut maka upaya untuk mengadakan penilaian terhadap kinerja di suatu organisasi merupakan hal penting. Karena melalui penilaian kinerja, hasilnya dapat dijadikan sebagai umpan balik

Untuk mengetahui tinggi-rendahnya kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja. Penilaian prestasi kerja para karyawan merupakan bagian penting dari seluruh proses kekaryaan pegawai yang bersangkutan. Pentingnya penilaian prestasi kerja yang rasional yang diterapkan secara objektif terlihat pada paling sedikit dua kepentingan,yaitu kepentingan pegawai yang bersangkutan sendiri dan kepentingan organisasi. Menurut Handoko (2001) penilaian berperan sebagai umpan balik tentang berbagai hal seperti kemampuan, keletihan, kekurangan dan potensinya yang pada gilirannya bermanfaat untuk menentukan tujuan, jalur, rencana dan pengembangan kariernya.

Rao (1986) berpendapat bahwa penilaian kinerja adalah sebuah mekanisme untuk memastikan bahwa orang-orang pada tiap tingkatan mengerjakan tugas-tugas menurut cara yang diinginkan oleh para majikan mereka. Menurut Rao (1986) sistem-sistem penilaian pada kebanyakan organisasi direncanakan untuk mencapai sasaran-sasaran sebagai berikut: (1) mengendalikan perilaku karyawan dengan menggunakan sebagai sebuah instrumen untuk memberikan ganjaran, hukuman dan ancaman; (2) mengambil keputusan mengenai kenaikan gaji dan promosi; (3) menempatkan orang supaya dapat melaksanakan pekerjaan yang tepat; (4) mengenali kebutuhan para karyawan akan pelatihan dan pengawasan. Adapun dimensi penilaian kinerja meliputi: (1) pencapaian sasaran pekerjaan, (2) inisiatif, (3) kerjasama, (4) sumbangan kepada kemajuan karyawan, dan (5) perilaku lain.

Berbeda dengan Suprihanto (1988) tentang penilaian kinerja, dikatakan suatu sistem yang digunakan untuk menilai dan mengetahui apakah seorang karyawan telah melaksanakan pekerjaannya masing-masing secara keseluruhan. Penilaian itu mencakup aspek yang tidak hanya dilihat dari segi fisiknya tetapi meliputi berbagai hal seperti kemampuan kerja, disiplin, hubungan kerja, prakarsa, kepemimpinan dan hal-hal khusus sesuai dengan bidang dan level pekerjaannya. Senada dengan ini, Ruky (2001) menetapkan sejumlah faktor untuk menentukan penilaian yaitu kuantitas pekerjaan, kualitas pekerjaan, kejujuran, ketaatan, dan inisiatif.

Dalam penilaian prestasi kerja terdapat beberapa hal yang dapat merusak teknik penilaian, seperti yang dikemukakan oleh Dessler (1993) meliputi:

a. Tidak jelasnya standar Salah satu masalah adalah tidak jelasnya standar prestasi. Hal ini disebabkan oleh karena faktor dalam kadar bajik tersebut dapat mengundang berbagai tafsiran, sebagai contoh: para supervisor boleh jadi memiliki pengertian yang berbeda-beda dalam menjelaskan prestasi yang ”baik”, prestasi yang ”sedang”, dan lain sebagainya.

b. Efek halo Berarti penilaian yang di lakukan terhadap seorang bawahan (seperti ”kualitas pekerjaan”) dipengaruhi pada cara anda menilai orang itu dalam faktor-faktor yang lain (seperti ”pergaulan dengan orang lain”).

c. Kecondongan memusat Banyak supervisor yang memiliki ”kecondongan memusat” pada waktu

mengisi skala penilaian, sebagai contoh: apabila skala penilaian beranjak dari 1 sampai

7 mereka cenderung menghindari angka tinggi (6 dan 7) dan rendah (1 dan 2) serta meletakkan pengharkatan antara 3 dan 5.

d. Masalah bias Perbedaan individual diantara orang-orang yang dinilai dalam kaitannya dengan hal-hal seperti umur, ras dan jenis kelamin mempengaruhi nilai yang mereka d. Masalah bias Perbedaan individual diantara orang-orang yang dinilai dalam kaitannya dengan hal-hal seperti umur, ras dan jenis kelamin mempengaruhi nilai yang mereka

Gomes (2001) mengungkapkan bahwa bagi organisasi penilaian prestasi kerja yang baik dapat bermanfaat untuk:

a. Mendorong peningkatan prestasi kerja. Dengan mengetahui hasil prestasi kerja, pihak yang terlibat dapat mengambil berbagai langkah yang diperlukan agar prestasi kerja para karyawan lebih meningkat lagi di masa-masa yang akan datang.

b. Sebagai pengambilan keputusan dalam pemberian imbalan. Telah dimaklumi imbalan yang diberikan oleh organisasi kepada karyawan tidak hanya terbatas pada upah atau gaji yang merupakan penghasilan tetap bagi para karyawan yang bersangkutan, akan tetapi juga berbagai imbalan lainnya seperti bonus pada akhir tahun, hadiah pada hari- hari besar, kepemilikan sejumlah saham perusahaan. Keputusan tentang siapa yagn berhak menerima berbagai imbalan didasarkan antara lain hasil penilaian atas prestasi kerja yang bersangkutan.

c. Untuk kepentingan mutasi karyawan, misalnya seperti promosi, alih tugas, alih wilayah maupun demosi.

d. Guna menyusun program pendidikan dan pelatihan, baik yang dimaksudkan untuk mengatasi berbagai kekurangan dari kelemahan maupun untuk mengembangkan potensi.

e. Membantu para karyawan menentukan rencana kariernya. Berdasarkan pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa penilaian prestasi kerja diperlukan untuk mengetahui umpan balik dari seluruh kegiatan yang dilaksanakan oleh karyawan dalam sebuah perusahaan.

Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kinerja. Rossett dan Arwady (1987) seperti yang dikutip Haryono, mengemukakan bahwa ada empat faktor yang mempengaruhi kinerja, yaitu: kurangnya keterampilan dan pengetahuan, kurangnya insentif atau tidak tepatnya insentif diberikan, lingkungan kerja yang tidak mendukung, dan tidak adanya motivasi.

c. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kinerja

Menurut Prawirosentono (1999) kinerja seorang pegawai akan baik, jika pegawai mempunyai keahlian yang tinggi, kesediaan untuk bekerja, adanya imbalan/upah yang layak dan mempunyai harapan masa depan. Secara teoritis ada tiga kelompok variabel yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu, yaitu: variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis.

Kelompok variabel individu terdiri dari variabel kemampuan dan ketrampilan, latar belakang pribadi dan demografis. Menurut Gibson (1996), variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku kerja dan kinerja individu. Sedangkan variabel demografis mempunyai pengaruh yang tidak langsung.

Kelompok variabel psikologis terdiri dari variabel persepsi, sikap, kepribadian, belajar dan motivasi. Variabel ini menurut Gibson (1996) banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis.

Kelompok variabel organisasi menurut Gibson (1996) terdiri dari variabel sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Menurut Kopelman (1986), variabel imbalan akan berpengaruh terhadap variabel motivasi, yang pada akhirnya secara langsung mempengaruhi kinerja individu. Penelitian Robinson dan Larsen (1990) terhadap para pegawai penyuluh kesehatan pedesaan di Columbia menunjukkan bahwa pemberian imbalan mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap kinerja pegawai dibanding pada kelompok pegawai yang tidak diberi.

Menurut Lower dan Porter (1968) dalam Indra Wijaya (1989), faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja tersebut adalah:

a. Faktor motivasi Motivasi adalah dorongan, baik dari dalam maupun dari luar diri manusia untuk menggerakkan dan mendorong sikap dan tingkah lakunya dalam bekerja. Semakin tinggi motivasi seseorang, akan semakin kuat dorongan yang timbul untuk bekerja lebih giat sehingga dapat meningkatkan kinerjanya.

b. Faktor kepuasan kerja Kepuasan kerja merupakan keadaan emosional yang menyenangkan atau tidak menyenangkan karyawan yang berhubungan dengan pekerjaannya. Semakin tinggi tingkat kepuasan kerja maka semakin senang karyawan dalam melaksanakan pekerjaannya yang pada akhirnya dapat meningkatkan kinerjanya.

c. Faktor kondisi fisik pekerjaan Kondisi kerja yang kurang baik dapat menyebabkan rendahnya prestasi kerja karyawan. Lingkungan kerja yang secara fisik merupakan bagian dari kondisi kerja hendaknya tertata dengan baik sehingga tidak menyebabkan adanya perasaan was-was karyawan dalam melaksanakan tugasnya. Apabila karyawan merasa terganggu dalam melaksanakan tugasnya, maka kinerjanya akan rendah. Sebaliknya, jika karyawan merasa tenang dan nyaman dalam melaksanakan tugas, maka kinerjanya akan meningkat.

d. Faktor kemampuan kerja karyawan Kemampuan kerja karyawan dalam melaksanakan tugas yang dibebankan sangat perlu diperhatikan. Karyawan harus memiliki kemampuan yang cukup baik kemampuan fisik maupun kemampuan non fisik (intelektual/mental).

Kemampuan fisik adalah kemampuan yang diperlukan untuk melaksanakan tugas-tugas yang menuntut stamina, kecekatan, kekuatan, dan keterampilan kerja. Kemampuan dipengaruhi oleh proses belajar. Apabila karyawan tidak mempunyai kemampuan yang cukup dalam melaksanakan pekerjaan yang dibebankan, maka pekerjaan tersebut tidak akan dapat diselesaikan sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan. Sebaliknya, jika karyawan mempunyai kemampuan yang cukup, maka tugas-tugas tersebut dapat diselesaikan dengan baik.

Ada tujuh dimensi kemampuan non fisik yang paling penting, yaitu kemampuan berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang, dan ingatan (memori). Diperlukan pengujian (tes) yang mengukur dimensi kemampuan intelektual (kecerdasan khusus) dan merupakan peramal yang kuat bagi kinerjanya.

Oleh karena itu, kinerja sangat penting mendapat perhatian dan diketahui, baik oleh pekerja yang bersangkutan maupun oleh pimpinannya untuk mencapai tujuan organisasi atau perusahaan.

d. Kinerja Guru

Menurut Wikipedia Indonesia, istilah guru berasal dari bahasa Sansekerta, yang merujuk pada pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik. Istilah guru digunakan untuk pendidik dan pengajar pada pendidikan anak usia dini jalur sekolah atau pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah, dan mempunyai semacam kualifikasi formal. Dalam definisi yang lebih luas, setiap orang yang mengajarkan suatu hal yang baru dapat juga dianggap seorang guru.

Guru merupakan salah satu komponen dalam kegiatan belajar mengajar dan memiliki posisi yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran, karena fungsi utama guru adalah merancang, mengelola, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Disamping itu kedudukan guru dalam proses belajar mengajar juga sangat strategis dan menentukan. Strategis karena guru yang akan menentukan kedalaman dan keluasan materi pelajaran, sedangkan bersifat menentukan karena guru yang memilah dan memilih bahan pelajaran yang akan disajikan.

Guru merupakan profesi yang jabatannya atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Adapun tugas guru sebagai profesi, meliputi : mendidik, mengajar dan melatih. Mendidik berarti mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan siswa.

Guru adalah tenaga pendidik yang tugas utamanya mengajar, dalam arti mengembangkan ranah cipta, rasa dan karsa siswa sebagai implementasi konsep ideal mendidik. Karakteristik kepribadian guru meliputi : flksibilitas kognitif, dan keterbukaan psikologis. Kita berharap guru mampu berkompetisi dan bekerja secara profesional. Kompetensi guru adalah kemampuan dan kewenangan guru dalam melaksanakan profesinya, sedangkan profesionalisme berarti kualitas dan perilaku khusus yang menjadi ciri khas guru profesional, guru juga diharapkan mampu melaksanankan KBM suatu kegiatan yang integral dan resiprokal antara guru dan siswa dalam situasi instruksional. Dalam situasi ini guru mengajar dan siswa belajar.

Sebagaimana dikemukakan oleh Soelaeman (1985), guru yang baik adalah guru yang mampu memilih bahan, menyajikan dan mengevaluasi, pendeknya yang berkemampuan untuk melaksanakan tugas dan tanggun jawabnya dengan baik. Guru pada hakekatnya merupakan komponen strategis yang memiliki peran yang penting dalam menentukan gerak maju kehidupan bangsa, bahkan keberadaan guru merupakan faktor yang tidak mungkin digantikan oleh komponen manapun dalam kehidupan bangsa sejak dulu, terlebih-lebih pada era kontemporer.

Sesuai dengan Undang-undang Republik Indonesia No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, jabatan guru sebagai pendidik merupakan jabatan profesional. Untuk itu profesionalisme guru dituntut agar terus berkembang sesuai dengan perkembangan jaman, ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kebutuhan masyarakat termasuk kebutuhan terhadap sumber daya manusia yang berkualitas dan memiliki kapabilitas untuk mampu bersaing baik di forum regional, nasional maupun internasional.

Standar Kompetensi Guru meliputi 3 (tiga) komponen kompetensi dan masing- masing komponen kompetensi terdiri atas beberapa unit kompetensi. Secara keseluruhan Standar Kompetensi Guru adalah sebagai berikut :

a. Komponen Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran dan Wawasan Kependidikan, yang terdiri atas,

1) Sub Komponen Kompetensi Pengelolaan Pembelajaran : - Menyusun rencana pembelajaran - Melaksanakan pembelajaran - Menilai prestasi belajar peserta didik. - Melaksanakan tindak lanjut hasil penilaian prestasi belajar peserta didik.

2) Sub Komponen Kompetensi Wawasan Kependidikan : - Memahami landasan kependidikan - Memahami kebijakan pendidikan - Memahami tingkat perkembangan siswa - Memahami pendekatan pembelajaran yang sesuai materi pembelajarannya - Menerapkan kerja sama dalam pekerjaan

- Memanfaatkan kemajuan IPTEK dalam pendidikan

b. Komponen Kompetensi Akademik/Vokasional, yang terdiri atas : - Menguasai keilmuan dan keterampilan sesuai materi pembelajaran

c. Komponen Kompetensi Pengembangan Profesi terdiri atas : - Mengembangkan profesi. Bertolak dari pendapat para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa yang

dimaksud dengan kinerja guru atau prestasi kerja (performance) adalah hasil yang dicapai oleh guru dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu dengan output yang dihasilkan tercermin baik kuantitas maupun kualitasnya.

Dalam melaksanakan tugasnya, guru tidak berada dalam lingkungan yang kosong. Ia bagian dari dari sebuah “mesin besar” pendidikan nasional, dan karena itu ia terikat pada

rambu-rambu yang telah ditetapkan secara nasional mengenai apa yang mesti dilakukannya. Hal seperti biasa dimanapun, namun dalam konteks profesionalisme guru dimana mengajar dianggap sebagai pekerjan profesional, maka guru dituntut untuk profesional dalam melaksanakan tugasnya.

Makin kuatnya tuntutan akan profesionalisme guru bukan hanya berlangsung di Indonesia, melainkan di negara-negara maju. Misalnya, di Amerika Serikat isu tentang profesionalisasi guru ramai dibicarakan mulai pertengahan tahun 1980-an. Hal itu masih berlangsung hingga sekarang.

Dalam jurnal pendidikan, Educational Leadership edisi 1993 menurunkan laporan utama tentang soal ini (Dedi Supriadi, 1998). Menurut jurnal itu untuk menjadi profesional, seorang guru dituntut untuk memiliki lima hal :Pertama, guru mempunyai komitmen kepada siswa dan proses belajarnya. Ini berarti bahwa komitmen tertinggi guru adalah kepada kepentingan siswa; Kedua, guru menguasai secara mendalam bahan/mata pelajaran yang diajarkannya serta cara mengajarkannya kepada para siswa. Bagi guru, hal ini merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan; Ketiga, guru bertanggung jawab memantau hasil belajar siswa melalui berbagai teknik evaluasi, mulai cara pengamatan dalam perilaku siswa sampai tes hasil belajar; Keempat, guru mampu berpikir sistematis tentang apa apa yang akan dilakukaknnya , dan belajar dari pengalamannya. Artinya, harus selalu ada waktu untuk guru guna mengadakan refleksi dan koreksi terhadap apa yang dilakukannya. Untuk bisa belajar dari pengalaman, ia harus tahu mana yang benar dan salah, serta baik dan buruk dampaknya pada proses belajar siswa; Kelima, guru seyogianya merupakan bagian dari masyarakat belajar dalam lingkungan profesinya, misalnya kalau di kita, PGRI dan organisasi profesi lainnya.

Sehubungan dengan uraian tersebut maka kinerja guru yang diukur dalam penelitian ini merupakan penilaian yang dilakukan oleh kepala sekolah selaku supervisor kepada guru yang menyangkut tugasnya sebagai pengajar. Dengan demikian kita bisa menentukan hal-hal apa saja yang akan dinilai oleh kepala sekolah mengenai kinerja guru, berdasarkan kajian teori di atas kita bisa tentukan hal-hal yang yang dinilai yaitu terdiri kesetiaan dan komitmen yang tinggi pada tugas mengajar, menguasai dan mengembangkan bahan pelajaran, kedisiplinan dalam mengajar dan tugas lainnya, kreativitas dalam pelaksanaan pengajaran , kerjasama dengan semua warga sekolah, kepemimpinan yang menjadi panutan siswa, kepribadian yang baik, jujur dan obyektif dalam membimbing siswa, serta tanggung jawab terhadap tugasnya.

2. Stres Kerja

Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999). Di antaranya adalah: (1) Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999). Di antaranya adalah: (1) Masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan, dan posisinya

Masalah-masalah tentang stres kerja pada dasarnya sering dikaitkan dengan pengertian stres yang terjadi di lingkungan pekerjaan, yaitu dalam proses interaksi antara seorang karyawan dengan aspek-aspek pekerjaannya. Di dalam membicarakan stres kerja ini perlu terlebih dahulu mengerti pengertian stres secara umum.

a. Pengertian Stres

Menurut Spielberger (Handoyo, 2001) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan- tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.

Menurut Ulhaq (2008), stres merupakan suatu keadaan dimana seseorang mengalami ketegangan karena adanya kondisi-kondisi yang mempengaruhi dirinya, kondisi-kondisi tersebut dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Namun perlu diperhatikan bahwa suatu kondisi yang membuat stres kerja karyawan belum tentu akan membuat stres kerja karyawan lainnya. Konflik yang terjadi pada seorang karyawan mungkin menimbulkan stres kerja pada seorang karyawan, namun merupakan tantangan bagi karyawan lainnya. Berdasarkan contoh-contoh tersebut dapat dilihat bahwa kondisi yang sama belum tentu diterima sama oleh masing-masing individu tergantung pada keadaan individu, lingkungan dan faktor-faktor lain.

Davis & Newstrom (1996) mengemukakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan konsisi fisik seseorang. Stres yang terlalu berat dapat mengancam seseorang untuk menghadapi lingkungan.

Luthans (Yulianti, 2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.

Robbin (1996) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi yang dinamik dalam mana seseorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constrain) atau tuntutan (demands) yang dikaitkan dengan apa yang sangat diinginkannya dan yang dihasilkan dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Sedangkan menurut Vincent Cornelli dalam Anwar (2005) mendefinisikan stres sebagai gangguan pada tubuh dan pikiran yang disebabkan oleh perubahan dan tuntutan kehidupan. Stres dapat dipengaruhi oleh lingkungan dan penampilan individu dalam lingkungan tersebut.

Hans Selye (1976) membagi stres menjadi dua macam, yaitu stres negatif biasa disebut distres dan seringkali menghasilkan perilaku karyawan yang disfungsional seperti sering melakukan kesalahan, moral yang rendah, bersikap masa bodoh dan absen tanpa keterangan. Di sisi lain, stres positif atau biasa disebut eustres menciptakan tantangan dan perasaan untuk selalu berprestasi dan berperan sebagai faktor motivator kritis yang akan meningkatkan kinerja karyawan. Dengan demikian secara umum dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu stimulus yang berupa tekanan yang akan mempengaruhi kondisi fisik maupun psikologi individu dimana tekanan/stimulus tersebut dapat berasal dari luar individu.

Gibson (1996) mengemukakan definisi stimulus melihat sebagai suatu kekuatan atau perangsang yang menekan individu yang menimbulkan tanggapan (respon) terhadap ketegangan. Definisi tersebut terdapat adanya suatu ketidakjelasan tentang kemungkinan tingkat akibat yang ditimbulkan oleh stres yang sama pada individu yang berbeda. Sedangkan definisi tanggapan memandang stres sebagai tanggapan fisiologis dan psikologis dari seseorang terhadap tekanan lingkungannya, dimana stres tersebut kebanyakan berasal dari lingkungan di luar individu. Stres sebagai definisi kerja mengemukakan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan atau proses psikologis, yaitu suatu konsekuensi dari setiap tindakan ekstern (lingkungan), situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan atau fisik terhadap seseorang.

Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Beehr dan Newman (Luthans, 1996) yang mendefinisikan stres kerja yaitu sebagai suatu kondisi yang timbul karena adanya interaksi antara individu dan pekerjaan yang ditandai dengan adanya perubahan dalam diri individu yang mendorong individu melakukan penyimpangan (tidak berfungsi secara normal).

b. Sumber-Sumber Stres

Stres dapat disebabkan oleh berbagai faktor di dalam maupun di luar pekerjaan yang merupakan sumber stres di tempat kerja. Sumber stres disebut juga stresor adalah suatu rangsangan yang dipersepsikan sebagai suatu ancaman dan menimbulkan perasaan negatif. Hampir setiap kondisi pekerjaan dapat menyebabkan stres, tergantung reaksi karyawan bagaimana menghadapinya. Sebagai contoh, seorang karyawan akan dengan mudah menerima dan mempelajari prosedur kerja baru, sedangkan seorang karyawan lain tidak tahu atau bahkan akan menolaknya.

Bagaimanapun juga reaksi orang terhadap stres menentukan tingkat stres yang dialami.menurut Handoko (2001) reaksi orang yang dapat menyebabkan stres adalah: mereka yang agresif dan kompetitif,menempatkan standar yang tinggi, menempatkan diri mereka dibawah tekanan waktu yang konstan. Mereka bahkan mebuat permintaan yang berlebihan pada diri mereka sendiri dalam hal rekreasi dan waktu luang. Mereka sering gagal menyadari bahwa banyak tekanan yang mereka rasakan adalah akibat perbuatan mereka sendiri dan bukan produk dari lingkungan mereka.

Penjelasan tersebut menunjukan bahwa banyak faktor yang dapat menyebabkan stres karyawan dalambekerja, dan biasanya karyawan mengalami stres karena kombinasi dari stresor. Makin banyak jumlah stresor, makin besar pula penampakan stres yang berlanjut. Namun demikian tidak semua stresor merupakan stres yang potensial.

Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal (Dwiyanti, 2001). Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, perisliwa/pengalaman pribadi maupun kondisi sosial-ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri.

Betapapun faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres.

Karakteristik pekerjaan menyebabkan stres kerja (stresor) memiliki banyak variasi dan dimensi. Dengan mempertimbangkan adanya pengaruh potensial dari adanya perubahan-perubahan organisasi dan struktur organisasi sekolah Indonesia pada saat ini, dipilihlah empat dimensi variabel yang diadopsi dari model Miner dan Kreitner & Kinicki oleh Gibson (1996). Keempat dimensi variabel tersebut, meliputi : 1) Beban kerja yang berlebih (Role Overload), Konflik peran (Role Conflict), Tugas yang mendua (Role Ambiguity) dan Tanggung Jawab (Responsible for People ).

Hasibuan (2000) menyebutkan penyebab stress karyawan antara lain : 1) beban kerja yang sulit dan berlebihan, 2) tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar, 3) waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, 4) konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja, 5) balas jasa yang terlalu rendah, 6) masalah-masalah keluarga seperti anak, istri, mertua dan lain-lain.